Anda di halaman 1dari 14

Keberatan PBB

Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB) adalah jenis pajak yang paling dikenal oleh setiap
lapisan masyarakat dari pelosok desa sampai ke kota besar, hampir semua orang tahu
apa itu PBB dan sebagaimana halnya Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan
Nilai (PPN), dalam PBB terdapat pula ketentuan yang mengatur perihal pengajuan
keberatan PBB, pengurangan PBB,  dan  pengurangan sanksi PBB dan BPHTB.

Ketentuan perundangan-undangan perpajakan Pajak Bumi dan Bangunan


menggunakan undang-undang tersendiri yaitu Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun 1994 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985
Tentang Pajak Bumi Dan Bangunan, terpisah dari ketentuan UU KUP kecuali hal-hal
yang tidak diatur dalam UU PBB maka ketentuan formal akan mengikuti ketentuan
dalam UU KUP. Pasal 23 UU PBB berbunyi : “Terhadap hal-hal yang tidak diatur secara
khusus dalam Undang-undang ini, berlaku ketentuan dalam Undang-undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566) serta peraturan perundang-
undangan lainnya”.Keberatan PBB

Ketentuan yang mengatur keberatan PBB adalah Pasal 15 Ayat (1) UU PBB yang
berbunyi sebagai berikut :

“Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan pada Direktur Jenderal Pajak atas :

1. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang;


2. Surat Ketetapan Pajak.”

Pengajuan keberatan atas SPPT dapat dilakukan secara kolektif melalui kelurahan atau
secara perseorangan. Pengajuan secara kolektif hanya berlaku untuk nilai SPPT sampai
dengan Rp 200.000,00 per SPPT. Pengajuan keberatan atas SKP PBB hanya boleh
dilakukan secara perseorangan. Sebagai tambahan yang dimaksud SKP PBB adalah SKP
PBB sebagaimana dimaksudkan pasal 10 Ayat (2) UU PBB sebagai berikut :

“Direktur Jenderal Pajak dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak dalam hal-hal
sebagai berikut :

1. apabila Surat Pemberitahuan Obyek Pajak tidak disampaikan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dan setelah ditegor secara tertulis tidak
disampaikan sebagaimana ditentukan dalam Surat Tegoran;
2. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah
yang terhutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan Surat
Pemberitahuan Obyek Pajak yang disampaikan oleh wajib pajak.”
Pasal 9 Ayat (2) menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP) harus
diisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani ke DJP, selambat-lambatnya
30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya SPOP oleh subyek pajak.

Persyaratan Formal Pengajuan Keberatan PBB

Persyaratan pengajuan keberatan PBB terdiri dari persyaratan formal dan persyaratan
pendukung. Persyaratan formal terdiri dari persyaratan untuk pengajuan perseorangan
dan persyaratan untuk pengajuan kolektif. Persyaratan formal diatur dalam Pasal 15 UU
PBB dan Pasal 4 Ayat (1), ayat (2) dan Ayat (4) Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor Per-25/PJ/2009 Tentang Tata Cara Pengajuan Dan Penyelesaian Keberatan
Pajak Bumi Dan Bangunan, sbb :

“Pengajuan Keberatan secara perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat


(2) harus memenuhi persyaratan :

1. Satu surat Keberatan untuk 1 (satu) SPPT atau SKP PBB;


2. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
3. Diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak dan disampaikan ke KPP Pratama;
4. Dilampiri asli SPPT atau SKP PBB yang diajukan Keberatan;
5. Dikemukakan jumlah PBB yang terutang menurut penghitungan Wajib Pajak
disertai dengan alasan yang mendukung pengajuan Keberatannya;
6. Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT atau
SKP PBB,     kecuali apabila Wajib Pajak atau kuasanya dapat menunjukkan
bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar
kekuasaannya; dan
7. Surat Keberatan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal surat Keberatan
ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak:
1. harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus, untuk Wajib Pajak orang
pribadi dengan PBB yang terutang lebih banyak dari Rp 2.000.000,00 (dua
juta rupiah) atau Wajib Pajak badan;atau
2. harus dilampiri dengan surat kuasa, untuk Wajib Pajak orang pribadi
dengan PBB yang terutang paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta
rupiah)”.

Ayat (2) memuat persyaratan keberatan untuk pengajuan keberatan PBB secara kolektif
sbb. :

“Pengajuan Keberatan secara kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
huruf a harus memenuhi persyaratan ;

1. Satu pengajuan untuk beberapa SPPT Tahun Pajak yang sama;


2. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
3. PBB yang terutang untuk setiap SPPT paling banyak Rp 200.000,00 (dua ratus
ribu rupiah);
4. Diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak dan disampaikan ke KPP Pratama;
5. Diajukan melalui Kepala Desa/Lurah setempat;
6. Dilampiri asli SPPT yang diajukan Keberatan;
7. Mengemukakan jumlah PBB yang terutang menurut penghitungan Wajib Pajak
disertai dengan alasan yang mendukung pengajuan Keberatannya; dan
8. Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT,
kecuali apabila Wajib Pajak melalui Kepala Desa/Lurah setempat dapat
menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di
luar kekuasaannya”.

Persyaratan pendukung keberatan PBB

adalah sbb :

“Untuk memperkuat alasan pengajuan Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf e dan ayat (2) huruf g, pengajuan Keberatan disertai dengan :

1. Fotokopi identitas Wajib Pajak, dan fotokopi identitas kuasa Wajib Pajak dalam
hal dikuasakan;
2. Fotokopi bukti kepemilikan tanah;
3. Fotokopi Ijin Mendirikan Bangunan (IMB); dan/atau
4. Fotokopi bukti pendukung lainnya”.

Apabila berkas pengajuan keberatan PBB tidak memenuhi persyaratan formal, maka
pengajuan keberatan tersebut tidak dapat dipertimbangkan dan akan diberitahukan ke
Subjek Pajak/ke lurah secara tertulis melalui surat dalam waktu 10 hari kerja sejak
diterima surat pengajuan keberatan. Apabila jangka wakut 3 bulan masih terpenuhi
subjek pajak dapat memperbaiki dan mengajukan kembali keberatan PBB kepada
Kantor Pelayanan Pajak atau ke KP2KP.

Materi Keberatan PBB

Materi keberatan yang  menjadi sengketa adalah diatur dalam angka Romawi II angka
2  Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak  Nomor SE – 32/PJ/2009 Tentang Petunjuk
Pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 25/PJ/2009 Tentang Tata Cara
Pengajuan Dan Penyelesaian Keberatan Pajak Bumi Dan Bangunan, sbb :

“Keberatan dapat diajukan dalam hal :

1. Wajib Pajak berpendapat bahwa luas objek pajak bumi dan/atau bangunan atau
nilai jual objek pajak bumi dan/atau bangunan tidak sebagaimana mestinya;
dan/atau
2. terdapat perbedaan penafsiran peraturan perundang-undangan PBB”.
SK Keberatan PBB dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau
menambah jumlah PBB terutang. Berdasarkan SK Keberatan PBB, Kantor Pelayanan
Pajak akan menerbitkan SPPT yang baru atau SKP PBB yang baru dengan tidak
merubah tanggal jatuh tempo pembayaran PBB. SPPT PBB yang baru tersebut tidak
dapat diajukan keberatan kembali, tetapi dapat diajukan pengurangan PBB dengan
memenuhi persyaratan pengurangan PBB atau dapat juga diajukan banding ke
Pengadilan Pajak. Pengajuan keberatan PBB dan pengajuan banding PBB tidak
menunda tindakan penagihan PBB. Sebagai tambahan lagi, ketentuan banding PBB
diatur dalam pasal 17 UU PBB sbb. :

1. Wajib pajak dapat mengajukan banding kepada badan peradilan pajak terhadap
keputusan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (6) dan Pasal 16 ayat (3) dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
sejak tanggal diterimanya surat keputusan oleh wajib pajak dengan dilampiri
salinan surat keputusan tersebut.
2. Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
3. Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak.

jangka waktu penyelesaian keberatan PBB adalah 12 bulan sejak tanggal keberatan
diterima.

Arestasi Penanganan Keberatan PBB dan Penelitian Objek PBB

Subjek Pajak PBB dapat mengajukan keberatan PBB melalui Kantor Pelayanan Pajak
atau Kantor Pelayanan, Penyuluhan  dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP), selanjutnya
penanganan keberatan PBB untuk nilai SPPT/SKP PBB sampai dengan Rp 1,5 Milyar
dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah DJP tempat kedudukan Objek Pajak berada , dan
untuk nilai SPPT/SKP PBB diatas Rp.1,5 Milyar dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Penanganan keberatan PBB untuk nilai keberatan tertentu yaitu dengan nilai SPPT/SKP
PBB diatas Rp. 5.000.000,00-, diperlukan penelitian lapangan oleh Kantor Wilayah
dan/atau oleh KPP setempat tergantung lokasi dari Objek Pajak.
PENGURANGAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

1. Pengertian
Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pemberian keringanan pajak
yang terutang atas Objek Pajak dalam hal :
a.Wajib Pajak orang pribadi atau badan karena kondisi tertentu Objek Pajak yang ada
hubungannya dengan Subyek Pajak dan atau karena sebab-sebab tertentu lainnya,
yaitu:

1.Objek Pajak berupa lahan pertanian/perkebunan/ perikanan/ peternakan yang


hasilnya sangat terbatas yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak
Orang Pribadi;

2.Objek Pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak orang
pribadi yang berpenghasilan rendah yang nilai jualnya meningkat akibat adanya
pembangunan atau perkembangan lingkungan.

3.Objek Pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Orang
Pribadi yang penghasilannya semata-mata berasal dari pensiunan, sehingga kewajiban
PBB-nya sulit dipenuhi;

4.Objek Pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak orang
pribadi yang berpenghasilan rendah sehingga kewajiban PBBnya sulit dipenuhi;

5.Objek Pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak veteran
pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan

6.Objek Pajak yang dimiliki, dikuasai dan dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Badan yang
mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas yang serius sepanjang tahun, sehingga
tidak dapat memenuhi kewajiban rutin perusahaan;

b.Wajib Pajak orang pribadi atau badan dalam hal objek pajak yang terkena bencana
alam (gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung meletus dan sebagainya) atau
sebab-sebab lain yang luar biasa (kebakaran, kekeringan, wabah penyakit dan hama
tanaman).

2. Cara Pengajuan Permohonan


a.Permohonan pengurangan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama atau Kepala Kantor Pelayanan PBB yang
menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)/Surat Ketetapan Pajak (SKP).

b. Isi surat permohonan menyebutkan prosentase pengurangan yang dimohonkan


c. Pengajuan permohonan dilakukan dengan ketentuan :
1).Untuk ketetapan PBB s/d Rp 100.000,- dapat diajukan secara perseorangan atau
kolektif (melalui Kepala Desa/Lurah yang bersangkutan) dengan formulir yang telah
ditentukan.
2).Untuk ketetapan PBB di atas Rp 100.000,- harus diajukan oleh WP yang
bersangkutan dengan melampirkan fotokopi SPPT/SKP PBB Tahun Pajak yang
dimohonkan.
3). Untuk WP Badan, melampirkan fotokopi :
- SPPT/SKP PBB tahun yang dimohonkan;
- SPT PPh tahun terakhir beserta lampirannya.
- STTS tahun pajak terakhir atau struk ATM/ Counter Teller pembayaran PBB
- laporan keuangan perusahaan.
4). Untuk Objek Pajak yang terkena bencana alam, hama tanaman, dan sebab lain
yang luar biasa dan bersifat kolektif diajukan oleh Kepala Desa/Lurah dengan diketahui
oleh Camat dengan mencantumkan nama-nama Wajib Pajak yang dimohonkan
pengurangannya dengan mempergunakan formulir yang telah ditentukan.

d.Permohonan diajukan selambat-lambatnya 3 bulan sejak SPPT/SKP diterima WP atau


sejak terjadinya bencana alam atau sebab-sebab lain yang luar biasa.

e. Pengurangan secara kolektif diajukan sebelum SPPT diterbitkan selambat-lambatnya


tanggal 10 Januari untuk tahun pajak yang bersangkutan.

f. Apabila batas waktu pengajuan tersebut tidak dipenuhi, maka permohonannya tidak
diproses, dan Kepala Kantor Pelayanan PBB yang bersangkutan harus memberitahukan
secara tertulis kepada WP/Kepala Desa/Lurah, disertai penjelasan seperlunya.

3. Bentuk Keputusan
Keputusan atas permohonan pengurangan besarnya PBB yang diajukan WP dapat
berupa:
- mengabulkan seluruh permohonan;
- mengabulkan sebagian atau;
- menolak.
KEBERATAN ATAS PENGENAAN PBB

1. Alasan Pengajuan Keberatan


a.Dalam hal WP merasa SPPT / SKP tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya,
mengenai:
- luas Objek Pajak bumi dan atau bangunan;
- klasifikasi Objek Pajak bumi dan atau bangunan;
- penetapan/pengenaan.
b.Perbedaan penafsiran Undang-undang antara WP dan Fiskus, antara lain:
1)Penetapan Subjek Pajak sebagai Wajib Pajak;
2)Objek Pajak yang seharusnya tidak dikenakan PBB;
3)Penerapan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP), Standar Investasi Tanaman (SIT), Run Of
Mine (ROM), Free On Board (FOB), Free On Rail (FOR);
4)Penentuan saat pajak terutang;
5)Tanggal Jatuh Tempo.
2. Persyaratan Pengajuan Keberatan
Syarat Formal:
a)Keberatan diajukan dalam jangka waktu 3(tiga) bulan sejak tanggal diterimanya
SPPT/SKP oleh Wajib Pajak.
b)Dalam hal keadaan terpaksa (force mayeur) wajib pajak harus dapat memberikan
dan membuktikan alasan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi. Syarat
materil:
1)Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
2)Diajukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama, Kantor Pelayanan PBB
yang menerbitkan SPPT/SKP;
3)Dalam hal dikuasakan kepada pihak lain harus melampirkan surat kuasa;
4)Diajukan masing-masing dalam satu Surat Keberatan kecuali yang diajukan secara
kolektif melalui Lurah/ Kepala Desa untuk setiap SPPT/SKP per tahun pajak; 5)
Mengemukakan alasan yang jelas dan mencantumkan besarnya Pajak Bumi dan
Bangunan menurut perhitungan Wajib Pajak.
3. Pengajuan Keberatan Tidak Menunda Kewajiban Membayar Pajak dan
Pelaksanaan, Penagihan Pajak.
4. Keputusan Keberatan.
Keputusan keberatan atas SPPT/SKP berupa:
a. Menolak, apabila permohonan keberatan wajib pajak memenuhi persyaratan formal
atau formal dan material, dan telah dilakukan pemeriksaan sehingga alasan yang
diajukan oleh wajib pajak tidak tepat atau tidak benar.
b. Menerima seluruh atau sebagian menerima seluruhnya, apabila alasan wajib
pajak sesuai dengan data/keterangan yang diperoleh dari hasil pemeriksaan dan
diterima seluruhnya berdasarkan perhitungan Wajib Pajak, atau atas perintah
Undangundang.  menerima sebagian, apabila sebagian alasan Wajib Pajak sesuai
dengan data/keterangan yang diperoleh dari hasil pemeriksaan.
c. Tidak dapat diterima, apabila permohonan keberatan Wajib Pajak tidak memenuhi
persyaratan jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (3)
Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep-59/PJ.6/2000.
d. Menambah besarnya jumlah pajak yang terutang, apabila berdasarkan hasil
pemeriksaan diperoleh perhitungan yang menambah besarnya jumlah pajak yang
terutang.
5. Lain-lain.
1)Keberatan terhadap SPPT dan atau SKP dengan ketetapan sampai dengan Rp
100.000,00 dapat diajukan secara perseorangan ataupun kolektif melalui Kepala
Desa/Lurah yang bersangkutan.
2)Keberatan terhadap SPPT dan atau SKP dengan ketetapan di atas Rp 100,000,00
harus diajukan oleh WP secara perseorangan.
3)KP PBB setelah menerima Surat Keberatan dari WP memberikan tanda terima.
4)Tanda terima dari KP PBB/ tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat/
sejenisnya merupakan tanda bukti bagi kepentingan WP.
KEBERATAN DAN BANDING
Keberatan
1.    Wajib pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jendral Pajak atas:
a.    Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)
b.    Surat Ketetapan Pajak (SKP)
Keberatan terhadap SPPT dan SKP harus diajukan masing-masing dalam satu Surat keberatan
tersendiri untuk setiap tahun pajak.
2.    Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas SPPT atau SKP dalam hal:
a.    Wajib pajak menganggap luas objek bumi dan atau bangunan, klasifikasi atau Nilai Jual
Objek bumi dan atau bangunan yang tercantum dalam SPPT atau SKP tidak sesuai dengan
keadaan sebenarnya.
b.    Terdapat perbedaan penafsiran undang-undang dan peraturan perundang-undangan
antara wajib pajak dengan fiskus.
3.    Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa indonesia kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang menerbitkan SPPT atau SKP dengan menyatakan
alasan secara jelas.
4.    Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya
SPPT atau SKP oleh wajib pajak, kecuali apabila wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka
waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
Apabila ternyata batas waktu 3 (tiga) bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh wajib pajak
karena keadaan di luar kekuasaannya (Force Major), maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi
dan Bangunan masih dapat mempertimbangkan dan meminta wajib pajak untuk melengkapi
persyaratan tersebut dalam batas waktu tertentu.
5.    Tanda terima Surat Keberatan yang dibeikan oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat atau sejenisnya
merupakan tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi kepentingan wajib pajak.
6.    Apabila diminta oleh wajib pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jendral
Pajak wajib memberikan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak.
7.    Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban pembayaran pajak.
8.    Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pajak atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi
dan Bangunan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat
keberatan diterima, harus memberikan kepurusan atas keberatan.
9.    Sebelum surat keputusan diterbitkan, wajib pajak dapat menyampaikan alasan tambahan
atau penjelasan tertulis.
10.    Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktur Jendral Pajak atau Kepala Kantor Pelayanan
Pajak Bumi dan Bangunan atas keberatan dapat berupa:
a.    Tidak dapat diterima;
b.    Menolak;
c.    Menerima seluruhnya atau sebagian;
d.    Menambah besarnya jumlah pajak yang terutang.
11.    Dalam hal wajib pajak mengajukan keberatan atas ketetapan sebagaimana dalam surat
ketetapan pajak, wajib pajak yang bersangkutan harus dapat membuktikan ketidakbenaran
ketetapan pajak tersebut.
12.    Apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan telah lewat dan Direktur Jendral Pajak
tidak memberi suatu keputusan, maka keberatan tersebut dianggap diterima.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, bagi wajib pajak yaitu apabila
dalam jangka waktu 12 bulan sejak tanggal diterimanya surat keberatan, Dirjen Pajak tidak
memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan berarti keberatan tersebut diterima.
Banding
Ketentuan banding Pajak Bumi dan Bangunan mengikuti ketentuan tentang banding Undang-
undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dalam buku ini dapat dilihat pada Bab 2.

KEBERATAN DAN BANDING

PENGURANGAN PAJAK
Pengurangan diberikan atas pajak (PBB) terutang yang tercantum dalam SPPT atau SKP.
Pengurangan pajak terutang dapat diberikan kepada dan dalam hal:
1.    Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan karena kondisi tertentu objek pajak yang ada
hubungannya dengan subjek pajak dan atau karena sebab-sebab tertentu lainnya, seperti:
a.    Objek pajak berupa lahan pertanian/perkebunan/perikanan/peternakan yang hasilnya
sangat terbatas yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang pribadi;
b.    Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang pribadi
yang berpenghasilan rendah yang nilai jualnya meningkat akibat adanya pembangunan atau
perkembangan lingkungan;
c.    Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang pribadi
yang berpenghasilan semata-mata berasal dari pensiunan, sehingga kewajiban pbb-nya sulit
dipenuhi;
d.    Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang pribadi
yang berpenghasilan rendah sehingga kewajiban pbb-nya sulit dipenuhi;
e.    Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak veteran
pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan;
f.    Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak badan yang
mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas yang serius sepanjang tahun, sehingga tidak dapat
memenuhi kewajiban rutin perusahaan.
Dalam hal ini pengurangan dapat diberikan setinggi-tingginya 75% (tujuh puluh lima persen)
dari besarnya pajak terutang, dan ditetapkan berdasarkan pertmbangan kondisi objek pajak
serta penghasilan wajib pajak.
2.    Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan dalam hal objek pajak yang terkena bencana alam
atau sebab-sebab lain yang luar biasa. Termasuk dalam pengertian Bencana alam adalah
gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung meletus dan sebagainya. Sedangkan yang
dimaksud dengan sebab-sebab lain yang luar biasa adalah kebakaran, kekeringan, wabah
penyakit dan hama tanaman.
Dalam hal ini dapat diberikan sampai dengan 100% (seratus persen) dari besarnya pajak
terutang.
3.    Wajib Pajak anggota veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan.
Besarnya pengurangan ditetapkan sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari besarnya pajak
terutang.

Cara Mengajukan Permohonan:


1.    Permohonan pengurangan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Kepala
Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang menerbitkan SPPT atau SKP dengan
mencantumkan besarnya persentase pengurangan dimohonkan.
2.    Permohonan pengurangan diajukan selambat-lambatnya 3 (tiga)bulan terhitung:
a.    Sejak tanggal diterimanya SPPT atau SKP; atau
b.    Sejak terjadinya bencana alam atau sebab-sebab lain yang luar biasa.
3.    Permohonan pengurangan pajak terutang dapat diajukan secara kolektif atau
perseorangan.
4.    Permohonan pengurangan pajak terutang secara perseorangan harus dilampiri:
a.    Foto copy SPPT/SKP dari tahun pajak yang diajukan permohonan pengurangannya; dan
b.    Foto copy tanda anggota Veteran, bagi anggota Veteran
5.    Permohonan pengurangan pajak terutang secara kolektif dapat diajukan sebelum SPPT
diterbitkan, selambat-lambatnya tanggal 10 Januari untuk tahun pajak yang bersangkutan
melalui:
a.    Pemerintah Daerah setempat; atau
b.    Organisasi Legiun Veteran Republik Indonesia, bagi anggota Veteran.
6.    Permohonan pengurangan pajak terutang untuk wajib pajak badan harus dilampiri
dengan :
a.    Foto copy SPPT/SKP dari tahun pajak yang diajukan permohonan pengurangannya;
b.    Foto copy SPT PPh tahun pajak terakhir beserta lampirannya; dan
c.    Laporan Keuangan.
7.    Permohonan pengurangan pajak terutang dalam hal objek pajak yang terkena bencana
alam atau sebab-sebab lain yang luar biasa dilampiri Surat Keterangan dari Pemerintah Daerah
setempat/Instansi terkait.
8.    Wajib pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan pajak terutang apabila telah
melunasi PBB untuk tahun sebelumnya atas objek pajak yang sama.
9.    Permohonan dapat disampaikan secara langsung atau dikirim melalui pos.
10.    Tanggal Tanda Terima Surat Permohonan tersebut diatur sebagai berikut:
a.    Apabila disampaikan secara langsung maka tanggal tanda terima adalah pada saat surat
permohonan tersebut secara lengkap diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan.
b.    Apabila dikirim melalui pos atau srana pengiriman lainnya maka tanggal tanda terima
adalah pada saat surat permohonan tersebut secara lengkap diterima oleh Kantor Pelayanan
Pajak Bumi dan Bangunan, bukan pada tanggal pengiriman surat permohonan.

KEPUTUSAN PENGURANGAN
1.    Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pajak yang membawahi Kantor Pelayanan Pajak
Bumi dan Bangunan yang menerbitkan SPPT dan atau SKP, atas nama Menteri Keuangan
memberikan Keputusan atas permohonan pengurangan pajak terutang yang lebih dari
Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
2.    Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang menerbitkan SPPT dan atau SKP,
atas nama Menteri Keuangan memberikan Keputusan atas permohonan pengurangan pajak
terutang yang tidak lebih dari Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3.    Keputusan pengurangan dapat berupa:
a.    Mengabulkan seluruhnya.
b.    Mengabulkan sebagian.
c.    Menolak.
4.    Keputusan atas permohonan pengurangan pajak harus diterbitkan selambat-lambatnya 3
(tiga) bulan sejak diterimanya permohonan pengurangan Wajib Pajak. Jangka waktu
sebagaimana tersebut terhitung sejak:
a.    Tanggal tanda terima Surat Permohonan, dalam hal Surat Permohonan disampaikan secara
langsung;
b.    Tanggal stempel pos, dalam hal Surat Permohonan dikirimkan melalui pos (biasa maupun
tercatat) atau sarana pengiriman lainnya.
5.    Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Keputusan belum diterbitkan, maka
permohonan pengurangan pajak dianggap dikabulkan.
6.    Keputusan pengurangan berlaku untuk tahun pajak yang bersangkutan.

PENGURANGAN DENDA ADMINISTRASI


Atas permintaan wajib pajak Dirjen Pajak mengurangkan denda adminitrasi karena hal-hal
tertentu.
Ketentuan ini memberi kesempatan kepada wajib pajak untuk meminta pengurangan denda
administrasi kepada Direktur Jendral Pajak dapat mengurangkan sebagian atau seluruhnya
denda administrasi tersebut.

PEJABAT
1.    Pejabat yang dalam jabatannya atau tugas pekerjaannya berkaitan langsung dengan objek
pajak adalah:
a.    Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah.
b.    Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah.
c.    Pejabat Pembuat Akta Tanah.
2.    Pejabat yang ada hubungannya dengan objek pajak adalah:
a.    Kepala Kelurahan atau Kepala Desa.
b.    Pejabat Dinas Tata Kota.
c.    Pejabat Dinas Pengawasan Bangunan.
d.    Pejabat Agraria.
e.    Pejabat Balai Harta Peninggalan.
f.    Pejabat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan/Direktorat Jenderal Pajak.
Kewajiban Pejabat:
1.    Yang berkaitan dengan objek pajak, wajib:
a.    Menyampaikan laporan bulanan mengenai semua mutasi dan perubahan keadaan objek
pajak secara tertulis kepada Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak
objek pajak selambat-lambatnya tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
b.    Memberikan keterangan yang diperlukan atas permintaan Direktorat Jenderal Pajak.
Catatan:
Kewajiban merahasiakan ditiadakan (tidak ada rahasia jabatan dalam hubungannya dengan
PBB).
Contoh laporan tertulis tentang mutasi objek antara lain: jual beli, hibah, dan warisan.
2.    Yang berhubungan dengan objek pajak:
Wajib memberikan keterangan yang diperlukan atas permintaan Direktorat Jenderal Pajak yang
berwenang.

Catatan:
Kewajiban merahasiakan ditiadakan (tidak ada rahasia jabatan dalam hubungannya dengan
PBB).

SANKSI
Bagi Wajib Pajak
1.    Apabila SPOP tidak disampaikan dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan
sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran, ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak. Jumlah
pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak adalah pokok pajak ditambah dengan denda
administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dihitung dari pokok pajak.
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang
terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh
wajib pajak, ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak. Jumlah pajak yang terutang dalam Surat
Ketetapan Pajak adalah selisih pajak yang terhutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau
keterangan lain. Agar dapat lebih mudah dipahami, berikut diberikan bagan tentang sanksi.
PEMBAGIAN HASIL PENERIMAAN PBB
Hasil penerimaan PBB merupakan penerimaan Negara (dalam hal ini Pemerintah Pusat) dan
disetor sepenuhnya ke rekening Kas Negara. Namun demikian, Penerimaan Pajak Bumi dan
Bangunan akan dibagi untuk Pemerintah Pusat dan Daerah dengan imbangan sebagai berikut:
1.    10% (sepuluh persen) untuk Pemerintah Pusat;
2.    90% (sembilan puluh persen) untuk Daerah
Jumlah 10% (sepuluh persen) bagian Pemerintah Pusat dibagikan kepada seluruh daerah
kabupaten dan kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan,
dengan imbangan sebagai berikut:
1.    65% (enam puluh lima persen) dibagikan secara merata kepada daerah kabupaten dan
kota; dan
2.    35% (tiga puluh lima persen) dibagikan secara insentif kepada daerah kabupaten dan kota
yang realisasi tahun sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan sektor tertentu.
Jumlah 90% (sembilan puluh persen) bagian Daerah dibagi dengan rincian sebagai berikut:
1.    16,2% (enam belas koma dua persen) untuk daerah Provinsi yang bersangkutan dan
disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Provinsi;
2.    64,8% (enam puluh empat koma delapan persen) untuk Daerah Kabupaten/Kota yang
bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Kabupaten/Kota;
3.    9% (sembilan persen) untuk Biaya Pemungutan yang dibagikan kepada Direktorat Jenderal
Pajak dan Daerah.
Khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 90% (sembilan puluh persen) dari hasil
penerimaan tersebut merupakan penerimaan bagian Daerah yangdibagikan dengan rincian
sebagai berikut:
1.    16,2% (enam belas koma dua persen) untuk daerah Provinsi, yang dibagi dengan
imbangan:
a.    30% (tiga puluh persen) untuk biaya pendidikan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
dan disalurkan melalui rekening khusus dana pendidikan;
b.    70% (tujuh puluh persen) untuk Daerah Provinsi dan disalurkan melalui rekening Kas
Daerah Provinsi;
2.    64,8% (enam puluh empat koma delapan persen) untuk Daerah Kabupaten/Kota yang
bersangkutan, yang dibagi dengan imbangan:
a.    30% (tiga puluh persen) untuk biaya pendidikan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
dan disalurkan melalui rekening khusus dana pendidikan;
b.    70% (tujuh puluh persen) untuk Daerah Provinsi dan disalurkan melalui rekening Kas
Daerah Kabupaten/Kota.
3.    9% (sembilan persen) untuk Biaya Pemungutan yang dibagikan kepada Direktorat Jenderal
Pajak dan Daerah.

Anda mungkin juga menyukai