Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejalan dengan tuntutan, keinginan dan pula mengembangkan kepercayaan

masyarakat terhadap Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dalam

melaksanakan tugas pokoknya yaitu memelihara keamanan dan ketertiban nasional,

menegakkan hukum, melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat harus

senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan juga mengindahkan norma

agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia guna

menjamin terlaksananya hak-hak masyarakat tersebut. Maka dalam hal ini, Polri

mempunyai kewajiban pokok dalam mencapai pelaksanaan tugas dan fungsinya.

Sejak lama masyarakat menghendaki Kepolisian Negara Republik Indonesia


(Polri) dalam menjalankan tugasnya tidak bersifat militeristik yakni
menggunakan senjata melawan musuh masyarakat, tetapi yang diinginkan
masyarakat adalah Polri bisa lebih berperan sebagai sosok hukum yang hidup
yang bertugas melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat serta
bertindak berdasarkan hukum yang berlaku. Dengan kata lain Polisi diseluruh
penjuru dunia senjatanya adalah hukum (peraturan perundang-undangan) dan
peluru adalah pasal-pasalnya sehingga musuh yang dilawan mudah
dilumpuhkan karena polisi paham benar senjata apa yang digunakan dan
kapan dapat melumpuhkan lawan (penjahat), serta bagaimana melumpuhkan
dengan menggunakan peluru hukum agar terpenuhi unsur-unsur kejahatan
yang dilakukan oleh penjahat berdasarkan pasal-pasal yang dituduhkan.1

Harus disadari bahwa sejalan dengan perkembangan demokrasi dan kesadaran

hukum masyarakat yang semakin matang, tuntutan masyarakat untuk dilayani,

dilindungi dan disejahterakan oleh Pemerintah sebagai representasi negara juga


1
Johanes Sutoyo, 1995, Polisi Indonesia Terjepit, Artikel Majalah Kriminologi, Jakarta, hal.12
dalam Pudi Rahardi, 2007, Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi Polri), Laksbang
Mediatama, Surabaya, hal. 1

1
2

semakin meningkat. Termasuk pula tekanan dan tuntutannya terhadap perubahan

didalam tubuh Polri. Oleh sebab itu Polri harus segera menyesuaikan diri dengan

tuntutan perubahan tersebut. Oleh karena jika tidak responsif dan tidak adaptif

dengan perubahan tersebut niscaya Polri akan kehilangan legitimasinya dimata

masyarakat, Polri akan ditinggalkan masyarakatnya dalam arti masyarakat mungkin

akan meminta jasa perlindungan dan pelayanan kepada instansi lain yang justru

menjadi kompetitor Polri.

Dalam era Orde Lama, penyelenggaraan fungsi kepolisian sangat didominasi


oleh politik. Ini dapat disimak dari konsideran Undang-undang Kepolisian No
13 Tahun 1961 dimana dinyatakan, Kepolisian Negara Republik Indonesia
adalah alat negara penegak hukum dan sebagai alat revolusi untuk mencapai
tujuan revolusi. Demikian juga halnya dalam era Orde Baru, kedudukan Polri
sebagai unsur ABRI menjadi kekuatan sosial politik pendukung kekuasaan
Orde Baru selain birokrasi dan Golongan Karya. Dalam era reformasi, terjadi
perubahan paradigma ketatanegaraan dan pemerintahan yang dikenal sebagai
era kebangkitan demokrasi. Sehingga dituntut pula arah kebijakan yang
memungkinkan diwujudkannya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang
demokratis, mandiri dan profesional sesuai paradigma reformasi. Reformasi
Polri telah dilaksanakan mencakup reformasi struktural kelembagaan,
reformasi instrumental/ peraturan perundang-undangan dan reformasi kultural
(reformasi budaya dan tata laku kepolisian). Demokratisasi merupakan
tuntutan universal sebagai proses politik yang didasarkan pada prinsip-prinsip
akuntabilitas publik sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat
atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara, transparansi,
checks and balances, serta supremasi hukum. 2

Hal ini menyebabkan pentingnya akuntabilitas dan transparansi didalam tubuh

kepolisian. Diantaranya didasarkan pada keinginan untuk mencegah adanya suatu

penyalahgunaan wewenang kepolisian, untuk melindungi hak-hak masyarakat,

2
Mohammad Kemal Dermawan, 2008, Menuju Polisi yang Demokratis,
http://www.suarapembaruan.com/News/2008/07/02/Jabotabe/jab14.html, diakses tgl 20 Mei 2010
3

pengawasan terhadap kinerja kepolisian dan agar polisi bekerja sesuai ketentuan

hukum.

Eksistansi kepolisian di Indonesia walaupun merupakan institusi peninggalan


sejarah, namun secara teoritis kelahirannya bermula dari kebutuhan dan
keinginan masyarakat untuk menciptakan situasi dan kondisi aman, tertib,
tentram dan damai dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian berkembang
sejalan dengan perkembangan dan perubahan kondisi negara dimana
kepolisian menjadi kebutuhan negara sebagai alat untuk menghadapi
masyarakat. Disinilah kemudian terjadi pergeseran fungsi kepolisian yang
semula lahir dari keinginan masyarakat kemudian menjadi keinginan negara,
sehingga terkonsep bahwa kepolisian berada dipihak negara.3

Terjadinya pergeseran ini tentu bertentangan dengan keinginan awal lahirnya

lembaga kepolisian tersebut. Oleh karena itu, ketika kita memahami eksistansi Polri

tidak dapat dilepaskan dengan fungsi dan organ atau lembaga kepolisian serta dari

konsep tentang adanya perlindungan hukum bagi masyarakat.

Polri adalah bagian dari pemerintahan. Dilatarbelakangi oleh kesadaran

sekaligus komitmen pemerintah untuk mewujudkan clean and good governance,

maka diperlukannya perubahan dan peningkatan kinerja Polri dalam melaksanakan

tugas penegakkan hukum, pengayoman, perlindungan dan pelayanan kepada

masyarakat. Dalam hal ini kinerja lembaga juga akan ditentukan oleh perubahan

kultur Polri didalam melaksanakan tugas pokoknya.

Seiring dengan berkembangnya kebutuhan masyarakat maka untuk memenuhi

tuntutan masyarakat tersebut dilaksanakan reformasi birokrasi dilingkungan Polri.

Reformasi ini diharapkan mampu menjawab keinginan masyarakat terhadap Polri

3
Sadjijono, 2005, Fungsi Kepolisian dalam Pelaksanaan Good Governance, LaksBang,
Yogyakarta, hal.81
4

dalam rangka mengemban tugas-tugas pemeliharaan keamanan ketertiban nasional

(kamtibnas), penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan

masyarakat yaitu dengan mencanangkan dan melaksanakan beberapa perubahan dan

pembaharuan dibidang instrumental, bidang struktural dan bidang kultural.

Pembahasan Reformasi Polri (Kepolisian Negara Republik Indonesia)


merujuk pada momentum dipisahkannya Polri secara kelembagaan dari TNI
(ABRI), pada April 1999 melalui Instruksi Presiden (Inpres) No 2 Tahun 1999
tentang Langkah-langkah Kebijakan dalam Rangka Pemisahan Polri dan
ABRI. Kebijakan tersebut kemudian diikuti dengan dikeluarkannya kebijakan
lain berupa TAP MPR No. VI Tahun 2000 Tentang Pemisahan Polri dan TNI,
dan TAP MPR No. VII Tahun 2000 Tentang Peran Polri dan TNI. Kebijakan
ini mengakhiri status Polri dibawah garis komando ABRI selama Orde Baru.
Dengan pemisahan struktur organisasi ini aparat kepolisian diharapkan tidak
lagi tampil dalam performance dan watak yang militeristik dan dapat bekerja
profesional sebagai aparat kepolisian sipil secara profesional. 4

Langkah selanjutnya reformasi birokrasi dilingkungan Polri juga ditandai

dengan disahkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kelahiran Undang-Undang

Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 didasarkan pada paradigma baru, yakni berkaitan

dengan munculnya semangat demokratisasi dan reformasi di Indonesia.5 Dimana

kelahiran ini diharapkan dapat lebih memantapkan kedudukan dan peranan serta

pelaksanaan tugas Polri meliputi segenap tatanan kehidupan bangsa dan negara dalam

mewujudkan masyarakat yang adil, jujur dan beradab.

4
Sapto, 2010, Telaah Penerapan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil penyidikan
(SP2HP) Online di Polres Sukoharjo dalam Rangka Transparansi Penyidikan Guna Mendukung
Grandstrategi POLRI 2005–2025, http://sapto.staff.uns.ac.id/files/2010/01/telaah-penerapan-
sp2hp1.pdf, hal. 1, diakses tgl 30 Juni 2010
5
Pudi Rahardi, op cit. hal. 37
5

Fungsi Kepolisian seperti diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2002 adalah menjalankan salah satu fungsi pemerintahan Negara dalam tugas

penegakan hukum selain perlindungan, penganyoman dan pelayanan masyarakat.

Selain fungsi dari Kepolisian, didalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2002 disebutkan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

b. Menegakkan hukum; dan

c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.6

Namun ketika kita melihat pada tataran pelaksanaannya, perubahan dan

pembaharuan yang dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang

bersih dan berwibawa tersebut tidak mungkin dapat dilaksanakan dengan baik dan

efektif tanpa menghapus kesan pemerintahan yang selama ini dinilai buruk. Hal ini

ditandai dengan indikator buruknya kualitas pelayanan publik lambat, tidak ada

kepastian aturan atau hukum, berbelit-belit, arogan, sarat dengan perilaku Korupsi,

Kolusi, Nepotisme (KKN), rendahnya kualitas disiplin dan etos kerja, kualitas

manajemen pemerintahan yang tidak produktif, tidak efektif dan tidak efisien,

kualitas pelayanan publik yang tidak akuntabel dan tidak transparan. Dengan kata

lain, dalam mewujudkan misinya Polri harus mampu membangun citra sebagai

pelindung, penganyom, pelayan masyarakat, serta pengabdi bangsa dan Negara dan

juga menghilangkan indikator-indikator tersebut dalam menjalankan tugasnya.

6
Lihat pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia
6

Sejalan dengan hal tersebut sesuai dengan panduan yang diarahkan dalam
aturan Menteri Dalam Negeri (Meneg) Pan, Nomor : PER/ 15/ M.PAN/ 7/
2008. Pada 27 Oktober 2008 dikeluarkanlah Keputusan Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia No. Pol : KEP/ 37/ X/ 2008 Tentang Program
Kerja Akselerasi Tranformasi Polri Menuju Polri yang Mandiri, Profesional
dan Dipercaya Masyarakat dalam Rangka Mengemban Tugas-Tugas
Pemeliharaan Keamanan, Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas), Penegakan
Hukum, Perlindungan, Pengayoman dan Pelayanan Masyarakat dalam
Mewujudkan Keamanan dalam Negeri, yang tetap mengacu pada Grand
Strategi Polri (2005-2025). Kemudian dibentuk pokja reformasi birokrasi
Polri yang meliputi bidang budaya dan manajemen perubahan, bidang
organisasi dan tata laksana, bidang Quick Wins, bidang manajemen sumber
daya manusia dan remunerasi, serta bidang evaluasi kinerja dan profil Polri
2025.7

Grand Strategi Polri tersebut dirumuskan dalam tiga tahapan yang

mencerminkan upaya Polri secara gradual, yaitu:

1. Tahap I : Trust Building (2005 - 2010);


Keberhasilan Polri dalam menjalankan tugas memerlukan dukungan
masyarakat dengan landasan kepercayaan (trust).
2. Tahap II : Partnership Building (2011 - 2015);
Merupakan kelanjutan dari tahap pertama, dimana perlu dibangun
kerjasama yang erat dengan berbagai pihak yang terkait dengan pekerjaan
Polri.
3. Tahap III : Strive For Excellence (2016 - 2025);
Membangun kemampuan pelayanan publik yang unggul dan dipercaya
masyarakat. Dengan demikian kebutuhan masyarakat akan pelayanan
Polri yang optimal dapat diwujudkan. 8

Sebagai tindak lanjut dari program reformasi tersebut maka pada tanggal 30

Januari 2009 reformasi birokrasi Polri telah diluncurkan oleh bapak Presiden di

Mabes Polri, yang didalam tahapan Trust Building diatas Polri mengakselerasikan

7
http://www.polres-lumajang.net/?module=detailberita&id=485, Amanat Kepolisian Republik
Indonesia Peringatan Hari Bhayangkara ke – 63 tanggal 1 Juli 2009, diakses tgl 25 Juni 2010
8
Lihat dalam Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol: Kep / 37 / X
/2008 tentang Program Kerja Akselerasi Tranformasi Polri Menuju Polri yang Mandiri, Profesional
dan Dipercaya Masyarakat
7

komitmen dengan mencanangkan program-program yang salah satunya dinamakan

Quick Wins.

Mabes Polri menetapkan empat program unggulan sebagai Quick Wins dalam
pelaksanaan reformasi birokrasi. Keempat program unggulan dimaksud
adalah Quick Response, transparansi pelayanan SIM, STNK dan BPKB,
transparansi pelayanan penyidikan (SP2HP), serta transparansi dalam
rekrutmen personel Polri. 9

Polri yang dalam tugas dan kewajibannya diharuskan dapat melaksanakan

program-program Quick Wins, hal ini dimaksudkan guna memberikan pelayanan

prima kepada masyarakat, misalnya melalui pelaksanaan tugas Polisi umum, dalam

kegiatan patroli, dalam kecepatan dan ketepatan mendatangi Tempat Kejadian

Perkara (TKP) dan memberikan pertolongan pertama kepada masyarakat yang

membutuhkan. Namun tenyata didalam prakteknya, masih banyak keterlambatan

penanganan, misalnya dalam kasus kecelakaan lalu lintas. Banyak korban yang

sebenarnya masih hidup di TKP, namun karena penanganan awalnya tidak bagus,

korban meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit yang disebabkan penanganan

yang salah atau keterlambatan penanganan atau dalam kasus pencurian, seharusnya

polisi setelah mendapatkan laporan dari masyarakat langsung datang ke TKP, namun

karena keterlambatan penanganan, seringkali pencuri berhasil kabur, bahkan TKP

sudah rusak, sehingga keperluan pencarian alat bukti menjadi sulit dan memerlukan

waktu yang lama pula.

Menurut catatan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), sepanjang tahun


2008, dari lima hal yang diawasi oleh Kompolnas selaku lembaga independen

9
http://www.menpan.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=115&Itemid=1,
diakses tgl 22 Juni 2010
8

yang mengawasi kinerja Polri, yaitu penyalahgunaan wewenang, diskriminasi,


pelayanan buruk, diskresi yang keliru dan korupsi, jumlah terbanyak
pengaduan masyarakat terhadap Polri tersebut terfokus pada dua hal, yaitu
mengenai penyalahgunaan wewenang dan pelayanan yang buruk.10

Ditambah lagi data yang dimiliki oleh Ombudsman RI bahwa sepanjang tahun

2008, telah terjadi pengaduan masyarakat yang tidak puas terhadap kinerja Polri yang

mencapai prosentase sebanyak 30,73 % dari jumlah keseluruhan 1.244 pengaduan

masyarakat terhadap kinerja instansi pemerintah.11

Dilihat dari fenomena tersebut diatas dengan adanya program Quick Response

yang merupakan salah satu program yang lebih menekankan kepada pelayanan

kepolisian terhadap semua pengananganan pengaduan/ laporan masyarakat, kejadian

tersebut seharusnya bisa disikapi secara cepat dan tepat oleh Polri sehingga

kepercayaan publik terhadap kinerja Polri tidak hilang terutama dalam bidang

penegakan hukum yang dalam hal ini Polri merupakan pintu pertama dari sistem

peradilan.

Berdasar pada Surat Kapolda Jatim No.Pol: B/ 3099/ VI /2009/Ropers, tanggal

11 Juni 2009 tentang Kegiatan program Quick Wins didalamnya terdapat program

Quick Response Patroli Samapta, dalam hal ini Polres Malang Kota wajib

melaksanakan program tersebut sesuai dengan isi dari surat tersebut. Yang perlu kita

pertanyakan saat ini adalah apakah adanya program Quick Response ini bisa

dimengerti oleh setiap aparat pihak kepolisian, yaitu apa saja bentuk-bentuk kegiatan

10
http ://www.surya.co.id/2009/01/21/kompolnas-reskrim-masih-banyak-dikeluhkan.html, diakses
tgl 22 Juni 2010
11
http://www.ombudsman.go.id/index.php/berita/items/catatan-ombudsman-polisi-paling-banyak-
dilaporkan.html, diakses tgl 22 Juni 2010
9

yang diterapkan dalam program Quick Response tersebut. Lalu apakah perubahan

akan jalannya penegakan hukum sehingga bukan hanya perubahan pada semangat

yang terjadi, namun juga pelaksanaan yang baik dari pihak kepolisian dalam

menjalankan salah satu program akselerasi yaitu Quick Response.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis ingin membahas lebih dalam

mengenai bagaimana upaya pihak Kepolisian dalam melaksanakan program Quick

Response agar dapat terealisasi dengan baik, sehingga penulis tertarik untuk

membahas masalah ini dalam penulisan skripsi dengan judul “TINJAUAN

YURIDIS SOSIOLOGIS IMPLEMENTASI PROGRAM QUICK RESPONSE

DI POLRES MALANG KOTA”.

B. Rumusan Masalah

Adapun beberapa permasalahan pokok yang peneliti jadikan rumusan masalah

yang dianalisis adalah sebagai berikut:

1. Apa sajakah bentuk kegiatan kepolisian yang menerapkan program Quick

Response di Polres Malang Kota?

2. Bagaimana tanggung jawab pihak kepolisian Polres Malang Kota apabila

tidak melaksanakan Quick Response terhadap pengaduan/ laporan

masyarakat didasarkan pada Kode Etik Profesi Polri (KEPP)?

3. Bagaimana mekanisme pengajuan tuntutan oleh masyarakat kepada pihak

Polres Malang Kota bagi anggota polisi yang tidak melaksanakan Quick

Response?
10

C. Tujuan

Dalam hal ini tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti adalah :

1. Dapat mengetahui bentuk-bentuk kegiatan kepolisian yang menerapkan

program Quick Response di Polres Malang Kota.

2. Dapat mengetahui tanggung jawab pihak kepolisian Polres Malang Kota

apabila tidak melaksanakan Quick Response terhadap pengaduan/ laporan

masyarakat didasarkan pada Kode Etik Profesi Polri (KEPP).

3. Dapat mengetahui mekanisme pengajuan tuntutan oleh masyarakat kepada

pihak Polres Malang Kota bagi anggota polisi yang tidak melaksanakan

Quick Response.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan oleh penulis terhadap penelitian tugas akhir

ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Untuk mendapatkan wawasan keilmuan dalam perkembangan ilmu hukum,

yakni mengenai penerapan program Quick Response yang dilaksanakan

oleh Polri.

b. Diharapkan menjadi sebuah bahan koreksi untuk penyempurnaan dan

pengembangan lebih lanjut mengenai penerapan program Quick

Response tersebut, sehingga dapat dilaksanakan secara

berkesinambungan.
11

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Penulis

Bahwa penulisan ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan meraih

gelar kesarjanaan (S1) Hukum di Fakultas Hukum Universitas

Muhammadiyah Malang dan sebagai aplikasi teori-teori yang telah

diterima serta menambah wawasan, pengetahuan, dan pemahaman

penulis mengenai ditinjau dari segi yuridis sosiologis.

b. Bagi Pemerintah

Diharapkan penulisan ini dapat lebih meningkatkan sosialisasi

Pemerintah terhadap pelaksanaan salah satu program Polri yakni Quick

Response, sehingga pemerintah lebih mudah melakukan kontrol terhadap

kinerja kepolisian demi terlaksananya program Quick Response tersebut.

c. Bagi Polres Malang Kota

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan media sosialisasi bagi Polres

Malang Kota dan dapat memberikan suatu kontribusi dalam proses

pelaksanaan yang baik dalam menerapkan program Quick Response,

sehingga mampu membangun citra sebagai pelindung, penganyom,

pelayan masyarakat, serta pengabdi bangsa dan negara.

d. Bagi Masyarakat

Diharapkan penulisan ini dapat memberikan wawasan dan penjelasan

mengenai apa yang dimaksud Quick Response, guna terwujudnya

keamanan dan ketertiban masyarakat, serta tegaknya hukum,


12

terselenggaranya perlindungan, penganyoman dan pelayanan kepada

masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung

tinggi hak asasi manusia.

e. Bagi Akademis

Diharapkan penulisan ini dapat memberikan informasi dan ilmu

pengetahuan serta menjadi sumber refrerensi maupun bahan kajian

yang khususnya berkaitan dengan pelaksanaan program Quick

Response ditubuh Kepolisian.

E. Metode Penelitian

Sebagai dasar penyusunan skripsi ini agar terinci seperti yang diharapkan

maka penulis mengadakan penelitian untuk mendapatkan data-data yang diperlukan.

Metode yang digunakan bertujuan untuk memperoleh bahan yang obyektif, sehingga

hasil pembahasannya dapat dipertanggung jawabkan sebagai penulisan yang bersifat

ilmiah. Untuk mendapatkan data, penulis menggunakan metode yang dapat

diterangkan sebagai berikut:

1. Metode Pendekatan

a. Adapun dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode

pendekatan Yuridis Sosiologis yaitu mengkaji implementasi program

Quick Response dengan mendapatkan gambaran tentang bentuk-bentuk

kegiatan kepolisian yang menerapkan program Quick Response, dapat

mengetahui tanggung jawab pihak kepolisian Polres Malang Kota apabila


13

tidak melaksanakan Quick Response terhadap pengaduan/ laporan

masyarakat didasarkan pada Kode Etik Profesi Polri (KEPP), serta

mendapatkan gambaran nyata tentang mekanisme pengajuan tuntutan oleh

masyarakat kepada pihak kepolisian yang didasarkan pada ketentuan

peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dikaitkan dengan

Keputusan Polri No.Pol: Kep/ 37/ X/ 2008 tanggal 27 Oktober 2008

tentang Program Akselerasi Tranformasi Polri Menuju Polri yang

Mandiri, Profesional dan Dipercaya Masyarakat dan Surat Kapolda Jatim

No.Pol : B/ 3099/ VI / 2009/ Ropers, tanggal 11 Juni 2009 tentang

Kegiatan program Quick Wins di Polres Malang Kota dan Peraturan

Kapolri No.Pol : 7 Tahun 2006 tanggal 1 Juli 2006 tentang Kode Etik

Profesi Polri, dan Peraturan Kapolri No.Pol: 8 Tahun 2006 tanggal 1 Juli

2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Profesi Polri.

b. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Polres Malang Kota yang beralamat di Jalan

Jaksa Agung Suprapto No.19 Malang. Dengan alasan Polres Malang Kota

merupakan titik sentral bagi segala kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan

hukum masyarakat Malang, dimana masyarakat Malang sering melakukan

pengaduan/ laporan di Polres Malang Kota yang nantinya akan mempermudah

peneliti mengetahui secara langsung bagaimana penerapan program Quick

Response yang dilaksanakan oleh pihak Polres Malang Kota tersebut.


14

c. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Data Primer

Data primer adalah data yang dikumpulkan secara langsung dari lapangan,12

dalam penelitian ini diperoleh langsung dari bagian Pembinaan Operasional

(Bin Ops), Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK) dan satuan SAMAPTA di

Polres Malang Kota, sedangkan yang menjadi obyek penelitian adalah

berupa pelaksanaan Quick Response atau pelayanan secara cepat oleh

pihak kepolisian dalam menanggapi suatu pengaduan/ laporan di wilayah

hukum Polres Malang Kota baik dalam bentuk hasil wawancara maupun

dokumen langsung yang berkaitan dengan pelayanan tersebut. Penelitian

dilaksanakan pada bulan Juli sampai Oktober 2010 untuk meneliti data

kejadian yang terjadi pada waktu itu.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan

yang meliputi buku, majalah, data arsip, data resmi dari instansi yang

digunakan sebagai tempat penelitian.13 Dalam hal ini berarti data yang

diperoleh adalah dengan cara mengkaji buku atau literatur, perundang-

undangan dari berbagai sumber yang ada hubungannya, penelusuran situs

12
M. Iqbal Hasan, 1999, Metode Penelitian dan Aplikasi, Remaja Karya, Bandung, Hal. 35
13
Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan 4, Galia Indonesia,
Jakarta, Hal. 51
15

internet, sampai dokumen yang berkaitan dengan pelaksanaan Quick

Response oleh pihak Kepolisian di Polres Malang Kota.

d. Teknik Pengumpulan Data

a. Pengumpulan data primer yaitu dengan wawancara:

1. Wawancara

Wawancara dilakukan dengan pihak-pihak yang terkait dengan

pelayanan oleh pihak kepolisian dalam rangka penerapan Quick

Response terhadap masyarakat adalah sebagai berikut :

a) Wawancara dengan aparat kepolisian di Polres Malang Kota

dilakukan pada bagian:

1. Kepala Sub Bagian Pembinaan Operasional (Kasub Bag Bin

Ops) yaitu AKP Maryono

2. Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK) dengan:

a. AIPTU Agus

b. AIPTU Lilik Darwanto

3. Satuan SAMAPTA dengan Kepala Satuan SAMAPTA yaitu

AKP Susanto

Wawancara dilakukan untuk mengetahui bagaimana upaya-

upaya pihak kepolisian agar dapat menerapkan dan

melaksanakan program Quick Response dengan baik, apa saja

bentuk kegiatan yang dilakukan oleh kepolisian yang

menerapkan program Quick Response, bagaimana tanggung


16

jawab hukum pihak kepolisian apabila tidak melaksanakan

Quick Response terhadap pengaduan/ laporan masyarakat dan

bagaimana mekanisme pengajuan tuntutan oleh masyarakat

kepada pihak kepolisian yang tidak melakukan pelayanan

Quick Response di Polres Malang Kota.

b) Wawancara dengan masyarakat yang melakukan pengaduan/

laporan baik di Polres Malang Kota maupun di Tempat

Kejadian Perkara (TKP) yang masih di wilayah hukum Polres

Malang Kota yang mana nama disebutkan adalah bukan nama

yang sebenarnya.

1. Nama : Dendi (39 tahun)

Alamat : Malang

Pekerjaan : Swasta

2. Nama : Siti ( 34 tahun)

Alamat : Malang

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

3. Nama : Dini (22 tahun)

Alamat : Malang

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

4. Nama : Lina (20 tahun)

Alamat : Malang

Pekerjaan : Mahasiswi
17

5. Nama : Rahman (23 tahun)

Alamat : Malang

Pekerjaan : Mahasiswa

6. Nama : Nita (33 tahun)

Alamat : Malang

Pekerjaan : Swasta

7. Nama : Dinda (19 tahun)

Alamat : Malang

Pekerjaan : Mahasiswi

4. Studi Dokumen

Mengumpulkan dan mencatat dokumen-dokumen bagaimana

penerapan pelayanan Quick Response oleh pihak kepolisian

kepada masyarakat langsung dari tempat penelitian dalam hal

ini adalah Polres Malang Kota maupun di TKP yang masih

dalam wilayah hukum Polres Malang Kota.

b. Pengumpulan data sekunder

Mengumpulkan dan mempelajari data-data tentang hasil penelitian di

Polres Malang Kota maupun langsung di Tempat kejadian Perkara (TKP)

yang berkaitan dengan pelayanan Quick Response oleh pihak kepolisian

kepada masyarakat yang masih dalam wilayah hukum di Polres Malang

Kota.
18

e. Teknik Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan yaitu metode analisa deskriptif kualitatif,

yaitu proses pemecahan permasalahan yang diteliti dengan mendeskripsikan

data-data yang diperoleh di lapangan dan kemudian terhadap data-data

tersebut akan diuraikan secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur,

runtun, logis, tidak tumpang tindih dan efektif sehingga memudahkan

pemahaman dan interpretasi data.14 Analisis data kualitatif bertujuan untuk

mengetahui bagaimana pelaksanaan serta upaya-upaya yang dilakukan pada

penerapan program Quick Response di Polres Malang Kota.

f. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh tentang isi pembahasan

penulisan ini, penulisan ini terbagi menjadi 4 (empat) BAB yang disusun

secara sistematis dan berurutan, dengan tujuan agar mempermudah pembaca

dalam memahami isi penulisan hukum. Adapun sistematika penulisannya

adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang permasalahan dan alasan pemilihan

judul, serta alasan bahwa masalah yang dibahas dalam penulisan hukum

dipandang aktual, penting, menarik, dan perlu baik secara empiris. Kemudian

14
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum Dan Penelitian Hukum, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal.172
19

rumusan masalah, tujuan, manfaat penelitian, metode penelitian dan diakhiri

dengan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini mengandung tiga unsur penting yaitu, uraian dan penjelasan

judul mengenai peristilahan atau teminologi yang berhubungan dengan

masalah yang diteliti. Dan juga terdapat dasar konsepsional yang menjelaskan

berbagai dasar hukum yang berasal dari Peraturan Undang-Undang dan

kerangka teoritis yang memaparkan pendapat para ahli atau sarjana berkaitan

dengan tugas dan wewenang Polri, doktrin-doktrin Polri, tanggung jawab

Polri dalam mewujudkan ketertiban dan ketentraman masyarakat, dan juga

tinjauan hukum tentang Quick Wins dan Quick Response di Polres Malang

Kota.

BAB III PEMBAHASAN

Dalam bab ini berisi pembahasan yang mengacu pada permasalahan yakni

mengenai pelaksanaan program Quick Response, apa sajakah bentuk kegiatan

kepolisian yang menerapkan program Quick Response, bagaimana tanggung

jawab pihak kepolisian polres malang kota apabila tidak melaksanakan Quick

Response terhadap pengaduan/ laporan masyarakat didasarkan pada Kode Etik

Profesi Kepolisian (KEPP) dan mekanisme pengajuan tuntutan oleh

masyarakat kepada pihak kepolisian yang tidak melakukan pelayanan Quick

Response.
20

BAB IV PENUTUP

Dalam bab ini diuraikan mengenai kesimpulan dan saran dari hasil

pembahasan masalah yang diangkat oleh penulis. Kesimpulan berupa uraian

mengenai hal-hal yang dapat disimpulkan berdasarkan pembahasan dan

analisa peneliti. Sedangkan saran merupakan rekomendasi yang diberikan

berdasarkan hasil kesimpulan yang telah diperoleh.

Anda mungkin juga menyukai