Oleh:
Kelompok 3
1. Liliana Hesti Roa (0120840159)
2. Wulandari Randabunga (2019086016387)
3. Ruth Marpaung (2019086016482)
4. Inggrit Ch. M Palar (2019086016444)
5. Arga Cahyawan (2019086016363)
6. Muhmijan S. Alhamid (0110840234)
7. Charlles Rumakiek (0120840048)
8. Riko F. Panjaitan (2019086016344)
9. Anthon F. Ririhena (2019086016361)
Pembimbing:
dr. Paulina Watofa, Sp.R., MPH
Daftar Isi………………………………………………………………………………1
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………2
1.1 Latar Belakang………………………………………………………………….2
Daftar Pustaka……………………………………………………………………….15
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
sehingga jiwanya dapat terselamatkan dan juga diharapkan dapat
meningkatkan pelayanan kesehatan yang lebih bermutu.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
Pasal 2 UU BPJS, disebutkan BPJS menyelenggarakan sistem jaminan
sosial nasional berdasarkan asas: (1) kemanusian, (2) manfaat, dan (3)
keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Pasal 3 UU BPJS, meyebut
bahwa BPJS bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian
jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap Peserta
dan/atau anggota keluarganya. Dalam Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang
dimaksud dengan “kebutuhan dasar hidup” adalah kebutuhan esensial setiap
orang agar dapat hidup layak, demi terwujudnya kesejahteraan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
5
Pemerintah sebagai penentu kebijakan kesehatan (policy maker), manfaat
yang akan diperoleh di antaranya, membantu penghematan dana dan
memperjelas sistem pelayanan kesehatan.
Masyarakat sebagai pemakai jasa pelayanan akan meringankan biaya
pengobatan karena pelayanan yang diperoleh sangat mudah.
Pelayanan kesehatan (health provider), mendorong jenjang karier tenaga
kesehatan, selain meningkatkan pengetahuan maupun keterampilan, serta
meringankan beban tugas.
Sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang
sesuai dengan kebutuhan medis. Pada pelayanan kesehatan tingkat pertama,
peserta dapat berobat ke fasilitas kesehatan primer seperti puskesmas, klinik,
atau dokter keluarga/praktek mandiri yang tercantum pada kartu peserta BPJS
Kesehatan. Apabila peserta memerlukan pelayanan lanjutan oleh dokter
spesialis, maka peserta dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat kedua atau
fasilitas kesehatan sekunder, dalam hal ini FKTL.
Pelayanan kesehatan di tingkat ini hanya bisa diberikan jika peserta
mendapat rujukan dari fasilitas primer (FKTP). Rujukan ini hanya diberikan
jika pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik dan fasilitas
kesehatan primer yang ditunjuk untuk melayani peserta, tidak dapat
memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan peserta karena
keterbatasan fasilitas, pelayanan, dan atau ketenagaan. Jika penyakit peserta
masih belum dapat tertangani di fasilitas kesehatan sekunder, maka peserta
dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan tersier. Di sini, peserta akan mendapatkan
penanganan dari dokter sub-spesialis yang menggunakan pengetahuan dan
teknologi kesehatan sub-spesialiastik.
6
1. Pelayanan kesehatan tingkat pertama (FKTP) merupakan pelayanan
kesehatan dasar yang diberikan oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama.
2. Pelayanan kesehatan tingkat kedua (FKRTL) sekunder merupakan
pelayanan kesehatan spesialistik yang dilakukan oleh dokter spesialis atau
dokter gigi spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi
kesehatan spesialistik.
3. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga/FKRTL tersier merupakan pelayanan
kesehatan sub-spesialistik yang dilakukan oleh dokter sub-spesialis atau
dokter gigi sub-spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi
kesehatan sub-spesialistik.
Dalam menjalankan pelayanan kesehatan, FKTP dan FKTL wajib
melakukan sistem rujukan dengan mengacu pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Apabila ada peserta yang ingin mendapatkan
pelayanan yang tidak sesuai dengan sistem rujukan maka tidak dapat
ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
Bagi peserta BPJS Kesehatan, pelayanan rujukan dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu:
1. Rujukan horizontal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan
kesehatan dalam satu tingkatan apabila perujuk tidak dapat memberikan
pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan
fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan yang sifatnya sementara atau
menetap.
2. Rujukan vertikal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan
yang berbeda tingkatan, dapat dilakukan dari tingkat pelayanan yang lebih
rendah ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi atau sebaliknya.
7
Perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan
kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau
ketenagaan.
8
Pelayanan kesehatan di faskes primer yang dapat dirujuk langsung ke
faskes tersier hanya untuk kasus yang sudah ditegakkan diagnosis dan rencana
terapinya, merupakan pelayanan berulang dan hanya tersedia di faskes tersier.
3. Rujukan Parsial
Rujukan parsial adalah pengiriman pasien atau spesimen ke pemberi
pelayanan kesehatan lain dalam rangka menegakkan diagnosis atau
9
pemberian terapi, yang merupakan satu rangkaian perawatan pasien di
Faskes tersebut. Rujukan parsial dapat berupa:
Pengiriman pasien untuk dilakukan pemeriksaan penunjang atau
tindakan
Pengiriman spesimen untuk pemeriksaan penunjang
Apabila pasien tersebut adalah pasien rujukan parsial, maka
penjaminan pasien dilakukan oleh fasilitas kesehatan perujuk.
10
Kabupaten (Regency Hospital) yang mampu menampung pelayanan
rujukan dari Puskesmas.
4. Rumah Sakit BPJS Tipe D
Rumah sakit yang hanya bersifat transisi dengan hanya memiliki
kemampuan untuk memberikan pelayanan Kedokteran Umum dan gigi.
Rumah sakit tipe C ini mampu menampung rujukan yang berasal dari
Puskesmas.
11
1. Tidak semua RS Kab/Kota (Sekunder) mampu memberikan pelayanan
pada pasien rujukan dari faskes primer, dikarenakan:
Keterbatasan sarana dan prasaranab
Keterbatasan SDM (dokter ahli)
2. Keterbatasan anggaran pemerintah untuk memenuhi seluruh kebutuhan
standar RS, serta ketergantungan pemerintah daerah terhadap anggaran
pusat
3. Keterbatasan pemenuhan dokter ahli disetiap daerah
4. Semua kasus yang akan dirujuk harus persetujuan BPJS daerah, meskipun
BPJS mengidentifikasi di rujuk, tetapi tidak ada persetujuan maka pasien
tidak dapat dirujuk
5. Dasar 155 penyakit yang harus di tuntaskan di FKTP, perlu ditelaah
kembali atau ada penjelasan lebih lanjut setiap penyakit tersebut., karena
petugas verifikator BPJS melihat hitam putih tidak melihat tingkat kegawat
daruratan masing masing penyakit
6. Tenaga verifikator klaim mayoritas bukan tenaga dokter dan melakukan
intervensi terhadap ranah medis
7. Belum adanya pedoman (petunjuk teknis) proses verifikator sehingga
belum ada keseragaman proses verifikasi antara masing-masing verifikator
8. Belum maksimalnya peran Dewan Pertimbangan medis dalam
penyelesaian dispute claim
9. DPM masih dibentuk oleh BPJS sehingga tidak independen dalam
penyelesaian masalah medis/klaim
10. Faktor pasien dan keluarga untuk menjangkau akses pelayanan ke
fasyankes
12
primer. Sistem rujukan sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.
001/2012 Tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan (PMK).
Untuk menjamin berjalannya sistem rujukan berjenjang BPJS maka
perlu dilakukan langkah-langkah yaitu:
Sosialisasi yang terus-menerus,
Proses pertemuan lintas sector secara proaktif serta
Monitoring dan evaluasi yang juga terus menerus harus dilakukan antar
seluruh stakeholders, guna menanamkan kesadaran masyarakat tentang
sistem rujukan berjenjang.
Masyarakat yang tinggal di kepulauan juga menjadi korban kurangnya
sosialisasi mengenai sistem rujukan pada BPJS. Perjalanan jauh yang telah
ditempuh dengan menyeberangi pulau dan biaya tidak sedikit menjadi sia-sia
karena rumah sakit terpaksa menolak pasien. Pelayanan rujukan juga menjadi
sesuatu yang rumit di daerah seperti Papua. Banyak daerah yang tidak bisa
dijangkau oleh kendaraan darat, sehingga diperlukan heli-ambulans untuk
mengangkut pasien gawat atau pasien rujukan. Namun fasilitas ini tidak
tersedia di BPJS. Tidak jarang juga penolakan oleh rumah sakit dilakukan
karena ruangan benar-benar penuh. Ini tentu saja menyebabkan mutu
pelayanan rumah sakit jadi menurun. Seharusnya pasien tersebut dapat dirujuk
ke rumah sakit lain yang setingkat. Namun ada banyak rumah sakit yang
menolak (swasta) atau belum siap (swasta dan pemerintah) untuk bekerjasama
dengan BPJS.
Masyarakat menilai sistem rujukan terkesan berbelit-belit ini dipicu
oleh keengganan masyarakat untuk antre di layanan primer seperti Puskesmas.
Pembenahan sarana dan prasarana yang memadai di setiap tingkat pelayanan
kesehatan sesuai kebutuhan. Kompetensi petugas kesehatan/dokter perlu
disiapkan dan ditingkatkan sehingga mampu menangani kasus sesuai tingkat
layanannya. Kebijakan sistem rujukan yang ditetapkan harus lebih
komprehensif mencakup jejaring yang melibatkan swasta, dan membuka
13
seluas-luasnya kesempatan bagi klinik yang mau bergabung dengan BPJS
sehingga tidak terjadi antrean di Puskesmas.
Peran dokter dalam sistem rujukan berjenjang adalah memahami
secara jelas mengenai sistem rujukan karena dokter adalah petugas garda
depan yang selalu menjadi tempat bertanya pasien atau masyarakat yang
membutuhkan dan dokter harus selalu meningkatkan kompetensi agar dapat
memberikan pelayanan kesehatan secara professional yang dibutuhkan pasien.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan sistem rujukan perlu dilakukan
secara terus-menerus oleh pemerintah dan organisasi profesi sebagai organ
Pembina, agar menjamin setiap masyarakat mendapatkan layanan kesehatan
yang sesuai dengan haknya.
BAB III
KESIMPULAN
14
juga terus menerus harus dilakukan antar seluruh stakeholders, guna
menanamkan kesadaran masyarakat tentang sistem rujukan berjenjang.
5. Peran dokter dalam sistem rujukan berjenjang adalah memahami secara
jelas mengenai sistem rujukan karena dokter adalah petugas garda depan
yang selalu menjadi tempat bertanya pasien atau masyarakat yang
membutuhkan dan dokter harus selalu meningkatkan kompetensi agar
dapat memberikan pelayanan kesehatan secara professional yang
dibutuhkan pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Asih, E.P. 2014. Seri Buku Saku 2: Paham BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan), iedrich-Ebert-Stiftung,
Marsis, O. I. 2016. Penataan Sistem Pelayanan Kesehatan Rujukan. Jakarta: Ikatan Dokter
Indonesia.
15