Anda di halaman 1dari 9

RANGKUMAN

Disusun oleh :

NAMA : YEHEZKIEL WALADOW


NPP : 30.1291
KELAS : J-1

PROGRAM STUDI MANAJEMEN KEAMANAN DAN KESELAMATAN


PUBLIK
FAKULTAS PERLINDUNGAN MASYARAKAT
INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
2021
JL. Ir. SOEKARNO DESA NO. KM. 20, CIBEUSI, KEC.JATINANGOR, KABUPATEN
SUMEDANG, JAWA BARAT
A. Pengertian Korupsi

Korupsi berasal dari bahasa Latin: corruption dari kata kerja corrumpere berarti busuk,
rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok. Menurut Transparency International
adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/ politisi maupun pegawai negeri, yang secara
tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat
dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi secara harfiah berarti: buruk,
rusak, suka memakai barang (uang) yang dipercayakan padanya, dapat disogok (melalui
kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). Adapun arti terminologinya, korupsi adalah
penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi
atau orang lain.
Sementara, disisi lain, korupsi (corrupt, corruptie, corruption) juga bisa bermakna
kebusukan, keburukan, dan kebejatan. Definisi ini didukung oleh Acham yang mengartikan
korupsi sebagai suatu tindakan yang menyimpang dari norma masyarakat dengan cara
memperoleh keuntungan untuk diri sendiri serta merugikan kepentingan umum. Intinya,
korupsi adalah menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan publik atau pemilik untuk
kepentingan pribadi. Sehingga, korupsi menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif, yaitu
memiliki kewenangan yang diberikan publik yang seharusnya untuk kesejahteraan publik,
namun digunakan untuk keuntungan diri sendiri.
Pengertian korupsi secara luas adalah setiap perbuatan yang buruk atau setiap
penyelewengan. Namun dalam perspektif hukum, Tindak Pidana Korupsi adalah tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.
Dalam ilmu hukum pidana, suatu perbuatan dapat dikategorikan suatu perbuatan tindak
pidana apabila telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana (strafbaar feit) yaitu pertama,
adanya perbuatan manusia (positif atau negative, berbuat atau tidak berbuat atau
membiarkan, sengaja atau tidak disengaja). kedua, adanya ancaman pidana dalam rumusan
Perundang- Undangan (statbaar gesteld) sebagai syarat Formal. Ketiga, bersifat Melawan
hukum (onrechtmatig) sebagai syarat Materil. Jadi sebagai contoh, salah satu bentuk tindak
pidana korupsi terkait keuangan Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3 Undang-
Undang Tindak pidana Korupsi adalah apabila memenuhi unsur-unsur dalam Pasal-Pasal
tersebut yaitu sebagai berikut:
-          Adanya perbuatan melawan hukum
-          Adanya penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,
-          Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan
-          Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

Definisi korupsi, bentuk-bentuk dan unsur-unsurnya, serta ancaman hukumannya


secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU
No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal
tersebut korupsi dirumuskan ke dalam tiga puluh bentuk/ jenis tindak pidana korupsi. Pasal-
pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan-perbuatan yang bisa
dikenakan pidana penjara karena korupsi.
Tiga puluh bentuk tindak pidana korupsi, tersebar dalam tiga belas pasal. Ketigapuluh bentuk
tindak pidana korupsi tersebut diatur dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5
ayat (1) huruf b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6
ayat (2), Pasal 7 ayat (1) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c, Pasal 7
ayat (1) huruf d, Pasal 7 ayat (2), Pasal 8, Pasal 9,  Pasal 10 huruf a, Pasal 10 huruf b, Pasal
10 huruf c, Pasal 11, Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 12 huruf c, Pasal 12 huruf d,
Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf f, Pasal 12 huruf g, Pasal 12 huruf h, Pasal 12 huruf i, Pasal
12 B jo. Pasal 12 C, dan Pasal 13.

Ketigapuluh bentuk tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat diklasifikasikan
menjadi tujuh jenis yaitu korupsi yaitu:
1. Terkait keuangan negara/perekonomian Negara,
2. Suap-menyuap,
3. Penggelapan dalam jabatan,
4. Pemerasan,
5. Perbuatan curang,
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan dan
7. Korupsi terkait gratifikasi.

B. Mengapa Korupsi Masih Marak Terjadi di Indonesia

Pada dasarnya Korupsi terjadi jika adanya sistem yang memungkinkan. Kemudian ada
hasrat untuk memperkaya diri dengan cara-cara yang tidak wajar bertemu dengan sistem
pengawasan yang lemah dan lingkungan cenderung permisif, maka menjadi lahan bagi
praktek-praktek tindak pidana korupsi. Lingkungan dengan pengawasan lemah dan permisif
terhadap praktek-praktek kotor seperti ini lebih sering terjadi di negara-negara berkembang
seperti Indonesia.

Pada negara-negara berkembang lembaga- lembaga maupun sistem adminsitrasi publik


dan politik umumnya lemah, gaji umumnya rendah, sehingga pejabat-pejabat berkeinginan
untuk “menambah” penghasilannya. Korupsi di Indonesia masih marak terjadi karena adanya
beberapa faktor salah satunya adalah di Indonesia hukum bisa dibeli dalam artian lembaga
penegak hukum dalam menegakkan hukum sering menjadi sasaran gratifikasi dari pihak yang
melakukan tindak pidana korupsi. Selain itu ada beberapa faktor penyebab terjadinya korupsi
yaitu :

1. Aspek Individu Pelaku korupsi


Apabila dilihat dari segi si pelaku korupsi, sebabsebab dia melakukan korupsi dapat
berupa dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pula dikatakan sebagai keinginan, niat, atau
kesadarannya untuk melakukan. Sebab-sebab seseorang terdorong untuk melakukan korupsi
antara lain sebagai berikut:
a) Sifat Tamak Manusia Kemungkinan orang yang melakukan korupsi adalah orang
yang penghasilannya sudah cukup tinggi, bahkan sudah berlebih bila dibandingkan
dengan kebutuhan hidupnya. Dalam hal seperti ini, berapapun kekayaan dan
penghasilan sudah diperoleh oleh seseorang tersebut, apabila ada kesempatan untuk
melakukan korupsi, maka akan dilakukan juga.

b) Moral Yang Kurang Kuat Menghadapi Godaan Seseorang yang moralnya tidak kuat
cenderung lebih mudah untuk terdorong berbuat korupsi karena adanya godaan.
Godaan terhadap seorang pegawai untuk melakukan korupsi berasal dari atasannya,
teman setingkat, bawahannya, atau dari pihak luar yang dilayani.

c) Penghasilan Kurang Mencukupi Kebutuhan Hidup Yang Wajar Apabila ternyata


penghasilannya tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yang wajar, maka mau
tidak mau harus mencari tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Usaha untuk mencari tambahan penghasilan tersebut sudah merupakan
bentuk korupsi, misalnya korupsi waktu, korupsi pikiran, tenaga, dalam arti bahwa
seharusnya pada jam kerja, waktu, pikiran, dan tenaganya dicurahkan untuk keperluan
dinas ternyata dipergunakan untuk keperluan lain.

d) Kebutuhan Hidup Yang Mendesak Kebutuhan yang mendesak seperti kebutuhan


keluarga, kebutuhan untuk membayar hutang, kebutuhan untuk membayar pengobatan
yang mahal, kebutuhan untuk membiayai sekolah anaknya, merupakan bentukbentuk
dorongan seseorang yang berpenghasilan kecil untuk berbuat korupsi.

e) Gaya Hidup Konsumtif Gaya hidup yang konsumtif di kota-kota besar, mendorong
seseorang untuk dapat memiliki mobil mewah, rumah mewah, pakaian yang mahal,
hiburan yang mahal, dan sebagainya. Gaya hidup yang konsumtif tersebut akan
menjadikan penghasilan yang sedikit semakin tidak mencukupi. Hal tersebut juga
akan mendorong seseorang untuk melakukan korupsi bilamana kesempatan untuk
melakukannya ada.

f) Malas Atau Tidak Mau Bekerja Keras Kemungkinan lain, orang yang melakukan
korupsi adalah orang yang ingin segera mendapatkan sesuatu yang banyak, tetapi
malas untuk bekerja keras guna meningkatkan penghasilannya.

g) Ajaran-Ajaran Agama Kurang Diterapkan Secara Benar Para pelaku korupsi secara
umum adalah orangorang yang beragama. Mereka memahami ajaran-ajaran agama yang
dianutnya, yang melarang korupsi. Akan tetapi pada kenyataannya mereka juga
melakukan korupsi. Ini menunjukkan bahwa banyak ajaran-ajaran agama yang tidak
diterapkan secara benar oleh pemeluknya.
2. Aspek Organisasi
Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk sistem
pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi atau
dimana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi karena membuka
peluang atau kesempatan untuk terjadinya korupsi. Diantara penyebabnya adalah:

a) Kurang Adanya Teladan Dari Pemimpin Dalam organisasi, pimpinannya baik yang
formal maupun yang tidak formal (sesepuhnya) akan menjadi panutan dari setiap
anggota atau orang yang berafiliasi pada organisasi tersebut. Apabila pimpinannya
mencontohkan gaya hidup yang bersih dengan tingkat kehidupan ekonomi yang
wajar, maka anggota-anggota organisasi tersebut akan cenderung untuk bergaya
hidup yang sama.

b) Tidak Adanya Kultur Organisasi Yang Benar Kultur atau budaya organisasi biasanya
akan mempunyai pengaruh yang sangat kuat kepada anggotaanggota organisasi tersebut
terutama pada kebiasaannya, cara pandangnya, dan sikap dalam menghadapi suatu
keadaan. Kebiasaan tersebut akan menular ke anggota lain dan kemudian perbuatan
tersebut akan dianggap sebagai kultur di lingkungan yang bersangkutan.
Misalnya, di suatu bagian dari suatu organisasi akan dapat muncul budaya uang pelicin,
“amplop”, hadiah, dan lain-lain yang mengarah ke akibat yang tidak baik bagi organisasi.

c) Sistem Akuntabilitas di Instansi Pemerintah Kurang Memadai


Pada organisasi dimana setiap unit organisasinya mempunyai sasaran yang telah
ditetapkan untuk dicapai yang kemudian setiap penggunaan sumber dayanya selalu
dikaitkan dengan sasaran yang harus dicapai tersebut, maka setiap unsur kuantitas dan
kualitas sumber daya yang tersedia akan selalu dimonitor dengan baik. Pada instansi
pemerintah, pada umumnya instansi belum merumuskan dengan jelas visi dan misi yang
diembannya dan juga belum merumuskan dengan tepat tujuan dan sasaran yang harus
dicapai dalam periode tertentu guna mencapai misi tersebut. Demikian pula dalam
memonitor prestasi kerja unit-unit organisasinya, pada umumnya hanya melihat tingkat
penggunaan sumber daya (input factor), tanpa melihat tingkat pencapaian sasaran yang
seharusnya dirumuskan dengan tepat dan seharusnya dicapai (faktor out-put).

d) Kelemahan Sistem Pengendalian Manajemen Pada organisasi di mana pengendalian


manajemennya lemah akan lebih banyak pegawai yang melakukan korupsi dibandingkan
pada organisasi yang pengendalian manajemennya kuat. Seorang pegawai yang
mengetahui bahwa sistem pengendalian manajemen pada organisasi di mana dia bekerja
lemah, maka akan timbul kesempatan atau peluang baginya untuk melakukan korupsi.

e) Manajemen Cenderung Menutupi Korupsi Di Dalam Organisasinya Pada umumnya


jajaran manajemen organisasi di mana terjadi korupsi enggan membantu mengungkapkan
korupsi tersebut walaupun korupsi tersebut sama sekali tidak melibatkan dirinya.
Kemungkinan keengganan tersebut timbul karena terungkapnya praktek korupsi di dalam
organisasinya. Akibatnya, jajaran manajemen cenderung untuk menutup-nutupi korupsi
yang ada, dan berusaha menyelesaikannya dengan cara-cara sendiri yang kemudian dapat
menimbulkan praktek korupsi yang lain.

3. Aspek Masyarakat Tempat Individu dan Organisasi Berada


a) Nilai-Nilai Yang berlaku Di Masyarakat Ternyata Kondusif Untuk Terjadinya
Korupsi Korupsi mudah timbul karena nilai-nilai yang berlaku di masyarakat
kondusif untuk terjadinya hal itu. Misalnya, banyak anggota masyarakat yang
dalam pergaulan sehari-harinya ternyata dalam menghargai seseorang lebih
didasarkan pada kekayaan yang dimiliki orang yang bersangkutan.

b) Masyarakat Kurang Menyadari Bahwa Yang Paling Dirugikan Oleh Setiap


Praktik Korupsi Adalah Masyarakat Sendiri Masyarakat pada umumnya
beranggapan bahwa apabila terjadi perbuatan korupsi, maka pihak yang akan
paling dirugikan adalah negara atau pemerintah. Masyarakat kurang menyadari
bahwa apabila negara atau pemerintah yang dirugikan, maka secara pasti hal itu
juga merugikan masyarakat sendiri.

c) Masyarakat Kurang Menyadari Bahwa Masyarakat Sendiri Terlibat Dalam Setiap


Praktik Korupsi
Pada umumnya masyarakat beranggapan bahwa apabila terjadi perbuatan korupsi,
yang terlibat dan yang harus bertanggung jawab adalah aparat pemerintahnya.
Masyarakat kurang menyadari bahwa pada hampir setiap perbuatan korupsi, yang
terlibat dan mendapatkan keuntungan adalah termasuk anggota masyarakat tertentu.
Jadi tidak hanya aparat pemerintah saja.

d) Masyarakat Kurang Menyadari Bahwa Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi


Hanya Akan Berhasil Kalau Masyarakat Ikut Aktif Melakukannya Pada umumnya
masyarakat beranggapan bahwa pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan
pemberantasan korupsi adalah pemerintah. Pandangan seperti itu adalah keliru, dan
ini terbukti bahwa selama ini pemberantasan korupsi masih belum berhasil karena
upaya pemberantasan korupsi tersebut masih lebih banyak mengandalkan pemerintah.

C. Hukum Tindak Pidana Korupsi

Tindak pidana korupsi secara harfiah berasal dari kata Tindak Pidana dan Korupsi.
Sedangkan secara yuridis-formal pengertian tindak pidana korupsi terdapat dalam Bab II
tentang tindak pidana korupsi, ketentuan pasal 2 sampai dengan pasal 20, Bab III tentang
tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi sesuai dengan ketentuan
pasal 21 sampai dengan 24 UU PTPK. (Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana:
Perspektif, Teoritis, dan Praktik, Alumni, Bandung, 2008, halaman 186).
Rumusan-rumusan yang terkait dengan pengertian tindak korupsi tersebut tentu saja
akan memberi banyak masukan dalam perumusan UU PTPK, sehingga sanksi hukuman
yang diancamkan dan ditetapkan dapat membantu memperlancar upaya penanggulangan
Tindak Pidana Korupsi.
Beberapa tipe tindak pidana korupsi yang lainnya, antara lain: (Lilik Mulyadi, Bunga
Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoritis, dan Praktik, Alumni, Bandung, 2008,
halaman 186).

a) Tindak Pidana Korupsi Tipe Pertama Tindak pidana korupsi tipe pertama terdapat
dalam Pasal 2 UU PTPK yang menyebutkan bahwa: Setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan denda paling sedikit dua ratus juta rupiah dan
paling banyak satu milyar rupiah. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.

b) Tindak Pidana Korupsi Tipe Kedua Korupsi tipe kedua diatur dalam ketentuan
pasal 3 UU PTPK yang menyebutkan bahwa: Setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit lima puluh juta rupiah dan paling
banyak satu milyar rupiah.

c) Tindak Pidana Korupsi Tipe Ketiga Korupsi tipe ketiga terdapat dalam ketentuan
pasal 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 12A, 12B, 12C dan 13 UU PTPK, berasal dari pasal-pasal
KUHP yang kemudian sedikit dilakukan modifikasi perumusan ketika ditarik menjadi
tindak pidana korupsi sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dengan
menghilangkan redaksional kata “Sebagaimana dimaksud dalam pasalpasal….KUHP”
seperti formulasi dalam ketentuan Undang-Undang nomor 31 tahun 1999. Apabila
dikelompokkan, korupsi tipe ketiga dapat dibagi menjadi 4, yaitu:
1) Penarikan perbuatan yang bersifat penyuapan, yakni pasal 209, 210, 418, 419, dan
Pasal 420 KUHP.
2) Penarikan perbuatan yang bersifat penggelapan, yakni pasal 415, 416, dan pasal
417 KUHP.
3) Penarikan perbuatan yang bersifat kerakusan (knevelarij, extortion), yakni pasal
423, dan 425 KUHP.
4) Penarikan perbuatan yang berkolerasi dengan pemborongan, leverensir dan
rekanan, yakni pasal 387, 388, dan 435 KUHP.
d) Tindak Pidana Korupsi Tipe Keempat Korupsi tipe keempat adalah tipe korupsi
percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat serta pemberian kesempatan sarana
atau keterangan terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh orang diluar
wilayah Indonesia (Pasal 15 dan Pasal 16 UU PTPK). Konkritnya, perbuatan
percobaan/poging sudah diintrodusir sebagai tindak pidana korupsi oleh karena
perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga
menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut
efisiensi tinggi sehingga percobaan melakukan tindak pidana korupsi dijadikan delik
tersendiri dan dianggap selesai dilakukan. Demikian pula mengingat sifat dari tindak
pidana korupsi itu, permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi
meskipun masih merupakan tindak persiapan sudah dapat dipidana penuh sebagai
suatu tindak pidana tersendiri.
e) Tindak Pidana Korupsi Tipe Kelima Korupsi tipe kelima ini sebenarnya bukanlah
bersifat murni tindak pidana korupsi, tetapi tindak pidana lain yang berkaitan dengan
tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Bab III Pasal 21 sampai dengan
Pasal 24 UU PTPK. Apabila dijabarkan, hal-hal tersebut adalah:

1) Dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau


tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi.

2) Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau
Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan
yang tidak benar.

3) Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429 atau Pasal 430 KUHP.
Ketentuan mengenai sanksi pidana yang diatur dalam Bab III Pasal 21- 24 UU PTPK
tersebut berturut-turut dari poin (a) sampai (d) adalah sebagai berikut:

a) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam
ratus juta rupiah).
b) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam
ratus juta rupiah).
c) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah).
d) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda
paling banyak Rp 150.000.000,000 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pengertian Tindak Pidana Korupsi juga diatur dalam Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001, yaitu:

a) Tindak pidana korupsi yaitu bahwa setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya dirisendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negaraatau perekonomian
negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup ataupidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahundan denda
paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyakPp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)(Pasal 2 ayat (1)Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999).

b) Pasal 3: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri


atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana
….”. Ketentuan lain yang mengatur tentang tindak pidana korupsi yaitu:

a. Barangsiapa melakukan tindak pidana tersebut dalam KUHP yang ditarik


sebagai tindak pidana korupsi, yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 rumusannya diubah dengan tidak mengacu pasal-pasal dalam
KUHP tetapi langsung menyebutkan unsurunsur yang terdapat dalam masing-
masing Pasal KUHP.

b. Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam


Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi).

Anda mungkin juga menyukai