Anda di halaman 1dari 15

SEKULARISASI ILMU PENGETAHUAN

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Pengantar Filsafat

Disusun oleh :

Istiqomah Watngil

Ahmad Abdul Hadi

Syahmadan

Ryas Ramzi

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

1440/2018

KATA PENGANTAR

1|Page
Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT dapat menyelesaikan tugas
makalah kami yang membahas tentang “Sekularisasi Ilmu Pengetahuan” dengan tepat waktu.

Dalam penyusunan makalah ini, kami juga banyak mendapat banyak kendala baik materi
maupun non materi, oleh karena itu dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang membantu, terutama dosen pembimbing.

Kami percaya bahwa segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah SWT ada manfaatnya. Pun hal
nya makalah ini pasti memiliki kekurangan dan manfaat bagi pembaca. Oleh karena itu, dengan segala
kerendahan hati kami menerima segala kritik dan saran yang membangun dari pembimbing pembuatan
makalah ini.

Cirendeu, 01 November 2018

Penyusun

DAFTAR ISI
Halaman Judul ………………………………………………………………………………………………………………………………………..1

2|Page
KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………………………………………………………………….2

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………………………………………………………………………3

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ………………………………………………………………………………………………………………………………….4


1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………………………………………………………………….……….....5
1.3 Tujuan Penulisan ………………………………………………………………………………………………………..……….…………..5

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sekularisasi ……………………………………………………………………………………………………………………..6

2.2 Sejarah Lahirnya Sekularisasi …………………………………………………………………………………………………………….7

2.3 Kajian Epistimologi Dalam Sekularisasi Ilmu Pengetahuan ………………………………………………………………..9

2.4 Kajian Aksiologi Dalam Sekularisasi Ilmu Pengetahuan ……………………………………………………………………12

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ……………………………………………………………………………………………………………………………..........14

3.2 Saran ……………………………………………………………………………………………………………………………………...........14

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………………………………………………………………15

3|Page
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Nurcholish Madjid , Sekularisme adalah ideologi tertutup yang meminggirkan agama
dalam berbagai ranah kehidupan: sosial, ekonomi, politik, budaya. Adapun sekularisasi ialah
suatu proses yang tiada henti untuk menduniawikan nilai-nilai yang semestinya duniawi, dan
melepaskan umat Islam dari kecenderungan mensakralkannya, meng-ukhrawi-kannya. 1

Dalam era globalisasi yang ditandai dengan pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi, agama
mulai terlihat kembali dibicarakan oleh banyak orang, karena memiliki kesempatan yang jauh
lebih besar untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Umat manusia tentunya merasa bersyukur,
mengingat pembicaraan agama berarti sebagai pertanda bahwa umat manusia mulai lagi
membicarakan dan mencari tentang makna dan tujuan hidup.  Hal ini menunjukkan bahwa,
orang mulai menyadari keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dalam kaitan ini, kami berasumsi bahwa kebutaan moral dari ilmu itu mungkin akan
membawa manusia ke jurang malapetaka. Relativitas atau kenisbian ilmu pengetahuan
bermuara pada filsafat, relativitas atau kenisbian ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan
bermuara pada agama.

Sains merupakan upaya manusia untuk memahami alam semesta yang kemudian akan
mempengaruhi cara hidup kita, tetapi tidak membuat kita menjadi manusia yang lebih baik.
Sedangkan agama adalah pesan yang diberikan Tuhan untuk membantu manusia mengenal
Tuhan dan mempersiapkan manusia untuk menghadap Tuhan. Berkenaan dengan sains
Durkheim seperti dikutif Djuretna menegaskan bahwa agama merupakan suatu sistem
pemikiran yang bertujuan menerangkan alam semesta ini, dan menugaskan diri untuk
menterjemahkan realitas dengan bahasa yang dapat dimengerti, yang sebenarnya adalah
bahasa sains.2

1
Achmad Rifki, “Sekularisasi itu alarm”, http://www.madinaonline.id/wacana/bilik-cak-nur/sekularisasi-itu-alarm/,
(diakses pada 01 November 2018, pukul 20.03
2
Djuretna A. Imam Muhni, Moral dan Religi menurut Emile Durkeim dan Henri Bergson, (Yogyakarta: Kanisius,
1994) h.129

4|Page
1.2 Rumusan Masalah
 Apa itu sekularisasi ?
 Apa yang melatar belakangi timbulnya sekularisasi ?
 Bagaimana  tinjauan epistemologi  mengenai sekularisasi ilmu pengetahuan?
 Bagaimana tinjauan aksiologi  mengenai sekularisasi ilmu pengetahuan?
1.3 Tujuan Penulisan
 Memahami sekularisasi ilmu
 Mengetahui sejarah lahirnya sekularisme
 Mengetahui konsekwensi dari epistimologi barat sekuler
 Mengetahui aksiologi dari dampak epistimologi barat sekuler

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sekularisasi

5|Page
Istilah secular berasal dari bahasa latin Saeculum yang memiliki dua konotasi yaitu time dan
location. Waktu menunjukan sekarang sedangkan tempat dinisbahkan kepada dunia. Jadi
saeculum berarti zaman ini atau masa kini, dan zaman ini atau masa kini menunjukan peristiwa
di dunia ini, dan itu juga berarti peristiwa–peristiwa masa kini.3

Adapun sekularisasi dalam kamus ilmiah adalah hal usaha yang merampas milik gereja atau
penduniawian. Sedangkan Sekularisme adalah sebuah gerakan yang menyeru kepada
kehidupan duniawi tanpa campur tangan agama. 4

Yusuf Qardhawi dalam bukunya, at-Tatharufu al-’ilmani fi Mujaahwati al-Islam, sekular ialah la
Diniyyah atau Dunnaawiyah yang bermakna sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan agama
atau semata dunia.5

Cendekiawan Kristen Harvey Cox dalam buku terkenalnya, The Secular City, menjelaskan
bahwa sekularisasi adalah pembebasan manusia dari asuhan agama dan metafisika; pengalihan
perhatiannya dari ‘dunia lain’ menuju dunia kini. (Secularization is the liberation of man from
religious and metaphysical tutelage, the turning of his attention away from other worlds and
towards this one).

Buku Harvey Cox diawali dengan bab “The Biblical Source of Secularization”. Ia mengutip
pendapat teolog Jerman Friedrich Gogarten: “Secularization is the legitimate consequence of
the impact of biblical faith on history.” Bahwa sekularisasi adalah akibat logis dari dampak
kepercayaan Bible terhadap sejarah.6  

2.2 Sejarah Lahirnya Sekularisasi


Sekularisasi atau pemisahan antara ilmu atau sains dengan agama mempunyai sejarah
panjang dan gelap. Eropa abad pertengahan merupakan masa-masa suram bagi
berkembangnya nalar kritis manusia. Abad pertengahan sejarah Eropa merupakan suatu masa
peralihan dari masa kejayaan kekaisaran Romawi dan Hellenisme ke kemenangan kelompok
3
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme (terj) Karsidjo Djojosuwarno (Bandung: Pustaka, 1978).
Hlm 18-19
4
WAMY, Gerakan keagamaan dan Pemikiran, Akar Ideologis dan penyebarannya (Jakarta: Al-I’tishom 2002). Hlm
281
5
Yusup Qardhawi, at-Tathahurufu al-‘Ilman fi Mujaahawati, diterjemahkan oleh Nahbani Idris dengan judul
Sekuler Ekstrim, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, Hal: 1
6
Dr Adian Husaini, “Pancasila menolak ilmu sekuler”, https://www.hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-
pekan/read/2018/02/28/136665/pancasila-menolak-ilmu-sekuler.html, (diakses pada 01 November 2018, pukul
20.09)

6|Page
Kristen. Pada masa ini, agama Kristen sudah menjadi agama resmi Negara. 7 Kekuasaan berada
dibawah otoritas gereja.  Mempertanyakan otoritas gereja sama dengan mempertanyakan
otoritas Tuhan. Pembacaan terhadap realitas sepenuhnya merujuk pada kitab suci, sedangkan
kitab suci pada masa itu dibaca secara harfiah. Sehingga sampai kini, kaum agama yang
membaca kitab sucinya secara literal atau harfiah kerap dijuluki kaum skripturalis. Kaum
ilmuwan yang menemukan fakta yang berbeda dengan kitab suci kerap dikucilkan bahkan
dituduh Ateis.

Sekularisasi berasal dari dunia barat kristiani, yang muncul dengan diserukan oleh para
pemikir bebas agar mereka terlepas dari ikatan gereja, para pemuka agama dan pendetanya.
Pada awalnya agama Kristiani lahir di dunia Timur, namun warna Kristiani amat tebal
menyelimuti kehidupan dunia Barat. Keadaan ini sejak kekaisaran Romawi Konstantin yang
agung (280-337) yang melegalisasikan dalam dalam wilayah imperiumnya serta mendorong
penyebarannya merata ke benua Eropa, terutama di abad pertengahan warna Kristiani
meyelimuti kehidupan Barat baik politik, ekonomi, sosial, budaya, serta ilmu pengetahuan. 8

Pada dasarnya sekularisasi yang diusung Barat ini berasal dari sebuah kekecewaan atau lebih
tepatnya penyangkalan akan sebuah konsep yang melulu berasal dari Tuhan, yang dalam arti
jauh terjangkau oleh rasio. Padahal dalam skala-skala tertentu tidak semua mengenai suatu hal
tidak dapat terjangkau oleh akal manusia. Peran agama (gereja) di Barat yang mengkristal
kedalam segala aspek kehidupan. Sehingga ketika logika (rasio berfikir) mengenai suatu hal
yang di dunia ini  masih dapat dijangkau oleh akal mereka (kaum gerejawan) tidak dapat
menerima hal tersebut.

Gambaran gereja ( pemuka agama atau pendeta) pada saat itu datang dengan membawa
pemikiran menentang akal dan rasio dengan mempertahankan kebekuannya melawan ilusi dan
kebebasan, tampil dengan menghadapi kemajuan. Sikap keras para aktivis gereja dalam
menentang para ilmuwan yang menorehkan hasil penelitian ilmiah dan nalarnya karena dinilai
bertentangan dengan ajaran-ajaran agama. Hingga gereja memusuhi orang-orang yang
menyampaikan teori ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan ajarannya, seperti
berpendapat bahwa bumi ini bulat dianggap sebuah kekafiran atau keluar dari agama.

Ilmuwan seperti Frank G. Bruno, Copernicus, dan puncaknya Galileo-Galilei dipaksa


mengingkari penemuannya karena bertentangan dengan ajaran gereja. Hal ini menyebabkan
resistensi kaum ilmuwan. Ilmuwan merasa tidak mendapat tempat dalam agama, sedangkan
kebenaran yang mereka temukan ada didepan mata. Kepicikan berpikir gereja terhadap orang-
orang yang mengemukakan teori atau pandangan keilmuan yang bertentangan dengan

7
J.H.Rapar, Filsafat Politik: Plato Aristoteles Augustinus Machiavelli, hlm. 266.

8
Nihaya, Filsafat Umum : dari Yunani sampai Modern, Makassar: Berkah Utami, 1999, Hal: 12

7|Page
ajarannya ternyata melahirkan bentuk kekejaman dengan menyiksa jenazah ilmuan dan
membakarnya, yang hidup pun tidak kalah penyiksaan yang diterimanya. Sehingga para ahli
pikir menuntut dipisahkannya urusan agama dari kehidupan sosial dan pemerintahan agar
terhindar dari beragamnya penyiksaan tersebut.9

Filsafat abad pertengahan ini lazim disebut Filsafat Scholastik, diambil dari kata Schuler yang
berarti ajaran atau sekolahan kemudian kata scholastik menjadi istilah bagi filsafat pada abad
ke-9 sampai dengan abad ke-15 yang mempuyai corak khusus yaitu filsafat yang dipengaruhi
oleh agama.

Pada akhir abad pertengahan sebelum masuknya abad modern  muncullah gerakan  yang


dalam sejarah filsafat  disebut Renaissance. Kata renaissance berarti kelahiran kembali. Secara
historis Renaissance adalah suatu gerakan yang meliputi zaman di mana orang merasa dirinya
telah dilahirkan kembali. Di dalam kelahiran kembali itu orang kembali kepada sumber-sumber
yang murni bagi pengetahun.

Ciri utama renaissance ialah humanisme, individualism, lepas dari agama (tidak mau diatur


oleh agama), empirisme dan rasionalime. Hasil yang diperoleh dari watak itu ialah pengetahuan
rasional berkembang. Filsafat berkembang bukan pada zaman renaissance itu, melainkan kelak
pada zaman sesudahnya (zaman modern). Sains berkembang karena semangat dan hasil
empirisme itu. Agama (Kristen) semakin ditinggalkan, ini karena semangat humanisme itu. Ini
kelihatan dengan  jelas  kelak pada zaman modern

Filsafat modern yang kelahirannya didahului oleh suatu periode yang disebut dengan
renaissance didalamanya mengandung dua hal yang sangat penting, Pertama, semakin
berkurangnya kekuasaan gereja. Kedua,  semakin bertambahnya kekuasaan ilmu pengetahuan.
Pengaruh dari gerakan renaissance itu telah menyebabkan peradaban dan kebudayaan barat
modern berkembang pesat, dan semakin bebas dari pengaruh otoritas dogma-dogma geraja.
Terbebasnya manusia Barat dari otoritas gereja berdampak semakin dipercepatnya
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Sejak itu kebenaran filsafat dan ilmu
pengetahuan didasarkan atas kepercayaan dan kapasistas intelektual (sikap ilmiah) yang
kenbenarannya dapat dibuktikan berdasarkan metode, perkiraan dan pemikiran yang dapat
diuji. Kebenaran yang dihasilkan tidak bersifat tetap. tetapi dapat berubah dan dikoreksi
sepanjang waktu

Dengan terlepasnya para ahli pikir dari tirani gereja, melahirkan sekularisasi di Barat.
Pertentangan ini pun berakhir dengan membagi ”hidup” menjadi dua bagian, sebagian
diserahkan kepada agama sebagian lagi diserahkan ke pemerintah (penguasa). Artinya masing-

9
Yusup Qardhawi, at-Tathahurufu al-‘Ilman fi Mujaahawati, diterjemahkan oleh Nahbani Idris dengan judul
Sekuler Ekstrim, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000, Hal: 7

8|Page
masing memiliki tugas sendiri-sendiri. Bahwa Kaisar mengatur kehidupan dunia, masyarakat,
pemerintahan. Sedangkan tugas Allah yang diwakili gereja berada pada bagian agama atau
rohani, sehingga tidak ada intervensi antar keduanya.

2.3 Kajian Epistimologi Dalam Sekularisasi Ilmu Pengetahuan


Secara formal epistemologi sekularisasi ilmu pengetahuan berbentuk rasionalisme dan
empirisme. Di mana memandang ilmu pengetahuan berdasarkan pengamatan empiris dan
menelaah secara rasio bukan keyakinan “iman” sebagai penilai.

Sesuai dengan epistimologi sekularisme yakni rasionalisme dan empirisme, membuat


sekularisasi harus mempertahankan keobjektifan tujuannya dengan mentaati aturannya sendiri
dengan menghindarkan ilmu pengetahuan selalu terkait dengan agama, pandangan hidup,
tradisi dan semua yang bersifat normatif guna menjaga realitas ilmu pengetahuan sebagai
suatu yang independen dan objektif.  Rasio pun dianggap sebagai alat pengetahuan yang
objektif dapat melihat realitas konstan, yang tidak pernah berubah-ubah, dan dengan empiris
memandang ilmu pengetahuan yang absah harus melalui pengalaman.

Dengan rasio dan empirismenya, sekularisasi ilmu pengetahuan secara ilmiah memandang
alam ini tidak mempunyai tujuan dan maksud, karena alam adalah benda mati yang netral dan
tujuannya sangat ditentukan oleh manusia sendiri. Sehingga manusia dengan segala daya dan
upayanya yang dimilikinya mengeksploitasi alam untuk kepentingan manusia semata.

Apabila dilihat dari realita bahwa ilmu pengetahuan mulai berkembang pada tahapan
ontologis,  manusia berpendapat bahwa terdapat hukum-hukum tertentu yang terlepas dari
kekuasaan mistis, yang menguasai gejala-gejala empiris. Sehingga dalam menghadapi masalah
tertentu, manusia mulai menentukan batas-batas eksistensi masalah tersebut, yang
menungkinkan manusia mengenal wujud masalah itu untuk kemudian dan menelaah dan
mencari pemecahan jawabannya. Dalam usaha memecahkan masalah tersebut maka ilmu
pengetahuan tidak berpaling kepada perasaan melainkan kepada pemikiran yang berdasarkan
pada penalaran. Dalam hal ini ilmu pengetahuan menyadari bahwa masalah yang dihadapinya
adalah masalah yang bersifat kongkrit yan terdapat dalam dunia nyata, sehingga secara ilmu
pengetahuan, masalah yang dikajinya hanya pada masalah yang terdapat pada ruang jangkuan
pengalaman manusia. Hal ini harus kita sadari  karena inilah yang memisahkan daerah ilmu
pengetahuan dan agama.

Lebih jauh lagi  Norcholis Madjid mengemukakan bahwa dalam proses penduniawian  terjadi


pemberian perhatian yang lebih besar daripada sebelumnya kepada kehidupan duniawi ini.
Dalam lebih memperhatikan kehidupan duniawi itu , telah tercakup pula sikap yang objektif
dalam menelaah  hukum-hukum yang menguasainya, dan mengadakan penyimpulan-

9|Page
penyimpulan yang  jujur. Pengetahuan mutlak diperlukan guna memperoleh ketepatan
setinggi-tingginya dalam memecahkan masalah-masalahnya. Dan disinilah sebenarnya letak
peranan ilmu pengetahuan.

Suatu paham atau aliran terdapat ajaran pokok sebagai landasan dalam berfikir termasuk
sekularisasi. Adapun ajaran-ajaran pokok sekularisasi ilmu pengetahuan   yaitu :

1         Prinsip-prinsip esensial dalam mencari kemajuan dengan alat material semata-mata.

2         Etika dan moralitas didasarkan pada kebenaran ilmiah tanpa ada ikatan agama dan
metafisika, segalanya ditentukan oleh kriteria ilmiah yang dapat dipercaya dan yang bersifat
validitas.

c. Masih mengakui agama pada batas tertentu dengan ketentuan agama tidak  boleh mengatur
urusan dunia melainkan hanya mengatur tentang akhirat belaka.

d.  Menekankan perlunya toleransi semua golongan masyarakat tanpa mengenal perbedaan


agama.

e. Menjunjung tinggi penggunaan rasio dan kecerdasan

Satu hal yang serta kaitannya dengan rasionalisasi yang merupakan salah satu  ciri dari
sekularisasi  ialah upaya untuk mencari cara yang secara teknis efisien demi mengurangi resiko
dalam berbagai hal yang bersifat duniawi. Salah satu bentuknya yang nyata ialah teknologi.
Mesin-mesin yang berteknologi tinggi dan efisien serta berbagai prosedur telah dirancang
untuk mengurangi ketidakpastian, dan akibatnya hal ini telah mengurangi ketergantungan
kepada keyakinan agama. Wilayah dimana agama menawarkan penjelasan yang bersifat
doktriner  dan hasil yang hampir pasti serta dapat diprediksi kini menjadi hilang maknanya.
Petani-petani yantg inovatif menemukan bahwa rotasi panen ternyata lebih ditentukan oleh
tindakan membersihkan tanah dari semak-semak dan parasit dibandingkan memanjatkan doa.
Perkembangan rasionalitas teknis secara perlahan menggantikan pengaruh supernatural dan
pertimbangan moral, dan hal ini meluas di berbagai bidang kehidupan.

Satu hal yang perlu diterangkan dalam hubungannya dengan sekularisasi ini, yaitu konsep Islam
tentang adanya “Hari Dunia” dan “Hari Agama”. Mengingkari adanya konsep yang cukup tegas
itu, hanyalah terbit dari gejala kecendrungan apologetis. Keterangan tentang hari agama
dalam  kitab suci, kita semuanya mengetahuinya. Dan secara tegas dalam kitab suci Al-Qur’an di
Surah Al-Infithar (82) ayat 17-19.10 Menarik kesimpulan dari ayat ini, maka hari agama ialah
masa ketika hukum-hukum yang mengatur hubungan antar manusia tidak berlaku lagi,
sedangkan yang berlaku adalah hubungan antara manusia dengan Tuhan, yang terjadi

10
Al Quran Karim

10 | P a g e
sepenuhnya secara individual. Dengan perkataan lain, pada waktu itu tidak berlaku lagi  hukum-
hukum sekuler atau dunia, dan yang berlaku ialah hukum-hukm ukhrawi.

Sebaliknya, pada hari dunia yang sekarang sedang kita jalani ini, belum berlaku hukum-hukum
akhirat. Hukum yang mengatur perikehidupan kita ialah hukum-hukum kemasyarakatan
manusia. Memang hukum-hukum itu  bukan ciptaan manusia sendiri, melainkan juga ciptaan
Tuhan (sunnatullah), tetapi hukum itu tidak diterangkan sebagai doktrin-doktrin agama. Dan
manusia sendirilah yang harus berusaha memahaminya, dengan bekal kecerdasan yang telah
dianugerahkan kepadanya, kemudian memanfaatkan pengetahuannya itu untuk mengatur
perikehidupan masyarakatnya lebih lanjut.

Oleh karena itu terdapat konsistensi antara sekularisasi dengan rasionalisme dan empirisme,
sebab inti sekularisasi adalah pemahaman masalah dunia dengan mengarahkan kecerdasan
rasio. Konsekwensi epistimologi sekuler dari segi aksiologi menyebabkan ilmu itu bebas nilai,
karena nilai hanya diberikan oleh manusia pemakainya.

Masalah nilai dalam perkembangan ilmu sudah disoroti, terutama pada masa Copernicus
pada abad ke-16 yang mengemukakan bahwa bumi mengelilingi matahari sedangkan
agama  pada waktu itu menyebutkan matahari yang mengelilingi bumi. Timbullah suatu konflik
antara ilmu yang ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, dengan sikap yang berpendapat
bahwa ilmu harus didasarkan pada nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang
keilmuan seperti agama. Perkembangan selanjutnya, para ilmuan berhasil memperoleh
kemenangan agar ilmu bebas nilai. Artinya ilmu mempunyai otonomi untuk berkembang
dengan tidak dipengaruhi nilai-nilai yang bersifat dogmatis, karena bebas nilai maka ilmu tidak
boleh mempunyai tanggung jawab moral. Akhirnya ilmu berkembang untuk ilmu, mempunyai
kebebasan bergerak kemanapun arahnya.

2.4 Kajian Aksiologi Dalam Ilmu Pengetahuan


Ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini, ilmu
dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan
memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan kelestarian atau keseimbangan alam.

11 | P a g e
Untuk kepentingan manusia tersebut pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun
dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti ilmu merupakan pengetahuan
yang menjadi milik bersama, sehingga setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut
kebutuhannya. Universal berarti bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi ras, ideologi, atau
agama.

Perkembangan ilmu pengetahuan melahirkan berbagai macam dampaknya terhadap


kehidupan manusia dan lingkungannya, di satu sisi dia mampu membantu dan meringankan
beban manusia, namun di sisi lain dia juga mempunyai andil dalam menghancurkan nilai-nilai
kemanusiaan, bahkan eksistensi itu sendiri. Ilmu barat yang bercorak sekuler dibangun di atas
filsafat materialistisme, naturalisme dan eksistensialisme melahirkan ilmu pengetahuan yang
jauh dari nilai-nilai spiritual, moral, dan etika.

Sebagai proses mendunianya kehidupan manusia, globalisasi mendorong persebaran dan


pertukaran nilai budaya yang tidak lagi mengenal batas geografis. Proses ini mengakibatkan
terjadinya transformasi peradaban dunia dalam proses moderenisasi dan industrialisasi yang
dahsyat, yang menciptkan perubahan pada struktur dan pranata masyarakat. Gambaran di atas
adalah bagian kenyataan yang secara tidak langsung dihasilkan oleh adanya sekularisasi ilmu
pengetahuan.

Sebagai akibat dari moderenisasi dan industrialisasi adalah munculnya masyarakat modern
atau masyarakat industrial. Masyarakat modern memiliki pandangan dunia (world view) yang
bertolak dari suatu anggapan tentang kekuasaan manusia (antroposentrisme), yaitu bahwa
manusia merupakan pusat kehidupan. Dalam pandangan ini, manusia mempunyai kekuasaan
untuk menentukan kehidupannya sendiri. Paham tentang kekuasaan manusia atau
antroposentrisme ini melahirkan pandangan kemanusiaan sekuler yang menekankan
rasionalitas (kekuasaan akal-pikiran), individualitas (kekuasaan diri-pribadi), materialitas
(kekuasaan harta benda), dan relativitas (kekuasaan nilai kenisbian).

Retasan-retasan paham atau pandangan di atas setidaknya tidak bisa dilepaskan dari
pengaruh semangat sekularissi ilmu pengetahuan. Dengan demikian sekularisasi ilmu
pengetahuan dengan sendirinya telah keluar dari radius jangkau definisi ilmu induknya dan
sekaligus mengkerdilkan peran agama dengan cara menjauhi atau melepaskannya.

Proses sekularisasi terus berlanjut sejalan dengan perkembangan industrialisasi yang cepat,
disebabkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi serta persaingan ekonomi yang semakin yang
meluas. Karena itu, Hendrik Kramer, sebagaimana dikutib oleh Sutan Alisjahbana dan Amsar
Bakhtiar, mengatakan bahwa semua agama di zaman modern sedang mengalami suatu krisis
yang amat dalam. Setiap orang di zaman ini yang melihat dan mengamati kehidupan serta

12 | P a g e
perkembangan agama dengan bermacam-macam alirannya, kesangsiannya dan pertentangan
di antara pengikut-pengikutnya, tidak dapat dengan jujur berkata lain daipada itu.

Selanjutnya juga terjadi pertentangan-pertentangan antara ilmu-ilmu eksakta dan ilmu-ilmu


sosial bahkan terjadi pengkaplingan ilmu pengetahuan dan masing-masing kapling bersikukuh
dengan keangkuhannya masing-masing. Namun menurut Abdurrahman Mas’ud, yang menjadi
persoalan sebenarnya bukan pada keterpisahan dari berbagai disiplin, karena hal ini merupakan
konsekuensi diri ke dalam kajian suatu ilmu, melainkan terletak pada terlepasnya dimensi moral
dan ide moral atau fungsi yang paling hakiki dari ilmu itu sendiri, yaitu untuk kesejahteraan
umat manusia. Ilmu ekonomi menekankan bagaimana mendaptkan keuntungan dan
mengajarkan keserakahan, ilmu politik mengajarkan bagaimana mendapatkan kekuasaan dan
pemaksaan. Di bidang teknologi misalnya lebih menekankan bagaimana
mengeksploitasi resource alam dan manusia, dan di bidang kedokteran menekankan bagaimana
mengeksploitasi jasad manusia.

Setelah ditemukan kemajuan teknologi yang begitu hebat, ternyata tanpa disadari teknologi
itupun memenjarakan manusia. Artinya, penjara manusia tidak berkurang dengan kemajuan
teknologi tetapi semakin bertambah. Pada konteks inilah manusia perlu disadarkan dari penjara
yang bernama teknologi. Dia harus sadar bahwa teknologi bukanlah tujuan, tetapi sekedar
sarana untuk memudahkan urusan. Oleh karena itu dalam beberapa kesempatan perlu
membebaskan anak-anak dari pengaruh layar agar mereka tidak tergantung dan terpenjara
oleh layar. Kebenaran yang disuguhkan oleh layar adalah kebenaran nisbi, yang sangat
ditentukan oleh subjektifitas seseorang atau kelompok tertentu. Hal ini juga dimungkinkan
karena proses produksi yang tidak sempurna atau cenderung manipulatif.

Menurut Mahdi Ghulsyani, dengan bantuan ilmu seorang muslim, dengan berbagai cara dan
upaya dapat ber-taqarrubkepada Allah. Pertama,dia dapat meningkatkan pengetahuannya
kepada Allah. Kedua,dia dengan efektif dapat membantu mengembangkan masyarakat Islam
dan merealisasikan tujuan-tujuannya. Ketiga,dia dapat membimbing orang lain. Keempat,dia
dapat memecahkann berbagai problem masyarakat manusia. Empat hal di atas jika dikaji lebih
dalam ternyata tersirat posisi kriteria ilmu yang bermanfaat, jika empat hal yang disandarkan
kepada pemiliknya itu benar-benar ada maka bisa dipastikan ilmu yang dimaksud adalah ilmu
yang bermanfaat.

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

13 | P a g e
Albert Einstein, seorang ilmuwan Yahudi pernah mengatakan “ilmu tanpa agama buta, agama
tanpa ilmu lumpuh”11 Ada dua entry point disini pertama tentang pentingnya agama untuk
melambari ilmu pengetahuan dan yang kedua perlunya ilmu dalam pengamalan agama.

Sekularisasi ilmu pengetahuan muncul di dunia Barat yang ditandai dengan adanya pemisahan
antara doktrin gereja yang selama ini menguasai ilmu pengetahuan lalu kemudian ilmu
pegetahuan itu berdiri sendiri dan bebas dari keterikatan nilai atau norma-norma agama.

3.2 Saran
Kami percaya bahwa seseorang akan menjadi kuat dan bijak ketika ia telah gagal dalam hari-
harinya yang kelam. Kemudian merenungi segala hal yang telah terjadi, Ketika itu Ia
menemukan setitik cahaya ilahi. Kami katakan bahwa kami ingin menjadi pribadi yang lebih baik
lagi. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, kami sangat mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca yang dirahmati Allah SWT. Beribu-ribu maaf kami ucapkan bila ada salah di
kata ataupun kita.

DAFTAR PUSTAKA
 Rifki, Achmad. Sekularisasi itu alarm. http://www.madinaonline.id/wacana/bilik-
cak-nur/sekularisasi-itu-alarm/. Diakses pada 01 November 2018

11
Dedie Kusmayadi,”ilmu tanpa agama buta agama tanpa ilmu lumpuh “
https://www.kompasiana.com/dediekusmayadi/55005a9c813311d019fa7727/ilmu-tanpa-agama-buta-agama-
tanpa-ilmu-lumpuh , (diakses pada 01 November 2018, pukul 20.11)

14 | P a g e
 Djuretna A, Imam Muhni. 1994. Moral dan Religi menurut Emile Durkeim dan
Henri Bergson. Yogyakarta: Kanisius
 Syed Muhammad Naquib Al-Attas. 1978. Islam dan Sekularisme (terj) Karsidjo
Djojosuwarno. Bandung: Pustaka
 Majid, Norcholis, 1998. Islam Kemoderann , dan KeIndonesiaan, Bandung : Mizan
 WAMY. 2012. Gerakan keagamaan dan Pemikiran, Akar Ideologis dan
penyebarannya. Jakarta: Al-I’tishom
 Qardhawi,Yusup. at-Tathahurufu al-‘Ilman fi Mujaahawati, diterjemahkan oleh
Nahbani Idris dengan judul Sekuler Ekstrim. Jakarta: Pustaka al-Kautsar
 Dr Adian Husaini. “Pancasila menolak ilmu sekuler”.
https://www.hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-
pekan/read/2018/02/28/136665/pancasila-menolak-ilmu-sekuler.html. Diakses
pada 01 November 2018
 Rapar, J.H. Filsafat Politik: Plato Aristoteles Augustinus Machiavelli

 Nihaya. 1999. Filsafat Umum : dari Yunani sampai Modern, Makassar: Berkah
Utami
 Al Quran Karim
 Nietzche, Friedrich. Seruan Zarathustra. Penerjemah Budi Anre.
Bodhidharmapustaka.blogspot.com

15 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai