Anda di halaman 1dari 8

TUGAS

HUKUM LINGKUNGAN

Disusun oleh :

Wahyullah A. Yusuf
8111416077
Rombel 02

Dosen : Ridwan Arifin, S.h., LI,m

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2017

KASUS OPINI MONOLOG DI TEPI MAHAKAM


PENDAHULUAN

Kutai Kartanegara (Kukar) memiliki 678 perizinan Kuasa Pertambangan (KP) hingga
2009. Sepanjang 2007/2008 saja, dikeluarkan 247 perizinan, artinya dalam dua hari minimal
pemerintah mengeluarkan satu izin KP. Jika dibandingkan dengan jumlah desa di seluruh
kabupaten yang hanya berjumlah 227 desa, rasionya ada 2 perusahaan tambang dalam satu
desa.
Sebagian besar perusahaan tambang tersebut tidak melaksanakan kewajiban untuk
melakukan reklamasi di lahan areal eks tambang. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Peduli Kesehatan Lingkungan Hidup (PKLH) Kukar melakukan monitoring lapangan,
ternyata banyak menemukan bekas areal tambang dibiarkan begitu saja. Seperti PT Mega
Prima Persada (MPP) yang beroperasi di Loa Kulu di Desa Jembayan Tengah. Kemudian PT
Tanito Harum di Kecamatan Tenggarong di Kelurahan Loa Ipuh Darat di RT 07 dan RT 08
Ben Samar, serta di Kecamtan Tenggarong Seberang oleh PT Mahakam Sumber Jaya (MSJ),
PT Jembayan Muara Bara (JMB) dan PT Kayau Utama Prima Coal (KPUC).
Semua perusahaan tersebut terindikasi melakukan pengrusakan lingkungan dan
pengelolaan limbahnya sangat buruk sehingga air limbah tersebut mencemari air sungai yang
yang biasa digunakan sebagai sumber kehidupan masyarakat termasuk lahan pertanian yang
mereka gunakan. Masyarakat yang biasanya memanen hasil pertanian tiga kali dalam satu
tahun, sejak masuknya perusahaan tambang hasil panen menurun. Mereka sering mengalami
gagal panen tiga hingga lima kali dalam satu tahun.

ISU HUKUM

Dari kasus di atas maka isu hukum yang patut diangkat adalah:
1. Kewajiban-kewajiban apa saja yang dilanggar oleh lima perusahaan pertambangan
terhadap areal pertambangan setelah melakukan kegiatan eksploitasi ?
2. Apakah tindakan yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat di sekitar areal
pertambangan berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-undang Nomor 4
tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara setelah mengalami
kerugian berupa gagal panen dikarenakan tercemarnya air sungai?
3. Tindakan apa saja yang wajib dilakukan pemerintah ?
4. Serta apa sanksi yang diterima perusahaan jika terbukti bersalah dalam kasus ini ?

FAKTA HUKUM

Sebagian besar perusahaan tambang tidak melaksanakan kewajiban untuk melakukan


reklamasi di lahan areal eks tambang. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Peduli
Kesehatan Lingkungan Hidup (PKLH) Kukar melakukan monitoring lapangan, ternyata
banyak menemukan bekas areal tambang dibiarkan begitu saja. Seperti PT Mega Prima
Persada (MPP) yang beroperasi di Loa Kulu di Desa Jembayan Tengah. Kemudian PT Tanito
Harum di Kecamatan Tenggarong di Kelurahan Loa Ipuh Darat di RT 07 dan RT 08 Ben
Samar, serta di Kecamtan Tenggarong Seberang oleh PT Mahakam Sumber Jaya (MSJ), PT
Jembayan Muara Bara (JMB) dan PT Kayau Utama Prima Coal (KPUC).
Semua perusahaan tersebut terindikasi melakukan pengrusakan lingkungan dan
pengelolaan limbahnya sangat buruk sehingga air limbah tersebut mencemari air sungai yang
yang biasa digunakan sebagai sumber kehidupan masyarakat termasuk lahan pertanian yang
mereka gunakan. Masyarakat yang biasanya memanen hasil pertanian tiga kali dalam satu
tahun, sejak masuknya perusahaan tambang hasil panen menurun. Mereka sering mengalami
gagal panen tiga hingga lima kali dalam satu tahun.

KONSEP HUKUM

1. Pasal 96 Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan


Batubara, “Dalam penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik, pemegang IUP dan
IUPK wajib melaksanakan: huruf c. Pengelolaan dan pemantauan lingkungan
pertambangan, termasuk kegiatan reklamasi dan pascatambang; huruf e. pengelolaan sisa
tambang dari suatu kegiatan usaha pertambangan dalam bentuk padat, cair, atau gas
sampai memenuhi standar baku mutu lingkungan sebelum dilepas ke media lingkungan”.
2. Pasal 91 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Penegakan Lingkungan Hidup, “masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan
kelompok untuk kepantingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepantingan masyarakat
apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup”
3. Pasal 151 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara, “menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
berhak memberikan sanksi adminnistratif kepada pemegang IUP, IPR, atau IUPK atas
pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3), Pasal 40 ayat (5),
Pasal 41, Pasal 43, Pasal 70, Pasal 71 ayat (1), pasal 74 ayat (4), Pasal 74 ayat (6), Pasal
81 ayat(1), Pasal 93 ayat (3), Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100,
Pasal 102, Pasal 103, Pasal 105 ayat (3), Pasal 105 ayat (4), Pasal 107, Pasal 108 ayat (1),
Pasal 110, Pasal 111 ayat (1), Pasal 112 ayat (1), Pasal 114 ayat (2), Pasal 115 ayat (2),
Pasal 125 ayat (3), Pasal 126 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), Pasal 129 ayat (1), atau Pasal
130 ayat (2)”.
4. Pasal 103 Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Penegakan
Lingkungan Hidup, “setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan
pengelolaan sebagaiana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000.00 (tiga
miliar rupiah)”.

ANALISA HUKUM

1. Kasus yang terjadi di Kukar disebabkan oleh lima perusahaan yang aktif melakukan
proses pengeksploitasian SDA berupa batubara tidak mejalankan kewajiban reklamasi di
lahan eks areal tambang. Kelima perusahaan tersebut adalah PT. Mega Prima Persada
(MPP), PT. Tanito Harum (TNH), PT. Mahakam Sumber Jaya (MSJ), PT. Jembayan
Muara Bara (JMB), dan PT. Kayau Utama Prima Coal (KPUC). Berdasarkan monitoring
lapangan yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Peduli Kesehatan
dan Lingkungan Hidup (PKLH) Kukar, mereka menemukan banyak bekas areal tambang
dibiarkan begitu saja tanpa adanya tindak lanjut pascapertambangan. Padahal berdasarkan
pasal 96 Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu
Bara disebutkan bahwa “Dalam penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik,
pemegang IUP dan IUPK wajib melaksanakan: huruf c. Pengelolaan dan pemantauan
lingkungan pertambangan, termasuk kegiatan reklamasi dan pascatambang; huruf e.
pengelolaan sisa tambang dari suatu kegiatan usaha pertambangan dalam bentuk padat,
cair, atau gas sampai memenuhi standar baku mutu lingkungan sebelum dilepas ke media
lingkungan”. Kewajiban pemulihan lingkungan juga tidak dilaksanakan kelima
perusahaan ini dan tentu saja melanggar Pasal 54 ayat (1)Undang-undang Nomor 32
tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, “setiap orang yang
melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan
pemulihan pungsi lingkungan hidup”, Pasal 54 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, “pemulihan fungsi
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tahapan: huruf
a. Penghentian sumber pencemaran dan pembersihan unsur pencemaran; huruf b.
Remediasi; huruf c. Rehabilitasi; huruf d. Restorasi; dan/atau huruf e. cara lain yang
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi” dan Pasal 59 ayat (1)
Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, “setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan
pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya”. Diindikasikan juga semua perusahaan
tersebut melakukan perusakan lingkungan dan pengelolaan limbahnya sangat buruk
sehingga air limbahnya mencemari air sungai yang biasanya digunakan sebagai sumber
kehidupan masyarakat termasuk lahan pertanian yang mereka gunakan hal ini jelas
perusahaan tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan Pasal 98 Undang-undang
nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, “Pemegang IUP dan
IUPK wajib menjaga kelestarian fungsi dan daya dukung sumber daya air yang
bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” padahal secara
tegas ada larangan pada Pasal 69 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Penegakan Lingkungan Hidup, “setiap orang dilarang: huruf e.
membuang limbah ke media lingkungan hidup”.
2. Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari Supardi Koordinator LSM PKLH, sebelum
masuknya kelima perusahaan tersebut kehidupan masyarakat sangat tentram dan
mendapatkan hasil pertanian yang memuaskan. Tetapi sejak perusahaan tambang
beroperasi dan mencemari sumber air bersih serta meninggalkan begitu saja lahan areal
eks tambang, masyarakat mengalami penurunan dalam memperoleh hasil panen.
Biasanya dalam satu tahun petani bisa tiga kali panen, tapi sejak air sungai tercemar oleh
limbah malah dalam satu tahun terjadi gagal tanam sebanyak tiga hingga lima kali.
Kejadian yang sangat merugikan ini tentu saja sudah sangat melanggar beberapa hak
masyarakat yang hidup di sekitar areal pertambangan seperti yang tercantum pada Pasal
65 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Penegakan
Lingkungan Hidup, “setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
sebagai bagian dari hak asasi manusia”. Untuk itu masyarakat juga memiliki hak untuk
melindungi hak-haknya yang dilanggar oleh perusahaan yang menyebebkan kerugian dan
penderitaan, sesuai Pasal 91 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Penegakan Lingkungan Hidup, “masyarakat berhak mengajukan
gugatan perwakilan kelompok untuk kepantingan dirinya sendiri dan/atau untuk
kepantingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup” dan Pasal 65 ayat (5) Undang-undang Nomor 32 tahun
2009 tentang Perlindungan dan Penegakan Lingkungan Hidup, “setiap orang berhak
melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup”.
3. Kemudian seharusnya pemerintah wajib berperan aktif dalam melakukan tindakan
prefentif berdasarkan Pasal 71 Ayat (1) Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Penegakan Lingkungan Hidup, “Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan terhadap
ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup”. Pasal 145 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara, “Masyarakat yang terkena dampak negatif langsung
dari kegiatan usaha pertambangan berhak: huruf a. Memperoleh ganti rugi yang layak
akibat kesalahan dalam pengusahaan kegiatan pertambangan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; huruf b. Mengajukan gugatan kepada pengadilan
terhadap kerugian akibat pengusahaan pertambangan yang menyalahi aturan”. Dalam hal
pembuktian agar proses penyelesaian kasus ini berjalan dengan lancar maka diperlukan
penyidikan seperti yang diatur dalam Pasal 94 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ayat (1), “selain penyidik
pejabat polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di
lingkungan instansi pemerintan yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diberi wewenang sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Hukumacara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak
pidana lingkungan hidup”. Dalam penyelesaian sengketa ini terdapat dua jalur, yaitu
litigasi dan non litigasi seperti yang diatur dalam Pasal 154 Undang-undang Nomor 4
tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, “Setiap sengketa yang muncul
dalam pelaksanaan IUP, IPR, atau IUPK diselesaikan melalui pengadilan dan arbitrase
dalam negeri sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”.
4. Dalam pemberian sanksi administratif, pemerintah memiliki wewenangnya berdasarkan
Pasal 151 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara, “menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
berhak memberikan sanksi adminnistratif kepada pemegang IUP, IPR, atau IUPK atas
pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3), Pasal 40 ayat (5),
Pasal 41, Pasal 43, Pasal 70, Pasal 71 ayat (1), ppemerintah memiliki wewenangnya
berdasarkan Pasal 151 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara, “menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya berhak memberikan sanksi adminnistratif kepada pemegang IUP,
IPR, atau IUPK atas pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat
(3), Pasal 40 ayat (5), Pasal 41, Pasal 43, Pasal 70, Pasal 71 ayat (1), pasal 74 ayat (4),
Pasal 74 ayat (6), Pasal 81 ayat(1), Pasal 93 ayat (3), Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal
98, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 102, Pasal 103, Pasal 105 ayat (3), Pasal 105 ayat (4), Pasal
107, Pasal 108 ayat (1), Pasal 110, Pasal 111 ayat (1), Pasal 112 ayat (1), Pasal 114 ayat
(2), Pasal 115 ayat (2), Pasal 125 ayat (3), Pasal 126 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), Pasal
129 ayat (1), atau Pasal 130 ayat (2)” dan Pasal 151 ayat (2) Undang-undang Nomor 4
tahun 2009 tentang Pertambangana Mineral dan Batubara, “sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: huruf a. Peringatan tertulis; huruf b.
Penghentian semenatra sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi;
dan/atau huruf c. Pencabutan IUP, IPR, atau IUPK”. Kelima perusahaan tersebut dapat
dituntut secara administratif maupun pidana sebagai jalan terakhir untuk menyelesaikan
sengketa lingkungan ini. Sanksi yang dikenakan berdasarkan Pasal 87 ayat (2) Undang-
undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Penegakan Lingkungan Hidup,”
setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar
hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan
kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau
melakukan tindakan tertentu” dan Pasal 88 Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Penegakan Lingkungan Hidup, “setiap orang yang tindakannya,
usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola
limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup
bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur
kesalahan” . Jika dituntut secara pidana maka menurut Pasal 103 Undang-undang Nomor
32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Penegakan Lingkungan Hidup, “setiap orang
yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaiana dimaksud
dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah) dan
paling banyak Rp3.000.000.000.00 (tiga miliar rupiah)”.

KESIMPULAN

Dengan tidak adanya itikad baik dari kelima perusahaan untuk melakukan kewajiban
mereka terhadap lahan areal eks tambang setelah pasca tambang sehingga masyarakat dapat
membawa kasus ini ke jalur hukum untuk mendapatkan keadilan atas kerugian yang mereka
dapatkan sejak masuknya pertambangan ke desa mereka. Masyarakat memiliki hak gugat
yang dijamin haknya di dalam peratuan perundang-undangan dengan demikian dapat
dilakukannya penyidikan guna mendapatkan bukti bila kelima perusahaan tersebut terbukti
melakukan kejahatan lingkungan dan bisa digolongkan tindak pidana yang berkenaan dengan
pertambangan.

SARAN
Sebaiknya bila ada usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak
besar terhadap lingkungan dan kehidupan di sekitar tempat usaha dan/atau kegiatan tersebut,
masyarakat harus waspada dan turut berperan aktif dalam setiap pengambilan kebijakan yang
berkenaan dengan usaha dan/atau kegiatan tersebut. Masyarakat sebagai subjek hukum yang
hak-haknya secara langsung dirugikan oleh lima perusahaan tersebut juga harus mendesak
pemerintah dalam hal ini kepala daerah dan dinas terkait untuk melakukan audit lingkungan
serta segera mengeluarkan kebijakan moratorium hingga ditemukan hasil dari tim auditor
lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

HS, Salim. 2008. Hukum Pertambangan di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

Naim, Abdullah, dkk. 2010. Mautnya Batubara Pengerukan Batubara dan


Generasi Suram Kalimantan. Jakarta: Jaringan Advokasi Tambang
Lain-lain

Data Dinas Pertambangan dan Enerdi kalimantan Timur, 2008

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara


Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup

Harian Pos Kota Kaltim, Februari 2010.


http://www.poskotakaltim.com/berita/read/4448-mayoritas-perusahaan-tambang-di-
kukar-tak-melaksanakan-reklamasi.htm diakses Nopember 2010

Anda mungkin juga menyukai