Anda di halaman 1dari 35

PRINSIP-PRINSIP LAYANAN KONSELING LINTAS

BUDAYA MENURUT AL-QUR’AN SURAT AL-HUJURAT


AYAT 13

SKRIPSI

Diajukan Oleh:

EKA AMARANGGANA AS
170402118

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM, BANDA ACEH
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia disebut juga dengan Republik Indonesia (RI) atau Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), adalah negara di Asia Tenggara yang

dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara daratan benua Asia dan Australia,

serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Indonesia adalah

negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau. Nama alternatif

yang biasa dipakai adalah Nusantara. Dengan populasi mencapai 270.203.917

jiwa pada tahun 2020.  

Indonesia juga adalah negara berpenduduk terbesar keempat di dunia dan

negara yang berpenduduk  Muslim terbesar di dunia, dengan penganut lebih dari

230 juta jiwa. Islam di indonesia merupakan mayoritas terbesar di dunia, islam

tiba di indonesia melalui para pedagang (Wikipedia, 15 Maret Pukul 06:44 wib).

Dapat kita ketahui islam sangat dominan di indonesia terlebih lagi di aceh, di aceh

sendiri islam sangat di junjung tinggi sehingga aceh menjadi kota syariat di

indonesia.

Masuknya islam ke aceh pada abad ketujuh atau kedelapan masehi, banyak

sekali mempengaruhi adat-istiadat Aceh. Pengaruh islam di aceh sangat sangat

besar, sehingga ada pepatah aceh yang berbunyi : Hukom ngo Adat lagee Zat ngo

1
2

sipheut (Hukum dengan adat seperti benda dengan sifatnya, tidak terpisah). Yang

dimaksud hukum disini ialah hukum yang diajarkan oleh ulama.1

Ajaran islam yang dibawa oleh Muhammad Saw dengan sumber Ajaran

Islam utamanya al-Qur'an dan Hadits itu jika ditelaah secara mendalam dapat

ditemukan pemahaman mengenai hakikat manusia, yakni suatu pemahaman

berdasarkan petunjuk-petunjuk dari Sang Pencipta manusia. Dalam hal

pemahaman tentang hakikat ini, manusia adalah satu-satunya makhluk yang bisa

menjadi subyek dan obyek sekaligus. Di antara persoalan menarik adalah

mengenai hakikat diri manusia itu sendiri.

Agama Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw.

Mengandung implikasi kependidikan yang juga untuk menjadi rahmat bagi

sekalian alam. Dalam agama Islam terkandung suatu potensi yang mengacu

kepada dua fenomena perkembangan,' yaitu: Pertama, potensi psikologis dan

paedagogis yang mempengaruhi manusia untuk jadi pribadi yang berkualitas

bijak dan menyandang derajat mulia melebihi makhluk-makhluk lainnya. Kedua,

potensi bertujuan pengembang an kehidupan manusia sebagai khalifah di muka

bumi yang dinamis dan kreatif serta responsif terhadap lingkungan sekitarnya,

baik yang alamiah maupun yang ijtima'iyah, di mana Tuhan menjadi potensi

sentral perkembangannya.2

1
Mattulada..(et.al.), Agama dan perubaan sosial. (Jakarta: PT Raga Grafindo Persada,
1996), hal. 6
2
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, Pada Periode Klasik dan pertengahan,
(Jakarta: PT Raga Grafindo Persada, 2010), hal. 29
3

Sebagai mana yang kita ketahui indonesia sendiri memiliki keaneka ragam

suku, adat istiadat, bahasa, agama, ras, seni dan budaya yang beraneka ragam,

hal ini menjadi nilai tersendiri bagi Indonesia. Sebagai bangsa yang majemuk,

masyarakat Indonesia dengan perbedaan dan keanekaragaman tersebut tetap

menjadi satu kesatuan yaitu bangsa dan negara Indonesia. Bangsa yang

bermartabat dan menjunjung rasa nasionalisme, sikap saling menghargai dan

menghormati perbedaan harus semakin dipupuk sehingga dapat memperkuat rasa

persatuan bangsa dan bernegara tanpa mudah diadu domba dari berbagai

pengaruh.

Kebudayaan indonesia sendiri sudah di akui oleh UNESCO (United

Nations Educational, Scintific and Cultural Organization). Adapun kebudayaan

yang telah di akui oleh UNESCO antara lain : Wayang, Angklung, Keris, Tari

Saman, Reog Ponorogo,Tari Kecak, Tari Barong, Sendra Tari Ramayana, Tari

Pedet, Batik.

Budaya itu sendiri adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki

bersama oleh sebuah kelompok, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya

jug dapat dikatakan suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks,

abstrak, dan luar.

Menurut Budaya Antropolog Edward T. Hall (1973) Budaya adalah salah

satu hal yang dapat mengeratkan atau menghancurkan suatu hubungan antar

sesama manusia. budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya 3.

Dengan budaya kita berkomunikasi dengan orang, saling bertukar cara pikir dan

3
Deddy mulyana, Komunikasi Lintas Budaya. (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2011)
hal. 3
4

cara pandang. Namun, tidak selamanya keragaman budaya dapat berjalan

beriringan adakalanya terjadi gesekan-gesekan antara budaya satu dengan budaya

lainnya yang apabila tidak diselsaikan akan menjadi masalah besar.

Sedangkan menurut Margaret Mead, Ruth Benedict, dan Geer Hofstede

mendefinisikan budaya sebagai sekumpulan sikap, nilai, keyakinan dan perilaku

yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang, yang dikomunikasikan dari satu

generasi kegenerasi berikutnya lewat bahasa atau beberapa sarana komunikasi

lain.4

Salah satu faktor yang mempengaruhi kesulitan berkomunikasi adalah

budaya. Disinilah kita sebagai muslim harus cerdas dalam menerima perbedaan

yang ada, termasuk perbedaan pendapat. Untuk menselaraskan pendapat atau

pemikiran satu sama lain, maka dari itu didalam islam kita diajarkan untuk saling

mengenal dan berinteraksi satu sama lainnya. Jangan kita tidak peduli atau acuh

tak acuh kepada orang lain, karena barang kali hari ini engkau tidak peduli

kepadanya maka di kemudian hari ia yang tidak peduli kepada mu.

Dalam Al-Qur’an telah di jelaskan bahwa Allah menciptakan manusia

dengan bersuku-suku dan berbangsa bangsa agar saling mengenal satu sama lain,

seperti gambaran dalam surat al-hujarat ayat 13 yang artinya “Wahai manusia!

Sungguh kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang

perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku

agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia diantara kamu disisi

Allah ialah orang yang paling bertaqwa. sungguh, Allah maha mengetahui maha

teliti.
4
Diana Ariswati Trining, Konseling Lintas Budaya (CV. AE Media Grafika, 2019) hal. 2
5

Setelah membicarakan budaya itu sendiri, masih kerap terjadi pemasalah

besar karna itu tadi perbedaan pendapat antara suku satu dengan suku lainnya.

Berdasarkan data yang saya peroleh dari liputan6.com yaitu terjadinya

pembakaran Mesjid Jami Nurul Huda dan MusolaAt-Taqwa di Jawa barat

tepatnya di kota Bogor Kecamatan Tanah Sareal. Ada juga permasalahan lain

seperti yang terjadi baru-baru ini ialah konflik yang terjadi di papua semakin

parah sehingga terjadi penembakan antara aparat negara dengan orang-orang di

papua dan pada tahun 2015 dikutip dari Tempo.com terjadi pembakaran geraja di

aceh. Dimana kita tau bahwa aceh adalah kota yang toleransinya sangat tinggi dan

paham akan bagaimana cara menghargai sesama suku dan agama tetapi tetap

terjadi juga konslet antar pendapat.

Dari apa yang telah kita baca dan kita peroleh ini adalah dampak dari

kesalah pahaman atau kurannya pemahaman antara satu suku dengan suku lain.

Sehingga dengan permasalahan tersebut itu yang membuat peneliti bermaksud

untuk mengkaji lebih dalam lagi terkait “Prinsip – Prinsip Layanan Konseling

Lintas Budaya Menurut Al-Qur’an surat Al-Hujurat Ayat 13” Agar orang

paham bahwa gak semua budaya itu gak sama. Agar orang juga tau bagaimana

islam memandang budaya

Seperti dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an yang mengatakan “Hai manusia,

Zat yang menyerumu dengan seruan ini adalah Zat Yang Telah menciptakan kamu

dari jenis laki-laki dan wanita.dialah yang memperlihatkan kepadamu tujuan dari

menciptakan bersuku-suku berbangsa-bangsa. Tujuannya bukan untuk saling

menjegal atau bermusuhan, tetapi supaya harmonis dan saling mengenal. Adapun
6

perbedaan bahasa dan warna kulit, perbedaan watak dan akhlak, serta perbedaan

bakat dan potensi merupakan keragaman yang tidak perlu menimbulkan

pertentangan dan perselisihan. Namun justru untuk menimbulkan kerjasama

supaya bangkit dalam memikul segala tugas dan memenuhi segala

kebutuhan.Warna kulit, ras, bahasa, negara, dan lainnya tidak ada dalam

pertimbangan Allah. Disana hanya ada satu timbangan untuk menguji seluruh

nilai dan mengetahui keutamaan manusia.5

Jadi berdasarkan latar belakang dan fenomena- fenomena yang terjadi

diatas penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam lagi terkait sebuah proposal

dengan judul “Prinsip – Prinsip Layanan Konseling Lintas Budaya Menurut

Al-Qur’an surat Al-Hujurat Ayat 13”

B. Rumusan Masalah  

Berdasarkan latar belakang dari permasalahan diatas atas, maka peneliti

membuat rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apa saja prinsip-prinsip yang ditekankan dalam konseling lintas

budaya?

2. Bagaimanakah keterkaitan konseling lintas budaya dalam surat Al

hujurat ayat 13?

C. Tujuan Penelitian  

5
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an.(Jakarta: Gema Insani Press, 2004) hal : 421-
422
7

1. Untuk mengetahui Apa saja prinsip-prinsip yang ditekankan dalam

konseling lintas budaya?

2. Untuk mengetahui keterkaitan konseling lintas budaya dalam surat Al

hujarat ayat 13.

D. Signifikansi Penelitian 

Adapun manfaat dari penelitian ini ialah

1. Manfaat Teoritis

a) Untuk menambah pengetahuan terkait Prinsip – Prinsip Layanan

Konseling Lintas Budaya Menurut Al-Qur’an surat Al-Hujurat Ayat

13 Sebagai bahan pertimbangan terhadap pengembangan bidang

ilmu konseling islam bagi Mahasiswa, selanjutnya penelitian ini juga

dapat dijadikan bahan penelitian bagi mahasiswa yang ingin

mengembangkan hasil penelitian ini.

2. Manfaat Praktis

a) Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi praktisi

lembaga pendidikan, khususnya juruan Bimbingan dan Konseling

Islam.

b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti

lainnya yang ingin menegmbangkan penelitian ini lebih lanjut.

E. Definisi Operasional 
8

1. Konseling

Menurut kamus lengkap psikologi, konseling (penyuluh) ialah suatu

nama yang luas pengertianya untuk beraneka ragam prosedur guna

menolong banyak orang orang agar mampu menyesuaikan diri, seperti

memberi nasehat, diskusi terapeutis, pengadmitrasian, penafsiran tes dan

bantuan vokasional atau kejuruan.6

2. Lintas Budaya

Lintas Budaya dalah memahami kebergaman budaya yang ada

didunia sekaligus dampak budaya tersebut terhadap kelangsungan

masyarakat sosial dalam lingkup budaya tertentu.7

3. Konseling Lintas Budaya

Konseling lintas budaya (counseling across cultures) adalah

konseling yang melibatkan konselor dan kliennya berasal dari latar

belakang budaya yang berbeda.8

6
J.P Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 114
7
Deliati Latif Hanum, Konseling Lintas Budaya, ( Semarang: Rasail MediaGroup : 2018)
hal.38
8
Ibid. hal 38
BAB II

KAJIAN TEORI

A. KajianTeoritis 

1. Konseling

a. Pengertian Konseling

Istilah konseling bersal dari bahasa “couseling” adalah kata dalam

bentuk mashdar dari “to counsel” secara etimologis berarti “to give advice”

atau memberikan saran dan nasehat. Konseling juga memiliki arti memberikan

nasehat atau anjuran kepada orang lain secara tatap muka (face to face). Jadi

conseling berarti pemberian nasehat atau penasehat kepada orang lain secara

individual yang dilakukan dengan tatap muka (face to face). Pengertian

konseling dalam bahasa indonesia, juga dikenal dengan istilah penyuluh. 9

Sedangkan dalam bahsa Anglo-Saxon, istilah konseling berasal dari “sellan”

yang berarti “menyerahkan” atau “menyampaikan”.10

Sejak awal perkembangan konseling awal perkembangan konseling

dikenal dengan istilah "bimbingan", kemudian menjadi "konseling". Namun,

dalam dunia psikologi dengan bertambahnya kemajuan dan perkembangan ilmu

pengetahuan yang serba mutakhir dua kata tersebut telah disatukan menjadi

konseling saja11.

Prayitno dan Erman Anti (1999) mengartikan konseling ialah proses

pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang


9
Samsul Munir Amin, Bimibingan Dan Konseling Islam, (Jakarta: Amzah, 2015) hal.
10-11
10
Prayitno & Emran Amti, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konselin, (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2015), hal. 99
11
Jarnawi, Konseling Trauma Untuk Anak Akibat Kekerasan, dalam: Prayitno dan Erman
Amti, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling (Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 2004), Cet.2, hal. 99
10

ahli (konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah (klien)

yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi oleh klien. Pengertian

konseling di atas dikemukakan dengan cara dan gaya berbeda, namun di antara

berbagai pengertian terdapat kesamaan, kesamaan itu menyangkut ciri pokok

berikut ini:

1) Konseling melibatkan dua orang yang saling berinteraksi dengan jalan

mengadakan komunikasi langsung, menge- mukakan dan memperhatikan

dengan seksama isi pembicaraan, gerakan isyarat, pandangan mata, dan

gerakan lain untuk meningkatkan kefahaman kedua belah pihak yang

terlibat dalam interaksi itu.

2) Model interaksi dalam konseling, terbatas pada dimensi verbal, yaitu

konselor dan klien saling berbicara.

3) Interaksi antara konselor dan klien berlangsung dalam waktu yang relatif

lama dan terarah kepada pencapaian tujuan.

4) Tujuan dari hubungan konseling terjadinya perubahan pada tingkah laku

klien.

5) Konseling merupakan proses dinamis, di mana individu klicn dibantu

untuk dapat mengembangkan dirinya, mengembangkan kemampuannya

dalam mengatasi masalah yang sedang dihadapi.

6) Konseling didasari atas penerimaan konselor secara wajar tentang diri

klien, atas dasar penghargaan terhadap harkat dan martabat klien.


11

Dari uraian di atas tentang pengertian bimbingan dan konseling, dapat

dirangkumkan bahwa bimbingan adalah suatu proses yang berkesinambungan

sesuai dengan dinamika yang terjadi dalam pelayanannya.12

Menurut Fenti, konseling merupakan salah satu teknik dalam bimbingan,

tetapi merupakan teknik inti atau teknik kunci. Hal ini dikarenakan konseling

dapat memberikan perubahan yang mendasar, yaitu mengubah sikap. Sikap

mendasari perbuatan, pemikiran, pandangan dan perasaan, dan lain-lain.

Menurut Leona E. Tylor, ada lima karakteristik yang sekaligus merupakan

prinsip-prinsip konseling. Kelima karakteristik tersebut adalah:

a) Konseling tidak sama dengan pemberian nasihat (advicement), sebab di

dalam pemberian nasihat proses berpikir ada dan diberikan oleh

penasihat, sedang dalam konseling proses berpikir dan pemecahan

ditemukan dan dilakukan oleh klien sendiri.

b) Konseling mengusahakan perubahan-perubahan yang bersifat

fundamental yang berkenaan dengan pola-pola hidup.

c) Konseling lebih menyangkut sikap daripada perbuatan atau tindakan.

d) Konseling lebih berkenaan dengan penghayatan emosional dari pada

pemecahan intelektual.

e) Konseling menyangkut juga hubungan klien dengan orang lain.13

12
Abu Bakar M. Luddin, Dasar-Dasar Konselin, (Bandung : Cipta Pustaka Media
Perintis, 2010) hal. 19
13
Fenti Hikmawati, Bimbingan dan Konseling, (Jakarta : Rajawali Pers, 2016) hal. 2
12

b. Tujuan Konseling

Menurut Thompson dan Rudolp sebagaimana dikutip Prayitno,

menjelaskan bahwa bimbingan dan konseling bertujuan agar klien dapat

mengikuti kemauan- kemauan dan saran-saran konselor; mengadakan perubahan

tingkah laku secara positif, dapat melakukan pemecahan masalah; melakukan

pengambilan keputusan; pengembangan kesadaran, dan pengembangan pribadi;

melakuken pengembangan dan penerimaan diri; dan memberikan pengukuhan.

Selain itu, Myers merumuskan bahwa tujuan konseling adalah untuk membantu

individu untuk memperkembangkan dirinya, dalam artian mengadakan

perubahan-perubahan positif pada diri individu tersebut14.

Dalam buku yang dikutip oleh Arintoko dalam bukunya wawancara

konseling di sekolah menurut pendapat McLeod, ada beberapa tujuan dari

konseling itu sendiri :

1) Pemahaman. Adanya pemahaman terhadap akar dan perkembangan

kesulitan emosional mengarah pada peningkatan kapasitas untuk lebih

memilih control rasional daripada perasaan dan tindakan.

2) Hubungan dengan orang lain. Menjadi lebih mampu membentuk dan

mempertahankan hubungan yang bermakna dan memuaskan dengan

orang lain.

3) Kesadaran diri. Menjadi lebih peka terhadap perasaan dan pemikiran

yang selama ini ditahan atau ditolak.

14
Prayitno, dkk., Dasar-dasar Bimbingan,……., hal.114
13

4) Penerimaan diri. Pengembangan sikap positif terhadap diri, yang

ditandai oleh kemampuan menjelaskan pengalaman yang selalu menjadi

subjek, kritik dan penolakan.

5) Pemecahan masalah. Menemukan pemecahan masalah tertentu yang

tidak bisa diselesaikan oleh konseli sendiri.

6) Aktualisasi diri atau individuasi. Pergerakan ke arah pemenuhan potensi

atau penerimaan integrasi bagian diri yang sebelumnya saling

bertentangan.

7) Pendidikan psikologi. Membuat konseli mampu menangkap ide dan

teknik untuk memahami dan mengontrol tingkah laku.

8) Keterampilan sosial. Mempelajari dan menguasai keterampilan sosial

dan interpersonal.

9) Perubahan kognitif. Mengganti kepercayaan irasional dan pola pemikiran

yang tidak dapat diadaptasi, yang diasosiasikan dengan tingkah laku

penghancur.

10) Perubahan tingkah laku. Mengganti perilaku yang maldaptif.

11) Perubahan sistem. Memperkenalkan perubahan dengan cara

beroperasinya sistem sosial .

12) Penguatan. Berkenaan dengan keterampilan, kesadaran, dan

pengetahuan yang akan membuat konseli mampu mengontrol

kehidupannya.

13) Resitusi. Membantu konseli membuat perubahan kecil terhadap perilaku

yang merusak.
14

14) Reproduksi dan aksi sosial. Menginspirasi dalam diri seseorang hasrat

dan kapasitas untuk peduli kepada orang lain.15

c. Fungsi Konseling

Fungsi suatu pelayanan dapat diketahui dengan melihat, manfaat,

keuntungan ataupun kegunaan yang dapat diberikan oleh pelayanan yang

dimaksud. Pelayanan dikatakan tidak berfungsi dengan baik bilamana tidak

memperiihatkan manfaat dan keuntungan tertentu bagi pengguna layanan

tersebut.Konseling merupakan suatu layanan jasa yang menawarkan bantuan

untuk seseorang atau sekelompok orang dalam rangka pengoptimalan potensi

agar dengan potensi tersehut seseorang mampu menyelesaikan persoalan yang

dihadapinya dan bertanggung jawab atas setiap putusan yang diambil16.

2. Lintas Budaya

Budaya adalah sesuatu konsep maupun paradigma yang sangat kompleks.

Oleh karenanya lintas-budaya merupakan sebuah cara pandang mengenai

pemahaman kebenaran dan prinsip-prinsip perilaku manusia dalam sebuah

kerangka lintas budaya. Masalah yang kemudian muncul adalah mendefinisikan

konsep budaya yang digunakan sebagai sudut atau cara pandang. Namun, yang

dimaksud budaya dalam penelitian penulis adalah budaya dalam kacamata

konseling, dengan kata lain budaya adalah ilmu mengenai perilaku individu

(manusia) dan penyebarannya, sekaligus memperhitungkan cara perilaku itu

dibentuk dan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial dan budaya. Menurut

15
Arintoko, Wawancara Konseling di Sekolah, (Yogyakarta : PenerbitAndi,2011).hal.3
16
Jarnawi, Konseling Trauma Untuk,….,hal. 20
15

Joko Tri Prasetyo budaya berasal dari bahasa Sansekerta ”Buddhayah”, yaitu

bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal17.

Sedangkan kebudayaan itu sendiri berarti “ hasil kegiatan dan penciptaan

batin akal budi manusia seperti kesenian, kepercayaan dan adat istiadat” (KKBI,

2014). Menurut Koetjaraningrat menjelaskan budaya dapat dimaknai sebagai

keseluruhan sistem atau gagasan, tindakan dan hasil karya manusia yang diperoleh

dari hasil belajar dalam kehidupan masyarakat, yang dijadikan milik manusia itu

sendiri.18

Lintas Budaya dekat sekali dengan isu-isu otonomi daerah, pluralisme ada

multikulturalisme yang sedang hangat saat ini. Itu tidak hanya mengandung

unsur-unsur kelokalan tapi juga bisa dikategorikan studi hubungan internasional

apabila levelnya adalah internasional dan lintas negara.

Lintas Budaya adalah studi ilmiah tentang perilaku manusia dan proses

mental, termasuk variabilitas dan invarian, di bawah kondisi budaya yang

beragam. Melalui memperluas metodologi penelitian untuk mengenali variasi

budaya dalam perilaku, bahasa dan makna, ia berusaha untuk memperpanjang,

mengembangkan dan mengubah psikologi.

3. Konseling Lintas Budaya

Konseling lintas budaya merupakan hubungan yang berbeda antara

konselordengan konseling yang berbeda latar belakang kebudayaan dan sebagai

17
Joko Tri Prasetyo, Ilmu Budaya Dasar (MKDU), ceta. Ke-2 (Jakarta: Rineka Cipta,
1998), hal. 6
18
Koetjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Yogyakarta: Djambatan,
1997)
16

sebuah profesi yang menyeluruh konseling sendiri tidakan akan pernah mengenal

perbedaan.

Bagi seorang konselor, konseling lintas budaya ini bekerja memahami dampak

yang mungkin terjadi dari perbedaan budaya ini. Pengetahuan mereka tentang

perbedaan komunikasi, bagaimana gaya komunikasi ini mungkin akan diberikan

atau membantu perkembangan dalam proses konseling pada klien, dan bagaimana

cara mencegah dampak yang mungkin terjadi, sehingga konselor dapat

mengentaskan permasalahan yang sedang dialami klien akan tetapi tidak berusaha

membantu klien keluar dari saran saja konselor pun berusaha menjaga dan

mengembangkan potensi-potensi dari dalam diri klien khususnya kesadarannya

terhadap ker-agama budaya sehingga dapat lebih menghargai agama, keyakinan

dan nilai yang dimiliki oleh orang lain, termasuk atribut dan hal-hal yang bersifat

tabu, karena hal tersebut mempengaruhi pandangan seseorang.

Selain itu, konseling lintas budaya berfungsi membantu seorang konselor

dalam melakukan pendekatan sesuai dengan Keragaman budaya tersebut dalam

melaksanakan konseling.19

Menurut Akhmadi, bahwa konselor harus memiliki kompentensi dalam hal :

a. Memahami kompleksitas interaksi individu lingkungan dalam ragam

kontesk sosial budaya. Ini berarti seorang konselor harus mengakses atau

mengevaluasi keterlibatan dinamisdari keluarga, lingkungan, sekolah,

lembaga sosial dan masyarakat sebagai faktor yang berpengarus

terhadapker berfungsian individu di dalam sistem.

19
Deliati Latifah Hanum, Konseling Lintas Budaya, (Semarang: Rasail Media Group,
2018),hal. 42
17

b. Menguasai ragam bentuk interpensi psikologis baik antarmaupun intra

pribadi dan lintas budaya.

c. Menguasai strategi dan teknik asesmen yang memungkinkan dapat

difahaminya keberfungsian psikologis individu dan interaksinya dengan

lingkungan.

d. Memahami psoses perkembangan manusia secara individual maupun

secara sosial20.

Maka dari itu, sangat penting bagi konselor secara umum (tidak hanya

untuk konselor multikultural) dan memiliki kesadaran budaya memperhatikan

berbagai hal yang terkait dengan pemahaman individu dan lingkungan. Kesadaran

budaya yang perlu dimiliki konselor diawali juga dengan pemahamannya terhadap

perbedaan budaya konsseli.

Bukan hanya itu corey juga mengemukakan bahwa dalam konseling

multikultural memiliki tiga dimensi kompetensi, yaitu :

1) Keyakinan dan sikap, hal ini berkaitan dengan keyakinan nilai-nilai yang

dimiliki konselor dengan keyakinan nilai yang dimiliki konseli, dalam hal

ini konselor harus memiliki sikap yang tentunya dapat mendukung proses

konseling lintas budaya yaitu menerima dan memahami perbedaan yang

ada.

2) Pengetahuan dalam konseling lintas budaya, seorang konselor tentu harus

memiliki pengetahuan yang luas mengenai sistem dan kebudayaan yang

beragam.

Akhmadi, Peningkatan Kesadaran Multikultural Konselor (Guru BK), Jurnal


20

MUADDIB, Volume.03, No.1, 2013


18

3) Keterampilan dan stategi intervensi setelah konselor memahami dan

memiliki pengetahuan mengenai budaya yang dimiliki oleh konseli maka

diperlukan keterampilan dasar konselor dan strategi yang nantinya akan

diberikan konselordalam proses konseling.21

Konseling lintas budaya mengandaikan adanya pengujian dari berbagai

kemungkinan batas-batas pengetahuan dengan mempelajari orang-orang dari

berbagai budaya yang berbeda. Penelitian lintas-budaya secara sederhana berarti

dilibatkannya partisipan dari latar belakang kultural yang berbeda dan pengujian

terhadap kemungkinan-kemungkinan adanya perbedaan antara para partisipan

tersebut22.

Konseling lintas budaya merupakan perpaduan dari dua istilah yaitu

konseling dalam lintas budaya. Secara singkat, menurut Maliki (2016), konseling

lintas budaya dapat diartikan konseling yang dilakukan dalam ruang lingkup dan

ke-empat setelah psikodinamik, setting budaya yang berbeda, dengan kata lain

konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda.

Dalam konseling lintas, budaya atau kebudayaan (culture) meliputi tradisi,

kebiasaan, nilai-nilai, norma, bahasa, keyakinan dan berfikir yang telah terpola

dalam suatu masyarakat dan diwarikan dari generasi ke generasi serta

memberikan identitas pada komunitas pendukungnya (Prosser, 1978).

Menurut Supriadi (2001), dalam konseling lintas budaya melibatkan

konselor dan konseli yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan

21
Gerald Coray,Theory and Practice of Counseling And Psychotherapry Eighth Edition,
(Belmont : Brooks/Cole Thompson Learning. hal : 24
22
David Matsumoto, Pengantar Psikologi Lintas-Budaya (Ter), (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar), hal.
19

karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada

pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Lebih lanjut,

dikemukakan pula agar berjalan efektif maka konselor dituntut untuk memiliki

kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat

mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki keterampilan-keterampilan yang

responsif secara kultural. Dengan demikian, konseling dipandang sebagai

perjumpaan budaya (cultural encounter) antara konselor dan klien

Menurut Pedersen (dalam Maliki, 2016), ada tiga elemen dalam konseling

lintas budaya, yakni:

a) konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan

melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien,

b) konselor dan klien berasal belakang budaya yang berbeda, dan melakukan

konseling dalam latar belakang budaya (tempat) konselor, dan

c) konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan

melakukan konseling di tempat yang berbeda pula.

Lebih lanjut, dinyatakan pula bahwa terdapat beberapa aspek dalam

konseling lintas budaya, yakni:

(1) atar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor,

(2) latar belakang budaya yang dimiliki oleh klien,

(3) asumsi-asumsi terhadap masalah yang akan dihadapi selama konseling,

dan
20

(4) nilai-nilai yang memengaruhi hubungan konseling yaitu adanya

kesempatan dan hambatan yang berlatar belakang tempat dimana

konseling itu dilaksanakan.

4. Tujuan Konseling Lintas Budaya

Adapun tujuan dari konseling lintas budaya ialah agar konselor dapat

menyadari keberadaan klien dan sensitif terhadap kebudayaan seorang klien,

sehingga dapat menghargai perbedaan dan hal itu dapat membuat konselor merasa

nyaman dengan perbedaaan yang ada di antara dirinya dan klien baik dalam

bentuk ras, etnik, kebudayaan dan kepercayaan.23

Menurut Giyono ada dua tujuan dari konseling lintas budaya yang pertama

ialah tujuan utama dimana tujuan utama tersebut adalah tujuan untuk membatu

individu/konseli untukmendapat menolong dirinya sendiri dengan kemampuannya

dan budaya yang dimiliki. Sedangkan tujuan lainnya ialah

a. Menolong individu agar lebih mengenal budayanya sendiri, nilai-nilai

dirinya, adat istiadatnya dalam masyarakat dimana individu konseli

dibesarkan dengan kebiasaan-kebiasaan lingkungannya.

b. Menolong individu agar mampu mengenal budaya orang lain, nilai-nilai

lingkungannya, dan adat istidat orang lain.

c. Menolong individu memahami bahwa budaya, nilai-nilai, kebiasaan-

kebiaan, dan pandangan hidup satu dengan yang lain berbeda.24

5. Asas-asas Konseling Lintas Budaya

23
Deliati Latif Hanum, Konseling Lintas Budaya, ( Semarang: Rasail MediaGroup :
2018) hal.41

24
Giyono, Konseling Lintas Budaya (Yogyakarta: Media Akademi : 2016) hal. 45
21

Layanan konseling lintas budaya merupakan layanan profesional, maka

dari itu dalam melakukan layanan konseling lintas budaya harus di ikuti dengan

kaidah-kaidah yang didasarkan tuntutan keilmuan layanan. Kaidah tersebut sering

disebut dengan asas asas layanan. Ada beberapa asas-asas layanan konseling lintas

budaya yaitu:

a) Asas Kerahasiaan, dimana konselor harus menjamin kerahasiaan semua

data yang disampaikan klien. Asas ini merupakan asas kunci dalam

layanan konseling lintas budaya.

b) Asas Kesukarelaan, dalam proses konseling harus dilakukan atas dasar

sukarela baik dari konselor maupun klien. Klien dengan sukarela

menyampaikan masalah tanpa diminta oleh konselor, dan konselor

memberituan dengan sukarela.

c) Asas Keterbukaan, dalam konseling diprlukan suasana saling terbuka baik

konselor maupun klien. Konselor memiliki keterampilan, terbuka, asli,

tampil apa adanya. Klien harus mau membuka diri menyampaikan

masalah secara terbuka, jujur tentang keadaan dirinya.

d) Asas Kegiatan, dalam layanan konseling harus dilakukan dengan usaha

dari klien maupun konselor. Konselor harus mampu membangkitkan

kemauan klien sehingga mampu dan mau melaksanakan kegiatan.

Konselor juga harus aktif membantu klien.

e) Asas Kemandirian, dalam layanan ini, diharapkan klien dapat mandiri,

tanpa harus selalu bergantung pada pihak lain. Maka klien diarahkan dan
22

diberi kesempatan untik mampu memeutuskan dan membuat keputusan

sendiri.

f) Asas Kekinian, konselor tidak boleh menunda-nunda dalam memberi

bantuan, bantuan yang diberikan sesuai dengan perkembangan jaman.

Bukan kecenderungan lama atau impian masa depan.

g) Asas Keterpaduan, layanan konseling menjun-jung tinggi harmonis dan

terpadu. Maka diperlukan kerjasama yang baik dan humoris dari pihak

yang terlibat.

h) Asas Kedinamisan, layanan konseling menghendaki terjadinya perubahan

pada klien. Yaitu perubahaan tingkah laku ke arah yang lebih baik, maju

dan terus berkembang.

i) Asas Kenormatifan, layanan konseling ini berdasarkan norma-norma yang

berlaku baik norma adat istiadat, norma sosial, norma agama dsb. Dalam

asas ini diterapkan terhadap tujuan, isi, alat maupun proses konseling

harus dapat diperjelas atau dipertanggung jawabkan secara noirmatif.

j) Asas keahlian, layanan konseling lintas budaya ini harus dilakukan sesuai

dengan keahlian, sehingga layanan diatur secara teratur, sistematik,

prosedur dan teknik yang memadai. Oleh karena itu konselor harus

memiliki pendidikan/latihan pengalaman yang memadai.

k) Asas Alih Tangan, dalam layanan konseling lintas budaya, pihak-pihak

yang tidak mampu menyelengarakan layanan secara tepat karena


23

keterbatasan kewenangan dan kompetensi, agar dapat melakukan alih

tangan (referal) kepada pihak lain yang lebih kompeten.25

6. Hambatan Pelaksanaan Konseling Lintas Budaya

Dalam menjalan kan konseling lintas budaya bukan tidak ada hambatan

atau kendala ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses terhambatnya

konseling lintas budaya yaitu :

a) Bahasa

Bahasa merupakan alat yang paling mendasar yang digunakan oleh

konselor, dalam konseling lintas budaya, bahasa menjadi hambatan utama

yang menjadikan konseling tidak berjalan secara efektif.

b) Nilai-nilai

Nilai-nilai yang berkaitan dengan budaya, merupakan kendala pada

konseling lintas budaya (Counseling Cross Culture). Belkin (1984)

menunjukkan beberapa, contoh di mana konselor secara tidak sadar

menghadapkan nilai- nilai ini kepada konsele, dari kelompok minoritas.

Salah satu dari tingkah laku yang paling berkaitan proses konseling adalah

pengungkapan diri. Konselor semestinya juga menyadari bahwa masing-

masing konsele memiliki nilai-nilai yang berbeda. Misalnya; orang Jawa

kebanyakan memiliki nilai yang dipegang teguh seperti : Diam itu emas,

tabu mengungkapkan masalah pribadi lalu ada juga istilah Wani ngalah

dhuwur wekasane (dengan siapa saja lebih baik mengalah).

c) Stereotype
25
Deliati Latif Hanum, Konseling Lintas Budaya, ( Semarang: Rasail MediaGroup :
2018) hal. 55
24

Banyak beberapa ahli yang menulis tentang "stereotype" suatu hal yang

sangat potensial sebagai penghambat dalam komunikasi interpersonal.

Steriotype biasanya diartikan sebagai generalisasi sekelompok orang

terhadap kelompok lain, stereotype pertama-tama tampaknya tidak

negative, namun stereotype biasanya adalah merupakan opini atau

pendapat yang tidak menerima kritik. Jadi stereotype cenderung tidak

memperhatikan individu dari kelompok yang disteriotypekan. Apabila

konselor menggunakan stereotype, maka mereka akan kehilangan

fleksibelitas, dalam merespon kebutuhan konsele mereka. Selain itu

konseling akan mengalami hambatan.

d) Kelas Sosial

Kelas sosial adalah kelas yang ada dalam masyarakat berdasarkan

kekayaan, (kelas bawah, kelas menengah, kelas atas). Kelas sosial yang

bawah atau kemiskinan tampaknya mempengaruhi kesehatan mental dan

perlu untuk diberi perlakuan (treatment). Penelitian menunjukkan adanya

hubungan timbal balik antara kelas sosial dengan ketidak normalan seperti

scizoprenia, alkoholisme, penggunaan narkotika dan tingkah laku anti

sosial Dohrenbensd dan Dohrenbensd (1984) . Hal ini sebagai suatu fungsi

yang berkaitan dengan kemiskinan. Pada proses konseling tingkat

pengalaman yang berbeda dari konselee dengan konselor serta berbeda

persepsinya terhadap proses konseling atau penanganannya terhadap dunia

menyebabkan hambatan yang besar dalam penyelenggaraan konseling.

Konselor dari masyarakat kelas menengah mungkin belum tabu bahwa apa
25

yang mereka lakukan seringkali tidak memuaskan dari kaum miskin. Hal

tersebut disebabkan yang mereka lakukan selalu berkaitan dengan

materialisme. Perbedaan ini tentu saja harus dihindari.26

e) Ras atau suku

Di Indonesia yang terdiri atas bermacam-macam rasa tau suku

menyebabkan variasi perbedaan yang sangat beragam. Perbedaan suku ini

seringkali merupakan penghambat proses konseling, karena masing-

masing suku memiliki kebiasaan, gaya hidup, dan nilai budaya yang

berbeda, hal ini yang perlu dipahami oleh konselor. Atas dasar kesadaran

lintas budaya yang dimiliki oleh konselor diharapkan ia dapat mengatasi

hambatan ini.27

f) Usia

Usia merupakan penghambat konseling, karena pada das- rnya masing-

masing periode perkembangan mempunyai kebutuhan, kebiasaan, gaya

hidup, dan nilai budaya tertentu, yang harus dipahami oleh konselor.

Misalnya konselor yang masih muda membantu klien yang lebih tua

usianya. Hal ini bukan berarti tidak ada problem bagi konselor yang

melayani konseling anak-anak muda. Maka dari itu, konselor konselor

memeliki keterampilan dan teknik yang efektif.28

g) Gaya Hidup

26
Giyono, Konseling Lintas Budaya (Yogyakarta: Media Akademi : 2016). Hal. 75

27
Deliati Latif Hanum, Konseling Lintas Budaya, ( Semarang: Rasail MediaGroup :
2018) hal. 68

28
Ibid, hal 69
26

Pola hidup atau gaya hidup dapat dibagi menjadi gaya hidup tradisional,

yang didukung secara terbuka oleh sebagian besar anggota masyarakat,

dan gaya hidup alternative yang jarang terjadi dan biasanya kurang

disetujui masyarakat ini juga menjadi salah satu hambatan dalam

terlaksananya proses konseling lintas budaya.29

h) Keadaan orang-orang cacat

Keadaan orang cacat merupakan penghambat bagi pelaksanaan konseling.

Keadaan cacat yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi perilaku,

sikap, kepekaan perasaan, dan reaksinya terhadap lingkungan. Nathanson

mengidentifikasi pelanggaran-pelanggran yang umum dilakukan konselor

terha-dap integritas kaum cacat, yaitu: Memandang bahwa satu faktor

penghambat dapat menjalar ke aspek-aspek lain seseorang, sehingga

keseluruhan individu itu dinilai hanya dari ciri fisiknya saja.30

Hambatan atau ketidak efektifan konseling lintas budaya dapat

disebebakan juga oleh faktor konselor yang tidak memperoleh pendidikan/latihan

dan pengalaman tentang konseling lintas budaya (Ivey,1981) konseling yang

terkukung dalam budayanya sendiri (cultural encapsulation) dan yakin tidak

memiliki kesadaran/kepekaan budaya. Dalam konseling lintas budaya, konselor

yang memberikan pelayanan konseling lintas budaya, harus memiliki kopetensi

profesional. Beberapa jenis ketrampilan yang harus dimiliki konselor dalam

konseling lintas budaya dan selalu diaktifkan dengan konteks budaya antara lain:

29
Ibid, hal. 70
30
Ibid
27

1) Ketrampilan menyiapkan tata formasi atau menyiapkan konteks seperti

menyiapkan tempat konseling,suasana ruangan, dekorasi dan sebagainya.

2) Keterampilan memperhatikan (attending skills).

3) Ketrampilan mengeksplorasikan masalah.

4) Keterampilan dalam menngembangkan inisiatif (merumuskan tujuan,

mengembangkan program).

5) Ketrampilan dalam mempengaruhi atau pemilihan strategi, seperti :

ketrampilan menginterpretasi, ketrampilan memilih setrategi bantuan yang

tepat, ketrampilan memberi pengaruh, ketrampilan memberkan dukungan

(reassurance), ketrampilan memberikan advisi atau informasi, ketrampilan

memberikan umpan balik, ketrampilan logical consequences, ketrampilan

influencing summary dan sebagainya.31

B. Kajian terhadap Hasil Penelitian Terdahulu

1. Kajian terdahulu yang pernah dilakukan oleh: Ubaidillah Achmad,

2016, dengan judul Konseling Lintas Budaya Perspektif Abdurahman

Wahid, hasil penelitian ialah gusdur tidak memaksa konseling untuk

memecahkan masalah dengan model prinsip dan system budaya Gus

Dur, namun membuka kesadaran konseling dengan latar belakang

sejarahnya sendiri. Sedangkan penelitian yang akan kita lakukan ialah

Prinsip-prinsip Layanan Konseling Lintas Budaya menurut Surat Al

Hujurat Ayat 13 dimana konselor harus membantu klien memecahkan

masalah kebudayaan dengan pandangan islam.

31
Masturi, Counselor Encapsulation : Sebuah tantangan Dalam Pelayanan Konseling
Lintas Budaya, Jurnal Konseling, Vol 1, No 2 Oktober 2015
28

2. Beny Dwi Pratama, 2016 dengan judul Kompetensi Lintas Budaya

dalam Pelayanan Konseling, yang mana hasil dimana konselor

dituntun untuk peka terhadap budaya agar lebih dapat memahami

permasalahan yang terdapat dan terjadi pada klien.

3. Masturi, 2015 dengan judul Counselor Encapsulation : Sebuah

tantangan Dalam Pelayanan Konseling Lintas Budaya, hasil dari

penelitian masturi ini ialah dimana konselor sendiri harus memiliki

kepekaan akan kebudayaan satu dengan yang lain dan konselor

jugaharus memiliki nilai-nilai budaya yang dianut didipedomani

sebagai nilai kebenaran.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Data Penelitian  

Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penulisan ini ialah penelitian

kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara

mengumpulkan data yang ada di pustaka, membaca, mencatat serta mengolah

bahan yang berkenaan dengan penelitian ini.32

Metode penelitian adalah cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan

tujuan kegunaan tertentu. Berdasarkan hal tersebut terdapat beberapa kunci yang

perlu diperhatikan yaitu, cara ilmiah, data, tujuan dan kegunaan. Cara ilmiah

berarti penelitian yang didasarkan pada ciri-ciri keilmuan yang rasional, empiris,

dan sistematis. Rasional berarti kegiatan penelitian dilakukan dengan cara masuk

akal, sehingga terjangkau oleh pidana manusia. Empiris berarti cara-cara yang

dilakukan dapat diamati oleh panca indra manusia sehingga dapat mengetahui

cara- cara yang digunakan. Sistematis berarti proses yang digunakan dalam

penelitian menggunakan langkah-langkah tertentu bersifat logis.33

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode content analysis

atau analisis isi, yaitu analisis tentang isi pesan suatu komunikasi. Teknik content

analysis (analisis isi) adalah teknik penelitian untuk membuat inferensi- inferensi

(proses penarikan kesimpulan berdasarkan pertimbangan yang dibuat sebelumnya

32
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2004), hal. 3
33
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, R&D, (Bandung: Alfabeta, 2015),
hal. 2
30

atau pertimbangan umum simpulan) yang dapat ditiru (replicable) dan shahih data

dengan memperhatikan konteksnya.34

Berdasarkan penerangan diatas, maka dalam penelitian ini penulis

menggunakan metode content analysis sebagai metode pendukung untuk

menganalısis isi dari pembahasan penelitian yang dikutip dari buku-buku ilmiah

yang berdasarkan daripada buku yang dikumpulkan, dibaca dan dipahami. Maka

melalui beberapa metode yang disebutkan penulis dapat menentukan cara yang

efektif untuk membahas pembahasan penelitian yang sedang penulis lakukan.

B. Sumber Data Penelitian 

Penelitian ini adalah Library Research (penelitian pustaka) yang

bersumber dari perpustakaan, Alqur’an, hadist, buku-buku tafsir, majalah, surat

kabar, dan berbagai macam referensi lain yang berkaitan dengan pembahasan

yang dikaji. Biasanya oarang mengenalnya dengan sebutan data primer dan data

sekunder. Dimana data primer yang biasanya lebih bersumber dari Alqur’an

sedangkan data sekunder bersumber dari dokumen atau buku.

34
Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Raja Grafindo, 2003), hal. 78
31

C. Teknik Pengumpulan Data

Data merupakan informasi-informasi yang didapat melalui pengukuran-

pengukuran tertentu untuk digunakan sebagai landasan dalam penyusunan

argumentasi logis menjadi fakta. Teknik pengumpulan data merupakan langkah

strategis dalam penelitian karena tujuan penelitian untuk mendapatkan data.35

Penelitian studi analisis merupakan kelompok penelitian kualitatif dan

penulis yang bertindak sebagai instrumen atau alat penelitian artinya peneliti

sendiri yang bertindak menetapkan fokus penelitian, memilih dan menetapkan

data, analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya.36

Dalam menafsirkan penelitian ini, penulis menggunakan tafsir mawdhu’iy

yang mana tafsir mawdhuiy itu sendiri ialah menghimpun ayat-ayat al-Qur’an

yang mempunyai maksud yang sama dalam arti sama-sama membicarakan satu

topic masalah dan menyusunnya berdasar kronologi serta sebab turunnya ayat-

ayat.37

D. Teknik Analisis Data 

Teknik analisis data penelitian berkaitan erat dengan teknik pengumpulan

data, bahkan teknik pengumpulan data sekaligus menjadi teknik analisis data. 38

Adapun teknik yang dilakukan dalam menganalisis data terkait dengan isi (konten

analisis) adalah melalui:

35
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, R&D,……, hal. 224
36
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan,…., hal. 3
37
Abd, Al-Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’y, (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 1996).
38
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2007),
hal. 222
32

1. Reduksi data

Data yang diperoleh jumlahnya cukup banyak dari proses

pengumpulan data melalui catatan lapangan, wawancara, rekaman dan

data yang sudah tersedia, maka perlu dilakukan perangkuman data (data

summary), memberi kode (coding), merumuskan temanya,

pengelompokan (culstering) dan menyajikan dalam bentuk narasi.

2. Penyajian data

Penyajian data adalah bagian kedua dari tahap ini, peneliti perlu

menganalisis proses reduksi data dan memahami intinya. Penyajian data

biasanya lebih difokuskan dalam bentuk ringkasan yang terstruktur dan

sinopsis.

3. Pengambilan Kesimpulan dan Verifikai

Dalam tahap pengambilan kesimpulan ini, peneliti harus membuat

interpretasi, mengartikan data yang di peroleh. Untuk memastikan

kebenarannya maka perlu membandingkan atara pola, tema dan

kelompoknya melalui triagulasi.39

Berdasarkan teknik di atas penulis menggunakan teknik analisis data

dengan menggunakan teknik content analysis (analisis data) untuk membuat

kesimpulan berdasarkan pertimbangan yang dibuat sebelumnya dengan memilih

yang penting untuk dipelajari dan membuat kesimpulan.

39
Tarjo, Metode Penelitian, ( Yogyakarta : CV Budi Utama, 2019) hal. 105-106
DAFTAR PUSTAKA

Abd, Al-Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’y, Jakarta : PT Raja


Grafindo Persada, 1996.

Akhmadi, Peningkatan Kesadaran Multikultural Konselor (Guru BK), Jurnal


MUADDIB, Volume.03, No.1, 2013

Arintoko, Wawancara Konseling di Sekolah, (Yogyakarta :


PenerbitAndi,2011).

Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Jakarta: Raja Grafindo,


2003

Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,


2007.

David Matsumoto, Pengantar Psikologi Lintas-Budaya (Ter), Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

Deddy mulyana, Komunikasi Lintas Budaya. Bandung : PT Remaja


Rosdakarya, 2011.

Deliati Latif Hanum, Konseling Lintas Budaya, Semarang: Rasail MediaGroup


: 2018

Emzir, Metodologi Penelitian, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.

Gerald Coray,Theory and Practice of Counseling And Psychotherapry Seventh


Edition,(Belmont : Brooks/Cole Thompson Learning.

Giyono, Konseling Lintas Budaya Yogyakarta: Media Akademi : 2016.

H. Abuddin Nata,Sejarah Pendidikan Islam, Pada Periode Klasik dan


pertengahan, Jakarta: PT Raga Grafindo Persada, 2010.
34

H. Prayitno & Drs. Emran Amti, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konselin,


Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2015.

J.P Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.

Jarnawi, Konseling Trauma Untuk Anak Akibat Kekerasan, dalam: Prayitno


dan Erman Amti, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling Jakarta: PT
Asdi Mahasatya, 2004.

Joko Tri Prasetyo, Ilmu Budaya Dasar (MKDU), ceta. Ke-2 Jakarta: Rineka
Cipta, 1998.

Koetjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Yogyakarta:


Djambatan.

Mattulada..(et.al.), Agama dan perubaan sosial. Jakarta: PT Raga Grafindo


Persada, 1996.

Masturi, Counselor Encapsulation : Sebuah tantangan Dalam Pelayanan


Konseling Lintas Budaya, Jurnal Konseling, Vol 1, No 2 Oktober 2015

Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor


Indonesia, 2004.

Samsul Munir Amin, M.A, Bimibingan Dan Konseling Islam, Jakarta: Amzah,
2015.

Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an.Jakarta: Gema Insani Press, 2004.

Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, R&D, Bandung: Alfabeta,


2015

Anda mungkin juga menyukai