Anda di halaman 1dari 28

KONFIGURASI POLITIK DAN

PRODUK HUKUM PADA PRIODE


DEMOKRASI TERPIMPIN
DR. H. YOHNY ANWAR, MM., MH
Konfigurasi politik pada era demokrasi terpimpin bertolak belakang
dengan yang terjadi pada era demokrasi parlementer. Sistem politik
demokrasi terpimpin muncul secara resmi setelah konstituante dianggap
gagal memenuhi tugasnya menyusun UUD yang tetap, dan dibubarkan
dengan dektrit Presiden tanggal 5 Juli 1959.
Meskipun kesahihan atau pembenaran yuridis-konstitusional atas dekrit itu
bermacam-macam, karena menurut UUDS Presiden tidak berwenang
“memberlakukan” atau “mencabut berlakunya” sebuah UUD, tetapi
praktiknya dekrit ini diterima dan dianggap final sebagai dasar
berlakunya UUD dan menjadi titik tolak munculnya demokrasi baru yang
disebut demokrasi terpimpin.
Demokrasi terpimpin merupakan penolakan terhadap system yang
berlaku sebelumnya, ketika politik sangat ditentukan oleh politik partai-
partai melalui system free fight. Proses pengambilan keputusan dalam
demokrasi terpimpin didasarkan pada musyawarah dan mufakat serta
semangat gotong royong di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno
yang kemudian menampilkan Soekarno sebagai penguasa yang otoriter.
KONFIGURASI POLITIK

1. Krisis Politik dan Instabilitas Pemerintahan

UUDS1950 sejak semula dimaksudkan untuk berlaku sementara, yakni


berlaku sampai ditetapkannya UUD baru oleh konstituante bersama-sama
dengan pemerintah sesuai dengan pasal 134UUDS 1950.
Pada tahun 1953 pemerintah bersama DPR menyetujui UU tentang
Pemilihan Umum (pemilu) untuk anggota konstituante dan Dewan Perwakilan
Rakyat, yaitu UU No.7Tahun 1953. pemilu pertama diselenggarakan pada
tahun 1955, dengan dua kali pemungutan suara, yaituuntuk anggota DPR
dilakukan pada bulan September 1955 dan untuk anggota konstituante
dilakukan pada bulan Desember 1955.
Konstituante memulai sidang-sidangnya sejak bulan November 1956, setelah
dilantik oleh Presiden Soekarno pada tanggal 10 November. Setelah
bersidang selama lebih kurang dua setengah tahun, konstituante ini belum
menghasilkan kata sepakat tentang UUD karena ketidaksepakatan tentang
dasar negara.
Aspirasi politik masyarakat yang dibawa oleh media masa tanpa sensor,
justru semakin mendorong ke instabilitas karena system politik pada waktu
itu belum mapan dan tidak mengakar secara kultural. Sejak tahun 1956
politik kerakyatan telah memberikan garis pengelompokan berdasarkan
etnis dan geografis yang dimulai dengan munculnya berbagai dewan
daerah di luar jawa, yang mencapai puncaknya dengan meletusnya PRRI
pada Februari 1958, yaitu peristiwa serius yang mengancam keutuhan
territorial.
Terlihat dengan jelas bahwa krisis politik kala itu merusak ke berbagai
bagian. Di konstituante terjadi perdebatan tentang ideology negara yang
berkepanjangan dan sia-sia. Kekuatan PKI semakinmeningkat, pemerintah
pusat tidak efektif menangani masalah-masalah di daerah, dan
perpecahan dwitunggal Soekarno-Hatta yang pada gilirannya telah
menyebabkan munculnya gerakan separatis yang betul-betul mengancam
keutuhan republic.
2. Dektrit Presiden 5 Juli 1959

Konstituante akan gagal jika tidak memilih jalan kompromi (karena di antara golongan
yang bertikai tidak ada yang memiliki sampai 2/3 dukungan suara), maka sikap bertahan
pada masing-masing pihak di konstituante telah membawa pada penilaian bahwa
konstituante gagalmelaksanakan tugasnya setelah bersidang dalam kurun waktu dua
setengah tahun. Kemacetan yang terjadi dalam siding-siding karena sikap bertahan tanpa
kompromi itu disertai keadaan yang semakin ruwet, runcing dan membahayakan negara.
Semua ini telah mengundang intervensi ekstraparlementer, yakni tampilnya Soekarno, atas
namaupayamenyelamatkan Indonesia dari bahaya kehancuran, dengan mengeluarkan
dektrit pada tanggal5 Juli 1959. Dekrit ini memuat tiga dictum, yaitu :
1. Pembubaran konstituante
2. Penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950
3. (janji/rencana) pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan
Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS)
Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya Dektrit Presiden 5 Juli
1959, adalah gagalnya konstituante melaksanakan tugasnya. Hal ini bias
dilihat dari salah satu konsiderans dektrit tersebut yang berbunyi :
“Bahwa berhubungan dengan pernyataan sebagian besar anggota siding
pembuat Undang-Undang Dasaruntuk tidak menghadiri lagi siding
konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan
oleh rakyat Indonesia kepadanya.”
3. demokrasiTerpimpin

Dekrit Presiden 5 Juli1959 telah menjadi gong penutup bagikehidupan


demokrasi liberal yang menganut system demokrasi parlementer. Sejak
dikeluarkan dekrit itu, dimulailah langgam otoritarian dalam kehidupan politik
di Indonesia di bawah benderademokrasi terpimpin.
Demokrasi terpimpin akan mengolah proses pengambilan keputusanmelalui
musyawarah mufakat dan berdasarkan semangat gotong royong. Implikasi
system ini dijabarkan dalam amanat presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang
diberi nama Manifesto Politik (manipol) yang rinciannya secara sistematis
dikenal dengan akronim USDEK.
Selama kurun waktu 1959-1965 Presiden Soekarno dengan system
demokrasi terpimpinnya menjelma menjadi seorang pemimpin yang
otoriter. Partai-partai yang pernah marak pada era demokrasi liberal
secara praktis menjadi lemah dan tak berdaya, kecuali PKI yang dapat
memperluas pengaruhnya dengan berlindung di bawah kekuasaan
Soekarno, sementara Angkatan Darat dapat memperluas peran dan
kekuasaan politiknya.
4. Soekarno, Militer dan PKI

Di bawah demokrasi terpimpin yang kekuasanaanya terhimpun pada


Soekarno, ada dua kekuatan lain setelah Soekarno yang mempunyai peran
politik, yaitu Angkatan Darat dan PKI. Jadi konfigurasi politik pada waktu itu
ditandai oleh persaingan tiga kekuatan tersebut dengan kekuatan besar ada
di tangan Soekarno.
Angkatan Darat mendapatkan legitimasinya untuk ambilbagian dalam dunia
politik justru melalui konsepsi Soekarno dalam demokrasi terpimpin yang
didalamnya memuat gagasan tentang perwakilan fungsional. Melalui
perwakilan fungsional inilah militer masuk dalam Dewan Nasional dan
memanfaatkan dewan tersebut untuk menguatkan legitimasiatas
kehadirannya di bidang politik.
Sutan Takdir Alisjahbana menyebutkan, posisi Soekarno pada era demokrasi
terpimpin hanya berbeda sedikit dengan raja-raja absolut masa lampau,
yang mengklaim dirinya sebagai inkarnasi Tuhan atau Wakil Tuhan di Bumi
yang ditangannya terletak kekuasaan legislative, eksekutif dan yudikatif
sekaligus.
5. Bekerjanya Pilar-pilar Demokrasi

Konfigurasi politik akan dilihat secara lebih spesifik melalui penilaian


berdasarkan tiga kriteria, yaitu kehidupan kepartaian dan peranan
legislative, kebebasan pers, danperanan pemerintah.
a.Kehidupan Kepartaian dan Peranan Badan Perwakilan Rakyat

Ketika membahas konfigurasi politik pada periode 1945-1959, diperoleh kesimpulan bahwa pada
periode itu dianut system banyak partai. Hal tersebut berimplikasi pada kuatnya parlemen yang
menjadi ajang partai-partai untuk mengartikulasikan kepentingan politiknya. Pemerintah menjadi
tidakstabil dan jatuh bangun dalam waktu yang relatif pendek.
Pidato Presiden Soekarno pada tanggal 21 Februari 1957, soekarno
mengajukan konsep tentang bagaimana mewujudkan demokrasi terpimpin itu.
Dalam pembentukan cabinet, setiap partai (tanpa peduli besar atau kecil dan
dari aliran apa pun) harus diberi jatah kursi, dan itu disebutnya sebagai
Kabinet Gotong Royong.
b. Kebebasan Pers

Tindakan antipers yang semakin kuat pada era Soekarno yang mendapat
dukungan dari PKI dan TNI. Edward C.Smith mencatat telah terjadi tindakan
“antipers” selama periode ini (jika dihitung dan tahun 1957) sebanyak 480
tindakan.
Pers yang terkena tindakan pada umunya pers yang independen dan tidak
menyatakan diri sebagai aliran atau pembawa politik yang diperkenankan
oleh pemerintah. Surat kabar atau pers yang dapat hidup pada waktu itu
adalah pers yang menjadi penyalur aliran politik yang dapat menerima
system demokrasi terpimpin beserta NASAKOM dan MANIPOL USDEK.
Pada tanggal 10 Februari 1959 MenteriPenerangan Sudibjo mengatakan,
kebebasan pers sudah mati. Ia mengatakan itu pada kongres ke-9 PWI.
Selanjutnya pada bulan Juli1960, Menteri Penerangan Maladi,
mengemukakan pers nasional tidak dapat lagi berdiri di luar melainkan harus
secara aktif bergabung dalam usaha melaksanakan USDEK.
c. Peranan Pemerintah

Setelah kembali ke UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959,


maka kekuasaan eksekutif secara konstitusional beralih ke tangan presiden.
Artinya terbuka lebar bagi Soekarno merealisasikan konsepsi demokrasi
terpimpinnya.meskipundekrit Presiden secara tegas menyatakan
memberlakukan UUD 1945, tetapi dalam praktiknya apa yang dilakukan
Soekarno jauh menyimpang dari konstitusi tersebut.
Sistem demokrasi terpimpin ternyata tidak melaksanakan Pancasila dan UUD
1945 secara murni dan konsekuen. Secara formal, di atas kertas Pancasila
dan UUD 1945 memang menjadi ideology dan konstitusi resmi, tetapi
realita kehidupan politik yang berkembang di zaman demokrasi terpimpin
jauh berbeda dengan apa yang sesungguhnya dikehendaki.
Langkah presiden untuk mendominasiproses politik ditandai pula dengan diperkenalkannya
produk hukum yang sebenarnya tidak dikenal di dalam tata hukum berdasarkan UUD 1945,
yakni Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden. Melalui surat Presiden No.2262/Hk/59
kepada DPR diperkenalkan peraturan perundang-undangan dalam UUD 1945, yaitu:
1. Penetapan Presiden untuk melaksanakan Dekrit Presiden 5 Juli1959
2. Peraturan Presiden
3. Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan Peraturan Presiden
4. Keputusan Presiden
5. Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri
Adalah sangat bertentangan dengan konstitusi bahwa peraturan perundang-
undangan yang seharusnya menjadi muatan konstitusi hanya diberlakukan
dengan sebuah Surat Presiden. Dengan adanya peraturan perundangan yang
berbentuk Penpres, maka ada dua bentuk peraturan yang materinya berbobot
UU, yaitu UU (termasuk Peperpu jika alasan mendesak) yang didasarkan UUD
1945 dan Penpres yang didasarkan pada dekrit.

Anda mungkin juga menyukai