Anda di halaman 1dari 8

NAMA : MUHAMMAD RIZKI MULYAWAN

NPM : 1652011242

ARTIKEL TENTANG KEWENANGAN DAERAH DALAM PENYAKIT MENULAR


KEWENANGAN DAERAH DALAM MENANGANI PENULARAN PENYAKIT
MENULAR
Virus Corona atau yang dikenal dengan COVID-19 pertama kali ditemukan di Wuhan, China
pada akhir 2019 lalu. Penyebaran virus yang belum ditemukan penawarnya itu hingga kini
tak terkendali. Sudah 210 lebih negara di dunia melaporkan adanya kasus terpapar virus
corona.
Di Indonesia kasus ini pertama kali ditemukan pada dua warga Depok, Jawa Barat, awal
Maret lalu.
Cepatnya penyebaran virus ini di Indonesia menurut Juru Bicara pemerintah untuk
penanganan COVID-19 Achmad Yurianto, karena banyak warga yang tak mengikuti
imbauan untuk tetap berada di rumah.
Achmad Yurianto menyebutkan, peningkatan jumlah kasus positif menjadi ribuan di
Indonesia karena terjadi penularan di luar (rumah warga). Padahal pemerintah
menginstruksikan masyarakat salah satunya untuk melakukan social distancing atau menjaga
jarak. Bila instruksi ini tidak dipatuhi, risiko penularan akan terus membesar.

Penularan Virus Corona atau COVID-19

Virus corona menular lewat lendir (droplet) manusia positif COVID-19 yang meloncat ke
manusia negatif COVID-19. Lendir itu terciprat saat manusia positif COVID-19 bersin,
batuk, atau berbicara lalu terkena orang lain yang negatif, selain melalui media yang lain
diantaranya benda-benda yang terkena cipratan lendir (droplet) dan virus yang menempel
telah terpegang oleh manusia negatif Covid 19 seperti memegang uang pengembalian saat
berbelanja, memegang mesin ATM saat transaksi, dan lain sebagainya.

Untuk diketahui, pasien positif virus corona pertama kali ditemukan di Depok, Jawa Barat.
Pasien positif itu tertular corona dari seorang warga negara Jepang yang sempat datang ke
Jakarta. Pasien positif corona tersebut kini sudah sembuh setelah diisolasi dan dirawat di RS
Sulianti Saroso.

Dalam penanganan Covid 19 dikatagorikan dalam 3 (tiga) macam orang yang berkaitan
dengan penularan, yaitu 1. Orang Dalam Pemantauan (ODP) yaitu orang yang berpotensi
tertular virus Corona karena pernah berinteraksi dengan orang yang positif Covid 19,
kemudian yang ke 2. Pasien Dalam Pengawasan (PDP) yaitu Pasien atau orang yang dirawat
karena diduga tertular atau terpapar Covid 19, dan ke 3 yaitu Pasien yang sudah dinyatakan
Positif terpapar atau tertular Covid 19.

Pemerintah mengungkapkan bahwa hingga hari Minggu ini, sudah lebih dari 200 ribu orang
dinyatakan sebagai Orang Dalam Pemantauan (ODP) COVID-19.
Data dari Gugus Tugas Penanganan COVID-19 di Indonesia menyebutkan terdapat kenaikan
ODP sebanyak 2.129. Sehingga secara total terdapat 209.040 kasus ODP di Indonesia.
"Pasien Dalam Pengawasan 19.648 orang," kata Juru Bicara Penanganan COVID-19 Achmad
Yurianto dalam siaran konferensi persnya dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana,
Jakarta pada Minggu (26/4/2020).
Gugus Tugas mengungkapkan bahwa jumlah PDP COVID-19 meningkat sebanyak 564 pada
hari ini.
"34 provinsi telah terdampak dan 282 kabupaten/kota terdampak," tambahnya.
Dalam kesempatan tersebut, Yuri juga mengungkapkan masih ada penambahan kasus positif
COVID-19 yang secara total pada hari ini mencapai 8.882 orang.
Di sini, Yuri meminta agar masyarakat tetap aktif dalam upaya memutus mata rantai
penularan COVID-19 dengan cara-cara yang selalu disosialisasikan seperti tetap di rumah,
menjaga jarak, menggunakan masker apabila terpaksa keluar rumah, serta mencuci tangan
dengan sabun dan air mengalir, dan meningkatkan imunitas atau daya tahan tubuh.

Untuk mengendalikan/meminimalisir kemungkinan bertambahnya pasien maka dibuatlah


kebijakan sebagai berikut :

Pencegahan Mandiri

Setiap warga berperan untuk memutus mata rantai penyebaran virus corona atau COVID-19.
Caranya seperti yang telah diinstruksikan Pemerintah, yakni: melakukan social distancing
dan tidak keluar rumah. Bagi para pekerja diimbau untuk kerja dari rumah atau Work From
Home (WFH). Namun sayangnya menurut Yuri masih banyak warga yang berkerumun di
luar rumah, tidak menjaga jarak dan tidak menggunakan masker. Inilah yang menyebabkan
lonjakan kasus virus corona di Indonesia.
Selain itu, lanjut Yuri, penularan virus corona paling banyak terjadi melalui tangan. Dia
mengimbau masyarakat untuk selalu menjaga kebersihan dengan selalu mencuci tangan
dengan sabun pada air mengalir sebelum melakukan kegiatan apapun.

Pemerintah juga telah melakukan langkah-langkah pencegahan virus corona, seperti :


1. Menyediakan beberapa unit thermo scanner di pintu-pintu kedatangan di berbagai bandara.

2. Pemerintah melarang penerbangan maskapai Indonesia ke China.

3. 238 WNI juga telah divekuasi dari China dan diobservasi kesehatannya selama 14 hari di
Natuna, Kepulauan Riau.

4. Mengimbau mengganti sholat Jumat dengan sholat zuhur di rumah. Hal itu merujuk fatwa
dari MUI.

6. Melarang masyarakat mengadakan kegiatan yang menyebabkan berkumpulnya banyak


orang seperti mengadakan resepsi perkawinan, mengadakan kegiatan olahraga maupun
kesenian yang menghadirkan banyak penonton.

5. Pemerintah juga mengimbau pelaksanaan ibadah semua agama dilakukan di rumah saja.

6. Terakhir, masyarakat diimbau untuk tidak mudik lebaran oleh Menteri Agama Fachrul
Razi. Hal ini untuk mencegah orangtua yang rentan akan tertular virus corona.

Skema Pengendalian

Seperti yang beredar di media sosial dan media massa, penanganan wabah covid-19 antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah kurang berjalan baik dan sinergis. Contohnya
seperti yang terjadi di Papua yang telah menerapkan lockdown. Contoh lain, Presiden Joko
Widodo menolak usulan Gubernur Anies Baswedan agar DKI Jakarta dikarantina
atau lockdown untuk menghentikan laju penyebaran wabah covid-19.
Presiden Joko Widodo sedari awal sudah menekankan untuk tidak
memberlakukan lockdown atau karantina wilayah. Presiden bahkan menegaskan sesuai
amanat undang-undang, lockdown atau tidak, adalah sepenuhnya kewenangan pemerintah
pusat bukan pemerintah daerah. Resiko lockdown mungkin saja menurut pemerintah pusat
tidak kecil, keadaan bisa jauh lebih buruk, tidak terkendali hingga korban tetap saja
berjatuhan. Alih-alih mengatasi wabah covid-19, contoh lockdown di Italia, Prancis,
Denmark, dan belakangan India malah menimbulkan masalah baru.

Dalam kondisi tersebut pemerintah menyiapkan skema pengendalian dengan menggunakan


beberapa peraturan perundang-undangan, yakni Undang-Undang tentang Bencana, Undang-
Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perppu Nomor 23 Tahun 1959) tentang Penetapan Keadaan Bahaya. Dalam Perppu
yang diterbitkan oleh Presiden Soekarno itu terletak serangkaian peraturan yang memberikan
kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan status darurat sipil, darurat militer, dan
darurat perang.
Dalam Perppu itu juga diatur, bahwa "penguasa keadaan darurat sipil adalah
Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang selaku penguasa Darurat Sipil Pusat".
Presiden dapat mengumumkan darurat sipil kalau terjadi situasi-situasi amat genting
sebagaimana disebut dalam Pasal 1, "...sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-
alat perlengkapan secara biasa atau ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup
Negara".

Masalahnya, mengumumkan darurat sipil sebagaimana disebut dalam Perppu itu adalah kalau
situasinya karena kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sedangkan wabah covid-19
terkategori bencana non alam. Hukuman atas pelanggaran status darurat sipil dalam Perppu
itu tergolong ringan, yakni pidana penjara selama sembilan bulan atau denda Rp. 20.000,-.
Bandingkan dengan ancaman hukuman atas pelanggaran serupa sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, yakni pidana
penjara selama satu tahun atau denda Rp. 100 juta.
Skema pengendalian dengan Perppu itu telah menuai kritik karena dianggap akan
menghindarkan pemerintah dari tanggung jawab terhadap warga negaranya. Sebab, jika
darurat sipil diberlakukan pemerintah tidak bertanggung jawab atas kebutuhan dasar
masyarakat. Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan
Kesehatan, disebutkan bahwa "selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar
orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab
Pemerintah Pusat".

Penerapan Darurat Sipil juga bertentangan dengan asas hukum lex specialis derogat legi
generalis, yakni hukum yang khusus dapat mengenyampingkan hukum yang umum. Undang-
Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan lebih khusus membahas tentang kesehatan dan
lebih sesuai dengan bencana yang dihadapi sekarang dibandingkan dengan Perppu Penetapan
Keadaan Bahaya. Belakangan, sebagai pilihan pengendalian, pemerintah menerbitkan PP
Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). PP ini berisi
pelaksanaan sebagian isi Undang-Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan, khususnya
mengenai PSBB, tidak mengenai materi yang lain. Artinya, seperti kebutuhan hidup orang
dan makanan hewan ternak masih menjadi tanggung jawab sendiri.
Stimulus dan Perlindungan Sosial

Dari pilihan pengendalian tersebut serta memperhatikan kondisi perekonomian masyarakat,


Presiden Joko Widodo menggulirkan penundaan cicilan selama setahun dan penurunan bunga
untuk kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di bawah Rp 10 miliar. Penundaan
cicilan selama setahun juga berlaku untuk kredit motor/mobil oleh ojek online dan sopir taksi,
serta kredit perahu oleh nelayan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sendiri telah menerbitkan Peraturan OJK Nomor 11 Tahun
2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak
Penyebaran Coronavirus Disease 2019. Namun, isi aturan yang terbit pertengahan Maret lalu
ini tidak spesifik seperti yang disampaikan Presiden Joko Widodo. Dalam aturan itu, bank
disebut bisa terlibat dalam memberikan stimulus perekonomian di tengah wabah covid-19,
lewat kebijakan penilaian kualitas kredit dan restrukturisasi kredit. Kebijakan ini dapat
dilakukan dengan tetap mempertimbangkan prinsip kehati-hatian.
Sedangkan restrukturisasi bisa diberikan kepada debitur, tanpa batasan plafon, setelah
maupun sebelum terdampak wabah covid-19. Bentuk restrukturisasi antara lain penurunan
suku bunga, perpanjangan jangka waktu, pengurangan tunggakan pokok, pengurangan
tunggakan bunga, penambahan fasilitas kredit, dan atau konversi kredit menjadi "Penyertaan
Modal Sementara".
Kredit berstatus lancar setelah restrukturisasi. Beberapa contoh sektor yang terdampak karena
wabah covid-19, seperti pariwisata, transportasi, perhotelan, perdagangan, pertanian, dan
pertambangan. Begitu juga mengenai tagihan listrik, Presiden Joko Widodo dikabarkan juga
akan memberikan bantuan kepada konsumen 450Volt Ampere (VA) berupa pembebasan
biaya tagihan. Sedangkan kepada konsumen bersubsidi 900 VA diberikan keringanan tagihan
sebesar 50 persen. Kebijakan pemberian keringanan tagihan listrik tersebut sebagai bagian
dari perlindungan sosial untuk masyarakat lapisan bawah di tengah wabah covid-19 yang di
sebut sebut mulai berlaku selama tiga bulan, yakni bulan April, Mei, dan Juni 2020.
Sama halnya terhadap penundaan cicilan kredit kepada nasabah, pelaksanaan pembebasan
dan keringan tagihan listrik kepada konsumen sepatutnya dilakukan dengan baik, mudah
diakses, bebas pungli, transparan, tidak diskriminasi, dan wajar. Caranya, mekanisme yang
dibuat tidak mempersulit nasabah dan konsumen, mudah dilaksanakan oleh petugas, dan
dilengkapi dengan standar pelayanan. Jika tidak, pelaksanaan yang terjadi bisa sebaliknya,
sulit diakses, marak pungli, tertutup, diskriminatif, dan manipulatif. Kalau demikian, maka
publik menghadapi kerugian yang lebih besar. Sebab, tidak diterapkannya Undang-Undang
tentang Kekarantinaan Kesehatan, atau berjalannya model lockdown  ala Indonesia selama ini
telah membuat banyak masyarakat mengurung diri di rumah atau sulit produktif.
Sudah sewajarnya pemerintah melalui pengawasan terkait ikut mengoptimalkan kebijakan
stimulus dan perlindungan sosial agar tepat sasaran dan menyerap banyak pihak yang perlu
dibantu. Jangan sampai kebijakan di masa "corona" ini hanya bagus dalam opini namun
rendah manfaat. Begitu juga dengan kebijakan lainnya, seperti dana bantuan pra kerja dan
bantuan sosial sembako kepada masyarakat. 

Hal itu terlihat dari kebijakan Presiden Jokowi yang mengeluarkan Peraturan Pemerintah


(PP) Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Sekala Besar yang merupakan
turunan dari UU No 6 Tahun 2018 Tentang Karantina Kesehatan. Jokowi kemudian
mengizinkan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menerbitkan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB).
Melalui Peraturan Menteri Kesehatan ini, Gubernur/Bupati/Wali Kota bisa mengajukan
permohonan PSBB kepada pemerintah pusat dengan syarat melampirkan data peningkatan
jumlah kasus menurut waktu, penyebaran kasus menurut waktu dan kejadian transmisi lokal.
Selain data tersebut, kepala daerah dalam mengajukan permohonan PSBB juga harus
menyampaikan informasi mengenai kesiapan daerah tentang aspek ketersediaan kebutuhan
hidup dasar rakyat, sarana dan prasarana kesehatan, anggaran dan operasionalisasi jaring
pengaman sosial, dan aspek keamanan. Penetapan PSBB baru dikabulkan Menteri Kesehatan
dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari sejak diterimanya permohonan.
Namun ternyata kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat tersebut mendapat tanggapan
yang berbeda, ada yang pro dan ada yang kontra.
"Ngapain ada Peraturan Menteri Kesehatan itu. Jadi menurut saya itu perlu dievaluasi buat
apa? Jadi malah lama. Sekarang penanganan Covid-19 itu sebaiknya serahkan saja pada
daerah, karena daerah yang tahu bagaimana dinamika daerah masing-masing," kata Trubus
saat dihubungi merdeka.com, Senin (6/4).
Idealnya, pemerintah pusat mengawasi dan memastikan penegakan hukum terhadap pihak
yang melanggar aturan PSBB benar-benar berjalan. Pemerintah pusat juga memastikan
fasilitas kesehatan serta tenaga medis sudah memenuhi kebutuhan daerah.
"Pusat membantu kalau misalnya terjadi gejolak, tinggal Presiden perintahkan TNI, Polri.
Berikan saja kepada kepala daerah karena nanti toh kepala daerah juga yang membiayai kok.
Membiayai mereka-mereka yang ODP, PDP," ujarnya.

Besarnya angka gangguan di sektor kesehatan masyarakat, dan juga fatalitas yang
ditimbulkannya, membuat berbagai negara berikut elemen di dalamnya berlomba untuk
melakukan sejumlah langkah. Bukan hanya di bidang penciptaan obat atau vaksin, tapi juga
dalam berbagai sektor lain, termasuk ketatanegaraan.
Indonesia merupakan salah satunya. Minggu (29/3/2020) siang, Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri) mengeluarkan surat edaran yang mengatur tentang pembentukan Gugus Tugas
Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) di daerah. Dalam surat
tersebut, disebutkan bahwa pemerintah daerah dapat menetapkan status keadaan darurat
bencana Covid-19.
Surat edaran bernomor 440/2622/SJ itu diteken Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan
diterbitkan dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19.
Langkah itu merupakan wujud tindak lanjut Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2020
tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas
Percepatan Penanganan Covid-19 dan Permendagri Nomor 20 Tahun 2020 tentang
Percepatan Penanganan Covid-19 di Lingkungan Pemda.
Status darurat yang dimaksud dalam hal ini adalah siaga darurat Covid-19 dan/atau tanggap
darurat Covid-19. Namun demikian, penetapan status tersebut mensyaratkan adanya kajian
dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Dinas Kesehatan (Dinkes)
setempat.

Sebagaimana diketahui, dalam situs resminya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana


(BNPB) menyebutkan bahwa status bencana nonalam seperti wabah penyakit Covid-19
bukanlah merupakan bencana nasional.
Walau begitu, penanganannya berskala nasional, dan mengerahkan potensi sumber daya
nasional. Hal itu karena pada UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang
dimaksud bencana terdiri dari bencana alam, nonalam, dan sosial.
Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa
nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah
penyakit. Jadi dalam hal ini kejangkitan Covid-19 termasuk bencana nonalam yang sudah di
tingkat pandemi, sesuai dengan pernyataan WHO.
Nah dalam UU Penanggulangan Bencana itu disebutkan makna dari status keadaan darurat
bencana. Yakni, suatu keadaan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk jangka waktu tertentu
atas dasar rekomendasi badan yang diberi tugas untuk menanggulangi bencana.

Status keadaan darurat ditetapkan oleh pemerintah. Di mana pada tingkatan nasional
ditetapkan oleh presiden, lalu di tingkat provinsi oleh gubernur, dan tingkat kabupaten/kota
oleh bupati/wali kota.

Status kedaruratan bencana sendiri terbagi atas tiga jenis, yaitu siaga darurat, tanggap darurat,
dan darurat ke pemulihan. Yang dimaksud dengan status siaga darurat adalah keadaan ketika
potensi ancaman bencana sudah mengarah pada terjadinya bencana yang ditandai dengan
adanya informasi peningkatan ancaman berdasarkan sistem peringatan dini yang
diberlakukan dan pertimbangan dampak yang akan terjadi di masyarakat.

Sementara itu, status tanggap darurat merupakan keadaan ketika ancaman bencana terjadi dan
telah mengganggu kehidupan dan penghidupan sekelompok orang/masyarakat.
Lalu, status transisi darurat ke pemulihan merupakan keadaan ketika ancaman bencana yang
terjadi cenderung menurun eskalasinya dan/atau telah berakhir, sedangkan gangguan
kehidupan dan penghidupan sekelompok orang/masyarakat masih tetap berlangsung.
Pemberlakuan status keadaan darurat sesuai UU 24/2007 dan mengacu pada Keppres No. 7
tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 oleh pemerintah daerah
membawa konsekuensi khusus.
Apa saja yang menimbulkan konsekuensi khusus itu? Yakni, dengan menetapkan status siaga
atau tanggap darurat Covid-19,  berarti pemda siap bekerja 24 jam tujuh hari dan
mengerahkan segala sumber daya yang ada untuk menyelamatkan rakyat di daerahnya dari
penyakit Covid-19. Selain itu, pemda juga dapat menggunakan Dana Siap Pakai (DSP) dan
anggaran Belanja Tidak Terduga (BTT) daerah untuk menangani status keadaan tertentu ini.
Kementerian Keuangan juga sudah memberi kewenangan untuk refocussing kegiatan dan
realokasi anggaran kementerian/lembaga dalam rangka percepatan penanganan Covid-19
yang tertuang dalam surat edaran Menteri Keuangan Nomer SE-6/MK.02/2020.

Adapun PP Nomor 21 Tahun 2020 hanya menegaskan bahwa apabila daerah ingin
memberlakukan karantina wilayah, harus berkoordinasi dengan Menteri Kesehatan dengan
pertimbangan dari Ketua Pelaksana Gugus Tugas. Namun dalam hal ini pemerintah pusat
semestinya tidak memberikan beban dan tanggung jawab terkait pemenuhan kebutuhan
pokok masyarakat kepada pemerintah daerah.

Pemda dan masyarakat membutuhkan pengetahuan yang jelas dan benar dari 1 sumber
informasi yang ditunjuk agar semua tidak lagi termakan informasi-informasi yang sangat
terbuka saat ini melalui media sosial yang terkadang ada yang tidak benar dan menyesatkan.
Terkait kebijakan pembatasan jarak sosial (social distancing) dan pembatasan jarak fisik
(physical distancing), imbuhnya, diperlukan ketegasan aparat penegak hukum terhadap
masyarakat yang melanggar/tidak disiplin. Menurutnya, kebijakan ini sebaiknya dibarengi
dengan kebijakan karantina wilayah (UU 6/2018).
Hal penting juga terkait dengan ini adalah perlu segera ditetapkan daerah-daerah yang masuk
dalam kategori merah, kuning, dan hijau agar masyarakat mengetahui dan dapat menjaga
keselamatannya.
Terkait dengan Perpu Nomor 1 Tahun 2020, pemerintah telah mengalokasikan tambahan
anggaran kesehatan sebesar Rp 75 triliun dan Rp 110 triliun bagi anggaran perlindungan
sosial.
Komite III yang membidangi kesehatan dan perlindungan sosial juga mendorong pemerintah
untuk secepatnya mempersiapkan aturan-aturan turunan secara teknis yang
juga diamanatkan oleh Perpu ini (berupa Perpres).
Jangan sampai dalam kondisi kedaruratan semacam ini birokrasi pemerintah menjadi
penghambat eksekusi dari belanja negara demi keselamatan nyawa warga negara. Komite III
DPD RI berkomitmen untuk tetap melaksanakan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan
ketentuan UU terkait dengan penanganan Pandemi COVID-19 ini agar kebijakan dapat tepat
sasaran dan berhasil guna bagi daerah dan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai