Anda di halaman 1dari 14

KASUS FRAUD AKUNTANSI BRITISH TELECOM DAN PRICE

WATERHOUSE COOPERS (PWC)

Disusun untuk Memenuhi Tugas mata Kuliah Etika Profesi Audit

Dosen Pengempu : Samino Hendrianto, SE., M.Ak

Disusun Oleh :
Dewi Nurohamh

1662201269

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG

2016/2017
PENDAHULUAN

1. Sejarah Perusahaan
A. Sejarah BT Group plc
BT Group plc ( Dikenal sebagai BT dan sebelumnya British Telecom)
adalah perusahaan induk yang memiliki British Telecommunications plc,
sebuah perusahaan Telecomunikasi multinasional Inggris yang berkantor
pusat di London, United Kingdom. Perusahaan ini beroperasi di sekitar 180
negara dan merupakan penyedia layanan fixed-line, mobile dan broadband
terbesar di Inggris, dan juga menyediakan televisi berlangganan dan layanan
IT. Asal-usul BT kembali ke tanggal pendirian perusahaan Telecomunikasi
pertama di Inggris. Di antara mereka adalah layanan telegraf komersial
pertama, Electric Telegraph Company, yang didirikan pada tahun 1846.
Ketika perusahaan-perusahaan ini bergabung dan diambil alih atau
diruntuhkan, perusahaan-perusahaan yang tersisa dialihkan ke kontrol negara
di bawah Kantor Pos pada tahun 1912. Perusahaan-perusahaan ini digabung
dan diberi merek ulang sebagai British Telecom. Pada tahun 1912, Kantor Pos
Umum, sebuah departemen pemerintah, menjadi pemasok Telecomunikasi
monopoli di Inggris. The Post Office Act of 1969 menyebabkan GPO menjadi
perusahaan publik. British Telecommunications, yang dikenal sebagai British
Telecom, dibentuk pada tahun 1980, dan menjadi independen dari Kantor Pos
pada tahun 1981. British Telecommunications diprivatisasi pada tahun 1984,
menjadi British Telecommunications plc, dengan sekitar 50 persen sahamnya
dijual kepada investor. Pemerintah menjual sisa sahamnya dalam penjualan
saham lebih lanjut pada tahun 1991 dan 1993. BT memiliki daftar utama di
Bursa Efek London, daftar sekunder di Bursa Efek New York, dan merupakan
konstituen Indeks FTSE 100.
BT mengendalikan sejumlah anak perusahaan besar. Divisi Layanan
Global BT memasok layanan Telecomunikasi kepada pelanggan korporasi
dan pemerintah di seluruh dunia, dan divisi Konsumer BTnya memasok
layanan telepon, broadband, dan televisi berlangganan di Inggris Raya kepada
sekitar 18 juta pelanggan. BT mengumumkan pada Februari 2015 bahwa
mereka telah setuju untuk mengakuisisi EE sebesar £ 12,5 miliar, dan
menerima persetujuan regulasi akhir dari Kompetisi dan Otoritas Pasar pada
15 Januari 2016. Transaksi selesai pada 29 Januari 2016

B. Sejarah Price Waterhouse Coopers (PwC)


PricewaterhouseCoopers (PwC) adalah kantor jasa professional terbesar
di dunia saat ini. Kantor ini dibentuk pada tahun 1998 dari penggabungan
usaha antara Price Waterhouse dan Coopers & Lybrand. PwC adalah yang
terbesar di antara the Big Four auditors, yang lainnya adalah Deloitte, Ernst &
Young dan KPMG. Penghasilan gabungan PricewaterhouseCoopers di seluruh
dunia mencapai 20.3 miliar dolar Amerika Serikat untuk tahun fiskal 2005,
dan mempekerjakan lebih dari 130.000 profesional di 148 negara. Di Amerika
Serikat kantor ini beroperasi dengan nama PricewaterhouseCoopers LLP yang
merupakan perusahaan swasta terbesar keenam.
PEMBAHASAN

1. Kronologi Kasus
Perusahaan raksasa Inggris ini mengalami fraud akuntansi di salah satu
lini usahanya di Italia. Sejak awal triwulan kedua 2017 telah muncul isu
terjadinya fraud akuntansi di British Telecom. Fraud di British Telecom
berdampak kepada akuntan publik PwC yang merupakan kantor akuntan
publik ternama di dunia dan termasuk the bigfour. Tentu saja dampak fraud
akuntansi ini bukan saja menyebabkan reputasi kantor akuntan publik
tercemar, namun ikut mencoreng profesi akuntan publik. Fraud akuntansi ini
gagal dideteksi oleh PwC. Oleh karena itu British Telecom segera mengganti
PwC dengan KPMG yang juga merupakan kantor akuntan publik ternama di
dunia dan termasuk the bigfour. Yang mengejutkan adalah relasi PwC dengan
British Telecom telah berlangsung sangat lama, yaitu 33 tahun sejak British
Telecom diprivatisasi 33 tahun yang lalu. Board of Director British Telecom
merasa tidak puas atas kegagalan PwC mendeteksi fraud akuntansi di Italia.
Fraud akuntansi ini gagal dideteksi oleh PwC. Justru fraud berhasil
dideteksi oleh pelapor pengaduan (whistleblower) yang dilanjutkan dengan
akuntansi forensik oleh KPMG. Modus fraud akuntansi yang dilakukan
British Telecom di Italia sebenarnya relatif sederhana dan banyak dibahas di
literatur kuliah auditing namun banyak auditor gagal mendeteksinya yakni
melakukan inflasi (peningkatan) atas laba perusahaan selama beberapa tahun
dengan cara tidak wajar melalui kerja sama koruptif dengan klien-klien
perusahaan dan jasa keuangan. Modusnya adalah membesarkan penghasilan
perusahaan melalui perpanjangan kontrak yang palsu dan invoice-nya serta
transaksi yang palsu dengan vendor. Praktik fraud ini sudah terjadi sejak
tahun 2013. Dorongan untuk memperoleh bonus (tantiem) menjadi stimulus
fraud akuntansi ini.
Dampak fraud akuntansi penggelembungan laba ini menyebabkan British
Telecom harus menurunkan GBP530 juta dan memotong proyeksi arus kas
selama tahun ini sebesar GBP500 juta untuk membayar utang-utang yang
disembunyikan (tidak dilaporkan). Tentu saja British Telecom rugi membayar
pajak penghasilan atas laba yang sebenarnya tak ada. Skandal fraud akuntansi
ini, sebagaimana biasanya, berdampak kerugian kepada pemegang saham dan
investor di mana harga saham British Telecom anjlok seperlimanya ketika
British Telecom mengumumkan koreksi pendapatannya sebesar GBP530 juta
di bulan Januari 2017.
Luis Alvarez, Eksekutif British Telecom yang membawahi British
Telecom Italia pun angkat kaki. Chief Executive Officer British Telecom
Gavin Patterson dan Chief Financial Officer Tony Chanmugam dipaksa
mengembalikan bonus mereka masing-masing GBP340.000 dan GBP193.000.
Beberapa pemegang saham British Telecom segera mengajukan tuntutan
kerugian class-action kepada korporasi karena dianggap telah mengelabui
investor dan tidak segera mengumumkan fraud keuangan tersebut.
Saat ini atas fraud akuntansi tersebut, penegak hukum Italia sedang
melakukan proses investigasi terhadap tiga orang mantan eksekutif dan dua
staf British Telecomm di Italia. Tuduhan fraud dialamatkan kepada :
 Tuduhan fraud kepada Gianluca Cimini - mantan Chief Executive
Officer British Telecom di Italia yang dianggap paling bertanggung
jawab melanggar tata kelola perusahaan terkait permainan dengan
vendor dan kontraknya serta perilaku yang mengintimidasi bawahan.
 Tuduhan fraud kepada Stefania Truzzoli - mantan Chief Operating
Officer dituduh memanipulasi hasil operasional yang dipakai menjadi
dasar pemberian bonus dan memanipulasi informasi hasil kinerja ke
korporasi induk (British Telecom Europe).
 Tuduhan fraud kepada Luca Sebastiani – mantan Chief Financial
Officer dituduh karena tidak mampu melaporkan fraud keuangan dan
mendorong pegawainya membuat invoice palsu
 Tuduhan fraud kepada Luca Torrigiani – mantan staf yang
bertanggung jawab kepada klien pemerintah dan klien besar lainnya
dituduh melanggar aturan British Telecom dengan memilih vendor dan
menerima pembayaran dari agen British Telecom Italia.

Bagi PwC, masalah ini menjadi yang kedua kalinya menerpa dalam dua
tahun belakangan ini setelah Tesco karena gagal memberitahukan ratusan juta
pounds terling laba yang hilang. Yang menarik, di Inggris terdapat lembaga
antifraud yaitu Serious Fraud Office (SFO) yang melakukan penegakan
hukum atas skandal fraud termasuk fraud oleh atau di korporasi. SFO
mengenakan sanksi denda GBP129 juta kepada mantan-mantan eksekutif
British Telecomm atas tuduhan fraud ini. British Telecom adalah korporasi
induk yang berkedudukan di Inggris.

2. Analisis Kasus
A. Pihak-Pihak Yang Terlibat
Berikut ini pihak-pihak yang terlibat dalam kasus diatas dan dengan
disertai oleh perannya masing-masing:
1. KAP PricewaterhouseCoopers (PwC) sebagai KAP yang dipercaya
mengaudit British Telecom di Italia.
2. Gianluca Cimini sebagai mantan Chief Executive Officer British
Telecom di Italia yang dianggap paling bertanggung jawab melanggar
tata kelola perusahaan terkait permainan dengan vendor dan
kontraknya serta perilaku yang mengintimidasi bawahan.
3. Stefania Truzzoli sebagai mantan Chief Operating Officer yang
dianggap telah memanipulasi hasil operasional yang dipakai menjadi
dasar pemberian bonus dan memanipulasi informasi hasil kinerja ke
korporasi induk (British Telecom Europe).
4. Luca Sebastiani sebagai mantan Chief Financial Officer yang dianggap
tidak mampu melaporkan fraud keuangan dan mendorong pegawainya
membuat invoice palsu.
5. Luca Torrigiani sebagai mantan staf yang bertanggung jawab kepada
klien pemerintah dan klien besar lainnya dianggap melanggar aturan
British Telecom dengan memilih vendor dan menerima pembayaran
dari agen British Telecom Italia.

B. Pelanggaran Kode Etik Yang Dilakukan


1. Pelanggaran Kode Etik yang Dilakukan oleh Pihak British
Telecom
Berikut ini merupakan pelanggaran-pelanggaran kode etik yang
telah dilakukan oleh pihak British Telecom yakni sebagai berikut :
a. Kompetensi Ada beberapa poin penting dalam prinsip kompetensi
ini yang telah dilanggar oleh pihak British Telecom, yakni sebagai
berikut :
1) Tanggung Jawab
Dalam hal ini sangat jelas para eksekutif tidak bertanggung
jawab atas profesi yang dia miliki. Para eksekutif yang
seharusnya mampu bekerja sama dengan anggota lainnya untuk
mengelola keuangan perusahaan serta bertanggung jawab untuk
menjaga dan mengembangkan profesi akuntansi justru
mengabaikan hal ini dengan melakukan perjanjian kontrak palsu.
2) Perilaku Profesional
Tidak melakukan pekerjaan sesuai dengan standar perusahaan
serta berbuat kecurangan didalam pekerjaan tentu bukan ciri dari
perilaku profesionalitas. Para eksekutif tidak dapat berprilaku
konsisten terhadap pekerjaannya, yang tadinya bekerja dengan
baik namun ketika terdapat kesempatan untuk mendapat yang
lebih mereka mengabaikan kepentingan perusahaan sehingga
menurunkan kredibilitas terhadap profesi yang dimiliki.
b. Integritas Dalam hal ini integritas berhubungan dengan bersikap
jujur dan berterus terang, apakah dalam kasus ini para eksekutif
mempunyai integritas? Jelas tidak, seseorang yang berintegritas
harus dapat menerima perbedaan pendapat dan tidak dapat
mentolerir sebuah kecurangan tetapi yang mereka lakukan justru
sebaliknya, melakukan perjanjian kontrak dan invoice palsu demi
mementingkan kepentingan pribadi agar mendapatbonus dan
keuntungan yang lebih. Padahal integritas sangat berpengaruh
terhadap kepercayaan publik.
2. Pelanggaran Kode Etik yang Dilakukan oleh Pihak Price
Waterhouse Coopers (PwC)
Berikut ini merupakan pelanggaran-pelanggaran kode etik yang
telah dilakukan oleh pihak Price Waterhouse Coopers (PwC) yakni
sebagai berikut:
a. Prinsip Integritas
Dalam prinsip integritas berkaitan erat dengan kepercayaan publik.
Dalam hal ini, pihak Price Waterhouse Coopers (PwC) gagal
mendeteksi fraud akuntansi yang relatif sederhana dan banyak dibahas
di literature kuliah auditing yang dilakukan oleh pihak British
Telecom, melihat bahwa Price Waterhouse Coopers (PwC) merupakan
kantor akuntan publik ternama di dunia dan termasuk the bigfour
pastilah mencoreng profesi akuntan publik dan kepercayaan
masyarakat terhadap akuntan publik yang bahkan sudah berskala
besar.
b. Prinsip Perilaku Profesional
Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi
profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan
profesi. Dalam hal ini, kinerja profesionalisme dari seorang auditor
pada British Telecom dapat merusak reputasi mereka selaku auditor
karena resiko audit yang tidak berhasil mendeteksi adanya fraud
akuntansi yang dilakukan oleh pihak British Telecom.
C. Sanksi
Berikut ini merupakan sanksi-sanksi yang diterima oleh pihak yang
terlibat dalam kasus yang bersangkutan:
1. Mantan eksekutif British Telecom yang terlibat harus membayar denda
sebesar GBP129 Juta sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan
oleh Lembaga Antifraud Serious Fraud Office (SFO).
2. Korporasi mendapat tuntutan atas kerugian class-action yang diajukan
oleh pemegang saham British Telecom karena dianggap mengelabui
investor dan tidak segera mengumumkan fraud keuangan tersebut.
D. Dampak
Berikut merupakan dampak yang ditimbulkan dari kasus tersebut,
yaitu:
1. Bagi Masyarakat
Masyarakat dalam hal ini merupakan para investor yang
berinvestasi di perusahaan tersebut. Penggelembungan laba ini
menyebabkan British Telecom harus menurunkan GBP530 juta dan
memotong proyeksi arus kas selama tahun ini sebesar GBP500 juta
untuk membayar utang-utang yang disembunyikan (tidak dilaporkan).
Tentu saja British Telecom rugi membayar pajak penghasilan atas laba
yang sebenarnya tak ada. Skandal fraud akuntansi ini, sebagaimana
biasanya, berdampak kerugian kepada pemegang saham dan investor
di mana harga saham British Telecom anjlok seperlimanya ketika
British Telecom mengumumkan koreksi pendapatannya sebesar
GBP530 juta di bulan Januari 2017 terpaksa mengalami kerugian
seiring dengan anjloknya harga saham yang dimiliki oleh British
Telecom.

2. Bagi perusahaan
Akibat kasus ini bukan hanya berdampak pada reputasi kantor
akuntan publik PwC tercemar karena tidak mampu mendeteksi fraud
yang ada pada British Telecom, namun ikut mencoreng profesi
akuntan publik. Padahal eksistensi akuntan publik sangat tergantung
pada kepercayaan publik kepada reputasi profesional akuntan
publik.Terlebih lagi masalah ini merupakan kali kedua bagi PwC
dalam dua tahun belakangan ini setelah kasus dengan Tesco yang
mengalami kegagalan dalam memberitahukan ratusan juta
poundsterling laba yang hilang. Hal ini sangat berbahaya bagi
keberlangsungan hidup kantor akuntan publik tersebut. Kasus ini harus
menjadi pembelajaran bagi pihak PwC agar lebih berhati-hati dalam
melakukan audit.
KESIMPULAN

Berdasarkan kasus diatas, dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut:


1) Fraud bukan hanya terjadi di perusahaan kecil, negara terbelakang, dan
negara berkembang atau terjadi di pemerintahan (anggaran negara)
melainkan terjadi juga di negara maju dan korporasi ternama. Ini
artinya fraud harus dianggap sebagai bahaya laten atau risiko bawaan
di setiap organisasi.
2) Fraud tidak hanya menyeret kantor akuntan publik skala kecil atau
menengah, namun semua bigfour tidak ada yang luput dari kegagalan
auditnya dalam mendeteksi fraud.
3) Perusahaan harus memperhatikan tata kelolanya. Sistem manajemen
kinerja yang sehat dan wajar adalah bagian dari tata kelola perusahaan
yang baik. Pada kasus ini, dorongan untuk memperoleh bonus (
tantiem) menjadi stimulus fraud akuntansi ini. Biasanya bonus diukur
dari pelampauan atas indicator laba dan asset yang telah ditentukan.
Selain itu, sistem pelaporan pengaduan (whistleblowing) yang dikelola
dengan baik dan terpercaya merupakan bagian dari tata kelola
perusahaan yang baik. Pada kasus ini, dugaan fraud efektif terbongkar
melalui whistleblower.
4) Untuk menilai nilai suatu korporasi (corporate value) oleh investor dan
kreditor semestinya harus mengevaluasi desain dan keefektifan tata
kelolanya. Value suatu organisasi mestinya tidak hanya mengacu pada
kinerja keuangan.
5) Publik tidak bisa mengandalkan akuntan publik untuk mendeteksi
fraud dalam penugasannya melakukan audit atas laporan keuangan
dikarenakan karakteristik fraud yang selalu disembunyikan dan
ditutupi, adanya informasi asimetri, dan groupthink yang kohesif
melindungi perbuatan tidak etis, serta kelemahan bawaan atau
keterbatasan system pengendalian intern untuk mencegah fraud apabila
terjadi kolusi dan pengabaian control oleh eksekutif itu sendiri. Selain
itu, dalam melaksanakan audit atas laporan keuangan, walaupun
akuntan publik disyaratkan oleh standar auditing agar mewaspadai
fraud yang material namun prosedur audit atas laporan keuangan tidak
dirancang secara khusus untuk mendeteksi fraud.
6) Akuntan publik tidak didesain menjadi seorang fraud investigator.
Meskipun akuntan publik dan para asistennya diberikan pengetahuan
dan pelatihan tentang fraud, bukan berarti mereka memiliki keahlian
yang sama dengan fraud investigator.
7) Sikap atau posisi akuntan publik terhadap risiko fraud serupa dengan
audit intern bahwa aktivitas audit intern diselenggarakan bukan untuk
mendeteksi dan mengungkap praktik-praktik fraud di organisasinya.
Pengetahuan dan keahlian auditor intern pun tidak sama dengan orang
yang spesialis antifraud atau menjadi investigator fraud. Oleh karena
itu, belum saatnya berharap banyak kepada audit intern untuk selalu
mampu mendeteksi fraud dalam setiap perikatan tugasnya.
8) Fraud akuntansi atau fraud laporan keuangan bukanlah suatu akhir.
Fraud Akuntansi pasti memiliki motif, apakah motif untuk
memaksimalkan (tantiem), menjaga value korporasi secara financial,
atau bisa juga untuk membungkus penggelapan yang sudah terjadi.
9) Di Indonesia, fraud tententu diatur oleh undang-undang tertentu seperti
fraud perbankan, pasar modal, perpajakan yang memiliki ketentuan
pidana kewenangan penegakan hukum sendiri. Di luar itu, penegakan
hukum yang menindaklanjuti dugaan fraud umum menjadi urusan
kepolisian. Tidak ada institusi khusus yang menangani fraud seperti
SFO di Inggris atau Satuan Tugas Penegakan Hukum atas Fraud
Finansial yang melibatkan berbagai institusi pemerintah di Amerika
Serikat. Penegakan hukum atas fraud umum yang melanda korporasi
baik secara pidana atau denda yang material relatif langka di
Indonesia.
10 Komplain publik terhadap laporan keuangan dan opini akuntan public
relatif jarang dijumpai di Indonesia. Padahal praktik fraud akuntansi
dan dampaknya adalah nyata. Di Amerika Serikat, komplain gugatan
baru oleh publik terjadi bila perusahaan yang mengalami fraud
mengajukan pailit atau pengawas pemerintah menemukan fraud ketika
melaksanakan auditnya atau adanya pengaduan tentang fraud.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.wartaekonomi.co.id/read145257/ketika-skandal-fraud-akuntansi-
menerpa-british-telecom-dan-pwc.html

https://fannyanisha.wordpress.com/2015/12/25/etika-dalam-akuntansi-
keuangan- dan-akuntansi-manajemen/

https://dwiyustiyanita.wordpress.com/2016/11/04/prinsip-prinsip-etika-
profesi- akuntansi-menurut-aicpa-iai-ifac/

http://fitriaprliana.blogspot.co.id/2011/10/kode-etik-akuntan-publik.html

Anda mungkin juga menyukai