net/publication/26844441
CITATIONS READS
8 19,525
2 authors, including:
Khairurrijal Khairurrijal
Bandung Institute of Technology
389 PUBLICATIONS 2,263 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Khairurrijal Khairurrijal on 16 January 2014.
Abstrak
Pada paper ini akan dibahas sejumlah metode karakterisasi yang biasa digunakan dalam penelitian nanomaterial.
1. Pendahuluan
Riset nanomaterial, khususnya bidang eksperimen, dapat dibangun menggunakan program pengolahan
tidak bisa lepas dari kegiatan karakterisasi atau gambar yang ada dalam komputer.
pengukuran. Dengan karakterisasi kita bisa yakin bahwa
material yang disintesis sudah memenuhi kriteria
nanostruktur, yaitu salah satu dimensinya berukuran Berkas elektron
nanometer. Dalam kesepakatan umum sampai saat ini,
dimensi nanometer adalah ukuran yang kurang dari 100
nm. Karakterisasi juga memberikan informasi tentang Elektron
sifat-sifat fisis maupun kimiawi nanomaterial tersebut. Ini pantulan
sangat penting karena ketika dimensi material menuju
nilai beberapa nanometer (kurang dari 10 nm), banyak
sifat fisis maupun kimiawi yang bergantung pada ukuran. Permukaan material
Ini menghasilkan sejumlah kekayaan sifat dan peluang
memanipulasi atau menggenerasi sifat-sifat baru yang
tidak dijumpai pada material ukuran besar (bulk).
1
J. Nano Saintek. Vol. 2 No. 1, Feb. 2009 2
kinetik K = eV . Dengan demikian kita dapat menulis yang digunakan harus yang memiliki titik lebur rendah.
Logam pelapis yang umumnya digunakan adalah emas.
momentum elektron sebagai p = 2meV , dan panjang
gelombang de Brogile λ = h / 2meV . Umumnya
tegangan yang digunakan pada SEM adalah puluhan a
kilovolt. Sebagai ilutrasi, misalkan SEM dioperasikan
pada tegangan 20 kV maka panjang gelombang de
Broglie elektron sekitar 9 × 10-12 m.
Syarat agar SEM dapat menghasilkan citra yang
tajam adalah permukaan benda harus bersifat sebagai
pemantul elektron atau dapat melepaskan elektron
sekunder ketika ditembak dengan berkas elektron.
Material yang memiliki sifat demikian adalah logam. Jika
permukaan logam diamati di bawah SEM maka profil
permukaan akan tampak dengan jelas. Bagaimana dengan
material bukan logam seperti isolator? 33 µm
µm
Agar profil permukaan bukan logam dapat diamati
dengan jelas dengan SEM maka permukaan material
tersebut harus dilapisi dengan logam seperti diilustrasikan
b
pada Gbr. 2 [1-3]. Film tipis logam dibuat pada
permukaan material tersebut sehingga dapat memantulkan
berkas elektron. Metode pelapisan yang umumnya
dilakukan adalah evaporasi dan sputtering
Permukaan material
1 µm
Pelapisan (coating)
300 nm
Pada metode evaporasi, material yang akan Prinsip kerja sputtering mirip dengan evaporasi.
diamati permukaanya ditempatkan dalam satu ruang Namun sputtering dapat berlangsung pada suhu rendah
(chamber) dengan logam pelapis. Ruang tersebut dapat (suhu kamar). Permukaan logam ditembak dengan ion gas
divakumkan dan logam pelapis dapat dipanaskan hingga berenergi tinggi sehingga terpental keluar dari permukaan
mendekati titik leleh. Logam pelapis diletakkan di atas logam dan mengisi ruang di dalam chamber. Ketika
filamen pemanas. Mula-mula chamber divakumkan yang mengenai permukaan sample, atom-atom logam tersebut
dikuti dengan pemanasan logam pelapis. Atom-atom memmebtuk fase padat dalam bentuk film tipis. Ketebalan
menguap pada permukaan logam. Ketika sampai pada lapisan dikontrol dengan mengatur lama waktu sputtering.
permukaan material yang memiliki suhu lebih renda, Pada saat pengukuran dengan SEM, lokasi di
atom-atom logam terkondensasi dan membetuk lapisan permukaan sample tidak boleh terlalu lama dikenai berkas.
film tipis di permukaan material. Ketebalan lapisan dapat Elektron yang berenergi tinggi pada berkas dapat
dikontrol dengan mengatur lama waktu evaporasi. Agar mencabut atom-atom di permukaan sample sehingga
proses ini dapat berlangsung efisien maka logam pelapis permukaan tersebut akan rusak dengan cepat. Film tipis di
J. Nano Saintek. Vol. 2 No. 1, Feb. 2009 3
permukaan sample akan menguap dan kembali menjadi dan sumbu vertical adalah jumlah partikel. Diagram yang
isolator. Akhirnya bayangan yang terekam tiba-tiba kita peroleh tampak pada Gbr. 5.
menjadi hitam.
Gambar 3 adalah beberapa contoh bayangan Tabel 1 Tabulasi ukuran partikel
material yang diamati dengan SEM. Seperti pada Gbr. Jangkauan diameter (nm) Jumlah partikel
3(a) tampak jelas bahwa ukuran partikel yang dibuat tidak 0 0
seragam, tetapi bervariasi. Pernyataan selanjutnya adalah 200 4
bagaimana menentukan distribusi ukuran partikel? 400 20
Perhatikan, setiap foto SEM memiliki bar skala 600 100
yang panjangnya sudah tertentu. Bar tersebut menjadi 800 150
acuan penentuan ukuran partikel. Contohnya ada bar yang 1000 140
tertulis panjangnya 0,5 µm. Jika diukur dengan penggaris 1200 120
misalkan panjang bar tersebut adalah 1 cm maka 1 cm 1400 80
pada gambar bersesuaian dengan panjang 0,5 µm ukuran 1600 10
sebenarnya. Jika kita mengukur diameter partikel pada
1800 10
gambar dengan menggunakan penggaris adalag 2,2 cm
maka diameter riil partikel tersebut adalah (2,2 cm/1 cm)
× 0,5 µm = 1,1 µm.
160
Jumlah partikel
120
80
40
0
0 500 1000 1500 2000
33µµm
m Diameter partikel (nm)
160
120
Jumlah partikel
80
40
0
0 500 1000 1500 2000
Diameter partikel (nm)
Gambar 4 Foto SEM yang difoto copy perbesar.
Gambar 6 Fitting hasil pengukuran dengan fungsi
Agar pengukuran dapat dilakukan dengan teliti
distrubusi log-normal.
maka foto SEM difoto copy perbesar beberapa kali lipat
seperti ilustrasi pada Gbr. 4. Kita lakukan pengukuran
Selanjutnya kita fiting titik-titik pada diagram
pada gambar hasil foto copy. Kita lakukan pengukuran
dengan menggunakan fungsi log-normal. Kita pilih
diameter ratusan partikel kemudian membuat tabulasi
misalkan seperti pada Tabel 1. parameter distribusi σ dan rg yang memberikan kurva
Dari Tabel 1 kita buatkan diagram titik dengan fitting yang paling dekat dengan data pengamatan. Contoh
menggunakan sumbu datar adalah titik tengah jangkauan
J. Nano Saintek. Vol. 2 No. 1, Feb. 2009 4
konsp fisika dasar. AFM tidak memerlukan sistem vakum, kedalaman tekstur permukaan benda dapat dketahui.
tegangan tinggi, maupun fasilitas pendingin seperti pada Sudut pantul sinar laser pada berbagai titik scan
SEM dan TEM. ditentukan. Selanjutnya dengan program pengolahan citra
Perangkat utama sebuah AFM adalah sebuah tip yang ada dalam computer, prfil permukaan sample dapat
yang sangat tajam yang ditempatkan di ujung cantilever, dibangun.
seperti tampak pada Gbr. 9. Cantilever beserta tip Gambar 10 adalah contoh profil permukaan sample
digerakan sepanjang permukaan benda yang diamati. yang diamati dengan AFM. Sampel berupa sebuah carbon
Dengan adanya tekstur permukaan benda yang tidak rata nanotube yang dipuntir. Luas permukaan sample yang
maka selama mengerakkan tip sudut kemiringan diamati adalah 4 µm × 4 µm. AFM memberikan informasi
cantilever berubah-ubah. Perubahan sudut tersebut yang teliti tentang dimensi tekstur arah normal (tegak
memberikan informasi kealaman tekstur permukaan lurus permukaan) tetapi sering kurang teliti untuk dimensi
benda. tekstur arah tangensial (sejajar permukaan).
Pergeseran posisi cantilever arah normal sedikit
saja (puluhan nanometer) dapat direkam dengan baik.
Kesalahan pengamatan arah sejajar sample sering terjadi
jika ada perubahan tekstur pada ukuran yang lebih kecil
daripada ukuran tip.
1 ⎡ IT (ω ) ⎤
σ (ω ) = − ln ⎢ ⎥ (2)
x ⎣ I o (ω ) ⎦
Radiasi
EM dengan Spektrometer UV-Vis memungkinakan kita
energi kurang menentukan intensitas absorpsi sebagai fungsi frekuensi
dari lebar atau panjang gelombang. Gambar 12 adalah contoh
celah energi spektrum absorpsi UV-Vis partikel CdSe yang dambil
dengan spektroskop UV-Vis [4].
Pita konduksi 4
Sekitar band gap
Perpotongan kurva dengan sumbu datar tidak lain dihasilkan, seperti diilustrasikan pada Gbr. 14. Kristal
daripada lebar celah pita energi bahan. yang berukuran besar dengan satu orientasi menghasilkan
puncak difraksi yang mendekati sebuah garis vertikal.
Kristallites yang sangat kecil menghasilkan puncak
4 difraksi yang sangat lebar. Lebar puncak difraksi tersebut
memberikan informasi tentang ukuran kristallites
3
(σhω)2 ×106
Intensitas
1
Eg
Intensitas
untuk nanopartikel PbS. Kurva kiri untuk partikel yang
besar dan kurva kanan untuk partikel yang kecil.
σ (ω ) = A[hω − Eg ]2
Gambar 14 Makin lebar puncak difraksi sinar-X maka
(4) makin kecil ukuran kristallites. Ukuran kristallites yang
menghasilkan pola difraksi pada gambar bawah lebih
dengan A adalah konstanta. kecil daripada ukuran kristallites yang menghasilkan pola
difraksi atas.
Bentuk yang lebih umum lagi adalah 616,83, pusat kurva = 29,205o, FWHM = 0,72371o, offset
menggunakan parameter B bukan sebagai FWHM dari = 391,91, dan tinggi = 542,60.
puncak difraksi, tetampi menggunakan B dari persamaan
Warren, yaitu
700
B = FWHM sp2 − FWHM st2 (6)
600
Count [sembarang]
500
dengan FWHMsp adalah lebar puncak difraksi sample 400
pada setengah maksimum dan FWHMst adalah lebar
puncak difraksi kristal yang sangat besar yang lokasi 300
puncaknya berada di sekitar lokasi puncak sample yang
akan kita hitung. Tetapi, umumnya FWHMst sangat kecil 200
sehingga persamaan (5) dapat diangap sebagai 100
aproksimasi yang cukup baik.
Sekarang kita coba melihat aplikasi rumus ini 28.0 28.5 29.0 29.5 30.0 30.5
untuk mencari ukuran kristallin suatu sample. Pertama 2θ [o]
kita amati pola difraksi sinar-X untuk sample tersebut
pada jangkauan sudut yang cukup luas (antara 0o sampai
Gambar 16 Difraksi sinar-X pada jangkauan sudut yang
90o). Gambar 15 adalah contoh pola difraksi sinar-X
sangat sempit, yaitu sekitar puncak yang berada pada
sample yttrium oksida (Y2O3) yang dibuat dengan
sudut antara 28,0o sampai 30,5º.
pemanasan dalam larutan polimer. Berdasarkan foto SEM
ukuran partikel beberapa ratus nanometer. Kita ingin
menentukan ukuran kristallin sehingga kita dapat
mengertahui apakah partikel tersebut adalah single 700
kristallin atau polikristallin. Kita melihat sejumlah puncak
600
Count [sembarang]
500 100
400 28.0 28.5 29.0 29.5 30.0 30.5
300 2θ [o]
200
Gambar 17 Fitting Lorentzian untuk puncak difraksi
100 sekitar sudut antara 28,0o hingga 30,5º.
0
20 30 40 50 60 70 80 Yang terpenting bagi kita adalah data lokasi
2θ [o] puncak dan lebar puncak difraksi karena dapat tersebut
yang akan digunakan untuk memprediksi ukuran
kristalling dengan menggunakan persamaan Schreerer.
Gambar 15 Difraksi sinar-X untuk partikel Y2O3 Karena sumbu datar adalah sudut dinyatakan dalam 2θ
maka yang digunakan sebagai B adalah setengahnya yaitu
Bagaimana menentukan ukuran kristallin. Yang B = 0,72371o/2 = 0,361855o = 0,361855×π/180 rad =
pertama yang dilakukan adalah menentukan FWHM. 0,006312 rad. Panjang gelombang sinar-X yang
Untuk maksud ini kita pilih satu puncak yang paluing digunakan dalam eksperimen adalah 0,1540598 nm.
jelas. Di sini kita memilih puncak yang lokasinya sekitar
Dengan dmikian, perkiraan ukuran kristallin adalah D ≈
sudut 30o. Kita gambar ulang pola difraksi hanya dengan
0,1540598/(0,006312 × cos(29,205º) ≈ 26 nm.
melibatkan data sekitar sudut 30o. Gambar 16 adalah pola
difraksi yang kita peroleh dengan mengambil jangkauan
sudut antara 28o sampai 30,5o. Umumnya bentuk puncak
7. Metode BET
difraksi dianggap memenuhi fungsi Lorentzian. Dengan
Teori BET diperkenalkan tahun 1938 oleh Stephen
fiiiting Lorentzian menggunakan software Origin
Brunauer, Paul Hugh Emmett, dan Edward Teller. BET
Microcal, kita dapatkan hasil seperti pada Gbr 17. Data
adalah singkatan dari nama ketiga ilmuwan tersebut.
yang diperoleh dari fitting tersebut adalah luas kurva =
J. Nano Saintek. Vol. 2 No. 1, Feb. 2009 9
Teori ini menjelaskan fenomena adsorpsi molekul gas di permukaan total sample dapat dihitung. Luas permukaan
permukaan zat padat (melekatnya molekul gas di spesifik sama dengan luas permukaan total dibagi massa
permukaan zat padat). Kuantitas molekul gas yang sample. Jadi luas pemukaan spesifik adalah S = Stot/m,
diadsorsi sangat bergantung pada luas permukaan yang dengan m adalah massa sample.
dimiliki zat pada tersebut. Dengan demikian, secara tidak
langsung teori ini dapat dipergunakan untuk menentukan
luas permukaan zat padat.
Jika zat padat berupa partikel-partikel maka luas
1/υ[(Po/P)-1]
permukaan untuk zat padat dengan massa tertentu makin
besar jika ukuran partikel makuin kecil. Dengan c
υm
)/
mendefinisikan luas permukaan spesifik sebagai
(c -1
perbandingan luas total pemukaan zat padat terhadap =
massanya maka luas permukaan spesifik makin besr jika i ngan
i r
ke m
ukuran partikel makin kecil. Metode BET memberikan
informasi tentang luas permukaan spesifik zat padat.
Dengan demikian metode ini dapat digunakan untuk
1/υmc
memperkirakan ukuran rata-rata partikel zat padat. Untuk
material berpori, luas permukaan spesifik ditentukan oleh
porositas zat padat. Dengan demikian metode BET juga Po/P
dapat digunakan untuk menentukan porositas zat padat.
Landasan utama teori BET adalah (a) molekul
dapat teradsoprsi pada permukaan zat padat hingga Gambar 18 Tipikal kurva BET.
beberapa lapis. Teori ini lebih umum dari teori adsorpsi
satu lapis molekul dari Langmuir. (b) Juga dianggap
bahwa tidak ada interaksi antar molekul gas yang Penutup
teradsorpsi pada permukaan zat padat. (c) Lalu, teori Sejumlah metode karakterisasi nanomaterial telah
adsorpsi satu lapis dari Langmuir dapat diterapkan untuk dijelaskan. Karakterisasi sangat diperlukan untuk
masing-masing lapis gas. Dengan asumsi di atas, BET memberi keyakinan bahwa kita telah berhasil mensintesis
mendapatkan persmaan umum yang menerangkan material dengan struktur nanometer. Karakterisasi juga
keadaan molekul yang teradsorpsi pada permukaan zat akan memberikan informasi sifat-sifat material. Informasi
padat. sifat-sifat tersebut memberi peluang rekayasa material
dalam skala nanometer untuk menghasilkan sifat khas
yang berguna.
1 c −1⎛ P ⎞ 1
= ⎜ ⎟⎟ + (7)
υ [( Po / P) − 1] υ m c ⎜⎝ Po ⎠ υmc Referensi
dengan P adalah tekanan keseimbangan, Po adalah [1] M. Abdullah, T. Isakndar, S. Shibamoto, T. Ogi, and
K. Okuyama, Acta Materialia, 52, 5151 (2004).
tekanan saturasi, υ adalah jumlah gas yang teradsopsi, υm
[2] M. Abdullah, F. iskandar, and K. Okuyama, Proc.
adalah jumlah gas yang teradsoprsi pada satu lapis, dan c
ITB. Eng. Sci. 36B, 125 (2004).
adalah konstanta BET yang memenuhi
[3] M. Abdullah, F. Iskandar, and K. okuyama, Adv.
Mater. 14, 930 (2002).
⎡ E − EL ⎤ [4] Y. Wang and N. Herron, J. Phys. Chem. 95, 525
c = exp ⎢ 1 ⎥ (8)
⎣ RT ⎦ (1991).
[5] M. Abdullah, F. Isakndar, K. Okuyama, and F.G. Shi,
J. Appl. Phys. 89, 6431 (2001).
dengan E1 adalah kalor adsorpsi lapisan pertama dan EL
[6] Y. Itoh, M. Abdullah, and K. Okuyama, J. Mater. Res.
adalah kalor lebur
19, 1077 (2004).
Plot BET adalah kurva dengan sumbu datar P/Po
[7] M. Abdullah dan Khairurrijal, J. Nano Saintek. 1, 28
dan sumbu tegak 1/υ[(Po/P)-1]. Kurva tersebut berbentuk
(2008).
garis lurus seperti pada Gbr. 18. Dengan memperhatikan
persamaan (7) maka kemiringan kurva sama dengan (c-
1)/υmc, dan titik potong kurva dengan sumbe tegak sama
dengan 1/υmc. Dari dua nilai tersebut kita dapat
menentukan c dan υm.
Berdasarkan nilai υm maka dapat dihitung luas
permukaan total sample yang diukur, yaitu Stot = υmNs/V,
dengan N bilangan Avogadro, s adalah penampang lintang
adsorpsi, dan V adalah volum satu mol gas yang
diadsorpsi (volum molar). Nilai V dan s ada di referensi
sehingga berdasarkan nilai υm dari plot BET maka luas