Anda di halaman 1dari 28

HANDOUT PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

“PLURALISME DAN MULTIKULTURALISME”

Disusun oleh:

Daimul Hasanah, M.Pd.

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS SARJANAWIYATA TAMANSISWA
YOGYAKARTA
2020

i
DAFTAR ISI

COVER ........................................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah.............................................................................. 1
C. Tujuan ................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 2

A. Konsep Pluralisme dan Multikulturalisme ...................................... 2


1. Pengertian Pluralisme....................................................................... 2
2. Pengertian Multikulturalisme ........................................................... 9
3. Perbedaan Pluralisme dan Multikulturalisme .................................. 13
B. Perjalanan Multikulturalisme di Indonesia .................................... 14
1. Paham Sukuisme.............................................................................. 15
2. Sumpah Pemuda 1928 ..................................................................... 16
3. Paham Ideologi ................................................................................ 16
C. Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia ................................. 16
1. Model yang Mengedepankan Nasionalitas ...................................... 18
2. Model Nasionalitas Etnik ................................................................ 18
3. Model Multikultural Etnik ............................................................... 18
D. Multikulturalisme Menjadi Masalah ............................................... 19
1. Masalah Kesetaraan Gender ............................................................ 19
2. Masalah Kesetaraan Bangsa dan Ras .............................................. 21
3. Masalah Ideologi dan Politik ........................................................... 22
4. Masalah Kesenjangan Ekonomi dan Sosial ..................................... 24

BAB III PENUTUPAN .................................................................................. 26

A. Kesimpulan ......................................................................................... 26
B. Kritik dan Saran ................................................................................ 26

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang majemuk dan merupakan suatu
negara multikultur yang memiliki lebih dari satu kebudayaan, tidak
hanya itu Indonesia juga memiliki lebih dari satu suku, ras, agama, dan
golongan. Kebanyakan perbedaan ini sangat berpeluang untuk
memecah belah Indonesia.
Maka dari itu diperlukannya pemahaman mengenai pluralisme dan
multikulturalisme, agar masyarakat mampu saling memahami satu
golongan ke golongan lainya. Dengan diperluasnya konsep pluralisme
dan multikulturalisme ini juga meningkatkan kesadaran masyarakat
agar mampu menjaga toleransi satu sama lain. Dan tidak menyinggung
satu golongan tertentu.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pluralisme dan multikulturalisme?
2. Apa perbedaan pluralisme dan multikulturalisme?
3. Bagaimana perjalanan multikulturalisme di Indonesia?
4. Apa saja masalah multikulturalisme yang sering muncul?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian pluralisme, multikulturalisme.
2. Untuk mengetahui perbedaan pluralisme dan multikulturalisme.
3. Untuk mengetahui perjalanan multikulturalisme di Indonesia.
4. Untuk mengetahui permasalahan apa saja yang sering muncul dalam
hidup multikultural?

1
BAB II
PLURALISME DAN MULTIKULTURALISME

Indonesia adalah sebuah negara yang terdiri atas beraneka ragam


suku bangsa, etnis atau kelompok sosial, kepercayaan, agama, dan
kebudayaan yang berbeda-beda dari daerah satu dengan daerah lain yang
mendominasi khazanah budaya Indonesia.
Dengan semakin beraneka ragamnya masyarakat dan budaya, setiap
individu masyarakat memiliki keinginan yang berbeda-beda. Orang-orang
dari daerah yang berbeda dengan latar belakang yang berbeda, struktur
sosial, dan karakter yang berbeda, memiliki pandangan yang berbeda
dengan cara berpikir dalam menghadapi hidup dan masalahnya. Hal tersebut
dapat menimbulkan konflik dan perpecahan yang hanya berlandaskan emosi
di antara individu masyarakat. Untuk itu, diperlukan paham pluralisme dan
multikulturalisme untuk mempersatukan bangsa.

Apabila kita melihat pedoman dari bangsa Indonesia, yaitu Bhinneka


Tunggal Ika yang memiliki pengertian berbeda-beda tapi tetap menjadi satu,
yang mengingatkan kita betapa pentingnya pluralisme dan multikulturalisme
untuk menjaga persatuan dari kebhinnekaan bangsa. Pedoman itu telah
tercantum pada lambang negara yang di dalamnya telah terangkum dasar
negara kita.

A. Konsep Pluralisme dan Multikulturalisme


1. Pengertian Pluralisme
Dalam ilmu sosial, pluralisme adalahh sebuah kerangka di
dalamnya ada interaksi beberapa kelompok yang menunjukan rasa
saling menghormati dan toleransi satu sama lain.
Secara teoritis, pluralisme merupakan konsep yang
menerangkan ideologi kesetaraan kekuasaan dalam suatu
masyarakat multikultural, yang kekuasaan “terbagi secara merata”

2
di antara kelompok-kelompok etnik yang bervariasi sehingga
mampu mendorong pengaruh timbal balik di antara mereka.
Individu menunjuk pada keterbatasan manusia sebagai
manusia perseorangan, manusia yang membutuhkan manusia
lainnya, manusia sebagai makhluk sosial budaya yang otonom.
Manusia dalam berbagai hal memiliki kesamaannya dengan yang
lain, tetapi dalam banyak hal pula perbedaannya. Sejenis, tetapi
berbeda. Setiap individu memiliki keunikannya sendiri.
Keunikannya ini yang menjadikan tingkat peradaban yang berbeda
sehingga akan menghasilkan diferensiasi sosial.
Keunikan individu menjadi kepribadiannya. Tingkat
kepribadian ini turut menentukan dan mewarnai dunia sosial-
budaya. Kepribadian yang unsurnya pengetahuan, perasaan, dan
naluri kemudia dikelola sedemikian rupa hingga melahirkan budaya,
pola perilaku, dan budaya materi.
Menurut John Gray (Singelis,2003), pada dasarnya
pluralisme mendorong perubahan cara berpikir dari monokultur ke
cara berpikir multikultur. Perubahan cara berpikir ini dianggap
sangat penting untuk mencegah klaim sebuah kebudayaan bahwa
hanya pandangan kebudayaanlah yang paling benar.
Dalam masyarakat multikultur tersebut, kelompok-kelompok
etnik itu dapat menikmati hak-hak mereka yang sama dan seimbang
dapat memelihara dan melindungi diri mereka sendiri karena
mereka menjalankan tradisi kebudayaannya (Suzuki,1984).
Pluralisme berhubungan erat dengan dan menjadi dasar dari
multikulturalisme. Idealnya, suatu masyarakat multikulturalisme
merupakan kelanjutan dari pluralisme. Masyarakat multikulturalsme
biasanya terjadi pada masyarakat plural. Sebaliknya, pluralism
bukan apa-apa tanpa menjadi multikulturalisme. Pengakuan
terhadap pluralism seharusnya meningkat menjadi

3
multikulturalsime. Namun pada kenyataanya, kesejangan selalu ada
antara pengakuan pluralisme dan pelaksanaan multikulturalisme.
a. Makna Pluralisme dalam konsep ilmu pengetahuan (Ilmu
Sosial)
Makna yang pertama, makna pluralism dalam konsep ilmu
pengetahuan (ilmu sosial), yaitu sebagai berikut.
1) Pluralisme merupakan sebuah model “politik” yang
memungkinkan terjadinya perluasan peran individu atau
kelompok yang beragam dalam masyarakat untuk terlibat
dalam proses politik bagi lahirnya demokrasi terbuka. Jika
hal ini tercapai, akan hadir sebuah spektrum sosial atas
kekuasaan yang lebih demokratis karena kekuasaan berada
di tangan beberapa individu dari kelompok yang berbeda-
beda.
2) Pluralisme menggambarkan keadaan masyarakat ketika
setiap individu atau kelompok yang berbeda-beda dapat
memperkaya peran mereka dalam suatu masyarakat sebagai
social fabric.
3) Pluralisme merupakan salah satu pandangan bahwa sebab
dari sebuah peristiwa sosial, misalnya sebab dari sebuah
perubahan sosial, harus dapat diuji melalui interaksi
berbagai faktor , bukan dianalisis dari satu faktor. Beragam
faktor itu adalah faktor kebudayaan.
4) Pluralisme merupakan pandangan postmodern yang
mengatakan bahwa semua kebudyaan manusia harus
dihargai dan diperhatikan. Tidak ada satu kebudayaan (atau
masyarakat) pun yang superior terhadap kebudayaan atau
masyarakat yang lain; bahwa setiap kebudayaan memiliki
kontribusi tertentu terhadap proses memanusiakan orang
lain. Pandangan ini wajar karena pada kenyataannya betapa
sering kita menemukan ada kebudayaan atau seperangkat

4
kebudayaan dari komunitas atau masyarakat tertentu yang
tidak diketahui secara pasti. Pluralismemengklaim bahwa
dalam masyarakat tempat kita hidup bersama tidak ada
kebudayaan yang tidak setara. Oleh karena itu, setiap
kebudayaan harus diakui dan dihargai secara sosial oleh
penduduk yang beragam.

Rumusan istilah yang dapat di tarik dari makna pluralisme di


atas adalah sebagai berikut. Pertama, Pluralisme (Budaya)
menggambarkan kenyataan bahwa dalam masyarakat ada
kelompok-kelompok etnik yang tidak terkulturasi dalam
identitas budaya etnik. Pada umumnya budaya kelompok seperti
ini menampilkan perilaku budaya yang berbeda, misalnya
berbicara bahasa lain dari bahasa etniknya, memeluk agama
yang berbeda dengan mayoritas agama yang dipeluk etniknya,
dan lain-lain. Mereka menampilkan sistem nilai yang berbeda
dari nilai etniknya. Kedua, terbentuk pula pluralism structural
dalam masyarakat yang menggambarkan perbedaan budaya
diantara kelompok-kelompok struktur sosial. Hal itu berarti
meskipun kelompok-kelompok etnik itu memiliki beberapa
unsur budaya yang sama dengan budaya dominan, mereka selalu
tampil dengan budaya yang sama dengan budaya yang dominan,
mereka selalu tampil dengan budaya tertentu (subkultur) ysng
terpisah yang terpisah dari kelompok dominan.

Menurut Suzuki dan Soderquist (1995), dalam pluralisme


terkandung konsep bahwa setiap orang tetap memiliki etnik
tertentu dan tetap mempraktikkan etnisitas sebagai suatu yang
sentral dalam menentukan relasi dengan orang lain dari
kebudayaan dominan. Akhirnya pluralisme sebagai sebuah
ideologi berasumsi bahwa semua “isme” (rasisme, reksisme,
kelasisme) menerapkan pendekatan bagi kehidupan yang

5
harmonis satu sama lain. Bagaimanapun, konsep pluralisme
budaya sangat bertentangan dengan etnisitas yang tunggal.
Sebagaima dikatakan oleh Newman, pluralisme merupakan
gerakan yang berdampak terhadap perubahan struktur sosial
masyarakat, dimulai dari perubahan struktur sosial individu dan
kelompok.

John Gray (Singelis,2003) menegaskan bahwa pada dasarnya


pluralisme mendorong perubahan cara berpikir dan bersifat
universal, untuk mencegah klaim pandangan bahwa ada
kebudayaan yang paling benar. Menurut Gray, semua
kebudayaan itu penting sehingga tidak ada satu kebudayaan pun
yang mengklaim bahwa apa yang dikatakan oleh kebudayaan itu
menjadi rasionalisme atas semua kebudayaan lain. Inilah
argumentasi paling penting dari pluralisme. Dengan demikian,
seorang pluralis harus dan selalu akan mengatakan bahwa
meskipun setiap kebudayaan memiliki norma-norma universal,
dan norma-norma tersebut dapat diberlakukan kapan dan di
mana saja, harus diingat bahwa norma-norma universal itu tidak
lebih baik daripada validitas kearifan budaya sendiri.

b. Makna Pluralisme sebagai Doktrin


Makna yang kedua, pluralisme sebagai doktrin, yaitu sebagai
berikut.
1) Pluralisme adalah doktrin yang menyatakan bahwa dalam
setiap masyarakat tidak ada satu pun “sebab” yang bersifat
tunggal (monism) atau ganda (dualism) bagi terjadinya
perubahan suatu masyarakat. Pluralisme yakin ada banyak
sebab yang dapat mengakibatkan timbulnya gejala sosial
atau perubahan dalam masyarakat.
2) Pluralisme merupakan doktrin yang pada awalnya timbul
sekitar tahun 1980-an. Pemunculan kembali ideologi itu

6
disebabkan tidak ada satupun “gaya simbolis budaya” yang
mampu menyiptakan dominasi budaya dalam suatu
masyarakat yang beragam.
3) Konsep pluralisme dimaknai oleh pemerintah sebagai proses
melakukan bargaining atau kompromi terhadap para
pemimpin dan beragam kelompok (etnis dan rasa tau
kelompok lainnya) yang bersaing dalam bidang bisnis,
tenaga kerja, pemerintahan, dan lain-lain.

Pluralisme dianjurkan sebagai jalan terbaik untuk melayani


atau sebuah proses yang mendorong lainnya demokrasi paling
ideal dalam masyarakat yang semakin modern dan kompleks
agar setiap individu atau kelompok dapat berpartisipasi dalam
setiap keputusan.

Adapun prinsip pluralisme adalah perlindungan terhadap hak


individu dan kelompok melalui peraturan dan perundang-
undangan hak individu dan kelompok melalui peraturan dan
perundang-undangan dengan memberikan kemungkinan
terjadinya check and balances. Dalam arti luas, konsep ini
menjelaskan bahwa tidak ada satu kelompok pun yan
menduduki keputusan selama-lamanya. Kekuasaan itu selalu
berganti; sekurang-kurangnya pergantian itu dilakukan melalui
pengaruh individu atau kelompok terhadap kelompok yang
berkuasa dalam proses pengambilan keputusan.

c. Makna Pluralisme dihubungkan dengan konsep Lain

Makna pluralisme jika dihubungkan dengan konsep lain,


yaitu sebagai berikut.

1) Pluralisme (ethnic); pluralisme etnik adalah konsistensi atau


pengakuan terhadap kesetaraan sosial dan budaya antara
beragam kelompok etnik yang ada dalam suatu masyarakat.

7
2) Pluralisme (political); pluralisme politik merupakan
konsistensi atau pengakuan terhadap kesetaraan dalam
distribusi kekuasaan pada berbagai kelompok interest,
kelompok penekan, kelompok etnik dan ras, organisasi dan
lembaga politik dalam masyarakat. Struktur kekuasaan yang
pluralistik (pluralistic power structure) merupakan sebuah
sistem yang mengatur pembagian hak kepada semua
kelompok yang beragam dalam suatu masyarakat untuk
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.
3) Pluralisme media, menurut Liliweri (2003), dalam studi
media (media studies), antara lain sebagai berikut.
a) Pluralisme merupakan pandangan bahwa media massa
memiliki kebebasan dan kemerdekaan yang sangat besar
dan akui oleh negara, partai politik, dan kelompok-
kelompok penekan dalam masyarakat.
b) Media massa harus dipandang sebagai media untuk
melakukan kontrol sosial. Oleh karena itu, media harus
dikelola oleh sebuah manajemen yang professional
sehingga dapat menjalankan tugas dan fungsi yang ideal
bagi kebebasan dan kemerdekaan berpendapat rakyat.
c) Dalam pandangan pluralisme media, audensi tidak boleh
dilihat sebagai sasaran yang dapat dimanipulasi media.
Audensi harus dipertimbangkan dalam relaksi yang
setara dengan media karena audensi merupakan sumber
pemberitaan dan sasaran bisnis.
d) Pluralisme juga memandang bahwa media massa
merupakan agen terciptanya kebebasan berpendapat dari
suatu masyarakat demografis. Oleh sebab itu, institusi
media harus dibiarkan bebas untuk mengontrol
pemerintah dan berhubungan dengan audiens ketika

8
audiens bebas memilih informasi yang bermanfaat bagi
mereka.
2. Multikulturalisme
Multikulturalisme adalah sebuah filosofi yang kadang-
kadang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya
persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan
status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah
multikulturalisme juga sering digunakan untuk menggambarkan
kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu
negara.
Secara etimologis multikulturalisme terdiri atas kata multi
yang berarti plural, dan cultural yang berarti kebudayaan, dan isme
yang berarti aliran atau kepercayaan. Jadi, multikulturalisme secara
sederhana adalah paham atau aliran tentang budaya yang plural.
Dalam pengertian yang lebih mendalam istilah
multikulturalisme bukan hanya pengakuan tentang budaya (kultur)
yang beragam, melainkan juga pengakuan terhadap budaya (kultur)
yang beragam, melainkan juga pengakuan yang memiliki implikasi-
implikasi politik, sosial, ekonomi, dan lainnya. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, multikulturalisme adalah gejala pada seseorang
atau suatu masyarakat yang ditandai oleh kebiasaan menggunakan
lebih dari satu kebudayaan.
Adapun dalam kamus sosiologi, multiculturalisme adalah
perayaan keberagaman budaya dalam masyarakat-keragaman yang
biasanya dibawa melalui imigrasi. Inggris telah menjadi masyarakat
multikultural, kecuali untuk semacam keenganan atau ambi valensi.
Kebijakan multikultural di Inggris terwujud dalam respons yang
defensive terhadap migrasi dan bukan afirmasi yang positif terhadap
keragaman budaya. Sebaliknya, di Amerika Serikat, populasi
terlepas dari komunitas penduduk asli Amerika secara keseluruhan

9
tersusun dari kaum migran atau keturunan migran dari belahan
dunia lain.
Konsep tentang multikulturalisme, sebagaimana konsep-
konsep ilmu sosial dan kemanusiaan yang tidak bebas nilai, tidak
luput dari pengayaan ataupun penyesuaian ketika dikaji untuk
diterapkan. Demikian pula, konsep ini masuk ke Indonesia, yang
dikenal dengan sosok keberagamannya.
S. Saptaatmaja (1996) mengemukakan bahwa
multikulturalisme bertujuan untuk kerjasama, kesederajatan, dan
mengapresiasi dunia yang kian kompleks dan tidak monokultur lagi.
Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk
menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan
didunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang
penerimaan terhadap realitas keragaman, dan berbagai macam
budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat
menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang
mereka anut.
Multikulturalisme berhubungan dengan kebudayaan dan
kemungkinan konsepnya dibatasi dengan muatan nilai atau
memiliki kepentingan tertentu.
Multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia
yang dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan
yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keagamaan,
pluralitas, dan multicultural yang terdapat dalam kehidupan
masyarakat multikulturalisme dapat pula dipahami sebagai
pandangan dunia yang diwujudkan dalam kesadaran politik
(Azyumardi Azra, 2007).
Masyarakat multicultural adalah masyarakat yang terdiri atas
beberapa macam komunitas budaya dengan segala kelebihannya,
dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem
arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat, dan kebiasaan (A

10
Multicultural society, then is one that includes several cultural
communities with their over lapping but none the less distinc
conception of the world, sistem of [meaning, values, forms of social
organizations, historis, customs and practices; Parekh,1997 yang
dikutip dari Azra,2007).
Multikulturalisme mencakup suatu pemahaman,
penghargaan, dan penilaian atas budaya seseorang, serta suatu
penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain
(Lawrence Blumm, dikutip Lubis, 2006:174).
Multikulturalisme merupakan sebuah ideologi yang
mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik
secara individual maupun secara kebudayaan (Suparlan, 2002,
merangkum Fay, 2006; Jari dan Jary, 1991; Watson, 2002).
Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang,
kebijakan, penyikapan, dan tindakan oleh masyarakat suatu negara
yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama, dan sebagainya,
tetapi memiliki cita-cita untuk mengembangkan semangat
kebangsaan yang sama dan memiki kebanggaan untuk
mempertahankan kemajemukan tersebut (A. Rifai Harahap, 2007,
mengutip M. Atho’ Muzhar).
Berdasarkan pengamatan Parsudi Suparlan (2002), konsep
multikulturalisme tidak dapat disamakan dengan konsep
kanekaragaman secara suku bangsa (ethnic group) atau kebudayaan
suku bangsa (ethnic culture) yang menjadi ciri masyarakat
majemuk. Hal itu disebabkan multikulturalisme menekankan
keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan.
Keanekaragaman (pluralisme) itu terletak atau adanya lebih
dahulu dari atau cikal bakal dari multikulturalisme. Jadi, masyarakat
multicultural adalah masyarakat yang berifat majemuk atau
beragam dalam kesukubangsaan atau etnisitas (ethnicity), dan yang
menerima dan menghargai keanekaragaman yang di dalamnya

11
terdapat perbedaan, misalnya budaya, nilai-nilai budaya, pendapat
atau ide yang berkaitan dengan keberagaman fisik sebagai suatu
realitas yang ada. Dengan konsep ini multikulturalisme lebih
dipandang dan seharusnya diperlakukan sebagai ideologi, bukan
sebagai prinsip sebagaimana pluralisme telah diperlakukan.
Petter Wilson (1967) mengartikan multikulturalisme setelah
melihat peristiwa di Amerika, “Di Amerika, multicultural muncul
karena kegagalan pemimpin dalam mempersatukan orang berkulit
putih”. Dari sini dapat diambil sebuah sintesis bahwa konsep
multicultural Petter Wilson semata-mata merupakan kegagalam
dalam mempersatukan kelompok etnis tertentu. Kemudian, masalah
penghambatan proses integrasi budaya ini berujung pada kegagalan
atau kesalahan perspektif tentang kesatuan budaya (unikultural).
Yang seharusnya tidak berarti kemajemukan harus dipaksakan
untuk menjadi satu. Akan tetapi, perbedaan itu harus menjadi
kekuatan yang kompleks untuk bersatu dan berjalan bersama tanpa
adanya konflik.
Adanya sebuah konsensus Neo Liberal, yaitu datang
berdasarkan kepentingan ekonomi liberalism. Selain itu, juga
menjadi faktor penghambat integrasi bangsa.
Adapun menurut Kenan Malik (1998), multikulturalisme
merupakan produk dari kegagalan politik di negara Barat pada
tahun 1960-an. Kemudian, kegagalan perang dingin pada tahun
1989, kegagalan dunia Marxisme, kegagalan gerakan LSM di Asia
Tengagara yang menemukan konsep multikulturalisme sebenarnya.
Jalan keluar dari semua itu adalah sebuah keadilan yang
masih berpegang pada keanekaragaman budaya yang sejati.
Sejarah multikulturalisme dimulai ketikadijadikan kebijakan
resmi di negara-negara berbahasa Inggris. Dimulai di Kanada pada
tahun 1971, kebijakan ini kemudian diadopsi oleh sebagian besar
anggota Uni Eropa sebagai kebijakan resmi dan sebagai konsensus

12
sosial di kalangan elite. Akan tetapi, beberapa tahun terakhir ini,
beberapa negara di Eropa, seperti Belanda dan Denmark mulai
mengubah kebijakan kebudayaan mereka kea rah monokulturalisme
juga muncul di beberapa negara di Eropa lainnya, seperti Britania,
Prancis, dan Jerman.
3. Perbedaan pluralisme dan multikulturalisme
Pendapat para ahli tentang perbedaan pluralisme dengan
multikulturalisme, antara lain sebagai berikut.
a. Menurut Al Khawarizmi (1998), konsep pluralitas
mengandaikan adanya “hal-hal yang lebih dari satu” (many),
keragaman menunjukkan bahwa keberadaan yang lebih dari
satu itu berbeda-beda, heterogen, bahkan tidak dapat
disamakan.
Adapun konsep multikulturalisme adalah sebuah pandangan
dunia yang pada akhirnya diimplementasikan dalam kebijakan
tentang kesediaan menerima kelompok lain secara sama
sebagai kesatuan, tanpa memedulikan perbedaan budaya,
etnik, gender, bahasa, ataupun agama.
Berdasarkan konsep tersebut dapat disimpulkan bahwa
pluralitas adalah bentuk, sedangkan multikultur adalah
pengakuan dari perbedaan bentuk. Dengan demikian,
hubungan antara pluralitas dan multikultur tidak dapat
dipisahkan begitu saja. Di Indonesia makna dari kedua kata
tersebut masih rancu dan kadang-kadang disamakan.
Pengertian konsep tersebut dapat menekankan pengertian dari
pluralitas dan multikultur
b. Pluralisme adalah paham yang memberikan ruang nyaman
bagi paradigma perbedaan sebagai salah satu entitas mendasar
kemanusiaan seorang manusia. Adapun multikulturalisme
adalah sebuah keyakinan yang mengakui pluralisme kultur

13
sebagai corak kehidupan masyarakat ( Parsudi Suparlan,
2001).
c. Menurut R.J. Mouw dan S. Griffon (Syahrial Syarbaini,
Rusdiyanta,2009:114), pluralisme berasal dari kata plural
(inggris) yang berarti jamak, dala arti ada keanekaragaman
dalam masyarakat, ada banyak hal lain di luar kelompok kita
yang harus diakui.
Lebih luas lagi, pluralisme adalah sebuah ism atau aliran
tentang pluralitas (S. Ma’arif, 2005:11). Pluralisme dapat
dikatakan sebagai paham yang mengakui adanya perbedaan
antara suku bangsa, agama, budaya, dan lain-lain.
Selain itu, pluralisme juga mengakui adanya kemajemukan
dan dalam masyarakat puralisme ada perbedaan perlakuan,
baik antara anggota maasyarakat mapun antara kelompok
masyarakat, ada dominasi yang kuat kepada yang lemah,
dominasi mayoritas kepada minoritas sehingga sering terjadi
konflik.
Adapun multikulturalisme menuntut masyaakat untuk hidup
penuh toleransi, saling pengertian antarbudaya dan
antarbangsa dalam membina suatu dunia baru.
B. Perjalanan Multikulturalisme di Indonesia
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang multikulturalisme apakah
menjadi faktor perpecahan ataukah justru menjadi pemersatu suatu
bangsa, yang hal harus diwaspadai adalah munculnya perpacahan etnis,,
budaya, dan suku dalam tubuh bangsa kita.
Bangsa Indonesia memiliki bermacam-macma kebudayaan yang
dibawa oleh banyak suku, dan adat istiadat yang tersebar di seluruh
Nusantara. Dari Sabang sampai Merauke kita telah mengenal suku yang
majemuk, seperti suku Jawa, Madura, Batak, Dayak, Asmat, dan
lainnya. Semua itu memiliki keunggulan dan tradisi yang berbeda satu
dengan yang lainnya.

14
Bangsa kita sangat kaya dengan suku, adat istiadat, budaya, bahasa,
dan khazanah yang lain ini. Apakah hal tersebut menjadi sebuah
kekuatan bangsa ataukah justru berbalik menjadi faktor pemicu
timbulnya disintegrasi bangsa? Seperti yang telah diramalkan
Huntington, keanekaragaman di Indonesia ini harus diwaspadai. Hal itu
disebabkan telah banyak kejadian yang menyulut pada perpecahan,
yang disebabkan telah banyak kejadian yang menyulut pada
perpecahan, yang disebabkan adanya paham sempit tentang keunggulan
suku tertentu.
1. Paham Sukuisme
Paham sukuisme sempit akan membawa pada perpecahan,
seperti konflik di Timor-Timur, di Aceh, di Ambon, dan yang
lainnya. Konflik itu dapat muncul karena perselisihan diantara
masyarakat atau provokator yang sengaja menjadi penyulut konflik
karena tidak menginginkan Indonesia yang utuh dan kukuh dengan
keanekaragamannya. Oleh sebab itu, kita harus berusaha agar ke-
bhinneka-an ini tidak sampai meretas simpul-simpul persatuan yang
telah diikat dengan paham kebangsaan oleh Bung Karno dan para
pejuang kita.
Hal ini disadari oleh para founding father kita sehingga
mereka merumuskan konsep multikulturalisme ini dengan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika, sebuah konsep yang mengandung
makna yang luar biasa, baik secara eksplisit maupun implisit.
Secara eksplisit, semboyan ini mampu mengangkat dan
menunjukkan keanekaragaman bangsa kita.
Bangsa yang multikultural dan beragam, tetapi bersatu dalam
kesatuan yang kukuh. Selain itu, secara implisit Bhinneka Tunggal
Ika juga mampu memberikan dorongan moral dan spiritual kepada
bangsa Indonesia, khususnya pada masa pasca-kemerdekaan untuk
senantiasa bersatu melawan ketidakadilan para penjajah walaupun
berasal dari suku, agama, dan bahasa yang berbeda,

15
2. Sumpah Pemuda pada Tahun 1928
Munculnya Sumpah Pemuda pada tahun 1928 merupakan
kesadaran akan perlunya mewujudkan perbedaan sekaligus untuk
membina persatuan dan kesatuan dalam menghadapi penjajah
Belanda yang kemudian dikenal sebagai cikal bakal munculnya
wawasan kebangsaan Indonesia, Multikulturalisme juga tetap
dijunjung tinggi pada waktu persiapan kemerdekaan, antara lain
dalam sidang-sidang BPUPKI. Para pendiri republik ini sangat
mengharagai pluralisme, perbedaan (multikulturalisme, baik dalam
konteks sosial maupun politik. Pencoretan “tujuh kata” dalam
Piagam Jakarta pun dapata dipahami dalam konteks menghargai
sebuah multikulturalisme dalam arti luas.
3. Paham Ideologi
Sebuah ideologi yang diharapkan mampu menjadi jalan
tengah sekaligus jembatan yang menghubungkan terjadinya
perbedaan dalam negara Indonesia, yaitu Pancasila, seharusnya
mampu mengakomodasi seluruh kepentingan kelompok sosial yang
multikultural, multietnis, dan agama. Dalam hal ini Pancasila harus
terbuka, memberikan ruang terhadap berkembangnya ideologi sosial
politik yang pluralistic.
Pancasila adalah ideologi terbuka dan tidak boleh mereduksi
pluralitas ideologi sosial -politik, etnis dan budaya. Melalui
Pancasila seharusnya dapat ditemukan sintesis harmonis antara
pluralitas agama, multicultural, kemajemukan etnis budaya, dan
ideologi sosial politik agar terhindar dari segala bentuk konflik
yang hanya akan menjatuhkan martabat kemanusiaan.
C. Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia
Sejak reformasi dicanangkan pada tahun 1998 di Indonesia, jika kita
menggunakan angka tahun itu sebagai titik tolak isu-isu politik
kebudayaan mengemukakan dan berkembang cepat. Salah satunya
adalah isu multikulturalisme yang diduga dapat menjadi perekat baru

16
integrasi bangsa. Integrasi nasional yang selama ini dibangun
berdasarkan politik kebudayaan seragam dianggap tidak lagi relevan
dengan kondisi dan semangat demokrasi global yang juga meningkat
sejalan dengan reformasi tersebut.
Desentralisasi kekuasaan dalam bentuk otonomi daerah sejak 1999
adalah jawaban bagi tuntutan demokrasi tersebut. Namun, desentralisasi
sebagai keputusan politik nasional disadari tidak begitu produktif
apabila dilihat dari kacamata integrasi nasional suatu bangsa besar yang
isinya beraneka ragam suku bangsa, agama, kondisi geografi,
kemampuan ekonomi, dan ras.
Pada masa lalu, kekuatan pengikat keanekaragaman adalah politik
sentralisasi yang berpusat pada kekuasaan pemerintah yang otoritarian.
Pada masa kini apabila konsepsi multikulturalisme itu digarap lebih
jauh, selain dari keanekaragaman di atas, juga persoalan mayoritas-
minoritas, dominan tidak dominan yang juga mengandung kompleksitas
persoalan.
Masalah model; mengikuti Bikhu Parekh (2001) Rethinking
Multiculturalism, Harvard University Press, bahwa istilah
multikulturalisme mengandung tiga komponen, yang berkaitan dengan
kebudayaan. Konsep ini merujuk pada pluralitas kebudayaan, dan cara
tertentu untuk merespons pluralitas itu.
Oleh karena itu, multikulturalisme bukanlah doktrin politik
pragmatik, melainkan cara pandang kehidupan manusia karena hampir
semua negara di dunia tersusun dari aneka ragam kebudayaan, artinya
perbedaan menjadi asasnya dan gerakan manusia dari satu tempat ke
tempat lain di muka bumi semakin intensif, multikulturalisme harus
diterjemahkan dalam kebijakan multikultural sebagai politik
pengelolaan perbedaan kebudayaan warga negara. Akan tetapi, yang
masih jadi pertanyaan, model kebijakan multikultural seperti apa yang
dapat dikembangkan oleh suatu negara seperti Indonesia?

17
Sedikitnya ada tiga model kebijakan multikultural negara untuk
menghadapi persoalan di atas. Model-model tersebut, yaitu sebagai
berikut.
1. Model Yang Mengedepankan Nasionalitas
Nasionalitas adalah sosok baru yang dibangun bersama tanpa
memerhatikan aneka ragam suku bangsa, agama, dan bahasa.
Nasionalitas bekerja sebagai perekat integrasi.
Dalam kebijakan ini setiap orang bukan kolektif berhak
untuk dilindungi negara sebagai warga negara. Model ini dipandang
sebagai penghancur akar kebudayaan etnik yang menjadi dasar
pembentukan negara dan menjadikannya hanya sebagai masa
lampau. Model kebijakan multicultural ini dikhawatirkan terjerumus
ke dalam kekuasaan otoritarian karena kekuasaan untuk menentukan
unsure-unsur integrasi nasional berad di tangan kelompok elite
tertentu.
2. Model Nasionalisme Etnik
Model ini berdasarkan kesadaran kolektif etnik kuat yang
landasannya adalah hubungan darah dan kekerabatan dengan para
pendiri nasional (founders). Selain itu, kesatuan bahasa juga
merupakan ciri nasional-etnik ini. Model ini dianggap sebagai model
tertutup Karen aorang yang tidak memiliki hubungan darah dengan
etnis pendiri nasional akan tersingkir dan diperlakukan sebagai
orang asing.
3. Model Multikultural Etnik
Model ini mengakui eksistensi dan hak-hak warga etnik
secara kolekti. Dalam model ini keanekaragaman menjadi realitas
yang harus diakui dan diakomodasi negara serta identitas dan asal-
usul warga negara diperhatikan. Isu-isu yang muncul karena
penerapan kebijakan ini tidak hanya keanekaragaman kolektif dan
etnik, tetapi juga isu mayoritas-minoritas, dominan tidak dominan.
Persoalannya menjadi lebih kompleks lagi karena mayoritas tidak

18
selalu berarti dominan sebab berbagai kasus menunjukkan bahwa
minoritas justru dominan dalam ekonomi. Jika kekuasaan negara
lemah karena prioritas kekuasaan dilimpahkan pada aneka ragam
kolektif sebagai konsekuensi pengakuan negara, negara mungkin
diramaikan konflik-konflik internal berkepanjangan yang akan
melemahkan negara tersebut.
D. Multikulturalisme Menjadi Masalah
Akhir-akhir ini, intensitas dan ekstensitas konflik sosial di tengah-
tengah masyarakat terasa kian meningkat. Hal ini terutama konflik
sosial yang bersifat horizontal, yaitu konflik yang berkembang diantara
anggota masyarakat meskipun tidak menutup kemungkinan timbulnya
konflik berdimensi vertikal, yaitu antara masyarakat dan negara.
Konflik sosial dalam masyarakat merupakan proses interaksi yang
alamiah karena masyarakat tidak selamanya bebas konflik. Walaupun
demikian, persoalannya menjadi berbeda jika konflik sosial yang
berkembang dalam masyarakat tidak lagi menjadi sesuatu yang positif,
tetapi berubah menjadi destruktif, bahkan anarkis.
Kemajemukan masyarakat lokal tidak hanya bersifat horizontal
(perbedaan etnik, agama, dan sebagainya), tetapi juga sering
berkecenderungan vertikal, yaitu terpolarisasinya status dan kelas sosial
berdasarkan kekayaan dan jabatan atau pekerjaan yang diraihnya.
1. Masalah Kesetaraan Gender
Kata gender memiliki definisi, yaitu secara historis, kata
gender memiliki arti hal-hal yang kita perlakukan secara berbeda
karena perbedaannya yang inheren.
Gender adalah kumpulan karakteristik yang luas untuk
membedakan antara laki-laki dan perempuan, termasuk jenis
kelamin seseorang, peran sosial seseorang atau identitas gender.
Gender merujuk pada berbagai peran yang dikonstruksikan
secara sosial, tingkah laku, aktivitas, dan atribut yang oleh
masyarakat tertentu dianggap sesuai untuk perempuan dan laki-laki.

19
Tuhan menciptakan dan membedakan manusia secara seksual
laki-laki dan perempuan. Kedua jenis ini dalam bahasa Indonesia
disebut jenis kelamin, laki-laki atau perempuan. Secara lahiriah
keduanya memiliki perbedaan yang menyebabkan memiliki peran
yang berbeda pula.
Sebagai ilustrasi, misanya perempuan mengandung,
kemudian melahirkan anak sehingga perannya lebih banyak dalam
hal merawat anaknya. Adapun laki-laki memiliki badan yang lebih
besar dan lebih kuat daripada perempuan sehingga lebih banyak
diberi peran untuk melakukan pejkerjaan sesuai dengan fisiknya.
Dalam sejarah Indonesia, kita mengenal sosok R.A. Kartini (21
April 1879-17 September 1904). Ia adalah pahlawan bagi kaum
perempuan. Dengan semangat yang tinggi ia mengangkat derajat
perempuan yang pada saat itu hanya mendapatkan peran internal
dalam rumah.
Presiden Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia,
mengeluarkan keputusan Presiden Republik Indonesia No. 108
Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964 yang menetapkan Kartini sebagai
pahlawan kemerdekaan nasional sekaligus menetapkan hari lahir
Kartini, yaitu tanggal 21 April untuk diperingati sebagai hari
Kartini.
Konstruksi sosial-budaya kita msih melanggengkan
pengunggulan maskulinitas laki-laki, sifat berani, tegas dalam
bertindak, dan menempatkan laki-laki dalam posisi lebih tinggi dari
perempuan. Konstruksi ini juga dilengkapi dengan penanaman
feminitas yang dianggap positif bagi perempuan.
Beberapa hal yang dilekatkan terhadap perempuan yang harus
diatasi oleh kaum perempuan, yaitu sebagai berikut.
a. Subornasi; secara sederhana subordinasi berarti pengondisian
atau penetapan seseorang pada keadaan yang tidak mandiri,
tidak diakui, dan tidak diperhitungkan.

20
b. Marginalisasi adalah proses peminggiran seseorang atau
kelompok masyarakat. Jika subordinasi digunakan untuk aspek
politik-sosial, marginalisasi menunjuk pada peminggiran aspek
ekonomi sehingga yang bersangkutan menjadi dimiskinkan.
c. Beban ganda, istilah beban ganda diberikan kepada perempuan
yang bekerja di luar rumah, dan masih harus bertanggung jawab
atas kerja domestic.
d. Kekerasan; kekerasan secara sederhana diartikan sebagai
ketidaknyamanan yang diberikan seseorang. Kekerasan yang
menimpa perempuan pada umumnya karena perbedaan gender.
e. Stereotipe berarti pelabelan secara negative terhadap salah satu
pihak dalam pola hubungan relasi antardua pihak. Pelabelan
muncul karena ada relasi kuasa yang saling memengaruhi dan
mendominasi. Biasanya
2. Masalah Kesetaraan Bangsa dan Ras
Penelitian tentang loyalitas etnis yang mendominasi
kehidupan pribadi dan kelompok untuk itu, loyalitas tersebut
digunakan untuk membangun keharmonisan, bukan saling terlibat
konflik.
Setiap orang mengekspresikan dirinya secara berbeda,
identitas yang lahir dan ekspresi budaya, kepercayaan, serta latar
belakang agama. Masalah tersebut menunjukkan bahwa negara yang
multietnis merupakan kebudayaan sebagai alat untuk
mengintensifkan perasaan identitas nasional dan solidaritas antara
anak bangsa yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
suku bangsa (Koetjaraningrat,1993).
Manusia dipengaruhi oleh ciri-ciri fisik spesiesnya. Akan
tetapi, karena pengaruhnya tersebut sangat kuat menyebabkan
hilangnya perspektif tertentu. Penelitian tentang varietas manusia
disebut ras. Menurut William A. Havilland (1999), ras adalah
populasi sebuah jenis yang berbeda dengan populasi-populasi lain

21
dari jenis yang sama dalam frekuensi varian dari satu atau beberapa
grup.
Definisi tersebut sederhana dan jelas. Menurut William A.
Haviland (1999), ada tiga hal yang perlu diperhatikan, antara lain
sebagai berikut.
a. Definisi ini tidak pasti, tidak ada kesepakatan tentang jumlah
perbedaan genetis yang diperlukan untuk membentuk ras.
b. Melalui definisi biologis ras bahwa tidak semua ras secara
eksklusif mengandung varian yang khas dari sebuah atau
beberapa gen. Ras “terbuka” secara genetis, arinya diantara
mereka terjadi lalu lintas gen.
c. Biologis ras adalah bahwa individu dari ras yang satu belum
tentu akan dapat dibedakan dari individu ras lain. Dalam
hubungan dengan umat manusia, sejumlah perbedaan diantara
individu-individu dalam sebuah populasi mungkin lebih besar
daripada perbedaan diantara beberapa populasi. Hal ini
merupakan akibatdari “keterbukaan” genetic ras.

Masalah sosial lain yang sering muncul ke permukaan berkaitan


dengan hal itu adalah rasisme. Raisme adalah doktrin superioritas
yang menyatakan superioritas kelompok yang satu atas kelompok
yang lain. Rassial ini kadang-kadang digunakan sebagai senjata
yang seolah-olah “ilmiah”, tetapi itu sebagai alat untuk melemahkan
semangat lawan. Konflik yang bersumbu pada rasial menimbulkan
dendam dan permusuhan. Oleh sebab itu, penggunaan istilah
“rasial” untuk melemahkan lawan tidak seharusnya dimanfaatkan.

3. Masalah Ideologi dan politik


Pancasila adalah satu-satunya falsafah serta ideologi bangsa
dan negara yang melandasi, membimbing, dan mengarahkan bangsa
untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran. Oleh sebab itu,
anak bangsa harus merasa senasib, sepenanggungan, sebangsa dan

22
setanah air, serta memiliki satu tekad dalam mencapai cita-cita
bangsa tersebut.
Perbedaan paham ideologi dan politik hal yang wajar dan
normal negara demokrasi karena demokrasi tidak mengenal
otoritarianisme dalam penyeragaman sistem politik negaranya.
Negara demokratis selalu memiliki ruang untuk mencari jalan
tengah untuk memecahkan persoalan yang dihadapi warganya.
Kreatifitas berpikir warga sangat diperlukan membangun esensi
perbedaan dalam berdemokrasi, kemampuan atau kemauan untuk
mengelola konflik tanpa kekerasan merupakan esensi sebuah negara
demokrasi.
Pluralisme merupakan realitas yang tidak terbantahkan dan
sulit dihindari. Misalnya, sebuah pulau atau kota di Indonesia dihuni
oleh suku bangsa, agama, bahasa, dan ras yang berbeda. Seperti
Jakarta misalnya, dihuni hampir semua suku bangsa, agama,
budaya, dan lainnya. Penebaran suku bangsa dan etnis memiliki
norma, agama, dan budaya masing-masing. Indonesia merupakan
salah satu negara yang paling plural didunia.
Pluralisme harus dikelola dengan baik sebagai kekuatan
sekaligus titik lemah. Melalui pandangan hidup yang mendasar dan
strategis itu menjadikan pancasila sebagai falsafah ideologi yang
demokratis dan toleran. Ideologi pancasila ini menjadi refleksi
kehidupan masyarakat yang mengakui keragaman.
Pancasila menjadi alat pemersatu bangsa indonesia tanpa
mengenal perbedaan suku, ras, agama, budaya, dialek, ataupun
golongan. Secara politik, pancaila merupakan refleksi pemersatu
yang dominan. Pancasila juga sebagai filsafat negara tidak
membedakan agama tertentu seperti islam, Kristen, katholik, hindu,
budha, dan aliran kepercayaan lainnya.
Tantangan pluralisme ini cukup dahsyat jika tidak mampu
dikelola dengan baik. Menurut H.M. Amien Rais (2002: xxtii-

23
xxiix), untuk menjaga kedamaian dan kerukunan, sekurang-
kurangnya ada 4 prinsip strategis yang dijaga.
a. Mayoritas tidak bisa mendiktekan keinginan cita-citanya pada
minoritas. Sebaliknya, minoritas tidak boleh mencoba
mendominasi, memonopoli, atau menghendaki kebijakan yang
bertentangan dengan keinginan mayoritas sehingga semua
kelompok dapat berjalan bersama dengan baik berdasarkan
prinsip saling menghormati, pengertian, dan kasih sayang.
b. Setiap warga negara tanpa melihat latar belakang etnis, ras,
kepercayaannya harus mendapatkan perlakuan hukum yang adil
tanpa diskriminasi. Hal ini merupakan prinsip yang sederhana,
normal, dan etis. Akan tetapi, kadang-kadang hukum gagal
menegakkan prinsip yang ini.
c. Setiap warga negara tanpa memerhatikan latar belakang
kepercayaan, ras, etnis, dan lain-lain harus diberi kesempatan
yang sama untuk memperoleh pekerjaan, mendirikan
perusahaan, dan lain-lain. Pada dasranya masyarakat diberi
kesempatan untuk menempuh kegiatan ekonomi, sosial, dan
pendidikan.
d. Pimpinan nasional yang bijaksana. Hal ini penting karena sangat
menentukan, mewarnai segala yang terjadi di tingkat yang
rendah dalam piramida kepemimpinan. Artinya, pemimpin
nasional harus bijak daam mengatur dan menjalin hubungan
yang adil antara kelompok etnis dan agama di Indonesia.
4. Masalah Kesenjangan Ekonomi dan Sosial
Ideologi pancasila telah memberikan amanah untuk
senantiasa menciptakan kesejahteraan sosial dan ekonomi. Masalah
kesenjangan ekonomi dan sosial memerlukan perhatian khusus
karena jika terjadi kesenjangan sosial, akan timbul ketegangan antar
kelompok yang akhirnya dapat memicu konflik. Contoh konflik
yang ditimbulkan dari adanya kesenjangan sosial tersebut adalah

24
kasus konflik yang terjadi di Sampit, ambon, Poso, kupang, dan
lainnya.
Perlu adanya keadilan yang ideal dimulai dari penegakan
hukum, ekonomi, dan sosial agar apabila terjadi diskriminasi
ekonomi dan sosial, tidak menyebabkan kericuhan terhadap massa
dan tidak berujung pada tindakan anarkis atau kekerasan horizontal.
Keadilan menjadi prinsip dasar yang sesuai dengan agama dan
demokrasi yang dibawa sesuai dengan rasul utusan Tuhan. Unsure
keadilan ini berupa keseimbangan dan proporsional.

25
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Secara teoritis, pluralisme merupakan konsep yang menerangkan
ideologi kesetaraan kekuasaan dalam suatu masyarakat multikultural,
yang kekuasaan “terbagi secara merata” di antara kelompok-kelompok
etnik yang bervariasi sehingga mampu mendorong pengaruh timbal
balik di antara mereka. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
multikulturalisme adalah gejala pada seseorang atau suatu masyarakat
yang ditandai oleh kebiasaan menggunakan lebih dari satu kebudayaan.
Berdasarkan konsep tersebut dapat disimpulkan bahwa pluralitas
adalah bentuk, sedangkan multikultur adalah pengakuan dari perbedaan
bentuk. Dengan demikian, hubungan antara pluralitas dan multikultur
tidak dapat dipisahkan begitu saja. Di Indonesia makna dari kedua kata
tersebut masih rancu dan kadang-kadang disamakan. Pengertian konsep
tersebut dapat menekankan pengertian dari pluralitas dan multikultur
Bangsa Indonesia memiliki bermacam-macma kebudayaan yang
dibawa oleh banyak suku, dan adat istiadat yang tersebar di seluruh
Nusantara. Dari Sabang sampai Merauke kita telah mengenal suku yang
majemuk, seperti suku Jawa, Madura, Batak, Dayak, Asmat, dan
lainnya. Semua itu memiliki keunggulan dan tradisi yang berbeda satu
dengan yang lainnya.
Masalah yang sering muncul dalam negara yang majemuk adalah
masalah kesetaraan gender, masalah kesetaraan bangsa dan ras, dan
masalah ideologi dan politik.

26

Anda mungkin juga menyukai