Anda di halaman 1dari 19

PANCASILA SEBAGAI ETIKA

POLITIK
(Dasar Bangsa Indonesia)

Febrian Rizky Pratama

010002100508

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TRISAKSI
2021
Jl. Kyai Tapa No.1, RT.6/RW.16, Grogol, Kec. Grogol petamburan, Kota Jakarta
Barat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 11440
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..……………………………………………………………….….. 1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..………………………………………..………….…... 2
B. Pengertian Nilai, Moral, dan Norma ….……..…………..……..…… 5
BAB II PEMBAHASAN
A. Pendekatan Historis ………………………………….……..….……. 8
B. Pancasila Sebagai SuatuSistem Etika …………..…….….

………..12
C. Analisis .……………………………………………..

………………....13
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………..…………. 16
B. Saran……………………………………………………………..…… 17
C. Daftar Pustaka…………………………………………………..…… 18

Halaman 2 dari 19
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pancasila adalah sumer dari segala sumer hukum artinya
selain pancasila ada sumer hukum yang lain. Sumer hukum elum
tentu hukum dalam arti ketentuan perundang-undangan. Hukum
nasional asli Pancasila adalah hasil perpaduan eklektik dari eragai
sumer hukum. Dengan demikian hukum nasional Indonesia
merupakan produk eklektik dari eragai sumer hukum sustantif di
masyarakat seperti hukum Islam hukum adat hukum Barat dan
konvensi internasional. Etika secara umum dipahami seagai refleksi
filosofis dari semua yang dianggap aik atau uruk dalam
masyarakat. Keiasaan manusia. Sementara itu hukum negara
adalah hukum yang menjadi dasar caang-caang pemerintahan
tertentu dan yang harus dipatuhi dalam menjalankan
kekuasaannya. Etika Pancasila adalah caang filsafat yang
diterjemahkan dari silala Pancasila yang ertujuan mengatur perilaku
masyarakat angsa dan negara di Indonesia. Oleh karena itu etika
Pancasila mengandung nilai-nilai ketuhanan kemanusiaan
persatuan kerakyatan dan keadilan. Perumusan keijakan hukum
melalui peraturan perundang-undangan di Indonesia yang harus
sejalan dengan Pancasila dan etika politik yang dirumuskan oleh
elit politik sangat penting untuk memerikan gamaran esar agi
penyelesaian masalah-masalah negara saat ini. 1
Etika adalah masalah dan tantangan yang dihadapi manusia
saat ini dan di masa yang akan datang. Pada dasarnya manusia
dilahirkan dengan nilai-nilai moral yang luhur. Filsafat kuno
mengatakan ahwa "Manusia dilahirkan seperti selembar kertas
kosong guru membentuknya sesuai dengan kehendaknya sendiri"
1
https://online-journal.unja.ac.id/jisip/article/view/8828 diakses pada 09 desember 2021 pukul
22.15 WIB

Halaman 3 dari 19
atau "Manusia itu seperti bubuk cair yang dicetak oleh guru sesuai
dengan kehendaknya".2
Etika politik merupakan bagian dari lingkungan filosofis.
Filsafat yang secara langsung mempertanyakan pragmatisme
manusia adalah etis. Etika mempertanyakan tanggung jawab dan
kewajiban manusia. Ada banyak bidang khusus yang berbeda dari
etika seperti: etika pribadi etika sosial etika keluarga etika profesi
dan etika pendidikan dalam hal ini etika politik berkaitan dengan
dimensi dimensi politik kehidupan manusia. 3
Seperti halnya dengan banyak istilah yang berkaitan dengan
konteks ilmiah istilah "etika" juga berasal dari bahasa Yunani Kuno
yaitu sifat tunggal tempat tinggal padang rumput stabilitas
kebiasaan adat istiadat tata krama kepriadian perasaan. sikap cara
erpikir. Dalam entuk jamak (ta etha) artinya adat. Makna terakhir
inilah yang menjadi asal mula terentuknya istilah “etika” yang
digunakan oleh filsuf esar Yunani Aristoteles (38.322 SM) untuk
menyeut filsafat moral. Jadi jika kita mematasi diri pada asal kata
"etologi" mengacu pada ilmu tentang apa yang harus dilakukan
atau ilmu tentang agaimana erperilaku. Dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia Kuna (Poerwadarminta 1953) seagaimana
dicatat oleh K. Bertens “etologi” diartikan seagai ilmu tentang
prinsip-prinsip etika. Mengacu pada Kamus Bahasa Indonesia
Baru (Departemen Pendidikan Keudayaan 1988) moralitas
dijelaskan dengan memedakan tiga tingkatan: 1) ilmu tentang apa
yang aik dan uruk dalam hak dan kewajian moral (akhlak)); 2)
seperangkat prinsip atau nilai etika; 3) nilai-nilai tentang keaikan
dan kejahatan yang dianut oleh suatu kelompok atau masyarakat.4

2
Ahmad Amin, Etika(Ilmu Akhlak) (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), 14.

3
Salam Burhanuddin, Etika Sosial: Asas Moral dalam Kehidupan Manusia (Jakarta: Rineka Cipta,
1997), hal. 113
4
Ibid.

Halaman 4 dari 19
B. Pengertian Nilai, Moral, dan Norma
1. Nilai adalah hal-hal yang berharga berguna indah memperkaya
intelektual dan menyadarkan manusia akan nilai dan
martabatnya. Nilai yang berasal dari pikiran memiliki fungsi
untuk mendorong dan mengarahkan sikap dan perilaku
masyarakat. Nilai seagai suatu sistem (value system)
merupakan wujud kebudayaan selain sistem sosial dan
bangunan. Ide gagasan konsep dan gagasan tentang sesuatu
adalah ekspresi udaya seagai sistem nilai. Dengan demikian
nilai dapat dialami atau dirasakan dalam konteks udaya atau
sebagai abstraksi budaya. Orang-orang dalam memilih nilai
memiliki anyak jalan ereda yang dapat dibedakan sesuai
dengan tujuan pertimbangan penalaran dan realitasnya.5
Nilai sosial berorientasi kepada hubungan antarmanusia dan
menekankan pada segi-segi kemanusiaan yang luhur,
sedangkan nilai politik berpusat pada kekuasaan serta
pengaruh yang terdapat dalam kehidupan masyarakat maupun
politik. Disamping teori nilai diatas, Prof. Notonogoro membagi
nilai dalam tiga kategori, yaitu sebagai berikut: 6
1) Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi unsur
manusia.
2) Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia
untuk melakukan aktivitas.
3) Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi
rohani manusia. Nilai kerohanian dapat dirinci sebagai
berikut:
4) Nilai kebenaran, yaitu bersumber pada unsur rasio manusia,
budi dan cipta.

5
Kaelan, Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan, Jogjakarta: Paradigma, 1996.
6
Ibid.

Halaman 5 dari 19
5) Nilai keindahan, yaitu bersumber pada unsur rasa atau
intuisi.
6) Nilai moral, yaitu bersumber pada unsur kehendak manusia
atau kemauan (karsa, etika)
7) Nilai religi, yaitu bersumber pada nilai ketuhanan,
merupakan nilai kerohanian yang tertinggi dan mutlak. Nilai
ini bersumber kepada keyakinan dan keimanan manusia
kepada Tuhan.
2. Pengertian Moral
Moralitas berasal dari kata mos (budi pekerti) yang berarti
kesusilaan kebiasaan tingkah laku. Etika adalah ajaran tentang
kebaikan dan kejahatan tentang perilaku dan tindakan manusia.
Seseorang yang mengikuti aturan hukum dan norma yang
berlaku dalam masyarakatnya dianggap tepat dan bertindak
benar secara moral. Jika sebaliknya terjadi orang tersebut
dianggap tidak bermoral.7
Moralitas dapat erupa kaidah dan asas dalam
perwujudannya asas-asas terseut adalah enar aik terpuji dan
mulia. Moralitas dapat erupa kesetiaan ketaatan pada nilai dan
norma. Moralitas dapat diagi menjadi moralitas ilahi atau
agama moralitas filsafat etika moral hukum moral ilmu moral
dan seagainya. Nilai norma dan etika secara ersama-sama
mengatur kehidupan masyarakat dalam segala aspek. 8
3. Pengertian Norma
Kesadaran akan hubungan yang ideal akan
menumbuhkan kepatuhan terhadap peraturan atau norma.
Norma adalah petunjuk tingkah laku yang harus dijalankan
dalam kehidupan sehari- hari berdasarkan motivasi tertentu.
Norma sesungguhnya perwujudkan martabat manusia sebagai
makhluk budaya, sosial, moral dan religi. Norma merupakan
7
Ibid.
8
Ibid.

Halaman 6 dari 19
suatu kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh tata
nilai untuk dipatuhi. Oleh sebab itu, norma dalam
perwujudannya dapat berupa norma agama, norma filsafat,
norma kesusilaan, norma hukum, dan norma sosial. Norma
memiliki kekuatan untuk dapat dipatuhi, yang dikenal dengan
sanksi, misalnya:9
1. Norma agama, dengan sanksinya dari Tuhan
2. Norma kesusilaan, dengan sanksinya rasa malu dan
menyesal terhadap diri sendiri,
3. Norma kesopanan, dengan sanksinya berupa
mengucilkan dalam pergaulan masyarakat,
4. Norma hukum, dengan sanksinya berupa penjara atau
kurungan atau denda yang dipaksakan oleh alat Negara.

9
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia, 1980.

Halaman 7 dari 19
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pendekatan Historis
Pembahasan historis Pancasila dibatasi pada tinjauan terhadap
perkembangan rumusan Pancasila sejak tanggal 29 Mei 1945
sampai dengan keluarnya Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968.
Pembahasan ini didasarkan pada dua pengandaian, yakni: 10
1. Tentang dasar Negara Indonesia merdeka baru dimulai pada
tanggal 29 Mei 1945, saat dilaksanakan sidang Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI);
2. Sesudah Instruksi Presiden No.12 Tahun 1968 tersebut,
kerancuan pendapat tentang rumusan Pancasila dapat
dianggap tidak ada lagi.

Permasalahan Pancasila yang masih terasa mengganjal


adalah tentang penghayatan dan pengamalannya. Hal ini
tampaknya belum terselesaikan oleh berbagai peraturan, seperti
pencabutan Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 tentang (Eka
Prasetya Panca Karsa) tampaknya juga belum diikuti upaya
penghayatan dan pengamalan Pancasila secara lebih ‘alamiah’.
Tinjauan historis Pancasila dalam kurun waktu tersebut
kiranya cukup untuk memperoleh gambaran yang memadai tentang
proses dan dinamika Pancasila hingga menjadi Pancasila otentik.
Hal itu perlu dilakukan mengingat bahwa dalam membahas
Pancasila, kita terikat pada rumusan Pancasila yang otentik dan
pola hubungan sila-silanya yang selalu merupakan satu kebulatan
yang utuh.

10
Notonagoro, Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Jakarta: Cet. 9, Pantjoran Tujuh, Cet. 9,
1980

Halaman 8 dari 19
1. Sidang BPUPKI – 29 Mei 1945 dan 1 Juni 1945 11
Dalam sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, Mr. Muhammad
Yamin menyampaikan telaah pertama tentang dasar negara
Indonesia merdeka sebagai berikut: 1) Peri Kebangsaan; 2) Peri
Kemanusiaan; 3) Peri Ketuhanan; 4) Peri Kerakyatan dan 5)
Kesejahteraan Rakyat. Ketika itu ia tidak memberikan nama
terhadap lima azas yang diusulkannya sebagai dasar negara. Pada
tanggal 1 Juni 1945, dalam sidang yang sama, Ir. Soekarno juga
mengusulkan lima dasar negara sebagai berikut: 1) Kebangsaan
Indonesia; 2) Internasionalisme; 3) Mufakat atau Demokrasi; 4)
Kesejahteraan Sosial; 5) Ketuhanan Yang Berkebudayaan.
Dalam pidato yang disambut gegap- gempita itu, ia mengatakan:
“... saya namakan ini dengan petundjuk seorang teman kita – ahli
bahasa, namanja ialah Pantja Sila ...” (Anjar Any, 1982; 26).

2. Piagam Jakarta 22 Juni 194512


Rumusan lima dasar negara (Pancasila) tersebut kemudian
dikembangkan oleh “Panitia 9” yang lazim disebut demikian karena
beranggotakan sembilan orang tokoh nasional, yakni para wakil
dari golongan Islam dan Nasionalisme. Mereka adalah: Ir.
Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A.A. Maramis, Abikusno
Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, H.A. Salim, Mr. Achmad
Subardjo, K.H. Wachid Hasjim, Mr. Muhammad Yamin. Rumusan
sistematis dasar negara oleh “Panitia 9” itu tercantum dalam suatu
naskah Mukadimah yang kemudian dikenal sebagai “Piagam
Jakarta”, yaitu:
a) Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya;
b) Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab;
c) Persatuan Indonesia;
11
Soeprapto, Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan Tinggi, Jakarta: LP.3 UGM, 1997.
12
Ibid.

Halaman 9 dari 19
d) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan;
e) Mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Dalam sidang BPUPKI tanggal 14 Juli 1945, “Piagam
Jakarta” diterima sebagai rancangan Mukadimah hukum dasar
(konstitusi) Negara Republik Indonesia. Rancangan tersebut –
khususnya sistematika dasar negara (Pancasila) – pada tanggal 18
Agustus disempurnakan dan disahkan oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menjadi:
a. Ketuhanan Yang Maha Esa;
b. Kemanusiaan yang adil dan beradab;
c. Persatuan Indonesia;Ke
d. rakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan;
e. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
sebagaimana tercantum dalam alinea keempat
Pembukaan UUD 1945.

3. Konstitusi RIS (1949) dan UUD Sementara (1950) 13


Dalam kedua konstitusi yang pernah menggantikan UUD
1945 tersebut, Pancasila dirumuskan secara ‘lebih singkat’
menjadi:
1. Pengakuan Ketuhanan Yang Maha Esa;
2. Perikemanusiaan;
3. Kebangsaan;
4. Kerakyatan;
5. Keadilan sosial.
Sementara itu di kalangan masyarakat pun terjadi
kecenderungan menyingkat rumusan Pancasila dengan alasan

13
ibid

Halaman 10 dari 19
praktis pragmatis atau untuk lebih mengingatnya dengan variasi
sebagai berikut:
a. Ketuhanan;
b. Kemanusiaan;
c. Kebangsaan;
d. Kerakyatan atau Kedaulatan Rakyat;
e. Keadilan sosial.

Keanekaragaman rumusan dan atau sistematika


Pancasila itu bahkan tetap berlangsung sesudah Dekrit Presiden
5 Juli 1959 yang secara implisit tentu mengandung pula
pengertian bahwa rumusan Pancasila harus sesuai dengan yang
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.

14
4. Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968
Rumusan yang beraneka ragam itu selain membuktikan
bahwa jiwa Pancasila tetap terkandung dalam setiap konstitusi
yang pernah berlaku di Indonesia, juga memung- kinkan terjadinya
penafsiran individual yang membahayakan kelestariannya sebagai
dasar negara, ideologi, ajaran tentang nilai-nilai budaya dan
pandangan hidup bangsa Indonesia. Menyadari bahaya tersebut,
pada tanggal 13 April 1968, pemerintah mengeluarkan Instruksi
Presiden RI No.12 Tahun 1968 yang menyeragamkan tata urutan
Pancasila seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945,
yaitu:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmad kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.

14
Soeprapto, Ibid.

Halaman 11 dari 19
5. Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

B. Pancasila Sebagai Suatu Sistem Etika


Perlunya Pancasila seagai sistem etika. Etika Pancasila adalah caang

filsafat yang diterjemahkan dari silala Pancasila yang ertujuan mengatur perilaku

kehidupan ermasyarakat erangsa dan ernegara di Indonesia. Oleh karena itu etika

Pancasila mengandung nilai-nilai ketuhanan kemanusiaan persatuan kerakyatan

dan keadilan. Kelima nilai terseut mementuk perilaku angsa Indonesia dalam

segala aspek kehidupannya. Etologi Pancasila dekat dengan konsep etologi atau

etologi keutamaan meskipun dua ciri dominan lainnya deontologis dan teleologis

juga disertakan. Namun moralitas keutamaan menang karena moralitas Pancasila

dinyatakan dalam empat sifat ketuhanan yaitu keijaksanaan kesederhanaan

keteguhan dan keadilan. Keijaksanaan erarti mengamil tindakan sesuai kehendak

untuk tujuan yang aik dan erdasarkan kesatuan kehendak erupa keyakinan yang

ertumpu pada realitas mutlak (Tuhan) dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai

kemanusiaan. kehidupan dan nilai-nilai agama. Cukup atasi diri Anda dalam arti

tidak erleihan dalam hal kenikmatan. Bersikap tegas adalah mematasi diri dalam

arti tidak melampaui atas dengan tetap menghindari penderitaan. Keadilan erarti

menimulkan rasa kewajian terhadap diri sendiri dan orang lain dan kepada Tuhan

dalam huungannya dengan semua yang telah menjadi hak mereka.15

Contoh kasus dalam kegiatan kampanye etis (seharusnya) dapat


ditemukan dalam Pancasila. Di pedesaan orang dapat menjalankan
jalannya sendiri tetapi mereka harus mematuhi prinsip-prinsip berikut:16

15
Ali Mudhofir, Kamus Etika. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. . 2009.
16
Suhadi, ibid.

Halaman 12 dari 19
1) Advokasi dengan tetap menghormati nilai-nilai kemanusiaan
seperti menjaga keselamatan orang lain tidak merugikan orang lain
dan menjaga huungan aik dengan orang lain untuk menjaga
kerukunan sehingga seperti itu konfrontasi tidak akan pernah
terjadi. Ini didasarkan pada prinsip

2) Aturan advokasi harus diikuti karena mengikuti aturan erarti


menjaga kita semua tetap aman. Ini didasarkan pada prinsip
keempat.

3) Tujuan akhir pemilihan dan kampanye adalah kemakmuran dan


kesejahteraan hidup ersama. Oleh karena itu seaiknya hindari hal-
hal yang menjadi penghamat usaha Anda menuju kesejahteraan
ersama. Langkah ini didasarkan pada prinsip kelima.

4) Sadarilah ahwa setiap tindakan tidak aik yang mengatasnamakan


pemilihan atau kampanye tidak dapat dipisahkan dari pengawasan
Tuhan Yang Maha Esa. Ini didasarkan pada prinsip

5) Masalah sentral politik tentu saja tidak teratas pada masalah


kekuasaan. Namun politik adalah tentang seperangkat keyakinan
dalam kehidupan sosial serta erangsa dan ernegara yang
diperjuangkan oleh mereka yang meyakininya. Ini adalah
pemahaman ilmiah tentang "politik". Pemahaman yang tidak ilmiah
tentang "politik" adalah kompetisi berprinsip untuk kekuasaan.
Meski egitu mereka cenderung mengaaikan nilai-nilai kemanusiaan
sehingga mereka memenarkannya dengan segala cara untuk
mencapai tujuan mereka.

C. Analisis

Halaman 13 dari 19
Dalam etika politik disini adalah dalam pengertiannya yang lebih
luas. Bukan hanya berkenaan dengan sistem kemasyarakatan atau
hubungan antar manusia, sebagai misal, yang mencakup kehidupan
bermasyarakat, melainkan juga hubungan kenegaraan, pemerintah yang
menentukan dalam pelaksanaan kebijakan pemerintahan yang tentang
menyangkut berbagai hal tentang kepentingan publik, serta kegiatan-
kegiatan lain dari berbagai lembaga sosial, partai politik dan organisasi
keagamaan yang berkaitan langsung dengan kehidupan kemasyarakatan
dan pemerintahan dengan batasan sesuai dengan konsep-konsep
pemerintahan (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan
(decision making), pembagian (distribution), dan alokasi (allocation),
pengertian itu dapat diperluas lagi ke dalam tatanan manusia sebagai
makhluk yang berpolitik dan dapat disebutkan pula bahwa segala tindakan
manusia atau bahkan manusia itu sendiri tidak akan lepas dari orientasi
dan praktik-praktik politik.

Dengan melihat dua dimensi ini, maka etika politik dalam Pancasila
dapat kita simpulan bahwa dalam pelaksanaan kegiatan berpolitik kita
harus berpedoman pada butir- butir yang terdapat dalam Pancasila,
bagaimana cara kita bersikap dan bertindak antar satu dengan yang lain
sesuai dengan hak dan kewajiban kita. Dengan kata lain bahwa Pancasila
adalah sebagai moral identity kita, baik sebagai warga negara, sebagai
warga masyarakat dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, karena
Pancasila sebagai pandangan hidup dan pedoman hidup kita bersama,
sebagai misal:17

1) Dalam sila ke 1. Ketuhanan Yang Maha Esa, maka dalam kegiatan


politik, kita tidak boleh melupakan apa yang menjadi kewajiban kita
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.

17
Suhadi, 1995, Pendidikan Pancasila, Diktat Kuliah Fakultas Filsafat, Jogjakarta: UGM, 1995.

Halaman 14 dari 19
2) Dalam sila ke 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, maka dalam
kegiatan politik, kita harus mengikuti aturan-aturan yang telah
ditetapkan, bersikap sopan santun sesuai adat istiadat yang
berlaku.

3) Dalam sila ke 3. Persatuan Indonesia, maka dalam kegiatan politik,


kita harus mengutamakan kepentingan Negara dan Masyarakat
daripada kepentingan pribadi atau golongan.

4) Dalam sila ke 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmad


kebijaksanaan dalam permusyawaratan/Perwakilan, maka dalam
kegiatan politik kita selalu berkoordinasi/ musyawarah untuk
mencapai kesepakatan dan selalu bijaksana dalam bersikap dan
bertindak sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, dan

5) Dalam sila ke 5. Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia,


maka dalam kegiatan politik kita harus jujur, adil dan bersifat sosial
tanpa pamrih apapun, kecuali demi kesejahteraan bersama.

Etika Kehidupan Berbangsa merupakan rumusan yang bersumber dari


ajaran agama, khususnya yang bersifat universal, dan nilai-nilai luhur budaya
bangsa yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir,
bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa. Di tengah kompetisi
bangsa-bangsa yang semakin ketat, pembentukan etika kehidupan berbangsa
menjadi sangat penting untuk mendorong terbentuknya etos kerja, kedisiplinan,
dan kepatuhan hukum yang diperlukan bagi pertumbuhan ekonomi dan kemajuan
bangsa.Pembangunan politik hukum masih belum menjangkau aspek etika dan
moralitas dalam sistem hukum Indonesia. Tentu saja hal ini membuat produk
hukum yang dihasilkan hanya mencerminkan kepentingan kelompok atau
golongan elit tertentu.

Halaman 15 dari 19
Etika elit politik dalam politik hukum sangatlah penting mengingat suatu
sikap elit untuk menetapkan kebijakan negara sesuai dengan perkembangan
masyarakat yang kemudian dipilih sesuai dengan prioritas dan juga diselaraskan
dengan Pancasila dan UUD 1945 serta ditetapkan dalam produk hukum. Setiap
elit politik dan pejabat negara untuk bersikap jujur, amanah, siap melayani,
memiliki keteladanan, rendah hati, berjiwa besar dan siap mundur dari jabatan
apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya
bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.

Halaman 16 dari 19
BAB III

PENUTUP

1. Simpulan

Etika politik termasuk lingkup etika sosial yang berkaitan dengan


bidang kehidupan politik, politik juga memiliki makna dan bermacam-
macam kegiatan, dalam sistem politik negara dan politik lainnya harus
berpedoman dan mengacu pada butir-butir yang terdapat dalam
Pancasila, dengan tujuan demi kepentingan Negara dan kepentingan
masyarakat (publik) dan bukan semata-mata untuk kepentingan pribadi
atau individu.

Dalam hubungan dengan etika politik bahwa pengertian politik


harus dipahami secara lebih luas yaitu yang menyangkut seluruh unsur
yang membentuk sesuatu persekutuan hidup yang disebut Negara dan
Masyarakat. Dalam kapasitas berhubungan dengan moral, maka
kebebasan manusia dalam menentukan tindakan harus bisa
dipertanggungjawabkan, sesuai aturan yang telah ditetapkan dan
disesuaikan dengan keadaan masyarakat sekelilingnya.

Sifat serta ciri khas kebangsaan dan kenegaraan Indonesia


bukanlah totalitas individualistis ataupun sosialistis melainkan segala
keputusan kegiatan dan kebijakan serta arah dari tujuan politik harus
dapat dipertanggungjawabkan secara moral.

2. Saran

Pancasila hendaknya disosialisasikan secara mendalam sehingga


dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat serta

Halaman 17 dari 19
berpolitik dalam berbagai segi kegiatan dapat terwujud dengan baik dan
lancar. Untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, pemerintah
selaku pemegang amanat rakyat dan penyelenggara Negara harus
mentaati peraturan yang telah ditetapkan, karena kekuatan politik suatu
negara ditentukan oleh kondisi pemerintah yang absolut, pemerintah yang
didukung penuh oleh rakyat, karena kedaulatan tertinggi berada di tangan
dan rakyat merupakan bagian terpenting dari terbentuknya suatu Negara.

3. Daftar Pustaka

https://online-journal.unja.ac.id/jisip/article/view/8828 diakses pada

09 desember 2021 pukul 22.15 WIB

Ahmad Amin, Etika(Ilmu Akhlak) (Jakarta: Bulan Bintang, 1995),

14.

Salam Burhanuddin, Etika Sosial: Asas Moral dalam Kehidupan

Manusia (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hal. 113

Kaelan, Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan, Jogjakarta:

Paradigma, 1996.

Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan Indonesia, Jakarta:

PT. Gramedia, 1980.

Notonagoro, Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Jakarta:

Cet. 9, Pantjoran Tujuh, Cet. 9, 1980

Soeprapto, Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan Tinggi, Jakarta:

LP.3 UGM, 1997.

Ali Mudhofir, Kamus Etika. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. . 2009.

Halaman 18 dari 19
Suhadi, 1995, Pendidikan Pancasila, Diktat Kuliah Fakultas Filsafat,

Jogjakarta: UGM, 1995.

Halaman 19 dari 19

Anda mungkin juga menyukai