FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM
TAHUN 2021
KATAPENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat-Nya dan dengan kemampuan yang saya miliki, penyusunan makalah
SGD (Small Group Discussion) LBM 4 yang berjudul “KEPALAKU
GATAL” dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini membahas mengenai hasil SGD lembar belajar
mahasiswa LBM 3 meliputi seven jumps step yang dibagi menjadi dua sesi
diskusi. Penyusunan makalah ini tidak akan berjalan lancer tanpa bantuan
dari berbagai pihak, maka dari itu dalam kesempatan ini saya mengucapkan
terimakasih kepada:
1. dr.Velia Maya Smoedra,S.Ked. Sebagai dosen fasilitator kelompok SGD
7 yang senantiasa memberikan saran serta bimbingan dalam pelaksanaan
SGD LBM 4.
2. Sumber literatur dan jurnal ilmiah yang relevan sebagai referensi dalam
berdiskusi.
3. Serta keluarga yang senantiasa memberikan dorongan dan motivasi.
Mengingat pengetahuan dan pengalaman yang terbatas untuk menyusun
makalah ini, maka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Saya berharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL HALAMAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................
BAB III PENUTUP.................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Etiologi
Penyebab pasti dermatitis seboroik hingga saat ini belum diketahui. Namun
terdapat dua faktor utama yang dianggap sebagai kontributor utama dari kondisi
ini. Faktor pertama ialah produksi minyak yang berlebihan. Minyak berlebih pada
kulit dapat menjadi iritan, sehingga menyebabkan kulit menjadi kemerahan dan
berminyak. Faktor yang kedua adalah Malassezia, suatu organisme jamur yang
secara alami ditemukan pada minyak di kulit. Terkadang pertumbuhan dan
perkembangannya menjadi abnormal, sehingga menyebabkan kulit memproduksi
lebih banyak minyak daripada yang seharusnya. Produksi minyak yang berlebihan
ini yang pada akhirnya menimbulkan dermatitis seboroik.
b. Psoriasis
Definisi
Psoriasis adalah peradangan pada kulit yang ditandai dengan ruam merah,
kulit kering, tebal, bersisik, dan mudah terkelupas. Terkadang, psoriasis juga disertai
dengan gatal dan nyeri. Psoriasis lebih sering muncul di daerah lutut, siku, punggung
bagian bawah, dan kulit kepala.
Etiologi
Etiologi psoriasis masih belum jelas meskipun ada bukti untuk
kecenderungan genetik. Peran sistem kekebalan tubuh dalam penyebab psoriasis
juga merupakan topik utama penelitian. Meskipun ada saran bahwa psoriasis bisa
menjadi penyakit autoimun, belum ada autoantigen yang bisa bertanggung jawab.
8 Psoriasis juga dapat dipicu oleh pemicu eksternal dan internal, termasuk trauma
ringan, terbakar sinar matahari, infeksi, obat sistemik dan stres.
Manifestasi Klinis
Penderita psoriasis umumnya tidak menunjukkan perubahan keadaan
umum, kecuali bila stadium penyakitnya sudah sampai pada eritroderma. Ada
penderita yang mengeluh rasa gatal, kaku, atau merasa sakit bila bergerak.
Gambaran klasik berupa plak eritematosa diliputi skuama putih disertai titik-titik
perdarahan bila skuama dilepas, berukuran dari seujung jarum sampai dengan
plakat menutupi sebagian besar area tubuh, umumnya simetris.Gejala pertama
psoriasis berupa makula dan papula eritem yang timbul tiba-tiba. Selanjutnya,
papula membesar secara sentrifugal, sampai sebesar lentikuler dan numuler.
Beberapa makula ini dapat bergabung membentuk lesi-lesi yang lebar hingga
sebesar daun gyrata. Lesi ini menunjukkan gambaran beraneka ragam, dapat
berupa arsiner, sirsiner, polisiklis, atau geografis.9 Penyakit ini dapat menyerang
kulit, kuku, mukosa, dan sendi tetapi tidak mengganggu rambut.
c. Liken Simplek Kronik
Definisi
Liken simpleks kronik (LSK) merupakan peradangan kulit kronis, gatal,
dan sirkumskrip yang ditandai dengan penebalan kulit dan kulit tampak lebih
menonjol (likenifikasi) akibat garukan atau gosokan yang berulang-ulang. Liken
simpleks kronik disebut juga sebagai neurodermatitis sirkumskripta atau liken
vidal
Etiologi
Faktor penyebab dari liken simpleks kronik (LSK) dapat dibagi menjadi dua,
yaitu
Faktor ekterna
1. Lingkungan
Faktor lingkungan seperti panas dan udara yang kering dapat berimplikasi
dalam menyebabkan iritasi yang dapat menginduksi gatal. Suhu yang tinggi
memudahkan seseorang berkeringat sehingga dpat mencetuskan gatal, hal ini
biasanya menyebabkan neurodermatitssirkum skripta pada daerah anogenital.
1. Gigitan serangga
Gigitan seranga dapat meyebabkan reaksi radang dalam tubuh yang
mengakibatkan rasa gatal
Faktor Interna
2. Dermatitis Atopi
Asosiasi antara liken simpleks kronik dan gangguan atopik telah banyak
dilaporkan, sekitar 26% sampai 75% pasien dengan dermatitis atopik terkena liken
simpleks kronik.
3. Stres
Stres telah dilaporkan memiliki prevalensi tertinggi yang mengakibatkan
liken simpleks kronik. Stres sebagai bagian dari proses patologis dari lesi yang
berkembang. Telah dirumuskan bahwa neurotransmitter yang mempengaruhi
perasaan, seperti : dopamine, serotonin, atau peptide opioid, memodulasikan
persepsi gatal melalui penurunan jalur spinal.
Manifestasi klinis
Didapatkan keluhan sangat gatal, hingga dapat mengganggu tidur. Gatal
dapat timbul paroksismal/terus-menerus/sporadik dan menghebat bila ada stres
psikis. Lesi likenifikasi umumnya tunggal tetapi dapat lebih dari satu.dengan
ukuran lentikular hingga plakat. Stadium awal berupa eritema dan edema atau
papul berkelompok. Akibat garukan terus meneur timpul plak likenifikasi dengan
skuama dan eskoriasi, serta hiperpigmentasi atau hipopigmentasi. Bagian tengah
lesi menebal, kering dan berskuama, sedangkan bagian tepi hiperpigmentasi.
Predileksi utama yaitu daerah yang mudah dijangkau oleh tangan seperti kulit
kepala, tengkuk, ekstremitas ekstensor, pergelangan tangan dan area anogenital,
meskipun dapat timbul di area tubuh manapun.
d. Tinea Capitis
Definisi
Tinea kapitis adalah kelainan pada kulit dan rambut kepala yang
disebabkan oleh spesies dermatofita. Kelainan ini dapat ditandai dengan kulit
bersisik, kemerah-merahan, alopesia dan kadang terjadi gambaran klinis yang
lebih berat, yang disebut kerion. Di dalam klinik tinea kapitis dapat dilihat sebagai
3 bentuk yang jelas
Manifestasi klinis
Grey patch ringworm merupakan Tinea kapitis yang biasanya disebabkan
oleh genus Microsporum dan sering ditemukan pada anak-anak. Penyakit mulai
dengan papul merah yang kecil di sekitar rambut. Papul melebar dan membentuk
bercak , yang menjadi pucat dan bersisik. Keluhan penderita adalah rasa gatal.
Warna rambut menjadi abu-abu dan tidak berkilat lagi. Rambut mudah patah dan
terlepas dari akarnya, sehingga mudah dicabut tanpa rasa nyeri. Semua rambut di
daerah tersebut terserang jamur sehingga dapat terbentuk alopesia setempat.
Tempat-tempat ini terlihat sebagai grey patch. Grey patch secara klinis tidak
menunjukkan batas-batas daerah sakit dengan pasti. Pemeriksaan menggunakan
lampu Wood menunjukkan fluoresensi hijau kekuning-kuningan pada rambut
yang sakit melampaui batasbatas grey patch tersebut. Tinea kapitis yang
disebabkan oleh Microsporum audouini biasanya disertai tanda peradangan
ringan, hanya sesekali dapat terbentuk kerion.
Kerion merupakan reaksi peradangan yang berat pada tinea kapitis berupa
pembengkakan yang menyerupai sarang lebah dengan sebukan sel radang yang
padat di sekitarnya. Bila penyebabnya Microsporum canis dan Microsporum
gypseum, pembentukkan kerion ini lebih sering dilihat, adak kurang terlihat bila
penyebabnya Trichophyton tonsurans, dan sedikit sekali terlihat apabila
penyebabnya Trichophyton violaceum. Kelainan ini dapat menimbulkan jaringan
parut dan berakibat alopesia yang menetap. Jaringan parut yang menonjol kadang-
kadang dapat terbentuk. Tinea Kapitis Kerion
Black dot ringworm terutama disebabkan oleh Trichophyton tonsurans dan
Trichophyton violaceum. Pada permulaan penyakit, gambaran klinisnya
menyerupai kelainan yang disebabkan oleh genus Microsporum. Rambut yang
terkena infeksi patah, tepat pada muara folikel, dan yang tertinggal adalah ujung
rambut yang penuh spora. Ujung rambut yang hitam didalam folikel rambut ini
memberikan gambaran khas, yaitu black dot. Ujung rambut yang patah, bila
tumbuh kadang-kadang masuk ke bawah permukaan kulit, dalam hal ini perlu
dilakukan irisan kulit untuk mendapatkan bahan biakan jamur. Tinea kapitis juga
akan menunjukkan reaksi peradangan yang lebih berat, bila disebabkan oleh
Trichophyton mentagrophytes dan Trichophyton verrucosum yang keduanya
bersifat zoofilik. Trichophyton rubrum sangat jarang menyebabkan tinea kapitis.
Walaupun demikian, bentuk klinis granuloma, kerion, alopesia, dan black dot
yang disebabkan Trichophyton rubrum pernah ditulis.
Etiologi
Tinea capitis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh jamur
dermatofit pada lapisan luar kulit kepala dan batang rambut. Seseorang bisa
dengan mudah tertular tinea capitis apabila bersentuhan langsung dengan kulit
pengidap. Kasus penularan seperti ini adalah yang paling sering terjadi. Selain itu,
seseorang juga berisiko tertular tinea capitis jika ia menyentuh hewan-hewan
pembawa penyakit. Contoh-contoh hewan pembawa penyakit tinea capitis
tersebut adalah kucing, anjing, kuda, domba, sapi, dan babi.
e. Pitiriasis Rosea
Definis
Pitiriasis rosea adalah suatu kelainan kulit akut yang diawali dengan
timbulnya makula/plak soliter berwarna merah muda dengan skuama halus
(“herald patch”), kemudian dalam beberapa hari sampai beberapa minggu timbul
lesi serupa dengan ukuran lebih kecil di badan dan ekstremitas proksimal yang
tersusun sesuai lipatan kulit (christmas tree pattern).
Etiologi
Etiologi pityriasis rosea diduga akibat infeksi. Beberapa patogen yang
diduga menyebabkan pityriasis rosea antara lain: Human herpesvirus (HHV) -6, 7,
1 dan Virus influenza H1N1, Streptococcus sp. Etiologi lain seperti obat-obatan
dan vaksin berhubungan dengan erupsi menyerupai pityriasis rosea (pityriasis
rosea-like eruption). Beberapa obat yang berhubungan dengan pityriasis rosea
adalah metronidazole, isotretinoin, captopril, clonidine, barbiturat, agen anti-
tumor necrosis factor, dan clozapine. Vaksin yang berhubungan dengan kejadian
pityriasis rosea adalah vaksin influenza, vaksin difteri, vaksin BCG, vaksin
hepatitis B, dan vaksin pneumokokus.
Manifestasi Klinis
Gambaran klinis diawali dengan timbulnya lesi primer berupa makula/plak
sewarna kulit/merah muda/salmon-colored2 /hiperpigmentasi1 yang berbatas
tegas, umumnya berdiameter 2-4 cm1,2 dan berbentuk lonjong atau bulat. Bagian
tengah lesi memiliki karakteristik skuama halus, dan pada bagian dalam tepinya
terdapat skuama yang lebih jelas membentuk gambaran skuama kolaret. Lesi
primer biasanya terletak di bagian badan yang tertutup baju, tetapi kadang-kadang
ditemukan di leher atau ekstremitas proksimal seperti paha atas atau lengan atas.
Lesi primer jarang ditemukan di wajah, penis atau kulit kepala berambut.Erupsi
simetris terutama pada badan, leher, dan ekstremitas proksimal. Lesi sekunder
berupa makula/plak merah muda, multipel, berukuran lebih kecil dari lesi
primer,berbentuk bulat atau lonjong, yang mengikuti Langer lines sehingga pada
punggung membentuk gambaran christmas-tree pattern.Dapat ditemukan
pembesaran kelenjar getah bening. Varian Pitiriasis rosea atipikal. Pada pitiriasis
rosea atipikal herald patch dapat tidak ditemukan, berjumlah lebih dari satu, atau
menjadi satu-satunya manifestasi klinis. Lesi dapat terdistribusi hanya di daerah
perifer, mengenai wajah, kulit kepala berambut, atau lokalisata pada regio tertentu
seperti telapak tangan, telapak kaki, aksila, vulva, dan lipat paha. 1 Lesi dapat
berupa urtika, erythema multiforme-like, vesikuler, pustular, dan purpura.2,
2.1 Diagnosa Kerja
Berdasarkan dari tanda dan gejala serta beberapa pemeriksaan yang ada
pada scenario, dan juga berdasarkan refrensi dan diskusi kelompok, maka dapat
disimpulkan bahwa diagnose kerja untuk kasus pasien pada scenario tersebut
adalah Dermatitis Seboroik
2.1.1 Epidemiologi
Prevalensi dermatitis seboroik di seluruh dunia 1-5%. Prevalensitertinggi
terjadi pada tiga bulan pertama kehidupan dan membaik pada usia 8-12 bulan.
Pada dewasa terjadi di usia 20-50 tahun, lebih sering terjadi pada laki-laki
dibanding wanita. Prevalensi dermatitis seboroik Pada orang Asia yang berusia
12-20 tahun bervariasi yaitu di Guangzhou 2,9%, di Macao 2,7%, di Malaysia
17,2% dan di Indonesia 26,5%.19 Prevalensi Dermatitis seboroik terjadi pada
pasien yang memiliki kekebalan tubuh rendah seperti HIV/AIDS yaitu sebanyak
30-80%.
2.1.2 Patofisiologi
Etiopatogenesis DS masih sebagian diketahui. Lipid kulit dan spesies
Malassezia adalah faktor etiologi yang paling banyak dipelajari. Kelenjar sebasea
pasien DS tidak lebih banyak dibandingkan dengan individu sehat. Selain itu tidak
didapatkan kelainan morfologi dan ukuran kelenjar pada penderita DS
dibandingkan dengan orang sehat. Tidak semua orang dengan hiperseborea
mengalami DS, tetapi pasien dengan DS dapat memiliki kuantitas sebum yang
normal atau bahkan kulit yang kering. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah
sebum bukanlah faktor penyebab terjadinya DS. Pada sebum pasien DS,
trigliserida dan kolesterol meningkat, sementara skualan dan asam lemak bebas
berkurang. Asam lemak bebas yang diketahui memiliki efek antimikroba dibentuk
dari trigliserida oleh lipase bakteri, diproduksi oleh Corynebacterium acne dan
Malassezia yang merupakan flora residen. Asam lemak bebas dan radikal oksigen
reaktif dapat mengubah keseimbangan flora normal kulit. 1,2 Spesies Malassezia
tidak dapat memproduksi asam lemak yang penting untuk pertumbuhannya.
Namun, ia menghasilkan lipase dan fosfolipase yang akan memecah trigliserida
menjadi asam lemak bebas. Selanjutnya, spesies Malassezia menggunakan asam
lemak jenuh dan melepaskan asam lemak tak jenuh ke permukaan kulit. Akhirnya,
spesies ini menginduksi pelepasan sitokin proinflamasi (IL6 dan 8 dan tumor
necrosis factor α).10 Pada pasien AIDS, DS lebih sering terjadi dan berat. Pada
pasien AIDS, prevalensi DS berkisar antara 34% hingga 83% (pada populasi
umum prevalensinya hanya 3-5%). Pasien-pasien ini kebanyakan laki-laki
homoseksual atau biseksual dengan CD4+.
Pada anak dan dewasa, biasanya yang menjadi keluhan utama adalah
kemerahan dan sisik di kulit kepala, lipatan nasolabial, alis mata, area post
aurikula, dahi dan dada. Lesi lebih jarang ditemukan di area umbilikus,
interskapula, perineum dan anogenital. Area kulit yang kemerahan biasanya gatal.
Pasien juga dapat mengeluhkan ketombe (Pitiriasis sika). Keluhan dapat
memburuk jika terdapat stressor atau cuaca dingin.
b. Pemeriksaan Fisik
2.1.5 Tatalaksana
Terapi topikal adalah pendekatan lini pertama pada terapi DS kulit kepala,
Terapi topikal yang obat anti jamur, pengatur sebum, keratolitik dan atau anti
inf/lamasi. Bentuk obat ini tersedia dalam berbagai formulasi seperti krim, emulsi,
foam, salep dan sampo.
Sampo yang mengandung obat anti Malassezia, seperti selenium, sulfida,
zincpirithione,ketoconazole, berbagai sampo yang mengandung ter dan solusio
terbinefine1% Penggunaan sampo yang mengandung obat tersebut bisa
digunakan 2 sampai 3 kali seminggu, didiamkan selama 5-10 menit, untuk
optimalisasi efek anti jamur dan keratolitiknya.
Sedangkan Untuk menghilangkan skuama yang tebal dan untuk
mengurangi sebum pada kulit dapat dilakukan dengan mencuci secara berulang
daerah yang terkena dengan sabun lunak yaitu dengan krim imidazole dan
turunanya bahan antibiotic jika terdapat pada daerah lipatan .
Untuk keluhan yang ringan dapat diberikan :
Antijamur topikal: sampo ciclopirox 1-5%, ketokonazol sampo 1-2%,
foaming gel 2%, hydrogel 20 mg/gel 2-3 kali/minggu.
AIAFp: sampo piroctone olamine/bisabolol/glychirretic acid/lactoferrin 2-
3 kali/minggu
Keratolitik: - Sampo asam salisilat 3% 2-3 kali/minggu , sampo tar 1-2%
1-2 kali/minggu
Bahan lainnya: - Sampo selenium sulfida 2,5% 2-3 kali/minggu
- Sampo zinc pyrithione 1-2% 2-3 kali/minggu
Kortikosteroid topikal kelas I: linimentum dan solusio hidrokortison 1%,
losion hidrokortison 0,1% 1 kali sehari selama 4 minggu minggu
Kortikosteroid topikal kelas II: salep aclometasone 0,05%5-6 , krim
desonide 0,05%
Antijamur sistemik:
Itrakonazol 200 mg/hari selama 1 minggu kemudian 200 mg/hari selama 2
hari/bulan selama 11 bulan
Terbinafin 250 mg/hari selama 4-6 minggu (regimen kontinu) atau 250
mg/hari selama 12 hari/bulan untuk 3 bulan (regimen intermiten)
Flukonazol 50 mg/hari selama 2 minggu atau 200-300 mg/minggu selama
2-4 minggu
Urutan pilihan terapi
1. Lini pertama
- Sampo ketokonazol
- Sampo ciclopirox
- Sampo zinc pyrithione
2. Lini kedua
- Propylene glycol lotion
- Kortikosteroid topikal potensi kuat-sangat kuat
- Salep tacrolimus
- Mikonazol dan Sampo selenium sulfida
KIE :
1. Menghindari faktor pemicu/pencetus misalnya
Penggunaan pendingin ruangan (air conditioner) atau udara dengan
kelembapan rendah di lingkungan kerja
Hindari garukan yang dapat menyebabkan lesi iritasi
Hindari bahan-bahan yang dapat menimbulkan iritasi
Mengkonsumsi makanan rendah lemak
Tetap menjaga higiene kulit
2. Mencari faktor-faktor predisposisi yang diduga sebagai penyebab
3. Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai perjalanan penyakit (tujuan
pengobatan, hasil pengobatan yang diharapkan, lama terapi, cara penggunaan
obat, dan efek samping obat yang mungkin terjadi)
4. Edukasi mengenai pentingnya perawatan kulit dan menghindari pengobatan
diluar yang diresepkan
Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2010. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin.
Edisi ke-6. Jakarta: Departemen Ilmu Kedokteran Kulit dan Kelamin FK UI.
Fitzpatrick's dermatology in general medicine, 8th ed, vol 1. New York: Mc Graw
Hill, 2012: p. 804 - 26. 2.
Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W, editors. 2016. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin, Edisi 7. Badan Penerbit Fakultas kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta
Siregar, R S. 2015. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit edisi 3. Jakarta : EGC
Sri A. S. 2018. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 7. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Sri A. S.2018. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 7. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Parasitol.2017 May,8(2):1-4