3.Nurul Falaha
4.Siti Maysaroh
5.Leni Sarasanti
Bedasarkan pancasila sila kedua Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, maka adil
yang dimaksud adalah perlakuan adil kepada warga negara tanpa pandang bulu. Manusia
pada hakikatnya sama harkat dan martabatnya termasuk pula manusia sebagai warga negara,
Karena itu hendaknya penyelenggara negara menjamin perlakuan yang adil terhadap warga
negaranya. Hal ini tercermin pasal 27 ayat (1) UUD 1945 bahwa segala warga negara
bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Sila kelima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat indonesia mengandung makna adil
dalam pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. Hasil pembangunan dan kekayaan bangsa
hendaknya dinikmati secara adil dan menyeluruh oleh seluruh lapisan masyarakat.
Pembangunan dan kekayaan alam tidak boleh dinikmati segelintir orang, sebab hal tersebut
dapat menimbulkan kesenjangan, perasaan iri dan kemiskinan. Sesuai dengan sila
kelima tersebut maka kedilan yang harus terwujud dalam kehidupan bangsa adalah :
Dilihat dari kenyataan yang ada, Indonesia sebagai negara hukum memang sudah
terwujud terbukti dengan telah adanya Undang-Undang yang mengatur kehidupan bernegara.
Tetapi pada penerapannya didalam kehidupan bernegara itu sendiri belum terlaksana dengan
baik. Terbukti dengan banyaknya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
segelintir orang namun hukum baginya tidak berjalan dengan semestinya. Hukum pada saat
ini lebih memihak kepada mereka yang memiliki kedudukan.
B. Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, agar dalam penulisan ini penulis
mendapatkan hasil yang diinginkan, maka penulis mengemukakan beberapa perumusan
masalah. Rumusan masalah itu adalah :
1. Apakah yang dimaksud dengan Nilai, Moral dan Hukum?
2. Bagaimanakah penerapan Nilai, Moral dan Hukum di Indonesia?
3. Apakah solusi yang tepat untuk permasalahan Nilai, Moral dan Hukum di Indonesia?
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
1. Karena bentuk sanksi dari norma agama, kesusilaan dan kesopanan belum cukup
memuaskan dan efektif untuk melindungi keteraturan dan ketertiban masyarakat.
2. Masih banyak perilaku lain yang belum di atur dalam norma agama, kesusilaan dan
kesopanan, misalnya perilaku dijalan raya.
Norma hukum berasal dari norma agama, kesusilaanan & kesopanan. Isi ketiga norma
tersebut bisa diangkat sebagai norma hukum.
1. Norma Agama. Sanksi yang diberikan tidak secara langsung, tapi hukuman dari Sang
pencipta pada hari akhir nanti.
Nilai erat hubungannya dengan manusia, dalam hal etika maupun estetika. Manusia
sebagai makhluk yang bernilai akan memaknai nilai dalam dua konteks, pertama akan
memandang nilai sebagai sesuatu yang objektif, apabila dia memandang nilai itu ada
meskipun tanpa ada yang menilainya. Kedua, memandang nilai sebagai sesuatu yang
subjektif, artinya nilai sangat tergantung pada subjek yang menilainya.
Dua kategori nilai itu subjektif atau objektif:
Pertama, apakah objek itu memiliki nilai karena kita mendambakannya, atau kita
mendambakannya karena objek itu memiliki nilai
Kedua, apakah hasrat, kenikmatan, perhatian yang memberikan nilai pada objek, atau kita
mengalami preferensi karena kenyataan bahwa objek tersebut memiliki nilai mendahului dan
asing bagi reaksi psikologis badan organis kita (Frondizi, 2001, hlm. 19-24).
Perbedaan antara kedua kualitas ini adalah pada keniscayaannya, kualitas primer harus ada
dan tidak bisa ditawar lagi, sedangkan kualitas sekunder bagian eksistesi objek tetapi
kehadirannya tergantung subjek penilai. Nilai bukan kualitas primer maupun sekunder sebab
nilai tidak menambah atau memberi eksistensi objek. Nilai bukan sebuah keniscayaan bagi
esensi objek. Nilai bukan benda atau unsur benda, melainkan sifat, kualitas, yang dimiliki
objek tertentu yang dikatakan “baik”. Nilai milik semua objek, nilai tidaklah independen
yakni tidak memiliki kesubstantifan.
Menilai berarti menimbang, yaitu kegiatan manusia menghubungkan sesuatu dengan sesuatu
yang lain, yang selanjutnya diambil sebuah keputusan, nilai memiliki polaritas dan hierarki,
yaitu:
1. Nilai menampilkan diri dalam aspek positif dan aspek negatif yang sesuai (polaritas)
seperti baik dan buruk, keindahan dan kejelekan.
2. Nilai tersusun secara hierarkis, yaitu hierarki urutan pentingnya.
Ada beberapa klasifikasi nilai yaitu klasifikasi nilai yang didasarkan atas pengakuan,
objek yang dipermasalahkan, keuntungan yang diperoleh, tujuan yang akan dicapai,
hubungan antara pengembangan nilai dengan keuntungan, dan hubungan yang dihasilkan
nilai itu sendiri dengan hal lain yang lebih baik. Sedangkan Max Scheller berpendapat
bahwa hierarki terdiri dari, nilai kenikmatan, kehidupan, kejiwaan, dan nilai kerohanian.
Dan masih banyak lagi klasifikasi lainnya dari para pakar, namun adapula pembagian
hierarki di Indonesia (khususnya pada masa dekade Penataran P4), yakni, nilai dasar,
nilai instrumental, dan yang terakhir nilai praksis.\
Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living
law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-
nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut.
Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam
ilmu hukum, terdapat adagium yang terkenal yang berbunyi: “Ubi societas ibi jus” (di mana
ada masyarakat di situ ada hukumnya). Artinya bahwa dalam setiap pembentukan suatu
bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat, maka selalu akan dibutuhkan bahan yang
bersifat sebagai “semen perekat” atas berbagai komponen pembentuk dari masyarakat itu,
dan yang berfungsi sebagai “semen perekat” tersebut adalah hukum.
Untuk mewujudkan keteraturan, maka mula-mula manusia membentuk suatu struktur tatanan
(organisasi) di antara dirinya yang dikenal dengan istilah tatanan sosial (social order) yang
bernama: MASYARAKAT. Guna membangun dan mempertahankan tatanan sosial
masyarakat yang teratur ini, maka manusia membutuhkan pranata pengatur yang terdiri dari
dua hal: aturan (hukum) dan si pengatur (kekuasaan).
Meskipun hubungan hukum dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap
berbeda, sebab dalam kenyataannya mungkin ada hukum yang bertentangan dengan moral
atau ada undang-undang yang immoral, yang berarti terdapat ketidakcocokan antara hukum
dengan moral.
Kualitas hukum terletak pada bobot moral yang menjiwainya. Tanpa moralitas hukum
tampak kosong dan hampa (Dahlan Thaib,h.6). Namun demikian perbedaan antara hukum
dan moral sangat jelas.
1. Hukum lebih dikodifikasikan daripada moralitas, artinya dibukukan secara sistematis
dalam kitab perundang-undangan. Oleh karena itu norma hukum lebih memiliki kepastian
dan objektif dibanding dengan norma moral. Sedangkan norma moral lebih subjektif dan
akibatnya lebih banyak ‘diganggu’ oleh diskusi yang yang mencari kejelasan tentang yang
harus dianggap utis dan tidak etis.
2. Meski moral dan hukum mengatur tingkah laku manusia, namun hukum membatasi diri
sebatas lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap batin seseorang.
3. Sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi yang berkaitan dengan
moralitas. Hukum untuk sebagian besar dapat dipaksakan,pelanggar akan terkena hukuman.
Tapi norma etis tidak bisa dipaksakan, sebab paksaan hanya menyentuh bagian luar,
sedangkan perbuatan etis justru berasal dari dalam. Satu-satunya sanksi dibidang moralitas
hanya hati yang tidak tenang.
4. Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akirnya atas kehendak negara.
Meskipun hukum tidak langsung berasal dari negara seperti hukum adat, namun hukum itu
harus di akui oleh negarasupaya berlaku sebagai hukum. Dengan cara demokratis atau
dengan cara lainmasyarakat dapat mengubah hukum, tapi masyarakat tidak dapat mengubah
atau membatalkan suatu norma moral. Moral menilai hukum dan tidak sebaliknya.
1. Dilihat dari dasarnya, hukum memiliki dasar yuridis, konsesus dan uhkum alam
sedangkan moral berdasarkan hukum alam.
2. Dilihat dari otonominya hukum bersifat heteronom (datang dari luar diri manusia),
sedangkan moral bersifat otonom (datang dari diri sendiri).
4. Dilihat dari sanksinya hukum bersifat yuridis. moral berbentuk sanksi kodrati, batiniah,
menyesal, malu terhadap diri sendiri.
5. Dilihat dari tujuannya, hukum mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan bernegara,
sedangkan moral mengatur kehidupan manusia sebagai manusia.
6. Dilihat dari waktu dan tempat, hukum tergantung pada waktu dan tempat, sedangkan
moral secara objektif tidak tergantung pada tempat dan waktu (1990,119).
1. Pelanggaran Etik
Kebutuhan akan norma etik di oleh manusia diwujudkan dengan membuat
serangkaian norma etik untuk suatu kegiatan atau profesi.Kode etik profesi berisi ketentuan-
ketentuan normatif etik yang seharusnya dilakukan oleh anggota profesi. Kode etik profesi
dibutuhkan untuk menjaga martabat serta kehormatan profesi dan disisi lain melindungi
masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun penyalahgunaan keahlian. Meskipun
telah memiliki kode etik, masih terjadi pelanggaran terhadap profesi. Contohnya: Dokter
melanggar kode etik kedokteran.
Pelanggaran terhadap kode etik tidak diberikan sanksi lahiriah ataupun yang bersifat
memaksa. Pelanggaran etik biasanya mendapat sanksi etik berupa rasa menyesal, bersalah
dan malu. Bila seorang profesi melanggar kode etik profesinya ia akan mendapatkan sanksi
etik dari lembaga profesi, seperti teguran, dicabut keanggotaannya atau tidak diperbolehkan
lagi menjalani profesi tersebut.
2. Pelanggaran Hukum
Problema hukum yang yang berlaku dewasa ini adalah masih rendahnya kesadaran
hukum masyarakat. Akibatnya banyak tarjadi pelanggaran hukum. Bahkan, pada hal-hal kecil
yang sesungguhnya tidak perlu terjadi. Misalnya, secara sengaja tidak membawa SIM dengan
sengaja dengan alasan hanya untuk sementara waktu.
Bila dicermati, ada beberapa hal yang menyebabkan lemahnya penegakan hukum,
antara lain :
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Problematika Nilai, Moral dan Hukum yang terjadi di masyarakat yaitu banyaknya
pelanggaran terhadap norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma hukum.
B. Saran
Kita sebagai mahasiswa hendaknya menjalani kehidupan bermasyarakat dan bernegara sesuai
dengan koridor yang telah ditentukan agar tidak timbul problematika dalam hukum.