Anda di halaman 1dari 3

Nama : Rima Septhia Putri

NIM : 44220010029
Prodi : Public Relations

SOAL
1. Jelaskan yang dimaksud dengan inkonsistensi peraturan, beri contoh dan apa
dampaknya !

JAWABAN

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata inkonsistensi adalah


ketidaktaatasasan. Arti lainnya dari inkonsistensi adalah ketidakserasian. Contoh: penjelasan
yang berbeda-beda dari pemerintah tentang kasus itu memperlihatkan adanya inkonsistensi di
antara aparat. Jadi arti dari Inkonsistensi peraturan ialah ketidakserasian dalam peraturan yang
dibuat oleh negara dengan masyarakat itu sendiri.

Contoh kasus beserta dampaknya :

Awal berlakunya atupun asal muala diterbitkanya UUPA merupakan suatu niatan yang
baik oleh para penggagas ataupun para penyusunnya. Dimana dengan berlakunya UUPA
ini diharapkan menjadi peredam konflik-konflik agraria yang ada di Indonesia. Juga
UUPA merupakan buah dari konversi peraturan agraria yang ada di Indonesia selama ini
mengalami tarik-menarik kepentingan yaitu hukum adat dan hukum barat.

Adapun pemikiran awal atau falsafah yang mendasari terwujudnya UUPA ini yang masih
relevan dengan keadaan sekarang ini yakni “Bumi, air, ruang dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya harus digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Dalam hal ini perlu digarisbawahi adalah:

1.Penggunaan sumber daya agraria secara bertanggung jawab agar adanya keseimbangan
hubungan antar manusia dan manusia dengan lingkungannya.

2.Penggunaan sumber daya agraria tersebut digunakan untuk sebesar-besarnmya


kemakmuran rakyat.

Artinya dari pemahaman di atas merupakan salah satu usaha perwujudan keadilan sosial
yang memberi landasan kepada kita bahwa dalam penggunaan sumber daya agraria
tersebut merupakan hak seti warga Indonesia dan peran negar di sini adalah sebagai wasit
yang adil dalam mengatur keseimbangan antara berbagai kepentingan dalam perolehan
dan pemanfaatan sumber daya agraria.

Dalam perkembangannya kemudian dan hingga sekarang sangat benyaknya sikap


kebutuhan pragmatis akan kebutuhan untuk mengakomodasi kepentingan ekonomi yang
bermula pada tahun 1970-an. Sehingga banyak sektor lain yang mengambil alih dan sama
sekali telah meninggalkan prinsip-prinsip dasar yang telah ditanamkan dalam UUPA.
Contohnya, UU Pertambangan No. 11 Th 1967, UU Kehutanan No. 5 Th 1967 yang
diperbaharui dengan UU No. 41 Th 1999, UU Pengairan No. 11 Th 1974 yang sedang
direvisi dengan judul RUU tentang Sumber Daya Air.

UU sektoral yang berada dibawah UU induknya yang dalam hal ini adalah UUPA adalah
suatu kelaziman dan keharusan mengikuti prinsip dan dasar yang terkandung di dalam
UUPA. Adanya indikasi UU sektoral dan revisinya yang tidak sesuai dengan prinsip dan
dasar dari penyusunan UUPA, misalkan di dalam RUU tentang Sumber Daya Air dapat
dilihat:

1.Tidak dicantumkannya UUPA dalm konsiderans RUU

2.Pengertian-pengertian yang berkaitan dengan hak guna air, hak guna pakai air, hak
guna usaha air, dan pendayagunaan air, berada di luar konteks pengertian hak atas tanah
menurut UUPA. Padahal Pasal 4 ayat (2), Pasal 16 ayat (2) dan Pasal 47 ayat (1) UUPA,
telah memberikan batasan tentang hak atas tanah (termasuk kewenangan untuk
menggunakan air, hak atas air, dan hak guna air.

Itu merupakan contoh kecil dari ketidakkonsistenan antar berbagai peraturan perundang-
undangan sektoral terhadap UUPA. Sangat kompleks sekali bila kita telisik satu persatu
baik itu UU tentang pertambangan, Migas, dan sebagainya. Dasar filosofi atas
pembentukan UUPA agaknya dilupakn demi memenuhi kebutuhan pragmatis ekonomi
kapitalistik seperti Freeport, cevron, sampai kepemilikan ladang sawit di Indonesia oleh
orang Malaysia. Sebenarnya dimana letak dasar pemikiran “digunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat”. Dan mungkin dalm pelaksanaan UU sektoral ini tidak
dilkukan sepenuhnya dengan rasa bertanggung jawa, artinya hanyauntuk pemenuhan
kebutuhan pemilik modal semata sehingga keseimbangan hubungan antar manusia dan
manusia dengan lingkunannya diabaikan dan akibatnya konflik dan bencana alam disana-
sini.

A.P. Perlindungan seorang ahli hukum tanah dan hukum adat, menyimpulkan bahwa “hukum
adat adalah jiwa dari UUPA 1960”. Namun jika kita melihat banyaknya konflik tanah ulayat
yang ada selama ini menjadi pertanyaan besar bagi kita tentang prinsip hukum adat yang
bagaimana yang dijalankan pemerintah khususnya pada masa orde baru. Contohnya konflik
karena Peraturan Pemerintah Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hutan (PP-HPH)
yang terjadi di Kecamatan Sandai (Ketapang), Kalimantan Barat, pada bulan Agustus 1994 dan
di Desa Jelmu Sibak (Kalimantan Timur), sejak tahun 1994. Sehingga banyaknya pemenggalan-
pemenggalan hak ulayat yang ada, karena sama-sama kita ketahui hukum adat itu tidak memiliki
legalitas atas pengakuan tanah mereka dan itu menjadi senjata penguasa dalam mempolitisasinya
dalam pegusahaan tanah dan pemungutan hutan. Dan bisa dikatakan di dalam UUPA sendiri
tidak terasa semangat hukum adat yang dikatan A.P. Perlindungan tadi dan jika melihat beberapa
pasal yang terdapat dalam UUPA terasa bahwa perwujudan jiwa UUPA yang mendua, rancu,
dan mundur-maju, dikalahkan oleh kepentingan pengusaha besar yang mendatangkan banyak
devisa bagi negara yang tidak punya aturan yang jelas ini.

Anda mungkin juga menyukai