Disusun Oleh :
A. Latar Belakang
1
juta orang menderita gagal jantung di Amerika (1,5-2% dari total populasi).
Dengan tingkat insident 550.000 kasus per tahun, dari sejumlah pasien
tersebut, hanya 0,4-2% saja yang mengeluhkan timbulnya gejala
(Irnizarifka, 2011).
2
ditujukan pada pasien gagal jantung kongestif. Salah satu upaya yang
dilakukan untuk menurunkan angka kejadian gagal jantung yaitu dengan
peningkatan pelayanan kesehatan khususnya asuhan keperawatan yang
tepat dalam menangani pasien dengan gagal jantung. Selain itu, perawat
juga perlu untuk mengupdate keilmuan yang dimiliki sehingga dalam
memberikan asuhan keperawatan dapat sesuai dengan keilmuan yang
mutakhir yang diharapkan dapat memberikan dampak lebih berarti bagi
pasien. Maka dari itu, seorang perawat harus mampu memanfaatkan golden
periode dengan baik sehingga tidak terjadi kematian otok jantung yang
berakibat kecacatan dan kematian. Berdasarkan latar belakang di atas dan
perlunya penanganan Congestive Heart Failure (CHF)/ gagal jantung
kongestif segera agar tidak menimbulkan komplikasi lebih lanjut yang
berdampak terhadap kematian.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari congestive heart failure ?
2. Apa saja penyebab dari congestive heart failure ?
3. Apa saja klasifikasi dari congestive heart failure ?
4. Bagaimanakah patofisiologi dari congestive heart failure ?
5. Apa saja manifestasi klinik dari congestive heart failure ?
6. Bagaimana cara encegahan dari congestive heart failure?
7. Bagaimana penatalaksanaan dari congestive heart failure
8. Apa saja pemeriksaan Penunjang yang dapat dilakukan ?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Menjelaskan asuhan keperawatan penyakit Congestive Heart Failure
(CHF) pada Ny. S
2. Tujuan Khusus
a. Menjelaskan konsep medis Congestive Heart Failure (CHF)
meliputi pengertian, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis,
komplikasi, pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan.
3
b. Menjelaskan konsep keperawatan CHF meliputi pengkajian,
diagnosa keperawatan dan intervensi keperawatan.
c. Menjelaskan dan menganalisis asuhan keperawatan pada Ny. S
dengan Congestive Heart Failure (CHF) yang meliputi pengkajian,
diagnosa, intervensi, implementasi, dan evaluasi.
4
BAB II
TINJAUAN TEORI
5
2. Etiologi
Menurut Udjianti (2010) Gagal jantung merupakan hasil dari suatu kondisi
yang menyebabkan overload volume,tekanan dan disfungsi miokard,
gangguan pengisisan, atau peningkatan kebutuhan metabolik.
a. Overload volume.
1) Over transfusion
2) Left-to right shunts.
3) Hipervolemia.
b. Overload
tekanan.
1) Stenosis aorta.
2) Hipertensi.
3) Hipertrofi kardiomiopati.
4) Disfungsi miokard.
5) Kardiomiopati.
6) Miokarditis
7) Iskemik/infark.
8) Disritmia
9) Keracunan
c. Gangguan pengisian.
1) Stenosis mitral
2) Stenosis trikuspidalis
3) Tamponade kardial
4) Perikarditis konstriktif.
d.Peningkatan kebutuhan metabolik.
1) Anemia.
2) Demam.
3) Beri-beri.
4) Penyakit paget’s.
5) Fistula arteriovenous.
6
3. Klasifikasi Gagal Jantung
Menurut Udjianti (2010) ada empat kategori utama yang diklasifikasikan
yaitu sebagai berikut :
a. Backward versus forward failure
Backward failure dikatakan sebagai akibat ventrikel tidak mampu
memompa volume darah keluar, menyebabkan darah terakumulasi dan
meningkatkan tekanan dalam ventrikel, atrium, dan sistem vena baik
untuk jantung sisi kanan maupun jantung sisi kiri. Forward failure
adalah akibat ketidakmampuan jantung mempertahankan curah jantung,
yang kemudian menurunkan perfusi jaringan.karena jantung merupakan
sistem tertutup, maka backward failure dan forward failure selalu
berhubungan satu sama lain.
7
b) Penuruna volume darah ke paru.
a. Low-output versus high-output syndrome
Low output syndrom terjadi bilamana jantung gagal sebagai
pompo, yang mengakibatkan gangguan sirkulasi perifer dan
vasokonstriksi perifer. Bila curah jantung tetap normal atau di atas
normal namun kebutuhan metabolik tubuh tidak mencukupi, maka
high-output sindrom terjadi. Hal ini mungkin disebabkan oleh
peningkatan kebutuhan metabolik, seperti tampak pada hipertiroidisme,
demam dan kehamilan, atau mungkin dipicu oleh kondisi hiperkinetik
seperti fistula arteriovenous, beri-beri, atau penyakit paget’s.
b. Kegagalan akut versus kronik
Manifestasiklinis dari kegagalan jantung akut dan kronis
tergantung pada seberapa cepat sindrom berkembang. Gagal jantung
akut merupakan hasil dari kegagalan ventrikel kiri mungkin karena
infark miokard, disfungsi katup, atau krisis hipertensi. Kejadiannya
berlangsung demikian cepat di mana mekanisme kompensasi menjadi
tidak efektif, kemudian berkembang menjadi edema paru dan kolaps
sirkulasi (syok kardiogenik).
Gagal jantung kronis berkembang dalam waktu yang relatif cukup
lama dan biasanya merupakan hasil akhir dari suatu peningkatan
ketidakmampuan mekanisme kompensasi yang efektif. Biasanya gagal
jantung kronis dapat disebabkan oleh hipertensi, penyakit katup, atau
penyakit paru obstruksi kronis/menahun.
c. Kegagalan ventrikel kanan versus ventrikel kiri
Kegagalan ventrikel kiri adalah merupakan frekuensi tersering dari
dua contoh kegagalan jantung di mana hanya satu sisi jantung yang
dipengaruhi. Secara tipikal disebabkan oleh penyakit hipertensi,
Coronary Artery Disease (CAD), dan penyakit katup jantung sisi kiri
(mitra dan aorta). Kongesti pulmoner dan edema paru biasanya
merupakan gejala segera (onset) dari gagal jantung kiri.
8
Gagal jantung kanan sering disebabkan oleh gagal jantung kiri,
gangguan katup trikupidalis, atau pulmonal. Hipertensi pulmoner juga
mendukung berkembangnya kegagalan jantung kanan, peningkatan
kongesti atau bendungan vena sistemik, dan edema perifer.
1) Gagal jantung kiri
a) Volume dan tekanan ventrikel kiri serta atrium kiri meningkat.
b) Volume vena pulmonal meningkat.
c) Edema paru.
d) Curah jantung menurun sehingga perfusi jaringan menurun.
e) Darah ke ginjal dan kelenjar menurun.
f) Volume darah ke paru menurun.
2) Gagal jantung kanan
a) Volume vena sistemik meningkat.
b) Volume dalam organ/sel meningkat.
c) Hati membesar.
d) Limpa membesar.
e) Dependen edema.
f) Hormon retensi air dan Na meningkat sehingga reabsorbsi
meningkatan.
g) Volume cairan ekstrasel meningkat.
h) Volume darah total meningkat.
4. Patofisiologi
Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan
kontraktilitas jantung yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari
curah jantung normal. Bila curah jantung berkurang, sistem saraf simpati
akan mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan curah jantung
berkurang, sistem saraf simpati akan mempercepat frekuensi jantung untuk
mempertahankan curah jantung. Bila mekanisme ini gagal, maka volume
sekuncuplah yang harus menyesuaikan. Volume sekuncup adalah jumlah
darah yang dipompa pada setiap kontraksi, yang dipengaruhi oleh 3 faktor
yaitu preload (jumlah darah yang mengisi jantung), kontraktilitas
9
(perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada tingkat sel yang
berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar kalium),
dan afterload (besarnya tekanan ventrikel yang harus dihasilkan untuk
memompa darah melawan perbedaan tekanan yang ditimbulkan oleh
tekanan arteriol). Apabila salah satu komponen itu terganggu maka curah
jantungakan menurun.
Kelainan fungsi otot jantung disebabkan karena aterosklerosis
koroner,hipertensi arterial dan penyakit otot degeneratif atau inflamasi.
Aterosklerosis koroner mengakibatkan disfungsi miokardium karena
terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis
(akibat penumpukan asam laktat). Infark miokardium biasanya mendahului
terjadinya gagal jantung. Hipertensi sistemik atau pulmonal (peningkatan
afterload) meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya
mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung. Efek tersebut (hipertrofi
miokard) dapat dianggap sebagai mekanisme kompensasi karena akan
meningkatkan kontraktilitas jantung. Tetapi untuk alasan tidak jelas,
hipertrofi otot jantung tadi tidak dapat berfungsi secara normal, dan
akhirnya akan terjadi gagal jantung.
Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif berhubungan
dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak serabut
jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun. Ventrikel kanan dan kiri
dapat mengalami kegagalan secara terpisah. Gagal ventrikel kiri paling
sering mendahului gagal ventrikel kanan. Gagal ventrikel kiri murni
sinonim dengan edema paru akut.Karena curah ventrikel berpasangan atau
sinkron, maka kegagalan salah satu ventrikel dapat mengakibatkan
penurunan perfusi jantung (Oktavianus & Febriani, 2014)
10
5. Pathway
Beban jantung meningkat Gagal pompa ventrikel kanan Tekanan diastolik naik Bendungan atrium
CHF
Gagal jantung kanan Gagal pompa ventrikel kiri Bendungan kanan
vena hepar
Forward failure Backward failure
sistemik hepatomegali
Suplai darah jar.menurun Suplai O2 otak menurun Renal bov menurun Tek.kapiler paru meningkat
anaerob sinkup
KAA meningkat
Edema paru
Menurut Oktavianus & Febriana (2014) tanda dan gejala dari congestive
hearth failure yaitu :
2) Batuk
pulmonal).
3) Mudah lelah.
4) Insomnia.
12
b. Gagal jantung kanan.
Kongestif jaringan perifer dan visceral menonjol. Karena sisi kanan jantung tidak
berat badan.
3) Hepatomegali dan nyeri tekanan pada kuadran kanan atas abdomen terjadi akibat
4) Anorexia dan mual terjadi akibat pembesaran vena dan stasis vena dalam rongga
abdomen.
5) Nokturia (Curah jantung membaik sehingga perfusi renal meningkat dan terjadi
diuresis).
6) Kelemahan
adekuat
7. Pencegahan
Penyebab gagal jantung terutama berasal dari penyakit jantung, maka pencegahannya
merupakan tahap pertama pencegahan gagal jantung, pencegahan atau pengobatan dini
penyakit jantung seperti CAD, endokarditis infeksi, perikarditis konstriktif, hipertensi, dan
penyakit jantung reumatik adalah sangat penting. Bagaimanapun, karena satu dan lain hal
penyakit jantung tidak selalu dapat dicegah, maka tahap berikutnya adalah menunda
serangan mendadak gagal jantung. Hal ini meliputi manajemen diet seperti diet rendah
garam lemak atau diet untuk menurunkan berat badan, program penghentian merokok,
menyusun program aktivitas/latihan dan pengobatan dini terhadap infeksi (Udjianti, 2010).
8. Penatalaksanaan
Menurut Oktavianus & Febriana (2014) penatalaksanaan pada pasien dengan gagal jantung
dibagi menjadi penatalaksanaa farmakologis dan nonfarmakologis.
a. Terapi farmakologis :
1) Glikosida jantung.
tekanan vena dan volume darah, peningkatan diuresis, dan menguranggi edema.
2) Terapi diuretik.
Diberikan untuk memacu eksresi natrium dan air melalui ginjal. Penggunaan harus
3) Terapi vasodilator.
dan peningkatan kapasitas vena sehingga tekanan pengisisan ventrikel kiri dapat
diturunkan. Keperawatan.
b. Terapi nonfarmakologi :
2) Membatasi cairan.
Mengurangi beban jantung dan menghidari kelebihan volume cairan dalam tubuh.
3) Manajemen stress.
Respon psikologi dapat mempengaruhi peningkatan kerja jantung.
dibatasi.
6) Menghindari alkohol.
9. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Udjianti (2010), beberapa pemeriksaan untuk menguatkan uji diagnostik
congestive hearth failure antara lain :
a. Hitung sel darah lengkap : anemia berat/anemia gravis atau polisitemia vera.
b. Hitung sel darah putih : lekositosis (endokarditis dan miokarditis) atau keadaan
infeksi lain.
c. Analisa gas darah (AGD) : menilai derajat gangguan keseimbangan asam basa baik
f. Tes fungsi ginjal dan hati : menilai efek yang terjadi akibat CHF terhadap fungsi hati
dan ginjal.
hipertrofi ventrikel.
kemampuan kontraksi.
i. Rontgen toraks : untuk menilai pembesaran jantung (Cardio Thoraxic Ratio/CTR)
1. Pengkajian
Menurut muttaqin (2009), fokus pengkajian pada pasien dengan gagal jantung kongestif
antara lain:
a. Pengkajian primer.
1) Airway.
obstruksi jalan nafas, dan adanya benda asing. Pada klien yang dapat berbicara dapat
dilakukan jalan nafas bersih. Dilakukan pula pengkajian adanya suara nafas
2) Breathing.
Frekuensi nafas, apakah ada penggunaan otot bantu pernafasan, retraksi dinding
dada, dan adanya sesak nafas. Palpasi pengembangan paru, auskultasi suara nafas,
kaji adanya suara nafas tambahan seperti ronchi, wheezing, dan kaji adanya trauma
pada dada.
3) Circulation
Dilakukan pengkajian tentang volume darah dan cardiac output serta adanya
4) Disability.
Nilai tingkat kesadaran serta ukur dan reaksi pupil.
b. Pengkajian sekunder.
Menurut Udjianti (2010) fokus pengkajian pada pasien gagal jantung kongestif yaitu:
1) Keluhan.
beraktivitas, batuk (hemoptoe), tidur harus pakai bantal lebih dari dua buah.
f) Insomnia.
2) Riwayat penyakit.
Hipertensi renal angina,infark miokard kronis, diabetes melitus, bedah jantung, dan
disritmia.
3) Riwayat diet.
4) Intake gula, garam, lemak, kafein, cairan, alkohol. Merokok atau tidak( cara/jumlah
5) Riwayat pengobatan.
Toleransi obat, obat-obat penekanan fungsi jantung, steroid, jumlah cairan per-IV,
c. Pemeriksaan fisik
Menurut Udjianti (2010) fokus pengkajian fisik pada pasien gagal jantung
kongestif yaitu:
1) Evaluasi status jantung : berat badan, tinggi badan, kelemahan, toleransi aktivitas,
nadi perifer, displace lateral PMI/iktus kordis, tekanan darah, mean arterial pressure,
4) Evaluasi faktor stress : menilai insomnia, gugup atau cemas/takut yang kronis.
7) Capilary Refill Time (CRT) >2 detik, suhu akral dingin, diaforesis, warna kulit
2. Diagnosa keperawatan
Menurut Udjianti (2010), yang sudah di sesuaikan dengan Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia (SDKI, 2016), didapatkan fokus diagnosa pada gagal jantung kongestif antara
lain:
c. Resiko terhadap atau kelebihan volume cairan edema berhubungan dengan peningkatan
filtrasi glomerulus.
d. Perubahan pola tidur berhubungan dengan nyeri, sesak nafas, dan lingkungan rumah
f. Resiko terhadap defisit volume cairan berhubungan dengan efek terapi diuretik yang
berlebih.
3. Intervensi
keperawatan
tujuan, kriteria hasil dan rencana tindakan. Intervensi menurut udjianti (2010) yang sudah di
a. Penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan penuruna curah jantung, kongesti vena
1) Data penunjang.
a) Subyektif.
2) Tujuan.
Perfusi jaringan, curah jantung adekuat, dan tanda-tanda dekompensasi kordis tidak
berkembang.
3) Kriteria hasil.
a) Tekanan darah normal, MAP normal, denyut nadi kuat dan frekuensi normal,
irama jantung sinus, pola nafas efektif, bunyi napas normal, BJ tunggal,
4) Intervensi
b) Bed res total dan mengurangi aktivitas yang merangsang timbulnya respons
c) Monitor tanda-tanda vital dan denyut apikal setiap jam (pada fase akut), dan
i) Lakukan latihan gerakan secara pasif (bila fase akut berlalu) dan tindakan lain
j) Monitor serum digitalis secara periodik, dan efek samping obat-obatan serta
k) Kolaborasi tim gizi untuk memberikan diet rendah garam, rendah protein, dan
l) Kolaborasi tim medis untuk terapi dan tindakan (glikosid jantung, inotropik atau
toraks (bila ada indikasi), kateterisasi jantung (flow-direct catheter) bila ada
indikasi, pasang pacemaker (bila ada disritmia maligna atau AV block total)).
jantung, atau perkembangan toksisitas digitalis dan segera laporkan kepada tim
medis.
b. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan akumulasi cairan dalam alveoli paru
2) Data penunjang
a) Subjektif.
b) Objektif
Agitasi atau bingung, sianosis, wheezing, rales/ronkhi di basal paru, retraksi
3) Tujuan.
oksigenasi jaringan.
4) Kriteria hasil
5) Intervensi
b) Bed res total dan batasi aktivitas selama periode sesak napas, bantu mengubah
posisi.
c) Auskultasi suara napas dan catat adanya rales (crackles) atau ronkhi di basal
paru wheezing.
d) Observasi kecepatan pernapasan dan kedalaman (pola napas) tiap 1-4 jam.
h) Kolaborasi tim medis untuk terapi dan tindakan (pemberian oksigen nasal kanul
2-4 liter per menit (kecuali bila klien mengalami hipoksia kronis) kemudian 2
liter per menit. Observasi reaksi klien dan efek pemberian oksigen (nilai kadar
i) Monitor efek yang diharapkan efek samping dan toksisitas dari terapi yang
diberikan. Cek kadar elektrolit, laporkan kepada tim medis bila ditemukan tanda
j) Kolaborasi tim gizi untuk memberikan diet jantung (rendah garam rendah
lemak).
c. Resiko terhadap atau kelebihan volume cairan: edema berhubungan dengan preload,
1) Data penunjang.
a) Subjektif.
b) Objektif.
2) Tujuan.
jaringan.
3) Kriteria Hasil.
a) CVP,PWP, tekanan darah, denyut nadi/jantung, berat badan dalam batas normal,
edema/asited berkurang/hilang, pola napas normal, suara napas normal , hati dan
limpa normal.
4) Intervensi.
b) Monitor denyut jantung, mur-mur, palpasi iktus kordis, lebar denyut apex dan
disritmia.
e) Observasi pembesaran hati dan limfa (catat adanya mual, muntah dan distensi).
karbonat.
h) Observasi input dan output cairan dan produksi urine perjam atau per24jam.
i) Kolaborasi tim medis untuk terapi dan tindakan ( diuretik, cek kadar elektrolit
1) Data penunjang.
b) Mata klien sayu, wajah tampak layu, lelah/gelisah/kesakitan, jumlah jam tidur
2) Tujuan.
kuantitas).
3) Kriteria hasil.
b) Jumlah jam tidur normal, wajah klien segar, dan nyeri/sesak napas hilang.
4) Intervensi.
istirahat/tidur klien.
1) Data penunjang.
a) Subjektif.
Keluhan tidak nyaman di area yang tertekan, berkeringat banyak, tidak mampu
b) Objektif.
Edema, bed rest, kulit lembap, diaforesis, mobilitas pasif, tanda vital abnormal,
2) Tujuan.
3) Kriteria hasil.
a) Subjektif.
Keluhan hilang/berkurang.
b) Objektif.
kemampuan, tanda-tanda vital dalam batas normal, alas tidur bersih dan kering,
4) Intervensi.
a) Cek perubahan warna kulit atau tanda peradangan kulit di area tonjolan tulang.
d) Ganti line bila basah atau lembap dan kototr. Ganti baju klien bila berkeringat
banyak.
e) Bantu mobilitas ringan sesuai kemampuan klien dan upayakan ambulasi miring
ke kiri, terlentang dan miring ke kanan setiap 2 jam sekali secara terjadwal.
f. Resiko terhadap defisit volume cairan berhubungan dengan efek terapi diuretik yang
berlebihan.
1. Data penunjang.
b) Produksi urine per jam atau per 24 jam, tanda-tanda vital, asupan cairan/24 jam,
kadar elektrolit darah, berat badan, jenis dan dosis diuretik yang diberikan serta
waktu pemberian.
2. Tujuan.
3. Kriteria hasil.
a) Tanda-tanda vital, berat badan, produksi urin per jam atau 24 jam dan kadar
elektrolit dalam batas normal, asupan cairan adekuat, dosis diuretik terkontrol.
4. Intervensi.
1) Data penunjang.
a) Mengeluh lelah, merasa lemah, sesak saat atau setelah aktivitas, merasa tidak
2) Tujuan
3) Kriteria hasil
a) objektif
frekuensi jantung dan tekanan darah tidak megalami peningkatan saat atau
4) Intervensi
beraktivitas.
4. Implementasi
Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan. Tahap ini muncul jika
5. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap kelima dari proses keperawatan. Pada tahap ini perawat
membandingkan hasil tindakan yang telah dilakukan dengan kriteria hasil yang sudah
ditetapkan serta menilai apakah masalah yang terjadi sudah teratasi seluruhnya, hanya
sebagian, atau bahkan belum teratasi semuanya (Debora, 2011).
ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA Ny. S
DENGAN CHF (CONGESTIVE HEART FAILURE)
DI RSUD MOEWARDI SURAKARTA
A. Pengkajian
1. Biodata
a. Identitas pasien :
1) Nama : Ny. S
2) Jenis kelamin : perempuan
3) Alamat : Surakarta
4) Umur : 58 tahun 5 bulan 26 hari
5) Agama : islam
6) Status : menikah
7) Pendidikan : SMA
8) Pekerjaan : IRT
b. Identitas penanggung
jawab
1) Nama : Nn. R
2) Jenis kelamin : perempuan
3) Umur : 25 tahun
4) Pendidikan : SMA
5) Pekerjaan : Swasta
6) Alamat : Surakarta
7) Hubungan : Anak
2. Keluhan Utama
Pasien mengalami penurunan kesadaran
3. Riwayat Penyakit
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien masuk IGD pada tanggal 26 Juni pukul 07.00 WIB dengan keluhan nyeri
dada sebelah kiri, dada berdebar-debar, sesak, demam, dan pusing. Dilakukan
pengkajian tanda-tanda vital dengan TD : 120/60 mmHg, N : 122 x/menit, RR :
20x/menit S: 37,80C. pasien tampak pucat dan lemas pengkajian nyeri P : Nyeri saat
beraktivitas yang berat, Q : Nyeri seperti ditusuk tusuk jarum, R : Nyeri dada sebelah
kiri, S : Skala nyeri 5, T : Nyeri dirasakan terus menerus, GCS E 4V5M4. Saat dilakukan
pemeriksaan EKG memberikan gambaran sinus takikardi. Pasien mendapatkan terapi
infus RL 10 tpm, terpasang NRM 8lpm.
Pada pukul 10.00 WIB pasien dipindahkan ke ruangan, dan dilakukan pengkajian
tanda-tanda vital TD : 100/60 mmHg, N : 120x/menit, RR : 26x/menit S: 37,8 0C. pasien
masih mengeluh nyeri pada dada sebelah kiri dan sesak, GCS E4V5M4. Pasien
mendapatkan terapi obat Infus line 1 RL dengan infuse pump 2000 cc/24 jam,
ceftriaxon 2 gr/24 jam, pantoprazol 40 gr/24 jam, ondancentron 4 mg/12 jam,
furosemid 10 mg/12 jam dan terpasang NRM 8lpm.
Pada pukul 22.00 pasien mengalami penurunan kesadaran dengan Keadaan umum
lemah, kesadaran somnolen GCS E2M3V3 lalu pasien dipindahkan ke ruang ICU
didapatkan pengkajian TD : 100/60 mmHg, N : 150x/menit, RR : 26x/menit S: 37,8 0C,
SPO2 99%. Gambaran EKG menunjukkan SVT (Supraventrcular Takikardi) lalu pasien
diberikan terapi internal ceftriaxon 2 gr/24 jam, pantoprazol 40 gr/24 jam,
ondancentron 4 mg/12 jam, furosemid 10 mg/12 jam, infuse line 1 assering dengan
infuse pump 2000cc/24 jam, line 2 D5%+amiodaron 150 mg (sebanyak 50 cc) dengan
syring pump 20 ml/jam, serta obat oral potassium chloride 1×600 mg, Clopidogrel
1×75 mg, Tralit 1×1.
Keterangan
0 = tidak ada
kontraksi 1 = hanya
kontraksi
2 = hanya bergeser
3 = hanya bisa mengangkat tetapi tidak mampu menahan gravitasi
4 = mampu melawan gravitasi tetapi tidak mampu menahan
beban 5 = mampu melawan beban
6. Sistem Endokrin
1) Pembesaran Tyroid tidak ada
2) Tidak ada pembesaran kelenjar getah benik
3) Pasien tidak mengalami hipoglikemia ataupun hiperglikemia
7. Personal Hygiene dan kebiasan
Personal Hygiene Sebelum sakit : pasien mandi 2 kali sehari, mencuci rambut 3 hari sekali
Selama sakit : pasien sibin 1 kali sehari, pasien tidak bisa mencuci rambut. Pasien
membutuhkan bantuan dalam melakukan personal hygiene
8. Pengkajian Psikososial dan Spiritual
a. Psikologi
1) Status emosi : suasana pasien saat ini sedih dan pasien hanya bisa pasrah dan terus
berusaha untuk kesembuhannya
2) Konsep diri : menurut keluarga pasien adalah orang yang baik dan sangat disayang
keluarga. Hal yang paling disukai adalah ketika berkumpul bersama keluarga.
b. Hubungan Sosial Keluarga mengatakan teman terdekat adalah keluarganya. Keluarga
yang sangat dipercaya. Pasien mempunyai hubungan yang baik kepada tetangga di
sekitar rumah pasien.
c. Spiritual Pasien beragama Islam. Pasien mengatakan sehat dan sakit yang member
adalah Allah SWT dan tetap beribadah di saat sakit seperti ini
9. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium
Tanggal 11 Mei 2020
Pemeriksaan Hasil Satuan Normal
HEMATOLOGI
Leukosit 8,21 Ribu/mm3 4,2 – 9,3
Eritrosit 6,20 Juta/μL 4,0 – 5,0
Hemoglobin 15,2 g/dl 12,0 – 15,0
Hematokrit 47,8 % 37 – 43
Trombosit 95 Ribu/μL 150 – 450
MPV 8,08 Fl 7,2 – 11,1
RDW 13,0 % 11,5 – 14,5
MCV 77,0 Fl 80 – 99
MCH 24,5 Fl 27 – 31
MCHC 31,8 gr/l 33,0 – 37,0
Neutrofil 74,2 % 50 – 70
Limfosit 12,8 % 20 – 40
Monosit 11,3 % 2–8
Eosinofil 0,0 % 2–4
Basofil 1,7 % 0–1
b. Radiologi
Kesimpulan :
Adanya cardiomegali dan pulmonary edema
c. EKG
Gambaran EKG pada pasien menunjukan gambaran SVT (Supraventrikuler Takikardi)
B. ANALISA DATA
=2750cc-287,5cc = 2462,5
cc (positif)
3 DS Pola Nafas tidak Hambatan upaya
a. Keluarga pasien efektif nafas (nyeri saat
mengatakan mengalami bernafas)
sesak nafas
b. Keluarga mengatakan
pasien sering mengeluh
pusing
DO
a. Pasien Dyspneu
b. Keadaan umum lemah
c. TTV
TD : 100/70 mmHg
N : 150x/mnt
RR : 26 x/mnt
d. Suara nafas ronchi
e. Pasien terpasang NRM 8
lpm
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan afterload
2. Hipervolemi berhubungan dengan Gangguan mekanisme regulasi
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas (nyeri saat bernafas)
4. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen
D. INTERVENSI
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan afterload
Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
(L.02008) (I.02075)
Setalah dilakukan tindakan Perawatan jantung
keperawatan selama 3 x 8 jam Observasi
diharapkan curah jantung
1) Identifikasi tanda/gejala primer
meningkat dengan kriteria hasil :
penurnan curah jantung (meliputi
1) Kekuatan nadi perifer
dyspnea, kelelahan, edema, ortopnea,
meningkat,
paroxysmal nocturnal dyspnea,
2) Palpitasi menurun
peningkatan CVP)
3) Bradikardi menurun 2) Monitor tekanan darah
4) Takikardi menurun 3) Monitor saturasi oksigen
5) Lelah menurun 4) Monitor keluhan nyeri dada
6) Dipsnea menurun 5) Monitor EKG 12 sedapan
6) Monitor aritmia (kelainan irama dan
7) Oliguria menurun
frekuensi )
8) Sianosis menurun Terapeutik
9) Batuk menurun 1) Posisikan pasien semi- fowler atau
fowler dengan kaki di bawah atau
10) Tekanan darah cukup
posisi nyaman
membaik
2) Berikan terapi relaksasi untuk
mengurangi stress, jika perlu
Edukasi
1) Anjurkan beraktivitas fisik sesuai
toleransi
2) Anjurkan beraktivitas fisik secara
bertahap
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian
antiaritmia, jika perlu
2) Rujuk ke program rehabilitasi jantung
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas (nyeri saat bernafas)
Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
(L.01004) (I.01004)
Setalah dilakukan tindakan Observasi
keperawatan selama 3 x 8 jam 1.Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman,
diharapkan pola napas membaik usaha napas)
dengan kriteria hasil 2.Monitor bunyi napas tambahan (mis.
1) Dispnea menurun Gurgling, mengi, weezing, ronkhi kering)
2) penggunaan otot bantu napas Terapeutik
menurun 1.Pertahankan kepatenan jalan napas dengan
3) pemanjangan fase ekspirasi head-tilt dan chin-lift (jaw-thrust jika curiga
menurun trauma cervical)
4) kedalaman napas membaik 2.Posisikan semi-Fowler atau Fowler
5) Tekanan ekspirasi dan Berikan minum hangat
inspirasi membaik 3.Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
6) frekuensi napas membaik Edukasi
1.Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika
tidak kontraindikasi.
2.Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
1.Kolaborasipemberian bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik, jika perlu.
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
(L.05047) (I.05178)
Setelah dilakukan tindakan Observasi
keperawatan selama 3 x 8 jam 1) Identifkasi gangguan fungsi tubuh yang
diharapkan masalah intoleransi mengakibatkan kelelahan
aktivitas meningkat dengan 2) Monitor kelelahan fisik dan emosional
kriteria hasil :. 3) Monitor pola dan jam tidur
1) Berpartisipasi dalam aktivitas 4) Monitor lokasi dan ketidaknyamanan
fisik tanpa disertai selama melakukan aktivitas
peningkatan tekanan darah, Terapeutik
nadi dan RR
2) TTV dalam rentang normal 1) Sediakan lingkungan nyaman dan
3) TD (sistol 120-130 rendah stimulus (mis. cahaya, suara,
mmHG,diastol 60-80 mmHG) kunjungan)
4) N: 60-100x/menit 2) Fasilitas duduk di sisi tempat tidur, jika
5) RR : 16-20x/menit tidak dapat berpindah atau berjalan
6) S : 36,5-37,5 C
7) Mampu berpindah tanpa atau Edukasi
dengan bantuan alat 1) Anjurkan tirah baring
8) Mampu melakukan aktivitas 2) Anjurkan melakukan aktivitas secara
sehari-hari (ADLs) secara bertahap
mandiri 3) Anjurkan menghubungi perawat jika
tanda dan gejala kelelahan tidak
berkurang
4) Ajarkan strategi koping untuk
mengurangi kelelahan
Kolaborasi
Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara
meningkatkan asupan makanan
2. Mempertahakan kepatenan
jalan nafas
Hasil:
OPA terpasang
6. Kolaborasi pemberian
Furosemide 10 mg
10.00 Hasil :
Furosemid masuk melalui iv
Jurnal ke 1
Kasron*
Engkartini**
Abstrak
Oedema kaki merupakan salah satu gejala pada pasien CHF. Oedema kaki dapat menyebabkan
penurunan kualitas hidup, ketidaknyamanan, perubahan postur tubuh, menurunkan mobilitas dan
meningkatkan resiko jatuh, gangguan sensasi di kaki dan menyebabkan perlukaan di kulit.
Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh pijat kaki terhadap penurunan oedema kaki pada
pasien CHF. Metode penelitian menggunakan quasi-experiment dengan pendekatan pre-post test
without control group. Responden penelitian adalah pasien CHF yang mengalami oedema kaki,
pemilihan responden menggunakan non-probability sampling dengan metode accidental
sampling. Responden diukur lingkar oedema pada lingkar angkle, instep dan MP-Joint
menggunakan metline pada sebelum intervensi, hari pertama, kedua dan ketiga. Analisis statistik
menggunakan wilcoxon test. Sejumlah 13 responden memenuhi kriteria penelitian. Pada kaki
kanan lingkar angkle pre: 27,7±1,8, post 1: 27,6±1,8, post 2 27,5±1,7, post 3: 27,2±1,7, lingkar
instep pre: 27,6±1,7, post 1:
27,6±1,8, post 2: 27,2±1,7, post 3: 26,9±1,7, lingkar MP-joint pre: 27,0±1,6, post 1: 27,0±1,6, post
1: 27,0±1,6, post 2: 26,7±1,7, post 3: 26,3±1,7. Kaki kiri lingkar angkle pre: 27,6±1,8, post 1:
27,6±1,8, post 2: 27,3±1,8, post 3: 27,0±1,8, lingkar instep pre: 27,6±1,7, post 1: 27,5±1,7, post 2:
27,2±1,7, post 3: 26,8±1,7, lingkar MP-joint pre: 27,0±1,6, post 1: 26,9±1,8, post 2: 26,5±1,8,
post 3: 26,2±1,8. Hasil analisis menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna lingkar
oedema pada kaki kanan setelah hari kedua dan ketiga dengan p-value <0,001. Kesimpulan
penelitian adalah terdapat perbedaan lingkar oedema angkle, instep, dan MP-joint pada hari
kedua dan ketiga setelah pemijatan kaki pada pasien CHF yang mengalami oedema kaki. Perlu
penelitian lanjutan untuk penatalaksanaan oedema kaki pada pasien CHF yang mengalami
oedema kaki.
sebagian besar adalah diabetes, hipertensi dan penyakit arteri koronaria. Gejala yang muncul
pada pasien CHF adalah sesak nafas, kelelahan, kelemahan, pusing dan oedema kaki. Pada pasien
CHF yang mengalami oedema kaki di RSUD Cilacap belum dilakukan penatalaksanaan untuk
mengurangi gejala oedema kaki tersebut. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pijat
kaki terhadap penurunan oedema kaki pada pasien CHF.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di RSUD Cilacap, ruang penyakit dalam. Jenis penelitian quasi
experimental, dengan pendekatan pre-posttest without control group design. Metline digunakan
untuk mengukur lingkar FO yaitu pada lingkar Ankle, lingkar Instep, lingkar sendi MP
(metatarsal- phalangs-joint). Pengambilan data dengan mengukur lingkar FO setelah tindakan
pada hari ke-1,2 dan 3. Intervensi pemijatan selama 3 hari dengan durasi ± 20 menit.
Pengambilan sample dengan metode accidental sampling dengan cara memilih semua individu
yang ditemui selama 1 bulan berjalan dan sesuai dengan kriteria yang sudah ditetapkan yaitu: 1).
Pasien gagal jantung stabil yang ditandai dengan: tidak ada nyeri dada, tidak sesak nafas saat
istirahat, denyut nadi istirahat 50-90x/menit dan reguler, tekanan darah sistolik 100-150 mmHg,
dan tekanan darah diastolik 60- 90 mmHg, 2). Tidak ada kontraindikasi pemijatan, memar,
radang, luka, demam, infeksi kulit, 3). Bersedia menjadi responden. Sedangkan kriteria eksklusi
sampel dalam penelitian ini adalah: 1). NYHA fungsional kelas IV, 2). Aritmia pada saat
istirahat, 3). Denyut jantung saat istirahat lebih dari 100x/menit. Analisis menggunakan Wilcoxon
test pada setiap pengukuran.
Jurnal Ilmu Keperawatan Medial Bedah 2 (1), Mei 2019, 1-54
2338-2058 (print), 2621-2986 (online)
Dari tabel 1 diketahui umur responden rata-rata 54,23 tahun jenis kelamin sebagian besar
laki-laki pendidikan sebagian besar, dan sebagian besar pada grade NYHA III.
Data lingkar oedemaa dilakukan uji normalitas menggunakan Uji Shapiro Wilk
menunjukan semua data tidak berdistribusi normal. Sehingga analisis bivariat antar pengukuran
dapat menggunakan uji Wilcoxon.
Jurnal Ilmu Keperawatan Medial Bedah 2 (1), Mei 2019, 1-54
2338-2058 (print), 2621-2986 (online)
Tabel 2
Analisis Bivariat Antar Pengukuran Lingkar Oedema Kaki Pasien CHF Yang
Mengalami Oedema Kaki
No Kaki Lingkar Pengukuran Nilai p-value*
1 Kan n Angk Pre 0 27,7±1,8
0,790
Post 1 27,6±1,8
<0,001
Post 2 27,5±1,7
<0,001
Post 3 27,2±1,7
Instep Pre 0 27,6±1,7
0,082
Post 1 27,6±1,8
<0,001
Post 2 27,2±1,7
<0,001
Post 3 26,9±1,7
MP-Join Pre 0 27,0±1,6
0,165
Post 1 27,0±1,6
<0,001
Post 2 26,7±1,7
<0,001
Post 3 26,3±1,7
2 Kiri Angk Pre 0 27,6±1,8
0,018
Post 1 27,6±1,8
<0,001
Post 2 27,3±1,8
<0,001
Post 3 27,0±1,8
Instep Pre 0 27,6±1,7
0,082
Post 1 27,5±1,7
<0,001
Post 2 27,2±1,7
<0,001
Post 3 26,8±1,7
MP-Join Pre 0 27,0±1,6
0,249
Post 1 26,9±1,8
<0,001
Post 2 26,5±1,8
<0,001
Post 3 26,2±1,8
Ket:Pre 0: pengukuran sebelum perlakuan, Post 1: pengukuran setelah perlakuan hari pertama, Post
2: pengukuran setelah perlakuan hari kedua, Post 3: pengukuran setelah perlakuan hari ketiga, *: Uji
wilcoxon test, bermakna pada p-value <0,05.
Jurnal Ilmu Keperawatan Medial Bedah 2 (1), Mei 2019, 1-54
2338-2058 (print), 2621-2986 (online)
Penatalaksanaan pada pasien CHF sangat kompleks, semakin banyak komplikasi yang
muncul pada pasien maka akan semakin banyak intervensi yang perlu diberikan (Chatterjee,
2002). Oedema kaki merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien CHF. (AuCoin, 2011)
Oedema kaki sendiri merupakan salah satu tanda bahwa penyakit CHF yang diderita oleh pasien
sudah dalam kondisi komplikasi lanjut dan berlangsung lebih lama sehingga sistem pompa
jantung mengalami penurunan (Rahnavard et al., 2014; Trayes, Studdiford, Jefferson, Tully, &
Clinic, 2013).
Oedema kaki pada pasien CHF lebih sering terjadi pada pasien dengan kelemahan jantung
akibat adanya akumulasi cairan di kaki dan tungkai yang di akibatkan oleh ekspansi volume
interstisial atau peningkatan volume ekstraseluler (Cho & Atwood, 2002). Cairan tubuh yang
berada di ekstraseluler mengalami peningkatan jumlahnya, yang diakibatkan oleh perubahan
dalam keseimbangan tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik. Akibat ketidakseimbangan
tersebut menyebabkan kedua kompartemen cairan tubuh terganggu dalam lintasan cairan antar
kompartemen tersebut. Untuk mengatasi gangguan pintasan cairan dalam kedua kompartemen
tersebut perlu perbaikan keseimbangan yang melibatkan tekanan hidrostatik, onkotik, plasma,
permeabilitas dan dinding pembuluh (Cho & Atwood, 2002).
Oedema kaki secara umum dapat dikurangi dengan melakukan penatalaksanaan pemijatan
pada kaki, dimana dengan pijat kaki akan menstimulasi pengeluaran cairan melalui saluran limfe
ke bagian yang lebih proksimal, sehingga menurunkan kejadian oedema kaki (Ciocon et al., 1995;
Ely et al., 2006). Teknik pijat yang dilakukan dalam penelitian ini sesuai prosedur yang dilakukan
oleh Shimizu (2009), dimana Shimizu melakukan teknik pijat tersebut dalam penelitian yang
digunakan pada wanita hamil yang mengalami oedema kaki fisiologis. Hasil penelitian tersebut
menunjukan terdapat pengaruh pijat kaki dengan penurunan oedema kaki pada wanita hamil
(Shimizu, 2009).
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa saat hari pertama tidak terdapat perbedaan lingkar
oedema pada kaki kanan dan kiri untuk lingkar instep (kanan: p-value: 0,082; kiri: p-value: 0,082
) dan MP joint (kanan: p-value :0,165; kiri: p-value: 0,249) saat hari pertama proses pemijatan.
Namun hasil berbeda pada lingkar ankle hari pertama yaitu untuk kaki kanan menunjukan tidak
ada perbedaan yang bermakna dengan p-value 0,790, sedangkan pada kaki kiri menunjukan
perbedaan yang bermakna dengan p-value 0,018.
Jurnal Ilmu Keperawatan Medial Bedah 2 (1), Mei 2019, 1-54
2338-2058 (print), 2621-2986 (online)
Pada kaki kiri pada area lingkar ankle lebih cepat mengalami penurunan oedema kaki
dimungkinkan terjadi karena pada saluran pembuluh limfe pada area distal lebih mudah untuk
mengembang atau dilatasi karena proses pemijatan. Serta disebabkan secara umum pada
responden ekstremitas bawah kiri kurang dominan dalam melakukan aktivitas keseharian,
sehingga ektremitas bawah kiri secara anatomi lebih kecil dibandingakan ekstremitas bawah
kanan.
Hasil penelitian saat hari kedua menunjukan bahwa semua lingkar oedema dibandingkan
pada hari pertama menunjukan terdapat perbedaan lingkar oedema baik pada lingkar ankle, instep
maupun MP joint, baik pada kaki kanan maupun pada kaki kiri dengan p-value <0,001. Demikian
juga pada hari ketiga, hasil penelitian menunjukan bahwa semua lingkar oedema dibandingkan
pada hari pertama menunjukan terdapat perbedaan lingkar oedema baik pada lingkar ankle, instep
maupun MP joint, baik pada kaki kanan maupun pada kaki kiri dengan p-value <0,001.
Hasil penelitian menunjukan persamaan dengan beberapa penelitian sejenis tentang
penggunaan pijat untuk menurunkan oedema, seperti pada kasus oedema fisiologis pada ibu
hamil dapat dilakukan intervensi pijat kaki seperti penelitian yang dilakukan oleh (Çoban & Şirin,
2010), dimana pijat kaki dapat menurunkan oedema fisiologis pada ibu hamil (Çoban & Şirin,
2010). Pada kasus oedema kaki akibat limfadema juga dapat dilakukan proses pemijatan seperti
penelitian yang dilakukan oleh (Kriederman et al., 2002) tentang efektifitas penggunaan pijat dan
atau juga penggunaan penekan (bandage/compression) mampu mengurangi jumlah cairan pada
kondisi limfedema (Kriederman et al., 2002).
Pada kasus oedema kaki akibat post-operasi pasien gangguan sistem kardiovaskuler yang
dilakukan penelitian oleh Hattan, King, & Griffiths (2002) dengan melakukan pijat kaki dan
imajinasi terbimbing menunjukan bahwa intervensi tersebut dapat menurunkan oedema dan
kecemasan pasien postoperasi sistem cardiovaskuler (Hattan et al., 2002). Pada kasus oedema
akibat postoperasi juga dapat dilakukan proses pemijatan seperti penelitian yang dilakukan oleh
Haren, Backman, & Wiberg (2000), dimana proses intervensi pijat dapat digunakan untuk
menurunkan oedema akibat post-operasi (Haren et al., 2000).
Jurnal Ilmu Keperawatan Medial Bedah 2 (1), Mei 2019, 1-54
2338-2058 (print), 2621-2986 (online)
Proses pemijatan dapat meningkatkan alitan darah sekaligus meningkatkan aliran sirkulasi
limfatik pada jaringan tersebut. Proses pemijatan dengan penekanan akan mengenai pembuluh
darah, pada pembuluh darah tersebut akan tertekan dan terdorong dengan proses pemijatan,
sehingga aliran darah akan menuju ke bagian yang lebih proksimal, demikian juga akan terjadi
permeabilitas dinding pembuluh darah (Goats, 1994). Demikian juga pada pembuluh limfe,
dengan proses penekanan pada pemijitan tersebut akan merangsang aliran cairan dari bagian
interstisial sel akan menuju ke bagian dalam pembuluh limfe yang selanjutnya akan di alirkan ke
bagian proskimal pada pembuluh limfe tersebut. Selanjutnya cairan akan dibawa kembali ke
sistem vaskuler di muara saluran limfe di atrium dextra jantung. Mekanisme yang terjadi pada
pembuluh limfe tersebut yang menjadikan pijat sering disebut sebagai pijat limfatik atau limph
drainage (Ekici, Bakar, Akbayrak, & Yuksel, 2009).
Sama dengan penelitian oleh Goats (1994), hasil studi literatur oleh Weerapong et al.
(2005) menunjukan bahwa manfaat pijat sangat banyak salah satu diantaranya adalah
meningkatkan kecepatan aliran darah, dimana dengan proses pijat dengan mekanisme penekanan
(pressure) akan menekan pembuluh darah di sekitar area pemijatan tersebut sehingga pembuluh
darah dapat berdilatasi dan konstriksi sehingga melemaskan otot polos pada pembuluh darah
tersebut yang pada akhirnya meningkatkan aliran darah di area tersebut. Proses pemijatan selain
berefek pada pembuluh darah juga berefek pada darah, sehingga dengan proses pijat akan
mengalirkan darah dari area distal tubuh ke arah proksimal tubuh, sehingga akan berefek juga
dalam memperlancar aliran darah (Weerapong et al., 2005).
Dalam penelitian ini, secara statistik dan secara klinis menunjukan ada penurunan dalam
lingkar oedema, namun peneliti belum dapat memastikan keefektifan intervensi pijat kaki
tersebut, karena pasien menerima terapi medikasi diuretik lasix dan atau furosemide dalam terapi
yang diberikannya, bisa dimungkinkan penurunan oedema tersebut akibat efek dari pemberian
medikasi tersebut, seperti penelitian Fogari (2005), menunjukan bahwa pasien yang mengalami
eodema dapat diberikan terapi diuretik untuk menurunkan oedema tersebut (Fogari, 2005),
sehingga peneliti akan merencanakan penelitian lanjutan dengan prosedur pijat kaki tersebut
dengan membandingkan dengan adanya kelompok kontrol yang tidak diberikan terapi pijat kaki
sekaligus mengontrol penggunaan obat diuretik.
Banyak hasil literatur menunjukan banyak manfaat penggunaan pijat yang lain
diantaranya adalah menurunkan kecemasan, sterss, nyeri, mual, muntah, dapat meningkatkan
kenyamanan dan meningkatkan respon fisiologis tubuh (menurunkan tekanan darah sistolik dan
diastolik, menurunkan denyut jantung, menurunkan respiratory rate, meningkatkan saturasi
oksigen) (Ågren & Berg, 2006; Li, Wang, Feng, Yang, & Sun, 2014; Munk, Kruger, & Zanjani,
2011; Quinn, Chandler, & Moraska, 2002; Ware, 1903). Hasil penelitian menunjukan terdapat
perubahan lingkar oedema pada pasien CHF yang mengalami oedema kaki setelah diberikan
intervensi pijat kaki setelah intervensi pemijatan pada hari kedua dan ketiga dengan p-value
<0,001.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang pijat kaki untuk menurunkan
oedema kaki pada pasien Congestive Heart Failure (CHF) dapat disimpulkan bahwa pijat kaki
efektif untuk menurunkan oedema kaki pada pasien CHF setelah hari kedua dan hari ketiga
dengan p-value
<0,001. Perlu penelitian lanjutan tentang pijat kaki yang menggunakan kelompok kontrol yang
tidak diberikan terapi pijat kaki sekaligus mengontrol penggunaan obat diuretik.
ACKNOWLEDGEMENT
Terimakasih kami sampaikan kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat,
Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan, Kementerian Riset, Teknologi dan
Pendidikan Tinggi, yang telah membiayai proses penelitian ini dalam skema Penelitian Dosen
Pemula tahun 2018.
DAFTAR PUSTAKA
Ågren, A., & Berg, M. (2006). Tactile massage and severe nausea and vomiting during pregnancy
- Women’s experiences. Scandinavian Journal of Caring Sciences, 20, 169–176.
https://doi.org/10.1111/j.1471-6712.2006.00394.x
AuCoin, A. (2011). Management of a patient with congestive heart failure and acute pulmonary
edema - A case study. Canadian Journal of Respiratory Therapy, 47(1), 12–17.
Bayrakci Tunay, V., Akbayrak, T., Bakar, Y., Kayihan, H., & Ergun, N. (2010). Effects of
mechanical massage, manual lymphatic drainage and connective tissue manipulation
techniques on fat mass in women with cellulite. Journal of the European Academy of
Dermatology and Venereology, 24(2), 138–142. https://doi.org/10.1111/j.1468-
3083.2009.03355.x
Be, S. M., Into, I., & Hospitals, Q. (2013). Literary review compilation on massage Compiled by
AQTN , 2013 INTEGRATED INTO What is the opportunity cost ?
Chatterjee, K. (2002). Congestive Heart Failure What Should Be the Initial Therapy and Why ?
American Journal Cardiovascular Drugs, 2(1), 1–6.
Chen, W.-L., Liu, G.-J., Yeh, S.-H., Chiang, M.-C., Fu, M.-Y., & Hsieh, Y.-K. (2013). Effect of
Back Massage Intervention on Anxiety, Comfort, and Physiologic Responses in Patients with
Congestive Heart Failure. The Journal of Alternative and Complementary Medicine, 19(5),
464–470. https://doi.org/10.1089/acm.2011.0873
Cho, S., & Atwood, J. E. (2002). Peripheral edema. American Journal of Medicine, 113(7), 580–
586. https://doi.org/10.1016/S0002-9343(02)01322-0
Ciocon, J. O., Galindo-Ciocon, D., & Galindo, D. J. (1995). Raised leg exercises for leg edema in
the elderly. Angiology, 46(1), 19–25. https://doi.org/10.1177/000331979504600103
Çoban, A., & Şirin, A. (2010). Effect of foot massage to decrease physiological lower leg oedema
in late pregnancy: A randomized controlled trial in Turkey. International Journal of Nursing
Practice, 16(5), 454–460. https://doi.org/10.1111/j.1440-172X.2010.01869.x
Collier, P., Watson, C. J., Voon, V., Phelan, D., Jan, A., Mak, G., … Mcdonald, K. M. (2011).
Can emerging biomarkers of myocardial remodelling identify asymptomatic hypertensive
patients at risk for diastolic dysfunction and diastolic heart failure ? European Journal
of Heart Failure, 13, 1087–1095. https://doi.org/10.1093/eurjhf/hfr079
Desai, A. S., Lewis, E. F., Li, R., & Solomon, S. D. (2012). Rationale and design of the
Treatment of Preserved Cardiac Function Heart Failure with an Aldosterone
Antagonist Trial : A randomized , controlled study of spironolactone in patients with
symptomatic heart failure and preserved ejection fraction. American Heart Journal, 162(6),
966–972.e10. https://doi.org/10.1016/j.ahj.2011.09.007
Dinas Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Riset Kesahatan
Dasar, 111–116. https://doi.org/1 Desember 2013
Ekici, G., Bakar, Y., Akbayrak, T., & Yuksel, I. (2009). Comparison of Manual Lymph Drainage
Therapy and Connective Tissue Massage in Women With Fibromyalgia: A Randomized
Controlled Trial. Journal of Manipulative and Physiological Therapeutics, 32(2), 127–133.
https://doi.org/10.1016/j.jmpt.2008.12.001
Ely, J. W., Osheroff, J. a., Chambliss, M. L., & Ebell, M. H. (2006). Approach to Leg Edema of
Unclear Etiology. The Journal of the American Board of Family Medicine, 19(2), 148–160.
https://doi.org/10.3122/jabfm.19.2.148
Fogari, R. (2005). Ankle oedema and sympathetic activation. Drugs, 65 Suppl 2, 21–7.
https://doi.org/10.2165/00003495-200565002-00004
Gazillo, L. M., & Middlemas, D. a. (2001). Therapeutic massage techniques. Aquatic Therapy
Today, 6(3), 5–9.
Goats, G. (1994). Massage - the scientific basis of an ancient art : part 2 . Physiological
and therapeutic effects. BJSM: Britain Journal Specials Medicine, 2(28), 153–156.
Haren, K., Backman, C., & Wiberg, M. (2000). EFFECT OF MANUAL LYMPH DRAINAGE
AS DESCRIBED BY VODDER ON OEDEMA OF THE HAND AFTER FRACTURE OF
THE DISTAL RADIUS : A PROSPECTIVE CLINICAL STUDY. Scandinavian
Journal
Plastics Reconstruction Hand Surgical, 34, 367–372.
Hattan, J., King, L., & Griffiths, P. (2002). The impact of foot massage and guided relaxation
following cardiac surgery : a randomized controlled trial. Journal of Advanced
Nursing, 37(2), 199–207.
Hulme, J., Waterman, H., & Hillier, V. F. (1999). The effect of foot massage on patients’
perception of care following laparoscopic sterilization as day case patients. Journal of
Advanced Nursing, 30(2), 460–8. https://doi.org/10.1046/j.1365-2648.1999.01101.x
Kriederman, B., Myloyde, T., Bernas, M., Preciado, S., Lynch, M., Summers, P., … Mitte, M.
(2002). LIMB VOLUME REDUCTION AFTER PHYSICAL TREATMENT BY
COMPRESSION AND / OR MASSAGE IN A RODENT MODEL OF PERIPHERAL
LYMPHEDEMA. Lymphology, 35, 23–27.
Li, Y., Wang, F., Feng, C., Yang, X., & Sun, Y. (2014). Massage Therapy for Fibromyalgia: A
Systematic Review and Meta-Analysis of Randomized Controlled Trials. PLoS ONE, 9(2),
e89304. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0089304
Munk, N., Kruger, T., & Zanjani, F. (2011). Massage Therapy Usage and Reported Health in
Older Adults Experiencing Persistent Pain. The Journal of Alternative and Complementary
Medicine, 17(7), 609–616. https://doi.org/10.1089/acm.2010.0151
Murberg, T. A., & Bru, E. (2001). Social relationships and mortality in patients with congestive
heart failure. Journal of Psychosomatic Research, 51, 521–527.
Panel, P., Robert, A., Moe, G. W., Co-chair, F., Cheung, A., Costigan, J., … Leblanc, M. (2011).
The 2011 Canadian Cardiovascular Society Heart Failure Management Guidelines Update :
Focus on Sleep Apnea , Renal Dysfunction , Mechanical Circulatory Support , and Palliative
Care. CJCA, 27(3), 319–338. https://doi.org/10.1016/j.cjca.2011.03.011
Patient, T. (2010). X-Plain Massage Therapy, 1–10.
Quinn, C., Chandler, C., & Moraska, A. (2002). Massage therapy and frequency of chronic
tension headaches. American Journal of Public Health, 92(10), 1657–1661.
https://doi.org/10.2105/AJPH.92.10.1657
Ragsdale, B. L. (n.d.). A Massage a Day Could Keep Stress Away.
Rahnavard, Z., Nodeh, Z. H., & Hatamipour, K. (2014). Congestive heart failure: Predictors of
health-related quality of life in Iranian women. Contemporary Nurse, 47(1–2), 159–167.
Remme, W., & Swedberg, K. (2001). Task Force Report Guidelines for the diagnosis and
treatment of chronic heart failure Task Force for the Diagnosis and Treatment of Chronic
Heart Failure ,. European Heart Journal, 22, 1527–1560.
https://doi.org/10.1053/euhj.2001.2783
Savage, M. P., Krolewski, A. S., Kenien, G. G., Lebeis, M. P., Christlieb, A. R., & Lewis, S. M.
(1998). Acute Myocardial Infartion in Diabetes Mellitus and Significance of Congestive
Heart Failure as a Prognostic Factor. The American Journal of Cardiology, 62(October),
665– 669.
Shimizu, Y. (2009). 妊婦を対象としたフットケアの検討と効果の検証 The effect of foot care
for pregnant women. J.Jpn.Acad.Midwif., 23(2), 171–181.
Soran, O. Z., Piña, I. L., Lamas, G. a., Kelsey, S. F., Selzer, F., Pilotte, J., … Feldman, A. M.
(2008). A Randomized Clinical Trial of the Clinical Effects of Enhanced Heart Failure
Monitoring Using a Computer-Based Telephonic Monitoring System in Older Minorities
and Women. Journal of Cardiac Failure, 14(9), 711–717.
https://doi.org/10.1016/j.cardfail.2008.06.448
Trayes, K. P., Studdiford, J. S., Jefferson, T., Tully, A. S., & Clinic, C. (2013). Edema: Diagnosis
and Management.
Ware, M. W. (1903). Massage and the Original Swedish Movements. Annals of Surgery, 37,
639– 640. https://doi.org/10.1001/jama.1890.02410160034013
Weerapong, P., Hume, P. a., & Kolt, G. S. (2005). The mechanisms of massage and effects on
performance, muscle recovery and injury prevention. Sports Medicine, 35(3), 235–
256. https://doi.org/10.2165/00007256-200535030-00004
World Health Organization (WHO). (2015). Indonesia: WHO statistical profile.
Country Statistics and Global Health Estimates. Retrieved
from
http://who.int/gho/mortality_burden_disease/en/
PEMBAHASAN JURNAL
LAPORAN EVIDENCE BASED PRACTICE KEPERAWATAN KRITIS
Judul journal : Pijat Kaki Efektif Menurunkan Foot Oedema Pada Penderita
Congestive Heart Failure (Chf)
1. Populasi
Penelitian dilakukan pada sejumlah 13 pasien CHF yang mengalami oedema kaki
dan sesuai dengan kriteria inklusi
2. Intervensi
Dalam penelitian ini dilakukan Intervensi pemijatan selama 3 hari dengan durasi
± 20 menit
3. Comparation
Tidak ada jurnal pembanding
4. Outcome
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang pijat kaki untuk
menurunkan oedema kaki pada pasien Congestive Heart Failure (CHF) dapat
disimpulkan bahwa pijat kaki efektif untuk menurunkan oedema kaki pada pasien
CHF setelah hari kedua dan hari ketiga dengan p-value <0,001.
Jurnal ke 2
Pengaruh Posisi Tidur Semi Fowler 45˚ Terhadap Kualitas Tidur Pasien
Gagal Jantung Di Ruang ICCU RSUD dr. Soedarso Pontianak
(The Influence of Semi Fowler 45 ˚ Sleep Position to Sleep Quality Of Heart
Failure Patients in ICCU dr. Soedarso Hospital Pontianak)
ABSTRAK
Latar Belakang: Penderita gagal jantung sering terbangun pada malam hari
karena sesak nafas yang menyebabkan kualitas tidur pasien menurun. Hal ini akan
memperlambat pemulihan kondisi klien yang memperpanjang masa long of stay
(LOS) di rumah sakit. Posisi tidur semi fowler dengan sudut 45˚ merupakan salah
satu tindakan positioning yang dipercaya dapat menekan sesak nafas, sehingga
pasien dapat tidur lebih nyaman dan tidak terbangun pada malam hari.
Tujuan: Mengetahui adanya pengaruh posisi tidur semi fowler 45˚ terhadap
kualitas tidur pasien gagal jantung di ruang ICCU RSUD dr. Soedarso Pontianak.
Metodologi: Menggunakan rancangan quasy-experimen dengan pre-post test
controlled grup. Pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling
dengan sampel berjumlah 16 pada masing-masing kelompok. Analisis data
dengan uji paired sampel t-test dan independent sampel t-test dengan nilai p ≤0,05
Hasil: Karateristik responden rata-rata berusia 45-59 tahun (37,5%) dan berjenis
kelamin laki-laki (81,3%). Tingkat kualitas tidur pada kelompok intervensi
didapatkan nilai p = 0,000 dan kelompok kontrol didapatkan nilai p = 0,184. Pada
perbandingan kualitas tidur antara kelompok intervensi dan kontrol bernilai p =
0,050.
Kesimpulan: Terdapat perubahan kualitas tidur pasien gagal jantung setelah
diberikan posisi semi fowler 45˚ pada kelompok intervensi dan tidak terdapat
perubahan kualitas tidur pasien gagal jantung pada kelompok kontrol. Terdapat
perbedaan antara kualitas tidur kedua kelompok yang telah diberikan posisi semi
fowler 45˚ sehingga posisi semi fowler 45˚ dapat dipertimbangkan untuk menjadi
intervensi mandiri keperawatan dalam menangani masalah tidur pada pasien gagal
jantung.
Background: Patients with heart failure often wake up at night because of apnea,
so the sleep quality of patients decreased. This will slow down the recovery of
client so as to extend long of stay (LOS) in the hospital. Semi fowler 45˚ position
is one of the actions that are believed to apnea, so that patients can be more
comfortable at sleep and not wake up during the night.
Objective: Knowing the effect of semi fowler 45˚ position on sleep quality of heart
failure patients in ICCU dr. Soedarso Hospital Pontianak.
Method:Quasy-experimental design with pre-post test controlled group. Sampling
was done by purposive sampling amounted 16 in each group. Data were analyzed
by paired sample t-test and independent samples t-test with p ≤ 0,05
Results: The average characteristics of respondents are aged 45-59 years
(37.5%) and male (81.3%). The level of sleep quality in intervention group worth
p-value = 0.000 and in control group p-value = 0.184. In the sleep quality
comparison between the intervention and control group p-value = 0.050.
Conclusion: There are changes in sleep quality of patients with heart failure after
being given a semi fowler 45˚ position in the intervention group and there is no
change in sleep quality of heart failure patients in the control group. There is a
difference between sleep quality the two groups that has been given semi-fowler
45˚ position that it can be considered to be independent nursing interventions in
dealing with sleep problems in patients with heart failure.
darah. Umur yang semakin lanjut akan hasil bahwa ada pengaruh pemberian
koronoer (PJK) yaitu salah satunya tidur semi fowler 45˚ menggunakan
risiko pria terkena penyakit jantung bernafas lebih lega dan akan
mengurangi ketidaknyamanan yang
dirasakan ketika ingin tidur. Hal ini tidur karena akan mengganggu
didukung oleh Melanie (2012) ketenangan [20,21].
menganalisa pengaruh pemberian Pasien juga dapat kesulitan
posisi semi fowler 30˚ dan 45˚ dan tidur karena tekanan atau stress yang
mendapatkan hasil bahwa terdapat dirasakan. Pasien dapat mengalami
pengaruh antara sudut posisi terhadap tekanan akibat sakit yang dirasakan
kualitas tidur pasien gagal jantung dan berujung pada ketakutan oleh
[12]. proses penyakit dan tekanan dari
lingkungan sekitar [22]. Kecemasan
Tabel. 3 Perbandingan Skor Kualitas Tidur
yang dirasakan pasien dapat
Antara Kelompok Intervensi dan
meningkatkan hormon norepinefrin
Kelompok Kontrol (n=32)
dalam darah, sehingga pasien menjadi
tertekan dan stress dan pasien lebih
sering terbangun pada malam hari
[23].
Surakarta
14. Martin, Remy C. Benoit,
Raymond. Girardier, Lucia.
PEMBAHASAN JURNAL
LAPORAN EVIDENCE BASED PRACTICE KEPERAWATAN KRITIS
Judul / Tema : Pengaruh posisi tidur semi fowler 45˚ terhadap kualitas tidur pasien gagal jantung
di Ruang ICCU RSUD. Soedarso Pontianak
Program Studi : Ners / Jurusan Keperawatan
Kelompok : RSUD Dr. Moewardi
Surakarta
1. Abstrak
Latar Belakang: Penderita gagal jantung sering terbangun pada malam hari karena sesak nafas
yang menyebabkan kualitas tidur pasien menurun. Hal ini akan memperlambat pemulihan
kondisi klien yang memperpanjang masa long of stay (LOS) di rumah sakit. Posisi tidur semi
fowler dengan sudut 45˚ merupakan salah satu tindakan positioning yang dipercaya dapat
menekan sesak nafas, sehingga pasien dapat tidur lebih nyaman dan tidak terbangun pada
malam hari.
Tujuan: Mengetahui adanya pengaruh posisi tidur semi fowler 45˚ terhadap kualitas tidur
pasien gagal jantung di ruang ICCU RSUD dr. Soedarso Pontianak.
Metodologi: Menggunakan rancangan quasy-experimen dengan pre-post test controlled grup.
Pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling dengan sampel berjumlah 16 pada
masing-masing kelompok. Analisis data dengan uji paired sampel t-test dan independent sampel
t-test dengan nilai p ≤0,05
Hasil: Karateristik responden rata-rata berusia 45-59 tahun (37,5%) dan berjenis kelamin laki-
laki (81,3%). Tingkat kualitas tidur pada kelompok intervensi didapatkan nilai p = 0,000 dan
kelompok kontrol didapatkan nilai p = 0,184. Pada perbandingan kualitas tidur antara kelompok
intervensi dan kontrol bernilai p = 0,050.
Kesimpulan: Terdapat perubahan kualitas tidur pasien gagal jantung setelah diberikan posisi
semi fowler 45˚ pada kelompok intervensi dan tidak terdapat perubahan kualitas tidur pasien
gagal jantung pada kelompok kontrol. Terdapat perbedaan antara kualitas tidur kedua kelompok
yang telah diberikan posisi semi fowler 45˚ sehingga posisi semi fowler 45˚ dapat
dipertimbangkan untuk menjadi intervensi mandiri keperawatan dalam menangani masalah tidur
pada pasien gagal jantung.
2. Latar Belakang
Penderita gagal jantung sering terbangun pada malam hari karena sesak nafas yang
menyebabkan kualitas tidur pasien menurun. Hal ini akan memperlambat pemulihan kondisi
klien yang memperpanjang masa long of stay (LOS) di rumah it. Posisi tidur semi fowler
dengan sudut 45˚ merupakan salah satu tindakan positioning yang dipercaya dapat menekan
sesak nafas, sehingga pasien dapat tidur lebih nyaman dan tidak terbangun pada malam hari.
3. PICOT
No. Kriteria Inti Jurnal
1. P Partisipan pada penelitian ini adalah pasien yang didiagnosis
dengan gagal jantung di ICCU RSUD dr. Soedarso Pontianak,
pemilihan sampel menggunakan purposive sampling dengan
kriteria pasien rawat inap yang telah didiagnosa gagal jantung
oleh dokter spesialis jantung dan pasien yang sadar.
Partisipan penelitian ini terdiri dari 32 reponden dengan
pembagian sebanyak 16 orang pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol yang diberikan posisi semi fowler 45˚ dan
diukur kualitas tidurnya menggunakan Richard Campbell Sleep
Quetionnare.
Abstrak
Penderita Congestive Heart Failure (CHF) mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya
kasus penyakit pada kardiovaskuler. Keluhan yang paling menonjol pada pasien dengan CHF
adalah sesak nafas. Keluhan ini berhubungan dengan adanya edema paru akibat kegagalan
jantung memompa darah keseluruh tubuh. Beberapa literatur dan hasil penelitian menunjukan
bahwa potitioning dapat mempengaruhi status pernafasan pasien dengan CHF.
Penelitian bertujuan mengetahui perbedaan respirasi rate (RR) dan saturasi oksigen (SaO2) pada
posisi head up, semi fowler dan fowler. Desain penelitian pra eksperimen pre post test series
desain. sampel penderita CHF yang dirawat inap di RSUD Prof. DR Margono Soekarjo
Purwokerto hari ke-2. Teknik sampling menggunakan consecutive sampling, dengan besar
sampel
38. Teknik analisis yang digunakan univariat dengan tendency central dan analisis multivariate
repeated ANOVA .
Hasil penelitian menunjukan bahwa dari posisi head up ke semi fowler dan fowler rerata nilai
SaO2 cenderung meningkat. Analisis multivariate menunjukan ada perbedaan hasil SaO2 antara
posisi tersebut (p value 0.002). Perbedaan nilai SaO2 terlihat antara posisi head up dengan posisi
fowler (p value 0,033). Dari posisi head up ke semi fowler RR cederung menurun, namun dari
posisi semi fowler ke fowler cenderung menetap. Analisis multivariate menunjukan tidak ada
perbedaan nilai RR antara posisi head up, semi fowler dan fowler.
Kesimpulan ada perbedaan nilai SaO2 pasien CHF pada posisi head up, semi fowler dan fowler
bermkana secara statistik dan tidak ada perbedaan nilai RR pasien CHF pada posisi head up,
semi fowler dan fowler
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di RSUD Prof DR Margono Soekarjo Purwokerto. Besar sampel
38 responden pasien CHF yang dilakukan rawat inap pada hari kedua di unit rawat inap. Dengan
teknik sampling adalah Consequtif sampling selama 1. Adapun perubah yang diamati meliputi
tekanan darah, nadi, SaO2 dan RR, pada setiap perubahan posisi yang dimanipulasi penulis dari
awal head up, semi fowler dan fowler. Adapun desain yang digunakan adalah pre experiment
dengan desain penelitian one group pretest-posttest serial design.
Variabel Independen pada penelitian ini adalah posisi, sebagai berikut: Pemberian Posisi
Head up 300, yang dilakukan selama 15 menit, selanjutnya dilakukan pengukuran SaO2 dan RR
(waktu pengukuran dengan istirahat kurang lebih adalah 10 menit), selanjutnya pasien
diposisikan semi fowler 450 selama 15 menit, kemudian pengukuran SaO2 dan RR dan
selanjutnya diposisikan fowler (duduk tegak). Adapun cara ukur tindakan tersebut dengan
menggunakan SOP memposisikan pasien.
Variabel dependen pada penelitian ini adalah perubahan status respirasi meliputi: respirasi
rate dan SaO2, yang diukur setelah pasien diposisikan head up, semi fowler dan fowler. Variabel
respirasi rate (RR) adalah jumlah frekuensi pernafasan yang dihitung selama satu menit dengan
melihat naik turunya dinding dada yang diukur sesudah dilakukan positioning dengan skala ukur
rasio. Sedangkan variabel SaO2 atau saturasi Oksigen adalah ukuran seberapa banyak prosentase
oksigen yang terikat oleh Hb, yang diukur dengan menggunakan oxymeter pulse setelah
dilakukan positioning. Hasil ukur SaO2 adalah nilai SaO2, dengan skala ukur rasio.
Pijat efektif menurunkan foo oedema pada penderita Page 3 of
Jurnal Ilmu Keperawatan Medial Bedah 2 (1), Mei 2019, 1-54
2338-2058 (print), 2621-2986 (online)
Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah pemeriksaan, yaitu
pemeriksaan terhadap status pernafasan meliputi respirasi rate dan SaO2. Sedangkan untuk
penentuan pasien CHF dan identitas responden menggunakan teknik study dokumentasi yaitu
menggunakan sumber dokumen rekam medik pasien.
Metode analisis data yang digunakan pada penelitian ini meliputi analisis univariat dan
analisis multivariate. Analisis univariat yang digunakan adalah tendency central. Sedangkan
analisis multivariate digunakan adalah uji beda lebih dari dua variable berpasangan yaitu
friedman karena data tidak terdistribusi normal.
Total 38 100
Derajat CHF Derajat 3 22 57,9
Derajat 4 16 42,1
Total 38 100
Tabel 2: Perubahan SaO2 dan RR Pada Posisi Head Up (300), Semi Fowler (450) dan Fowler
(900)
Tabel 2 menunjukan bahwa rerata SaO2 dari posisi head up ke semi fowler meningkat 0,5 point,
dan dari posisi semi fowler ke fowler naik 0,2 point, dengan p value 0.002 yang menunjukan ada
perbedaan nilai SaO2 pada tiga posisi tersebut. Perbedaan nilai SaO2 terlihat antara posisi head
up dengan posisi fowler (p value 0,033), sedangkan antara posisi head up dengan semi fowler dan
semi fowler dengan fowler tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik (p value 0,081 dan
0,052 > 0,05). Sedangkan rerata RR dari head up ke semi fowler turun 0,5 point dan posisi semi
fowler ke fowler naik 0,1 point, dengan p value 0,11 yang menunjukan tidak ada perbedaan SaO2
dan RR antar 3 posisi tersebut.
Hasil penelitian menunjukan bahwa rerata umur responden adalah 58,3 tahun,
dengan umur paling rendah adalah 40 tahun dan paling tinggi adalah 80 tahun. Hasil penelitian
ini sejalan dengan penelitian Nurhayati (2009), Ulfa, Sadiyanto dan Khasanah (2017) dan
penelitian Wahyuningsih, Khasanah dan Irma (2017). Hasil penelitian tersebut menunjukan
bahwa paling banyak usia penderita CHF berkisar pada umur 40-49 tahun.
Usia merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi fungsi jantung.
Semakin bertambahnya usia maka fungsi jantung pun akan menurun. Gagal jantung kongestif
(CHF) merupakan suatu penyakit berkaitan dengan masalah-masalah pemompaan otot jantung di
bilik jantung. Gagal jantung dapat disebabkan oleh penurunan fusngi pompa jantung akibat
melemahnya fungsi jantung sebab karena suatu penyakit ataupu degeneratif. Hal ini sejalan
dengan teori yang diungkapkan oleh Guyton dan Hall (2008) yang menyatakan bahwa adanya
kerusakan jantung yang tidak mampu melakukan kompensasi dapat mengakibatkan jantung
menjadi lemah dalam menghasilkan curah jantung secara normal baik dalam kompensasi reflek
saraf simpatis
Pijat efektif menurunkan foo oedema pada penderita Page 5 of
Jurnal Ilmu Keperawatan Medial Bedah 2 (1), Mei 2019, 1-54
2338-2058 (print), 2621-2986 (online)
Berbeda dengan penelitian Ulfa, Sadiyanto dan Khasanah (2017) serta penelitian
Wahyuningsih, Khasanah dan Irma (2017). Walaupun pada penelitian Ulfa, Sadiyanto dan
Khasanah (2017) serta penelitian Wahyuningsih, Khasanah dan Irma (2017), memiliki kesamaan
mayoritas grade 3, namun kondisi pasien pada penelitian sebelumnya pada kondisi yang payah,
karena responden dirawat di ruang Intensif Cardiology Care Unit (ICCU). Sedangkan pada
penelitian ini responden dengan penyakit CHF yang dirawat di ruang rawat inap pada hari kedua.
Tidak adanya penggunaan oksigen pada responden penelitian ini dimungkinkan karena
kemampuan otot jantung yang lebih baik dalam memompakan darah, atau dikarenakan
pengobatan diuresis yang berhasil sehingga tekanan dalam ventrikel berkurang. Berkurangnya
tekanan di ventrikel, khususnya ventrikle kiri akan berdampak kepada menurunnya tekanan pada
kapiler paru sehingga udema paru pun berkurang. Berkurangnya udema paru inillah yang
selanjutnya menyebabkan status pernafasan pasien menjadi lebih baik.
Hasil penelitian menunjukan bahwa respirasi rate (RR) cenderung menurun dan dari
posisi semi fowler ke fowler RR cenderung tetap (walaupun meningkat, namun peningkatan
tersebut sangat kecil dan hasil analisis multivarate menunjukan tidak ada perbedaan bermakna
nilai RR antar posisi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Annisa, Utomo dan Utami
(2018) yang menunjukan bahwa tidak ada pengaruh posisi fowler rendah, semi fowler dan fowler
terhadap respirasi rate pada pasien dengan gangguan pernafasan.
Berbeda dengan nilai SaO2 pada perubahan posisi tersebut. Hasil penelitian
menunjukan bahwa dari posisi head up ke semi fowler dan ke fowler nilai SaO2 cenderung
meningkat. Hasil analisis multivariate menunjukan bahwa ada perbedaan hasil SaO2 antara posisi
head up, semi fowler dan fowler. Perbedaan nilai SaO2 terlihat antara posisi head up dengan
posisi fowler (p value 0,033), sedangkan antara posisi head up dengan semi fowler dan semi
fowler dengan fowler tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik p value > 0,05.
Hasil penelitian El-Moaty, El-Mokadem, Abd-Elhy (2017) menujukan bahwa ada
peningkatan siginifikan nilai SaO2 pasien cedera kepala setelah diposisikan fowler 300 atau
posisi head up 300. Hasil penelitian tersebut menujukan hasil yang berbeda dengan penelitian ini.
Hal ini mungkin dikarenakan kondisi pasien yang berbeda dan pemberian awal posisi serta lama
waktu memposisikan yang berbeda. Pada penelitian ini posisi awal adalah head up, sementara
pada penelitian sebelumnya posisi awal adalah 150, dan lama waktu memposisikan pada
penelitian ini adalah 15 menit, sementara pada penelitian sebelumnya 30 menit.
Pijat efektif menurunkan foo oedema pada penderita Page 7 of
Jurnal Ilmu Keperawatan Medial Bedah 2 (1), Mei 2019, 1-54
2338-2058 (print), 2621-2986 (online)
bahwa pengaturan posisi tidur fowler dan semi fowler dapat meningkatkan kondisi
pengembangan paru dan nadi. Sebagaimana hasil penelitian Anchala, 2016 yang menunjukan
bahwa ada perbedaan yang siginifikan SaO2 pada posisi semi fowler dibandingkan posisi yang
lain pada pasien yang dirawat di ICU.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan pendapat Sudoyo (2009) yang
menyampaikan bahwa pada saat posisi supinasi dan semi fowler gaya gravitasi pada peredaran
darah lebih rendah karena arah peredaran tersebut horizontal sehingga tidak terlalu melawan
gravitasi dan tidak perlu memompa besar. Aliran balik yang lambat menjadikan peningkatan
jumlah cairan yang masuk ke paru berkurang, sehingga udara di alveoli mampu mengabsorbsi
oksigen atmosfer.
Adanya perbedaan SaO2 antara posisi head up, semi fowler dan fowler pada
penelitian ini sejalan dengan penelitian Wahyuningsih, Khasanah dan Irma (2017), yang
menunjukan bahwa ada perbedaan status pernafasan setelah diposisikan semi fowler 450 dengan
setelah diposisikan fowler 900 bermakna secara statistik, dimana status pernafasan menjadi lebih
baik pada posisi fowler 900. Perubahan SaO2 pada penilitian semakin meningkat pada posisi
fowler, hal ini juga sejalan dengan penelitian Wahyuningsih, Khasanah dan Irma (2017), yang
menunjukan bahwa perubahan status pernafasan menjadi lebih baik pada posisi fowler. Status
pernafasan yang lebih baik dapat berdampak kepada kualitas tidur pasien. Hal ini sejalan dengan
penelitian Shahab, Fauzan dan Budiarto (2016) menunjukan bahwa ada pengaruh sudut tidur
fowler 450 terhadap kualitas tidur, walaupun tidak ada pengaruh posisi tidur fowler 450 terhadap
tanda vital: tekanan darah, nadi dan RR.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan yang harus diperhatikan dalam merawat
pasien CHF, bahwa potitioning/ memposisikan pasien adalah hal penting yang harus diperhatikan
karena akan dapat memepengaruhi hemodinamik tekanan darah, nadi, SaO2 dan RR. Posisi tidur
semi fowler dan fowler pada pasien CHF menunjukan haemodinak yang lebih baik daripada
posisi head up. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Smeltzer dan Bare (2014), bahwa
pada pasien CHF dengan udema paru maka posisi yang direkomendasikan adalah fowler 900
dengan tangan bahu dan kaki diberikan penyangga.
KESIMPULAN
Rerata saturasi oksigen (SaO2), dari posisi head up ke semi fowler mengalami peningkatan 0.5
point dan dari posisi semi fowler ke fowler juga mengalami peningkatan sebesar 0,2 point. Ada
perbedaan rerata SaO2 yang bermakna secara statistik antara posisi head up, semi fowler dan
fowler (p value > 0.05). Rerata Respirasi Rate (RR) dari posisi head up ke semi fowler
mengalami penurunan 0,5 point dan dari posisi semi fowler ke fowler juga mengalami
peningkatan sebesar 1,1 point. Tidak ada perbedaan rerata RR yang bermakna secara statistik
antara posisi head up, semi fowler dan fowler (p value > 0.05).
DAFTAR PUSTAKA
Acton, A. (2013). Congestive Heart Failure: New Insights for the Healthcare Professional.
Scholarly Editions.
Annisa, R., Utomo , W., dan Utami, S., (2018). Pengaruh Perubahan Posisi Terhadap Pola Nafas
Pada Pasien dengan Gangguan Pernafasan. Dapat diakses di
https://jom.unri.ac.id/index.php/JOMPSIK/article/view/19175. Diunduh tanggal 19 Nopember
2018
American Heart Association. 2012. Hearth Disease and Stroke Statistik. Diakses dari:
http://ahajournal.org.com.
Black, M. J. & Hawks, H.J. (2009). Medical surgical nursing: clinical management for continuity
of care, 8th ed. Philadephia: W.B. Saunders Company.
Bredore, V. (2009). The relationship between congetive heart failure, sleep apnea and mortality
in older men. Diakses dari: http://www.guideline.gov/summary.aspx?Vied_id.
Kubota, S., Endo, Y., dan Kubota, M.,. (2013). Effect of upper torso inclination in Fowler’s
position on autonomic cardiovascular regulation. Dapat diakses di
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23818165. Diunduh tanggal 19 Nopember 2018
Dipiro, J., Talbert, R., Yee, G., Matzke, G., Wells, B., & Posey, L. (2015). Pharmacotheraphy: A
Pathophysiologic Approach. Seventh Edition, Mc-Hill Medical Publishing, New York, 174-
213.
Duward. (2010). The Effects of Semi- Fowler’s Position on Post- Operative Recovery in
Recovery Room for Patients with Laparoscopic Abdominal Surgery. Abstract. College of
Nursing, Catholic University of Pusan, Korea.
El-Moaty, A.M.A, El-Mokadem, N.M., Abd-Elhy, A.H.,. (2017). Effect of Semi Fowler’s
Positions on Oxygenation and Hemodynamic Status among Critically Ill Patients with
Traumatic Brain Injury.
http://www.noveltyjournals.com/download.php?file=Effect%20of%20Semi%20Fowler%E
2%80%99s%20Positions-1130.pdf&act=book. Diunduh tanggal 20 Nopember 2018
Ganong, W.F. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta: EGC.
Goodman & Gilman. (2011). Clinical Significance of Small Dense Low-Density Lipoprotein
Cholesterol Levels Determined by the Simple Precipitation Method Arteriosclerosis,
Thrombosis, and Vaskular Biology. Journal of American Heart Association.
Guyton A.C, dan Hall, J.E. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Penterjemah: Ermita
I, Ibrahim I. Singapura: Elsevier
Harrison. (2013). Harrison’s Principles of Internal medicines 16th Edition, New York: McGraw
Hill Medical Publishing Division.
Hudak, C.M & Gallo, B.M. 2010. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik, Edisi 7, Vol. 1.
Jakarta: EGC.
Julie, C.H. (2008). The effect of positioning on cardiac ouput measurement. Diakses dari:
http://proquest.umi.com/pqdweb?index=0&did=579636611&SrchMode=1&sid=3&Fmt=2
&VInst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName=PQD&TS=1213971
316&clientId=45625.
Kasron. (2012). Buku Ajar Gangguan Sistem Kardiovaskuler. Yogyakarta: Nuha Medika.
Kehat, I. & Molkentin, J.D. (2010). Molecular Pathways Underlying Cardiac Remodeling During
Pathophysiological Stimulation, AHA Circulation, 122, 2727-2735. Diakses dari:
http://circ.ahajournals.org.
Kowalak, J.P., Welsh, W, & Mayer, B. (2012). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Lilly, L.S. (2011). Basic Cardiac Structure and Function. In: Leonard, L.S., eds. Pathophysiology
of Heart Disease 5th Edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins, 1-27.
Mann, D.L. (2012). Braunwalds Heart Disease a textbook of Cardiovascular Medicine (9 th eds),
487-489 National Heart Lung and Blood Institute, 2016, What is Cardiogenic Shock.
Diakses dari: http://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/shock.
McMurray, JV., Adamopoulos, S., Anker, D.S., Auricchio, A., Bohm, M., & Dickstein, K.
(2012). European Society of Cardiology Guidelines. Diagnosis and Treatment of Acute and
Chronic Heart Failure.EHJ, 33, 1787–1847. Diakses dari:
http://www.escardio.org/Guidelines-&- Education/Clinical-Practice Guidelines/Acute-and-
Chronic-Heart-Failur.
McPhee dan Ganong. (2011). Patofisiologi Penyakit. 5th ed. Jakarta: EGC.
Melani, R.,. (2012). Analisis Pengaruh Sudut Posisi Tidur terhadap Kualitas Tidur dan Tanda
Vital Pada Pasien Gagal Jantung Di Ruang Rawat Intensif RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung http://stikesayani.ac.id/publikasi/e-journal/files/2012/201208/201208-008.pdf.
Diunduh tanggal 19 Nopember 2018
Muttaqin, A. (2009). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler dan
Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.
National Heart Foundation of Australia. (2011). Guideline for the Prevention, Detection and
Management of Chronic Heart Failure. NHFA Guideline.
National Institute for Health and Care Excellence. (2010). Chronic Heart Failure: Management
of Chronic Heart failure in Adults in Primary and Secondary Care.
Padila. (2012). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika.
Porth, M.C. (2007). Pathophysiology Concepts of Altered Health States. Chap 20: 429.
Potter, P. A., & Perry, A. G. (2010). Buku Ajar Fundamental: konsep, proses, dan praktik.
Jakarta: EGC.
Shahab, S., Fauzan, S., Budiharto, I.,. (2016) Pengaruh Posisi Tidur Semi Fowler 45 ˚ Terhadap
Kualitas Tidur Pasien Gagal Jantung Di Ruang ICCU RSUD dr. Soedarso Pontianak
jurnal.untan.ac.id/index.php/jmkeperawatanFK/article/download/.../75676577866 di unduh
tanggal 19 Nopember 2018
Smeltzer, S.C & Bare. (2014). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.
Jakarta: EGC.
Sudoyo, W., A., Setiyohadi, B., & Alwi, I. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Fakultas KedokteranUniversitas Indonesia.
Supadi, E. Nurachmah, & Mamnuah. (2008). Hubungan Analisa Posisi Tidur
Semi Fowler Dengan Kualitas Tidur Pada Klien Gagal Jantung Di RSU
Banyumas Jawa Tengah. Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Volume IV
No 2 Hal 97-108.
Wells, B.G., Dipiro, J.T., Schwinghammer, T.L., & Dipiro, C.V. (2015)
Pharmacotherapy
Handbook (9th ed) : Heart Failure, 75-81, MC Graw Hill Education.
Wijaya, A.S & Putri, Y.M. (2013). KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah.
Yogyakarta: Nuha
Medika.
Yancy. (2013). Guideline for The Management of Heart Failure. American Heart
Association.
PEMBAHASAN JURNAL
LAPORAN EVIDENCE BASED PRACTICE KEPERAWATAN KRITIS
A. Judul
Perbedaan Saturasi Oksigen dan Respirasi Rate Pasien Congestive
Heart Failure pada Perubahan Posisi
B. Latar Belakang
Penyakit jantung dan pembuluh darah merupakan salah satu
masalah kesehatan utama di negara maju maupun berkembang. Penyakit ini
menjadi penyebab nomor satu kematian di dunia dengan diperkirakan akan
terus meningkat hingga mencapai 23,3 juta pada tahun 2030 (Yancy, 2013;
Depkes, 2014). Masalah tersebut juga menjadi masalah kesehatan yang
progresif dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi di Indonesia
(Perhimpunan Dokter Kardiovaskuler, 2015). Hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) Kemenkes RI Tahun 2013, prevalensi penyakit gagal jantung di
Indonesia mencapai 0,13% dan yang terdiagnosis dokter sebesar 0,3% dari
total penduduk berusia 18 tahun ke atas.
Penyakit CHF dapat menimbulkan berbagai gejala klinis
diantaranya; dyspnea, ortopnea, dyspnea deffort, dan Paroxysmal
Nocturnal Dyspnea (PND), edema paru, asites, pitting edema, berat badan
meningkat, dan dan bahkan dapat muncul syok kardiogenik (Smeltzer &
Bare, 2014). Munculnya tanda gejala tersebut berhubungan dengan adanya
bendungan cairan pada system sirkulasi darah. Oleh karenanya dalam
penanganan pasien CHF salah satunya dasarnya adalah mengurangi
terjadinya bendungan cairan pada sirkulasi darah.
Positioning merupakan salah satu tindakan keperawatan yang dapat
membantu meminimalkan bendungan sirkulasi. Sebagaimana disampaikan
oleh Cicolini et al (2010) bahwa posisi mempunyai efek terhadap
perubahan tekanan darah dan tekanan vena sentral. Posisi yang berbeda
mempengaruhi hemodinamik termasuk sistem vena. Beberapa hasil
penelitian sebelumnya seperti penelitian Resti, Sadiyanto dan Khasanah
(2017), pada pasien CHF yang dirawat di ICCU, didapatkan hasil terdapat
perbedaan antara respiratory rate, saturasi oksigen dan keluhan sesak nafas
pada posisi awal dengan fowler 450 dan fowler 900, akan tetapi posisi
fowler 900 lebih menguntungkan dalam perbaikan status respirasi pada
pasien dengan gagal jantung.
Smeltzer dan Bare (2014) menyatakan bahwa pengaturan posisi
tidur dengan meninggikan punggung bahu dan kepala sekitar 30° atau 45°
memungkinkan rongga dada dapat berkembang secara luas dan
pengembangan paru meningkat. Kondisi ini akan menyebabkan asupan
oksigen membaik sehingga proses respirasi kembali normal.
C. P (Population)
Semua pasien CHF rawat inap hari 2 di RSUD Prof DR Margono Soekarjo
Purwokerto. Besar sampel yang digunakan adalah 38 responden.
D. I (Intervention)
Intervensi yang dilakukan yaitu Pemberian Posisi Head up 300,
dilakukan selama 15 menit, selanjutnya dilakukan pengukuran SaO 2 dan
RR (waktu pengukuran dengan istirahat kurang lebih adalah 10 menit),
selanjutnya pasien diposisikan semi fowler 450 selama 15 menit, kemudian
pengukuran SaO2 dan RR dan selanjutnya diposisikan fowler (duduk
tegak). Cara ukur tindakan tersebut dengan menggunakan SOP
memposisikan pasien.
E. C (Comparation)
Pemberian posisi head up 30o, semi fowler dan fowler pada responden.
Adapun perubahan yang diamati meliputi tekanan darah, nadi, SaO 2 dan
RR, pada setiap perubahan posisi.
F. O (Outcome)
Rerata saturasi oksigen (SaO2), dari posisi head up ke semi fowler
mengalami peningkatan 0.5 point dan dari posisi semi fowler ke fowler
juga mengalami peningkatan sebesar 0,2 point. Ada perbedaan rerata SaO2
yang bermakna secara statistik antara posisi head up, semi fowler dan
fowler (p value > 0.05).
Rerata Respirasi Rate (RR) dari posisi head up ke semi fowler
mengalami penurunan 0,5 point dan dari posisi semi fowler ke fowler juga
mengalami peningkatan sebesar1,1 point. Tidak ada perbedaan rerata RR
yang bermakna secara statistik antara posisi head up, semi fowler dan
fowler (p value > 0.05).
Potitioning/ memposisikan pasien CHF merupakan hal penting yang
harus diperhatikan karena dapat memepengaruhi hemodinamik tekanan
darah, nadi, SaO2 dan RR. Posisi tidur semi fowler dan fowler pada pasien
CHF menunjukan haemodinak yang lebih baik daripada posisi head up. Hal
ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Smeltzer dan Bare (2014), bahwa
pada pasien CHF dengan udema paru maka posisi yang direkomendasikan
adalah fowler 900 dengan tangan bahu dan kaki diberikan penyangga.
G. T (Time)
Penelitian dilakukan pada 2019