Anda di halaman 1dari 7

TUGAS PERENCANAAN PELABUHAN KELAS B

Oleh :
Dhiya Ranaa Arfansa (4218210127)

Dosen Pengampu : Ir. Akhmad Dofir, MT. IPM

Jurusan Sipil
Fakultas Teknik
Universitas Pancasila
Jakarta
2021
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan berciri nusantara yang
disatukan oleh wilayah perairan sangat luas dengan batas-batas, hak-hak, dan kedaulatan yang
ditetapkan dengan undang-undang. Bahwa dalam upaya mencapai tujuan nasional berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mewujudkan
Wawasan Nusantara serta memantapkan ketahanan nasional diperlukan sistem transportasi
nasional untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah, dan memperkukuh
kedaulatan Negara.

No.1,1969 KEPELABUHAN. DAERAH PELAJARAN. SUSUNAN. TATA KERDJA.


Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 1 Tahun 1969 tentang Susunan dan
Tata Kerdja Kepelabuhanan dan Daerah Pelajaran (Pendjelasan dalam Tambahan
Lembaran Negara No. 2880).

Presiden Republik Indonesia,

a. bahwa masalah kepelabuhanan merupakan faktor jang tidak terpisah dalam sistim
ekonomi negara setjara keseluruhan, maka Institut Kepelabuhanan perlu disesuaikan
dengan landasan baru tentang kebijaksanaan umum dalam ekonomi dan keuangan;
b. bahwa pelabuhan sebagai prasarana ekonomi merupakan penunjang bagi perkembangan
industri, perdagangan maupun pelajaran, oleh karenanja sistem pengelolaan perlu
disesuaikan dengan fungsinya.

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS


PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR PM 51 TAHUN 2015 TENTANG
PENYELENGGARAAN PELABUHAN LAUT.
Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 51 Tahun 2015
tentang Penyelenggaraan Pelabuhan Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 311) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 146
Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 51 Tahun
2015 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2016 Nomor 1867) diubah sebagai berikut:
Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri
ini yang dimaksud dengan:
1. Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas
tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan
sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang, berupa
terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan
keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan
intra-dan antarmoda transportasi.
2. Kepelabuhanan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi pelabuhan
untuk menunjang kelancaran, keamanan, dan ketertiban arus lalu lintas kapal, penumpang
dan/atau barang, keselamatan dan keamanan berlayar, tempat perpindahan intra-dan/atau
antarmoda serta mendorong perekonomian nasional dan daerah dengan tetap memperhatikan
tata ruang wilayah.
3. Tatanan Kepelabuhanan Nasional adalah suatu sistem kepelabuhanan yang memuat peran,
fungsi, jenis, hierarki pelabuhan, Rencana Induk Pelabuhan Nasional, dan lokasi pelabuhan
serta keterpaduan intra-dan antarmoda serta keterpaduan dengan sektor lainnya.
4. Pelabuhan Laut adalah pelabuhan yang dapat digunakan untuk melayani kegiatan angkutan
laut dan/atau angkutan penyeberangan yang terletak di laut atau di sungai.
5. Pelabuhan Utama adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan laut
dalam negeri dan internasional, alih muat angkutan laut dalam negeri dan internasional dalam
jumlah besar, dan sebagai tempat asai tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan
penyeberangan dengan jangkauan pelayanan antarprovinsi.
6. Pelabuhan Pengumpul adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan
laut dalam negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri dalam jumlah menengah, dan sebagai
tempat asai tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan
jangkauan pelayanan antarprovinsi.
7. Pelabuhan Pengumpan adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan
laut dalam negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri dalam jumlah terbatas, merupakan
pengumpan bagi Pelabuhan Utama dan Pelabuhan Pengumpul, dan sebagai tempat asai tujuan
penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan
dalam provinsi.
8. Pelabuhan Pengumpan Regional adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan
angkutan laut dalam negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri dalam jumlah terbatas,
merupakan pengumpan bagi Pelabuhan Utama dan Pelabuhan Pengumpul, dan sebagai tempat
asai tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan
pelayanan antar kabupaten /kota dalam provinsi.
9. Pelabuhan Pengumpan Lokal adalah Pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan
angkutan laut dalam negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri dalam jumlah terbatas,
merupakan pengumpan bagi Pelabuhan Utama dan Pelabuhan Pengumpul, dan sebagai tempat
asai tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan
pelayanan dalam kabupaten/kota.
10. Otoritas Pelabuhan (Pori Authority) adalah lembaga Pemerintah di pelabuhan sebagai
otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan
Kepelabuhanan yang diusahakan secara komersial.
Ketentuan ayat (3) Pasal 3 diubah sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3 (1) Fungsi pengaturan dan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan
Kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh
penyelenggara pelabuhan.
(2) Penyelenggara pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. Otoritas
Pelabuhan atau Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan pada pelabuhan yang diusahakan
secara komersial; dan b. Unit Penyelenggara Pelabuhan pada pelabuhan yang belum
diusahakan secara komersial.
(3) Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri atas: a.
Unit Penyelenggara Pelabuhan Pemerintah; dan b. Unit Penyelenggara Pelabuhan Pemerintah
Daerah.
Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9
(1) Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b
dibentuk pada pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial.
(2) Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh dan
bertanggungjawab kepada: a. Menteri untuk Unit Penyelenggara Pelabuhan Pemerintah pada
Pelabuhan Utama atau Pelabuhan Pengumpul; b. gubernur untuk Unit Penyelenggara
Pelabuhan Pemerintah Daerah pada Pelabuhan Pengumpan Regional; dan c. bupati/wali kota
untuk Unit Penyelenggara Pelabuhan Pemerintah Daerah pada Pelabuhan Pengumpan Lokal.
(3) Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan
fungsi pengaturan dan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan
mempunyai tugas dan tanggung jawab: a. menyediakan dan memelihara penahan gelombang,
Kolam Pelabuhan, dan alurpelayaran; b. menyediakan dan memelihara sarana bantu navigasi-
pelayaran; c. menjamin keamanan dan ketertiban di pelabuhan; d. menjamin dan memelihara
kelestarian lingkungan di pelabuhan; e. menyusun Rencana Induk Pelabuhan serta DLKr dan
DLKp; f. menjamin kelancaran arus barang; dan g. menyediakan fasilitas Pelabuhan.
Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
(1) Badan Usaha Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) dapat melakukan
kegiatan pengusahaan pada 1 (satu) atau beberapa Terminal dalam 1 (satu) Pelabuhan.
(2) Badan Usaha Pelabuhan dalam melakukan kegiatan usahanya wajib memiliki izin usaha
diterbitkan oleh Lembaga Online Single Submission atas nama: a. Menteri Untuk Badan Usaha
Pelabuhan Di Pelabuhan Utama dan Pelabuhan Pengumpul; b. gubernur untuk Badan Usaha
Pelabuhan di Pelabuhan Pengumpan Regional; dan c. bupati/wali kota untuk Badan Usaha
Pelabuhan di Pelabuhan Pengumpan Lokal.

No.2880. KEPELABUHANAN, DAERAH PELAYARAN, SUSUNAN, TATA KERJA,


Penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 1 tahun 1969
tentang Susunan dan Tata Kerja Kepelabuhanan dan Daerah Pelayaran.

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1969

tentang

SUSUNAN DAN TATA KERJA KEPELABUHANAN DAN


DAERAH PELAYARAN,
UMUM:

Pada hakekatnya pelabuhan merupakan lingkungan kerja pelbagai kegiatan pemerintah


maupun non pemerintahan untuk mewujudkan suatu prasarana ekonomi yang dapat
memungkinkan lancarnya gerak arus barang.
Dalam menjalankan peranannya di bidang ekonomi, pemerintah harus lebih menekankan
pembinaan dan pengawasannya terhadap arah kegiatan ekonomi dan bukan terhadap
penguasaan yang sebanyak-banyaknya daripada kegiatan-kegiatan ekonomi.
Prinsip-prinsip efisiensi di bidang ekonomi harus pula diarahkan kepada pendayagunaan
dan perkembangan pelabuhan, yang dalam hal ini hanya mungkin dilaksanakan
berdasarkan azas-azas organisasi dan pengelolaan (management) yang sehat di mana
pertanggungan jawab tunggal dan umum di pelabuhan merupakan suatu hal yang mutlak
dan sangat diperlukan.
Selanjutnya pemerintah di samping melaksanakan pelbagai kegiatan di pelabuhan
berkewajiban pula untuk membimbing serta mengembangkan potensi sektor non
pemerintahan untuk diikutsertakan secara maksimal di dalam pendayagunaan dan
perkembangan pelabuhan.
Tanpa mengurangi arti dari prinsip-prinsip demokrasi di mana potensi, inisiatif dan daya
kreasi rakyat harus dikembangkan maka pembinaan terhadap perkembangan pelabuhan
dan segala aspek-aspeknya semata-mata ditujukan kepada tetap terjaminnya kepentingan
umum.
Masalah pembinaan pelabuhan sebagai pintu gerbang perekonomian, tidak dapat
dipisahkan daripada sasaran yang ingin dicapai oleh Pemerintah di bidang perekonomian,
baik di pusat maupun di daerah.
Pada taraf sekarang ini dengan alat yang serba terbatas, dapat diusahakan tercapainya
tingkat efisiensi yang optimal dengan mengadakan perombakan secara fundamentil yang
diarahkan kepada berbaikan institusionil, organisasi strukturil dan dinoperasionil. Dalam
hubungan ini perlu diadakan penyempurnaan terhadap pengisian makna daripada
pengelolaan (management) kepelabuhanan.
Di samping itu fungsi pelabuhan sebagai prasarana ekonomi di mana bertemu berbagai
macam kegiatan, baik dari kegiatan pemerintahan, maupun usaha-usaha komersiil,
haruslah dapat pula mendorong berbagai kegiatan industri beserta industri penunjangnya
di daerah pelabuhan. Untuk ini dan juga untuk perkembangan pelabuhan di kemudian hari,
perlu dijamin pengamanan area tertentu di sekitar pelabuhan yang merupakan
lingkungan/daerah kerja pelabuhan dan lingkungan/daerah kepentingan pelabuhan
(havengebied en havenbelangenkring).

Pelayaran di dalamnya terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan


keamanan pelayaran, dan perlindungan lingkungan maritim, merupakan bagian dari sistem
transportasi nasional yang harus dikembangkan potensi dan peranannya untuk mewujudkan
sistem transportasi yang efektif dan efisien, serta membantu terciptanya pola distribusi nasional
yang mantap dan dinamis. Pelayaran memiliki Undang-Undang tersendiri yaitu UNDANG-
UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN.
UU 17 tahun 2008 tentang Pelayaran mengatakan bahwa pelayaran adalah satu kesatuan sistem
yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta
perlindungan lingkungan maritim.
Dasar hukum Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran adalah Pasal 5 ayat
(1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 25A, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Negara Kesatuan Republik Indonesia telah dianugerahi
sebagai negara kepulauan yang terdiri atas beribu pulau, sepanjang garis khatulistiwa, di antara
dua benua dan dua samudera sehingga mempunyai posisi dan peranan penting dan strategis
dalam hubungan antarbangsa.
Posisi strategis Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dimanfaatkan secara maksimal
sebagai modal dasar pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mewujudkan Indonesia yang aman, damai, adil,
dan demokratis, serta meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional dan perwujudan Wawasan Nusantara, perlu
disusun sistem transportasi nasional yang efektif dan efisien, dalam menunjang dan sekaligus
menggerakkan dinamika pembangunan, meningkatkan mobilitas manusia, barang, dan jasa,
membantu terciptanya pola distribusi nasional yang mantap dan dinamis, serta mendukung
pengembangan wilayah dan lebih memantapkan perkembangan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, turut mendukung pertahanan dan keamanan, serta peningkatan
hubungan internasional.
Transportasi merupakan sarana untuk memperlancar roda perekonomian, memperkukuh
persatuan dan kesatuan bangsa, dalam rangka memantapkan perwujudan Wawasan Nusantara,
meningkatkan serta mendukung pertahanan dan keamanan negara, yang selanjutnya dapat
mempererat hubungan antarbangsa.
Pentingnya transportasi tersebut tercermin pada penyelenggaraannya yang mempengaruhi
semua aspek kehidupan bangsa dan negara serta semakin meningkatnya kebutuhan jasa
angkutan bagi mobilitas orang dan barang dalam negeri serta ke dan dari luar negeri.
Angkutan laut yang mempunyai karakteristik pengangkutan secara nasional dan menjangkau
seluruh wilayah melalui perairan perlu dikembangkan potensi dan ditingkatkan peranannya
sebagai penghubung antarwilayah, baik nasional maupun internasional termasuk lintas batas,
karena digunakan sebagai sarana untuk menunjang, mendorong, dan menggerakkan
pembangunan nasional dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat serta menjadi perekat
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-Undang tentang Pelayaran yang memuat empat unsur utama yakni angkutan di
perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan pelayaran, serta perlindungan lingkungan
maritim dapat diuraikan sebagai berikut:

a. pengaturan untuk bidang angkutan di perairan memuat prinsip pelaksanaan


asas cabotage dengan cara pemberdayaan angkutan laut nasional yang memberikan
iklim kondusif guna memajukan industri angkutan di perairan, antara lain adanya
kemudahan di bidang perpajakan, dan permodalan dalam pengadaan kapal serta adanya
kontrak jangka panjang untuk angkutan;
b. Dalam rangka pemberdayaan industri angkutan laut nasional, dalam Undang Undang
ini diatur pula mengenai hipotek kapal. Pengaturan ini merupakan salah satu upaya
untuk meyakinkan kreditor bahwa kapal Indonesia dapat dijadikan agunan berdasarkan
peraturan perundang-undangan, sehingga diharapkan perusahaan angkutan laut
nasional akan mudah memperoleh dana untuk pengembangan armadanya;
c. pengaturan untuk bidang kepelabuhanan memuat ketentuan mengenai penghapusan
monopoli dalam penyelenggaraan pelabuhan, pemisahan antara fungsi regulator dan
operator serta memberikan peran serta pemerintah daerah dan swasta secara
proposional di dalam penyelenggaraan kepelabuhanan;
d. pengaturan untuk bidang keselamatan dan keamanan pelayaran memuat ketentuan yang
mengantisipasi kemajuan teknologi dengan mengacu pada konvensi internasional yang
cenderung menggunakan peralatan mutakhir pada sarana dan prasarana keselamatan
pelayaran, di samping mengakomodasi ketentuan mengenai sistem keamanan
pelayaran yang termuat dalam “International Ship and Port Facility Security Code”;
dan
e. pengaturan untuk bidang perlindungan lingkungan maritim memuat ketentuan
mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan laut yang
bersumber dari pengoperasian kapal dan sarana sejenisnya dengan mengakomodasikan
ketentuan internasional terkait seperti “International Convention for the Prevention of
Pollution from Ships”.

Anda mungkin juga menyukai