Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada zaman modern, dikarenakan rasionalitas manusia sudah
mengalami kemajuan, kepercayaan seperti ini sudah tidak begitu kental berada
ditengah-tengah masyarakat. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa tanpa
adanya ajaran agama langit yang berkembang dalam suatu komunitas
masyarakat, mereka akan berusaha membentuk sebuah keyakinan berdasarkan
kemampuan, pengalaman dan ilmu yang mereka miliki.
Dalam Islam, potensi kebertuhanan manusia ini difasilitasi dan
dibimbing agar menjadi suatu keyakinan yang benar dan lurus. Bimbingan
terhadap manusia ini langsung berasal dari Allah sebagai zat yang Maha
Tinggi, maha Kuasa, Maha Mengetahui. Namun  bimbingan itu bukan dalam
bentuk Allah yang membimbing manusia, tetapi melalui risalah yang dibawa
oleh para Nabi dan Rasul Allah Swt.
Para Nabi dan rasul dalam mengemban amanah dakwah mengajarkan
bahwa tujuan hidup manusia adalah mengabdi dan menyembah Allah ,
sebagaimana firman Allah dalam surat adz-Dzariyaat 56  :
Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku. (QS 51 : 56)

B. Rumusan Masalah
1. Apa makna Psikologi Tasawuf; Pengertian dan objek kajiannya?
2. Bagaimana Eksistensi Psikologi Tasawuf dalam Psikologi Agama Islam?
3. Bagaimana Pengembangan kekuatan spiritual keagamaan dalam perspektif
Psikologi Agama Islam?
4. Bagaimana Ke-Tuhanan Manusia dalam perspektif Psikologi Agama
Islam?

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Psikologi Tasawuf, Pengertian dan objek kajiannya
1. Pengertian Psikologi Tasawuf
Membahas Psikologi Tasawuf, pada hakikatnya menggabungkan
dua tema kajian keilmuan yang mandiri menjadi sebuah kajian keilmuan
yang integral. Dalam mendudukkan apa itu psikologi tasawuf, maka  perlu
dibahas apa yang dimaksud dengan psikologi dan apa yang dimaksud
dengan tasawuf. Berdasarkan landasan ini, penulis merasa perlu
menyinggung sedikit tentang Psikologi dan Tasawuf.
Secara etimologi, psikologi berasal dari kata Psiko dan logos.
Psiko berarti Jiwa, sedangkan logos berarti ilmu. Jadi Psikologi dapat
diartikan sebagai “ilmu tentang jiwa”. Secara terminologi, psikologi
memiliki pengertian suatu disiplin ilmu yang mengkaji tentang jiwa;
tentang kesadaran dan proses mental yang berkaitan dengan jiwa.1 Atauhal
ihwal kehidupan jiwa dan kejiwaan, sikap dan tingkah laku manusia, 
serta  pengembangan hubungan  komunikasi dan interaksinya dengan
Tuhan dan lingkungan.2
Tasawuf, secara etimologi memiliki arti sikap mental yang selalu
memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban
untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana. Sikap jiwa yang demikian
ini pada hakikatnya dapat diartikan sebagai akhlak yang mulia.
Adapun pengertian tasawuf secara terminologi : upaya melatih jiwa
dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari berbagai
pengaruh kehidupan dunia sehingga mencerminkan akhlak yang mulia dan
dekat dengan Allah SWT. Dalam bahasa yang lebih sederhana, tasawuf
dapat diartikan sebagai bidang kegiatan yang berhubungan dengan
pembinaan mental ruhaniah agar selalu dekat dengan Tuhan.

1
Yahya Jaya, Bimbingan Konseling dalam Agama Islam, ( Angkasa Raya, 2004) cet. 10,
h. 119
2
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (PT. Raja Grafindo Persada, 1997)  Edisi. 1 Cet. 2 h.
179-180

2
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Psikologi
tasawuf merupakan kajianhal ihwal kehidupan jiwa dan kejiwaan, sikap
dan tingkah laku para sufi,  serta  pengembangan hubungan  komunikasi
dan interaksinya dengan Tuhan dan lingkungan
2. Objek Kajian Psikologi Tasawuf
Dalam hal kejiwaan, tasawuf cenderung di tafsirkan sebagai
“revolusi bathin” seseorang terhadap kezaliman yang menimpa manusia
yang tidak hanya terbatas pada kezaliman dari orang lain, tetapi justru
terfokus kepada kezaliman yang dilakukan oleh dirinya sendiri.3 Revolusi
bathin yang dilakukan para sufi ini menghantarkan kepada jiwa yang
tawadhu’ dan wara’. Tawadhu’ merupakan kesadaran yang lahir dari jiwa
seorang hamba yang menginsyafi betapa kecil dan hinanya ia dihadapan
kebesaran dan kemuliaan sang Khâliq. Wara’  seorang sufi, terwujud
dalam bentuk tidak adanya respek pada alam, kebesaran dan
keindahannya. Bagi mereka dunia dianggap sebagai penjara dan kuburan.
Oleh karena itu, jiwa yang terpenjara tersebut berusaha membebasakan
diri dan ingin menemukan kemerdekaan supaya dapat masuk ke Ufuk
Langit Ketuhan yang Luhur sebagai tempat kehadirannya.4
Kajian di atas memberikan pemahaman bahwa yang menjadi objek
kajian Psikologi Tasawuf adalah pengalaman sufistik yang  dirasakan oleh
para sufi. Yaitu pengalamanbathin yang dilalui dan dirasakan seorang sufi
dalam mencari ketenangan dan kecerdasan bathin serta penyingkapan tabir
kedekatan (qarîb)antara hamba dengan Allah Swt. Pengalaman itu
memberikan kondisi jiwa tertentu yaitu jiwa yang penuh dengan
ketenangan dan kebahagiaan serta kesejahteraan.
Berbicara tentang pengalaman sufistik dalam konteks tasawuf,
sudah menjadi kesepakatan para sufi yang ikhlas, bahwa puncak
pengalaman sufistik yang mereka rasakan tidak dapat ungkapkan dengan
bahasa verbal. Ketika sebagian para sufi berusaha menggambarkannya
dengan bahasa yang sangat ringkas, mereka memperlihatkan bahwa
3
Ibid
4
Ibid, h. 164

3
kalimat-kalimat yang mereka kemukakan sama sekali tidak mampu
mengungkapkan pengalaman-pengalaman sufistik tersebut.5 Walaupun
demikian, dampak kejiwaan bagi seorang sufi setelah melalui berbagai
macam pengalaman sufistik dapat di teliti. Dalam pandangan Zoehner,
pengalaman sufistik manusia dapat dibagi pada tiga jenis yaitu : (a)
pengalaman sufistik alami, (b) Pengalaman Sufistik ruh atau jiwa dan (c)
pengalaman sufistik ke-Tuhanan.6
a. Pengalaman sufistik alami
Yaitu pengalaman sufistik yang tidak berkaitan langung dengan
tasawuf. Pemikiran ke-Tuhanan  dalam sufistik alami ini terabaikan
dan berada dibawah pengaruhanestetik. Dalam pengalaman alami ini
seseorang dengan  cara anestetik dan melalui seni pengolahan
pernafasan seperti Yoga – merasakan keterhanyutan dalam suasana
alam jagad raya yang dahsyat. Persaksian yang dialami oleh seseorang
dalam pengaruh keadaan anastetik (terbius) tidak bisa diterima oleh
nalar. Sebab apa yang terihat oleh seorang pengaruh keadaan seperti
itu hanyalah sekedar ilusi dan fantasi.7
b. Pengalaman sufistik ruh atau jiwa
Pengalaman ini merupakan cerminan esensi tasawuf. Di dalam
kajian ilmu tasawuf, pengalaman sufistik atau ruh diisitilahkan
dengan hâl. Menurut Harun Nasution dalam Abuddin
Nata, hâl merupakan sikap mental seperti perasaan senang, perasaan
sedih, perasaan takut dan lain sebagainya. Hâl  diperdapat oleh seorang
sufi sebagai anugerah dan rahmat Allah, ia hadir dalam jiwa seorang
sufi sifatnya sementara, datang dan pergi bagi seoran sufi dalam
perjalanannya mendekati Allah.
Yang dimaksud dengan hâl pada masalah ini adalah takut (al-
Khauf), rendah hati (al-Tawadhu’), patuh (at-Taqwa), ikhlas (ikhlas),

5
Ibid, h. 165
6
Ibid
7
Abuddin Nata, op.cit, h. 205

4
rasa berteman (al-Uns), gembira hati (al-Wajd), berterima kasih (al-
Syukr).
c. Pengalaman Sufistik ke-Tuhanan
Pengalaman sufistik seperti ini bertujuan untuk mengembalikan
ruh kepada Tuhannya. Pemikiran ke-Tuhanan ini muncul dalam bentuk
yang beragam bagi para sufi.
Dalam ajaran tasawuf pengalaman sufistik ke-Tuhanan
merupakan puncak tertinggi kejiwaan manusia dalam mendekatkan
diri kepada Allah. Dalam mengungkapkannya, para tokoh sufi
memiliki cara pengungkapan yang berbeda, diantara pengalaman
sufistik yang dirasakan oleh para sufi adalah
1. Ma’rifah, tokohnya adalah al-Ghazali dan Zunnun al-Misri.
Ma’rifah disini memiliki pengertian mengatahui rahasia-rahasia
Tuhan melalui hati sanubari, sehingga dengan hati sanubari
seorang sufi dapat melihat Tuhan.8
2. Fana, Baqa dan ittihaad. Tokohnya Abu Yazid al-Bustami, yaitu
bersatunya ruhaniyah dan bathiniyah manusia dengan zat Allah
dengan tidak ada pemisahan.
3. Hulul, tokohnya al-Halaj. Hulul diartikan oleh para sufi sebagai
suatu tahap dimana manusia Tuhan bersatu secara ruhaniah.9
4. Wahdah al-Wujud. Tokohnya Ibn A’rabi. Wahdatul
Wujud diartikan sebagai pengalaman sufistik yang dirasakan oleh
seorang sufi, pengalaman ini terjadi dalam bentuk bersatunya
manusia dengan zat Allah secara zahir dan bathin.
B. Eksistensi Psikologi Tasawuf dalam Psikologi Agama Islam
Dalam sejarah perkembangan ilmu Psikologi, Psikologi agama Islam
baru muncul pada era tahun 60-an. Disiplin  ini mulai dikenal ketika, Aulia
(1961) menulis buku tentang agama dan kesehatan jiwa. Kemudian  Zakiyyah

8
Abuddin Nata, op.cit, h. 239-246
9
Ibid, h. 247-255

5
Daradjat memunculkan sebuah buku yang membahas tentang Ilmu Jiwa
Agama (1970-an).10
Psikologi tasawuf sebagai salah satu cabang dalam Psikologi Islam,
sangat berkatian erat dengan psikologi agama Islam. Jika dilihat dari segi
objek kajiannya, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa psikologi
tasawuf mengkaji tentang pengalaman bathin seorang sufi yang mampu
memberikan kondisi jiwa yang selamat (qalbun salîm), jiwa yang tenang
(qalbun muthmainnah) bagi sisufi itu sendiri. Sementara psikologi agama
merupakan ilmu yang mengkaji tentang bathin terhadap keyakinannya kepada
Allah, hari kemudian da masalah ghaib lainnya. Jika dilihat dari objek kajian
kedua disiplin ilmu ini, maka psikologi tasawuf merupakan salah satu bentuk
terapi bagi ummat Islam dalam rangka meningkatkan kualitas ibadah dalam
arti luas.     
C. Pengembangan kekuatan spiritual keagamaan dalam perspektif Psikologi
Agama Islam
Psikologi agama Islam mengkaji tentang semangat beragama dan
kesadaran beragama. Semangat beragama terlihat dalam bentuk sejauh mana
seseorang dapat mengamalkan dan menjalankan perintah agama
dengan istiqomah. Sedangkan kesadaran beragama terlihat pada kemampuan
seseorang dalam menangkap nilai-nilai kebaikan dalam ajaran agama Islam
secara inklusif.
Spiritualias merupakan salah satu dimensi kehidupan  yang
dianugerahkan Allah kepada manusia. Dimensi ini terwujud dalam bentuk
kemampuan dalam mengelola dan mendayagunakan makna-makna, nilai-nilai,
dan kualitas-kualitas kehidupan. Kehidupan spiritual disini meliputi hasrat
untuk hidup bermakna (the will to meaning) yang memotivasi manusia untuk
senantiasa mencari makna hidup (the meaning of life), dan mendambakan
hidup bermakna (the meaningfull life).
Hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning) dapat diartikan
sebagai keinginan diri untuk dapat berguna dan berharga bagi keluarganya,

10
Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta : Kalam Mulia, 2004) cet. Ke-7, h. 7

6
lingkungan serta masyarakatnya, serta bagi dirinya sendiri.11 Keinginan
tersebut akan memotivasi seseoerang untuk melakukan aktifitas kebaikan dan
amal shaleh agar makna hidup dapat diraih. Keberhasilan dalam meraih hidup
bermakna, disinilah seseorang akan menemukan kebahagiaan dan ketenangan.
Pada abad 21, ketika manusia sudah berada pada titik jenuh dalam
menjalani hidup yang berlandaskan pragmatisme materialistik, sebagai
ideologi yang kering dari nilai dan kekuatan spiritual. Bermunculanlah
berbagai macam usaha-usaha baru bagi para ilmuan barat untuk dapat
membebaskan manusia dari kejenuhan dan kegundahgulanaan dalam
kehidupannya. Pada awal tahun 2000, muncul sebuah buku yang
menggemparkan, ditulis oleh 2 orang penulis muda yaitu Donah Zohar dan Ian
marshall yaitu SQ : Spiritual Intelligence the Ultimate Intelligence.  Dalam
buku ini di katakan bahwa kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan
tertinggi setelah kecerdasan intelektual, kecerdasan Emosional dan kecerdasan
moral.
Didalam Islam, spiritual merupakan sebuah kekuatan yang dahsyat.
Ari Ginanjar memberikan gambaran bahwa dengan kekuatan spiritual
seseorang  yang berada dalam kondisi sangat dramatis, panik dan takut yang
luar biasa,  ketika kekuatan spiritual hadir -kepasrahan penuh kepada Allah-
dalam jiwa, kondisi tersebut dapat ternyata diorganisir dengan baik.
Kekuatan spiritual dalam pengembangannya, terletak pada kemampuan
untuk meraih makna hidup. Dalam proses ini, agar usaha yang dilakukan
mampu mengarahkan seseorang pada pencapaian hidup yang bermakna, salah
satunya adalah dengan memberikan konseling. Jika dilihat dari perspektif
psikologi agama Islam, tentu konseling yang di tuntut adalah konseling Islami.
Yahya Jaya memformuliasikan sebuah konsep dalam hal metode
konseling Islami, yaitu dengan proses penyucian jiwa (tazkiyat al-Nafs).
Dalam hal penyucian jiwa ada beberapa aspek yang harus diperhatikan, yaitu
mengoptimalkan hubungan vertikal manusia dengan sang khalik  (hablum
minallah). Kemudian tidak menafikkan qodrat manusia itu sendiri sebagi

11
Ibid, h. 26-31

7
makhluk sosial dengan selalu memperhatikan dan memperbaiki hubungan
dengan sesama manusia (hablum minannas), hubungan dengan sesama
makhluk (hablum minalalam), dan hubungan dengan dirinya sendiri (hablum
minanannafs).12
D. Ke-Tuhanan Manusia dalam perspektif Psikologi Agama Islam
Dalam membahas masalah ini, setidaknya ada beberapa aspek yang
akan dijelaskan. Psikologi Agama Islam sebagai salah satu disiplin ilmu, maka
ada beberapa masalah yang akan menjadi topik kajian diantaranya seperti
yang di jelaskan oleh ramayulis :
1. Bagaimana pengalaman manusia itu dalam hubungannya dengan
keyakinannya kepada Tuhannya.
2. Bagaimana sifat jiwanya terhadap Tuhannya
3. Bagaimana pengalaman tentang dirinya dalam menyerahkan diri kepada
Tuhannya.13
Melihat dari masalah diatas, maka ke-Tuhanan manusia dalam
perspektif Psikologi Agama Islam merupakan konsep keyakinan, sikap jiwa
dan penyerahan diri kepada Allah Swt. Pada bahasan selanjutnya, penulis akan
coba menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan
tersebut.
1. Iman
Iman memiliki pengertian keyakinan yang kuat zat yang maha
berkuasa. Keimanan akan menghantarkan sesorang kepada ketaatan dalam
menjalankan perintah agama, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan
perintah-perintah sunnah lainnya. Jika demikian, maka iman akan
melahirkan tingkah laku ketaatan pada diri seseorang yang dilakukan
hanya dengan keikhlasan semata. Orang yang melaksanakan shalat hanya
mengharapkan imbalan (fahala) yang datang dari Allah, dan imbalan itu
mereka yakini pasti ada.

12
Yahya Jaya, Bimbingan Konseling dalam Agama Islam, ( Angkasa Raya, 2004) cet. 10,
h. 165-178
13
Ramayulis, op.cit, h. 3

8
2. Akhlak Mulia 
Ibnu Katsir dalam Fariq Gasim Anuz, menjelaskan bahwa akhlak
memiliki arti dien, tabiat dan sifat. Hakikatnya adalah potret batin manusia
yaitu jiwa dan kepribadiannya. Bagi seorang hamba yang memiliki iman
yang baik, maka akan memancarkan tingkah laku atau tabia’at yang baik
pula. Yaitu perangai atau tingkah laku yang memberikan manfaat bagi diri
dan lingkungannya. akhlak mulia itu bisa lahir dalam bentuk, diantaranya :
a. Tawadhu’
Tawadhu’ memeliki pengertian sifat rendah hati. Yaitu sifat
yang tidak mau membanggakan diri atas kelebihan dan keistimewaan
yang diberikan Allah kepadanya. Seorang yang tawadhu’ menyadari
bahwa apapun yan ia miliki; ilmu, kekayaan, jabatan, pangkat dan lain-
lain, merupakan  anugerah dan amanah dari Allah. Itu semua justru
dijadikan sebagai media dalam rangka menyadari betapa maha
besarnya dan maha kuasanya Allah.
b. Wara’
Yaitu sikap yang selalu waspada terhadap hal-hal yang dapat
merendahkan martabat sebagai hamba Allah. Seorang yang memiliki
sifat wara’ selalu berusaha menghindarkan diri dari hal yang bersifat
subhat, sebab itu akan menjadikan hijab bagi dirinya terhadap
kebesaran Allah yang Maha Mulia.
c. Ikhlas
Ikhlas merupaka perbuatan atau tingkah laku yang dilakukan
oleh seorang hamba hanya diperuntukkan bagai Allah semata. Apapun
katifitas kehidupannya dalam rangka mengarungi lautan kehidupan,
dimaknai sebagai ibadah kepada Allah Swt.
d. Sabar
Merupakan sikap yang tangguh dalam menghadapi
problematika kehidupan. Orang yang sabar tidak mudah putus asa serta

9
yakin akan rahmat Allah dalam setiap peritiwa kehidupan yang
dialami, apapun itu bentuknya.14 Firman Allah QS 94 : 5-6
Artinya:  Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan. sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan.( QS : al-Insyirah : 5-6)
e. Syukur
Yaitu penggunaan seluruh nikmat Allah oleh seorang hamba –
baik dalam bentuk pendengaran, penglihatan, hati, maupun yang
lainnya- sesuai dengan tujuan penciptaanya. 15 Semua anugerah yang
diberikan Allah kepada manusia, terutama nikmat panca indera
diberikan oleh Allah memiliki tujuan. Pendengaran Allah berikan
bertuajuan agar manusia dapat mendengarkan pengajaran, perkatan
yang baik. Begitu juga dengan nuikmat yang lain.
f. Tawakkal.
Tawakkal adalah bersandar kepada Allah dalam segala hal.
Allahlah sebagai penyebab segala sesuatu. Artinya, manusia sebagai
seoarang hamba menayadari betapa didalamnya dirinya tidak ada
kekuatan. Sungguh pemilik kekuatan dan daya hanya Allah. Takwa
merupakan sikap hidup yang mampu menghantarkan seseorang kepada
ketenangan hidup.
Penyerahan diri kepada Allah disini merupakan penyerahan 
yang tidak menafikkan sunnatullah yang telah menjadi ketetapan
Allah. Artinya dalam bertqwaqal juga harus diringi dengan berikhtiar,
karena segala sesuatu sudah Allah ciptakan dengan struktur sebab
akibat, walaupun hal itu semua tidak akan mutlak, jika Allah
berkehendak.

14
Ibid, h. 73-76
15
Ibid, h. 90

10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara etimologi, psikologi berasal dari kata Psiko dan logos.
Psiko berarti Jiwa, sedangkan logos berarti ilmu. Jadi Psikologi dapat
diartikan sebagai “ilmu tentang jiwa”. Secara terminologi, psikologi memiliki
pengertian suatu disiplin ilmu yang mengkaji tentang jiwa; tentang kesadaran
dan proses mental yang berkaitan dengan jiwa. 16 Atauhal ihwal kehidupan
jiwa dan kejiwaan, sikap dan tingkah laku manusia,  serta  pengembangan
hubungan  komunikasi dan interaksinya dengan Tuhan dan lingkungan.
Psikologi tasawuf sebagai salah satu cabang dalam Psikologi Islam,
sangat berkatian erat dengan psikologi agama Islam. Jika dilihat dari segi
objek kajiannya, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa psikologi
tasawuf mengkaji tentang pengalaman bathin seorang sufi yang mampu
memberikan kondisi jiwa yang selamat (qalbun salîm), jiwa yang tenang
(qalbun muthmainnah) bagi sisufi itu sendiri.

B. Saran
Demikian makalah yang kami susun, semoga dapat memberikan
manfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya. Penyusun
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
makalah kami.

16
Yahya Jaya, Bimbingan Konseling dalam Agama Islam, ( Angkasa Raya, 2004) cet. 10,
h. 119

11
DAFTAR PUSTAKA

Jaya. Yahya, Prof. Dr. MA, Bimbingan Konseling Agama Islam, (Angkasa raya),


th. 2004

Nata, Abuddin. H. Drs, MA, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : PT. Raja Grafindo


Persada), cet. II th. 1996

Ramayulis, H. Prof. Dr, Psikologi Agama,  ( Jakarta : Kalam Mulia ), cet. 7 th.


2002

12

Anda mungkin juga menyukai