Artikel Kewenangan Daerah Dalam Penularan Penyakit Menular
Artikel Kewenangan Daerah Dalam Penularan Penyakit Menular
NPM : 1652011242
Virus corona menular lewat lendir (droplet) manusia positif COVID-19 yang meloncat ke
manusia negatif COVID-19. Lendir itu terciprat saat manusia positif COVID-19 bersin,
batuk, atau berbicara lalu terkena orang lain yang negatif, selain melalui media yang lain
diantaranya benda-benda yang terkena cipratan lendir (droplet) dan virus yang menempel
telah terpegang oleh manusia negatif Covid 19 seperti memegang uang pengembalian saat
berbelanja, memegang mesin ATM saat transaksi, dan lain sebagainya.
Untuk diketahui, pasien positif virus corona pertama kali ditemukan di Depok, Jawa Barat.
Pasien positif itu tertular corona dari seorang warga negara Jepang yang sempat datang ke
Jakarta. Pasien positif corona tersebut kini sudah sembuh setelah diisolasi dan dirawat di RS
Sulianti Saroso.
Dalam penanganan Covid 19 dikatagorikan dalam 3 (tiga) macam orang yang berkaitan
dengan penularan, yaitu 1. Orang Dalam Pemantauan (ODP) yaitu orang yang berpotensi
tertular virus Corona karena pernah berinteraksi dengan orang yang positif Covid 19,
kemudian yang ke 2. Pasien Dalam Pengawasan (PDP) yaitu Pasien atau orang yang dirawat
karena diduga tertular atau terpapar Covid 19, dan ke 3 yaitu Pasien yang sudah dinyatakan
Positif terpapar atau tertular Covid 19.
Pemerintah mengungkapkan bahwa hingga hari Minggu ini, sudah lebih dari 200 ribu orang
dinyatakan sebagai Orang Dalam Pemantauan (ODP) COVID-19.
Data dari Gugus Tugas Penanganan COVID-19 di Indonesia menyebutkan terdapat kenaikan
ODP sebanyak 2.129. Sehingga secara total terdapat 209.040 kasus ODP di Indonesia.
"Pasien Dalam Pengawasan 19.648 orang," kata Juru Bicara Penanganan COVID-19 Achmad
Yurianto dalam siaran konferensi persnya dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana,
Jakarta pada Minggu (26/4/2020).
Gugus Tugas mengungkapkan bahwa jumlah PDP COVID-19 meningkat sebanyak 564 pada
hari ini.
"34 provinsi telah terdampak dan 282 kabupaten/kota terdampak," tambahnya.
Dalam kesempatan tersebut, Yuri juga mengungkapkan masih ada penambahan kasus positif
COVID-19 yang secara total pada hari ini mencapai 8.882 orang.
Di sini, Yuri meminta agar masyarakat tetap aktif dalam upaya memutus mata rantai
penularan COVID-19 dengan cara-cara yang selalu disosialisasikan seperti tetap di rumah,
menjaga jarak, menggunakan masker apabila terpaksa keluar rumah, serta mencuci tangan
dengan sabun dan air mengalir, dan meningkatkan imunitas atau daya tahan tubuh.
Pencegahan Mandiri
Setiap warga berperan untuk memutus mata rantai penyebaran virus corona atau COVID-19.
Caranya seperti yang telah diinstruksikan Pemerintah, yakni: melakukan social distancing
dan tidak keluar rumah. Bagi para pekerja diimbau untuk kerja dari rumah atau Work From
Home (WFH). Namun sayangnya menurut Yuri masih banyak warga yang berkerumun di
luar rumah, tidak menjaga jarak dan tidak menggunakan masker. Inilah yang menyebabkan
lonjakan kasus virus corona di Indonesia.
Selain itu, lanjut Yuri, penularan virus corona paling banyak terjadi melalui tangan. Dia
mengimbau masyarakat untuk selalu menjaga kebersihan dengan selalu mencuci tangan
dengan sabun pada air mengalir sebelum melakukan kegiatan apapun.
3. 238 WNI juga telah divekuasi dari China dan diobservasi kesehatannya selama 14 hari di
Natuna, Kepulauan Riau.
4. Mengimbau mengganti sholat Jumat dengan sholat zuhur di rumah. Hal itu merujuk fatwa
dari MUI.
5. Pemerintah juga mengimbau pelaksanaan ibadah semua agama dilakukan di rumah saja.
6. Terakhir, masyarakat diimbau untuk tidak mudik lebaran oleh Menteri Agama Fachrul
Razi. Hal ini untuk mencegah orangtua yang rentan akan tertular virus corona.
Skema Pengendalian
Seperti yang beredar di media sosial dan media massa, penanganan wabah covid-19 antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah kurang berjalan baik dan sinergis. Contohnya
seperti yang terjadi di Papua yang telah menerapkan lockdown. Contoh lain, Presiden Joko
Widodo menolak usulan Gubernur Anies Baswedan agar DKI Jakarta dikarantina
atau lockdown untuk menghentikan laju penyebaran wabah covid-19.
Presiden Joko Widodo sedari awal sudah menekankan untuk tidak
memberlakukan lockdown atau karantina wilayah. Presiden bahkan menegaskan sesuai
amanat undang-undang, lockdown atau tidak, adalah sepenuhnya kewenangan pemerintah
pusat bukan pemerintah daerah. Resiko lockdown mungkin saja menurut pemerintah pusat
tidak kecil, keadaan bisa jauh lebih buruk, tidak terkendali hingga korban tetap saja
berjatuhan. Alih-alih mengatasi wabah covid-19, contoh lockdown di Italia, Prancis,
Denmark, dan belakangan India malah menimbulkan masalah baru.
Masalahnya, mengumumkan darurat sipil sebagaimana disebut dalam Perppu itu adalah kalau
situasinya karena kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sedangkan wabah covid-19
terkategori bencana non alam. Hukuman atas pelanggaran status darurat sipil dalam Perppu
itu tergolong ringan, yakni pidana penjara selama sembilan bulan atau denda Rp. 20.000,-.
Bandingkan dengan ancaman hukuman atas pelanggaran serupa sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, yakni pidana
penjara selama satu tahun atau denda Rp. 100 juta.
Skema pengendalian dengan Perppu itu telah menuai kritik karena dianggap akan
menghindarkan pemerintah dari tanggung jawab terhadap warga negaranya. Sebab, jika
darurat sipil diberlakukan pemerintah tidak bertanggung jawab atas kebutuhan dasar
masyarakat. Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan
Kesehatan, disebutkan bahwa "selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar
orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab
Pemerintah Pusat".
Penerapan Darurat Sipil juga bertentangan dengan asas hukum lex specialis derogat legi
generalis, yakni hukum yang khusus dapat mengenyampingkan hukum yang umum. Undang-
Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan lebih khusus membahas tentang kesehatan dan
lebih sesuai dengan bencana yang dihadapi sekarang dibandingkan dengan Perppu Penetapan
Keadaan Bahaya. Belakangan, sebagai pilihan pengendalian, pemerintah menerbitkan PP
Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). PP ini berisi
pelaksanaan sebagian isi Undang-Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan, khususnya
mengenai PSBB, tidak mengenai materi yang lain. Artinya, seperti kebutuhan hidup orang
dan makanan hewan ternak masih menjadi tanggung jawab sendiri.
Stimulus dan Perlindungan Sosial
Besarnya angka gangguan di sektor kesehatan masyarakat, dan juga fatalitas yang
ditimbulkannya, membuat berbagai negara berikut elemen di dalamnya berlomba untuk
melakukan sejumlah langkah. Bukan hanya di bidang penciptaan obat atau vaksin, tapi juga
dalam berbagai sektor lain, termasuk ketatanegaraan.
Indonesia merupakan salah satunya. Minggu (29/3/2020) siang, Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri) mengeluarkan surat edaran yang mengatur tentang pembentukan Gugus Tugas
Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) di daerah. Dalam surat
tersebut, disebutkan bahwa pemerintah daerah dapat menetapkan status keadaan darurat
bencana Covid-19.
Surat edaran bernomor 440/2622/SJ itu diteken Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan
diterbitkan dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19.
Langkah itu merupakan wujud tindak lanjut Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2020
tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas
Percepatan Penanganan Covid-19 dan Permendagri Nomor 20 Tahun 2020 tentang
Percepatan Penanganan Covid-19 di Lingkungan Pemda.
Status darurat yang dimaksud dalam hal ini adalah siaga darurat Covid-19 dan/atau tanggap
darurat Covid-19. Namun demikian, penetapan status tersebut mensyaratkan adanya kajian
dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Dinas Kesehatan (Dinkes)
setempat.
Status keadaan darurat ditetapkan oleh pemerintah. Di mana pada tingkatan nasional
ditetapkan oleh presiden, lalu di tingkat provinsi oleh gubernur, dan tingkat kabupaten/kota
oleh bupati/wali kota.
Status kedaruratan bencana sendiri terbagi atas tiga jenis, yaitu siaga darurat, tanggap darurat,
dan darurat ke pemulihan. Yang dimaksud dengan status siaga darurat adalah keadaan ketika
potensi ancaman bencana sudah mengarah pada terjadinya bencana yang ditandai dengan
adanya informasi peningkatan ancaman berdasarkan sistem peringatan dini yang
diberlakukan dan pertimbangan dampak yang akan terjadi di masyarakat.
Sementara itu, status tanggap darurat merupakan keadaan ketika ancaman bencana terjadi dan
telah mengganggu kehidupan dan penghidupan sekelompok orang/masyarakat.
Lalu, status transisi darurat ke pemulihan merupakan keadaan ketika ancaman bencana yang
terjadi cenderung menurun eskalasinya dan/atau telah berakhir, sedangkan gangguan
kehidupan dan penghidupan sekelompok orang/masyarakat masih tetap berlangsung.
Pemberlakuan status keadaan darurat sesuai UU 24/2007 dan mengacu pada Keppres No. 7
tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 oleh pemerintah daerah
membawa konsekuensi khusus.
Apa saja yang menimbulkan konsekuensi khusus itu? Yakni, dengan menetapkan status siaga
atau tanggap darurat Covid-19, berarti pemda siap bekerja 24 jam tujuh hari dan
mengerahkan segala sumber daya yang ada untuk menyelamatkan rakyat di daerahnya dari
penyakit Covid-19. Selain itu, pemda juga dapat menggunakan Dana Siap Pakai (DSP) dan
anggaran Belanja Tidak Terduga (BTT) daerah untuk menangani status keadaan tertentu ini.
Kementerian Keuangan juga sudah memberi kewenangan untuk refocussing kegiatan dan
realokasi anggaran kementerian/lembaga dalam rangka percepatan penanganan Covid-19
yang tertuang dalam surat edaran Menteri Keuangan Nomer SE-6/MK.02/2020.
Adapun PP Nomor 21 Tahun 2020 hanya menegaskan bahwa apabila daerah ingin
memberlakukan karantina wilayah, harus berkoordinasi dengan Menteri Kesehatan dengan
pertimbangan dari Ketua Pelaksana Gugus Tugas. Namun dalam hal ini pemerintah pusat
semestinya tidak memberikan beban dan tanggung jawab terkait pemenuhan kebutuhan
pokok masyarakat kepada pemerintah daerah.
Pemda dan masyarakat membutuhkan pengetahuan yang jelas dan benar dari 1 sumber
informasi yang ditunjuk agar semua tidak lagi termakan informasi-informasi yang sangat
terbuka saat ini melalui media sosial yang terkadang ada yang tidak benar dan menyesatkan.
Terkait kebijakan pembatasan jarak sosial (social distancing) dan pembatasan jarak fisik
(physical distancing), imbuhnya, diperlukan ketegasan aparat penegak hukum terhadap
masyarakat yang melanggar/tidak disiplin. Menurutnya, kebijakan ini sebaiknya dibarengi
dengan kebijakan karantina wilayah (UU 6/2018).
Hal penting juga terkait dengan ini adalah perlu segera ditetapkan daerah-daerah yang masuk
dalam kategori merah, kuning, dan hijau agar masyarakat mengetahui dan dapat menjaga
keselamatannya.
Terkait dengan Perpu Nomor 1 Tahun 2020, pemerintah telah mengalokasikan tambahan
anggaran kesehatan sebesar Rp 75 triliun dan Rp 110 triliun bagi anggaran perlindungan
sosial.
Komite III yang membidangi kesehatan dan perlindungan sosial juga mendorong pemerintah
untuk secepatnya mempersiapkan aturan-aturan turunan secara teknis yang
juga diamanatkan oleh Perpu ini (berupa Perpres).
Jangan sampai dalam kondisi kedaruratan semacam ini birokrasi pemerintah menjadi
penghambat eksekusi dari belanja negara demi keselamatan nyawa warga negara. Komite III
DPD RI berkomitmen untuk tetap melaksanakan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan
ketentuan UU terkait dengan penanganan Pandemi COVID-19 ini agar kebijakan dapat tepat
sasaran dan berhasil guna bagi daerah dan masyarakat.