Konstituante akan gagal jika tidak memilih jalan kompromi (karena di antara golongan
yang bertikai tidak ada yang memiliki sampai 2/3 dukungan suara), maka sikap bertahan
pada masing-masing pihak di konstituante telah membawa pada penilaian bahwa
konstituante gagalmelaksanakan tugasnya setelah bersidang dalam kurun waktu dua
setengah tahun. Kemacetan yang terjadi dalam siding-siding karena sikap bertahan tanpa
kompromi itu disertai keadaan yang semakin ruwet, runcing dan membahayakan negara.
Semua ini telah mengundang intervensi ekstraparlementer, yakni tampilnya Soekarno, atas
namaupayamenyelamatkan Indonesia dari bahaya kehancuran, dengan mengeluarkan
dektrit pada tanggal5 Juli 1959. Dekrit ini memuat tiga dictum, yaitu :
1. Pembubaran konstituante
2. Penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950
3. (janji/rencana) pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan
Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS)
Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya Dektrit Presiden 5 Juli
1959, adalah gagalnya konstituante melaksanakan tugasnya. Hal ini bias
dilihat dari salah satu konsiderans dektrit tersebut yang berbunyi :
“Bahwa berhubungan dengan pernyataan sebagian besar anggota siding
pembuat Undang-Undang Dasaruntuk tidak menghadiri lagi siding
konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan
oleh rakyat Indonesia kepadanya.”
3. demokrasiTerpimpin
Ketika membahas konfigurasi politik pada periode 1945-1959, diperoleh kesimpulan bahwa pada
periode itu dianut system banyak partai. Hal tersebut berimplikasi pada kuatnya parlemen yang
menjadi ajang partai-partai untuk mengartikulasikan kepentingan politiknya. Pemerintah menjadi
tidakstabil dan jatuh bangun dalam waktu yang relatif pendek.
Pidato Presiden Soekarno pada tanggal 21 Februari 1957, soekarno
mengajukan konsep tentang bagaimana mewujudkan demokrasi terpimpin itu.
Dalam pembentukan cabinet, setiap partai (tanpa peduli besar atau kecil dan
dari aliran apa pun) harus diberi jatah kursi, dan itu disebutnya sebagai
Kabinet Gotong Royong.
b. Kebebasan Pers
Tindakan antipers yang semakin kuat pada era Soekarno yang mendapat
dukungan dari PKI dan TNI. Edward C.Smith mencatat telah terjadi tindakan
“antipers” selama periode ini (jika dihitung dan tahun 1957) sebanyak 480
tindakan.
Pers yang terkena tindakan pada umunya pers yang independen dan tidak
menyatakan diri sebagai aliran atau pembawa politik yang diperkenankan
oleh pemerintah. Surat kabar atau pers yang dapat hidup pada waktu itu
adalah pers yang menjadi penyalur aliran politik yang dapat menerima
system demokrasi terpimpin beserta NASAKOM dan MANIPOL USDEK.
Pada tanggal 10 Februari 1959 MenteriPenerangan Sudibjo mengatakan,
kebebasan pers sudah mati. Ia mengatakan itu pada kongres ke-9 PWI.
Selanjutnya pada bulan Juli1960, Menteri Penerangan Maladi,
mengemukakan pers nasional tidak dapat lagi berdiri di luar melainkan harus
secara aktif bergabung dalam usaha melaksanakan USDEK.
c. Peranan Pemerintah