Anda di halaman 1dari 3

Nama : Hanif Atha (0203182118)

Kelas : Siyasah VI C
Matkul : Qawaid Fiqhiyah (UTS)

Pertanyaan,
1. Jelaskan tentang kaidah fiqhiyah terkait dengan niat dan sumbernya?
2. Jelaskan kaidah tentang yaqin tidak bisa dihilangkan oleh keraguan, sebutkan
sumbernya dan contohnya?
3. Jelaskan kaidah yang berkaitan dengan dharurat, sebutkan sumbernya dan
batasannya berikan contoh?
Jawaban,
1. kaidah ini merupakan kaidah asasi yang pertama. Dan kaidah ini menjelaskan
tentang niat. Niat di kalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan,
bermaksud untuk melakukan sesuatu yang disertai dengan pelaksanaanya. Niat
sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang,
apakah seseorang itu melakukan suatu perbuatan dengan niat ibadah kepada
Allah ataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah
kepada Allah, tetapi sematamata karena nafsu atau kebiasaan.
Contohnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan
karena menghindari dari perbuatan zina maka hal itu halal untuk dilakukan,
tetapi jika hal itu dilakukan hanya sematamata untuk menyiksa dan menyakiti
istrinya, maka hal itu haram untuk dilakukan.
Adapun dasar-dasar pengambilan kaidah asasiyyah yang pertama
mengenai niat, diantaranya sebagai berikut: “Barang siapa menghendaki pahala
dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa
menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu”.
(QS. Al-Imran: 145)

2. Kaidah ini juga menunjukkan kepada kita kesempurnaan agama Islam yang kita
cintai ini. Apabila kita menerapkan kaidah ini, maka kita akan semakin yakin
bahwa Islam adalah agama yang membawa rahmat bagi semesta alam, karena
kita semua sadar bahwa kehidupan kita tidak akan pernah terlepas dari kondisi
yang disebut dengan keraguan, yang mana dari keraguan ini dapat muncul was-
was yang pada akhirnya mengganggu kegiatan ibadah seseorang, terutama di
dalam permasalahan taharah dan salat. Akan tetapi Islam dengan segala
kesempurnaannya memberikan jalan keluar kepada umatnya, yaitu dengan
adanya kaidah yang agung ini.
Kaidah ini dilandasi banyak ayat dalam Al-quran dan hadis
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, diantaranya:
 Firman Allah Ta’ala:
Artinya: “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja.
Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai
kebenaran.” (QS. Yunus: 36)
Contoh penerapan kaidah,
a. Apabila seseorang yakin bahwa wudunya telah batal, akan tetapi dia ragu apakah
dia telah berwudu lagi atau belum, maka wajib baginya untuk berwudu lagi.
b. Barang siapa yang ragu dalam salatnya apakah dia telah salat tiga rakaat atau
empat rakaat misalnya, maka dia harus mengikuti yang yakin, yaitu yang paling
sedikit rakaatnya, yang mana dalam permasalah ini adalah tiga rakaat.
c. Begitu pula dalam permasalahan putaran tawaf, apabila dia ragu berapa kali dia
telah berputar mengelilingi ka’bah apakah dua kali atau tiga kali, maka dia harus
menganggap bahwa dia baru berputar dua kali, dan begitu seterusnya.

3. Keadaan darurat dalam qawâ’id fiqhiyyah dirumuskan sebagai sesuatu keadaan


yang kalau tidak dilakukan, seseorang bisa mati karenanya. Keselamatan jiwa
adalah ukurannya. Inilah yang menjadi sebab adanya keringanan atau
penghapusan beban hukum selama keadaan darurat itu belum hilang.
Tidak mudah membolehkan sesuatu yang dilarang, apalagi melarang
sesuatu yang jelas diperbolehkan. Menentukan suatu keadaan disebut darurat
atau tidak juga bukan pekerjaan gampang. Keadaan darurat dalam pemahaman
ajaran Islam senantiasa merujuk pada kondisi kehidupan manusia
(anthroposentric). Dalam kondisi di mana setiap insan bisa hidup secara bebas,
bahkan memiliki kebebasan berfikir , agak gegabah disebut keadaan darurat. 
Sekali lagi ukurannya adalah keselamatan jiwa manusia. Oleh karena itu, limit
waktunya juga sangat singkat, yakni sebatas adanya jaminan kelestarian hidup
dan keselamatan jiwa dalam suasana keadaan darurat tersebut.  Jika jaminan
hidup dan kepastian atas keselamatan jiwa itu diperoleh, maka hilanglah apa
yang disebut keadaan darurat. Pemberlakuan hukum pun menjadi normal
kembali. Ini darurat dalam pandangan dan pemahaman hukum Islam yang
tersebar dalam berbagai lembaran-lembaran yurisprudensi Islam.
Di berbagai tempat  dan dalam segala waktu, tak jadi soal perempuan 
keluar sendirian di malam hari selama tidak diganggu oleh  orang jahat.
Seandainya terjadi gangguan keamanan atas diri perempuan, yang salah dan
harus diperbaiki tentu bukan orang yang diganggu, melainkan si pengganggu
yang jahat itu. Jika gangguan ini juga berlaku pada laki-laki,  tentu  bukan
perempuan atau lelaki yang dipersalahkan, melainkan  kondisi sosial yang tak
aman.
Dalam ajaran Islam sendiri, tak ada satu pun larangan bagi  perempuan
untuk keluar di malam hari tanpa disertai mahram. Mahram dalam konteks
negara-bangsa (nation-state) dewasa ini seharusnya adalah institusi negara yang
memang diperlengkapi dengan aparatus keamanan. Adalah tanggungjawab dan
kewajiban negara untuk menjamin suatu kondisi yang aman bagi setiap
warganya (baik lelaki maupun perempuan) untuk bepergian kapanpun (di malam
ataupun siang hari).
Contohnya, Daud al-Dhahiri juga memperbolehkan orang yang terpaksa
(al-mudlthir) untuk memakan makanan orang lain tanpa wajib menggantinya
seukur menghilangkan kedaruratannya (al-Majmû’: IX: 51).  Artinya, demi
menjaga jiwa dan kehidupannya yang tengah terancam, seseorang boleh mencuri
makanan orang lain untuk dimakan sebatas menghilangkan kelaparan yang
menghinggapinya.

Anda mungkin juga menyukai