Anda di halaman 1dari 2

2040 PULAU JAWA KEHABISAN AIR

Penyebab
Heru Santoso, peneliti senior di Pusat Geoteknologi LIPI, menyebut curah hujan di
Jawa cenderung terus berkurang sekitar 3%. Menurutnya penurunan itu tidak lebih
berdampak pada ketersediaan air ketimbang tren peningkatan temperatur udara. "Karena
kenaikan suhu, sampai mendekati 2 derajat celcius pada tahun 2070, evaporasi atau
penguapan air menjadi tinggi. Itu menyebabkan defisit air." "Perubahan fungsi lahan juga
berpengaruh tapi jauh lebih besar pengaruh perubahan iklim. Kalau tidak ada perubahan
iklim, jumlah air tetap, tinggal diatur misalnya berapa yang dialirkan untuk penduduk,"
tuturnya.
Di sisi lain, Heru memprediksi alih fungsi lahan dari area resapan menjadi
pemukiman dan daerah industri juga mengancam sumber air di Jawa. "Jawa masih menjadi
daerah industri andalan, bahkan ada rencana pembangunan area pantura dan proyek
infrastruktur yang masif, ini tantangan berat." "Upaya menjaga lahan serba salah karena
kebutuhan lahan yang tinggi," ujarnya.
Dalam penelitian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) misalnya, kawasan
tambang di Jawa Timur selama 2012-2016 meningkat dari 80 ribu menjadi 151 ribu hektare.
Mayoritas lahan tambang baru itu disinyalir berada di kawasan hutan. Direktur Walhi Jawa
Timur, Rere Christanto, mengklaim alih fungsi lahan di Kota Batu selama 2001-2015 juga
membabat setengah sumber mata air wilayah tersebut. Tahun 2015, kata Rere, tersisa 51 mata
air di Batu. "Saat tidak ada hujan lebih 100 hari di Jawa Timur, neraca air minus. Tapi itu
diperburuk kebijakan yang justru mengurangi kawasan resapan air." "Ada penjelasan ilmiah
yang bisa menghubungkan bahwa berkurangnya neraca air di Jawa terjadi seiring
berkurangnya kawasan ekologis resapan air," kata Rere.

Upaya
Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, menyatakan potensi krisis air terjadi
akibat peran masyarakat dalam silang sengkarut keterbatasan sumber air dan distribusi air
bersih yang tidak merata. Menurut Bambang, karena tidak terlayani air leding PDAM,
sebagian penduduk Jawa mengambil air tanah lewat sumur bor.
"Selain merusak air tanah, itu juga mengurangi ketersediaan air karena pengambilan
yang tidak terkendali," ujarnya saat ditemui wartawan BBC News Indonesia, Mohamad
Susilo, di London, Juni lalu.
Bambang berkata, untuk mencegah pengambilan air tanah, pemerintah tengah
membangun sistem penyediaan air minum (SPAM) baru di Surabaya dan Semarang.
Targetnya, tahun 2024 ada 10 juta rumah tangga baru yang tersambung air leding PDAM.
Tak hanya itu, meski tidak mudah, Bambang menyebut beban Jawa perlu dikurangi agar
pulau ini tidak benar-benar kehabisan air bersih tahun 2040. Potensi krisis air di Jawa ini
pula yang mendorong Bambang, melalui Bappenas, mewacanakan pemindahan ibu kota dari
Jakarta ke suatu kota di Kalimantan Timur.
"Karena Jawa yang mengalami krisis air, beban Jawa harus dikurangi walau kita tidak
bisa menahan laju pertumbuhan penduduk dan ekonomi," ucapnya.
Sementara itu, proyek pembangunan bendungan merupakan solusi yang diajukan Hari
Suprayogi, Dirjen Sumber Daya Air di Kementerian PUPR. Penampungan air hujan, kata dia,
merupakan kunci ketahanan air.
"Kalau bangun banyak penampungan, orang di Jawa pasti masih bisa minum di
musim kemarau. Tapi ada balapan, berapa pertumbuhan penduduk, berapa untuk pertanian."
"Tampungan air harus dibangun untuk memenuhi kebutuhan. Ketahanan air tercapai kalau
ada pengawetan air, jawabanya penampungan," kata Hari.

Solusi
Menurut laporan Bank Dunia tahun 2005 yang masih terus dikutip pemerintah,
tampungan air per kapita di Indonesia sebesar 52 meter kubik setiap tahun. Sebagai
komparasi, salah satu negara dengan tampungan air terendah adalah Ethiopia (38 meter kubik
per kapita setiap tahun). Adapun, Thailand memiliki 1.277 meter kubik sementara Amerika
Utara mencapai 5.961 meter kubik. Pemerintah menargetkan 65 bendungan baru di seluruh
Indonesia selama 2014-2024. Dari total itu, 12 bendungan anyar dibangun di Jawa.
"Kami sudah punya visi 2030. Pada tahun itu, diharapkan tercapai 120 meter kubik
per kapita per tahun," ujar Hari. Hak atas foto ANTARA/Yulius Satria Wijaya Image caption
Kementerian PUPR menargetkan pembangunan Bendungan di Ciawi dan Sukamahi, Jawa
Barat selesai tahun 2020.
Peneliti senior LIPI, Rachmat Fajar Lubis, menyatakan ancaman krisis air tak akan
berlalu dengan pembangunan penampung air semata. Yang lebih vital, kata dia, adalah
teknologi massal penjernih air.
"Kalau prediksi perubahan iklim benar, bendungan akan tetap kering. Jadi perlu
pemanfaatan air marjinal, yaitu air di sekitar manusia yang tidak pernah dimanfaatkan seperti
air laut, air sungai, air gambut atau air sisa pertambangan." "Jakarta punya 13 sungai yang
mengalir 24 jam. Ciliwung, Grogol, Krukut, semua mengalir tapi tidak digunakan padahal itu
gratis," kata Rachmat.
Meski begitu, Rachmat menilai kebijakan pemerintah belum sepenuhnya menyokong
kajian pemurnian air bersih. Menurutnya, pemerintah menginginkan teknologi yang siap
pakai, tanpa mempertimbangkan waktu dan modal riset."Kalau kita punya teknologi murah
untuk mengolah air laut, tidak usah khawatir krisis. Kita kan negara bahari, tanpa hujan pun
Jawa akan bisa bertahan," ujarnya.
Bagaimanapun, kata Heru Santoso, pakar LIPI lainnya, penyadaran bersama tentang
ancaman krisis air perlu segera digaungkan pemerintah kepada masyarakat. Edukasi itu
disebutnya dapat mendorong perubahan kultur, terutama soal mengapa kita perlu menghemat
air.Heru berkata, krisis air bukan cuma tentang ketersediaan pangan dan air minum, tapi juga
listrik. Ia berkata, suplai energi untuk 150 juta penduduk Jawa terancam terganggu karena 31
pembangkit listrik di pulau itu digerakkan air.
"Saat ini kalau kita bicara bencana, lebih ke tektonik atau vulkanik. Kekeringan
tercatat, tapi belum mendapat perhatian besar karena dianggap masih bisa tertangani."
"Beberapa pemda sekarang menyalurkan bantuan air bersih. Tapi ke depan, dengan ancaman
defisit air yang jauh lebih besar, saya ragu cara ini bisa dilakukan lagi," tuturnya.

Anda mungkin juga menyukai