Farmakoterapi Hipertensi.pdf
Iman Firmansyah
Hipert ensi
jayant i prat iwi
Disusun Oleh:
Iman Firmansyah
260112170068
Halaman
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL ............................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... iv
BAB I HIPERTENSI ................................................................................... 1
1.1 Definisi .................................................................................... 2
1.2 Patofisiologi ............................................................................ 2
1.3 Manifestasi Klinik ................................................................... 3
1.3.1 Otak ............................................................................. 4
1.3.2 Kardiovaskular ............................................................ 4
1.3.3 Ginjal ........................................................................... 5
1.3.4 Retinopati .................................................................... 5
1.4 Diagnosis ................................................................................. 5
1.5 Hasil Terapi yang Diinginkan ................................................. 7
1.6 Penanganan ............................................................................. 8
1.6.1 Terapi Non Farmakologi ............................................ 9
1.6.2 Terapi Farmakologi .................................................... 9
1.7 Evaluasi Hasil Terapi .............................................................. 13
BAB II KASUS ............................................................................................. 14
2.1 Penjabaran Kasus .................................................................... 14
2.2 Analisis Kasus ......................................................................... 15
2.2.1 Subjektif ...................................................................... 15
2.2.2 Objektif ....................................................................... 15
2.2.3 Assesment ................................................................... 16
2.2.4 Plan ............................................................................. 16
2.3 DRP ......................................................................................... 16
ii
2.4 Monitoring .............................................................................. 17
2.4.1 Monitoring Tekanan Darah ........................................ 17
2.4.2 Monitoring kerusakan target organ: jantung, ginjal,
mata, otak ................................................................... 17
2.4.3 Monitoring interaksi obat dan efek samping obat ...... 17
2.4.4 Monitoring kepatuhan/Medication Adherence dan
konseling ke pasien .................................................... 18
2.5 Edukasi Pasien ........................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 20
iii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC VII ................................. 1
Tabel 2 Derajat Keparahan Hipertensi ............................................................. 6
Tabel 3 Rekomedasi obat antihipertensi dalam JNC 8 .................................... 11
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Algoritma Diagnosis Hipertensi .................................................... 7
Gambar 2 Bagan Alogaritma Penanganan Hipertensi Rekomedasi JNC 8 .... 12
v
BAB I
HIPERTENSI
1.1 Definisi
Menurut JNC-7 hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu kondisi ketika
tekanan darah diastolik < 90 mmHg dan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau lebih
(≥ 140/90 mmHg). Klasifikasi tekanan darah menurut JNC (Joint National Commitee)
VII (Dipiro et al, 2015).
1
1.2 Patofisiologi
Hipertensi adalah kelainan heterogen yang dapat terjadi akibat penyebab spesifik
(hipertensi sekunder) atau dari mekanisme patofisiologis yang tidak diketahui
etiologinya (hipertensi primer atau esensial). Hipertensi sekunder terjadi kurang dari
10% kasus yang ada, dan sebagian besarnya disebabkan oleh penyakit ginjal kronis
atau penyakit renovaskular. Kondisi lain yang menyebabkan hipertensi sekunder
meliputi pheochromocytoma, sindrom Cushing, hipertiroidisme, hiperparatiroidisme,
aldosteronisme primer, kehamilan, apnea tidur obstruktif, dan koarktasio aorta.
Beberapa obat yang dapat meningkatkan tekanan darah meliputi kortikosteroid,
estrogen, obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), amfetamin, sibutramine, siklosporin,
tacrolimus, eritropoietin, dan venlafaksina (Dipiro et al, 2015).
2
f. Peningkatan konsentrasi intraselular kalsium, menyebabkan fungsi otot polos
vaskular yang berubah dan meningkatkan resistensi vaskular perifer.
Komplikasi yang terjadi pada hipertensi ringan dan sedang mengenai mata,
ginjal, jantung dan otak. Pada mata berupa perdarahan retina, gangguan penglihatan
3
sampai dengan kebutaan. Gagal jantung merupakan kelainan yang sering ditemukan
pada hipertensi berat selain kelainan koroner dan miokard. Pada otak sering terjadi
stroke dimana terjadi perdarahan yang disebabkan oleh pecahnya mikroaneurisma yang
dapat mengakibakan kematian. Kelainan lain yang dapat terjadi adalah proses
tromboemboli dan serangan iskemia otak sementara (Transient Ischemic Attack/TIA).
Gagal ginjal sering dijumpai sebagai komplikasi hipertensi yang lama dan pada proses
akut seperti pada hipertensi maligna (Nuraini,2015).
1.3.1 Otak
Stroke merupakan kerusakan target organ pada otak yang diakibatkan oleh
hipertensi. Stroke timbul karena perdarahan, tekanan intra kranial yang meninggi,
atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan tekanan
tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang
mendarahi otak mengalami hipertropi atau penebalan, sehingga aliran darah ke
daerah-daerah yang diperdarahinya akan berkurang. Arteri-arteri di otak yang
mengalami arterosklerosis melemah sehingga meningkatkan kemungkinan
terbentuknya aneurisma. Ensefalopati juga dapat terjadi terutama pada hipertensi
maligna atau hipertensi dengan onset cepat. Tekanan yang tinggi pada kelainan
tersebut menyebabkan peningkatan tekanan kapiler, sehingga mendorong cairan
masuk ke dalam ruang intertisium di seluruh susunan saraf pusat. Hal tersebut
menyebabkan neuron-neuron di sekitarnya kolap dan terjadi koma bahkan
kematian (Nuraini,2015).
1.3.2 Kardiovaskular
Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner mengalami
arterosklerosis atau apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran darah yang
melalui pembuluh darah tersebut, sehingga miokardium tidak mendapatkan suplai
oksigen yang cukup. Kebutuhan oksigen miokardium yang tidak terpenuhi
menyebabkan terjadinya iskemia jantung, yang pada akhirnya dapat menjadi
infark (Nuraini,2015).
4
1.3.3 Ginjal
Penyakit ginjal kronik dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat
tekanan tinggi pada kapiler-kepiler ginjal dan glomerolus. Kerusakan glomerulus
akan mengakibatkan darah mengalir ke unit-unit fungsional ginjal, sehingga
nefron akan terganggu dan berlanjut menjadi hipoksia dan kematian ginjal.
Kerusakan membran glomerulus juga akan menyebabkan protein keluar melalui
urin sehingga sering dijumpai edema sebagai akibat dari tekanan osmotik koloid
plasma yang berkurang. Hal tersebut terutama terjadi pada hipertensi kronik
(Nuraini,2015).
1.3.4 Retinopati
Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah pada
retina. Makin tinggi tekanan darah dan makin lama hipertensi tersebut
berlangsung, maka makin berat pula kerusakan yang dapat ditimbulkan. Kelainan
lain pada retina yang terjadi akibat tekanan darah yang tinggi adalah iskemik optik
neuropati atau kerusakan pada saraf mata akibat aliran darah yang buruk, oklusi
arteri dan vena retina akibat penyumbatan aliran darah pada arteri dan vena retina.
Penderita retinopati hipertensif pada awalnya tidak menunjukkan gejala, yang
pada akhirnya dapat menjadi kebutaan pada stadium akhir (Nuraini,2015).
Kerusakan yang lebih parah pada mata terjadi pada kondisi hipertensi maligna, di
mana tekanan darah meningkat secara tiba-tiba. Manifestasi klinis akibat
hipertensi maligna juga terjadi secara mendadak, antara lain nyeri kepala, double
vision, dim vision, dan sudden vision loss (Nuraini,2015).
1.4 Diagnosis
Tekanan darah sistolik merupakan pengukuran utama yang menjadi dasar
penentuan diagnosis hipertensi. Adapun pembagian derajat keparahan hipertensi pada
seseorang merupakan salah satu dasar penentuan tatalaksana hipertensi berdasarkan A
statement by the American Society of Hypertension and the International Society of
Hypertension 2013
5
Tabel 2. Derajat Keparahan Hipertensi
6
Gambar 1. Algoritma Diagnosis Hipertensi
7
untuk mereka dengan penyakit renal parah dengan proteinuria >1 g/hari; dan <140
mmgHg (sistolik) untuk isolated systolic hypertension.
1.6 Penanganan
❖ Restriksi garam harian dapat menurunkan tekanan darah sistolik 2-8 mmHg.
Konsumsi sodium chloride ≤6 g/hari (100mmol sodium/hari).
Rekomendasikan makan rendah garam sebagai bagian pola makan sehat.
8
❖ Berhenti merokok untuk mengurangi resiko kardiovaskuler secara
keseluruhan.
9
tidak memblok reseptor angiotensinogen tipe 2 (AT2). Jadi efek yang
menguntungkan dari stimulasi AT2 (seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan, dan
penghambatan pertumbuhan sel) tetap utuh dengan penggunaan ARB. Efek
samping ARB adalah insufisiensi ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi ortostatik.
Contoh obatnya adalah losartan dan valsartan (Wells et. al., 2015).
❖ Calcium Channel Blocker (CCB)
CCB dapat menyebabkan relaksasi jantung dan melemaskan otot dengan
cara memblok channel kalsium sehingga mengurangi masuknya kalsium
ekstraselular ke dalam sel. Hal ini akan menyebabkan basodilatasi dan mengurangi
tekanan darah. Contoh obat CCB adalah verapamil dan diltiazem. Verapamil dan
diltiazem dapat menurunkan denyut jantung dan memperlambat konduksi nodal
atriventrikular. Verapamil menghasilkan efek negatif inotropik dan kronotropik
yang bertanggung jawab terhadap kecenderungannya untuk memperparah atau
menyebabkan gagal jantung pada pasien resiko tinggi. Diltiazem juga mempunyai
efek ini tetapi tidak sebesar verapamil (Wells et. al., 2015).
❖ Diuretik
Obat golongan diuretik akan menurunkan volume darah dan cairan
ekstraseluler dengan cara meningkatkan ekstresi natrium, air, dan klorida, dengan
demikian tekanan darah akan menurun. Obat golongan diuretic juga dapat
menurunkan resistensi perifer, sehingga menambah efek hipotensi. Contoh obat
golongan diuretik adalah thiazid diuretik, loop, penahan kalium, dan antagonis
aldosteron. Efek samping obat tersebut antara lain hipokalemia yang dapat
mengakibatkan gejala lemas, hiperurisemia, lemah otot, muntah, dan pusing
(Wells et. al., 2015; Dalimartha et. al., 2008).
❖ β-blockers
β-blockers hanya dapat digunakan sebagai agen first-line untuk mengobati
indikasi spesifik seperti infark miokard atau penyakit arteri koronari. Mekanisme
kerjanya dapat menurunkan output jantung melalui kronotropik dan inotropik ke
10
jantung dan inhibisi pelepasan rennin dari ginjal. Contoh obatnya adalah atenolol,
propanolol, dan bisoprolol (Wells et. al., 2015).
Berikut merupakan tabel obat antihipertensi yang direkomedasikan dalam JNC 8
11
Gambar 2. Bagan Alogaritma Penanganan Hipertensi Rekomedasi JNC 8
12
1.7 Evaluasi Hasil Terapi
Tujuan perawatan antihipertensi adalah untuk menjaga tekanan darah arterial di
bawah 140/90 mmHg untuk mencegah morbiditas dan mortalitas kardiovascular.
Usaha untuk menurunkan tekanan darah sampai <140/80 mmHg untuk pasien diabetes
dan <130/80 untuk pasien gangguan fungsi ginjal (Dipiro, et al., 2015).
Tekanan darah harus dikontrol 2 sampai 4 minggu setelah terapi dilakukan.
Setelah tekanan darah yang dicapai sesuai dengan yang diharapkan, kontrol tekanan
darah dapat dilakukan 3 sampai 6 bulan, dengan asumsi tidak terdapat tanda dan gejala
kerusakan organ target. Evaluasi yang lebih sering perlu dilakukan untuk pasien yang
jarang melakukan kontrol, ketidakpatuhan, mengalami kerusakan organ target yang
progresif, atau terdapat gejala efek samping obat (Dipiro, et al., 2015).
Pasien harus terus dipantau terkait tanda dan gejala kerusakan organ target. Nyeri
dada, jantung berdebar, pusing, dyspnea, ortopnea, sakit kepala, lemah, bicara cadel,
dan kehilangan keseimbangan harus benar-benar diperhatikan untuk menilai adanya
komplikasi. Selain itu perubahan fundus mata, hipertropi ventrikel kiri, proteinuria, dan
perubahan fungsi ginjal juga harus dipantau (Dipiro, et al., 2015).
Selain pemantauan tekanan darah dan gejala kerusakan organ target, efek samping obat
juga harus diperhatikan. Pemantauan efek samping obat ini dilakukan 2 sampai 4
minggu setelah mulai terapi ataupun setelah mendapatkan dosis baru yang
ditingkatkan, kemudian setiap 6 sampai 12 bulan pada pasien stabil. (Dipiro, et al.,
2015).
Pasien yang mengkonsumsi antagonis aldosteron harus dilihat kadar kalium
dalam darahnya dan dinilai fungsi ginjalnya dalam waktu 3 hari dan 1 minggu setelah
mulai terapi untuk mengetahui potensi hiperkalemia. Kepatuhan pasien disini juga
harus diperhatikan, tanyakan pada pasien mengenai perubahan persepsi kesehatan
mereka secara umum, fungsi fisik dan kepuasan secara menyeluruh mengenai
penanganan yang diberikan (Dipiro, et al., 2015).
13
BAB II
KASUS
14
❖ SpO2 : 97% under room air
Tuan MS adalah anak ke 3 dari 9 saudara kandung. Ayahnya menderita hipertensi
dan telah meninggal dunia sejak lama karena penyebab yang tidak diketahui. Ibu dan
saudara kandung lainnya sehat. Tak satu pun dari mereka memiliki hipertensi, diabetes,
penyakit jantung iskemik atau keganasan. Pak MS tidak merokok atau mengkonsumsi
alkohol. Pengobatannya saat ini meliputi:
❖ Tab Simvastatin 20mg OD
❖ Tab Metoprolol 75mg BD
❖ Tab Cardiprin 100mg OD
❖ Tab Isosorbide Dinitrate (ISDN) 5mg TDS
❖ Tab Amlodipine 10mg OD
❖ Sublingual Glyceryl Trinitrate (GTN) PRN
2.2.2 Objektif
a. Tekanan darah pasien 158/94 mmHg = Hipertensi
b. Denyut nadi 94 denyut/menit. Normal
15
c. Respiratory Rate : 20 breaths per minute
d. Suhu tubuh pasien 370C
e. SpO2 : 97% (saturasi)
2.2.3 Assesment
Pasien menderita hipertensi derajat 1 yang ditandai dengan tekanan darah 158/94
mmHg, pasien juga menderita asam urat yang ditandai dengan terjadinya
pembengkakan di kaki yang besar serta mengalami penyakit jantung koroner akut
dengan frekuensi serangan angina 2 sampai 3 kali setiap minggu yang ditandai dengan
rasa nyeri pada dada hingga leher, disertai dengan banyaknya pengeluaran keringat.
2.2.4 Plan
❖ Tab Simvastatin 20mg: Obat anti hiperkolesterolemia
❖ Tab Metoprolol 75mg :Obat hipertensi, angina pektoris
❖ Tab Cardiprin 100mg : Antikoagulan
❖ Tab Isosorbide Dinitrate (ISDN) 5mg : angina pektoris, mengurangi nyeri
❖ Tab Amlodipine 10mg: Obat hipertensi, angina pektoris
❖ Sublingual Glyceryl Trinitrate (GTN): angina pektoris
❖ Tab Telmisartan 40mg: Obat hipertensi
2.3 DRP
DRP yang terjadi pada kasus ini adalah Tn MS menerima banyak obat untuk penyakit
jantung iskemiknya. Akan tetapi setelah menjalankan terapi, Tn MS masih sering
mengalami serangan angina berulang kali. Disarankan untuk menambahkan
trimetazidin ke dalam rejimen pengobatan Tn MS untuk mengurangi frekuensi
serangan angina. Karena menurut penelitian, trimetazidin terbukti mengurangi
serangan angina per minggu sebesar 40% terlepas dari apakah pemberian diberikan
dalam terapi tunggal atau kombinasi, serta dalam penggunaannya dapat mengurangi
penggunaan GTN. Selain itu, terapi obat telmisartan tidak perlu diberikan karena terapi
menggunakan telmisartan ditujukan untuk pasien yang mengalami hipetensi ringan
16
yang tidak disertai serangan jantung. Penggunaan metoprolol dan amlodipine sudah
cukup efektif untuk mengatasi hipertensi dan angina yang diderita pasien.
2.4 Monitoring
Untuk mengukur efektivitas terapi, hal-hal berikut harus di monitor :
a. tekanan darah
b. kerusakan target organ: jantung, ginjal, mata, otak
c. interaksi obat dan efek samping
d. kepatuhan (adherence)
2.4.1 Monitoring tekanan darah
Meonitor tekanan darah di klinik tetap merupakan standar untuk pengobatan
hipertensi. Respon terhadap tekanan darah harus di evaluasi 2 sampai 4 minggu setelah
terapi dimulai atau setelah adanya perubahan terapi. Pada kebanyakan pasien target
tekanan darah < 140/90 mmHg, dan pada
pasien diabetes dan pasien dengan gagal ginjal kronik < 130/80 mmHg.
2.4.2 Monitoring kerusakan target organ: jantung, ginjal, mata, otak
Pasien hipertensi harus di monitor secara berkala untuk melihat tanda-tanda dan
gejala adanya penyakit target organ yang berlanjut. Sejarah sakit dada (atau tightness),
palpitasi, pusing, dyspnea, orthopnea, sakit kepala, penglihatan tiba-tiba berubah,
lemah sebelah, bicara terbata-bata, dan hilang keseimbangan harus diamati dengan
seksama untuk menilai kemungkinan komplikasi kardiovaskular dan serebrovaskular.
Parameter klinis lainnya yang harus di monitor untuk menilai penyakit target organ
termasuk perubahan funduskopik, regresi LVH pada elektrokardiogram atau
ekokardiogram, proteinuria, dan perubahan fungsi ginjal.
2.4.3 Monitoring interaksi obat dan efek samping obat
Untuk melihat toksisitas dari terapi, efek samping dan interaksi obat harus di nilai
secara teratur. Efek samping bisanya muncul 2 sampai 4 minggu setelah memulai obat
baru atau setelah menaikkan dosis. Kejadian efek samping mungkin memerlukan
penurunan dosis atau substitusi dengan obat antihipertensi yang lain. Monitoring yang
17
intensif diperlukan bila terlihat ada interaksi obat; misalnya apabila pasien mendapat
diuretik tiazid atau loop dan pasien juga mendapat digoksin; yakinkan pasien juga dapat
supplemen kalium atau ada obat-obat lain menahan kalium dan yakinkan kadar kalium
diperiksa secara berkala.
Monitoring tambahan mungkin diperlukan untuk penyakit lain yang menyertai
bila ada (misalnya diabetes, dislipidemia, dan gout).
2.4.4 Monitoring kepatuhan/Medication Adherence dan konseling ke pasien
Diperlukan usaha yang cukup besar untuk meningkatkan kepatuhan pasien
terhadap terapi obat demi mencapai target tekanan darah yang dinginkan. Paling sedikit
50 % pasien yang diresepkan obat antihipertensi tidak meminumnya sesuai dengan
yang di rekomendasikan. Satu studi menyatakan kalau pasien yang menghentikan
terapi antihipertensinya lima kali lebih besar kemungkinan terkena stroke.
Strategi yang paling efektif adalah dengan kombinasi beberapa strategi seperti edukasi,
modifikasi sikap, dan sistem yang mendukung. Strategi konseling untuk meningkatkan
adherence terapi obat antihipertensi adalah sebagai berikut :
Nilai adherence pada setiap kunjungan
❖ Diskusikan dengan pasien motivasi dan pendapatnya
❖ Libatkan pasien dalam penanganan masalah kesehatannya
❖ Gunakan keahlian mendengarkan secara aktif sewaktu pasien menjelaskan
masalahnya
❖ Bicarakan keluhan pasien tentang terapi
❖ Bantu pasien dengan cara tertentu untuk tidak lupa meminum obatnya
❖ Sederhanakan regimen obat (seperti mengurangi frekuensi minum,
produkmkombinasi)
❖ Minum obat disesuaikan dengan kebiasaan pasien sehari-hari
❖ Berikan informasi tentang keuntungan pengontrolan tekanan darah
❖ Beritahukan perkiraan efek samping obat yang mungkin terjadi
❖ Beritahukan informasi tertulis mengenai hipertensi dan obatnya bila
memungkinkan
18
❖ Petimbangkan penggunaan alat pengukur tekanan darah di rumah supaya pasien
dapat terlibat dalam penanganan hipertensinya
❖ Berikan pendidikan kepada keluarga pasien tentang penyakit dan regimen obatnya
❖ Libatkan keluarga dan kerabatnya tentang adherence minum obat dan terhadap
gaya hidup sehat
❖ Yakinkan regimen obat dapat dijangkau biayanya oleh pasien
❖ Bila memungkinkan telepon pasien untuk meyakinkan pasien mengikuti rencana
pengobatannya
19
DAFTAR PUSTAKA
Appel LJ. Lifestyle modification as a means to prevent and treat high blood pressure.
J Am Soc Nephrol.̾2003; 14 (7 Suppl 2): 99-102.
Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, et al. The seventh
report of the Joint National Committee on prevention detection evaluation and
treatment of high blood pressure: The JNC 7 report. JAMA.2003; 289(19):2560-
71. Doi:10.1001/jama.289.192560.
Dalimartha, S., Purnama, B. T., Sutarina, N., Mahendra, dan Darmawan, R. 2008. Care
Your Self, Hipertensi. Depok : Penebar Plus.
Dasgupta Kaberi, Quinn Robert R, Zarnke Kelly B, et al. 2014. The 2014 Canadian
Hypertension Education Program Recommendations for Blood Pressure
Measurement, Diagnosis, Assessment of Risk, Prevention, and Treatment of
Hypertension. Canadian Journal of Cardiology. 30 (2014) 485e5.
Weber MA, Schiffrin EL, White WB, Mann S, Lindholm LH, Kenerson JG, et al. 2013.
Clinical Practice Guidelines for the Maganement of Hypertension in the
Community. A Statement by the American Society of Hypertension and the
International Society of Hypertension. ASH paper. The Journal of Clinical
Hypertension.
20
Writing group of the PREMIER collaborative research group. Effects of
comprehensive lifestyle on blood pressure control: Main results of the PIMER
clinical trial. JAMA 2003; 289(16): 2083-93. Doi: 10.1001/jama.289.16.2083. 1.
21