Anda di halaman 1dari 101

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

KEPERAWATAN KRITIS PADA Ny. S DENGAN


CHF (CONGESTIVE HEART FAILURE) DI RSUD
Dr. MOEWARDI SURAKARTA

Disusun Oleh :

1. Arlinda Erisa Dewi (P27220019189)


2. Clara Mutiara Dewanti (P27220019192)
3. Dian Hariani Chandra N (P27220019197)
4. Mahendra Putra Wicaksana (P27220019217)
5. Muhammad Khairul Huda (P27220019220)
6. Risky Kurniantoro (P27220019230)
7. Tri Novitasari (P27220019242)
8. Varisna Hani Savitri (P27220019245)
9. Winda Ayu Fitaloka (P27220019248)
10. Zuvita Tahta (P27220019250)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES


SURAKARTA JURUSAN KEPERAWATAN PRODI
PROFESI NERS TAHUN 2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini masalah kesehatan merupakan masalah yang sangat


penting dan harus segera ditangani. Masalah kesehatan menjadi masalah
yang merupakan tantangan besar yang harus dihadapi oleh berbagai Negara
di dunia. Masalah kesehatan yang cukup menyita perhatian dunia salah
satunya adalah penyakit dengan gangguan sistem kardiovaskuler yang
dipengaruhi oleh gaya hidup yang kurang baik dan banyak ditemukan di
Negara berkembang maupun Negara maju sekalipun termasuk didalamnya
Congestive Heart Failure atau biasa disebut dengan gagal jantung
kongestif. Gagal jantung kongestif merupakan salah satu penyakit
kardiovaskuler yang banyak diderita oleh semua orang karena kebanyakan
orang telah lalai menjaga pola hidupnya seperti pola makan, olah raga
maupun pola istirahatnya sehingga penyakit mudah masuk kedalam tubuh
pasien dan berkembang biak didalam tubuh pasien (Mujahidah, 2016).

Menurut WHO (2014), benua Asia menduduki tempat tertinggi


kematian akibat penyakit kardiovaskuler dengan jumlah 712,1 jiwa,
kemudian data yang diperoleh WHO (2016), penyakit kardiovaskuler
adalah penyebab utama kematian secara global. Didunia 17,5 juta orang
meninggal akibat gangguan kardiovaskuler atau 31% mewakili dari seluruh
kematian secara global (Wahyuni, Tri, Arief, 2017). Dapat di simpulkan
bahwa menurut hasil penelitian WHO terdapat peningkatan jumlah
kematian akibat penyakit Congestive Heart failure setiap tahunnya.
Menurut Riskesdas indonesia (2013), menunjukkan bahwa CHF merupakan
penyebab kematian di indonesia dengan kisaran angka 9,7% dari
keseluruhan penyakit jantung. Prevalensi penyakit gagal jantung di
indonesia pada tahun 2013 berdasarkan diagnosis dokter sebesar 0,13%,
sedangkan kompas (2010), sekitar 4,3 penduduk indonesia mengalami
gagal jantung telah didiagnosis tiap tahunnya (Mujahidah, 2016).Sekitar 4,7

1
juta orang menderita gagal jantung di Amerika (1,5-2% dari total populasi).
Dengan tingkat insident 550.000 kasus per tahun, dari sejumlah pasien
tersebut, hanya 0,4-2% saja yang mengeluhkan timbulnya gejala
(Irnizarifka, 2011).

Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung untuk


memompa darah ke seluruh tubuh. Gagal jantung kongestif adalah
kumpulan gejala klinis akibat kelainan struktural ataupun fungsional
jantung yang menyebabkan gangguan kemampuan pengisian ventrikel dan
ejeksi darah ke seluruh tubuh (AHA, 2014). Pasien gagal jantung kongestif
sering kembali untuk dirawat inap ulang di rumah sakit karena adanya
kekambuhan. Kebanyakan kekambuhan gagal jantung kongestif terjadi
karena pasien tidak memenuhi terapi yang dianjurkan misalnya tidak
mampu melaksanakan terapi pengobatan dengan tepat, melanggar
pembatasan diet, tidak mematuhi tindakan lanjut medis, melakukan
aktivitas fisik yang berlebih dan tidak dapat mengenali gejala kekambuhan
(Smeltzer, 2010). Menurut Nugroho (2012), berdasarkan hasil penelitian
kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat menunjukkan bahwa
mayoritas pasien yang mengalami kejadian rawat inap ulang memiliki
tingkat kepatuhan minum obat rendah (73,3%), selanjutnya 23,3%
responden memiliki tingkat kepatuhan minum obat menengah, dan 3,3%
memiliki tingkat kepatuhan minum obat tinggi. Penelitian yang dilakukan
oleh Koto (2015), didapatkan hasil kepatuhan minum obat anti diuretic dan
ACE Inhibitor pada pasien gagal jantung kongestif terhadap rehospitalisasi
sebagai besar tidak patuh, dan ada hubungan kepatuhan minum obat
antidiuretic dan ACE Inhibitor pada pasien gagal jantung kongestif dengan
rehospitalisasi. Penelitian lain yang di lakukan oleh Novayollinda (2014),
berdasarkan hasil terapi medis terdapat 5-10% pasien tidak patuh dengan
terapi medis, 50-60% patuh dan sisanya kurang patuh.

Sebagai seorang perawat harus mampu memberikan pelayanan


profesional yang didasarkan pada ilmu dan metodologi keperawatan kritis
yang berbentuk pelayanan Biopsiko-sosio-spiritual yang komprehensif

2
ditujukan pada pasien gagal jantung kongestif. Salah satu upaya yang
dilakukan untuk menurunkan angka kejadian gagal jantung yaitu dengan
peningkatan pelayanan kesehatan khususnya asuhan keperawatan yang
tepat dalam menangani pasien dengan gagal jantung. Selain itu, perawat
juga perlu untuk mengupdate keilmuan yang dimiliki sehingga dalam
memberikan asuhan keperawatan dapat sesuai dengan keilmuan yang
mutakhir yang diharapkan dapat memberikan dampak lebih berarti bagi
pasien. Maka dari itu, seorang perawat harus mampu memanfaatkan golden
periode dengan baik sehingga tidak terjadi kematian otok jantung yang
berakibat kecacatan dan kematian. Berdasarkan latar belakang di atas dan
perlunya penanganan Congestive Heart Failure (CHF)/ gagal jantung
kongestif segera agar tidak menimbulkan komplikasi lebih lanjut yang
berdampak terhadap kematian.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari congestive heart failure ?
2. Apa saja penyebab dari congestive heart failure ?
3. Apa saja klasifikasi dari congestive heart failure ?
4. Bagaimanakah patofisiologi dari congestive heart failure ?
5. Apa saja manifestasi klinik dari congestive heart failure ?
6. Bagaimana cara encegahan dari congestive heart failure?
7. Bagaimana penatalaksanaan dari congestive heart failure
8. Apa saja pemeriksaan Penunjang yang dapat dilakukan ?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Menjelaskan asuhan keperawatan penyakit Congestive Heart Failure
(CHF) pada Ny. S

2. Tujuan Khusus
a. Menjelaskan konsep medis Congestive Heart Failure (CHF)
meliputi pengertian, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis,
komplikasi, pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan.

3
b. Menjelaskan konsep keperawatan CHF meliputi pengkajian,
diagnosa keperawatan dan intervensi keperawatan.
c. Menjelaskan dan menganalisis asuhan keperawatan pada Ny. S
dengan Congestive Heart Failure (CHF) yang meliputi pengkajian,
diagnosa, intervensi, implementasi, dan evaluasi.

4
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Pengertian
Gagal jantung adalah keadaan dimana jantung tidak mampu
memompa darah untuk mencukupi kebutuhan jaringan melakukan
metabolisme dengan kata lain, diperlukan peningkatan tekanan yang
abnormal pada jantung untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan
(Harrison, 2013; Saputra, 2013). Pada kondisi gagal jantung kiri
menyebabkan overload tekanan serta gagal jantung kanan (Aaronson &
Ward, 2010).
Congestif Heart Failur (CHF) adalah suatu kondisi di mana jantung
mengalami kegagalan dalam memompa darah guna mencukupi kebutuhan
sel-sel tubuh akan nutrien dan oksigen secara adekuat. Hal ini
mengakibatkan peregangan ruang jantung (dilatasi) guna menampung
darah lebih banyak untuk dipompakan ke seluruh tubuh atau
mengakibatkan otot jantung kaku dan menebal. Jantung hanya mampu
memompa darah untuk waktu yang singkat dan dinding otot jantung yang
melemah tidak mampu memompa dengan kuat (Udjianti, 2010).
Sebagai akibatnya,ginjal sering merespon dengan menahan air dan
garam. Hal ini akan mengakibatkan bendungan cairan dalam beberapa
organ tubuh seperti tangan,kaki,paru,atau organ lainnya sehingga tubuh
klien menjadi bengkak (congestive). Jadi dapat disimpulkan bahawa
congestive heart failur adalah ketidakmampuan jantung memompa darah
dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap
oksigen dan nutrien keseluruh tubuh.

5
2. Etiologi
Menurut Udjianti (2010) Gagal jantung merupakan hasil dari suatu kondisi
yang menyebabkan overload volume,tekanan dan disfungsi miokard,
gangguan pengisisan, atau peningkatan kebutuhan metabolik.
a. Overload volume.
1) Over transfusion
2) Left-to right shunts.
3) Hipervolemia.
b. Overload
tekanan.
1) Stenosis aorta.
2) Hipertensi.
3) Hipertrofi kardiomiopati.
4) Disfungsi miokard.
5) Kardiomiopati.
6) Miokarditis
7) Iskemik/infark.
8) Disritmia
9) Keracunan
c. Gangguan pengisian.
1) Stenosis mitral
2) Stenosis trikuspidalis
3) Tamponade kardial
4) Perikarditis konstriktif.
d.Peningkatan kebutuhan metabolik.
1) Anemia.
2) Demam.
3) Beri-beri.
4) Penyakit paget’s.
5) Fistula arteriovenous.

6
3. Klasifikasi Gagal Jantung
Menurut Udjianti (2010) ada empat kategori utama yang diklasifikasikan
yaitu sebagai berikut :
a. Backward versus forward failure
Backward failure dikatakan sebagai akibat ventrikel tidak mampu
memompa volume darah keluar, menyebabkan darah terakumulasi dan
meningkatkan tekanan dalam ventrikel, atrium, dan sistem vena baik
untuk jantung sisi kanan maupun jantung sisi kiri. Forward failure
adalah akibat ketidakmampuan jantung mempertahankan curah jantung,
yang kemudian menurunkan perfusi jaringan.karena jantung merupakan
sistem tertutup, maka backward failure dan forward failure selalu
berhubungan satu sama lain.

Efek backward failure


1) Kegagalan ventrikel kiri
a) Peningkatan volume dan tekanan dalam ventrikel kiri dan
atrium kiri (preload)
b) Edema paru
2) Kegagalan ventrikel kanan
a) Peningkatan volume dalam vena sirkulasi.
b) Peningkatan tekanan atrium kanan (preload)
c) Hepatomegali dan splenomegali.
d) Edema perifer dependen.
Efek forward failure
1) Kegagalan ventrikel kiri
a) Penurunan curah jantung.
b) Penurunan perfusi jaringan.
c) Peningkatan sekresi hormon renin, aldosteron dan ADH.
d) Peningkatan retensi garam dan air.
e) Peningkatan volume cairan ekstraseluler.
2) Kegagalan ventrikel kanan
a) Peningkatan volume darah.

7
b) Penuruna volume darah ke paru.
a. Low-output versus high-output syndrome
Low output syndrom terjadi bilamana jantung gagal sebagai
pompo, yang mengakibatkan gangguan sirkulasi perifer dan
vasokonstriksi perifer. Bila curah jantung tetap normal atau di atas
normal namun kebutuhan metabolik tubuh tidak mencukupi, maka
high-output sindrom terjadi. Hal ini mungkin disebabkan oleh
peningkatan kebutuhan metabolik, seperti tampak pada hipertiroidisme,
demam dan kehamilan, atau mungkin dipicu oleh kondisi hiperkinetik
seperti fistula arteriovenous, beri-beri, atau penyakit paget’s.
b. Kegagalan akut versus kronik
Manifestasiklinis dari kegagalan jantung akut dan kronis
tergantung pada seberapa cepat sindrom berkembang. Gagal jantung
akut merupakan hasil dari kegagalan ventrikel kiri mungkin karena
infark miokard, disfungsi katup, atau krisis hipertensi. Kejadiannya
berlangsung demikian cepat di mana mekanisme kompensasi menjadi
tidak efektif, kemudian berkembang menjadi edema paru dan kolaps
sirkulasi (syok kardiogenik).
Gagal jantung kronis berkembang dalam waktu yang relatif cukup
lama dan biasanya merupakan hasil akhir dari suatu peningkatan
ketidakmampuan mekanisme kompensasi yang efektif. Biasanya gagal
jantung kronis dapat disebabkan oleh hipertensi, penyakit katup, atau
penyakit paru obstruksi kronis/menahun.
c. Kegagalan ventrikel kanan versus ventrikel kiri
Kegagalan ventrikel kiri adalah merupakan frekuensi tersering dari
dua contoh kegagalan jantung di mana hanya satu sisi jantung yang
dipengaruhi. Secara tipikal disebabkan oleh penyakit hipertensi,
Coronary Artery Disease (CAD), dan penyakit katup jantung sisi kiri
(mitra dan aorta). Kongesti pulmoner dan edema paru biasanya
merupakan gejala segera (onset) dari gagal jantung kiri.

8
Gagal jantung kanan sering disebabkan oleh gagal jantung kiri,
gangguan katup trikupidalis, atau pulmonal. Hipertensi pulmoner juga
mendukung berkembangnya kegagalan jantung kanan, peningkatan
kongesti atau bendungan vena sistemik, dan edema perifer.
1) Gagal jantung kiri
a) Volume dan tekanan ventrikel kiri serta atrium kiri meningkat.
b) Volume vena pulmonal meningkat.
c) Edema paru.
d) Curah jantung menurun sehingga perfusi jaringan menurun.
e) Darah ke ginjal dan kelenjar menurun.
f) Volume darah ke paru menurun.
2) Gagal jantung kanan
a) Volume vena sistemik meningkat.
b) Volume dalam organ/sel meningkat.
c) Hati membesar.
d) Limpa membesar.
e) Dependen edema.
f) Hormon retensi air dan Na meningkat sehingga reabsorbsi
meningkatan.
g) Volume cairan ekstrasel meningkat.
h) Volume darah total meningkat.
4. Patofisiologi
Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan
kontraktilitas jantung yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari
curah jantung normal. Bila curah jantung berkurang, sistem saraf simpati
akan mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan curah jantung
berkurang, sistem saraf simpati akan mempercepat frekuensi jantung untuk
mempertahankan curah jantung. Bila mekanisme ini gagal, maka volume
sekuncuplah yang harus menyesuaikan. Volume sekuncup adalah jumlah
darah yang dipompa pada setiap kontraksi, yang dipengaruhi oleh 3 faktor
yaitu preload (jumlah darah yang mengisi jantung), kontraktilitas

9
(perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada tingkat sel yang
berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar kalium),
dan afterload (besarnya tekanan ventrikel yang harus dihasilkan untuk
memompa darah melawan perbedaan tekanan yang ditimbulkan oleh
tekanan arteriol). Apabila salah satu komponen itu terganggu maka curah
jantungakan menurun.
Kelainan fungsi otot jantung disebabkan karena aterosklerosis
koroner,hipertensi arterial dan penyakit otot degeneratif atau inflamasi.
Aterosklerosis koroner mengakibatkan disfungsi miokardium karena
terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis
(akibat penumpukan asam laktat). Infark miokardium biasanya mendahului
terjadinya gagal jantung. Hipertensi sistemik atau pulmonal (peningkatan
afterload) meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya
mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung. Efek tersebut (hipertrofi
miokard) dapat dianggap sebagai mekanisme kompensasi karena akan
meningkatkan kontraktilitas jantung. Tetapi untuk alasan tidak jelas,
hipertrofi otot jantung tadi tidak dapat berfungsi secara normal, dan
akhirnya akan terjadi gagal jantung.
Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif berhubungan
dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak serabut
jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun. Ventrikel kanan dan kiri
dapat mengalami kegagalan secara terpisah. Gagal ventrikel kiri paling
sering mendahului gagal ventrikel kanan. Gagal ventrikel kiri murni
sinonim dengan edema paru akut.Karena curah ventrikel berpasangan atau
sinkron, maka kegagalan salah satu ventrikel dapat mengakibatkan
penurunan perfusi jantung (Oktavianus & Febriani, 2014)

10
5. Pathway

Beban jantung meningkat Gagal pompa ventrikel kanan Tekanan diastolik naik Bendungan atrium
CHF
Gagal jantung kanan Gagal pompa ventrikel kiri Bendungan kanan

vena hepar
Forward failure Backward failure
sistemik hepatomegali

Suplai darah jar.menurun Suplai O2 otak menurun Renal bov menurun Tek.kapiler paru meningkat

anaerob sinkup
KAA meningkat
Edema paru

Asidosis metabolik Penurunan perfusi jaringan


Gangguan pertukaran gas
Penimbunan as.Laktat & ATP menurun Aldosteron meningkat

fatigue Retensi NA + H2O ADH meningkat


Beban ventrikel kanan meningkat
Intoleransi aktivitas
Kelebihan volume cairan vaskuler
Hipotropy ventrikel kanan
(pemenuhan ADL)
Penyempitan ventrikel kanan

Pola nafas tidak efektif Sesak nafas


(Oktavianus & Febrian, 2014)
11
6. Tanda dan Gejala

Menurut Oktavianus & Febriana (2014) tanda dan gejala dari congestive
hearth failure yaitu :

a. Gagal jantung kiri.


Kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri karena ventrikel kiri
tidak mampu memompa darah yang datang dari paru, sehingga
peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru menyebabkan cairan
terdorong ke jaringan paru. Manifestasi klinis yang terjadi pada gagal
jantung kiri yaitu:
1) Dispnea.

Terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli yang mengganggu

pertukaran gas. Dapat terjadi ortopnea. Beberapa pasien dapat

mengalami ortopnu pada malam hari yang dinamakan Paroksimal

Nokturnal Dispnea (PND).

2) Batuk

Terjadi akibat peningkatan desakan vena pulmonal (edema

pulmonal).

3) Mudah lelah.

Terjadi karena curah jantung yang kurang yang menghambat

jaringan dari sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya

pembuangan sisa hasil katabolisme. Juga terjadi karena

meningkatnya energi yang digunakan untuk bernafas.

4) Insomnia.

5) Terjadi karena distress pernafasan dan batuk.

6) Kegelisahan dan kecemasan.

12
b. Gagal jantung kanan.

Kongestif jaringan perifer dan visceral menonjol. Karena sisi kanan jantung tidak

mampu mengosongkan volume darah dengan adekuat sehingga tidak dapat

mengakomodasikan semua darah yang secara normal kembali dari sirkulasi

vena.Manifestasi klinis yang terjadi yaitu:

1) Edema ekstremitas bawah (edema dependen), biasanya edema pitting, penambahan

berat badan.

2) Distensi vena leher dan ascites.

3) Hepatomegali dan nyeri tekanan pada kuadran kanan atas abdomen terjadi akibat

pembesaran vena di hepar.

4) Anorexia dan mual terjadi akibat pembesaran vena dan stasis vena dalam rongga

abdomen.

5) Nokturia (Curah jantung membaik sehingga perfusi renal meningkat dan terjadi

diuresis).

6) Kelemahan

Kelemahan terjadi karena pembuangan produk sampah katabolisme yang tidak

adekuat

7. Pencegahan
Penyebab gagal jantung terutama berasal dari penyakit jantung, maka pencegahannya
merupakan tahap pertama pencegahan gagal jantung, pencegahan atau pengobatan dini
penyakit jantung seperti CAD, endokarditis infeksi, perikarditis konstriktif, hipertensi, dan
penyakit jantung reumatik adalah sangat penting. Bagaimanapun, karena satu dan lain hal
penyakit jantung tidak selalu dapat dicegah, maka tahap berikutnya adalah menunda
serangan mendadak gagal jantung. Hal ini meliputi manajemen diet seperti diet rendah
garam lemak atau diet untuk menurunkan berat badan, program penghentian merokok,
menyusun program aktivitas/latihan dan pengobatan dini terhadap infeksi (Udjianti, 2010).

8. Penatalaksanaan
Menurut Oktavianus & Febriana (2014) penatalaksanaan pada pasien dengan gagal jantung
dibagi menjadi penatalaksanaa farmakologis dan nonfarmakologis.
a. Terapi farmakologis :

1) Glikosida jantung.

Digitalis, meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung dan memperlambat

frekuensi jantung. Efek yang dihasilkan, peningkatan curah jantung, penurunan

tekanan vena dan volume darah, peningkatan diuresis, dan menguranggi edema.

2) Terapi diuretik.

Diberikan untuk memacu eksresi natrium dan air melalui ginjal. Penggunaan harus

hati-hati karena efek samping hiponatremia dan hipokalemia.

3) Terapi vasodilator.

Obat-obat fasoaktif digunakan untuk mengurangi impadansi tekanan terhadap

penyembuhan darah oleh ventrikel. Obat ini memperbaiki pengosongan ventrikel

dan peningkatan kapasitas vena sehingga tekanan pengisisan ventrikel kiri dapat

diturunkan. Keperawatan.

b. Terapi nonfarmakologi :

1) Diit rendah garam.

Pembatasan natrium untuk mencegah, mengontrol, atau menghilangkan edema.

2) Membatasi cairan.

Mengurangi beban jantung dan menghidari kelebihan volume cairan dalam tubuh.

3) Manajemen stress.
Respon psikologi dapat mempengaruhi peningkatan kerja jantung.

4) Mengurangi aktivitas fisik.

Kelebihan aktivitas fisik mengakibatkan peningkatan kerja jantung sehingga perlu

dibatasi.

5) Mengurangi berat badan.

6) Menghindari alkohol.

9. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Udjianti (2010), beberapa pemeriksaan untuk menguatkan uji diagnostik
congestive hearth failure antara lain :
a. Hitung sel darah lengkap : anemia berat/anemia gravis atau polisitemia vera.

b. Hitung sel darah putih : lekositosis (endokarditis dan miokarditis) atau keadaan

infeksi lain.

c. Analisa gas darah (AGD) : menilai derajat gangguan keseimbangan asam basa baik

metabolik maupun respiratorik.

d. Fraksi lemak : peningkatan kadar kolesterol, trigliserida, low density lipoprotein

merupakan resiko CAD dan penurunan perfusi jaringan.

e. Serum katekolamin : pemeriksaan untuk mengesampingkan penyakit adrenal.

f. Tes fungsi ginjal dan hati : menilai efek yang terjadi akibat CHF terhadap fungsi hati

dan ginjal.

g. Echocardiogram : menilai stenosis/inkompetensi, pembesaran ruang jantung,

hipertrofi ventrikel.

h. Scan jantung : menilai underfusion otot jantung, yang menunjang penururnan

kemampuan kontraksi.
i. Rontgen toraks : untuk menilai pembesaran jantung (Cardio Thoraxic Ratio/CTR)

dan edema paru.

j. EKG: menilai hipertrofi atrium/ventrikel, iskemia, infark, dan disritmia

B. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Menurut muttaqin (2009), fokus pengkajian pada pasien dengan gagal jantung kongestif

antara lain:

a. Pengkajian primer.

1) Airway.

Penilaian akan kepatenan jalan nafas, meliputi pemeriksaan mengenai adanya

obstruksi jalan nafas, dan adanya benda asing. Pada klien yang dapat berbicara dapat

dilakukan jalan nafas bersih. Dilakukan pula pengkajian adanya suara nafas

tambahan seperti snoring.

2) Breathing.

Frekuensi nafas, apakah ada penggunaan otot bantu pernafasan, retraksi dinding

dada, dan adanya sesak nafas. Palpasi pengembangan paru, auskultasi suara nafas,

kaji adanya suara nafas tambahan seperti ronchi, wheezing, dan kaji adanya trauma

pada dada.

3) Circulation

Dilakukan pengkajian tentang volume darah dan cardiac output serta adanya

perdarahan. Pengkajian juga meliputi status hemodinamika, warna kulit, nadi.

4) Disability.
Nilai tingkat kesadaran serta ukur dan reaksi pupil.

b. Pengkajian sekunder.

Menurut Udjianti (2010) fokus pengkajian pada pasien gagal jantung kongestif yaitu:

1) Keluhan.

a) Dada terasa berat (seperti memakai baju ketat).

b) Palpitasi atau berdebar-debar.

c) Paroksimal Nocturnal Dyspnea (PND) atau orthopnea, sesak napas saat

beraktivitas, batuk (hemoptoe), tidur harus pakai bantal lebih dari dua buah.

d) Tidak nafsu makan, mual, dan muntah.

e) Letargi ( kelesuan) atau fatigue (kelelahan).

f) Insomnia.

g) Kaki bengkak dan berat badan bertambah.

h) Jumlah urin menurun.

i) Serangan timbul mendadak/sering kambuh.

2) Riwayat penyakit.

Hipertensi renal angina,infark miokard kronis, diabetes melitus, bedah jantung, dan

disritmia.

3) Riwayat diet.

4) Intake gula, garam, lemak, kafein, cairan, alkohol. Merokok atau tidak( cara/jumlah

batang per hari, jangka waktu)

5) Riwayat pengobatan.

Toleransi obat, obat-obat penekanan fungsi jantung, steroid, jumlah cairan per-IV,

alergi terhadap obat tertentu.


6) Faktor predisposisi dan presipitasi, obesitas, asma, atau COPD yang merupakan

faktor pencetus peningkatan kerja jantung dan mempercepat perkembangan CHF.

c. Pemeriksaan fisik

Menurut Udjianti (2010) fokus pengkajian fisik pada pasien gagal jantung

kongestif yaitu:

1) Evaluasi status jantung : berat badan, tinggi badan, kelemahan, toleransi aktivitas,

nadi perifer, displace lateral PMI/iktus kordis, tekanan darah, mean arterial pressure,

bunyi jantung, denyut jantung, pulsus alternans, gallop’s murmur, obstruksi

idiopathic hypertrophic sub-aorti stenosis (IHSS).

2) Respirasi : dispnea, orthopnea, PND, suara nafas tambahan (ronkhi,rales,wheezing).

3) Tampak pulsasi vena jugularis, JVP>3 cmH2O, hepatojugular refluks.

4) Evaluasi faktor stress : menilai insomnia, gugup atau cemas/takut yang kronis.

5) Palpasi abdomen : hepatomegali, splenomegali, asites.

6) Konjungtiva pucat, sklera ikterik.

7) Capilary Refill Time (CRT) >2 detik, suhu akral dingin, diaforesis, warna kulit

pucat, dan pitting edema.

2. Diagnosa keperawatan

Menurut Udjianti (2010), yang sudah di sesuaikan dengan Standar Diagnosis Keperawatan

Indonesia (SDKI, 2016), didapatkan fokus diagnosa pada gagal jantung kongestif antara

lain:

a. Penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan curah jantung, kongesti,

vena sekunder terhadap kegagalan kompensasi jantung.


b. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan akumulasi cairan dalam alveoli paru

sekunder terhadap status hemodinamik tidak stabil.

c. Resiko terhadap atau kelebihan volume cairan edema berhubungan dengan peningkatan

preload, penurunan kontraktilitas, penurunan aliran darah ke ginjal, penurunan laju

filtrasi glomerulus.

d. Perubahan pola tidur berhubungan dengan nyeri, sesak nafas, dan lingkungan rumah

sakit yang asing bagi klien.

e. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit: ulkus dekubitus berhubungan dengan

imobilisasi/intoleransi aktivitas, edema, dan perfusi jaringan.

f. Resiko terhadap defisit volume cairan berhubungan dengan efek terapi diuretik yang

berlebih.

g. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak seimbangan antara suplai dan

kebutuhan oksigen, kelemahan, imobilisasi.

3. Intervensi
keperawatan

Intervensi keperawatan dibuat berdasarkan diagnosa keperawatan dengan menetapkan

tujuan, kriteria hasil dan rencana tindakan. Intervensi menurut udjianti (2010) yang sudah di

sesuaikan dengan NANDA aplikasi jilid 2 (2015) sebagai berikut:

a. Penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan penuruna curah jantung, kongesti vena

sekunder terhadap kegagalan kompensasi jantung.

1) Data penunjang.

a) Subyektif.

Mengeluh pusing, sesak napas, mual, berkeringat dingin, nyeri dada.


b) Objektif.

Hipotensi, MAP abnormal, takikardi, disritmia, diaforesis, pulsus alternans, kulit

dingin dan pucat, dispnea/orthopnea/PND, ronkhi, BUN/kreatinin meningkat,

oliguria, pulsasi vena jugularis/JVP > 3 cm H2O, disritmia, BJ 3 gallop’s,

BJ1/BJ2 melemah atau split, terdengar murmur/bising

2) Tujuan.

Perfusi jaringan, curah jantung adekuat, dan tanda-tanda dekompensasi kordis tidak

berkembang.

3) Kriteria hasil.

a) Tekanan darah normal, MAP normal, denyut nadi kuat dan frekuensi normal,

kadar BUN/kreatinin normanl, JVP<3 cmH2O, kulit hangat, keringat normal,

irama jantung sinus, pola nafas efektif, bunyi napas normal, BJ tunggal,

intensitas kuat, dan irama teratur.

4) Intervensi

a) Atur posisi tidur yang nyaman (fowler/high fowler).

b) Bed res total dan mengurangi aktivitas yang merangsang timbulnya respons

valsava/vagal manuver. Catat reaksi klien terhadap aktivitas yang dilakukan.

c) Monitor tanda-tanda vital dan denyut apikal setiap jam (pada fase akut), dan

kemudian tiap 2-4 jan bila fase akut berlalu.

d) Monitor dan catat tanda-tanda disritmia, auskultasi perubahan bunyi jantung.

e) Monitor BUN/kreatinin sesuai program terapi.

f) Observasi perubahan sensori.

g) Observasi tanda-tanda kecemasan dan upayakan memelihara lingkungan yang

nyaman. Upayakan waktu istirahat dan tidur adekuat.


h) Berikan diet sedikit-sedikit tapi sering dan lakukan oral higine secara teratur.

i) Lakukan latihan gerakan secara pasif (bila fase akut berlalu) dan tindakan lain

untuk mencegah tromboemboli.

j) Monitor serum digitalis secara periodik, dan efek samping obat-obatan serta

tanda-tanda peningkatan ketegangan jantung.

k) Kolaborasi tim gizi untuk memberikan diet rendah garam, rendah protein, dan

rendah kalori (bila klien obesitas) serta cukup selulosa.

l) Kolaborasi tim medis untuk terapi dan tindakan (glikosid jantung, inotropik atau

digitalis dan obat vasoaktif, antiematik dan laxatif (sesuai indikasi),

tranquilizer/sedatif (bila perlu), bantuan oksigenasi, cek EKG serial, rontgen

toraks (bila ada indikasi), kateterisasi jantung (flow-direct catheter) bila ada

indikasi, pasang pacemaker (bila ada disritmia maligna atau AV block total)).

m) Jangan memberikan digitalis bila didapatkan perubahan denyut nadi, bunyi

jantung, atau perkembangan toksisitas digitalis dan segera laporkan kepada tim

medis.

b. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan akumulasi cairan dalam alveoli paru

sekunder terhadap status hemodinamik tidak stabil.

1) Potensi komplikasi : hipoksia berat.

2) Data penunjang

a) Subjektif.

Sesak napas, nyeri dada, batuk, lateragi, keletihan.

b) Objektif
Agitasi atau bingung, sianosis, wheezing, rales/ronkhi di basal paru, retraksi

intercosta/superasternal, pernapasan cuping hidung, nilai ABG abnormal,

PND/takipnea/orthopnea, dan kulit kuning pucat.

3) Tujuan.

Mempertahankan pertukaran gas dalam paru secara adekuat untuk meningkatkan

oksigenasi jaringan.

4) Kriteria hasil

a) Keluhan sesak napas, nyeri dada, dan batuk hilang.

b) Tanda sianosis hilang, bunyi napas normal, tanda-tanda kesulitan bernapas

hilang, nilai ABG dalam batas normal.

5) Intervensi

a) Posisikan tidur semi fowler dan batasi jumlah pengunjung.

b) Bed res total dan batasi aktivitas selama periode sesak napas, bantu mengubah

posisi.

c) Auskultasi suara napas dan catat adanya rales (crackles) atau ronkhi di basal

paru wheezing.

d) Observasi kecepatan pernapasan dan kedalaman (pola napas) tiap 1-4 jam.

e) Monitor tanda/gejala edema pilmonal (sesak napas saat aktivitas,

PND/orthopnea, batuk, takipnea, sputum bau, jumlah, warna, viskositas,

peningkatan pulmonary artery wedge.

f) Monitor tanda/gejala hipoksia (perubahan nilai gas darah, takikardia,

peningkatan sistolik tekanan darah, gelisah, bingung, pusing, nyeri dada,

sianosis di bibir dan membran mukosa).


g) Observasi tanda-tanda kesulitan respirasi, pernapasan cheypne stroke, segera

laporkan ke tim medis.

h) Kolaborasi tim medis untuk terapi dan tindakan (pemberian oksigen nasal kanul

2-4 liter per menit (kecuali bila klien mengalami hipoksia kronis) kemudian 2

liter per menit. Observasi reaksi klien dan efek pemberian oksigen (nilai kadar

ABG), diuretik dan suplemen kalium, bronkodilator, sodium nitropruside,

sodium bikarbonat (bila asidosis metabolik)).

i) Monitor efek yang diharapkan efek samping dan toksisitas dari terapi yang

diberikan. Cek kadar elektrolit, laporkan kepada tim medis bila ditemukan tanda

toksisitas atau komplikasi lain.

j) Kolaborasi tim gizi untuk memberikan diet jantung (rendah garam rendah

lemak).

c. Resiko terhadap atau kelebihan volume cairan: edema berhubungan dengan preload,

penurunan kontraktilitas, penurunan aliran darah ke ginjal, penurunan laju filtrasi

glomerulus (peningkatan produksi ADH dan retensi air + garam).

1) Data penunjang.

a) Subjektif.

Sesak nafas, batuk, kaki bengakak, dan berkeringat dingin.

b) Objektif.

c) Edema ekstermitas, berat badan meningkat, dispnea/ortopnea/PND, asites,

hepatomegali, splenomegali, kardiomegali-CTR > 50%, EKG: LFH, RFH,

defiasi exis, pergeseran apex, perubahan denyut nadi, peningkatan


CVP/PWP/tekanan darah, ronkhi, oliguri, atau anuria, CVP > 3cmH2O,

pelebaran vena abdominal.

2) Tujuan.

Mencegah atau mengurangi kelebihan volume cairan dan meningkatkan perfusi

jaringan.

3) Kriteria Hasil.

a) CVP,PWP, tekanan darah, denyut nadi/jantung, berat badan dalam batas normal,

edema/asited berkurang/hilang, pola napas normal, suara napas normal , hati dan

limpa normal.

4) Intervensi.

a) Monitor dan evaluasi CVP, PWP, denyut nadi/jantung,tekanan darah secara

ketat/tiap jam atau 2-4jam setelah fase akut berlalu.

b) Monitor denyut jantung, mur-mur, palpasi iktus kordis, lebar denyut apex dan

disritmia.

c) Observasi tanda-tanda edema anasarka.

d) Timbang berat badan tiap hari.

e) Observasi pembesaran hati dan limfa (catat adanya mual, muntah dan distensi).

f) Batasi makanan yang menimbulkan gas dan minuman yang mengandung

karbonat.

g) Batasi asupan cairan dan berikan diet rendah garam.

h) Observasi input dan output cairan dan produksi urine perjam atau per24jam.

i) Kolaborasi tim medis untuk terapi dan tindakan ( diuretik, cek kadar elektrolit

serum, oksigenasi, toracosentesis, paracentesis).


d. Perubahan pola tidur berhubungan dengan nyeri, sesak napas, dan lingkungan rumah

sakit yang asing bagi klien.

1) Data penunjang.

a) Mengeluh sulit tidur/sering terbangun, pusing, nyeri dada, sulit beradaptasi

dengan lingkungan RS, dan sesak napas.

b) Mata klien sayu, wajah tampak layu, lelah/gelisah/kesakitan, jumlah jam tidur

klien berkurang, sering menguap/menggosok mata, dan dispnea/orthopnea/PND.

2) Tujuan.

Memenuhi kebutuhan istirahat/tidur klien secara adekuat (kualitas maupun

kuantitas).

3) Kriteria hasil.

a) Mengatakan mampu tidur dengan nyaman dan keluhan-keluhan hilang.

b) Jumlah jam tidur normal, wajah klien segar, dan nyeri/sesak napas hilang.

4) Intervensi.

a) Mengidentifikasi pola normal tidur klien.

b) Membantu klien dalam beradaptasi ddengan lingkungan rumah sakit.

c) Menilai adanya faktor yang menunjukkan terjadinya gangguan pola tidur.

d) Memberikan tindakan untuk mengatasi faktor penyebab.

e) Memberikan tindakan yang dapat menunjang istirahat/tidur klien.


f) Merencanakan tindakan perawatan/medis yang tiadak menganggu jam

istirahat/tidur klien.

g) Kolaborasi tim medis untuk pemberian tranquilizer sesuai kebutuhan/indikasi.

e. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit: ulkus dekubitus berhubungan dengan

imobilisasi/intolerasi aktivitas, edema, dan perubahan perfusi jaringan.

1) Data penunjang.

a) Subjektif.

Keluhan tidak nyaman di area yang tertekan, berkeringat banyak, tidak mampu

beraktivitas, dan takut bergerak.

b) Objektif.

Edema, bed rest, kulit lembap, diaforesis, mobilitas pasif, tanda vital abnormal,

alas tidur lembap, kemerahan pada kulit punggung/daerah tertekan lainnya,skala

resiko dekubitus (brade scale: risiko sedang-tinggi).

2) Tujuan.

Mencegah kerusakan jaringan kulit (ulkus dekubitus).

3) Kriteria hasil.

a) Subjektif.

Keluhan hilang/berkurang.

b) Objektif.

Edema hilang, kelembapan kulit normal,mampu melakukan aktivitas sesuai

kemampuan, tanda-tanda vital dalam batas normal, alas tidur bersih dan kering,

tidak terdapat tanda peradangan pada punggung atau daerah tertekan.

4) Intervensi.
a) Cek perubahan warna kulit atau tanda peradangan kulit di area tonjolan tulang.

b) Gunakan alas tidur yang lembut.

c) Lakukan perawatan kulit dan masase setiap selesai mandi.

d) Ganti line bila basah atau lembap dan kototr. Ganti baju klien bila berkeringat

banyak.

e) Bantu mobilitas ringan sesuai kemampuan klien dan upayakan ambulasi miring

ke kiri, terlentang dan miring ke kanan setiap 2 jam sekali secara terjadwal.

f) Lakukan perawatan dini ulkus dekubitus bila didapatkan tanda

kemerahan/eritema di kulit tertekan.

g) Tetapkan jadwal pengosongan kandung kemih.

f. Resiko terhadap defisit volume cairan berhubungan dengan efek terapi diuretik yang

berlebihan.

1. Data penunjang.

a) Sering buang air kecil (bila tidak menggunakan kateter urine).

b) Produksi urine per jam atau per 24 jam, tanda-tanda vital, asupan cairan/24 jam,

kadar elektrolit darah, berat badan, jenis dan dosis diuretik yang diberikan serta

waktu pemberian.

2. Tujuan.

Mencegah terjadinya defisit cairan dan efek diuretik terkontrol.

3. Kriteria hasil.

a) Tanda-tanda vital, berat badan, produksi urin per jam atau 24 jam dan kadar

elektrolit dalam batas normal, asupan cairan adekuat, dosis diuretik terkontrol.

4. Intervensi.

a) Monitor efek pemberian diuretik dengan seksama.


b) Observasi tanda-tanda vital dan kenali tanda-tanda dehidrasi.

c) Monitor kadar eliktrolit.

d) Kolaborasi dengan tim medis untuk memberikan suplai potasium/kalium jika

kadar kalium serum rendah.

e) Kolaborasi untuk mendapatkan diet yang cukup kalium.

f) Monitor intake cairan dan produksi urin per 24 jam.

g) Segera melaporkan kepada tim medis bila didapatkan tanda-tanda dehidrasi.

g. Intolerasi aktivitas berhubungan dengan ketidak seimbangan antara suplai dan

kebutuhan oksigen, kelemahan, imobilisasi.

1) Data penunjang.

a) Mengeluh lelah, merasa lemah, sesak saat atau setelah aktivitas, merasa tidak

nyaman setelah beraktivitas.

b) Frekuensi jantung meningkat >20% dari kondisi istirahat, tekanan darah

meningkat lebih dari saat kondisi istirahat, sianosis.

2) Tujuan

Mencegah terjadinya kekurangan tenaga berlebih activity tolerance.

3) Kriteria hasil

a) objektif

frekuensi jantung dan tekanan darah tidak megalami peningkatan saat atau

setelah melakukan aktivitas.

4) Intervensi

a) Monitor respon fisik, emosi, sosial, dan spiritual.

b) Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri dan penguatan.


c) Bantu pasien dan keluarga pasien untuk mengidentifikasi kekurangan dalam

beraktivitas.

d) Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan.

e) Bantu pasien untuk membuat jadwal latihan diwaktu luang.

f) Kolaborasi dengan tenaga rehabilitasi medik dalam merencanakan program

terapi yang tepat

4. Implementasi

Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan. Tahap ini muncul jika

perencanaan yang dibuat diaplikasikan pada klien (Debora, 2011).

5. Evaluasi

Evaluasi adalah tahap kelima dari proses keperawatan. Pada tahap ini perawat
membandingkan hasil tindakan yang telah dilakukan dengan kriteria hasil yang sudah
ditetapkan serta menilai apakah masalah yang terjadi sudah teratasi seluruhnya, hanya
sebagian, atau bahkan belum teratasi semuanya (Debora, 2011).
ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA Ny. S
DENGAN CHF (CONGESTIVE HEART FAILURE)
DI RSUD MOEWARDI SURAKARTA

Tanggal / jam MRS : 11 Mei / 07.00 WIB


Tanggal/ jam pengkajian : 11 Mei / 22.00 WIB
Diagnose medis : CHF (CONGESTIVE HEART FAILURE)
No. Reg : 123XXX

A. Pengkajian
1. Biodata
a. Identitas pasien :
1) Nama : Ny. S
2) Jenis kelamin : perempuan
3) Alamat : Surakarta
4) Umur : 58 tahun 5 bulan 26 hari
5) Agama : islam
6) Status : menikah
7) Pendidikan : SMA
8) Pekerjaan : IRT
b. Identitas penanggung
jawab
1) Nama : Nn. R
2) Jenis kelamin : perempuan
3) Umur : 25 tahun
4) Pendidikan : SMA
5) Pekerjaan : Swasta
6) Alamat : Surakarta
7) Hubungan : Anak
2. Keluhan Utama
Pasien mengalami penurunan kesadaran

3. Riwayat Penyakit
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien masuk IGD pada tanggal 26 Juni pukul 07.00 WIB dengan keluhan nyeri
dada sebelah kiri, dada berdebar-debar, sesak, demam, dan pusing. Dilakukan
pengkajian tanda-tanda vital dengan TD : 120/60 mmHg, N : 122 x/menit, RR :
20x/menit S: 37,80C. pasien tampak pucat dan lemas pengkajian nyeri P : Nyeri saat
beraktivitas yang berat, Q : Nyeri seperti ditusuk tusuk jarum, R : Nyeri dada sebelah
kiri, S : Skala nyeri 5, T : Nyeri dirasakan terus menerus, GCS E 4V5M4. Saat dilakukan
pemeriksaan EKG memberikan gambaran sinus takikardi. Pasien mendapatkan terapi
infus RL 10 tpm, terpasang NRM 8lpm.
Pada pukul 10.00 WIB pasien dipindahkan ke ruangan, dan dilakukan pengkajian
tanda-tanda vital TD : 100/60 mmHg, N : 120x/menit, RR : 26x/menit S: 37,8 0C. pasien
masih mengeluh nyeri pada dada sebelah kiri dan sesak, GCS E4V5M4. Pasien
mendapatkan terapi obat Infus line 1 RL dengan infuse pump 2000 cc/24 jam,
ceftriaxon 2 gr/24 jam, pantoprazol 40 gr/24 jam, ondancentron 4 mg/12 jam,
furosemid 10 mg/12 jam dan terpasang NRM 8lpm.
Pada pukul 22.00 pasien mengalami penurunan kesadaran dengan Keadaan umum
lemah, kesadaran somnolen GCS E2M3V3 lalu pasien dipindahkan ke ruang ICU
didapatkan pengkajian TD : 100/60 mmHg, N : 150x/menit, RR : 26x/menit S: 37,8 0C,
SPO2 99%. Gambaran EKG menunjukkan SVT (Supraventrcular Takikardi) lalu pasien
diberikan terapi internal ceftriaxon 2 gr/24 jam, pantoprazol 40 gr/24 jam,
ondancentron 4 mg/12 jam, furosemid 10 mg/12 jam, infuse line 1 assering dengan
infuse pump 2000cc/24 jam, line 2 D5%+amiodaron 150 mg (sebanyak 50 cc) dengan
syring pump 20 ml/jam, serta obat oral potassium chloride 1×600 mg, Clopidogrel
1×75 mg, Tralit 1×1.

b. Riwayat penyakit dahulu


Keluarga pasien mengatakan 1 bulan yang lalu pasien pernah dirawat dirumah sakit
dengan keluhan yang sama yaitu lemah jantung namun tidak sampai sadarkan diri.
Pasien sebelumnya tidak mempunyai riwayat penyakit hipertensi dan pasien belum
pernah melakukan pembedahan. Keluarga pasien mengatakan tidak memiliki alergi
makanan, obat-obatan.
c. Riwayat penyakit Keluarga
Keluarga pasien mengatakan ibu dari pasien memiliki riwayat penyakit yaitu hipertensi
dan keluarga lain tidak ada yang menderita peyakit lemah jantung, HT, DM ataupun
penyakit menular.
d. Riwayat alergi
Tidak mempunyai alergi obat atau makanan
4. Pengkajian Primer
a. Airway
Jalan nafas bersih, tidak ada sumbatan jalan nafas, dan tidak ada penumpukan secret,
terpasang Oropharyngeal airway.
b. Breathing
RR 26x/menit, pengembangan dada simetris, suara nafas ronchi, tidak terdapat tarikan
otot intercostal, tidak ada nafas cuping hidung, reflek batuk ada, terpasang NRM 8lpm.
c. Circulation
TD : 100/60 mmHg, N : 150x/menit, RR : 26x/menit S: 37,80C. SPO2 : 99%. Nadi
cepat (Takikardi), pucat dan lemas.
d. Disability
Kesadaran somnolen, keadaan umum lemah, GCS : E2M3V3
Pengkajian nyeri pada pasien dengan penurunan kesadaran menggunakan
CPOT(Critial Pain Observation Tool) :
No Indicator Kriteria Skore Deskiripsi
1 Ekspresi wajah Tegang 1 Merenggut, alis menuru, orbit
menengang dan terdapat kerutan
lewator atau perubahan lainnya
(membuka mata atau menangis
selama prosedur invasive)
2 Geralan tubuh Ada gerakan 1 Gerakan lambat, gerakan hati-hati,
perlingungan menyentuk atau menggosok bagian
yang nyeri (mencari perhatian
melalui gerakan)
3 Vokalisasi (untuk Menghila 1 Menghela napas, merintih
pasien yang tidak nafas, merintih
terpasang intubasi)

4 Ketegangan otot Tegang kaku 2 Perlawanan kuat pada gerakan


pasif atau tidak bisa dilakukan
gerakan pasif
Total 5 Skor 0: tidak nyeri
Skore1-2: nyeri ringan
Skore3-4:nyeri sedang
Skore 5-6 : nyeri berat
Skore 7-8: nyeri sangat berat

5. Pengkajian Sekunder (persystem)


a. B1 (Breathing)
Pasien tampak sesak, jalan nafas tidak terdapat sumbatan, tidak terdapat polip, fungs
penciuman masih baik, pasien terpasang non rebreting mask O2 8lpm. Pemeriksaan
paru didapat :
1) Inspeksi : Pergerakan dada simetris, tidak ada luka didaerah dada, tidak terdapat
tarikan otot intercostal, pasien dyspneu, RR 26x/menit, SPO2 : 99%
2) Palpasi : Nyeri pada dada sebelah kiri, ekspansi paru kanan dan kiri simetris, taktil
fremitus teraba simetris, tidak ada massa.
3) Perkusi : bunyi redup pada kedua lapang paru
4) Auskultasi : suara nafas , terdapat suara ronchi, reflek batuk ada, terpasang NRM
8lpm.
b. B2 (Blood)
1) HR : 150 x/menit
2) EKG : SVT (Supraventrikular Takikardi)
3) Irama jantung : reguler
4) Pemeriksaan jantung : ictus cordis tidak terlihat, tidak ada nyeri tekan, dan tidak ada
massa, ictus cordis teraba, bunyi perkusi pekak dan saat dilakukan auskultasi S1 /S2
terdengar “Lup” Dup”
5) TD : 100/60 mmHg
6) JVP : tidak terdapat peningkatan JVP
7) Sianosis perifer : tidak terdapat sianosis diarea perifer pasien (area kuku)
8) CRT : 3 detik
9) Akral : Hangat
10) Mata : konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik (putih)
c. B3 (Brain)
1) Tingkat kesadaran : Somnolen
2) GCS : E2M3V3, reaksi pupil 2/2 mm
3) Bentuk kepala : Mesochepal
4) Mata : Simetris, bersih, konjungtiva tidak anemis, sclera tidak
ikterik (putih)
5) Pasien mengalami penurunan kesadaran
6) Keluarga pasien mengatakan pasien tidak memiliki gangguan pendengaran,
penglihatan dan penciuman.
d. B4 (Bledder)
1) Kandung kemih : tidak terdapat distensi,
2) Produksi Urine : warna kuning pekat, tidak ada darah, bau khas,
jumlah urine 150 cc/24 jam.
3) Kemampuan berkemih menggunakan alat bantu Dower Kateter
4) Tidak terdapat nyeri tekan
5) Intake cairan :
Oral : makan = 200cc/24jam
: obat-obatan : 50cc
Minum : 100cc
Parenteral : infus : 2000cc
Obat-obatan : 100cc
Air metabolisme : 5cc/KgBB/hari = 5x60=300cc
Total = 2750 cc/24jam
6) Output cairan :
Urine : 150cc/24 jam
BAB : 100cc/24jam
Muntah 0
NGT Residu 0
IWL : 15 cc/KGBB/hari = 15ccx 60 kg/24jam =37,5
cc Total : 287,5cc
7) Balance cairan : input cairan – output cairan
=2750cc-287,5cc = 2462,5 cc (positif)
e. B5 (Bowel)
1) TB : 155cm
2) BB : 60 kg
3) IMT : 60/2,4 = 25 (berat badan lebih )
4) Mulut : bersih, tidak ada stomatitis, mukosa bibir lembab, lidah
merah muda, gigi utuh dan tidak ada carien gigi
5) Tenggorokan : tidak ada keluhan.
6) Pemeriksaan abdomen :
Inspeksi : bentuk simetris, bersih, warna sawo matang, tidak ada lesi,
supel, tidak ada bekas luka operasi, tidak terdapat asites
Auskultasi : bising usus 11x/menit
Perkusi : terdengar bunyi tympani
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembesaran organ
7) BAB : 1 kali, sedikit, warna kuning, lembek, tidak ada darah dan
tidak ada kelainan
8) Pasien mendapatkan diet cair khusus penyakit jantung 1200kkal /24jam
f. B6 (Bone)
1) Pergerakan sendi terbatas
2) Terdapat pitting edema pada ekstremitas bawah kanan dan kiri derajat 1 dengan
kedalaman 3 mm waktu kembali 3 detik
3) Deformitas ekstremitas : tidak terdapat cedera tulang pada pasien
4) Mobilisasi : Mobilisasi pasien bedrest ditempat tidur. Dalam
pemenuhan ADL, pasien dibantu oleh keluarga dan perawat
5) Sikulasi perifer CRT 3 detik, pasien tidak mengalami kompertemen syndrome
6) Kulit tidak sianosis
7) Turgor kulit baik
8) ROM : pasif
9) Kekuatan otot :
Tangan KananTangan Kiri (3)(3)

Kaki kanan (3) Kaki kiri (3)

Keterangan

0 = tidak ada
kontraksi 1 = hanya
kontraksi
2 = hanya bergeser
3 = hanya bisa mengangkat tetapi tidak mampu menahan gravitasi
4 = mampu melawan gravitasi tetapi tidak mampu menahan
beban 5 = mampu melawan beban

6. Sistem Endokrin
1) Pembesaran Tyroid tidak ada
2) Tidak ada pembesaran kelenjar getah benik
3) Pasien tidak mengalami hipoglikemia ataupun hiperglikemia
7. Personal Hygiene dan kebiasan
Personal Hygiene Sebelum sakit : pasien mandi 2 kali sehari, mencuci rambut 3 hari sekali
Selama sakit : pasien sibin 1 kali sehari, pasien tidak bisa mencuci rambut. Pasien
membutuhkan bantuan dalam melakukan personal hygiene
8. Pengkajian Psikososial dan Spiritual
a. Psikologi
1) Status emosi : suasana pasien saat ini sedih dan pasien hanya bisa pasrah dan terus
berusaha untuk kesembuhannya
2) Konsep diri : menurut keluarga pasien adalah orang yang baik dan sangat disayang
keluarga. Hal yang paling disukai adalah ketika berkumpul bersama keluarga.
b. Hubungan Sosial Keluarga mengatakan teman terdekat adalah keluarganya. Keluarga
yang sangat dipercaya. Pasien mempunyai hubungan yang baik kepada tetangga di
sekitar rumah pasien.
c. Spiritual Pasien beragama Islam. Pasien mengatakan sehat dan sakit yang member
adalah Allah SWT dan tetap beribadah di saat sakit seperti ini
9. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium
Tanggal 11 Mei 2020
Pemeriksaan Hasil Satuan Normal
HEMATOLOGI
Leukosit 8,21 Ribu/mm3 4,2 – 9,3
Eritrosit 6,20 Juta/μL 4,0 – 5,0
Hemoglobin 15,2 g/dl 12,0 – 15,0
Hematokrit 47,8 % 37 – 43
Trombosit 95 Ribu/μL 150 – 450
MPV 8,08 Fl 7,2 – 11,1
RDW 13,0 % 11,5 – 14,5
MCV 77,0 Fl 80 – 99
MCH 24,5 Fl 27 – 31
MCHC 31,8 gr/l 33,0 – 37,0
Neutrofil 74,2 % 50 – 70
Limfosit 12,8 % 20 – 40
Monosit 11,3 % 2–8
Eosinofil 0,0 % 2–4
Basofil 1,7 % 0–1

Tanggal 12 Mei 2020

Pemeriksaan Hasil Satuan Normal


HEMATOLOGI
Leukosit 11,18 Ribu/mm3 4,2 – 9,3
Eritrosit 6,44 Juta/μL 4,0 – 5,0
Hemoglobin 15,7 g/dl 12,0 – 15,0
Hematokrit 51,2 % 37 – 43
Trombosit 89 Ribu/μL 150 – 450
MPV 10,02 Fl 7,2 – 11,1
RDW 13,8 % 11,5 – 14,5
MCV 79,6 Fl 80 – 99
MCH 24,3 Fl 27 – 31
MCHC 30,6 gr/l 33,0 – 37,0
Neutrofil 86,7 % 50 – 70
Limfosit 5,4 % 20 – 40
Monosit 6,0 % 2–8
Eosinofil 0,0 % 2–4
Basofil 1,9 % 0–1
Tanggal 13 Mei 2020

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal


Glukosa sewaktu 161 Mg/dl 120 – 160
Ureum 76 Mg/dl 15 – 45
Creatinin 1,44 Mg/dl 0,70 – 1,36
SGOT 152 u/l 14 – 58
SGPT 64 u/l l 4 – 41
Na 131,5 Mmol/l 135 – 148
K 3,89 Mmol/l 3,5 – 5,3
CI 92,6 Mmol/l 98 – 106

b. Radiologi
Kesimpulan :
Adanya cardiomegali dan pulmonary edema
c. EKG
Gambaran EKG pada pasien menunjukan gambaran SVT (Supraventrikuler Takikardi)

10. Program Terapi

Tanggal Jenis Terapi Parenteral Jenis Terapi Oral


11 Mei - Infus line 1 RL dengan - Potassium chloride
infuse pump 2000 cc/24 jam 1×600mg
- Line 2 D5%+amiodaron 150 - Clopidogrel 1×75mg
mg (sebanyak 50 cc) dengan - Trolit 1×1
syring pump 20 ml/jam
- Ranitidine 50 mg/12 jam
- Furosemid 10 mg/12 jam
11 mei - Ceftriaxon 2gr/24 jam - Potassium chloride
- Pantoprazol 40 gr/24 jam 1×600mg
- Ondancentron 4 mg/12 jam - CPG 1×
- Furosemid 10 mg/12 jam - Trolit 1×1
- Infus line 1 RL dengan
infuse pump 2000 cc/24 jam
- Line 2 D5%+amiodaron 150
mg (sebanyak 50 cc) dengan
syring pump 20 ml/jam
- Line 3 D5+morfin 1
ml+sotatic 2 ml dengan
syring pump 2,5 ml/jam

B. ANALISA DATA

No Analisa Data Problem Etiologi


1 DS Penurunan Curah Perubahan
a. Keluarga mengatakan Jantung afterload
pasien mengeluh
sesak
b. Keluarga pasien
mengatakan badan
terasa lemas
a. Keluarga pasien
mengatakan nyeri
dibagian dada sebelah kiri,
dada berdebar-debar
DO
a. Irama EKG sinus ventrikel
takikardi (SVT)
TD : 100/70 mmHg
N : 150x/mnt
RR : 26 x/mnt
b. Kesimpulan radiologi
Adanya kardiomegali dan
pulmonary edema
c. GCS 13 E2 V3 M3
d. CRT 3 detik
e. Akral teraba hangat
Urine output 150 ml/24 jam
2 DS Hipervolemi Gangguan
a. Keluarga pasien mekanisme
mengatakan merasa sesak regulasi
nafas jika kelelahan
b. Keluarga pasien
mengatakan nyeri
dibagian dada sebelah kiri,
dada berdebar-debar
DO
a. Pasien Dyspneu
b. RR : 26 x/mnt
c. Terpasang non rebreating
mask 02 8lpm
d. Kesimpulan radiologi
Adanya kardiomegali dan
pulmonary edema
e. Balance cairan :
input cairan-output cair

=2750cc-287,5cc = 2462,5
cc (positif)
3 DS Pola Nafas tidak Hambatan upaya
a. Keluarga pasien efektif nafas (nyeri saat
mengatakan mengalami bernafas)
sesak nafas
b. Keluarga mengatakan
pasien sering mengeluh
pusing
DO
a. Pasien Dyspneu
b. Keadaan umum lemah
c. TTV
TD : 100/70 mmHg
N : 150x/mnt
RR : 26 x/mnt
d. Suara nafas ronchi
e. Pasien terpasang NRM 8
lpm

4 DS:- Nyeri Akut Agen pencedera


DO fisiologis
TTV
TD : 100/70 mmHg
N : 150x/mnt
RR : 26 x/mnt
S : 37,80C

Setelah dilakukan pengkajian


nyeri dengan CPOT didapatkan
hasil skore 5 (nyeri berat)
5 DS Intoleransi Ketidakseimbangan
a. Keluarga mengatakan aktivitas antara suplai dan
pasien mengeluh badan kebutuhan oksigen
terasa lemas
b. Keluarga pasien
mengatakan dalam
beraktivitas pasien harus
dibantu
c. Keluarga pasien
mengatakan merasa sesak
nafas jika kelelahan
DO
a. Terjadi kelelahan saat
aktivitas
b. Ekstremitas atas dan bawah
mengalami kelemahan
karena sesak nafas
c. Kekuatan otot
3/3 (atas)
3/3 (bawah)

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan afterload
2. Hipervolemi berhubungan dengan Gangguan mekanisme regulasi
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas (nyeri saat bernafas)
4. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen

D. INTERVENSI
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan afterload
Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
(L.02008) (I.02075)
Setalah dilakukan tindakan Perawatan jantung
keperawatan selama 3 x 8 jam Observasi
diharapkan curah jantung
1) Identifikasi tanda/gejala primer
meningkat dengan kriteria hasil :
penurnan curah jantung (meliputi
1) Kekuatan nadi perifer
dyspnea, kelelahan, edema, ortopnea,
meningkat,
paroxysmal nocturnal dyspnea,
2) Palpitasi menurun
peningkatan CVP)
3) Bradikardi menurun 2) Monitor tekanan darah
4) Takikardi menurun 3) Monitor saturasi oksigen
5) Lelah menurun 4) Monitor keluhan nyeri dada
6) Dipsnea menurun 5) Monitor EKG 12 sedapan
6) Monitor aritmia (kelainan irama dan
7) Oliguria menurun
frekuensi )
8) Sianosis menurun Terapeutik
9) Batuk menurun 1) Posisikan pasien semi- fowler atau
fowler dengan kaki di bawah atau
10) Tekanan darah cukup
posisi nyaman
membaik
2) Berikan terapi relaksasi untuk
mengurangi stress, jika perlu
Edukasi
1) Anjurkan beraktivitas fisik sesuai
toleransi
2) Anjurkan beraktivitas fisik secara
bertahap
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian
antiaritmia, jika perlu
2) Rujuk ke program rehabilitasi jantung

2. Hipervolemi berhubungan dengan Gangguan mekanisme regulasi


Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
(L.03020) (I.03114)
Setalah dilakukan tindakan Manajemen Hipervolemia
keperawatan selama 3 x 8 jam Observasi
diharapkan keseimbangan cairan a. Periksa tanda dan gejala hypervolemia
membaik dengan kriteria hasil (mis: edema, suara nafas tambahan).
a. Input output cairan seimbang b. Monitor status hemodinamik (mis:
b. Keluaran cairan meningkat frekuensi jantung, tekanan darah).
c. Kelembaban membrane c. Monitor intake dan output cairan.
mukosa meningkat d. Monitor tanda hemokonsentrasi (mis:
Berat badan membaik kadar natrium, hematokrit)
Therapeutik
a. Batasi asupan cairan dan garam
b. Tinggikan kepala tempat tidur 30-40
derajat
Edukasi
a. Anjurkan melapor jika haluaran urine <0.5
ml/kg/jam dalam 6 jam
b. Anjurkan melapor jika BB bertambah > 1
kg dalam sehari
c. Ajarkan cara mengukur dan mencatat
asupan dan haluaran cairan
d. Ajarkan cara membatasi cairan
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian diuretic.

3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas (nyeri saat bernafas)
Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
(L.01004) (I.01004)
Setalah dilakukan tindakan Observasi
keperawatan selama 3 x 8 jam 1.Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman,
diharapkan pola napas membaik usaha napas)
dengan kriteria hasil 2.Monitor bunyi napas tambahan (mis.
1) Dispnea menurun Gurgling, mengi, weezing, ronkhi kering)
2) penggunaan otot bantu napas Terapeutik
menurun 1.Pertahankan kepatenan jalan napas dengan
3) pemanjangan fase ekspirasi head-tilt dan chin-lift (jaw-thrust jika curiga
menurun trauma cervical)
4) kedalaman napas membaik 2.Posisikan semi-Fowler atau Fowler
5) Tekanan ekspirasi dan Berikan minum hangat
inspirasi membaik 3.Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
6) frekuensi napas membaik Edukasi
1.Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika
tidak kontraindikasi.
2.Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
1.Kolaborasipemberian bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik, jika perlu.

4. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis


Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
Setelah dilakukan Tindakan (I.08238)
keperawatan 3x8jam diharapkan Observasi
masalah nyeri akut berkurang 1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
dengan kriteria hasil frekuensi, kualitas, skala nyeri
1) keluhan nyeri menurun 2) Identifikasi respon nyeri non verbal
2) skala nyeri berkurang 3) Identifikasi factor yan memperberat dan
3) frekuansi nadi membaik memperingan nyeri
4) pola nafas membaik 4) Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
5) tekanan darah membaik tentang nyeri
5) Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas
hidup
6) Monitor efek samping penggunaan
analgetik
Terapeutik
1) Berikan teknin non farmakologis untuk
mengurangi nyeri
2) Control lingkungan yang memperberat
nyeri
3) Fasilitasi istirahat tidur
Edukasi
1) Jelaskan penyebab nyeri
2) Jelaskan strategi meredakan nyeri
3) Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri
4) Anjurkan menggunakan analgetik secara
tepat
5) Ajarkan Teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik, jikaperlu

5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
(L.05047) (I.05178)
Setelah dilakukan tindakan Observasi
keperawatan selama 3 x 8 jam 1) Identifkasi gangguan fungsi tubuh yang
diharapkan masalah intoleransi mengakibatkan kelelahan
aktivitas meningkat dengan 2) Monitor kelelahan fisik dan emosional
kriteria hasil :. 3) Monitor pola dan jam tidur
1) Berpartisipasi dalam aktivitas 4) Monitor lokasi dan ketidaknyamanan
fisik tanpa disertai selama melakukan aktivitas
peningkatan tekanan darah, Terapeutik
nadi dan RR
2) TTV dalam rentang normal 1) Sediakan lingkungan nyaman dan
3) TD (sistol 120-130 rendah stimulus (mis. cahaya, suara,
mmHG,diastol 60-80 mmHG) kunjungan)
4) N: 60-100x/menit 2) Fasilitas duduk di sisi tempat tidur, jika
5) RR : 16-20x/menit tidak dapat berpindah atau berjalan
6) S : 36,5-37,5 C
7) Mampu berpindah tanpa atau Edukasi
dengan bantuan alat 1) Anjurkan tirah baring
8) Mampu melakukan aktivitas 2) Anjurkan melakukan aktivitas secara
sehari-hari (ADLs) secara bertahap
mandiri 3) Anjurkan menghubungi perawat jika
tanda dan gejala kelelahan tidak
berkurang
4) Ajarkan strategi koping untuk
mengurangi kelelahan
Kolaborasi
Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara
meningkatkan asupan makanan

E. IMPLEMENTASI DAN EVALUASI

No Hari dan Implementasi keperawatan dan Evaluasi TTD


Dx tanggal hasil
1. 11 Mei 1. Memonitor TTV S:-
2020 Hasil: O : TD : 107/70 mmHg
22.00 TD : 107/70 mmHg RR : 26 x/menit
RR : 26 x/menit N : 150x/menit
N : 150x/menit S : 37oC
S : 37oC SPO2 : 99%
SPO2 : 99% Irama EKG : SVT
CRT= 3 detik GCS : E2M3V3
Akral teraba hangat CRT = 3 detik
Akral teraba hangat
2. Mengidentifikasi tanda dan A: Masalah belum teratasi
22.05 gejala penurunan curah P : Lanjutkan intervensi
jantung - Monitor TTV setiap
Hasil : jam
Pasien dypsneu - Monitor tanda dan
RR : 27x/menit gejala
penurunan curah
22.07 3. Monitor keluhan nyeri dada
jantung
dengan CPOT
Hasil : - posisikan pasien semi
fowler
Skor 5 nyeri sedang
- Kolaborasi pemberian
22.15 4. Monitor EKG terapi obat
Hasil :
- Irama EKG SVT
- HR : 140

22.20 5. Memposisikan pasien semi


fowler
Hasil:
Pasien dalam posisi semi
fowler

22.30 6. Memberikan edukasi pada


keluarga pasien bahwa pasien
harus bedrest total di ICU
Hasil:
Keluarga tampak paham dan
mengerti menegnai informasi
yang telah dijalaskan perawat

24.00 7. Kolabarasi pemberian terapi


Line 2 D5%+amiodaron 150
mg (sebanyak 50 cc) dengan
syring pump 20 ml/jam,
Potassium chloride 1×600mg
Hasil :
Amiodaron 150 mg melalui
iv, Potassium chloride masuk
melalui oral
2. 22.00 1. Memonitor tanda dan gejala Jam 22.00
hypervolemia S:-
Hasil: O : TD : 107/70 mmHg
Terdapat oedem ekstermitas RR : 26x/menit
bawah kanan, kiri dan oedem N : 150x/menit
paru S : 37oC
SPO2 : 99%
22.00 2. Memonitor TTV Ku : lemah
Hasil: Tidak terdapat sianosis
TD : 107/70 mmHg A : Masalah belum teratasi
RR : 26x/menit P : lanjutkan intervenssi
N : 150x/menit
- monitor TTV setiap
S : 37oC
jam
SPO2 : 99%
- monitor balance
22.15 3. Memonitor Memantau cairan
balance cairan - monitor
Hasil : hypervolemia
Balance cairan : input cairan- - berikan pijat kaki
output cairan = 2750cc- - kolaborasi pemberian
287,5cc = 2462,5 cc (positif) deuritik (Furosemide
10 mg)
22.20 4. Memberikan posisi head up
30
Hasil:
Pasien dalam posisi head up
300

22.25 5. Mengedukasi pada keluarga


untuk pembatasan cairan
Hasil :
Keluarga tampak mengetahui
tentang pembatasan cairan,
keluarga menanykan pada
perawat tentang cara
menghitung cairan ketika
dirumah
23.00 6. Berikan pijat pada kaki untuk
mengurangi oedem
Hasil : Masih terdapat pitting
edema pada ekstremitas
bawah ( derajat 1) dengan
kedalaman 3 mm, waktu
kembali 3 detik

00.00 7. Kolaborasi pemberian


Furosemide 10 mg
Hasil :
Furosemid masuk melalui iv

3. 22.00 1. Memonitor bunyi nafas S : -


O : Pasien terpasang NRM 8
lpm, terpasang OPA, RR
: 27 x/ Menit,
suara nafas ronchi
A : Masalah belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi
- Monitor bunyi nafas
dan status oksigen
- Mempertahankan
dan status oksigenasi pasien kepatenan jalan nafas
22.03 Hasil: - Kolaborasi dalam
Terdapat suara ronchi dan pemberian suction
pasien terpasang NRM 8 lpm

2. Mempertahakan kepatenan
jalan nafas
Hasil:
OPA terpasang

4. 22.03 1. Mengidentifikasi skor nyeri S :-


non O : Skor nyeri 5, nyeri
verbal sedang
hasil : A : Masalah belum teratasi
skor nyeri 5 , nyeri sedang P : Intervensi dilanjutkan
dengan :
2.Memberikan posisi nyaman 1. Monitor nyeri pasien
22.03 hasil : 2. Berikan posisi nyaman
pasien tampak merasa nyaman 3. Kolaborasi pemberian
analgetik
3. Kolaborasi pemberian
24.00 analgetik,
Line 3 D5+morfin 1
ml+sotatic 2 ml dengan syring
pump 2,5 ml/jam
Hasil :
Line 3 D5+morfin 1
ml+sotatic 2 ml dengan syring
pump 2,5 ml/jam masuk
melalui iv

5. 22.10 1. mengkaji kekuatan otot pasien S: -


Hasil : O : - pasien tampak bedrest
Tangan Tangan total
Kanan Kiri - Pasien berada dalam
(3) (3) posisi
miring kanan
Kaki Kaki kiri
kanan (3)
A: Masalah belum teratasi
(3)
Tangan Tangan
Teradapat oedem pada kedua Kanan Kiri
ekstermitas bawah (3) (3)
22.00 2. Menyediakan lingkungan Kaki Kaki kiri
nyaman kanan (3)
Hasil : (3)
Pasien berada pada lingkungan
yang nyaman, terpasang bed
23.30 side rail
3. Memberikan posisi miring
kanan , miring kiri
Hasil :
24.00 Pasien dalam posisi miring
kanan P : intervensi dilanjutkan
4. Kolaborasi pemberian nutrisi - Monitor tanda-tanda
dengan ahli gizi kelelalahan
Hasil : - Berikan lingkungan
susu entramix 200cc diberikan yang nyaman
lewat NGT
1 12 Mei 1. Memonitor TTV S:-
2020 Hasil: O : TD : 115/78 mmHg
07.00 TD : 115/78 mmHg RR : 25x/menit
RR : 25x/menit N : 140x/menit
N : 140x/menit S : 37,2oC
o
S : 37,2 C SPO2 : 99%
SPO2 : 99% Irama EKG SVT
CRT = 3 detik GCS : E2M3V3
Akral teraba hangat CRT =2 detik
Akral teraba hangat
08.00 2. Mengidentifikasi tanda dan A: Masalah belum teratasi
gejala penurunan curah
P : lanjutkan intervensi
jantung
- Monitor TTV setiap
Hasil :
jam
Pasien dypsneu
RR : 25x/menit - Monitor tanda dan
08.30 gejala
3. Monitor EKG penurunan curah
Hasil : jantung
- Irama EKG SVT - posisikan pasien semi
- HR : 130x/m fowler
08.40 - Kolaborasi pemberian
terapi obat
4. Memposisikan pasien semi
fowler
Hasil:
Pasien berada dalam posisi
08.00 semi
fowler

5. Kolabarasi pemberian terapi


Line 2 D5%+amiodaron 150
mg (sebanyak 50 cc) dengan
syring pump 20 ml/jam ,
Potassium chloride 1×600mg
Hasil :
Amiodaron 150 mg iv,
Potassium chloride masuk
melalui oral
2 07.00 1. Memonitor tanda dan gejala S:-
hypervolemia O : TD : 110/80 mmHg
Hasil: RR : 25x/menit
Terdapat oedem ekstermitas N : 128x/menit
bawah kanan, kiri dan oedem S : 36,8oC
07.00 paru SPO2 : 99%
Ku : lemah
2. Memonitor TTV Tidak terdapat sianosis
Hasil: A :Masalah belum teratasi
TD : 110/80 mmHg P : lanjutkan intervenssi
RR : 25x/menit - monitor TTV setiap
N : 128x/menit
jam
S : 36,8oC
- monitor balance
07.00 SPO2 : 99%
cairan
Ku : Lemah
3. Memonitor Memantau - monitor
balance cairan hypervolemia
Hasil : - berikan pijat kaki
Balance cairan : input cairan- -Kolaborasi pemberian
output cairan = 1440cc-920cc deuritik (Furosemide
= 520 cc (positif) 10 mg)
07.10

4. Memberikan posisi head up


30
Hasil:
Pasien dalam posisi head up
300

11.00 5. Berikan pijat pada kaki untuk


mengurangi oedem
Hasil : Masih terdapat pitting
edema pada ekstremitas
bawah ( derajat 1) dengan
kedalaman 3 mm, waktu
kembali 3 detik
12.00
6. Kolaborasi pemberian
Furosemide 10 mg
Hasil :
Furosemid masuk melalui iv

3 13.05 1.Memonitor bunyi nafas tamba S:-


tambahan dan status oksigenasi O : Terpasang N NRM 8
pasien lpm/
Hasil: Maintenance, terpasang
RR: 24x/m OPA, RR : 24X/ Menit,
Suara nafas ronchi suara nafas ronchi
Terdapat suara ronchi dan cairan bening, sebanyak 5
pasien terpasang NRM 8 lpm/ cc tidak terdapat darah
maintenance A : masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi
13.15 2. Mempertahkan kepatenan - Monitor bunyi nafas
jalan nafas dan status oksigen
Hasil: - Mempertahankan
OPA terpasang kepatenan jalan nafas

4 14.10 1. Mengidentifikasi skor nyeri S:-


non verbal dengan CPOT O: Skor nyeri 4, nyeri ringan
hasil : , pasien tampak nyaman
skor nyeri 3 , nyeri ringan A: Masalah teratasi sebagian
P: Lanjutkan intervensi
14.20 2. Memberikan posisi nyaman - Identifikasi skala
hasil : nyeri non verbal
pasien tampak merasa nyaman - Beri posisi nyaman
- Kolaborasi pemberian
08.00 3. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
analgetik,
Line 3 D5+morfin 1
ml+sotatic 2 ml dengan syring
pump 2,5 ml/jam
Hasil :
Line 3 D5+morfin 1
ml+sotatic 2 ml dengan syring
pump 2,5 ml/jam masuk
melalui iv
5 16.00 1. Mengkaji kekuatan otot pasien S: -
Hasil : O : - pasien tampak bedrest
total
Tangan Tangan
Kanan Kiri - Pasien berada dalam
(3) (3) posisi
Kaki Kaki kiri miring kanan
kanan (3)
A: Masalah belum teratasi
(3)
Tangan Tangan
Teradapat oedem pada kedua Kanan Kiri
ekstermitas bawah (3) (3)
16.05 2. Menyediakan lingkungan Kaki Kaki kiri
nyaman kanan (3)
Hasil : (3)
Pasien berada pada lingkungan
yang nyaman, terpasang bed
side rail
2. Memberikan posisi miring
17.00 kanan , miring kiri
Hasil :
Pasien dalam posisi miring
kanan P : intervensi dilanjutkan
18.00 3. Kolaborasi pemberian nutrisi - Monitor tanda-tanda
dengan ahli gizi kelelalahan
Hasil : - Berikan lingkungan
Susu entramix 200cc yang nyaman
diberikan lewat NGT

1 13 mei 1. Memonitor TTV S:-


2020 Hasil: O : TD : 120/79 mmHg
07.00 TD : 120/79 mmHg RR : 22x/menit
RR : 22x/menit N : 126x/menit
N : 126x/menit S : 36,2oC
S : 36,2oC SPO2 : 99%
SPO2 : 99% Irama EKG SVT
GCS : E2M3V3 GCS : E2M3V3
CRT <2 detik \ CRT <2 detik
Akral teraba hangat Akral teraba hangat
A: Masalah belum teratasi
2. Mengidentifikasi tanda dan
P : lanjutkan intervensi
07.10 gejala penurunan curah
- Monitor TTV setiap
jantung
jam
Hasil :
Pasien dypsneu - Monitor tanda dan
RR : 22x/menit gejala
penurunan curah
07.10 3. Monitor EKG jantung
- posisikan pasien semi
Hasil : fowler
- Irama EKG SVT - Kolaborasi pemberian
- HR : 126x/m terapi obat

07.15 4. Memposisikan pasien semi


fowler
Hasil:
Pasien berada dalam posisi
semi
08.00 fowler

5. Kolabarasi pemberian terapi


Line 2 D5%+amiodaron 150
mg (sebanyak 50 cc) dengan
syring pump 20 ml/jam ,
Potassium chloride 1×600mg
Hasil :
amiodaron 150 mg iv,
Potassium chloride masuk
melalui oral
2 07.00 1. Memonitor tanda dan gejala S:-
hypervolemia O : TD : 118/80 mmHg
Hasil: RR : 20x/menit
Terdapat oedem ekstermitas N : 110x/menit
bawah kanan, kiri dan oedem S : 36,2oC
paru SPO2 : 99%
Ku : lemah
07.00 2. Memonitor TTV Tidak terdapat sianosis
Hasil: A :Masalah belum teratasi
TD : 118/80 mmHg P : lanjutkan intervenssi
RR : 20x/menit - monitor TTV setiap
N : 110x/menit
jam
S : 36,2oC
- monitor balance
SPO2 : 99%
cairan
Ku : Lemah
07.10 3. Memonitor Memantau - monitor
balance cairan hypervolemia
Hasil : - berikan pijat kaki
Balance cairan : input cairan- -Kolaborasi pemberian
output cairan = 1440cc- deuritik (Furosemide
1220cc = 220 cc (positif) 10 mg)

4. Memberikan posisi head up


09.00 30
Hasil:
Pasien dalam posisi head up
300
5. Berikan pijat pada kaki untuk
mengurangi oedem
09.30 Hasil : Masih terdapat pitting
edema pada ekstremitas
bawah ( derajat 1) dengan
kedalaman 3 mm, waktu
kembali 3 detik

6. Kolaborasi pemberian
Furosemide 10 mg
10.00 Hasil :
Furosemid masuk melalui iv

3 08.00 1.Memonitor bunyi nafas tam S:-


bahan dan status oksigenasi O : terpasang N NRM 8 lpm/
pasien Maintenance, terpasang
Hasil: OPA, RR : 22X/ Menit,
RR: 22x/m suara nafas ronchi
Suara nafas ronchi cairan bening, sebanyak 5
Terdapat suara ronchi dan cc tdak terdapat darah
pasien terpasang NRM 8 lpm/ A : masalah belum teratasi
maintenance P : lanjutkan intervensi
08.15 2.Mempertahkan kepatenan jalan - Monitor bunyi nafas
nafas dan status oksigen
Hasil: - Mempertahankan
OPA terpasang kepatenan jalan nafas

4 08.00 1. Mengidentifikasi skor nyeri S:-


non O: skor nyeri 2, nyeri ringan ,
verbal dengan CPOT pasien tampak nyaman
hasil : A: masalah teratasi
skor nyeri 2 , nyeri ringan P: intervensi dihentikan
08.00 2. Memberikan posisi nyaman
hasil :
pasien tampak merasa nyaman
08.00 3. kolaborasi pemberian
analgetik,jika perlu
Line 3 D5+morfin 1
ml+sotatic 2 ml dengan syring
pump 2,5 ml/jam
Hasil :
Line 3 D5+morfin 1
ml+sotatic 2 ml dengan syring
pump 2,5 ml/jam masuk
melalui iv stop
5 09.00 1. Mengkaji kekuatan otot S: -
pasien Hasil : O : - Pasien tampak bedrest
total
Tangan Tangan - Pasien berada dalam
Kanan Kiri
Terada posisi
(3) (3) pat miring kanan
Kaki Kaki kiri
oedem
kanan (3)
pada A: Masalah belum teratasi
(3) Tangan Tangan
kedua
ekstermitas bawah Kanan Kiri
(3) (3)
2. Menyediakan lingkungan Kaki Kaki kiri
nyaman kanan (3)
Hasil : (3)
Pasien berada pada lingkungan
09.40 yang nyaman, terpasang bed
side rail
3. Memberikan posisi miring
kanan , miring kiri
Hasil :
Pasien dalam posisi miring
11.00 kanan P : Intervensi dilanjutkan
4. Kolaborasi pemberian nutrisi - Monitor tanda-tanda
dengan ahli gizi kelelalahan
Hasil : - Berikan lingkungan
12.00 susu entramix 200cc yang nyaman
diberikan lewat NGT
LAMPIRAN
ANALISA EVIDENCE BASED PRACTICE

Jurnal ke 1

PIJAT KAKI EFEKTIF MENURUNKAN FOOT OEDEMA PADA


PENDERITA CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF)

Kasron*
Engkartini**

*Program Studi S1 Keperawatan STIKES Al-Irsyad Al-Islamiyyah Jln. Cerme No 24 Sidanegara


Cilacap 53222
**Program Studi S1 Keperawatan STIKES Al-Irsyad Al-Islamiyyah Jln. Cerme No 24
Sidanegara Cilacap 53222

Corresponding Author: kasron@stikesalirsyadclp.ac.id

Abstrak

Oedema kaki merupakan salah satu gejala pada pasien CHF. Oedema kaki dapat menyebabkan
penurunan kualitas hidup, ketidaknyamanan, perubahan postur tubuh, menurunkan mobilitas dan
meningkatkan resiko jatuh, gangguan sensasi di kaki dan menyebabkan perlukaan di kulit.
Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh pijat kaki terhadap penurunan oedema kaki pada
pasien CHF. Metode penelitian menggunakan quasi-experiment dengan pendekatan pre-post test
without control group. Responden penelitian adalah pasien CHF yang mengalami oedema kaki,
pemilihan responden menggunakan non-probability sampling dengan metode accidental
sampling. Responden diukur lingkar oedema pada lingkar angkle, instep dan MP-Joint
menggunakan metline pada sebelum intervensi, hari pertama, kedua dan ketiga. Analisis statistik
menggunakan wilcoxon test. Sejumlah 13 responden memenuhi kriteria penelitian. Pada kaki
kanan lingkar angkle pre: 27,7±1,8, post 1: 27,6±1,8, post 2 27,5±1,7, post 3: 27,2±1,7, lingkar
instep pre: 27,6±1,7, post 1:
27,6±1,8, post 2: 27,2±1,7, post 3: 26,9±1,7, lingkar MP-joint pre: 27,0±1,6, post 1: 27,0±1,6, post
1: 27,0±1,6, post 2: 26,7±1,7, post 3: 26,3±1,7. Kaki kiri lingkar angkle pre: 27,6±1,8, post 1:
27,6±1,8, post 2: 27,3±1,8, post 3: 27,0±1,8, lingkar instep pre: 27,6±1,7, post 1: 27,5±1,7, post 2:
27,2±1,7, post 3: 26,8±1,7, lingkar MP-joint pre: 27,0±1,6, post 1: 26,9±1,8, post 2: 26,5±1,8,
post 3: 26,2±1,8. Hasil analisis menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna lingkar
oedema pada kaki kanan setelah hari kedua dan ketiga dengan p-value <0,001. Kesimpulan
penelitian adalah terdapat perbedaan lingkar oedema angkle, instep, dan MP-joint pada hari
kedua dan ketiga setelah pemijatan kaki pada pasien CHF yang mengalami oedema kaki. Perlu
penelitian lanjutan untuk penatalaksanaan oedema kaki pada pasien CHF yang mengalami
oedema kaki.

Kata kunci: CHF, Foot Oedema, Pijat Kaki


PENDAHULUAN
Congestive Heart Failure (CHF) adalah ketidakmampuan otot jantung memompakan
sejumlah darah untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh. CHF adalah sebuah kondisi dari
kardiovaskuler dimana jantung tidak bisa memompa darah secara adekuat untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme dari jaringan tubuh (Desai, Lewis, Li, & Solomon, 2012). Beberapa
faktor resiko gagal jantung adalah kebiasaan merokok, kurang aktivitas fisik, perubahan pola diet,
kelebihan berat badan, hiperlipidemia, diabetes, hipertensi, usia, jenis kelamin dan keturunan.
Berdasarkan penelitian diketahui penyebab utama CHF adalah hipertensi dan penyakit arteri
koronaria (Savage et al., 1998). CHF merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan
merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung. Berdasarkan data
World Health Organisations (WHO) risiko kematian akibat gagal jantung berkisar antara 5-10%
pertahun pada gagal jantung ringan yang akan meningkat menjadi 30-40% pada gagal jantung
berat (World Health Organization (WHO), 2015).
Penyakit CHF meningkat sesuai dengan perkembangan usia, prevalensi CHF di dunia
sekitar 1% pada orang yang berusia 50-59 tahun, 10% pada usia lebih dari 65 tahun, dan 50%
pada usia lebih dari 85 tahun. (Collier et al., 2011). Pada negara berkembang prevalensi CHF
sekitar 1- 2% dari populasi dewasa. Prevalensi meningkat lebih dari 10% pada usia lebih dari 70
tahun (Murberg & Bru, 2001).
Prevalensi CHF di Indonesia adalah 0,13%, tertinggi di Yogyakarta 0,25%, disusul Jawa
Timur 0,19%, dan ketiga di Jawa Tengah 0,18%. Berdasarkan jenis kelamin kejadian CHF pada
laki-laki adalah 0,1% dan perempuan 0,2%. Berdasarkan usia pasien kejadian CHF pada usia 15-
34 tahun adalah 0,07%, usia 35-54 tahun 0,28%, 55-74 tahun 0,87%, lebih dari 75 tahun 0,41%.
(Dinas Kesehatan Republik Indonesia, 2013).
Gejala penyakit CHF yang biasa muncul adalah extertional dyspnoea, orthopnoea,
paroxysmal nocturnal dyspnoea, batuk kering, kelelahan dan kelemahan, pusing atau palpitasi.
Gejala penyakit CHF yang berkaitan dengan retensi cairan adalah nyeri epigastrik, distensi
abdomen, ascites, oedema sakral dan oedema peripheral (Panel et al., 2011). Persentase gejala
pada CHF adalah dispnoea (52%), orthopnoea (81%), paroxysmal nocturnal dyspnoea (76%),
oedema (80%) (Remme & Swedberg, 2001).
Oedema kaki didefinisikan sebagai akumulasi cairan di kaki dan tungkai yang di
akibatkan oleh ekspansi volume interstisial atau peningkatan volume ekstraseluler (Cho &
Atwood, 2002). Oedema kaki akan menyebabkan penurunan fungsi kesehatan dan kualitas hidup
(HR-QOL), ketidaknyamanan, perubahan postur tubuh, menurunkan mobilitas dan meningkatkan
resiko jatuh, gangguan sensasi di kaki dan menyebabkan perlukaan di kulit (Rahnavard, Nodeh,
& Hatamipour, 2014).
Oedema kaki dapat dikurangi dengan melakukan penatalaksanaan pemijatan pada kaki,
dimana dengan pijat kaki akan menstimulasi pengeluaran cairan melalui saluran limfe ke bagian
yang lebih proksimal, sehingga menurunkan kejadian oedema kaki (Ciocon, Galindo-Ciocon, &
Galindo, 1995; Ely, Osheroff, Chambliss, & Ebell, 2006). Beberapa penelitian menjelaskan
bahwa pijat kaki dapat menurunkan oedema pada kaki, hasil penelitian pada perawat setelah
bekerja shift menunjukan pijat kaki mandiri dapat menurunkan tingkat nyeri dan oedema kaki
perawat yang bekerja setelah shift dinas (Soran et al., 2008). Hasil penelitian pada wanita hamil
yang mengalami oedema kaki dengan dilakukan pijat kaki dapat menurunkan oedema kaki
(Çoban & Şirin, 2010). Berdasarkan penelitian Wei-Ling Chen dkk (2013) dengan efek pijat
punggung pada pasien CHF dapat diperoleh hasil bahwa efek pijat punggung dapat menurunkan
kecemasan, meningkatkan kenyamanan dan meningkatkan respon fisiologis tubuh (menurunkan
tekanan darah sistolik dan diastolik, menurunkan denyut jantung, menurunkan respiratory rate,
meningkatkan saturasi oksigen) (Chen et al., 2013).
Pijat adalah sentuhan secara sistematis yang memanipulasi jaringan lunak dari tubuh
untuk meningkatkan kenyamanan dan penyembuhan (Patient, 2010). Berdasarkan penelitian
bahwa keuntungan utama pemijatan adalah meningkatkan relaksasi, meningkatkan aliran darah,
meningkatkan penyembuhan otot, mengurangi spasme otot, dan menurunkan kecemasan
(Bayrakci Tunay, Akbayrak, Bakar, Kayihan, & Ergun, 2010; Be, Into, & Hospitals, 2013;
Gazillo & Middlemas, 2001; Ragsdale, n.d.). Pijat kaki adalah gerakan sederhana yang berirama
memijat kulit bagian telapak kaki untuk menstimulasi aliran getah bening ke sistem sirkulasi
darah, dengan serangkain tekhnik, metode dan alat pijat tertentu (Çoban & Şirin, 2010; Hulme,
Waterman, & Hillier, 1999; Shimizu, 2009).
Hasil Survei awal yang dilakukan di RSUD Cilacap pada tahun 2013 (Januari-Nopember)
diketahui jumlah kasus CHF yaitu pada pasien usia 30-60 tahun sebanyak 62 pasien (29,41%)
dan usia lebih dari 60 tahun sebanyak 125 (70,59%) (Rekam Medis RSUDC, 2013). Penyebab
CHF
Jurnal Ilmu Keperawatan Medial Bedah 2 (1), Mei 2019, 1-54
2338-2058 (print), 2621-2986 (online)

sebagian besar adalah diabetes, hipertensi dan penyakit arteri koronaria. Gejala yang muncul
pada pasien CHF adalah sesak nafas, kelelahan, kelemahan, pusing dan oedema kaki. Pada pasien
CHF yang mengalami oedema kaki di RSUD Cilacap belum dilakukan penatalaksanaan untuk
mengurangi gejala oedema kaki tersebut. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pijat
kaki terhadap penurunan oedema kaki pada pasien CHF.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di RSUD Cilacap, ruang penyakit dalam. Jenis penelitian quasi
experimental, dengan pendekatan pre-posttest without control group design. Metline digunakan
untuk mengukur lingkar FO yaitu pada lingkar Ankle, lingkar Instep, lingkar sendi MP
(metatarsal- phalangs-joint). Pengambilan data dengan mengukur lingkar FO setelah tindakan
pada hari ke-1,2 dan 3. Intervensi pemijatan selama 3 hari dengan durasi ± 20 menit.
Pengambilan sample dengan metode accidental sampling dengan cara memilih semua individu
yang ditemui selama 1 bulan berjalan dan sesuai dengan kriteria yang sudah ditetapkan yaitu: 1).
Pasien gagal jantung stabil yang ditandai dengan: tidak ada nyeri dada, tidak sesak nafas saat
istirahat, denyut nadi istirahat 50-90x/menit dan reguler, tekanan darah sistolik 100-150 mmHg,
dan tekanan darah diastolik 60- 90 mmHg, 2). Tidak ada kontraindikasi pemijatan, memar,
radang, luka, demam, infeksi kulit, 3). Bersedia menjadi responden. Sedangkan kriteria eksklusi
sampel dalam penelitian ini adalah: 1). NYHA fungsional kelas IV, 2). Aritmia pada saat
istirahat, 3). Denyut jantung saat istirahat lebih dari 100x/menit. Analisis menggunakan Wilcoxon
test pada setiap pengukuran.
Jurnal Ilmu Keperawatan Medial Bedah 2 (1), Mei 2019, 1-54
2338-2058 (print), 2621-2986 (online)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penelitian dilakukan pada sejumlah 13 pasien CHF yang mengalami oedema kaki dan
sesuai dengan kriteria inklusi.
Berikut deskripsi karakteristik responden penelitian.
Tabel 1
Deskripsi Karakteristik Pasien CHF Yang Mengalami Oedema Kaki (n=13)
No
1 Umur (tahun) 54,23 ± 5,8
2 Jenis kelamin
Laki-laki 8 (61,5%)
Perempuan 5 (38,5%)
3 Pendidikan
Tidak lulus SD 1 (7,7%)
SD 1 (7,7%)
SMP 6 (46,2%)
SMA 5 (38,5%)
4 Grade CHF
II 4 (30,8%)
III 9 (69,2%)

Dari tabel 1 diketahui umur responden rata-rata 54,23 tahun jenis kelamin sebagian besar
laki-laki pendidikan sebagian besar, dan sebagian besar pada grade NYHA III.
Data lingkar oedemaa dilakukan uji normalitas menggunakan Uji Shapiro Wilk
menunjukan semua data tidak berdistribusi normal. Sehingga analisis bivariat antar pengukuran
dapat menggunakan uji Wilcoxon.
Jurnal Ilmu Keperawatan Medial Bedah 2 (1), Mei 2019, 1-54
2338-2058 (print), 2621-2986 (online)

Tabel 2
Analisis Bivariat Antar Pengukuran Lingkar Oedema Kaki Pasien CHF Yang
Mengalami Oedema Kaki
No Kaki Lingkar Pengukuran Nilai p-value*
1 Kan n Angk Pre 0 27,7±1,8
0,790
Post 1 27,6±1,8
<0,001
Post 2 27,5±1,7
<0,001
Post 3 27,2±1,7
Instep Pre 0 27,6±1,7
0,082
Post 1 27,6±1,8
<0,001
Post 2 27,2±1,7
<0,001
Post 3 26,9±1,7
MP-Join Pre 0 27,0±1,6
0,165
Post 1 27,0±1,6
<0,001
Post 2 26,7±1,7
<0,001
Post 3 26,3±1,7
2 Kiri Angk Pre 0 27,6±1,8
0,018
Post 1 27,6±1,8
<0,001
Post 2 27,3±1,8
<0,001
Post 3 27,0±1,8
Instep Pre 0 27,6±1,7
0,082
Post 1 27,5±1,7
<0,001
Post 2 27,2±1,7
<0,001
Post 3 26,8±1,7
MP-Join Pre 0 27,0±1,6
0,249
Post 1 26,9±1,8
<0,001
Post 2 26,5±1,8
<0,001
Post 3 26,2±1,8
Ket:Pre 0: pengukuran sebelum perlakuan, Post 1: pengukuran setelah perlakuan hari pertama, Post
2: pengukuran setelah perlakuan hari kedua, Post 3: pengukuran setelah perlakuan hari ketiga, *: Uji
wilcoxon test, bermakna pada p-value <0,05.
Jurnal Ilmu Keperawatan Medial Bedah 2 (1), Mei 2019, 1-54
2338-2058 (print), 2621-2986 (online)

Penatalaksanaan pada pasien CHF sangat kompleks, semakin banyak komplikasi yang
muncul pada pasien maka akan semakin banyak intervensi yang perlu diberikan (Chatterjee,
2002). Oedema kaki merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien CHF. (AuCoin, 2011)
Oedema kaki sendiri merupakan salah satu tanda bahwa penyakit CHF yang diderita oleh pasien
sudah dalam kondisi komplikasi lanjut dan berlangsung lebih lama sehingga sistem pompa
jantung mengalami penurunan (Rahnavard et al., 2014; Trayes, Studdiford, Jefferson, Tully, &
Clinic, 2013).
Oedema kaki pada pasien CHF lebih sering terjadi pada pasien dengan kelemahan jantung
akibat adanya akumulasi cairan di kaki dan tungkai yang di akibatkan oleh ekspansi volume
interstisial atau peningkatan volume ekstraseluler (Cho & Atwood, 2002). Cairan tubuh yang
berada di ekstraseluler mengalami peningkatan jumlahnya, yang diakibatkan oleh perubahan
dalam keseimbangan tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik. Akibat ketidakseimbangan
tersebut menyebabkan kedua kompartemen cairan tubuh terganggu dalam lintasan cairan antar
kompartemen tersebut. Untuk mengatasi gangguan pintasan cairan dalam kedua kompartemen
tersebut perlu perbaikan keseimbangan yang melibatkan tekanan hidrostatik, onkotik, plasma,
permeabilitas dan dinding pembuluh (Cho & Atwood, 2002).
Oedema kaki secara umum dapat dikurangi dengan melakukan penatalaksanaan pemijatan
pada kaki, dimana dengan pijat kaki akan menstimulasi pengeluaran cairan melalui saluran limfe
ke bagian yang lebih proksimal, sehingga menurunkan kejadian oedema kaki (Ciocon et al., 1995;
Ely et al., 2006). Teknik pijat yang dilakukan dalam penelitian ini sesuai prosedur yang dilakukan
oleh Shimizu (2009), dimana Shimizu melakukan teknik pijat tersebut dalam penelitian yang
digunakan pada wanita hamil yang mengalami oedema kaki fisiologis. Hasil penelitian tersebut
menunjukan terdapat pengaruh pijat kaki dengan penurunan oedema kaki pada wanita hamil
(Shimizu, 2009).
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa saat hari pertama tidak terdapat perbedaan lingkar
oedema pada kaki kanan dan kiri untuk lingkar instep (kanan: p-value: 0,082; kiri: p-value: 0,082
) dan MP joint (kanan: p-value :0,165; kiri: p-value: 0,249) saat hari pertama proses pemijatan.
Namun hasil berbeda pada lingkar ankle hari pertama yaitu untuk kaki kanan menunjukan tidak
ada perbedaan yang bermakna dengan p-value 0,790, sedangkan pada kaki kiri menunjukan
perbedaan yang bermakna dengan p-value 0,018.
Jurnal Ilmu Keperawatan Medial Bedah 2 (1), Mei 2019, 1-54
2338-2058 (print), 2621-2986 (online)

Pada kaki kiri pada area lingkar ankle lebih cepat mengalami penurunan oedema kaki
dimungkinkan terjadi karena pada saluran pembuluh limfe pada area distal lebih mudah untuk
mengembang atau dilatasi karena proses pemijatan. Serta disebabkan secara umum pada
responden ekstremitas bawah kiri kurang dominan dalam melakukan aktivitas keseharian,
sehingga ektremitas bawah kiri secara anatomi lebih kecil dibandingakan ekstremitas bawah
kanan.
Hasil penelitian saat hari kedua menunjukan bahwa semua lingkar oedema dibandingkan
pada hari pertama menunjukan terdapat perbedaan lingkar oedema baik pada lingkar ankle, instep
maupun MP joint, baik pada kaki kanan maupun pada kaki kiri dengan p-value <0,001. Demikian
juga pada hari ketiga, hasil penelitian menunjukan bahwa semua lingkar oedema dibandingkan
pada hari pertama menunjukan terdapat perbedaan lingkar oedema baik pada lingkar ankle, instep
maupun MP joint, baik pada kaki kanan maupun pada kaki kiri dengan p-value <0,001.
Hasil penelitian menunjukan persamaan dengan beberapa penelitian sejenis tentang
penggunaan pijat untuk menurunkan oedema, seperti pada kasus oedema fisiologis pada ibu
hamil dapat dilakukan intervensi pijat kaki seperti penelitian yang dilakukan oleh (Çoban & Şirin,
2010), dimana pijat kaki dapat menurunkan oedema fisiologis pada ibu hamil (Çoban & Şirin,
2010). Pada kasus oedema kaki akibat limfadema juga dapat dilakukan proses pemijatan seperti
penelitian yang dilakukan oleh (Kriederman et al., 2002) tentang efektifitas penggunaan pijat dan
atau juga penggunaan penekan (bandage/compression) mampu mengurangi jumlah cairan pada
kondisi limfedema (Kriederman et al., 2002).
Pada kasus oedema kaki akibat post-operasi pasien gangguan sistem kardiovaskuler yang
dilakukan penelitian oleh Hattan, King, & Griffiths (2002) dengan melakukan pijat kaki dan
imajinasi terbimbing menunjukan bahwa intervensi tersebut dapat menurunkan oedema dan
kecemasan pasien postoperasi sistem cardiovaskuler (Hattan et al., 2002). Pada kasus oedema
akibat postoperasi juga dapat dilakukan proses pemijatan seperti penelitian yang dilakukan oleh
Haren, Backman, & Wiberg (2000), dimana proses intervensi pijat dapat digunakan untuk
menurunkan oedema akibat post-operasi (Haren et al., 2000).
Jurnal Ilmu Keperawatan Medial Bedah 2 (1), Mei 2019, 1-54
2338-2058 (print), 2621-2986 (online)

Proses pemijatan dapat meningkatkan alitan darah sekaligus meningkatkan aliran sirkulasi
limfatik pada jaringan tersebut. Proses pemijatan dengan penekanan akan mengenai pembuluh
darah, pada pembuluh darah tersebut akan tertekan dan terdorong dengan proses pemijatan,
sehingga aliran darah akan menuju ke bagian yang lebih proksimal, demikian juga akan terjadi
permeabilitas dinding pembuluh darah (Goats, 1994). Demikian juga pada pembuluh limfe,
dengan proses penekanan pada pemijitan tersebut akan merangsang aliran cairan dari bagian
interstisial sel akan menuju ke bagian dalam pembuluh limfe yang selanjutnya akan di alirkan ke
bagian proskimal pada pembuluh limfe tersebut. Selanjutnya cairan akan dibawa kembali ke
sistem vaskuler di muara saluran limfe di atrium dextra jantung. Mekanisme yang terjadi pada
pembuluh limfe tersebut yang menjadikan pijat sering disebut sebagai pijat limfatik atau limph
drainage (Ekici, Bakar, Akbayrak, & Yuksel, 2009).
Sama dengan penelitian oleh Goats (1994), hasil studi literatur oleh Weerapong et al.
(2005) menunjukan bahwa manfaat pijat sangat banyak salah satu diantaranya adalah
meningkatkan kecepatan aliran darah, dimana dengan proses pijat dengan mekanisme penekanan
(pressure) akan menekan pembuluh darah di sekitar area pemijatan tersebut sehingga pembuluh
darah dapat berdilatasi dan konstriksi sehingga melemaskan otot polos pada pembuluh darah
tersebut yang pada akhirnya meningkatkan aliran darah di area tersebut. Proses pemijatan selain
berefek pada pembuluh darah juga berefek pada darah, sehingga dengan proses pijat akan
mengalirkan darah dari area distal tubuh ke arah proksimal tubuh, sehingga akan berefek juga
dalam memperlancar aliran darah (Weerapong et al., 2005).
Dalam penelitian ini, secara statistik dan secara klinis menunjukan ada penurunan dalam
lingkar oedema, namun peneliti belum dapat memastikan keefektifan intervensi pijat kaki
tersebut, karena pasien menerima terapi medikasi diuretik lasix dan atau furosemide dalam terapi
yang diberikannya, bisa dimungkinkan penurunan oedema tersebut akibat efek dari pemberian
medikasi tersebut, seperti penelitian Fogari (2005), menunjukan bahwa pasien yang mengalami
eodema dapat diberikan terapi diuretik untuk menurunkan oedema tersebut (Fogari, 2005),
sehingga peneliti akan merencanakan penelitian lanjutan dengan prosedur pijat kaki tersebut
dengan membandingkan dengan adanya kelompok kontrol yang tidak diberikan terapi pijat kaki
sekaligus mengontrol penggunaan obat diuretik.
Banyak hasil literatur menunjukan banyak manfaat penggunaan pijat yang lain
diantaranya adalah menurunkan kecemasan, sterss, nyeri, mual, muntah, dapat meningkatkan
kenyamanan dan meningkatkan respon fisiologis tubuh (menurunkan tekanan darah sistolik dan
diastolik, menurunkan denyut jantung, menurunkan respiratory rate, meningkatkan saturasi
oksigen) (Ågren & Berg, 2006; Li, Wang, Feng, Yang, & Sun, 2014; Munk, Kruger, & Zanjani,
2011; Quinn, Chandler, & Moraska, 2002; Ware, 1903). Hasil penelitian menunjukan terdapat
perubahan lingkar oedema pada pasien CHF yang mengalami oedema kaki setelah diberikan
intervensi pijat kaki setelah intervensi pemijatan pada hari kedua dan ketiga dengan p-value
<0,001.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang pijat kaki untuk menurunkan
oedema kaki pada pasien Congestive Heart Failure (CHF) dapat disimpulkan bahwa pijat kaki
efektif untuk menurunkan oedema kaki pada pasien CHF setelah hari kedua dan hari ketiga
dengan p-value
<0,001. Perlu penelitian lanjutan tentang pijat kaki yang menggunakan kelompok kontrol yang
tidak diberikan terapi pijat kaki sekaligus mengontrol penggunaan obat diuretik.

ACKNOWLEDGEMENT
Terimakasih kami sampaikan kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat,
Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan, Kementerian Riset, Teknologi dan
Pendidikan Tinggi, yang telah membiayai proses penelitian ini dalam skema Penelitian Dosen
Pemula tahun 2018.

DAFTAR PUSTAKA

Ågren, A., & Berg, M. (2006). Tactile massage and severe nausea and vomiting during pregnancy
- Women’s experiences. Scandinavian Journal of Caring Sciences, 20, 169–176.
https://doi.org/10.1111/j.1471-6712.2006.00394.x
AuCoin, A. (2011). Management of a patient with congestive heart failure and acute pulmonary
edema - A case study. Canadian Journal of Respiratory Therapy, 47(1), 12–17.
Bayrakci Tunay, V., Akbayrak, T., Bakar, Y., Kayihan, H., & Ergun, N. (2010). Effects of
mechanical massage, manual lymphatic drainage and connective tissue manipulation
techniques on fat mass in women with cellulite. Journal of the European Academy of
Dermatology and Venereology, 24(2), 138–142. https://doi.org/10.1111/j.1468-
3083.2009.03355.x
Be, S. M., Into, I., & Hospitals, Q. (2013). Literary review compilation on massage Compiled by
AQTN , 2013 INTEGRATED INTO What is the opportunity cost ?
Chatterjee, K. (2002). Congestive Heart Failure What Should Be the Initial Therapy and Why ?
American Journal Cardiovascular Drugs, 2(1), 1–6.
Chen, W.-L., Liu, G.-J., Yeh, S.-H., Chiang, M.-C., Fu, M.-Y., & Hsieh, Y.-K. (2013). Effect of
Back Massage Intervention on Anxiety, Comfort, and Physiologic Responses in Patients with
Congestive Heart Failure. The Journal of Alternative and Complementary Medicine, 19(5),
464–470. https://doi.org/10.1089/acm.2011.0873
Cho, S., & Atwood, J. E. (2002). Peripheral edema. American Journal of Medicine, 113(7), 580–
586. https://doi.org/10.1016/S0002-9343(02)01322-0
Ciocon, J. O., Galindo-Ciocon, D., & Galindo, D. J. (1995). Raised leg exercises for leg edema in
the elderly. Angiology, 46(1), 19–25. https://doi.org/10.1177/000331979504600103
Çoban, A., & Şirin, A. (2010). Effect of foot massage to decrease physiological lower leg oedema
in late pregnancy: A randomized controlled trial in Turkey. International Journal of Nursing
Practice, 16(5), 454–460. https://doi.org/10.1111/j.1440-172X.2010.01869.x
Collier, P., Watson, C. J., Voon, V., Phelan, D., Jan, A., Mak, G., … Mcdonald, K. M. (2011).
Can emerging biomarkers of myocardial remodelling identify asymptomatic hypertensive
patients at risk for diastolic dysfunction and diastolic heart failure  ? European Journal
of Heart Failure, 13, 1087–1095. https://doi.org/10.1093/eurjhf/hfr079
Desai, A. S., Lewis, E. F., Li, R., & Solomon, S. D. (2012). Rationale and design of the
Treatment of Preserved Cardiac Function Heart Failure with an Aldosterone
Antagonist Trial : A randomized , controlled study of spironolactone in patients with
symptomatic heart failure and preserved ejection fraction. American Heart Journal, 162(6),
966–972.e10. https://doi.org/10.1016/j.ahj.2011.09.007
Dinas Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Riset Kesahatan
Dasar, 111–116. https://doi.org/1 Desember 2013
Ekici, G., Bakar, Y., Akbayrak, T., & Yuksel, I. (2009). Comparison of Manual Lymph Drainage
Therapy and Connective Tissue Massage in Women With Fibromyalgia: A Randomized
Controlled Trial. Journal of Manipulative and Physiological Therapeutics, 32(2), 127–133.
https://doi.org/10.1016/j.jmpt.2008.12.001
Ely, J. W., Osheroff, J. a., Chambliss, M. L., & Ebell, M. H. (2006). Approach to Leg Edema of
Unclear Etiology. The Journal of the American Board of Family Medicine, 19(2), 148–160.
https://doi.org/10.3122/jabfm.19.2.148
Fogari, R. (2005). Ankle oedema and sympathetic activation. Drugs, 65 Suppl 2, 21–7.
https://doi.org/10.2165/00003495-200565002-00004
Gazillo, L. M., & Middlemas, D. a. (2001). Therapeutic massage techniques. Aquatic Therapy
Today, 6(3), 5–9.
Goats, G. (1994). Massage - the scientific basis of an ancient art : part 2 . Physiological
and therapeutic effects. BJSM: Britain Journal Specials Medicine, 2(28), 153–156.
Haren, K., Backman, C., & Wiberg, M. (2000). EFFECT OF MANUAL LYMPH DRAINAGE
AS DESCRIBED BY VODDER ON OEDEMA OF THE HAND AFTER FRACTURE OF
THE DISTAL RADIUS : A PROSPECTIVE CLINICAL STUDY. Scandinavian
Journal
Plastics Reconstruction Hand Surgical, 34, 367–372.
Hattan, J., King, L., & Griffiths, P. (2002). The impact of foot massage and guided relaxation
following cardiac surgery : a randomized controlled trial. Journal of Advanced
Nursing, 37(2), 199–207.
Hulme, J., Waterman, H., & Hillier, V. F. (1999). The effect of foot massage on patients’
perception of care following laparoscopic sterilization as day case patients. Journal of
Advanced Nursing, 30(2), 460–8. https://doi.org/10.1046/j.1365-2648.1999.01101.x
Kriederman, B., Myloyde, T., Bernas, M., Preciado, S., Lynch, M., Summers, P., … Mitte, M.
(2002). LIMB VOLUME REDUCTION AFTER PHYSICAL TREATMENT BY
COMPRESSION AND / OR MASSAGE IN A RODENT MODEL OF PERIPHERAL
LYMPHEDEMA. Lymphology, 35, 23–27.
Li, Y., Wang, F., Feng, C., Yang, X., & Sun, Y. (2014). Massage Therapy for Fibromyalgia: A
Systematic Review and Meta-Analysis of Randomized Controlled Trials. PLoS ONE, 9(2),
e89304. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0089304
Munk, N., Kruger, T., & Zanjani, F. (2011). Massage Therapy Usage and Reported Health in
Older Adults Experiencing Persistent Pain. The Journal of Alternative and Complementary
Medicine, 17(7), 609–616. https://doi.org/10.1089/acm.2010.0151
Murberg, T. A., & Bru, E. (2001). Social relationships and mortality in patients with congestive
heart failure. Journal of Psychosomatic Research, 51, 521–527.
Panel, P., Robert, A., Moe, G. W., Co-chair, F., Cheung, A., Costigan, J., … Leblanc, M. (2011).
The 2011 Canadian Cardiovascular Society Heart Failure Management Guidelines Update :
Focus on Sleep Apnea , Renal Dysfunction , Mechanical Circulatory Support , and Palliative
Care. CJCA, 27(3), 319–338. https://doi.org/10.1016/j.cjca.2011.03.011
Patient, T. (2010). X-Plain Massage Therapy, 1–10.
Quinn, C., Chandler, C., & Moraska, A. (2002). Massage therapy and frequency of chronic
tension headaches. American Journal of Public Health, 92(10), 1657–1661.
https://doi.org/10.2105/AJPH.92.10.1657
Ragsdale, B. L. (n.d.). A Massage a Day Could Keep Stress Away.
Rahnavard, Z., Nodeh, Z. H., & Hatamipour, K. (2014). Congestive heart failure: Predictors of
health-related quality of life in Iranian women. Contemporary Nurse, 47(1–2), 159–167.
Remme, W., & Swedberg, K. (2001). Task Force Report Guidelines for the diagnosis and
treatment of chronic heart failure Task Force for the Diagnosis and Treatment of Chronic
Heart Failure ,. European Heart Journal, 22, 1527–1560.
https://doi.org/10.1053/euhj.2001.2783
Savage, M. P., Krolewski, A. S., Kenien, G. G., Lebeis, M. P., Christlieb, A. R., & Lewis, S. M.
(1998). Acute Myocardial Infartion in Diabetes Mellitus and Significance of Congestive
Heart Failure as a Prognostic Factor. The American Journal of Cardiology, 62(October),
665– 669.
Shimizu, Y. (2009). 妊婦を対象としたフットケアの検討と効果の検証 The effect of foot care
for pregnant women. J.Jpn.Acad.Midwif., 23(2), 171–181.
Soran, O. Z., Piña, I. L., Lamas, G. a., Kelsey, S. F., Selzer, F., Pilotte, J., … Feldman, A. M.
(2008). A Randomized Clinical Trial of the Clinical Effects of Enhanced Heart Failure
Monitoring Using a Computer-Based Telephonic Monitoring System in Older Minorities
and Women. Journal of Cardiac Failure, 14(9), 711–717.
https://doi.org/10.1016/j.cardfail.2008.06.448
Trayes, K. P., Studdiford, J. S., Jefferson, T., Tully, A. S., & Clinic, C. (2013). Edema: Diagnosis
and Management.
Ware, M. W. (1903). Massage and the Original Swedish Movements. Annals of Surgery, 37,
639– 640. https://doi.org/10.1001/jama.1890.02410160034013
Weerapong, P., Hume, P. a., & Kolt, G. S. (2005). The mechanisms of massage and effects on
performance, muscle recovery and injury prevention. Sports Medicine, 35(3), 235–
256. https://doi.org/10.2165/00007256-200535030-00004
World Health Organization (WHO). (2015). Indonesia: WHO statistical profile.
Country Statistics and Global Health Estimates. Retrieved
from
http://who.int/gho/mortality_burden_disease/en/

PEMBAHASAN JURNAL
LAPORAN EVIDENCE BASED PRACTICE KEPERAWATAN KRITIS

Judul journal : Pijat Kaki Efektif Menurunkan Foot Oedema Pada Penderita
Congestive Heart Failure (Chf)
1. Populasi
Penelitian dilakukan pada sejumlah 13 pasien CHF yang mengalami oedema kaki
dan sesuai dengan kriteria inklusi
2. Intervensi
Dalam penelitian ini dilakukan Intervensi pemijatan selama 3 hari dengan durasi
± 20 menit
3. Comparation
Tidak ada jurnal pembanding
4. Outcome
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang pijat kaki untuk
menurunkan oedema kaki pada pasien Congestive Heart Failure (CHF) dapat
disimpulkan bahwa pijat kaki efektif untuk menurunkan oedema kaki pada pasien
CHF setelah hari kedua dan hari ketiga dengan p-value <0,001.
Jurnal ke 2

Pengaruh Posisi Tidur Semi Fowler 45˚ Terhadap Kualitas Tidur Pasien
Gagal Jantung Di Ruang ICCU RSUD dr. Soedarso Pontianak
(The Influence of Semi Fowler 45 ˚ Sleep Position to Sleep Quality Of Heart
Failure Patients in ICCU dr. Soedarso Hospital Pontianak)

Sukainah Shahab *, Suhaimi Fauzan **, Ichsan Budiharto ***


*Mahasiswa Program Studi Keperawatan Universitas Tanjungpura
**Dosen Program Studi Keperawatan Universitas Tanjungpura,,
*** Staff Keperawatan RSUD dr. Soedarso,

ABSTRAK
Latar Belakang: Penderita gagal jantung sering terbangun pada malam hari
karena sesak nafas yang menyebabkan kualitas tidur pasien menurun. Hal ini akan
memperlambat pemulihan kondisi klien yang memperpanjang masa long of stay
(LOS) di rumah sakit. Posisi tidur semi fowler dengan sudut 45˚ merupakan salah
satu tindakan positioning yang dipercaya dapat menekan sesak nafas, sehingga
pasien dapat tidur lebih nyaman dan tidak terbangun pada malam hari.
Tujuan: Mengetahui adanya pengaruh posisi tidur semi fowler 45˚ terhadap
kualitas tidur pasien gagal jantung di ruang ICCU RSUD dr. Soedarso Pontianak.
Metodologi: Menggunakan rancangan quasy-experimen dengan pre-post test
controlled grup. Pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling
dengan sampel berjumlah 16 pada masing-masing kelompok. Analisis data
dengan uji paired sampel t-test dan independent sampel t-test dengan nilai p ≤0,05
Hasil: Karateristik responden rata-rata berusia 45-59 tahun (37,5%) dan berjenis
kelamin laki-laki (81,3%). Tingkat kualitas tidur pada kelompok intervensi
didapatkan nilai p = 0,000 dan kelompok kontrol didapatkan nilai p = 0,184. Pada
perbandingan kualitas tidur antara kelompok intervensi dan kontrol bernilai p =
0,050.
Kesimpulan: Terdapat perubahan kualitas tidur pasien gagal jantung setelah
diberikan posisi semi fowler 45˚ pada kelompok intervensi dan tidak terdapat
perubahan kualitas tidur pasien gagal jantung pada kelompok kontrol. Terdapat
perbedaan antara kualitas tidur kedua kelompok yang telah diberikan posisi semi
fowler 45˚ sehingga posisi semi fowler 45˚ dapat dipertimbangkan untuk menjadi
intervensi mandiri keperawatan dalam menangani masalah tidur pada pasien gagal
jantung.

Kata kunci : Semi Fowler, Kualitas Tidur


Referensi : 59 (2002-2016)
ABSTRACT

Background: Patients with heart failure often wake up at night because of apnea,
so the sleep quality of patients decreased. This will slow down the recovery of
client so as to extend long of stay (LOS) in the hospital. Semi fowler 45˚ position
is one of the actions that are believed to apnea, so that patients can be more
comfortable at sleep and not wake up during the night.
Objective: Knowing the effect of semi fowler 45˚ position on sleep quality of heart
failure patients in ICCU dr. Soedarso Hospital Pontianak.
Method:Quasy-experimental design with pre-post test controlled group. Sampling
was done by purposive sampling amounted 16 in each group. Data were analyzed
by paired sample t-test and independent samples t-test with p ≤ 0,05
Results: The average characteristics of respondents are aged 45-59 years
(37.5%) and male (81.3%). The level of sleep quality in intervention group worth
p-value = 0.000 and in control group p-value = 0.184. In the sleep quality
comparison between the intervention and control group p-value = 0.050.
Conclusion: There are changes in sleep quality of patients with heart failure after
being given a semi fowler 45˚ position in the intervention group and there is no
change in sleep quality of heart failure patients in the control group. There is a
difference between sleep quality the two groups that has been given semi-fowler
45˚ position that it can be considered to be independent nursing interventions in
dealing with sleep problems in patients with heart failure.

Keyword : Semi Fowler, Sleep Quality


Reference : 59 (2002-2016)

PENDAHULUAN adalah penyakit jantung koroner,


Gangguan kardiovaskuler hipertensi, stroke, dan gagal jantung
adalah penyakit yang menyerang [1].
jantung dan pembuluh darah sehingga Berdasarkan data dari
dapat menyebabkan perubahan Riskesdas pada tahun 2013, Indonesia
anatomi, gangguan fungsional dan memikiki prevalensi gagal jantung
hemodinamis [1]. Pada data WHO sebesar 0,3% [3]. Di Kalimantan Barat
(2013) terdapat 17,3 juta orang sendiri, tercatat bahwa penderita
meninggal akibat gangguan penyakit jantung yang berobat ke
kardiovaskuler, dan lebih dari 23 juta rumah sakit di Kalimantan Barat baik
orang akan meninggal setiap tahun rawat jalan maupun rawat inap
dengan gangguan yang sama [2]. sebanyak 6.473 orang dan 0,2%
Penyakit jantung yang umum dijumpai
diantaranya terdiagnosa dengan gagal Tubuh yang tidak mendapatkan
jantung [3,4]. tidur yang baik akan merasa sakit
Gagal jantung merupakan kepala di pagi hari, penurunan
suatu kumpulan dari manifestasi klinis konsentrasi dan daya ingat, penurunan
dimana seseorang memiliki ciri-ciri libido dan emosi, serta berbagai gejala
gejala seperti nafas pendek ketika lain yang merujuk kepada Ecerssive
istirahat ataupun melakukan aktifitas, Daytime Slepiness [7]. Ira Suwatika
retensi cairan, atau adanya gangguan dan Peni Cahyati melaporkan bahwa
struktur atau fungsi jantung ketika dari total keseluruhan 80 responden
istirahat [6]. penderita gagal jantung, sebanyak
Gagal jantung memiliki tanda 58,7% mengalami kualitas tidur yang
dan gejala yang penting, yaitu sesak buruk dan hanya sebagian kecil
nafas, batuk, mudah lelah, disfungsi responden (41,3%) yang mendapatkan
ventrikel, dan kegelisahan yang kualitas tidur yang baik [8].
diakibatkan oleh gangguan Sedangkan berdasarkan penelitian
oksigenisasi. Gejala lain yang muncul yang dilakukan oleh Erickson (2003)
yaitu dispnea, ortopnea, dispnea dengan 84 pasien gagal jantung
nocturnal paroksimal (DNP), dirumah sakit, didapatkan hasil bahwa
obstructive sleep apnea, dan edema 56% mengalami masalah tidur, 51%
pulmonal. Penderita gagal jantung merasa kesulitan tidur dengan posisi
identik dengan pernafasan cepat, telentang atau supine, 40% merasa
dangkal, dan kesulitan mendapatkan kesulitan ketika ingin masuk ke dalam
udara yang cukup. Penderita akan tahapan tidur, dan 39% bangun lebih
sering terbangun tengah malam karena awal pada pagi hari. Kualitas tidur
mengalami nafas pendek yang hebat yang buruk pada penderita gagal
dikarenakan perpindahan cairan dari jantung akan memperlama proses
jaringan ke dalam kompartemen pemulihan kondisi klien sehingga
intravascular akibat posisi terlentang memperpanjang masa long of stay
ketika berbaring, sehingga muncul (LOS) di rumah sakit. Sampai saat ini,
keluhan kesulitan untuk tidur [6]. terdapat 2 tipe tindakan untuk
mengatasi kualitas tidur pasien yang
menurun, yaitu tindakan farmakologi, bagi pasien dibandingkan dengan
tindakan non-farmakologi, atau sudut 30˚ [12]. Dwi Sulistyowati
campuran tindakan farmakologi dan (2015) mengungkapkan bahwa posisi
non-farmakologi. tidur semi fowler dengan sudut 45˚
Positioning atau menyesuaikan menghasilkan kualitas tidur yang lebih
posisi adalah tindakan keperawatan baik bagi pasien dengan gangguan
yang dilakukan dengan cara jantung [13]. Semi-duduk atau semi-
memberikan pasien posisi tubuh sesuai fowler membantu mengurangi aliran
dengan hambatan yang diderita balik vena pada pasien dengan gagal
dengan tujuan memanajemen jantung yang akan mengurangi
keselarasan dan kenyamanan fisiologis peningkatan dan distensi vena
[9]. Talwar (2008) berpendapat bahwa jugularis pada leher penderita [14,15].
pemberian posisi bertujuan untuk Ozen K. Basoglu, MD, dkk
meningkatkan ekspansi paru secara (2015) merekomendasikan untuk
maksimal dan mengatasi kerusakan menggunakan posisi semi-fowler
pertukaran gas sehingga pasien dengan sudut 45˚ dalam
memperoleh kualitas tidur yang baik memanajemen pasien gagal jantung
[10]. Menurut Israel (2008), posisi dengan gangguan tidur dan apnea,
semi fowler akan mempengaruhi sesuai hasil penelitian yang dilakukan
keadaan curah jantung dan oleh Refi Safitri dan Annisa Andriyani
pengembangan rongga paru-paru (2011) [16, 17]. Jumlah total pasien di
pasien, sehingga sesak nafas ruang ICCU dr. Soedarso selama
berkurang dan akan mengoptimalkan bulan Januari – Desember 2016 yaitu
kualitas tidur pasien [11]. sebanyak 237 pasien atau setiap
Pengembangan rongga dada dan paru- bulannya sekitar 20 pasien terdiagnosa
paru akan menyebabkan asupan menderita gagal jantung dan memiliki
oksigen membaik, sehingga proses kualitas tidur yang buruk Studi
respirasi akan kembali normal. pendahuluan yang dilakukan oleh
Melanie (2012) menyatakan peneliti pada tanggal 16-17 Februari
sudut posisi tidur 45˚ dapat 2017 di ruang ICCU RSUD dr.
menghasilkan kualitas tidur lebih baik Soedarso Pontianak kepada 6 pasien,
didapatkan hasil bahwa 4 dari 6 pasien Group Pretest-Posttest Design,
mengatakan mengalami kesulitan dimana menggunakan satu kelompok
untuk tidur yang nyenyak dikarenakan perlakuan dan satu kelompok kontrol
sering terbangun dan sesak pada yang tidak dipilih dengan acak,
malam hari, sementara 2 pasien tujuanya untuk mengetahui adanya
lainnya sedang tidak dapat pengaruh posisi tidur semi fowler 45˚
diwawancara karena keterbatasan terhadap kualitas tidur pasien gagal
fisik. jantung di ruang ICCU RSUD dr.
Ketika ditanya tentang posisi Soedarso Pontianak.
untuk tidur, ke-4 pasien menjawab Partisipan pada penelitian ini
bahwa selama ini hanya tidur dengan adalah pasien yang didiagnosis dengan
posisi yang dianggap sudah cukup gagal jantung di ICCU RSUD dr.
nyaman karena tidak ada posisi Soedarso Pontianak, pemilihan sampel
spesifik yang diberikan. Menurut menggunakan purposive sampling
perawat yang bertugas, banyak pasien dengan kriteria pasien rawat inap yang
yang mengeluhkan kesulitan tidur dan telah didiagnosa gagal jantung oleh
sering terbangun pada malam hari. dokter spesialis jantung dan pasien
Perawat juga mengatakan bahwa tidak yang sadar. Partisipan penelitian ini
ada intervensi dan pemberian posisi terdiri dari 32 reponden dengan
yang spesifik untuk mengatasi pembagian sebanyak 16 orang pada
kesulitan tidur yang dialami oleh kelompok intervensi dan kelompok
pasien. Hal ini juga didukung oleh kontrol yang diberikan posisi semi
hasil observasi peneliti bahwa posisi fowler 45˚ dan diukur kualitas tidurnya
tempat tidur pasien di ruangan ICCU menggunakan Richard Campbell Sleep
dr. Soedarso Pontianak tidak memiliki Quetionnare. Hasil penelitian
sudut yang sama satu sama lain. dianalisa menggunakan Uji T Tidak
Berpasangan pada hasil kelompok
METODE kontrol dan kelompok intervensi, serta
Penelitian ini menggunakan Uji T Berpasangan untuk melihat
desain quasy experiment, dengan perbandingan posttest kelompok
rancangan Non Equivalent Control intervensi dan kelompok kontrol.
HASIL DAN PEMBAHASAN lebih besar dibandingkan dengan
Dari data yang terkumpul, wanita karena pria tidak memiliki
didapatkan distribusi data umur dan hormon estrogen. Hormon estrogen
jenis kelamin. berguna untuk menurunkan kolestrol
jahat (LDL) dan meningkatkan
Tabel. 1 Distribusi Data Responden
kolestrol baik (HDL) sehingga dapat
mencegah terjadinya pemgendapan di
pembuluh darah yang dapat merujuk
pada penurunan curah jantung [18,19].

Tabel. 2 Pengaruh Skor Kualitas Tidur


Sebelum dan Sesudah
Dari tabel diatas, dapat dilihat Diberikan Posisi Semi Fowler 45˚
(n=32)
bahwa kisaran umur 45-59 tahun
merupakan umur terbanyak pada
kedua kelompok dan mayoritas jenis
kelamin terbanyak adalah pria. Umur
merupakan faktor dominan terhadap
penyakit yang menyerang pembuluh Dari tabel diatas, didapatkan

darah. Umur yang semakin lanjut akan hasil bahwa ada pengaruh pemberian

mempengaruhi penuaan pembuluh posisi semi fowler 45˚ terhadap

darah sehingga elastisitas yang kualitas tidur pada kelompok

dimiliki akan berkurang. Yuliani, intervensi (p=0,000) dan tidak ada

Oenzil dan Iryani (2014) menyatakan pengaruh apapun pada kelompok

bahwa insiden penyakit jantung kontrol (p=0,184). Pemberian posisi

koronoer (PJK) yaitu salah satunya tidur semi fowler 45˚ menggunakan

gagal jantung meningkat pada umur gaya gravitasi untuk membantu

pra-lansia dimulai dari kisaran >45 pernafasan, sehingga oksigen yang

tahun. masuk kedalam paru-paru akan lebih

Pada segi jenis kelamin, angka optimal sehingga pasien dapat

risiko pria terkena penyakit jantung bernafas lebih lega dan akan
mengurangi ketidaknyamanan yang
dirasakan ketika ingin tidur. Hal ini tidur karena akan mengganggu
didukung oleh Melanie (2012) ketenangan [20,21].
menganalisa pengaruh pemberian Pasien juga dapat kesulitan
posisi semi fowler 30˚ dan 45˚ dan tidur karena tekanan atau stress yang
mendapatkan hasil bahwa terdapat dirasakan. Pasien dapat mengalami
pengaruh antara sudut posisi terhadap tekanan akibat sakit yang dirasakan
kualitas tidur pasien gagal jantung dan berujung pada ketakutan oleh
[12]. proses penyakit dan tekanan dari
lingkungan sekitar [22]. Kecemasan
Tabel. 3 Perbandingan Skor Kualitas Tidur
yang dirasakan pasien dapat
Antara Kelompok Intervensi dan
meningkatkan hormon norepinefrin
Kelompok Kontrol (n=32)
dalam darah, sehingga pasien menjadi
tertekan dan stress dan pasien lebih
sering terbangun pada malam hari
[23].

Dari tabel diatas dapat dilihat


hasil bahwa terdapat pengaruh KESIMPULAN DAN SARAN
pemberian posisi semi fowler 45˚ Simpulan
terhadap kualitas tidur pasien gagal Berdasarkan hasil penelitian
jantung, akan tetapi tidak terdapat yang telah dilakukan, dapat ditarik
perbedaan berarti antara skor kualitas kesimpulan yaitu sebagai berikut:
tidur kedua kelompok (p ≤ 0,05). a. Terdapat perubahan kualitas tidur
Banyak faktor yang bisa pasien gagal jantung setelah
mempengaruhi kualitas tidur pasien diberikan posisi semi fowler 45˚
gagal jantung selain sesak nafas, salah pada kelompok intervensi di
satunya yaitu faktor lingkungan yang ruang ICCU RSUD Soedarso
kurang kondusif untuk mendapatkan Pontianak.
istirahat optimal. Lingkungan yang b. Tidak terdapat perubahan kualitas
terlalu berisik menyebabkan kesulitan tidur pasien gagal jantung pada
kelompok kontrol di ruang ICCU sesuai untuk meningkatkan
RSUD dr. Soedarso Pontianak. kualitas tidur di rumah sakit.
c. Tidak terdapat perbedaan yang Daftar Pustaka
bermakna antara kualitas tidur 1. Kemenkes RI Profil Kesehatan
kedua kelompok yang telah Indonesia tahun 2014.Jakarta :
diberikan posisi semi fowler 45˚. Kemenkes RI; 2015.
Saran 2. WHO. 2013.
a. Perlu ditambahkan variabel About
faktor yang mempengaruhi Cardiovascular Diseases.
kualitas tidur dan observasi World Health Organization.
terhadap pasien harus Geneva. Cited
dilakukan dengan waktu 3 x 24 3. Balitbang Kemenkes RI. 2013.
jam. Riset Kesehatan Dasar;
b. Dapat menjadi media RISKESDAS. Jakarta:
pembelajaran bagi mahasiswa Balitbang Kemenkes RI
keperawatan tentang pengaruh 4. Dinkes Propinsi Kalbar. 2013.
sudut posisi terhadap kualitas Profil Dinas Kesehatan
tidur pasien dengan gagal Provinsi Pontianak. Dinas
jantung. Kesehatan Provinsi
c. Perawat perlu untuk Kalimantan Barat: Pontianak.
menentukan sudut posisi tidur 5. (IDI, 2015).
yang paling sesuai dengan 6. (YD Lingga, 2016).
kebutuhan pasien dalam 7. Siregar, Mukhlidah Hanun.
meningkatkan kualitas tidur, (2011). Mengenal sebab-
sehingga diharapkan dapat sebab, akibat-akibat, dan cara
mengoptimalkan penyembuhan terapi insomnia. Jakarta: Flash
dan menurunkan komplikasi Book.
serta mortalitas pasien gagal 8. Suwartika, Ira dan Cahyati,
jantung. Peni. 2015. Analisis Faktor
d. membantu pasien untuk Yang Berpengaruh Terhadap
mendapatkan posisi tidur yang Kualitas Tidur Pasien Gagal
Jantung Di RSUD Kota 2004. The Role of Body Position
Tasikmalaya. Vol 1, No 01.
and Gravity in The Symptoms
9. Vera, Matt. 2015. Patient
and Treatment of Various
Positioning Cheat Sheet
Medical Disease. Swiss
10. Talwar, A., Liman, B.,
15. Siregar, Mukhlidah Hanun.
Greenberg, H., Feinsilver, S., H., and
(2011). Mengenal sebab-
Vijayan, H.(2008). Sleep in the
sebab, akibat-akibat, dan cara
Intensive Care Unit. India :
terapi insomnia. Jakarta: Flash
University of Delhi
Book.
11. Israel, S.A.,
16. Basoglu, Ozen K, dkk. 2015.
Duhamel, E.R.,Stepnowsky, C.,
Effect of Semirecumbent Sleep
Engler, R., Zion, M.C., & Marler, M.
Position on Severity of
(2008). The relatioship between
Obstructive Sleep Apnea in
congetive heart failure, sleep apnea,
Patients With Heart Failure. Vol.
and mortalty in older men
21, No. 10. Izmic, Turkey
12. Melanie, Ritha, 2012. Analisis
17. Safitri, Refi. Andriyani,
Pengaruh Sudut Posisi Tidur
Annisa. (2011). Keefektifan
Terhadap Kualitas Tidur dan Tanda
Pemberian Posisi Semi Fowler
Vital Pada Pasien Gagal Jantung Di
Terhadap Penurunan Sesak
Ruang Intensif RSUP Dr.Hasan
Napas Pada Pasien Asma Di
Sadikin Bandun
Ruang Rawat Inap Kelas III
13.Sulistyowati, Dwi. 2015.
RSUD. Dr. Moewardi Surakarta.
Pengaruh Sudut Posisi Tidur
Vol.8 No.2. Surakarta
Terhadap Kualitas Tidur Dan Status
Kardiovaskuler Pada Pasien Infark
Miokard Akut (IMA) Di Ruang
ICVCU RSUD Dr.
Moewardi

Surakarta
14. Martin, Remy C. Benoit,
Raymond. Girardier, Lucia.
PEMBAHASAN JURNAL
LAPORAN EVIDENCE BASED PRACTICE KEPERAWATAN KRITIS

Judul / Tema : Pengaruh posisi tidur semi fowler 45˚ terhadap kualitas tidur pasien gagal jantung
di Ruang ICCU RSUD. Soedarso Pontianak
Program Studi : Ners / Jurusan Keperawatan
Kelompok : RSUD Dr. Moewardi
Surakarta

1. Abstrak
Latar Belakang: Penderita gagal jantung sering terbangun pada malam hari karena sesak nafas
yang menyebabkan kualitas tidur pasien menurun. Hal ini akan memperlambat pemulihan
kondisi klien yang memperpanjang masa long of stay (LOS) di rumah sakit. Posisi tidur semi
fowler dengan sudut 45˚ merupakan salah satu tindakan positioning yang dipercaya dapat
menekan sesak nafas, sehingga pasien dapat tidur lebih nyaman dan tidak terbangun pada
malam hari.
Tujuan: Mengetahui adanya pengaruh posisi tidur semi fowler 45˚ terhadap kualitas tidur
pasien gagal jantung di ruang ICCU RSUD dr. Soedarso Pontianak.
Metodologi: Menggunakan rancangan quasy-experimen dengan pre-post test controlled grup.
Pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling dengan sampel berjumlah 16 pada
masing-masing kelompok. Analisis data dengan uji paired sampel t-test dan independent sampel
t-test dengan nilai p ≤0,05
Hasil: Karateristik responden rata-rata berusia 45-59 tahun (37,5%) dan berjenis kelamin laki-
laki (81,3%). Tingkat kualitas tidur pada kelompok intervensi didapatkan nilai p = 0,000 dan
kelompok kontrol didapatkan nilai p = 0,184. Pada perbandingan kualitas tidur antara kelompok
intervensi dan kontrol bernilai p = 0,050.
Kesimpulan: Terdapat perubahan kualitas tidur pasien gagal jantung setelah diberikan posisi
semi fowler 45˚ pada kelompok intervensi dan tidak terdapat perubahan kualitas tidur pasien
gagal jantung pada kelompok kontrol. Terdapat perbedaan antara kualitas tidur kedua kelompok
yang telah diberikan posisi semi fowler 45˚ sehingga posisi semi fowler 45˚ dapat
dipertimbangkan untuk menjadi intervensi mandiri keperawatan dalam menangani masalah tidur
pada pasien gagal jantung.

2. Latar Belakang
Penderita gagal jantung sering terbangun pada malam hari karena sesak nafas yang
menyebabkan kualitas tidur pasien menurun. Hal ini akan memperlambat pemulihan kondisi
klien yang memperpanjang masa long of stay (LOS) di rumah it. Posisi tidur semi fowler
dengan sudut 45˚ merupakan salah satu tindakan positioning yang dipercaya dapat menekan
sesak nafas, sehingga pasien dapat tidur lebih nyaman dan tidak terbangun pada malam hari.

3. PICOT
No. Kriteria Inti Jurnal
1. P Partisipan pada penelitian ini adalah pasien yang didiagnosis
dengan gagal jantung di ICCU RSUD dr. Soedarso Pontianak,
pemilihan sampel menggunakan purposive sampling dengan
kriteria pasien rawat inap yang telah didiagnosa gagal jantung
oleh dokter spesialis jantung dan pasien yang sadar.
Partisipan penelitian ini terdiri dari 32 reponden dengan
pembagian sebanyak 16 orang pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol yang diberikan posisi semi fowler 45˚ dan
diukur kualitas tidurnya menggunakan Richard Campbell Sleep
Quetionnare.

Dari hasil populasi didapatkan kisaran umur 45-59 tahun


merupakan umur terbanyak dengan hasil klompok intervensi
berjumlah 7 responden dan klompok control 6 responden dan
mayoritas jenis kelamin adalah jenis kelamin Laki-laki
2. I Penelitian ini menggunakan desain quasy experiment, dengan
rancangan Non Equivalent Control Group Pretest-Posttest
Design, dimana menggunakan satu kelompok perlakuan dan satu
kelompok kontrol yang tidak dipilih dengan acak, tujuanya
untuk mengetahui adanya pengaruh posisi tidur semi fowler 45 ˚
terhadap kualitas tidur pasien gagal jantung di ruang ICCU
RSUD dr. Soedarso Pontianak.

Hasil pengukuran scor kualitas tidur, penelitian ini didapatkan


bahwa ada pengaruh pemberian posisi semi fowler 45 ˚ terhadap
kualitas tidur pada kelompok intervensi (p=0,000) dan tidak ada
pengaruh apapun pada kelompok kontrol (p=0,184).

Hasil dari perbandingan skor kualitas tidur antara klompok


intervensi dan klompok control penelitian ini di dapatkan hasil
bahwa terdapat pengaruh pemberian posisi semi fowler 45˚
terhadap kualitas tidur pasien gagal jantung, akan tetapi tidak
terdapat perbedaan berarti antara skor kualitas tidur kedua
kelompok (p ≤ 0,05).
3. C Terdapat klompok control
4. O Pada segi jenis kelamin, angka risiko pria terkena penyakit
jantung lebih besar dibandingkan dengan wanita karena pria
tidak memiliki hormon estrogen. Hormon estrogen berguna
untuk menurunkan kolestrol jahat (LDL) dan meningkatkan
kolestrol baik (HDL) sehingga dapat mencegah terjadinya
pemgendapan di pembuluh darah yang dapat merujuk pada
penurunan curah jantung.

Pemberian posisi tidur semi fowler 45˚ menggunakan gaya


gravitasi untuk membantu pernafasan, sehingga oksigen yang
masuk kedalam paru-paru akan lebih optimal sehingga pasien
dapat bernafas lebih lega dan akan mengurangi ketidaknyamanan
yang dirasakan ketika ingin tidur. Hal ini didukung oleh Melanie
(2012) menganalisa pengaruh pemberian posisi semi fowler 30˚
dan 45˚ dan mendapatkan hasil bahwa terdapat pengaruh antara
sudut posisi terhadap kualitas tidur pasien gagal jantung

Dari tabel diatas dapat dilihat hasil bahwa terdapat pengaruh


pemberian posisi semi fowler 45˚ terhadap kualitas tidur pasien
gagal jantung, akan tetapi tidak terdapat perbedaan berarti antara
skor kualitas tidur kedua kelompok (p ≤ 0,05). Banyak faktor
yang bisa mempengaruhi kualitas tidur pasien gagal jantung
selain sesak nafas, salah satunya yaitu faktor lingkungan yang
kurang kondusif untuk mendapatkan istirahat optimal.
Lingkungan yang terlalu berisik menyebabkan kesulitan tidur
karena akan mengganggu ketenangan. Pasien juga dapat
kesulitan tidur karena tekanan atau stress yang dirasakan. Pasien
dapat mengalami tekanan akibat sakit yang dirasakan dan
berujung pada ketakutan oleh proses penyakit dan tekanan dari
lingkungan sekitar. Kecemasan yang dirasakan pasien dapat
meningkatkan hormon norepinefrin dalam darah, sehingga pasien
menjadi tertekan dan stress dan pasien lebih sering terbangun
pada malam hari
5 T 2016

4. Kesimpulan dan Saran


a) Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan yaitu sebagai
berikut:
1) Terdapat perubahan kualitas tidur pasien gagal jantung setelah diberikan posisi semi
fowler 45˚ pada kelompok intervensi di ruang ICCU RSUD Soedarso Pontianak.
2) Tidak terdapat perubahan kualitas tidur pasien gagal jantung pada kelompok kontrol di
ruang ICCU RSUD dr. Soedarso Pontianak.
3) Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kualitas tidur kedua kelompok yang
telah diberikan posisi semi fowler 45˚. Saran Saran
b) Saran
1) Perlu ditambahkan variabel faktor yang mempengaruhi kualitas tidur dan observasi
terhadap pasien harus dilakukan dengan waktu 3 x 24 jam.
2) Dapat menjadi media pembelajaran bagi mahasiswa keperawatan tentang pengaruh
sudut posisi terhadap kualitas tidur pasien dengan gagal jantung.
3) Perawat perlu untuk menentukan sudut posisi tidur yang paling sesuai dengan kebutuhan
pasien dalam meningkatkan kualitas tidur, sehingga diharapkan dapat mengoptimalkan
penyembuhan dan menurunkan komplikasi serta mortalitas pasien gagal jantung.
4) membantu pasien untuk mendapatkan posisi tidur yang sesuai untuk meningkatkan
kualitas tidur di rumah sakit.
Jurnal ke 3

PERBEDAAN SATURASI OKSIGEN DAN RESPIRASI RATE PASIEN


CONGESTIVE HEART FAILURE PADA PERUBAHAN POSISI
Suci Khasanah*
Danang Tri Yudono **
Surtiningsih***

*)Prodi Keperawatan D3 STIKES Harapan Bangsa Purwokerto


**)Prodi Keperawatan D3 STIKES Harapan Bangsa Purwokerto
**)Prodi Kebidanan D3 STIKES Harapan Bangsa Purwokerto

Corresponding Author: sucikhasanah@uhb.ac.id

Abstrak

Penderita Congestive Heart Failure (CHF) mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya
kasus penyakit pada kardiovaskuler. Keluhan yang paling menonjol pada pasien dengan CHF
adalah sesak nafas. Keluhan ini berhubungan dengan adanya edema paru akibat kegagalan
jantung memompa darah keseluruh tubuh. Beberapa literatur dan hasil penelitian menunjukan
bahwa potitioning dapat mempengaruhi status pernafasan pasien dengan CHF.
Penelitian bertujuan mengetahui perbedaan respirasi rate (RR) dan saturasi oksigen (SaO2) pada
posisi head up, semi fowler dan fowler. Desain penelitian pra eksperimen pre post test series
desain. sampel penderita CHF yang dirawat inap di RSUD Prof. DR Margono Soekarjo
Purwokerto hari ke-2. Teknik sampling menggunakan consecutive sampling, dengan besar
sampel
38. Teknik analisis yang digunakan univariat dengan tendency central dan analisis multivariate
repeated ANOVA .
Hasil penelitian menunjukan bahwa dari posisi head up ke semi fowler dan fowler rerata nilai
SaO2 cenderung meningkat. Analisis multivariate menunjukan ada perbedaan hasil SaO2 antara
posisi tersebut (p value 0.002). Perbedaan nilai SaO2 terlihat antara posisi head up dengan posisi
fowler (p value 0,033). Dari posisi head up ke semi fowler RR cederung menurun, namun dari
posisi semi fowler ke fowler cenderung menetap. Analisis multivariate menunjukan tidak ada
perbedaan nilai RR antara posisi head up, semi fowler dan fowler.
Kesimpulan ada perbedaan nilai SaO2 pasien CHF pada posisi head up, semi fowler dan fowler
bermkana secara statistik dan tidak ada perbedaan nilai RR pasien CHF pada posisi head up,
semi fowler dan fowler

Kata kunci : posisi, SaO2, RR


PENDAHULUAN
Data World Health Organization (WHO) tahun 2013, menunjukan 17,3 juta orang
meninggal akibat gangguan kardiovaskular pada tahun 2008. WHO menyampaikan bahwa lebih
dari 23 juta orang akan meninggal setiap tahun dengan gangguan kadiovaskular (WHO, 2013).
Penyakit kardiovaskuler adalah penyakit yang menggagu fungsi jantung dan pembuluh darah.
Hampir semua penyakit yang mengganggu fungsi jantung pada akhirnya akan berdampak pada
munculnya penyakit Congestive Heart Failure (CHF). CHF adalah suatu keadaan di mana
jantung tidak mampu memompa darah untuk mencukupi kebutuhan jaringan melakukan
metabolisme dan menyebabkan timbulnya kongesti (Smeltzer & Bare, 2014).
Hasil survey kejadian CHF pada tanggal 20 Desember 2017 di RSUD Prof. dr.
Margono Soekardjo Purwokerto diperoleh informasi bahwa pada tahun 2015 terdapat 1647 kasus
dan pada tahun 2016 tercatat 1524 kasu dan dan tahun 2017 terdapat 1493 pasien. Bila dilihat
dari tahun 2015 sampai 2017 terdapat penurunan jumlah pasien CHF di RSUD Prof DR.
Margono Soekarjo Purwokerto. Namun jumlah pasien yang di rawat di ICCU mengalami
peningkatan yaitu sebagai berikut: tahun 2015 sebanyak 43 kasus, tahun 2016 sebanyak 58 kasus,
dan sampai Nopember 2017 tercatat 52 kasus. Hasl tersebut menunjukan bahwa semakin
meningkat jumlah pasien yang mengalami tanda gejala CHF yang dapat mengancam jiwa.
Adanya penyakit CHF dapat menimbulkan berbagai gejala klinis diantaranya; dyspnea,
ortopnea, dyspnea deffort, dan Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND), edema paru, asites, pitting
edema, berat badan meningkat, dan dan bahkan dapat muncul syok kardiogenik (Smeltzer &
Bare, 2014). Munculnya tanda gejala tersebut berhubungan dengan adanya bendungan cairan
pada system sirkulasi darah. Oleh karenanya dalam penanganan pasien CHF salah satunya
dasarnya adalah mengurangi terjadanya bendungan cairan pada sirkulasi darah.
Positioning merupakan salah satu tindakan keperawatn yang dapat membantu
meminimalkan bendungan sirkulasi. Sebagaimana disampaikan oleh Cicolini et al (2010) bahwa
posisi mempunyai efek terhadap perubahan tekanan darah dan tekanan vena sentral. Posisi yang
berbeda mempengaruhi hemodinamik termasuk sistem vena. Beberapa hasil penelitian
sebelumnya seperti penelitian Resti, Sadiyanto dan Khasanah (2017), pada pasien CHF yang
dirawat di ICCU, didapatkan hasil terdapat perbedaan antara respiratory rate, saturasi oksigen
dan keluhan sesak nafas pada posisi awal dengan fowler 450 dan fowler 900, akan tetapi posisi
fowler 900 lebih menguntungkan dalam perbaikan status respirasi pada pasien dengan gagal
jantung. Smeltzer dan Bare (2014) menyatakan bahwa pengaturan posisi tidur dengan
meninggikan punggung bahu dan kepala sekitar 30° atau 45° memungkinkan rongga dada dapat
berkembang secara luas dan pengembangan paru meningkat. Kondisi ini akan menyebabkan
asupan oksigen membaik sehingga proses respirasi kembali normal.
Pada kenyataannnya diklinik mayoritas posisi pasien CHF dilakukan atas dasar
keinginan pasien sendiri atau senyaman mungkin. Selain itu sering kali perubahan status
pernafasan belum menjadi kajian bagi perawat dalam perubahan posisi. Oleh karena itu penulis
tertarik untuk meneliti “Perubahan Status Pernafasan: SaO2 dan Respirasi Rate (RR) Pasien
Congestive Heart Failure (CHF) Pada Posisi Head Up 300, Semi Fowler 450, Dan Fowler 900 di
ICCU RSUD Prof. dr. Margono Soekardjo Purwokerto”.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di RSUD Prof DR Margono Soekarjo Purwokerto. Besar sampel
38 responden pasien CHF yang dilakukan rawat inap pada hari kedua di unit rawat inap. Dengan
teknik sampling adalah Consequtif sampling selama 1. Adapun perubah yang diamati meliputi
tekanan darah, nadi, SaO2 dan RR, pada setiap perubahan posisi yang dimanipulasi penulis dari
awal head up, semi fowler dan fowler. Adapun desain yang digunakan adalah pre experiment
dengan desain penelitian one group pretest-posttest serial design.
Variabel Independen pada penelitian ini adalah posisi, sebagai berikut: Pemberian Posisi
Head up 300, yang dilakukan selama 15 menit, selanjutnya dilakukan pengukuran SaO2 dan RR
(waktu pengukuran dengan istirahat kurang lebih adalah 10 menit), selanjutnya pasien
diposisikan semi fowler 450 selama 15 menit, kemudian pengukuran SaO2 dan RR dan
selanjutnya diposisikan fowler (duduk tegak). Adapun cara ukur tindakan tersebut dengan
menggunakan SOP memposisikan pasien.
Variabel dependen pada penelitian ini adalah perubahan status respirasi meliputi: respirasi
rate dan SaO2, yang diukur setelah pasien diposisikan head up, semi fowler dan fowler. Variabel
respirasi rate (RR) adalah jumlah frekuensi pernafasan yang dihitung selama satu menit dengan
melihat naik turunya dinding dada yang diukur sesudah dilakukan positioning dengan skala ukur
rasio. Sedangkan variabel SaO2 atau saturasi Oksigen adalah ukuran seberapa banyak prosentase
oksigen yang terikat oleh Hb, yang diukur dengan menggunakan oxymeter pulse setelah
dilakukan positioning. Hasil ukur SaO2 adalah nilai SaO2, dengan skala ukur rasio.
Pijat efektif menurunkan foo oedema pada penderita Page 3 of
Jurnal Ilmu Keperawatan Medial Bedah 2 (1), Mei 2019, 1-54
2338-2058 (print), 2621-2986 (online)

Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah pemeriksaan, yaitu
pemeriksaan terhadap status pernafasan meliputi respirasi rate dan SaO2. Sedangkan untuk
penentuan pasien CHF dan identitas responden menggunakan teknik study dokumentasi yaitu
menggunakan sumber dokumen rekam medik pasien.
Metode analisis data yang digunakan pada penelitian ini meliputi analisis univariat dan
analisis multivariate. Analisis univariat yang digunakan adalah tendency central. Sedangkan
analisis multivariate digunakan adalah uji beda lebih dari dua variable berpasangan yaitu
friedman karena data tidak terdistribusi normal.

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Karakteristik Usia Responden
Tabel 1: Karakteristik Responden
Variabel Mean St Dev Min Max
Usia 58,5 10,3 40 83
Variabel Fre k %

Jenis kelamin Laki-laki 17 44,7


Perempuan 21 55,3

Total 38 100
Derajat CHF Derajat 3 22 57,9
Derajat 4 16 42,1
Total 38 100

Penggunaan oksigen ya 6 15,8


tidak 32 84,2

Berdasarkan tabel 1 menunjukan bahwa menunjukan bahwa rerata umur responden


adalah 58,3 tahun, dengan umur paling rendah adalah 40 tahun dan paling tinggi adalah 80 tahun,
separoh lebih responden berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 17 responden (55,3%),
Separoh lebih responden mengalami CHF Grade NYHA III (57,9%), dan hampir seluruhnya
tidak menggunakan oksigen (84,2%).

Pijat efektif menurunkan foo oedema pada penderita Page 4 of


Jurnal Ilmu Keperawatan Medial Bedah 2 (1), Mei 2019, 1-54
2338-2058 (print), 2621-2986 (online)
B. Perbedaan Status Pernafasan SaO2 dan RR Pada Posisi Head Up (30 0), Semi Fowler (450) dan
Fowler (900)

Tabel 2: Perubahan SaO2 dan RR Pada Posisi Head Up (300), Semi Fowler (450) dan Fowler
(900)

Tabel 2 menunjukan bahwa rerata SaO2 dari posisi head up ke semi fowler meningkat 0,5 point,
dan dari posisi semi fowler ke fowler naik 0,2 point, dengan p value 0.002 yang menunjukan ada
perbedaan nilai SaO2 pada tiga posisi tersebut. Perbedaan nilai SaO2 terlihat antara posisi head
up dengan posisi fowler (p value 0,033), sedangkan antara posisi head up dengan semi fowler dan
semi fowler dengan fowler tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik (p value 0,081 dan
0,052 > 0,05). Sedangkan rerata RR dari head up ke semi fowler turun 0,5 point dan posisi semi
fowler ke fowler naik 0,1 point, dengan p value 0,11 yang menunjukan tidak ada perbedaan SaO2
dan RR antar 3 posisi tersebut.
Hasil penelitian menunjukan bahwa rerata umur responden adalah 58,3 tahun,
dengan umur paling rendah adalah 40 tahun dan paling tinggi adalah 80 tahun. Hasil penelitian
ini sejalan dengan penelitian Nurhayati (2009), Ulfa, Sadiyanto dan Khasanah (2017) dan
penelitian Wahyuningsih, Khasanah dan Irma (2017). Hasil penelitian tersebut menunjukan
bahwa paling banyak usia penderita CHF berkisar pada umur 40-49 tahun.
Usia merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi fungsi jantung.
Semakin bertambahnya usia maka fungsi jantung pun akan menurun. Gagal jantung kongestif
(CHF) merupakan suatu penyakit berkaitan dengan masalah-masalah pemompaan otot jantung di
bilik jantung. Gagal jantung dapat disebabkan oleh penurunan fusngi pompa jantung akibat
melemahnya fungsi jantung sebab karena suatu penyakit ataupu degeneratif. Hal ini sejalan
dengan teori yang diungkapkan oleh Guyton dan Hall (2008) yang menyatakan bahwa adanya
kerusakan jantung yang tidak mampu melakukan kompensasi dapat mengakibatkan jantung
menjadi lemah dalam menghasilkan curah jantung secara normal baik dalam kompensasi reflek
saraf simpatis
Pijat efektif menurunkan foo oedema pada penderita Page 5 of
Jurnal Ilmu Keperawatan Medial Bedah 2 (1), Mei 2019, 1-54
2338-2058 (print), 2621-2986 (online)

ataupun retensi cairan.


Hasil penelitian menunjukan bahwa separoh lebih responden berjenis kelamin
perempuan yaitu sebanyak 17 responden (55,3%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
Nurhayati (2009), Ulfa, Sadiyanto dan Khasanah (2017) serta penelitian Wahyuningsih,
Khasanah dan Irma (2017). Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa paling banyak responden
penderita CHF berjenis kelamin perempuan. American Heart Association (2015), menyampaikan
bahwa kejadian penyakit kardiovaskular didominasi pada jenis kelamin perempuan. Pada tahun
2011 terdapat 33.700 kematian pada wanita karena Gagal Jantung Kongestif (57,8%). Seorang
wanita ketika sudah akan terjadi penurunan kadar esterogen, juga penurunan HDL (High Density
Lipoprotein) dan peningkatan LDL (Low Density Lipoprotein), trigliserida, dan kolesterol total
yang meningkatkan resiko penyakit jantung koroner (Fachrunnisa, 2015). Pada penelitian ini
rerata usia adalah 58,3 tahun, sehingga tidak menutup kemungkinan mereka telah menopause
yang dapat berkontribusi munculnya CHF pada responden.
Separuh lebih responden mengalami CHF Grade NYHA III (57,9%). Informasi
tentang grade NYHA responden didasarkan pada dokumen rekam medik pasien. NYHA Grade
III memiliki tanda pasien akan mengalami pembatasan dalam melakukan kegiatan fisik, tidak
mengeluh saat istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang ringan sudah menimbulkan gejala-gejala
insufisiensi jantung (kelelahan, jantung berdebar, sesak nafas atau nyeri dada).
Keluhan sesak nafas (dispnea) yang muncul pada passien CHF tersebut dapat
disebabkan karena peningkatan darah dan cairan dalam paru yang membuat paru menjadi berat,
sehingga menyebabkan dispnea. Dispnea hanya dapat terjadi bila pasien berbaring datar
(ortopnea) karena cairan terdistribusi ke paru, sehingga muncul dispnea episodik yang
menyebabkan pasien terbangun dimalam hari. Mudah lelah dapat terjadi akibat cairan jantung
yang kurang sehingga menghambat sirkulasi cairan dan sirkulasi oksigen yang normal,
disamping menurunya pembuangan sisa hasil katabolisme. Kegelisahan terjadi akibat gangguan
oksigenasi jaringan, stres akibat munculnya rasa sesak saat bernapas, dan karena penderita
mengetahui bahwa jantungnya tidak berfungsi dengan baik (Ardiansyah, 2012).
Namun pada responden penelitian ini tidak terlihat pasien dalam kondisi keluhan
bernafas yang payah. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan oksigen. Pada penelitian ini hampir
seluruh responden tidak menggunakan oksigen (84,2%). Oleh karenanya kondisi pasien terlihat
dikatakan lebih stabil.
Pijat efektif menurunkan foo oedema pada penderita Page 6 of
Jurnal Ilmu Keperawatan Medial Bedah 2 (1), Mei 2019, 1-54
2338-2058 (print), 2621-2986 (online)

Berbeda dengan penelitian Ulfa, Sadiyanto dan Khasanah (2017) serta penelitian
Wahyuningsih, Khasanah dan Irma (2017). Walaupun pada penelitian Ulfa, Sadiyanto dan
Khasanah (2017) serta penelitian Wahyuningsih, Khasanah dan Irma (2017), memiliki kesamaan
mayoritas grade 3, namun kondisi pasien pada penelitian sebelumnya pada kondisi yang payah,
karena responden dirawat di ruang Intensif Cardiology Care Unit (ICCU). Sedangkan pada
penelitian ini responden dengan penyakit CHF yang dirawat di ruang rawat inap pada hari kedua.
Tidak adanya penggunaan oksigen pada responden penelitian ini dimungkinkan karena
kemampuan otot jantung yang lebih baik dalam memompakan darah, atau dikarenakan
pengobatan diuresis yang berhasil sehingga tekanan dalam ventrikel berkurang. Berkurangnya
tekanan di ventrikel, khususnya ventrikle kiri akan berdampak kepada menurunnya tekanan pada
kapiler paru sehingga udema paru pun berkurang. Berkurangnya udema paru inillah yang
selanjutnya menyebabkan status pernafasan pasien menjadi lebih baik.
Hasil penelitian menunjukan bahwa respirasi rate (RR) cenderung menurun dan dari
posisi semi fowler ke fowler RR cenderung tetap (walaupun meningkat, namun peningkatan
tersebut sangat kecil dan hasil analisis multivarate menunjukan tidak ada perbedaan bermakna
nilai RR antar posisi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Annisa, Utomo dan Utami
(2018) yang menunjukan bahwa tidak ada pengaruh posisi fowler rendah, semi fowler dan fowler
terhadap respirasi rate pada pasien dengan gangguan pernafasan.
Berbeda dengan nilai SaO2 pada perubahan posisi tersebut. Hasil penelitian
menunjukan bahwa dari posisi head up ke semi fowler dan ke fowler nilai SaO2 cenderung
meningkat. Hasil analisis multivariate menunjukan bahwa ada perbedaan hasil SaO2 antara posisi
head up, semi fowler dan fowler. Perbedaan nilai SaO2 terlihat antara posisi head up dengan
posisi fowler (p value 0,033), sedangkan antara posisi head up dengan semi fowler dan semi
fowler dengan fowler tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik p value > 0,05.
Hasil penelitian El-Moaty, El-Mokadem, Abd-Elhy (2017) menujukan bahwa ada
peningkatan siginifikan nilai SaO2 pasien cedera kepala setelah diposisikan fowler 300 atau
posisi head up 300. Hasil penelitian tersebut menujukan hasil yang berbeda dengan penelitian ini.
Hal ini mungkin dikarenakan kondisi pasien yang berbeda dan pemberian awal posisi serta lama
waktu memposisikan yang berbeda. Pada penelitian ini posisi awal adalah head up, sementara
pada penelitian sebelumnya posisi awal adalah 150, dan lama waktu memposisikan pada
penelitian ini adalah 15 menit, sementara pada penelitian sebelumnya 30 menit.
Pijat efektif menurunkan foo oedema pada penderita Page 7 of
Jurnal Ilmu Keperawatan Medial Bedah 2 (1), Mei 2019, 1-54
2338-2058 (print), 2621-2986 (online)

Namun Hasil penelitian El-Moaty, El-Mokadem, Abd-Elhy (2017) juga menujukan


bahwa tidak ada peningkatan siginifikan nilai SaO2 dan RR pasien cedera kepala setelah
diposisikan fowler 450 atau posisi semi fowler. Dengan demikian penelitian tersebut sejalan
dengan penelitian ini, yang menunjukan tidak ada peubahan nilai SaO2 dan RR yang bermakna
statistik pada posisi semi fowler atau fowler 450. Dengan demikian menurut penulis dengan
menempatkan pasien pada posisi fowler (300/450) dapat meningkatkan status pernafasan pasien,
dalam hal ini SaO2 dan RR dapat menjadi lebih baik dibandingkan posisi kepala yang lebih
rendah. Hal tersebut dapat dimaknai bahwa pada posisi tubuh yang semakin tegak status
pernafasan semakin baik. Pada posisi semi fowler aliran balik darah ke jantung lebih menurun
dibandingkan pada posisi head up. Dan pada posisi fowler aliran balik darah semakin menurun
dibandingkan pada posisi semi fowler.
Hasil ini sejalan dengan penelitian Kubota, Endo dan Kubota (2013) yang
menunjukan bahwa sedikit fleksi pada tubuh bagian atas dalam posisi fowler akan mengaktifkan
fungsi pernapasan dan meningkatkan kontribusi aktifitas saraf vagal ke sistem kardiovaskular.
Menurunnya aliran balik darah ke jantung menyebabkan beban kerja jantung menurun.
Menurunnya beban kerja jantung berdampak kepada penurunan tekanan pada ventrikel dan
atrium kiri, sehingga hal tersebut akan menyebabkan semakin menurunnya tekanan di kapiler
paru sehingga dapat mengurangi udema paru. Sementara itu dengan semakin menurunnya aliran
balik darah ke jantung maka darah yang menuju paru dari atrium dan ventrikel kanan juga akan
menurun sehingga pada akhirnya dapat menurunkan udema paru. Pendapat ini didasarkan pada
teori yang disampaikan Gayton dan Hall (2014) pada pembahasan tentang sirkulasi paru dan
sistemik.
Edema paru yang berkurang menyebabkan keluhan sesak nafas pun berkurang.
Disamping itu dengan udema paru yang berkurang maka tekanan oksigen di dalam pembuluh
juga semakin meningkat dan sebaliknya tekanan parsial CO2 didalam tubuh semakin menurun.
Menurunnya tekanan parsial CO2 akan berdampak pada kerja sistem respirasi yang menurun
sehingga respirasi rate juga menurun. Dan dengan semakin meningkatnya tekanan oksigen
didalam pembuluh maka SaO2 akan semakin meningkat.
Selain itu pengaturan posisi tidur dengan meninggikan punggung bahu dan kepala
450 dan 900 memungkinkan rongga dada dapat berkembang secara luas dan pengembangan paru
meningkat. Kondisi ini akan menyebabkan asupan oksigen membaik sehingga proses respirasi
kembali normal. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Smeltzer dan Bare (2014) menyatakan
Jurnal Ilmu Keperawatan Medial Bedah 2 (1), Mei 2019, 1-54
2338-2058 (print), 2621-2986 (online)

bahwa pengaturan posisi tidur fowler dan semi fowler dapat meningkatkan kondisi
pengembangan paru dan nadi. Sebagaimana hasil penelitian Anchala, 2016 yang menunjukan
bahwa ada perbedaan yang siginifikan SaO2 pada posisi semi fowler dibandingkan posisi yang
lain pada pasien yang dirawat di ICU.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan pendapat Sudoyo (2009) yang
menyampaikan bahwa pada saat posisi supinasi dan semi fowler gaya gravitasi pada peredaran
darah lebih rendah karena arah peredaran tersebut horizontal sehingga tidak terlalu melawan
gravitasi dan tidak perlu memompa besar. Aliran balik yang lambat menjadikan peningkatan
jumlah cairan yang masuk ke paru berkurang, sehingga udara di alveoli mampu mengabsorbsi
oksigen atmosfer.
Adanya perbedaan SaO2 antara posisi head up, semi fowler dan fowler pada
penelitian ini sejalan dengan penelitian Wahyuningsih, Khasanah dan Irma (2017), yang
menunjukan bahwa ada perbedaan status pernafasan setelah diposisikan semi fowler 450 dengan
setelah diposisikan fowler 900 bermakna secara statistik, dimana status pernafasan menjadi lebih
baik pada posisi fowler 900. Perubahan SaO2 pada penilitian semakin meningkat pada posisi
fowler, hal ini juga sejalan dengan penelitian Wahyuningsih, Khasanah dan Irma (2017), yang
menunjukan bahwa perubahan status pernafasan menjadi lebih baik pada posisi fowler. Status
pernafasan yang lebih baik dapat berdampak kepada kualitas tidur pasien. Hal ini sejalan dengan
penelitian Shahab, Fauzan dan Budiarto (2016) menunjukan bahwa ada pengaruh sudut tidur
fowler 450 terhadap kualitas tidur, walaupun tidak ada pengaruh posisi tidur fowler 450 terhadap
tanda vital: tekanan darah, nadi dan RR.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan yang harus diperhatikan dalam merawat
pasien CHF, bahwa potitioning/ memposisikan pasien adalah hal penting yang harus diperhatikan
karena akan dapat memepengaruhi hemodinamik tekanan darah, nadi, SaO2 dan RR. Posisi tidur
semi fowler dan fowler pada pasien CHF menunjukan haemodinak yang lebih baik daripada
posisi head up. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Smeltzer dan Bare (2014), bahwa
pada pasien CHF dengan udema paru maka posisi yang direkomendasikan adalah fowler 900
dengan tangan bahu dan kaki diberikan penyangga.
KESIMPULAN
Rerata saturasi oksigen (SaO2), dari posisi head up ke semi fowler mengalami peningkatan 0.5
point dan dari posisi semi fowler ke fowler juga mengalami peningkatan sebesar 0,2 point. Ada
perbedaan rerata SaO2 yang bermakna secara statistik antara posisi head up, semi fowler dan
fowler (p value > 0.05). Rerata Respirasi Rate (RR) dari posisi head up ke semi fowler
mengalami penurunan 0,5 point dan dari posisi semi fowler ke fowler juga mengalami
peningkatan sebesar 1,1 point. Tidak ada perbedaan rerata RR yang bermakna secara statistik
antara posisi head up, semi fowler dan fowler (p value > 0.05).

DAFTAR PUSTAKA

Acton, A. (2013). Congestive Heart Failure: New Insights for the Healthcare Professional.
Scholarly Editions.

Anchala, A Mercy. (2016). A Study to Assess the Effect of Therapeutic Positions on


Hemodynamic Parameters among Critically Ill Patients in the Intensive Care Unit at Sri
Ramachandra Medical Centre. Dapat diakses di https://www.omicsonline.org/open-
access/a-study-to-assess-the-effect-of-therapeutic-positions-on-hemodynamic-parameters-
among-critically-ill-patients-in-the-intensive-car-2167-1168-1000348.php?aid=74652.
Diunduh tanggal 19 Nopember 2018

Annisa, R., Utomo , W., dan Utami, S., (2018). Pengaruh Perubahan Posisi Terhadap Pola Nafas
Pada Pasien dengan Gangguan Pernafasan. Dapat diakses di
https://jom.unri.ac.id/index.php/JOMPSIK/article/view/19175. Diunduh tanggal 19 Nopember
2018

American Heart Association. 2012. Hearth Disease and Stroke Statistik. Diakses dari:
http://ahajournal.org.com.

Ardiansyah, M. (2012). Medikal Bedah Untuk Mahasiswa. Yogyakarta: Diva Press.

Aronson & Ward. (2010). At Glance Sistem Kardiovaskuler. Jakarta: Erlangga.

Black, M. J. & Hawks, H.J. (2009). Medical surgical nursing: clinical management for continuity
of care, 8th ed. Philadephia: W.B. Saunders Company.
Bredore, V. (2009). The relationship between congetive heart failure, sleep apnea and mortality
in older men. Diakses dari: http://www.guideline.gov/summary.aspx?Vied_id.

Brunner & Suddarth. (2013). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.


Crawford, M.H. (2009). Current Diagnosis & Treatment Cardiologi (3 rd Ed). McGraw-Hill
Companies, Inc.

Kubota, S., Endo, Y., dan Kubota, M.,. (2013). Effect of upper torso inclination in Fowler’s
position on autonomic cardiovascular regulation. Dapat diakses di
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23818165. Diunduh tanggal 19 Nopember 2018

Dipiro, J., Talbert, R., Yee, G., Matzke, G., Wells, B., & Posey, L. (2015). Pharmacotheraphy: A
Pathophysiologic Approach. Seventh Edition, Mc-Hill Medical Publishing, New York, 174-
213.

Duward. (2010). The Effects of Semi- Fowler’s Position on Post- Operative Recovery in
Recovery Room for Patients with Laparoscopic Abdominal Surgery. Abstract. College of
Nursing, Catholic University of Pusan, Korea.

El-Moaty, A.M.A, El-Mokadem, N.M., Abd-Elhy, A.H.,. (2017). Effect of Semi Fowler’s
Positions on Oxygenation and Hemodynamic Status among Critically Ill Patients with
Traumatic Brain Injury.
http://www.noveltyjournals.com/download.php?file=Effect%20of%20Semi%20Fowler%E
2%80%99s%20Positions-1130.pdf&act=book. Diunduh tanggal 20 Nopember 2018

Ganong, W.F. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta: EGC.

Goodman & Gilman. (2011). Clinical Significance of Small Dense Low-Density Lipoprotein
Cholesterol Levels Determined by the Simple Precipitation Method Arteriosclerosis,
Thrombosis, and Vaskular Biology. Journal of American Heart Association.

Guyton A.C, dan Hall, J.E. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Penterjemah: Ermita
I, Ibrahim I. Singapura: Elsevier

Harrison. (2013). Harrison’s Principles of Internal medicines 16th Edition, New York: McGraw
Hill Medical Publishing Division.

Hudak, C.M & Gallo, B.M. 2010. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik, Edisi 7, Vol. 1.
Jakarta: EGC.

Infodatin. (2014). Situasi Kesehatan Jantung. Jakarta: Kemenkes RI.

Julie, C.H. (2008). The effect of positioning on cardiac ouput measurement. Diakses dari:
http://proquest.umi.com/pqdweb?index=0&did=579636611&SrchMode=1&sid=3&Fmt=2
&VInst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName=PQD&TS=1213971
316&clientId=45625.

Kasron. (2012). Buku Ajar Gangguan Sistem Kardiovaskuler. Yogyakarta: Nuha Medika.

Kehat, I. & Molkentin, J.D. (2010). Molecular Pathways Underlying Cardiac Remodeling During
Pathophysiological Stimulation, AHA Circulation, 122, 2727-2735. Diakses dari:
http://circ.ahajournals.org.
Kowalak, J.P., Welsh, W, & Mayer, B. (2012). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Lilly, L.S. (2011). Basic Cardiac Structure and Function. In: Leonard, L.S., eds. Pathophysiology
of Heart Disease 5th Edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins, 1-27.

Mann, D.L. (2012). Braunwalds Heart Disease a textbook of Cardiovascular Medicine (9 th eds),
487-489 National Heart Lung and Blood Institute, 2016, What is Cardiogenic Shock.
Diakses dari: http://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/shock.

McMurray, JV., Adamopoulos, S., Anker, D.S., Auricchio, A., Bohm, M., & Dickstein, K.
(2012). European Society of Cardiology Guidelines. Diagnosis and Treatment of Acute and
Chronic Heart Failure.EHJ, 33, 1787–1847. Diakses dari:
http://www.escardio.org/Guidelines-&- Education/Clinical-Practice Guidelines/Acute-and-
Chronic-Heart-Failur.

McPhee dan Ganong. (2011). Patofisiologi Penyakit. 5th ed. Jakarta: EGC.

Melani, R.,. (2012). Analisis Pengaruh Sudut Posisi Tidur terhadap Kualitas Tidur dan Tanda
Vital Pada Pasien Gagal Jantung Di Ruang Rawat Intensif RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung http://stikesayani.ac.id/publikasi/e-journal/files/2012/201208/201208-008.pdf.
Diunduh tanggal 19 Nopember 2018

Muttaqin, A. (2009). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler dan
Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.

National Heart Foundation of Australia. (2011). Guideline for the Prevention, Detection and
Management of Chronic Heart Failure. NHFA Guideline.

National Institute for Health and Care Excellence. (2010). Chronic Heart Failure: Management
of Chronic Heart failure in Adults in Primary and Secondary Care.

Padila. (2012). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika.

Porth, M.C. (2007). Pathophysiology Concepts of Altered Health States. Chap 20: 429.

Potter, P. A., & Perry, A. G. (2010). Buku Ajar Fundamental: konsep, proses, dan praktik.
Jakarta: EGC.

Shahab, S., Fauzan, S., Budiharto, I.,. (2016) Pengaruh Posisi Tidur Semi Fowler 45 ˚ Terhadap
Kualitas Tidur Pasien Gagal Jantung Di Ruang ICCU RSUD dr. Soedarso Pontianak
jurnal.untan.ac.id/index.php/jmkeperawatanFK/article/download/.../75676577866 di unduh
tanggal 19 Nopember 2018

Smeltzer, S.C & Bare. (2014). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.
Jakarta: EGC.

Sudoyo, W., A., Setiyohadi, B., & Alwi, I. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Fakultas KedokteranUniversitas Indonesia.
Supadi, E. Nurachmah, & Mamnuah. (2008). Hubungan Analisa Posisi Tidur
Semi Fowler Dengan Kualitas Tidur Pada Klien Gagal Jantung Di RSU
Banyumas Jawa Tengah. Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Volume IV
No 2 Hal 97-108.

Wells, B.G., Dipiro, J.T., Schwinghammer, T.L., & Dipiro, C.V. (2015)
Pharmacotherapy
Handbook (9th ed) : Heart Failure, 75-81, MC Graw Hill Education.

WHO. (2013). Prevention of Cardiovascular Disease. WHO Epidemiologi Sub


Region AFRD and
AFRE. Genewa.

Wijaya, A.S & Putri, Y.M. (2013). KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah.
Yogyakarta: Nuha
Medika.

Yancy. (2013). Guideline for The Management of Heart Failure. American Heart
Association.
PEMBAHASAN JURNAL
LAPORAN EVIDENCE BASED PRACTICE KEPERAWATAN KRITIS

A. Judul
Perbedaan Saturasi Oksigen dan Respirasi Rate Pasien Congestive
Heart Failure pada Perubahan Posisi
B. Latar Belakang
Penyakit jantung dan pembuluh darah merupakan salah satu
masalah kesehatan utama di negara maju maupun berkembang. Penyakit ini
menjadi penyebab nomor satu kematian di dunia dengan diperkirakan akan
terus meningkat hingga mencapai 23,3 juta pada tahun 2030 (Yancy, 2013;
Depkes, 2014). Masalah tersebut juga menjadi masalah kesehatan yang
progresif dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi di Indonesia
(Perhimpunan Dokter Kardiovaskuler, 2015). Hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) Kemenkes RI Tahun 2013, prevalensi penyakit gagal jantung di
Indonesia mencapai 0,13% dan yang terdiagnosis dokter sebesar 0,3% dari
total penduduk berusia 18 tahun ke atas.
Penyakit CHF dapat menimbulkan berbagai gejala klinis
diantaranya; dyspnea, ortopnea, dyspnea deffort, dan Paroxysmal
Nocturnal Dyspnea (PND), edema paru, asites, pitting edema, berat badan
meningkat, dan dan bahkan dapat muncul syok kardiogenik (Smeltzer &
Bare, 2014). Munculnya tanda gejala tersebut berhubungan dengan adanya
bendungan cairan pada system sirkulasi darah. Oleh karenanya dalam
penanganan pasien CHF salah satunya dasarnya adalah mengurangi
terjadinya bendungan cairan pada sirkulasi darah.
Positioning merupakan salah satu tindakan keperawatan yang dapat
membantu meminimalkan bendungan sirkulasi. Sebagaimana disampaikan
oleh Cicolini et al (2010) bahwa posisi mempunyai efek terhadap
perubahan tekanan darah dan tekanan vena sentral. Posisi yang berbeda
mempengaruhi hemodinamik termasuk sistem vena. Beberapa hasil
penelitian sebelumnya seperti penelitian Resti, Sadiyanto dan Khasanah
(2017), pada pasien CHF yang dirawat di ICCU, didapatkan hasil terdapat
perbedaan antara respiratory rate, saturasi oksigen dan keluhan sesak nafas
pada posisi awal dengan fowler 450 dan fowler 900, akan tetapi posisi
fowler 900 lebih menguntungkan dalam perbaikan status respirasi pada
pasien dengan gagal jantung.
Smeltzer dan Bare (2014) menyatakan bahwa pengaturan posisi
tidur dengan meninggikan punggung bahu dan kepala sekitar 30° atau 45°
memungkinkan rongga dada dapat berkembang secara luas dan
pengembangan paru meningkat. Kondisi ini akan menyebabkan asupan
oksigen membaik sehingga proses respirasi kembali normal.
C. P (Population)
Semua pasien CHF rawat inap hari 2 di RSUD Prof DR Margono Soekarjo
Purwokerto. Besar sampel yang digunakan adalah 38 responden.
D. I (Intervention)
Intervensi yang dilakukan yaitu Pemberian Posisi Head up 300,
dilakukan selama 15 menit, selanjutnya dilakukan pengukuran SaO 2 dan
RR (waktu pengukuran dengan istirahat kurang lebih adalah 10 menit),
selanjutnya pasien diposisikan semi fowler 450 selama 15 menit, kemudian
pengukuran SaO2 dan RR dan selanjutnya diposisikan fowler (duduk
tegak). Cara ukur tindakan tersebut dengan menggunakan SOP
memposisikan pasien.
E. C (Comparation)
Pemberian posisi head up 30o, semi fowler dan fowler pada responden.
Adapun perubahan yang diamati meliputi tekanan darah, nadi, SaO 2 dan
RR, pada setiap perubahan posisi.
F. O (Outcome)
Rerata saturasi oksigen (SaO2), dari posisi head up ke semi fowler
mengalami peningkatan 0.5 point dan dari posisi semi fowler ke fowler
juga mengalami peningkatan sebesar 0,2 point. Ada perbedaan rerata SaO2
yang bermakna secara statistik antara posisi head up, semi fowler dan
fowler (p value > 0.05).
Rerata Respirasi Rate (RR) dari posisi head up ke semi fowler
mengalami penurunan 0,5 point dan dari posisi semi fowler ke fowler juga
mengalami peningkatan sebesar1,1 point. Tidak ada perbedaan rerata RR
yang bermakna secara statistik antara posisi head up, semi fowler dan
fowler (p value > 0.05).
Potitioning/ memposisikan pasien CHF merupakan hal penting yang
harus diperhatikan karena dapat memepengaruhi hemodinamik tekanan
darah, nadi, SaO2 dan RR. Posisi tidur semi fowler dan fowler pada pasien
CHF menunjukan haemodinak yang lebih baik daripada posisi head up. Hal
ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Smeltzer dan Bare (2014), bahwa
pada pasien CHF dengan udema paru maka posisi yang direkomendasikan
adalah fowler 900 dengan tangan bahu dan kaki diberikan penyangga.
G. T (Time)
Penelitian dilakukan pada 2019

Anda mungkin juga menyukai