Anda di halaman 1dari 26

Nama: Sulistiawati

Nim:10120210065

Kelas : B2

AL-QUR’AN SEBAGAI “BUKU TERBUKA” DALAM PENDIDIKAN

PERSPEKTIF

(MAKNA SIGNIFIKAN NILAI PEDAGOGIS

DAN BACAAN PRODUKTIF)

Mahmud Arif

Program Pascasarjana Fakultas Pendidikan Islam

Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta

marifnurch@yahoo.co.id

Abstrak: Apalagi setelah abad pertama Hijriah, umat Islam hanya sebatas

berkaitan dengan masalah ejaan Al-Qur'an, aturan membaca

Al-Qur'an dengan benar, dan baru saja memberikan perhatian untuk menghafal

ayat-ayat Alquran. Mereka sedikit memperhatikan aspek dialogis dari

Al-Qur'an sehingga mereka tertinggal. Wahyu Al-Qur'an yang telah berproses

bertahap adalah salah satu bukti nyata untuk makna dialogis

aspek yang mencirikan "wahyu progresif" dari Kitab Suci. Seperti

mode wahyu telah mencerminkan adanya interaksi kreatif antara

Kehendak Tuhan, realitas empiris kehidupan, dan tuntutan penerima

masyarakat. Bukti lain dari 'aspek dialogisnya adalah wahyu pertama

kepada Nabi yang berisi petunjuk membaca. Berdasarkan semangat tersebut,


Tentu saja, Al-Qur'an telah dinamai dengan "Kitab pendidikan". Seperti

teks hidup, Al-Qur’an telah memposisikan masyarakat penerima wahyu

sebagai mitra komunikasi untuk membuka dialog dan komunikasi

terjadi seperti di ruang pendidikan. Dalam hal ini relevansi

pendidikan tafsir Al-Qur’an dapat dielaborasi. pendidikan

Perspektif merupakan bagian dari upaya intelektual untuk menemukan dan merumuskan

syariat pendidikan dalam Al-Qur’an, dan bagian dari upaya untuk

memposisikannya sebagai sumber ilmu pengetahuan dan peradaban tanpa mengabaikan

makna ranah empiris dan kemampuan intelektual manusia sebagai prima

sumber ilmu pengetahuan dan peradaban. Dalam perspektif pendidikan, keajaiban

Al-Qur’an lebih tergambar dari pengaruh transformatifnya terhadap

mentalitas dan pola pikir umat Islam, sehingga pada periode pertama sejarah Islam

di masa lalu, mereka telah berhasil mendapatkan budaya unggulan

prestasi.

Kata kunci: Aspek dialogis Al-Qur’an, nilai pedagogis,

perspektif pendidikan, membaca produktif

PENGANTAR

Al-Qur’an adalah sumber nilai-nilai yang senantiasa menjadi inspirasi dan pedoman bagi umat Islam

dalam menghadapi banyak masalah kehidupan. Berdasarkan hal ini, masuk akal jika kita menyatakan
bahwa

Tafsir dinamis terhadap Al-Qur’an semata-mata akan mencapai masa depan mereka.1

Sesuai dengan namanya, “sebuah buku bacaan yang sempurna”, kitab suci tersebut ditempatkan
sebagai

posisi sentral. Hal itu ditunjukkan melalui perhatian yang besar dari kaum muslimin dari

dulu sampai sekarang dalam membaca, belajar, dan berlatih. Dalam kalimat pendek,
tidak ada buku bacaan sejak manusia lebih mengenal literasi

dari lima ribu yang lalu yang telah bersaing dengan Al-Qur'an.2 Meskipun seperti

ini, tidak berarti bahwa untuk waktu yang lama, sikap umat Islam terhadap suci

buku ini tanpa masalah perlu dikritik. Menurut Fazlur

Rahman, setidaknya ada dua persoalan krusial yang dihadapi umat Islam

dewasa ini, terutama di kalangan elit intelektual, yaitu : (1) mereka kurang mengalami

relevansi al-Qur’an dengan isu terkini sehingga tidak dapat menyampaikan pesan-pesannya kepada

merespon kebutuhan aktual, dan (2) mereka merasa khawatir jika menghadirkan al-Qur’an dengan yang
baru

interpretasi, maka ini akan menyimpang dari pendapat mapan masa lalu

ulama yang diterima.3

Secara faktual, untuk memahami dan menafsirkan al-

Al-Qur’an yang mirip persis dengan ulama-ulama masa lalu tidak seluruhnya

Baik. Sesungguhnya al-Qur’an telah menjadikan pada tiap-tiap generasi dan memerintahkan mereka
untuk

belajar dan memikirkannya

Dalam pernyataan yang pasti, diperlukan sebuah interaktif

pola dengan al-Qur’an yang mengandung hubungan timbal balik antara manusia dan al-

Alquran. Masing-masing dari mereka melakukan perbuatan dan menerima tanggapan dari satu sama
lain.5

Tidak hanya Rahman, Syaikh Muhammad al-Ghazali juga mengucapkan hal yang sama

kritikus. Secara eksplisit beliau mengatakan, “Umat Islam terutama setelah usia pertama Hijrah, telah

sangat memperhatikan cara membaca Al-Qur’an dan cara menghafal ayat-ayat Al-Qur’an.

Alquran”. Mereka belum memperhatikan aspek dialogisnya sehingga menyebabkan mereka pergi

di belakang.6

Diturunkannya al-Qur’an secara bertahap menjadi bukti yang kuat atas anya
aspek dialogis yang mencirikan “visi progresif” Kitab Suci.

Pola wahyu yang demikian mencerminkan adanya interaksi kreatif

antara Kehendak Tuhan, realitas empiris kehidupan dan kebutuhan penerima

komunitas.7

Dalam konteks ini, aspek dialogisnya ditunjukkan dengan akuisisi

para penafsir al-Qur’an terhadap makna latar belakang wahyu dalam rangka

menafsirkan pesan-pesan Kitab Suci secara akurat. Ada beberapa fungsi dari

Latar belakang wahyu yang sering dikemukakan oleh para ahli kajian Al-Qur’an,

yaitu: (1) menjelaskan arti penting di balik penerapan hukum Islam, (2) untuk

menentukan validitas hukum Islam yang diucapkan melalui pernyataan umum, (3) untuk

menggali makna tersembunyi dari al-Qur’an, dan (4) untuk memperjelas apa

siapa yang dimaksud dengan ayat-ayat yang diturunkan.8 Namun, mengingat latar belakang

wahyu masih dipahami sebagai kasus-kasus tertentu yang melatarbelakangi

ayat-ayat wahyu atau sebagai pertanyaan yang diajukan kepada Nabi sehingga diturunkan

ayat-ayat Alquran. Artinya tidak semuanya berlatar belakang wahyu;

beberapa pemikir Muslim kontemporer mengkritik pendapat tersebut.9

Seperti

pemahaman yang berlatar belakang wahyu dianggap sebagian atau

tampilan tidak sempurna karena masih sepotong-sepotong atau perspektif atom di

melihat hubungan timbal balik antara wahyu al-Qur’an dengan

budaya sekitarnya. Aspek dialogis dari Kitab Suci belum

diapresiasi secara komprehensif karena responnya terhadap realitas empiris, dan

tuntutan sosial yang dianggap sebagai insidental.

Selain itu, persyaratan latar belakang wahyu harus didasarkan pada


laporan yang dikirimkan tidak berdasarkan penalaran menyiratkan makna yang diterima

area konteks hanya terbatas pada kasus atau pertanyaan ketika ditransmisikan

otoritas mendukung turunnya ayat-ayat Al-Qur'an. Oleh karena itu, sejarah

analisis dan kontekstualisasi ayat dengan kepenuhan kegiatan nalar adalah

tidak diperlukan lagi, karena berprasangka itu akan membuka peluang

subjektivitas manusia dalam menafsirkan al-Qur’an secara luas. Namun, sejarah

Analisis dan kontekstualisasi menjadikan aspek dialogis al-Qur’an akan menjadi

dinamis, karena respon al-Qur’an dapat dipahami dan ditanamkan

dalam spektrum konteks yang lebih luas dan selalu mengiringi sosio-kultural

dinamika kehidupan manusia.

Bukti lain dari aspek dialogis al-Qur’an adalah wahyu pertama

diterima oleh Nabi yang berisi petunjuk membaca. Dengan seperti itu

Al-Qur’an sebenarnya telah mengajak kita untuk (1) sadar dan

responsif terhadap ranah masyarakat, budaya, dan alam, (2) menggunakan seluruh potensi diri

untuk merefleksikan dan mempelajari seluruh realitas, dan (3) untuk memperkuat etos

belajar dan mencari pengetahuan untuk memajukan kehidupan. Berdasarkan semangat

Wahyu pertama, tepat Syaikh Abdul Halim Mahmud menamakan al-Qur’an sebagai

“buku pendidikan”. Memberikan penegasan pendapat tersebut, Dalam konteks ini, Quraisy

Shihab menyatakan dengan jelas bahwa jika kita mengacu pada ayat-ayat Al-Qur'an, kita akan
menemukannya berbicara

langsung maupun tidak langsung pada hampir semua aspek pendidikan.

Berdasarkan semangat wahyu pertama, wajar Syekh Abdul Halim

Mahmud menyebut Al-Qur'an dengan "buku pendidikan". Untuk menegaskan kasus ini,

Quraish Shihab dengan tegas mengatakan bahwa jika kita merujuk pada ayat-ayat Al-Qur'an, maka kita

dapat menemukannya berbicara secara langsung atau tidak langsung menyangkut hampir semua
elemen
pendidikan. Artinya, Al-Qur'an adalah aktualisasi dari uslb Allah dalam

mengarahkan, mendorong, dan membimbing umat manusia untuk menapaki jalan yang benar untuk

mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. manusia adalah

seperti "siswa" Tuhan dan tema sentral dalam Al-Qur'an. Itu bisa diamati

dari wahyu pertama, Qs. Al-'Alaq: 1-5, dimana Allah sama-sama memperkenalkan diri sebagai

Rabb (akar kata tarbiyah) dan memanggil manusia dua kali. Pertama, pria itu merujuk

dalam konteks berurusan dengan Tuhan sebagai makhluk yang diciptakan. Kedua,

manusia yang dimaksud dalam konteks berhubungan dengan Tuhan, sebagai makhluk yang menerima

pelajaran (ilmu) melalui syafaat pena. Sebagian besar kitab tafsir

menjelaskan bahwa dia menyebut manusia secara khusus dalam ayat di atas menyiratkan

makna kemuliaan dan fitrah manusia (potensi alam). Dengan kata lain, sebagai

buku pendidikan, al-Quran sejak awal telah ditegaskan kejayaan

harkat dan martabat manusia dan mengenali potensi (fitrah), terutama potensi

kesiapan untuk dididik, berilmu, dan berjiwa ketuhanan primordial.

TEMUKAN DAN DISKUSI

Nilai-Nilai Pedagogis dalam Proses Wahyu Al-Qur'an

Malik bin Nabi, salah satu Cendekiawan Muslim terkenal dari Aljazair, mengatakan

bahwa wahyu Al-Qur'an secara bertahap mungkin satu-satunya yang mendidik

metode dalam periode yang ditandai dengan kelahiran dan kebangkitan agama Islam

dari sebuah peradaban baru. Malik Ben Nabi, seorang cendekiawan Muslim dari Aljazair, menyarankan

bahwa wahyu Al-Qur'an secara bertahap mungkin adalah satu-satunya pendidikan

metode yang mungkin di era yang ditandai dengan lahirnya agama dan

munculnya awal peradaban. Selama ini para ulama Al-Qur’an

Studi biasanya mengklasifikasikan periode turunnya Al-Qur'an menjadi dua: Mekah dan
madani. Itu bukan hanya kelulusan, tetapi dua periode wahyu seperti itu juga

Inggris

Indonesia

had different characteristics in the style and content of the message in line with

actual demands.10 That is the existence of al-Qur’an as an open book because

although it consists of many verses and surahs, every one of them has responded

to varied actual situations and problems. Moreover, a gradual revelation has been

proven capable to give stronger psychological impacts than revelation all at

once,

11 because although it is composed of the many verses, each verse and the

letter turns out to respond to the various situations and problems. More than

that, the revelation, gradually proved capable of inflicting a much stronger

psychological impact compared to if the revelation took place at once.12

As stated by Quraish Shihab, the Arabic society in revelation period named as

an unskillful society in reading and writing. Perhaps, at that time, there are only

teens of skillful people in reading and writing. Indeed, for some people, the

ability of reading and writing was considered a taboo if the public has known it

because of the main parameters in cleverness were at the ability to memorise. 13

Besides that, the means of writing available time is also minimal. No wonder, if

the effort of gathering together the Qur'an is still using the means of writing

simple, like a stone slab, searching for dates, animal skin that is already tanned,

and bones. In such a context, the revelation of the Qur'an gradually has great

significance for the effectiveness of the message it conveys, because the recipient

community will certainly find it helpful easily to memorise, to understand, and


to practice, considering the main tool they rely on is merely memorising by rote.

Such memorising indeed requires the existence of a process of gradual entry of a

message in order to be digested properly and can last a long time. The revelation

process in such context was useful to strengthen the impression of the received

message, so it feels more meaningful and functional for the recipient. It is where

one of the pedagogical values of the gradual revelation of the Qur’an that could

be explained at the context of the time, while a value of its pedagogic for the

present context needs to view from its dynamic responses toward issues and

demands of the actual community. Thus, there are two-steps (double movement)

that must be done by someone in order to be able for digging out the message of

the Qur'an, those are (1) he must understand the meaning of a statement

(Qur’anic verse) by examining the situation or problem where the Qur’anic

memiliki karakteristik yang berbeda dalam gaya dan isi pesan sesuai dengan

tuntutan aktual.10 Yaitu keberadaan al-Qur’an sebagai kitab terbuka karena

meskipun terdiri dari banyak ayat dan surah, masing-masing telah menjawab

terhadap berbagai situasi dan masalah aktual. Selain itu, wahyu bertahap telah

terbukti mampu memberikan dampak psikologis yang lebih kuat dari wahyu sama sekali

sekali,

11 karena meskipun terdiri dari banyak ayat, masing-masing ayat dan

Surat ternyata menjawab berbagai situasi dan masalah. Lebih dari

bahwa, wahyu, secara bertahap terbukti mampu menimbulkan lebih kuat

dampak psikologis dibandingkan jika wahyu itu terjadi sekaligus.12

Sebagaimana dikemukakan oleh Quraish Shihab, masyarakat Arab pada masa wahyu bernama as

masyarakat yang tidak terampil membaca dan menulis. Mungkin, pada saat itu, hanya ada

remaja orang-orang yang terampil dalam membaca dan menulis. Memang, bagi sebagian orang,
kemampuan membaca dan menulis dianggap tabu jika masyarakat sudah mengetahuinya

karena parameter utama dalam kepintaran adalah pada kemampuan menghafal. 13

Selain itu, sarana menulis waktu yang tersedia juga minim. Tidak heran, jika

usaha mengumpulkan Al-Qur'an masih menggunakan sarana tulisan

sederhana, seperti lempengan batu, mencari kurma, kulit binatang yang sudah kecokelatan,

dan tulang. Dalam konteks seperti itu, turunnya Al-Qur'an secara bertahap sangat besar

signifikansi bagi keefektifan pesan yang disampaikannya, karena penerima

masyarakat pasti akan merasa terbantu dengan mudah untuk menghafal, memahami, dan

untuk berlatih, mengingat alat utama yang mereka andalkan hanyalah menghafal dengan hafalan.

Penghafalan semacam itu memang membutuhkan adanya proses masuknya a secara bertahap

pesan agar dapat dicerna dengan baik dan dapat bertahan lama. Pencerahan

Proses dalam konteks seperti itu berguna untuk memperkuat kesan yang diterima

pesan, sehingga terasa lebih bermakna dan fungsional bagi penerimanya. Di situlah

salah satu nilai pedagogis diturunkannya Al-Qur’an secara bertahap yang dapat

dijelaskan pada konteks waktu, sedangkan nilai pedagogiknya untuk

konteks saat ini perlu dilihat dari tanggapan dinamisnya terhadap isu-isu dan

tuntutan masyarakat yang sebenarnya. Jadi, ada dua langkah (gerakan ganda)

yang harus dilakukan oleh seseorang untuk dapat menggali pesan dari

Al-Qur'an, yaitu (1) ia harus memahami makna suatu pernyataan

(ayat Al-Qur’an) dengan menelaah situasi atau masalah dimana Al-Qur’an

pernyataan menjadi jawaban, dan (2) generalisasi jawaban khusus dan

mengungkapkannya sebagai pernyataan umum yang memiliki tujuan sosial dan publik

moralitas.14

Dalam literatur kajian Al-Qur’an, biasanya dijelaskan beberapa hikmah

di balik diturunkannya Al-Qur'an secara bertahap, yaitu: pertama, untuk memperkuat


hati Nabi dalam menjalankan tugas dakwah Islam dan membuatnya merasa

mudah dalam menyerap makna ayat-ayat Al-Qur'an. Kedua, menyediakan

kemudahan bagi para Sahabat dalam mendengarkan, mempelajari, memahami, dan

menghafal Al-Qur'an. Ketiga, bahwa ayat-ayat Al-Qur'an yang relevan

dengan situasi, kondisi, dan perkembangan masyarakat.

Keempat, agar ayat-ayat Al-Qur'an yang diturunkan diterima

dan dilakukan dengan baik oleh para Sahabat.15 Berdasarkan wawasan yang lebih dalam tersebut,
tampak

bahwa nilai-nilai untuk dielaborasi hanya menyangkut konteks waktu wahyu,

belum pergi ke konteks sekarang. Ditempatkan dalam kerangka

rasionalitas hukum agama yang dibangun di atas (1) prinsip dasar (universal) Islam

undang-undang, (2) ketentuan undang-undang tertentu, dan (3) tujuan undang-undang dan

konteks wahyu,16 relevansi wahyu Alquran bertahap

sebenarnya menunjukkan respon dinamis terhadap realitas kehidupan yang sebenarnya yaitu

selalu berubah dan berkembang, bahkan Dewa seolah-olah terlibat langsung

menjawab pertanyaan spesifik dalam proses sosial kali Nabi. Itu berarti

Al-Qur'an telah membuktikan dirinya sebagai "buku terbuka" karena memberikan ruang yang luas

kemungkinan untuk menafsirkan terus menerus. Dalam konteks ini, penjelasan dari

Nabi terhadap makna ayat-ayat Al-Qur'an bukanlah "final" dan

"lengkap" dimaksudkan sebagai batasan kecuali sebagian kecil dari Al-Qur'an,17

jadi

setiap generasi tetap memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi yang sesuai

maknanya sesuai dengan kemampuan dan tuntutan lingkungan.

Artinya, nilai lain dari makna pedagogis yang dapat dijelaskan dari

wahyu Al-Qur'an secara bertahap dengan konteks saat ini dan universalitasnya

ajaran yang lintas abad.


Meskipun dianggap sebagai firman Tuhan, bahasa Al-Qur'an terlihat

mengesankan melalui gayanya yang unik yang secara psikologis sangat manusiawi, jadi

mampu membangkitkan imajinasi intelektual dan perasaan moral pembaca.

Bagi yang mempelajarinya dengan sepenuh hati, ayat-ayat Al-Qur'an itu seperti

berbicara, dan berdialog dengan pembacanya, bukan hanya kepada Nabi Muhammad; nya

Pesan moral mewakili suara batin manusia, bukan pesan yang datang

dari luar. Menurut pernyataan Abu Zayd, al-Qur'an menggunakan beberapa

tanda-tanda kebahasaan yang dinamis dalam menyampaikan pesan-pesan spesifiknya;18

Bahasa Al-Qur'an memiliki kemampuan membawa seorang muslim ke hadirat

Tuhan dan menempatkan dia langsung berhubungan dengan kata-kata yang sebenarnya. Singkatnya,

Al-Qur'an dalam menyampaikan pesan menggunakan gaya bahasa yang “emotive” yang terlihat begitu

memperhatikan aspek psikologis penerimanya. Seperti "teks hidup",

Al-Qur'an dalam menyampaikan pesannya menempatkan penerima sebagai mitra – bicara

dialog dan komunikasi terbuka serta berlangsung dalam pendidikan

kamar.

Perbedaan Perspektif Fikih dan Pendidikan

Perspektif fikih dan perspektif pendidikan memang tidak

perlu diperdebatkan, tetapi jika kita menganalisisnya, bagaimanapun, keduanya memiliki beberapa

perbedaan. Perspektif fiqh banyak memperhatikan putusan “hukum”

(hakim), seperti yang terlarang, yang sah, yang wajib, dan yang terpuji, yaitu:

tetap dan seragam, sedangkan perspektif pendidikan sangat memperhatikan

“nasihat” yang mengedepankan kearifan, kelulusan, dan keragaman individu.

Berbeda jawaban atau tanggapan Nabi, ketika dimintai nasehat oleh beliau

Sahabat tentang sesuatu yang perlu dilakukan, seperti: "Jangan marah,"

“Berpuasa” dan “Sholat tepat waktu” adalah bentuk-bentuk hikmahnya dalam menghadapi
keragaman individu. Kebaikan dan kebenaran sebagai konten pendidikan tidak

dengan santai ditransmisikan kepada orang lain tanpa memperhatikan kondisi mereka,

latar belakang budaya, atau tingkat perkembangan, kekayaan intelektual. Jadi, dia punya

pernah mengatakan: "Bawa orang lain untuk berbicara mengikuti tingkat perkembangan intelektual."

Di sini, Nabi mengajak kita untuk mempertimbangkan secara cerdas budaya dan psikologis

realitas orang atau masyarakat yang kita hadapi sehingga pesan-pesan pendidikan bersifat

tepat sasaran.

Jalaluddin Rakhmat menyebutkan tiga ciri perspektif Fiqh

[paradigma], yaitu (1) kebenaran tunggal, (2) prinsip aliran tunggal, dan (3)

Kesalehan dinilai dari kesetiaan pada Fiqh.19 Ciri pertama berarti ada

hanya satu kebenaran, satu jawaban dan yang lain salah, jadi tidak ada pilihan atau

alternatif. Sifat kedua bermaksud karena kebenaran itu hanya satu; nya

konsekuensi sekte yang benar juga hanya satu; karakteristik ketiga berarti

pentingnya menjadikan Fiqh sebagai tolak ukur untuk menilai hitam-putih seseorang.

putih atau untuk membawa mereka ke dalam kelompok atau tidak. Tidak dapat dipungkiri, ciri-ciri
tersebut adalah

hasil identifikasi masyarakat sosial-keagamaan yang memahami

dan praktik ajaran Islam terlihat kaku, meski bersifat “ideologis”.

Oleh karena itu, tidak berlebihan dalam hal ini jika Abid al-Jabiri menyimpulkan bahwa

gerakan ekstrim di masa lalu telah menunjukkan ekstremisme pada tingkat kepercayaan, sedangkan

gerakan ekstrim kontemporer yang dijalankan dalam Syariah (Fiqh). salah satu dari

Ekses yang disayangkan, ekstremisme dalam hukum Islam (Fiqh) ternyata bukan semata-mata

menyulut konflik, melahirkan kecenderungan menganggap “kafir” kepada orang lain,

tetapi juga mendorong kekerasan dan teror yang mengancam keselamatan manusia

kehidupan.

Perspektif fiqh melihat manusia sebagai subjek yang dibebani


tanggung jawab, terikat oleh aturan dan taat (mukallaf). Berhubungan dengan

ini, Abu Zayd menyebutnya dengan fiqh al-thâ'ah,

20 karena prinsipnya dibangun di atas

kesediaan diri dalam menerima dan tunduk secara mutlak terhadap

otoritas transendental melampaui semua otoritas profan-sekuler. Sementara itu,

Perspektif pendidikan lebih melihat laki-laki sebagai subjek yang bertanggung jawab yang

diperlukan kebutuhan untuk bersikap kritis dan kreatif dalam menjalankan tanggung jawabnya.

Dalam Al-Qur'an, salah satu istilah yang dekat dengan konsep tersebut adalah agen Tuhan

itu berarti ada pemuliaan Ilahi bagi umat manusia dengan menganugerahkannya

berbagai potensi, sehingga mampu mewujudkan tugas mencipta

kemakmuran bumi dan menggali semua sumber daya alam untuk kepentingan

hidup atas nama Kehendak Tuhan.21 Untuk menguraikan pesan Al-Qur'an dalam

perspektif pendidikan, setidaknya ayat-ayat yang terkait dengan tema-tema tersebut perlu

diangkat, yaitu (1) pandangan Al-Qur'an tentang ilmu pengetahuan, (2) tata cara

perolehan pengetahuan, (3) penciptaan ilmu iklim, pendidikan (4)

(5) individu, pendidikan masyarakat, dan (6) berbagai metode pendidikan

Al-Qur'an.

Selama ini, biasanya pandangan sebagian besar umat Islam lebih mengutamakan

Al-Qur'an dan Sunnah Nabi sebagai sumber penentuan

Inggris

Indonesia

Islamic law.22 Indeed it is not wrong to such viewpoints, but because of the

strong influence of the Fiqh’s perspective, frequently they become less sensitive
to comprehend educational prescriptions of the Qur'an and the Sunnah of the

Prophet, let alone to formulate such prescriptions be a perspective of the

education. Based on Qs. al-Baqarah: 129, 151, Qs Ali Imran: 164, and Qs. al-

Jumu'ah: 2, one of the Prophet’s mission, is related to the domain of science and

education. It means that the function of the Qur'an and the Sunnah of the

Prophet as a source of knowledge and civilisation needs to be appreciated

although that function indeed demands a great effort because of still in the new

form that looks strange and not yet much intellectual heritage being inherited. In

particular, the educational perspectives are part of the efforts to reveal and

formulate educational messages of the Qur'an, and in general, it is part of the

effort of putting the Qur'an as a source of knowledge and civilization, without

intention refusing the significance of the empirical reality and human intellectual

capabilities as sources of development of science and civilization.

On the one hand, the perspective of education needs to appreciate again the

function of the Qur'an as a moral force that can encourage the initiation,

creativity, and human intelligence to harness all available resources for the
benefit of life and cultural progress. On the other hand, educational perspectives

in digging the messages of the Qur'an is useful to critiquing the reality of

educational activities, which still fall in historical romanticism with blind

following and oppression of practical realism with adopting the Western system

totally which is not always in tune with the guidance of Islam. No wonder if it

still occurs in many educational practices that look mutually contradictory, i.e.,

the existence of a traditional-conservative system of “Islamic education” and a

westernised system of Islamic education. It has given rise to a much negative

impact on the intellectualism of Islam and leads to the malaise of the ummah,23

such as the dichotomy of science, dualism of the education system,

misorientation educatio

syariat Islam.22 Memang tidak salah pandangan seperti itu, tetapi karena

pengaruh kuat dari perspektif Fiqh, seringkali mereka menjadi kurang sensitif

untuk memahami resep pendidikan Al-Qur'an dan As-Sunnah

Nabi, apalagi merumuskan resep seperti itu menjadi perspektif

pendidikan. Berdasarkan Qs. al-Baqarah: 129, 151, Qs Ali Imran: 164, dan Qs. Al-

Jumu'ah: 2, salah satu misi Nabi, terkait dengan domain ilmu pengetahuan dan

pendidikan. Artinya, fungsi Al-Qur'an dan As-Sunnah

Nabi sebagai sumber ilmu dan peradaban perlu diapresiasi


meskipun fungsi tersebut memang membutuhkan usaha yang besar karena masih baru

bentuk yang terlihat aneh dan belum banyak warisan intelektual yang diwarisi. Di

Secara khusus, perspektif pendidikan merupakan bagian dari upaya untuk mengungkapkan dan

merumuskan pesan-pesan pendidikan Al-Qur'an, dan secara umum merupakan bagian dari

upaya menempatkan Al-Qur'an sebagai sumber ilmu pengetahuan dan peradaban, tanpa

niat menolak signifikansi realitas empiris dan intelektual manusia

kemampuannya sebagai sumber pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban.

Di satu sisi, perspektif pendidikan perlu diapresiasi kembali

fungsi al-Qur'an sebagai kekuatan moral yang dapat mendorong inisiasi,

kreativitas, dan kecerdasan manusia untuk memanfaatkan semua sumber daya yang tersedia untuk

manfaat kehidupan dan kemajuan budaya. Di sisi lain, perspektif pendidikan

dalam menggali pesan-pesan al-Qur'an berguna untuk mengkritisi realitas

kegiatan pendidikan, yang masih jatuh dalam romantisme sejarah dengan tunanetra

mengikuti dan menindas realisme praktis dengan mengadopsi sistem Barat

yang tidak selalu selaras dengan tuntunan Islam. Tidak heran jika

masih banyak terjadi praktik pendidikan yang terlihat saling bertentangan, yaitu

adanya sistem “pendidikan Islam” tradisional-konservatif dan a

sistem pendidikan Islam yang kebarat-baratan. Itu telah menimbulkan banyak hal negatif

berdampak pada intelektualisme Islam dan menyebabkan kelesuan ummat,23

seperti dikotomi ilmu, dualisme sistem pendidikan,

pendidikan yang salah arah

Inggris

Indonesia

Islamic law.22 Indeed it is not wrong to such viewpoints, but because of the
strong influence of the Fiqh’s perspective, frequently they become less sensitive

to comprehend educational prescriptions of the Qur'an and the Sunnah of the

Prophet, let alone to formulate such prescriptions be a perspective of the

education. Based on Qs. al-Baqarah: 129, 151, Qs Ali Imran: 164, and Qs. al-

Jumu'ah: 2, one of the Prophet’s mission, is related to the domain of science and

education. It means that the function of the Qur'an and the Sunnah of the

Prophet as a source of knowledge and civilisation needs to be appreciated

although that function indeed demands a great effort because of still in the new

form that looks strange and not yet much intellectual heritage being inherited. In

particular, the educational perspectives are part of the efforts to reveal and

formulate educational messages of the Qur'an, and in general, it is part of the

effort of putting the Qur'an as a source of knowledge and civilization, without

intention refusing the significance of the empirical reality and human intellectual

capabilities as sources of development of science and civilization.

On the one hand, the perspective of education needs to appreciate again the

function of the Qur'an as a moral force that can encourage the initiation,
creativity, and human intelligence to harness all available resources for the

benefit of life and cultural progress. On the other hand, educational perspectives

in digging the messages of the Qur'an is useful to critiquing the reality of

educational activities, which still fall in historical romanticism with blind

following and oppression of practical realism with adopting the Western system

totally which is not always in tune with the guidance of Islam. No wonder if it

still occurs in many educational practices that look mutually contradictory, i.e.,

the existence of a traditional-conservative system of “Islamic education” and a

westernised system of Islamic education. It has given rise to a much negative

impact on the intellectualism of Islam and leads to the malaise of the ummah,23

such as the dichotomy of science, dualism of the education system,

misorientation educatio

syariat Islam.22 Memang tidak salah pandangan seperti itu, tetapi karena

pengaruh kuat dari perspektif Fiqh, seringkali mereka menjadi kurang sensitif

untuk memahami resep pendidikan Al-Qur'an dan As-Sunnah

Nabi, apalagi merumuskan resep seperti itu menjadi perspektif

pendidikan. Berdasarkan Qs. al-Baqarah: 129, 151, Qs Ali Imran: 164, dan Qs. Al-

Jumu'ah: 2, salah satu misi Nabi, terkait dengan domain ilmu pengetahuan dan

pendidikan. Artinya, fungsi Al-Qur'an dan As-Sunnah


Nabi sebagai sumber ilmu dan peradaban perlu diapresiasi

meskipun fungsi tersebut memang membutuhkan usaha yang besar karena masih baru

bentuk yang terlihat aneh dan belum banyak warisan intelektual yang diwarisi. Di

Secara khusus, perspektif pendidikan merupakan bagian dari upaya untuk mengungkapkan dan

merumuskan pesan-pesan pendidikan Al-Qur'an, dan secara umum merupakan bagian dari

upaya menempatkan Al-Qur'an sebagai sumber ilmu pengetahuan dan peradaban, tanpa

niat menolak signifikansi realitas empiris dan intelektual manusia

kemampuannya sebagai sumber pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban.

Di satu sisi, perspektif pendidikan perlu diapresiasi kembali

fungsi al-Qur'an sebagai kekuatan moral yang dapat mendorong inisiasi,

kreativitas, dan kecerdasan manusia untuk memanfaatkan semua sumber daya yang tersedia untuk

manfaat kehidupan dan kemajuan budaya. Di sisi lain, perspektif pendidikan

dalam menggali pesan-pesan al-Qur'an berguna untuk mengkritisi realitas

kegiatan pendidikan, yang masih jatuh dalam romantisme sejarah dengan tunanetra

mengikuti dan menindas realisme praktis dengan mengadopsi sistem Barat

yang tidak selalu selaras dengan tuntunan Islam. Tidak heran jika

masih banyak terjadi praktik pendidikan yang terlihat saling bertentangan, yaitu

adanya sistem “pendidikan Islam” tradisional-konservatif dan a

sistem pendidikan Islam yang kebarat-baratan. Itu telah menimbulkan banyak hal negatif

berdampak pada intelektualisme Islam dan menyebabkan kelesuan ummat,23

seperti dikotomi ilmu, dualisme sistem pendidikan,

pendidikan yang salah arah

Perspektif Pendidikan dan Signifikansinya dalam Memahami

Quran

Syaikh Muhammad al-Ghazali berpendapat bahwa untuk dapat memahami


kandungan Al-Qur'an secara komprehensif, kita perlu meninggalkan satu

Perspektif terlalu didominasi oleh paradigma Fiqh.24 Karena dominasi

Paradigma ini, tidak berlebihan jika peradaban Islam kemudian disebut

“peradaban fiqh atau yurisprudensi, mengingat kuatnya pengaruh praktis”

aktivitas dan aktivitas intelektual. Secara tegas, Syaikh al-Ghazali mengungkapkan bahwa

Keuniversalan Al-Qur'an tidak diperhatikan karena Al-Qur'an hanya terfokus pada

bentuk-bentuk ilmu agama tertentu, yaitu ilmu fiqih saja. Selagi

Ayat tersebut diperintahkan untuk dilihat, ditelaah, dan dianalisa namun dijadikan sebagai landasan

semakin berkembangnya ilmu-ilmu manusia dalam sejarah, serta hal-hal lain yang

erat kaitannya dengan persoalan yang belum menjadi dasar budaya Islam yang benar.

Implikasi dari kecenderungan ini adalah (1) pergeseran Islam ke arah hanya sebagai agama,

ritual, dan mu'amalah (interaksi sosial) (2) Namun, penalaran ilmiah, (3)

hilangnya sudut pandang multidimensi digantikan oleh cara hitam-putih

mencari, dan (4) pola pendidikan indoktrinasi yang dikebiri

kritik.25 Dalam kondisi seperti itu, timbul kesan kuat bahwa Al-Qur'an sebagai kitab

"sumber hukum" mengandung perspektif bias tertentu yang seringkali mendominasi

meminggirkan cara pandang lain dalam melihat makna al-Qur'an.

Wajar dalam Al-Qur'an kemudian diapresiasi secara utuh saat ia mendekat dan

dihargai hanya dari satu sisi sementara mengabaikan sisi lain.

Jika memang dalam kajian tafsir telah banyak dikenal pola

berbagai pendekatan, seperti pola fiqih, pola teologi, dan

pola tasawuf, maka sangat dimungkinkan adanya suatu pendidikan

pola. Dengan pola ini, Al-Qur'an didekati dan dielaborasi dari

perspektif upaya menghormati umat manusia, mengembangkan potensi, nilai-nilai

penanaman, pembentukan karakter, dan respon terhadap kebutuhan hidup manusia.


Secara ontologis, pola pendidikan dimungkinkan karena semua isi

Al-Qur'an memang berbicara menentang manusia atau berbicara tentang manusia. Itu berarti

bahwa manusia adalah pusat upaya pendidikan menjadi subjek Al-Qur'an;

bahwa dia disebut dalam Al-Qur'an, dikritik, didorong, diundang, dan dijadikan sebagai

mitra dialog Al-Qur'an. Oleh karena itu, QS. 2: 185, misalnya, menegaskan,

“Bulan Ramadhan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai

petunjuk bagi manusia dan bukti-bukti yang jelas atas petunjuk itu dan pembedanya..."

fungsi seperti itu, Al-Qur'an telah menempatkan manusia sebagai pusat perhatian, seperti

para peserta didik, dalam proses kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh Nabi saw

penerima wahyu dan agen misi kenabian.

Dari perspektif pendidikan, mukjizat Al-Qur'an lebih banyak

digambarkan dari efek transformatif pada mentalitas dan pola pikir

Muslim. Secara bertahap, Kitab Suci dapat membangun pola pikir dan mentalitas yang positif

dengan meninggalkan budaya Kebodohan, sehingga mampu menjadi bangsa yang

berhasil mencapai prestasi budaya yang gemilang melebihi bangsa lain. Benar jika

dampak transformatif tersebut mendapat perhatian khusus untuk menguraikan, seperti biasa

ditulis oleh Syaikh Rashid Ridla.26 Bahkan ia membayangkan dampak seperti

bagian tak terpisahkan dari keajaiban Al-Qur'an dalam menggerakkan perubahan sosial secara luas.

Lebih lanjut ia menambahkan bahwa Al-Qur'an adalah kitab pendidikan dan pengajaran.

Dengan demikian, bagian dari tujuannya adalah untuk meningkatkan individu dan masyarakat, untuk

mengantarkan mereka menuju tahap kedewasaan berpikir, mewujudkan persaudaraan

dari umat manusia. Dalam jangka pendek, kehadiran Al-Qur'an dalam menyapa

pembaca seperti interaksi edukatif di kelas yang selalu merangsang

kognisi, emosi, hati, fisik, dan semua potensi manusia lainnya.27 As

Buktinya, tidak kurang dari 1.200 pertanyaan dalam Al-Qur'an yang ditujukan untuk
merangsang pikiran dan rasa ingin tahu manusia, untuk berpikir tentang ciptaan Tuhan dan

Prinsipnya dalam mengatur dunia dan kehidupan ini, pesan-pesan Al-Qur'an, self-

introspeksi, serta pemecahan masalah. Manusia diharuskan untuk menegaskan kembali

selamanya dan memperbaharui keberadaan mereka yang selalu dalam "proses menjadi"

menuju pencapaian kesempurnaan diri. Keagungan Allah kepada manusia,

seperti yang disebutkan dalam Qs. al-Tn: 6 dan Qs. al-Isrâ': 70, setidaknya menunjukkan yang berharga

makna tentang (1) pengakuan hak asasi manusia, (2) pengakuan hak asasi manusia

kemampuan dan tanggung jawab perusahaan, dan (3) pengakuan atas keluhuran manusia

dibandingkan dengan makhluk lain. Berdasarkan pendapat ini, Al-Qur'an

resep pelan-pelan sarat dengan nilai-nilai humanistik yang sesuai dengan

pengembangan perspektif pendidikan. Perspektif pendidikan bisa menjadi

dirumuskan dari banyak resep Al-Qur'an tentang kekuatan dan

kelemahan, tugas manusia, dan efek/konsekuensi tugas tersebut. Tentu saja,

pengalaman praktis dan penalaran rasional-kritis diperlukan untuk memperkaya

pemahaman tentang resep normatif

Berdasarkan hal tersebut, perspektif pendidikan tidak dapat dipisahkan dari produktifitas kita

bacaan, yaitu bacaan untuk mengungkap makna dan makna (maghzâ) dari

Ayat-ayat Al-Qur'an, khususnya yang berkaitan dengan manusia, alam, dan kehidupan untuk

memaksimalkan responsnya terhadap masalah aktual untuk membangun pesannya sebagai

dapat dipahami (acceptable common sense atau ma'qûliyyah) dan dapat diterapkan (can

diterapkan atau ma'mûliyyah). Jika Al-Qur'an diibaratkan sebagai bentuk santapan Allah, maka itu

yang perlu diprioritaskan disini adalah bagaimana kita bisa mendapatkan nutrisi sebanyak mungkin

dari makanan seperti itu. Pesan-pesan Al-Qur'an yang dapat dicerna dengan baik akan menjadi

bermanfaat untuk proses asupan potensi tumbuh kembang dan fitrah kemanusiaan

umat manusia. Dalam konteks ini, perspektif pendidikan menjadi perhatian


mampu menawarkan makanan yang dapat dicerna sebagai asupan bagi semua orang yang

bersedia mengikuti tuntunan pendidikan Al-Qur'an. Selain saldo

menu makanan yang disajikan, hal krusial lainnya adalah kondisi

subjek yang akan memilikinya. Terlepas dari keseimbangannya, makanan disajikan dengan seimbang

dapat memicu religiusitas ekstrim dari subyek yang menyenanginya; Demikian pula,

terlepas dari kondisi subjek, makanan yang disajikan dapat menyebabkan

dia untuk tersedak. Itulah perumpamaan yang pesan-pesan Al-Qur'an sebagai pendidikan

isinya harus disajikan dengan formula resep yang sangat memperhatikan

beberapa aspek, seperti aspek normatif dan historis/kontekstual, bertahap,

yang memanusiakan, dan yang seimbang.28

Majid Irsan al-Kailani menyampaikan beberapa prinsip dasar pendidikan

Orientasi tuntunan Al-Qur'an sebagai berikut: (1) memperkenalkan manusia dengan Tuhan

sebagai pencipta mereka dan membangun pola hubungan di antara keduanya di

landasan teosentris (rabbâniyah) dan ketaatan (ubûdiyyah), (2) berkembang

perilaku individu agar selaras dengan tuntunan Islam, (3)

melatih individu agar mampu memenuhi tuntutan kebutuhan materil

kehidupan, (4) menghasilkan generasi muslim yang teguh pada akidah Islam

dan prinsip-prinsipnya yang tidak memihak, (5) mengarahkan umat Islam untuk menanggung dalam
menjalankan Islam

risalah tentang alam semesta, dan (6) menumbuhkan keyakinan akan kesatuan umat manusia

dan kesetaraan mereka.29 Dengan orientasi seperti itu, adalah asumsi yang salah bahwa

cenderung menyamakan pengajaran agama Islam dengan pendidikan Islam. Ini

Anggapan tersebut telah mereduksi makna pendidikan Islam dan telah

menjauhkan mereka dari keselarasan dengan tuntunan pendidikan Al-Qur'an. Di sana

Setidaknya ada delapan prinsip yang bisa dijabarkan untuk itu, yaitu (1) Islam adalah

agama “alam” (fitri), agama selaras dengan alam dan fitrah manusia,
(2) Islam adalah agama rasional, (3) Islam adalah agama humanistik (untuk

kemanusiaan) yang menempatkan manusia sebagai inti kehidupan dan khalifah-Nya, (4)

umat manusia cenderung pada kebajikan transendental (prinsip kebaikan universal), (5)

manusia bebas memilih dan bertindak, (6) manusia tidak hidup sendiri, tetapi sebagai makhluk sosial

makhluk, (7) Islam adalah agama kemajuan yang menggerakkan gerak manusia

kesadaran, dan (8) Islam adalah agama afirmasi duniawi, agama duniawi

yang mengajarkan perlunya etos kerja, kreativitas, dan komitmen.30 Dengan

prinsip-prinsip tersebut, misi Islam empiris dan rasional mencoba untuk diaktualisasikan sebagai

modal untuk mendorong kehidupan nyata umat manusia. Misi dari

Islam rasional terlihat dari begitu menariknya perhatian Al-Qur'an terhadap manusia

kemampuan dalam menggali potensi rasionalnya untuk menemukan kebenaran, sedangkan

Misi empiris Islam tampak dari kesadaran objektif yang dikembangkan oleh

al-Qur'an dengan menghadirkan bukti empiris dan tanggapan terhadap

realitas yang sebenarnya. Oleh karena itu, sangatlah wajar pendapat yang mengatakan, “the

Al-Qur'an memberikan perspektif dalam sejarah manusia, yang tidak sekedar normatif, tetapi

juga selalu empiris. Ia tidak hanya menyajikan logika tetapi juga bukti empiris”.

Secara epistemologis, misi empiris dan rasional Islam telah tercermin

Nah dalam konsep “al-nadhar” yaitu proses mental perenungan tentang

sesuatu yang didasarkan pada kemampuan rasional dan indera manusia. kecenderungan dari

spekulasi tanpa pengamatan rasional atas realitas kontekstual kurang

dukungan untuk mengembangkan ilmu empiris dan eksperimental, seperti yang ditunjukkan oleh

karakter ilmu-ilmu alam Yunani masa lalu yang murni filosofis-

studi metafisika berdasarkan metode rasional-deduktif. Karena

pengaruh apresiasi konsep al-nadhar, para ilmuwan Muslim di

Zaman keemasan telah mengubah sifat ilmu tersebut menjadi suatu bentuk kajian ilmiah
itu juga metode eksperimental dan induktif, jadi telah diproduksi

berbagai subspesialisasi ilmu-ilmu sosial-alam, seperti psikologi empiris,

astronomi, kimia, biologi, dan sosiologi.31 Berbagai cabang ilmu pengetahuan

pengetahuan telah dimasukkan ke dalam materi pendidikan dasar yang

waktu dan telah mendorong pencapaian kecerahan puncak di

kepercayaan intelektual dan ilmiah di dunia Islam. Itu menunjukkan bahwa

ketika misi Islam rasional dan empiris telah mampu diapresiasi

baik dan berkembang melalui kegiatan pendidikan dan intelektual, itu akan menjadi

elemen utama yang menopang kemajuan budaya umat Islam.

KESIMPULAN

Aspek dialogis Al-Qur'an ditunjukkan dengan proses pewahyuannya yang bertahap

yang menandai wahyu progresif dari Teks Suci. Wahyu bertahap seperti itu

mencerminkan adanya interaksi kreatif antara Kehendak Ilahi, the

realitas empiris, dan kebutuhan penerima. Selain itu, wahyu seperti itu

Proses ini juga ditunjukkan oleh wahyu Al-Qur'an pertama untuk Nabi .

di mana aspek dialogisnya terkandung dalam instruksi untuk "membaca". Dengan

instruksi membaca, Al-Qur'an mendukung dan memanggil manusia: pertama, menjadi

peka dan tanggap terhadap realitas sosial, budaya, dan alam. Kedua, untuk

memanfaatkan seluruh potensi diri untuk merenungkan dan mempelajari realitas alam semesta, dan
ketiga, untuk

mendukung etos belajar dan keilmuan untuk memperkuat etos kehidupan.

Berdasarkan semangat wahyu seperti itu, pertama kali sangat wajar jika

Al-Qur'an diberi nama dengan "kitab pendidikan". Karena ayat-ayat Al-Qur'an

baik secara langsung maupun tidak langsung untuk menganalisis hampir semua elemen pendidikan. Al-

Al-Qur'an pun dalam menyampaikan pesan menggunakan gaya bahasa "pathos" yang terlihat

jadi perhatikan aspek psikologis penerimanya. Seperti "teks hidup"


atau Al-Qur'an "buka buku", memposisikan penerima pesan sebagai mitra – berbicara dengan

dialog dan komunikasi terbuka seperti yang terjadi di stan-stan pendidikan.

Untuk mengelaborasi risalah Al-Qur'an dalam perspektif pendidikan, at

setidaknya ayat-ayat yang berhubungan dengan tema topik berikut perlu

diprioritaskan, yaitu: pandangan Al-Qur'an tentang ilmu pengetahuan,

individu

pendidikan, pendidikan masyarakat, dan berbagai metode pendidikan

Alquran. Perspektif pendidikan diperlukan untuk mengapresiasi kembali fungsi

Alquran sebagai kekuatan moral yang dapat mendorong inisiasi, kreativitas, dan

kecerdasan manusia untuk memanfaatkan semua sumber daya yang ada untuk kepentingan kehidupan

dan kemajuan kebudayaan. Tidak hanya itu, tetapi perspektif pendidikan adalah

juga perlu menggali preskripsi Al-Qur'an agar bisa ikut mengkritisi

fenomena malpraktik pendidikan. Ini berarti bahwa perspektif

pendidikan tidak lepas dari bacaan produktif yang kami lakukan yaitu a

pembacaan yang serius dari upaya untuk mengungkap makna dan signifikansi dari

ayat-ayat Al-Qur'an secara eksplisit menyinggung tentang manusia, alam, dan untuk

memaksimalkan respon hidup terhadap permasalahan aktual dari denyut nadi kehidupan.

Jika Al-Qur'an dipersepsikan sebagai bentuk "perjamuan" Tuhan, maka hal yang perlu ditonjolkan

adalah bagaimana kita bisa mendapatkan "nutrisi" sebanyak mungkin dari makanan itu.

Anda mungkin juga menyukai