Anda di halaman 1dari 23

Identitas

Nama : Galih Ginanjar

Usia : 24 tahun

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Alamat :

Tanggal masuk :19-10-2021

Anamnesis

Keluhan Utama :

Bengkak pada bagia kaki kanan

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke Poli Penyakit Dalam RSUD Cicalengka diantar oleh keluarganya
pada tanggal 19-10-2021. Pasien dating dengan keluhan adanya bengkak pada bagia kaki
kanan. Pasien mengatakan bahwa keluannya dirasakan sejak 1 minggu SMRS. Keluhan
bengkak ini dirasakan pada pergelangan kaki kanan hingga betis kanan sejak 1 minggu
SMRS. Pada awalnya bengkak terlihat pada bagian pergelangan kaki kanan pasien dan
semakin lama bengak di rasakan semakin meluas sampai ke betis kanan. Pada awalnya
bengkak tidak disertai dengan kemerahan dan rasa nyeri, namun beberapa hari sebelum
masuk Rumah Sakit pasien mengatakan bahwa keluhannya disertai dengan rasa nyeri dan
adanya kemerahan pada daerah kaki yang bengkak. Pasien mengatakan tidak ada hal yang
membuat keluhannya membaik ataupun memburuk.

Selama bengkak pasien mengaku frekuensi BAK 4 kali dalam sehari. Keluhan
riwayat sering terbangun pada malam hari untuk BAK disangkal. Keluhan bengkak ini tidak
disertai dengan adanya sesak napas saat tidur dan penderita masih bias tidur menggunakan
satu bantal. Selama bengkak penderita tampak pucat, lemah, lesu, atau kehilangan nafsu
makan. Penderita masih bias beraktivitas ringan. Riwayat adanya bercak merah di wajah
tidak ada.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien mengatakan pernah mengalami keluhan adanya bengkak pada seluruh tubuh 4 bulan
yang lalu.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Pada keluarga tidak ada keluhan seperti ini sebelumnya.

Riwayat Pengobatan :

Penderita belum pernah berobat sebelumnya

Riwayat Alergi :

Alergi terhadap obat-obatan, makanan, cuaca disangkal.

Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos Mentis

Tanda Vital :

Suhu : 36.5

Tek. Darah :120/90

Nadi :82x/menit

Pernafasan : 20x/menit

Status Generalisata :

Kepala : normocephal, muka sembab (-)

Mata : Conjunctiva Anemis -/-, Sklera Ikterik -/-, Refleks Pupil +/+ Isokor,

Edema Palpebra -/-

Leher : Pembesaran KGB (-)

Thorax : Bentuk dan Gerak simetris, VBS ka=ki, Ronchi -/-, Wheezing -/-,
bunyi jantung I dan II murni regular.

Abdomen : Soepel, Bising Usus (+) normal, Distensi Abdomen (-), Hepar dan

Lien tidak teraba, Ascites (-)

Urogenital : Tidak ada kelainan

Ekstrimitas :

Atas : Akral Hangat, CRT <2 detik +/+, Edema -/-, Pitting Edema -/-

Bawa : Akral Hangat, CRT<2 detik +/+, Edema +/-, Pitting Edema -/-,

nyeri tekan +/-.

Pemeriksaan Penunjang :

Darah Rutin 19-10-2021

Hb : 14,6 g/dl

Ht: : 44%

L : 8.100 sel/mm3

T : 459.000 sel.mm3

Kimia Darah 19-10-2021

GDS : 131 mg/dl

Kimia Darah 15-10-2021

Cholesterol Total : 312 mg/dl

Trigliserida : 194 mg/dl

HDL : 57 mg/dl

LDL : 216 mg/dl

Ureum : 65 mg/dl

Kreatinin :3,43 mg/dl


Kimia Urine 15-10-2021

Warna : kuning

Kekeruhan : agak keruh

Urobilinogen : Normal

Bilirubin : Negatif

Blood : POSITIF 1

Protein : POSITIF 3

Nitrit : Negatif

Leukosit Esterase : Negatif

Glukosa : Negatif

Berat Jenis : 1,025

PH : 6.0

Mikroskopik Urine 15-20-2021

Leukosit : 3-5 /LPB

Eritrosit : 6-8 /LPB

Sel Epitel : 3-4 /LPK

Kristal : Negative

Silinder : Negative

Bakteri : Positive

Jamur : Negative

Diagnosis Kerja :

- Nefrotik Sindrom dengan komplikasi Trombosis Vena Dalam


Penatalaksanaan :

- Furosemid 2x1
- Methylprednisolon 1x125
- Omeprazole 1x1
- Clopidogrel 2x75
- Sucralfat 3x2cth

Follow Up

Tanggal Catatan Intruksi


19-10-2021 Kel : bengkak pada bagian tungkai - IVFD Futrolit
kanan (+) nyeri tekan (+) kemerahan - Diet SN
(+) - Furosemid 2x1
KU: CM - Methylprednisolon 1 x
TD : 120/80 N : 88x/menit 125
R:20x/menit S:36.7 - Omeprazole1x1
- Clopidogrel 2x 75
- Sucralfat 3x2cth
20-10-2021 Kel : bengkak pada bagian tungkai - IVFD Futrolit
kanan (+) nyeri tekan (+) kemerahan - Diet SN
(+) - Furosemid 2x1
KU: CM - Methylprednisolon 1 x
TD : 126/80 N : 80x/menit 125
R:20x/menit S:36.7 - Omeprazole1x1
- Clopidogrel 2x 75
- Sucralfat 3x2cth
- Heparin 2 x 10.000
unit
21-10-2021 Kel : bengkak pada bagian tungkai - IVFD Futrolit
kanan (+)berkurang, nyeri tekan (+) - Diet SN
berkurang, kemerahan (+) berkurang - Furosemid 2x1
KU: CM - Methylprednisolon 1 x
TD : 130/80 N : 72x/menit 125
R:20x/menit S:36.5 - Omeprazole1x1
- Clopidogrel 2x 75
- Sucralfat 3x2 cth
- Heparin 2 x 1000 unit

22-10-2021 Kel : bengkak pada bagian tungkai - Terapi Lanjut


kanan (+)berkurang, nyeri tekan (+)
berkurang, kemerahan (+) berkurang
KU: CM
TD : 121/83 N : 78x/menit
R:20x/menit S:36.8
23-10-2021 Kel : bengkak pada bagian tungkai - Terapi Lanjut
kanan (+)berkurang, nyeri tekan (+)
berkurang, kemerahan (+) berkurang
KU: CM
TD : 120/80 N : 88x/menit
R:20x/menit S:36.7
24-10-2021 Kel : bengkak pada bagian tungkai - Terapi Lanjut
kanan (+)berkurang, nyeri tekan (+)
berkurang, kemerahan (+) berkurang
KU: CM
TD : 110/80 N : 80x/menit
R:20x/menit S:36.7

Permasalahan Kasus :

1. Bagaimana Diagnosis pada Kasus ini?


2. Bagaimana Penatalaksanaan pada Kasus ini ?
3. Bagaimana Prognisis pada Kasus ini?

Pembahasan Kasus:

1. Bagaimana Diagnosis pada Kasus ini ?


Sindrom Nefrotik

Definisi Sindrom Nefrotik

Sindroma nefrotik merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis yang


ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif > 3,5 g/hari, hipoalbuminemi
<3,5g/dl, hiperkolesterolemia dan lipiduria. Pada proses awal atau SN ringan untuk
menegakan diagnosis tidak perlu semua gejala ditemukan. Proteinuria masif merupakan
tanda khas SN, akan tetapi pada SN berat yang disertai kadar albumin serum rendah,
ekskresi protein dalam urin juga berkurang. Proteinuria juga berkontribusi terhadap
berbagai komplikasi yang terjadi pada SN. Hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan
lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoaguabilitas, gangguan metabolisme
kalsium dan tulang, serta hormon tiroid sering dijumpai dalam SN. Umumnya SN dengan
fungsi ginjal normal kecuali sebagian kasus yang berkembang menjadi panyakit ginjal
tahap akhir. Pada beberapa episode SN dapat sembuh sendiri. dan menunjukan
responyang baik terhadap terapi steroid, akan tetapi sebagian lain dapat berkembang
menjadi kronik
Etiologi dan Klasifikasi

Sindroma nefrotik dapat disebabkan oleh Glomerulonefritis primer dan sekunder


akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung, akibat obat atau toksin dan
akibat penyakit sistemik. Penyebab sekunder akibat infeksi yang sering dijumpai
misalnya pada glomerulonefritis pasca infeksi streptokokus atau infeksi virus hepatitis B,
akibat obat misalnya obat anti inflamasi non-steroid atau preparat emas organik, dan
akibat penyakit sistemik misalnya pada lupus eritrematosus sistemik dan diabetes
melitus.
akibat obat misalnya obat anti inflamasi non-steroid atau preparat emas organik,
dan akibat penyakit sistemik misalnya pada lupus eritrematosus sistemik dan diabetes
melitus.
Klasifikasi dan Penyebab Sindrom Nefrotik

Glomerulonefritis primer :
- GN lesi minimal (GNLM)
- Glomerulosklerosis fokal
- GN membranosa
- GN membranoproliferatif

Glomerulonefritis sekunder:
- Infeksi
HIV, Hepatitis virus B dan C
Sifilis, malaria, skitosoma
Tuberkolosis, lepra
- Keganasan
Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfom hodgkin, mieloma mutipel, dan
karsinoma ginjal.
Penyakit jaringan penghubung
Lupus eritrematosus sistemik, artritis reumatoid, MCTD (mixed connective tissue
disease)
- Efek obat dan toksin
Obat antiinflamasi non-steroid, preparat emas, penisilinamin, probenesid, air
raksa, kaptopril, heroin
- Lain-lain
Diabetes melitus, amiloidiosis, pre-eklamsia, rejeksi alograf kronik, refluks
vesikoureter, atau sengatan lebah
Gejala Sindrom Nefrotik

Proteinuria
Proteinuria disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein
akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal membran basal glomerulus
mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme
penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua
berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada SN mekanisme barrier tersebut akan
terganggu. Selain itu konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein
melalui membran basal glomerulus. (Prodjosudjadi, 2006)
Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran
molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila protein yang keluar
terdiri dari molekul kecil misalnya albumin sedangkan non-selektif apabila yang keluar
terdiri dari molekul besar seperti imunoglobulin. Selektivitas proteinuria ditentukan oleh
keutuhan struktur membran basal glomerulus. (Prodjosudjadi, 2006)
Pada SN yang disebabkan oleh glomerulonefritis lesi minimal ditemukan
proteinuria selektif. Pemeriksaan mikroskop elektron memperlihatkan fusi dari foot
processus sel epitel viseral glomerulus dan terlepasnya sel dari struktur membran basal
glomerulus. Berkurangnya preparat heparan sulfat proteoglikan pada glomerulonefritis
lesi minimal menyebabkan muatan negatif membran basal glomerulus menurun dan
albumin dapat lolos ke dalam urine. Pada glomerulosklerosis fokal segmental
peningkatan permeabilitas membran basal glomerulus disebabkan suatu faktor yang ikut
dalam sirkulas. Faktor tersebut menyebabkan sel epitel viseral glomerulus terlepas dari
membran basal glomerulus sehingga permeabilitasnya meningkat. Pada glomerulonefritis
membranosa kerusakan membran basal glomerulus terjadi akibat endapa komplek imun
di sub-epitel. Kompleks C5b-9 yang terbentuk pada glomerulonefritis membranosa akan
meningkatkan permeabilitas membran glomerulus, walaupun mekanisme yang pasti
belum diketahui.
Hipolbuminemia

Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin hati
dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN hipoalbuminemia disebabkan oleh
proteinuria masif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk
mempertahankan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis
albumin. Peningkatan sintesis albumin hati tidak berhasil menghalangi timbulnya
hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati akan
tetapi dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin. (Prodjosudjadi, 2006)

Edema

Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori
underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya edema
pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma dan
bergesernya cairan plasma sehingga terjadi hipovolemia dan ginjal melakukan
kompensasi dengan meningkatkan retensi air dan natrium. Mekanisme kompensasi ini

akan memperbaiki volume inravaskular tetapi juga mengeksaserbasi terjadinya


hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut.
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium sebagai defek renal utama.
Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat sehingga terjadi
edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah
terjadinya retensi natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan pada pasien
SN. Faktor seperti asupan natrium, efek diuretik atau terapi steroid, derajat gangguan
fungsi ginjal, jenis lesi glomerulus, dan keterkaitan dengan penyakit jantung dan hati akan
menentukan mekanisme mana yang lebih berperan.
Patogenesis terjadinya edema pada sindrom nefrotik
Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada sindrom nefrotik adalah:

- Hiperlipidemi dan lipiduria

- Hiperkoagulasi

- Gangguan metabolisme kalsium dan tulang.

- Infeksi

- Gangguan fungsi ginjal

Trombosis Vena Dalam

Trombosis Vena Dalam (DVT) merupakan penggumpalan darah yang terjadi di pembuluh
balik (vena) sebelah dalam.Terhambatnya aliran pembuluh balik merupakan penyebab yang
sering mengawali TVD. Penyebabnya dapat berupa penyakit pada jantung, infeksi, atau
imobilisasi lama dari anggota gerak

Patogenesis

Dalam keadaan normal, darah yang bersirkulasi berada dalam keadaan cair, tetapi akan
membentuk bekuan jika teraktivasi atau terpapar dengan suatu permukaan. Virchow
mengungkapkan suatu triad yang merupakan dasar terbentuknya trombus. Hal ini dikenal
sebagai Triad Virchow. Triad ini terdiri dari: 1. Gangguan pada aliran darah yang
mengakibatkan stasis, 2.Gangguan pada keseimbangan prokoagulan dan antikoagulan yang
menyebabkan aktivasi faktor pembekuan, dan 3. Gangguan pada dinding pembuluh darah
(endotel) yang menyebabkan prokoagulan.15 Trombosis terjadi jika keseimbangan antara
faktor trombogenik dan mekanisme protektif terganggu. Faktor trombogenik meliputi: 1.
Gangguan sel endotel 2. Terpaparnya subendotel akibat hilangnya sel endotel 3. Aktivasi
trombosit atau interaksinya dengan kolagen subendotel atau faktor von Willebrand 4.
Aktivasi koagulasi 5. Terganggunya fibrinolisis 6. Statis Mekanisme protektif terdiri dari: 1.
Faktor antitrombotik yang dilepaskan oleh sel endotel yang utuh 2. Netralisasi faktor
pembekuan yang aktif oleh komponen sel endotel 3. Hambatan faktor pembekuan yang aktif
oleh inhibitor 4. Pemecahan faktor pembekuan oleh protease 5. Pengenceran faktor
pembekuan yang aktif dan trobosit yang beragregasi oleh aliran darah 6. Lisisnya trombus
oleh system fibrinolisis Trombus terdiri dari fibrin dan sel-sel darah. Trombus arteri, karena
aliran yang cepat, terdiri dari trombosit yang diikat oleh fibrin yang tipis, sedangkan
trombus vena terutama terbentuk di daerah stasis dan terdiri dari eritrosit dengan fibrin
dalam jumlah yang besar dan sedikit trombosit

Kriteria Klinis:
Alur Diagnosis dan Tatalaksana :

Pada Kasus :

Pasien datang ke Poli Penyakit Dalam RSUD Cicalengka diantar oleh keluarganya
pada tanggal 19-10-2021. Pasien dating dengan keluhan adanya bengkak pada bagia kaki
kanan. Pasien mengatakan bahwa keluannya dirasakan sejak 1 minggu SMRS. Keluhan
bengkak ini dirasakan pada pergelangan kaki kanan hingga betis kanan sejak 1 minggu
SMRS. Pada awalnya bengkak terlihat pada bagian pergelangan kaki kanan pasien dan
semakin lama bengak di rasakan semakin meluas sampai ke betis kanan. Pada awalnya
bengkak tidak disertai dengan kemerahan dan rasa nyeri, namun beberapa hari sebelum
masuk Rumah Sakit pasien mengatakan bahwa keluhannya disertai dengan rasa nyeri dan
adanya kemerahan pada daerah kaki yang bengkak. Pasien mengatakan tidak ada hal yang
membuat keluhannya membaik ataupun memburuk. Pasien juga mengatakan bahwa 4
bulan yang lalu pasien pernah mengalami bengkak pada seluruh tubuh. Seharusnya
pada pasien dilakukan pemeriksaan Homans sign untuk mengetahui adanya tromboflebitis
atau tidak.
Pasien mengalami bengkak dan nyeri pada bagian kaki kemungkinan diakibatkan
karena adanya kerusakan endotel yang diakibatkan oleh Hiperlipidemia yang terjadi pada
pasien. Hiperlipidemia tersebut menyebabkan kerusakan endotel sehingga dapat
meningkatkan produksi mediator inflamasi, akibat peningkatan mediator inflamasi tersebut
pasien mengalami tanda-tanda peradangan seperti nyeri, bengkak, hangat, dan kemerahan.

Penentuan kecurigaan klinis dianjurkan menggunakan two level Well.s Score.


Berdasarkan skoring tersebut, hasil yang didapat adalah kemungkinan DVT rendah. Pada
kasus dengan kemungkinan DVT rendah ( DVT unlikely ) maka seharusnya untuk pasien
dengan kemungkinan DVT Renda dilakukan pemeriksaan D-dimer. Apabila hasil
pemeriksaan D-dimer tidak meningkat maka diagnosis DVT dapat disingkirkan. Tetapi jika
terjadi penngkatan D-dimer maka perlu dilakukan USG Vena.

Pasien dalam keadaan compos mentis, tampak sakit sedang dengan TD: 120/80 N:
82x/menit R: 20x/ menit. Pada pemeriksaan lokalis di bagian ekstrimitas bawah terdapat
Edema +/-, Nyeri tekan +/-, Kemerahan +/-.

Hasil Lab menunjukan Cholesterol Total : 312 mg/dl, LDL : 216 mg/dl,
Ureum : 65 , Kreatinin:3,43 mg/dl. Hasil Pemeriksaan Kimia urine menunjukan keton :
Positif 1, Blood: Positif 3, dan hasil pemeriksaan Mikroskopik Urine menunjukan Leukosit
: 3-5/ LPB, Eritrosit:6-8/LPB.

2. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus ini ?

Penatalaksanaan sindrom nefrotik meliputi terapi spesifik untuk kelainan dasar


ginjal atau penyakit penyebab (pada sindrom nefrotik sekunder), mengurangi atau
menghilangkan proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemia serta mencegah dan mengatasi
komplikasi nefrotiknya.
Pengobatan sindrom nefrotik terdiri dari obat-obatan kortikosteroid dan
imunosupresif yang ditujukan terhadap lesi pada ginjal, diet tinggi protein dan rendah
garam, diuretik, infus albumin intravena, pembatasan aktivitas selama fase akut serta
manjauhkan pasien dari sumber-sumber infeksi. Penatalaksanaan dalam jangka panjang
sangat penting, karena banyak penderita akan mengalami eksaserbasi dan remisi berulang
selama bertahun-tahun, tetapi dengan semakin lanjutnya hialinisasi glomerulus maka
proteinuria akan semakin berkurang sedangkan azotemia semakin berat.
Diet
Penderita Sindrom Nefrotik sejak dahulu diberikan diet protein tinggi dan rendah
garam, dengan harapan dapat meningkatkan sintesa albumin. Biasanya protein diberikan
sebanyak 3-3,5 gr/kgBB/hari. Pemberian protein diatas jumlah ini tidak
direkomendasikan pada Sindrom Nefrotik karena pemberian protein yang terlalu tinggi
akan mempercepat terjadinya gagal ginjal pada penyakit yang kronis. Diet rendah garam
diberikan untuk menurunkan derajat edema dan sebaiknya kurang dari 35% kalori berasal
dari lemak untuk mencegah obesitas selama terapi steroid, dan mengurangi
hiperkolesterolemia

Albumin
Untuk menghilangkan edema hebat dapat diberikan albumin (salt poor human
albumin, suatu larutan dengan kadar natrium 130-160 mEq/L). Namun demikian,
mengingat risiko albumin ini sangat besar, yaitu bisa menimbulkan hipertensi dan
overload, maka pemberian albumin harus lebih selektif, yaitu hanya diberikan apabila:
 Ada penurunan volume darah hebat (hipovolemi hebat) dengan gejala postural
hipotensi, sakit perut, muntah, dan diare.
 Sesak dan edema berat disertai edema pada skrotum/labia.

Dosis albumin adalah 0,5-1 gr/kgBB i.v, diberikan dalan beberapa jam (2-4 jam),
diikuti oleh pemberian furosemid 1-2 mg/kgBB i.v.

Diuretik
Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin. Istilah
diuresis mempunyai dua pengertian , pertama menunjukkan adanya penambahan volume
urin yang diproduksi dan yang kedua menunjukkan jumlah pengeluaran (kehilangan) zat-
zat terlarut dan air. Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan udem, yang
berarti mengubah keseimbangan cairan sehingga volume cairan ekstrasel kembali menjadi
normal. Secara umum diuretik dapat dibagi menjadi dua golongan besar yaitu :
(1) diuretik osmotik; (2) penghambat mekanisme transport elektrolit di dalam tubuli
ginjal, yaitu penghambat karbonik anhidrase, benzotiadiazid, DIURETIK hemat
kalium dan diuretik kuat.
Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah salah satu dari steroid karbon-21 yang dikeluarkan oleh
korteks adrenal (tidak termasuk hormon seks yang berasal dari adrenal) sebagai tanggapan
atas hormon adenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis atau atas
angiotensin II. Kortikosteroid dibagi, menurut aktivitas biologis yang menonjol darinya,
menjadi dua kelompok utama : Glokokortikoid, yang terutama mempengaruhi metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein, serta mineralokortikoid, yang mempengaruhi pengaturan
keseimbangan elektrolit dan air. Beberapa kortikosteroid menunjukkan kedua jenis
aktivitas tersebut dalam berbagai derajat, dan lainnya hanya mengeluarkan satu jenis efek.
Kortikosteroid digunakan secarqa klinis untuk terapi penggantian hormon untuk menekan
sekresi ACTH dari hipofisis anterior, sebagai antineoplastik, antialergik dan antiradang,
serta untuk menekan respon imun.
Yang digunakan sebagai imunosupresan pada Sindrom Nefrotik adalah golongan
glukokortikoid yaitu prednison, prednisolon, dan metilprednison. Dalam hal ini, efek
glukokortikoid sebenernya terjadi berdasarkan mekanisme antiinflamasi yaitu mengurangi
respons peradangan dan juga digunakan untuk menekan imunitas.

Penatalaksanaan Sindrom Nefrotik dengan kortikosteroid yaitu::


1. Sebelum pemberian kortikosteroid perlu dilakukan pemeriksaan skrining untuk
menentukan ada tidaknya TBC.
2. Obat golongn kortikosteroid yang sering dipakai adalah prednison dan prednisolon.

3. Pengobatan dengan prednison, secara luas dipakai standar ISKDC, yaitu:

 Empat minggu pertama: prednison 60 mg/hari (2mg/kgBB) dibagi dalam 3-4


dosis sehari. Dosis ini diteruskan selama 4 minggu tanpa memperhitungkan
adanya remisi atau tidak (maksimum 80mg/hari).
 Empat minggu kedua: prednison diteruskan dengan dosis 40 mg/hari, diberikan
dengan cara: intermitten, yaitu 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu dengan
dosis tunggal setelah makan pagi atau alternate, yaitu selang sehari dengan
dosis tunggal setelah makan pagi.
 Tapering-off: prdnison berangsur-angsur diturunkan tiap mingguy menjadi 30mg,
20mg, 10mg/hari, diberikan secara intermitten atau alternate.

 Bila terjadi relaps, pengobatan diulangi dengan cara yang sama.


Zat Alkilator

Zat alkilator bekerja sebagai sitotoksik dengan cara terikat secara kovalen
pada golongan nukleofilik konstituen berbagai jenis sel. Dengan kata lain zat
alkilator ini merusak transkripsi DNA dengan cara menyerang rantai alkil pada basa
purin. Alkilator bersifat sitotoksik dan imunosupresif. Bebarapa obat yang banyak
digunakan sebagai terapi Sindrom Nefrotik adalah siklofosfamid, nitrogen mustard,
dan klorambusil.

Antibiotik

Terapi antibiotik digunakan jika pasien Sindrom Nefrotik mengalami infeksi.


Infeksi ini harus diobati dengan adekuat untuk mengurangi morbiditas penyakit. Jenis
antibiotik yang banyak dipakai yaitu dari golongan penisilin dan sefalosporin.

Penisilin

Penisilin diekskresikan terutama melalui ginjal, dan sekitar 10% dari ekskresinya
oleh filtrasi glomerulus dan 90% oleh tubulus. Hal ini membuat perlunya modifikasi
dosis sesuai fungsi ginjal bagi obat golongan penisilin kira-kira seperempat sampai
sepertiga dosis lazim jika klirens kreatinin 10 ml/menit atau kurang. Penisilin merupakan
amtimikroba yang tidak toksik dan kebanyakan efek samping yang serius adalah karena
hipersensitivitas.
Sefalosporin

Secara kimiawi, mekanisme kerja dan efek toksisitas golongan sefalosporin


sama dengan penisilin, tetapi sefalosporin lebih stabil terhadap enzim beta
laktamase sehingga sefalosporin berspektrum lebih luas.
Pada Kasus :

- IVFD Futrolit
- Diet SN
- Furosemid 2x1
- Methylprednisolon 1 x 125
- Omeprazole1x1
- Clopidogrel 2x 75
- Sucralfat 3x2 cth
- Heparin 2 x 1000 unit
Pada Kasus :
Pada pasien diet yang diberikan adalah istirahat dan diberikan diet 1900 kkal.
Sedangkan untuk manajemen farmaklogi diberikan obat- berupa diuretic seperti Furosemide
2x40mg, pemberian diuretic agent ini bertujuan untuk mengurngi edema pada pasien. Selain itu
pasien juga diberikan obat golongan anti platelet dengan tujuan untuk mencegah agregasi
platelet karena pada pasien Sindrom Nefrotik mengalami hiperkoagulasi dan diduga mengalami
komplikasi Deep Vein Thrombus. Pasien diberikan Clopidogrel 2x75 mg. Pasien diberikan
terapi Methylprednisolon 1x125mg yang digunakan sebagai immunosupressan.Pada hari rawat
ke-2 pasien diberikan terapi Heparin 2x1000 unit karena pasien mengalami komplikasi DVT
( Deep Vein Thrombosis ).pemberian Heparin pada pasien ini sudah betul karena pemberian
Heparin pada pasien ini bertujuan untuk mencegah perluasan, mencegah kejadian berulang, dan
mencegah komplikasi lanjutan.namun seharusnya dilakukan pemantauan dengan pemeriksaan
PT dan aPTT karena pemberian Antikoagulan dapat beresiko terjadinya Trombositopenia.
Pemberian Heparin juga seharusnya dibarengi dengan pemberian antagonis Vitamin K.
Pada saat perawatan pasien mengelh adanya nyeri ulu hati dan mual, sehingga pasien diberikan
omeprazole 1x1 dan sucralfate 3x2 cth.
Penatalaksanaan yang diberikan kepada pasien sudah benar dan dosis yang diberikan sudah
sesuai.

3.Bagaimana Prognosis Pasien?

Prognosis baik bila penderita sindrom nefrotik memberikan respon yang baik terhadap
pengobatan kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Prognosis jangka panjang sindrom nefrotik
kelainan minimal selama engamatan 20 tahun menunjuka hanya 4-5% menjadi gagal ginjal terminal,
sedangkan pada glomerulosklerosis 25% menjadi gagal ginjal terminal dalam 5 tahun, dan pada
sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi ginjal.

Pada Kasus:

Pasien terdiagnosis Sindrom Nefrotik dengan komplikasi Deep Vein Thrombosis yang dalam
perjalanan penyakitnya masih sensitive terhadap pengobatan yang diberikan, ditandai dengan pasien
pulang dan mengalami perbaikan. Pasien diperblehkan pulang karena keluhan sudah membaik, dan
keadaan tanda vital yang stabil. Pasien diberikan obat-obatan utuk di konsumsi di rumah dan
dianjurkan untuk control tepat waktu ke poli penyakit dalam.

Quo Ad Vitam : Ad Bonam

Quo Ad Functionam : Ad Bonam

Quo Ad sanationam : Dubia Ad Bonam


DAFTAR PUSTAKA

Haycock, G.2003. Clinical Paediatric Nefrology, 3rd edition. New york: Oxford University Press.

Hay Wiliiam, W.,et al. 2003. Current Pediatric Diagnosis And Treatment, 16th edition.Singapore.

Jawetz, E., Chambers, H F., Hadley, W. K.1998. Basic and Clinical Pharmacology, 7th edition.

Stamford-Connecticut: Appleton and Lange.

Mycek, M. J., Harvey, R. A., Champe, P. C. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar, edisi 2 Jakarta:

Penerbit Widya Medika.

Petri, W. A. 2001. Antimicrobial Agents. In Goodman and Gilman’s The Pharmacological Basic of

Therapeutics, 9th edition. New york: McGraw-Hill, Inc

Prodjosudjadi, Wiguno. 2006. Sindrom Nefrotik. pada Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi 4.

Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Schimmer, B. P., Parker, K. L.. 1995 Adrenocorticotropic Hormone. In Goodman and Gillman’s.

The Pharmacological Basic of Therapeutics. 9th edition. New york: McGraw-Hill, Inc.

Singadipoera, B. 1993. Nefrologi anak. Bandung: Bagian Ilmu Ksehatan Anak FK Unpad.

Anda mungkin juga menyukai