Bab Vi
Bab Vi
Menurut pandang kaum klasik (Ricardo), nilai suatu barang harus sama
dengan biaya-biaya untuk menghasilkan barang tersebutm yang didalamnya
termasuk ongkos tenaga kerja berupa buruh alami.
Upah alami yang diterima oleh para buruh hanya cukup sekedar penyambung
hidup secara substenm yaitu memenuhi kebutuhan yang sangat pokok-pokok saja.
Padahal, nilai dari hasil kerja para buruh jauh lebih besar dari jumlah yang
diterima mereka sebagai upah alami. Kelebihan nilai produktivitas kerja buruh
atas upah alami inilah yang disebit Marx sebaga nilai lebih, dinikmati oleh para
pemilik modal. semakin kecil upah alami yang dibayarkan pada kaum buruh,
semakin besar nilai surplus yang dinikmati pemilik modal. Bagi Marx ini berarti
semakin besar pengisapan atau eksploitasi dari pemilik modal atas kaum buruh.
Hal ini seperti yang ditulis oleh Marx dalam Das Kapital (yang sudah di bahasa-
Inggriskan oleh Samuel Moore dan Edward Aveling menjadi: Capital: A Critique
of Political Economy (1984): The rate of surplus-value is therefore an expression
for the degree of exploitation of labour-power by capital, or of the labourer by
capitalist. Lebih jelas lagi, menurut Marx, nilai (harga sesungguhnya) dari suatu
komoditas ditentukan oleh nilai labor yang diejawantahkan (embodied) secara
langsung maupun tidak langsung dalam komoditas, plus laba. Marx tidak
membantah bahwa dalam jangka pendek harga-harga komoditas ditentukan oleh
kekuatan-kekuatan permintaan dan
penawaran, sehingga harga yang terbentuk di pasar bisa berbeda dengan nilai
labor yang terikut dalam komoditas yang bersangkutan. Bahkan, dalam jangka
panjang Marx juga tahu bahwa harga-harga secara sistematis menjauh dari nilai
labor. Bagaimanapun juga, secara umum Marx percaya bahwa nilai suatu barang
atau komoditas umumnya sepadan dengan input-input labor,dan hanya labor
langsung yang dapat menghasilkan laba (yang disebutnya nilai surplus). Lebih
jelas, menurut Marx nilai suatu komoditas (C) adalah penjumlahan biaya labor
langsung (v), biaya labor tidak langsung (C) dan laba atau nilai surplus (s), atau:
C = c+ v + S (6-1)
Harap dicatat bahwa dari persamaan (6-1) istilah Marx tentang modal tetap
atau biaya-biaya labor tak langsung (c) dan modal variabel atau biaya-biaya labor
langsung (v) berbeda dengan istilah-istilah
yang digunakan dalam buku-buku ekonomi modern. Oleh Marx, modal tetap
(c) merujuk pada pengeluaran-pengeluaran untuk pabrik, mesin-mesin dan
peralatan, inventory, pengeluaran untuk materials. Sementara itu, pada masa
modern ini, modal tetap merujuk pada biaya-biaya produksi non-labor
(depresiasi, biaya-biaya material, asuransi, dan sebagainya). Begitu juga yang
dimaksudkan biaya labor langsung (v) adalah biaya-biaya upah.
Suatu hal yang membedakan labor dengan faktor-faktor produksi lain (tanah,
modal, material) ialah bahwa majikan dapat memaksa pekerja menghasilkan nilai
yang melebini nilal labor yang masuk dalam proses produksi. Misalnya, nilai
labor yang sesunggunnya masuk dalam proses produksi adalah Rp10.000,00.
Akan tetapi, majikan cukup membayar Rp3.000,00 saja, sekadar membuat buruh
dapat bertahan hidup. Kelebihannya, yang disebut Marx dengan nilai surplus,
dinikmati olehmajikan.
Nilai surplus adalah kelebihan nilai produktivitas kerja atas upahalami yang
diberikan kepada buruh. Semakin rendah nilai upah yang diberikan kepada buruh,
semakin besar nilai surplus yang dinikmati
pemilik modal. Tingkat surplus ini oleh Marx dalam Das Kapital dijadikan
sebagai ukuran eksploitasi terhadap kaum buruh. Tingkat eksploitasi (s) tersebut
bisa diukur dengan membandingkan nilai surplus (S) dengan upah yang diberikan
(v),
Tingkat Eksploitasi s'=s/v (6-2)
Sebagai ekses dari persaingan yang tidak sehat tersebut, maka sebagian yang
kalah tercampak dari pasar. Mereka yang tergusur dari pekerjaan semula akan
mengumpul di pusat-pusat industri, membentuk perkampungan-perkampungan
kumuh. Akan tetapi, adanya pemusatan para penganggur ini justru
menguntungkan kaum kapitalis, sebab mereka bisa dijadikan sebagai cadangan
tenaga kerja murah. Dengan banyaknya orang yang antri mencari pekerjaan,
kaum buruh-yang "Cukup beruntung memperoleh pekerjaan" walaupun dengan
upah sangat rendah tersebut-tidak akan bisa macam-macam. Kalau mereka
membuat ulah, dengan segera mereka bisa dipecat (PHK) dan seribu orang siap
menggantikannya. Akibat yang lebih nyata dari keadaan ini: kehidupan buruh
kian lama kian terjepit.
Kaum buruh jelas rugi, sebab mereka hanya bisa memperoleh nafkah sekadar
penyambung hidup belaka. Bagaimana dengan pemilik modal? Pada mulanya
dengan menekan upah buruh mereka memang untung. Akan tetapi, dengan
jumlah buruh yang sangat banyak, sedangkan pendapatan mereka sangat rendah
menimbulkan masalah lain. Karena daya beli masyarakat rendah, barang-barang
yang dihasilkan menjadi tidak laku. Pabrik-pabrik terpaksa tutup. Semua ini
bukan kesalahan pihak tertentu, melainkan karena tingkah laku kaum kapitalis
sendiri. Lebih lanjut, Marx menganalisis jika pabrik-pabrik tutup, pengangguran
akan semakin merajalela, yang akan membawa kekalitan pada masyarakat. Marx
meramal akan datang suatu masa, terjadi krisis besar-besaran yang akan
mengakhiri riwayat sistem kapitalis.
Dari setiap argumen yang dilontarkan Marx di atas, jelas sekali bahwa ide
tentang konflik selalu ditekankan: konflik antara ideal dan realitas; antara kapital
dan labor; juga antara pertumbuhan dan stagnasi. Dari setiap konflik akan muncul
perubahan. Untuk alasan ini, Marx berpendapat bahwa sistem kapitalisme mesti
diganti dengan sistem lain. Konflik diganti dengan harmoni atau keselarasan etis,
sosial, dan ekonomi. Proses pembangunan melalui konflik merupakan proses
dialektik. Proses ini mempunyai basis dalam pembagian masyarakat atas kaum
pekerja dan kapitalis. Bagi Marx, pangkal dari semua perubahan adalah karena
dilakukannya pengisapan atau eksploitasi para kapitalis terhadap kaum buruh.
Eksploitasi terhadap buruh tersebut telah memungkinkan terjadinya akumulasi
kapital di pihak pemilik modal, tetapi menyebab kan kemiskinan di kalangan
buruh. Perbedaan yang sangat mencolok antara pemilik kapital dan kau proletariat
sebagaimana dijelaskan di atas akan membawa ke arah revolusi sosial.
Bagi Marx, dialektika sejarah merupakan suatu keniscayaan :suatu yang pasti
bakal terjadi. Yang jelas, jika kaum proletar sudah tidak tahan lagi, mereka akan
melancarkan revolusi. Para pekerja akan menghancurkan pabrik-pabrik dan
merusak segala milik kaum kapitalis.
Menurut Marx, perubahan dari suatu fase ke fase berikutnya yang lebih maju
terjadi karena kurang atau tidak seimbangnya kemajuan teknologi dengan
kemajuan dalam instunsi. Pada tahap awal kemajuan, teknologi yang menentukan
kekuatan produksi, yang bergerak selaras dengan kemajuan institusi yang
mengatur hubungan produksi. Namun, kemudian teknologi bergerak lebih cepat
dan meninggalkan institusi yang bergerak lebih lambat. Kemajuan teknologi
membawa berbagai pengubahan. Teknologi memiliki kekuatan dan kekuasaan
untuk merombak institusi yang bergerak lebih lamban. Meskipun telah diciptakan
institusi baru, perubahan itu hanya bersifat sementara.
Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, kapitalisme bagi Marx hanya jaya
pada tahap awal. Akan tetapi, sistem ini akan menemui kesulitan. Kesulitan-
kesulitan timbul karena adanya kontradiksi internal dalam sistem ini sendiri. Di
pihak lain, dalam usaha untuk menghadapi penurunan tingkat laba, perusahaan
dipaksa meningkatkan eksploitasi mereka terhadap kaum buruh. Di sinilah letak
kontradiksi internal yang ada dalam sistem kapitalis. Penemuan-penemuan teknik
baru, di satu pihak memperbesar kapasitas produksi. Sebaliknya, permintaan
agregat dalam masyarakat (yang sebagian besar adalah kaum buruh yang digaji
sangat rendah) secara kronis anjlok.
Sistem kapitalis dikecam Marx sebab bias terhadap kaum pemilik modal.
Untuk melaksanakan pembangunan yang sesungguhnya, yang bisa dinikmati
seluruh lapisan masyarakat. Beberapa program yang dianjurkan Marx untuk
dilakukan setelah revolusi berhasil antara lain:
1. Penghapusan hak mlik atas tanah dan menggunakan semua bentuk sewa
tanah untuk tujuan-tujuan umum
2. Program pajak pendapatan progresif atau gradual
3. Penghapusan semua bentuk hak pewarisan
4. Pemusatan kredit di tangan negara
5. Pemusatan alat-alat komunikasi dan ransportasi di tangan negara
6. Pengembangan pabrik-pabrik dan alat-alat produksi milik negara