Anda di halaman 1dari 16

9 2 1 SK

Sajian Kasus II Kepada Yth


Selasa, 23 Maret 2021
Pebriansyah
P - 1806271781 ------------------------------------

Tata Laksana Komprehensif Spondilitis Tuberkulosis pada Remaja dengan


Tuberkulosis Diseminata

S
pondilitis tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis yang mengenai tulang belakang.1 Secara epidemiologi,
spondilitis TB merupakan salah satu bentuk TB ekstraparu yang paling sering
ditemukan, menyumbang 58% dari seluruh kasus TB anak di Korea, 33% di India dan
26% di Hongkong. Hingga saat ini, tuberkulosis masih merupakan penyakit dengan angka
kesakitan dan kematian yang tinggi, dimana 95% kasus berada di negara berkembang, termasuk
Indonesia.1,2
TB diseminata merupakan bentuk infeksi TB yang mengancam nyawa dengan angka
kematian dan kesakitan yang tinggi terutama pada anak kurang dari 15 tahun. TB diseminata
terjadi akibat penyebaran masif basil Mycobacterium tuberculosis secara limfohematogenus ke
beberapa tempat. Insidens TB diseminata di dunia belum diketahui secara pasti, namun menurut
beberapa penelitian, insidens semakin meningkat seiring dengan kemajuan teknologi.3,4
Spondilitis TB merupakan salah satu manifestasi TB diseminata yang sering terjadi selain TB
milier dan TB sistem genitourinaria.5 Bila tidak ditangani dengan adekuat, spondilitis TB dapat
menyebabkan gejala sisa yang berat seperti tetraplegia. Selain itu, dapat terjadi defisit neurologis
yang serius akibat berkembangnya tingkat keparahan dan kelengkungan kifosis atau destruksi pada
tulang belakang yang akan mempengaruhi kualitas hidup di kemudian hari.6,7
Sajian kasus ini bertujuan untuk menjelaskan pendekatan diagnosis dan tata laksana
spondilitis tuberkulosis pada remaja dengan tuberkulosis diseminata.

Ilustrasi Kasus
Seorang remaja lelaki berusia 16 tahun dengan nomor rekam medik 449-91-92 datang ke Instalasi
Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tanggal 26 Oktober 2020
dengan keluhan utama perut membesar disertai nyeri perut empat hari sebelum masuk rumah sakit
(SMRS). Selain itu, pasien mengeluhkan kedua tungkai tidak bisa digerakkan, terasa baal bila
disentuh, buang air kecil (BAK) sedikit, serta mengompol karena sensasi ingin berkemih tidak
dapat dirasakan.
Pasien diketahui pada bulan Juli tahun 2020, muncul tiga buah benjolan berukuran 3,5 kali
3,5 sentimeter pada leher yang tidak terasa nyeri bila disentuh. Dua minggu kemudian, benjolan
pecah dan mengeluarkan cairan dengan konsistensi kental berwarna putih kekuningan. Pasien
kemudian berobat ke rumah sakit (RS) ke I, dicurigai mengalami tuberkulosis dan di rujuk ke RS
lain.
Dua bulan SMRS, terdapat keluhan demam naik turun, namun suhu tubuh tidak pernah
diukur. Selain itu, punggung tampak bungkuk dan terasa nyeri bila bergerak atau berpindah posisi
namun pasien masih dapat berjalan seperti biasanya. Tidak ada riwayat jatuh atau trauma lainnya.
Pasien tampak kurus dan mengalami penurunan berat badan hingga 10 kilogram dalam waktu dua
bulan. Tidak ada keluhan batuk lama, keringat malam, batuk berdarah maupun kejang. 14 hari
SMRS, pasien merasa kedua kaki semakin lemas, sehingga pasien sulit beraktivitas dan lebih
banyak berbaring di tempat tidur. Selain itu, demam masih naik turun, namun suhu tidak pernah
diukur.
10 hari SMRS, pasien tidak dapat berjalan, kedua kaki tidak bisa digerakkan dan terasa
baal bila disentuh. Keluhan disertai dengan BAK keluar sedikit demi sedikit, mengompol, serta
buang air besar (BAB) cepirit karena sensasi ingin berkemih dan BAB tidak dapat dirasakan.
Keluhan batuk lama, sesak napas disangkal. Selain itu, tidak ada riwayat keluarga dengan
tuberkulosis. Pasien kemudian dibawa ke RS II dan berdasarkan hasil pencitraan tulang belakang,
didapatkan gambaran fraktur pada tulang belakang disertai efusi pleura kanan pada pencitraan
toraks. Pasien kemudian dirujuk ke RSCM untuk penanganan lebih lanjut.
Pasien tidak pernah mengalami hal serupa sebelumnya. Tidak ada riwayat TB pada
keluarga. Pasien merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara, lahir secara spontan, cukup bulan,
dengan berat lahir 2700 gram dan panjang 47 cm. Tidak didapatkan riwayat resusitasi aktif ketika
pasien dilahirkan.. Status pubertas pasien menurut stadium Tanner G5P5. Pasien makan makanan
keluarga 3 kali sehari berisi nasi, lauk protein hewani atau nabati yang bervariasi dan sayuran,
namun semenjak sakit, terdapat penurunan nafsu makan pada pasien. Imunisasi dasar lengkap
sampai usia 9 bulan, skar Bacille Calmette-Guérin (BCG) positif pada lengan kanan atas. Pasien

2
tidak lagi bersekolah sejak kelas 6 sekolah dasar (SD) atas keinginan sendiri karena ingin
membantu perekonomian keluarga. Selama ini, pasien bekerja serabutan membantu kakak laki-
laki dan perempuan di rumahnya. Pasien merupakan anak yang pendiam. Keterbukaan dengan
keluarga kurang namun hubungan dengan orang tua dan keluarga dikatakan cukup baik. Pasien
sehari-hari bergaul dengan teman sebayanya. Pasien tidak merokok, tidak menggunakan obat-
obatan terlarang, tidak minum minuman keras dan tidak memiliki kebiasaan pulang larut malam.
Pada pemeriksaan fisis di IGD RSCM tanggal 26 Oktober 2020, pasien tampak sakit
sedang. Pada pengukuran tanda vital didapatkan frekuensi denyut nadi 100 kali per menit, reguler,
isi cukup, tekanan darah 110/78 mmHg, suhu 36,8 oC, frekuensi pernapasan 28 kali per menit, pola
napas reguler. Berat badan 45 kg, tinggi badan 160 cm dan lingkar lengan atas 18 cm. Status
antropometris berdasarkan kurva Center for Disease Control (CDC) adalah sebagai berikut,
lingkar lengan menurut umur 68%, tinggi badan menurut umur 91%. Secara klinis didapatkan
kaheksia, baggy pants, dan iga gambang serta secara antropometris didapatkan kesan gizi buruk
perawakan normal. Konjungtiva mata tidak tampak pucat, sklera tidak tampak ikterik, pupil bulat
isokor dengan diameter 3 milimeter/3 milimeter, reflek cahaya langsung dan tidak langsung
normal. Pemeriksaan saraf kranialis 1 sampai dengan saraf kranialis 12 kesan dalam batas normal.
Pada leher tampak massa pada leher dengan ukuran 3,5 cm kali 3,5 cm, jumlah 3 buah, tampak
mengering desertai ulkus multipel dengan tepi tidak rata disertai jaringan nekrotik dan plak seperti
tampak pada gambar 1. Pada auskultasi paru terdengar suara nafas vesikular, tidak ada ronki atau
mengi. Pada dada, tampak iga gambang, auskultasi jantung terdengar bunyi jantung I dan II yang
normal tanpa adanya bising jantung dan irama derap. Abdomen tampak distensi, teraba massa
keras, berbatas tegas, ukuran 15 kali 15 cm di regio suprapubik disertai nyeri bila ditekan. Nyeri
tekan di tempat lain, nyeri alih serta fenomena papan catur tidak ditemukan. Tidak terdapat
pembesaran hati maupun limpa. Keempat ekstremitas teraba hangat dengan perfusi perifer kurang
dari 3 detik. Pada pemeriksaan neurologis, motorik ekstrimitas atas didapatkan 5555/5555
sedangkan ekstrimitas bawah 1111/1111, reflek fisiologis meningkat, reflek patologis negatif,
klonus negatif. Sensibilitas setinggi lumbalis 1 sampai 2. Pada pemeriksaan status mental,
kesadaran kompos mentis, penampilan remaja laki-laki sesuai usia dengan perawatan diri kurang.
Sikap kooperatif, tidak banyak bicara dan tertutup. Afek hipotimik, mood kesan disforik, proses,
isi pikir dan persepsi normal, reality test ability (RTA) tidak terganggu serta pengendalian impuls
baik.

3
Gambar 1. Status lokalis pada pasien saat pemeriksaan di IGD RSCM

Hasil pemeriksaan laboratorium di IGD RSCM menunjukkan kadar hemoglobin 10,5 g/dL,
hematokrit 30,6%, leukosit 16.030 /uL dengan neutrofil segmenter 87.7%, trombosit 571.000 /uL,
GDS 134 mg/dL, ureum 175,4 mg/dL dan kreatinin 3,4 mg/dL. Analisis gas darah (AGD)
menunjukkan pH 7,43; pCO2 28,9; pO2 148,9; base excess (BE) -3,2; HCO3 19.4 mmol/L. Kadar
elektrolit natrium sebesar 126 mEq/L, kalium 6,6 mEq/L, dan klorida 94 mEq/L. Pemeriksaan
urinalisis pasien menunjukkan hematuria dengan jumlah eritrosit lebih dari 50 pg/dL dan
albuminuria positif 2. Pemeriksaan skrining HIV negatif. Uji Mantoux positif dengan indurasi 12
mm.

Gambar 2. Pencitraan toraks proyeksi AP dan USG abdomen pada pasien saat awal perawatan

4
Pemeriksaan pencitraan toraks menunjukkan infiltrat retikulonuduler di lapangan atas paru
dan parakardial bilateral diagnosis banding TB paru dan pneumonia, serta destruksi korpus dan
pedikel bilateral vertebra torakalis 4, 10 dan 11 diagnosis banding spondilitis TB dan tersangka
proses metastasis. Pemeriksaan ultrasonografi (USG) abdomen menunjukkan overdistensi vesika
urinaria hingga regio abdomen atas, tersangka neurogenic bladder serta gambaran hidronefrosis
bilateral derajat II dan hidroureter proksimal bilateral.
Pasien didiagnosis dengan spondilitis TB dengan fraktur kompresi vertebra torakalis, TB
paru, sklofuroderma regio colli, neurogenic bladder, acute kidney injury (AKI) stadium failure,
hidronefrosis bilateral grade II dan gizi buruk marasmik. Tata laksana yang diberikan adalah
imobilisasi dengan pemasangan thoracolumbosacral orthosis (TLSO), pemasangan katater urin
untuk mengatasi retensi urin, pemberian obat anti tuberkulosis (OAT) dengan kombinasi dosis
tetap (KDT)/fixed dose combination (FDC) dosis dewasa fase intensif 1x3 tablet, metilprednisolon
1 mg/kgBB/hari, analgetik parasetamol 3x500 mg per oral, kalsium polistren sulfonat (Kalitake®)
3x5 gram untuk mengatasi hiperkalemia, natrium bikarbonat 3x2 tablet untuk mengatasi asidosis
metabolik, serta hidrasi dengan KA-EN 1B dengan total cairan rumatan untuk mengatasi AKI.
Pemeriksaan lanjutan yang akan dilakukan selanjutnya adalah evaluasi diagnostik TB
dengan pemeriksaan bakteriologis yaitu basil tahan asam (BTA) dari sputum dan urin, gene expert
serta uji Mantoux, serta magnetic resonance imaging (MRI) vertebra torakolumbal dengan kontras
untuk melihat tingkat keparahan fraktur. Selain itu direncanakan USG ginjal dan saluran kemih
untuk evaluasi hematuria. Uji Mantoux positif dengan indurasi 12 mm.

Gambar 3. Hasil MRI torakolumbal dan CT scan otak dengan kontras pada pasien

5
Perkembangan penyakit pasien selama perawatan dapat terlihat pada tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Perkembangan penyakit pasien selama perawatan


Keterangan Masalah Evaluasi dan hasil pemeriksaan
Perawatan Hematuria masif USG ginjal dan saluran kemih:
hari kedua batu saluran kemih, dilakukan konsultasi Departemen Urologi,
direncanakan computed tomography (CT) urografi bila hematuria
belum perbaikan.
Perawatan Pembengkakkan Pencitraan pedis kiri:
hari ke-9 disertai luka osteomielitis dan abses pada metatarsal satu disertai emfisema
pada punggung subkutis.
kaki kiri Biopsi kulit: sesuai sklofuroderma
Biakan pus: Pseudomonas aeruginosa
Diberikan antibiotik ampisilin sulbaktam dosis infeksi berat 2 gram
tiap 6 jam intravena.
Perawatan Kehilangan Konsultasi Departemen Psikiatri:
hari ke-12 semangat dalam sesuai gangguan penyesuaian dengan afek depresi.
menjalani Setralin 1x12,5 mg didampingi oleh Psikiatri Anak dan Remaja
pengobatan dan
rehabilitasi
Perawatan Evaluasi MRI vertebra: (Gambar 3)
hari ke-19 spondilitis TB destruksi dan fusi korpus vertebra torakalis 3 sampai 4 dan vertebra
dan manifestasi torakalis 10 dan 11 dengan spondilolitesis di vertebra torakalis 10
TB pada otak derajat sedang yang menyebabkan deformitas, kifosis dan kompresi
medula spinalis berat di level tersebut serta ditemukan formasi
abses di regio paravertebral antero-lateral vertebra torakalis 2
sampai 5 dan vertebra torakalis 9 sampai 12 sesuai spondilitis TB.
CT scan otak dengan kontras: (Gambar 3)
multipel lesi isodens bentuk bulat kecil di nukleus lentiformis
kanan, kapsula interna kanan, serebelum sisi kanan sesuai
tuberkuloma, serta limfadenopati multipel di level II kanan dengan
komponen nekrotik di dalamnya sesuai limfadenitis TB.
Perawatan Ulkus Konsultasi Departemen Bedah Plastik:
hari ke-24 dekubitum pada kesan pressure injury grade III regio sakrum dan plantar pedis
regio sakrum sinitra medial.
Dilakukan rawat luka dengan hydrogel sheet tiap 3 hari dan saran
penggunaan kasur dekubitus untuk mencegah terjadinya ulkus
dekubitus dengan kemungkinan imobilisasi lama.

Pasien dikonsulkan ke Departemen Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi untuk melakukan


fisioterapi selama perawatan dan persiapan rehabilitasi pasca operasi serta perawatan di rumah.
Dilakukan rehabilitasi dengan weight shifting metode log roll tiap 2 jam, positioning 0-30-45

6
derajat fleksi bed recline, mobilisasi di tempat tidur dengan brace Kight Taylor serta latihan pasif
kedua ekstrimitas bawah. Pada perawatan hari ke 38, dilakukan tindakan posterior debrideman,
dekompresi dengan laminektomi pada vertebra torakalis 8 dan 9, serta stabilisasi posterior vertebra
torakalis 8 dan 9 serta vertebra torakalis 12 hingga vertebra lumbalis 1. Selain itu, dilakukan
debridemen dan sekuesterektomi pada tulang metatarsalis kiri untuk mengatasi osteomielitis.
Pasien kemudian menjalani perawatan pasca operasi di Pediatric Intensive Care Unit (PICU) dan
diperbolehkan rawat jalan setelah selesai pemulihan pasca operasi dengan melanjutkan OAT dan
direncanakan operasi tahap dua yaitu posterior debridemen, dekompresi, serta stabilisasi posterior
vertebra torakalis 2, 3 sampai dengan 5 serta koreksi deformitas pada perawatan selanjutnya.

Analisis Kasus
Pasien datang dengan keluhan perut membesar, kedua kaki tidak bisa digerakkan, terasa baal bila
disentuh serta tidak dapat mengeluarkan urin secara spontan. 6 bulan sebelum masuk rumah sakit,
terdapat benjolan berjumlah tiga buah pada leher berukuran 3,5x3,5 cm. Benjolan tersebut pecah
dan mengeluarkan cairan pus berwarna putih kekuningan. Keluhan disertai demam naik turun
sejak dua bulan sebelum masuk rumah sakit, namun suhu tidak pernah diukur. Pasien tampak
bungkuk, terasa nyeri bila menggerakkan badan atau berpindah posisi, mengalami penurunan berat
badan signifikan dalam dua bulan terakhir serta tidak dapat berjalan dalam beberapa minggu
setelahnya. Pada pemeriksaan fisis, terdapat defisit neurologis berupa paraparesis inferior, tampak
deformitas kesan kifosis pada tulang belakang serta adanya benjolan pada leher dengan ukuran 3,5
cm kali 3,5 cm, jumlah 3 buah, desertai ulkus multipel dengan tepi tidak rata disertai jaringan
nekrotik dan plak. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis, diagnosis kerja spondilitis TB,
neurogenic bladder, serta sklofuroderma sudah dapat difikirkan. Dalam perjalanan penyakitnya,
berdasarkan hasil evaluasi diagnostik didapatkan pasien juga mengalami TB paru, TB otak,
osteomielitis dan abses sehingga disimpulkan bahwa pasien mengalami tuberkulosis diseminata.
TB diseminata adalah suatu infeksi TB pada dua atau lebih tempat yang lazim menular
(noncontiguous sites) akibat penyebaran Mycobacterium tuberculosis secara diseminata melalui
limfohematogen. TB diseminata terjadi sebagai akibat dari infeksi primer TB yang progresif,
reaktivasi fokus TB laten yang menyebar luas serta iatrogenik meskipun jarang terjadi.8,9 Pada
pasien terdapat manifestasi TB paru yang diduga sebagai fokus primer, dengan penyebaran
menjadi spondilitis TB, TB otak, limfadenitis TB dan sklofuroderma atau TB kulit namun pada

7
pasien tidak jelas mainfestasi TB mana yang muncul lebih dulu. Hal ini sesuai dengan teori bahwa
pasien biasanya datang dengan manifestasi klinis yang tidak spesifik dan sangat bervariasi,
sehingga tidak jarang diagnosis dan tata laksana menjadi terlambat.9
Penyebaran M. tuberculosis terjadi akibat infeksi TB primer yang progresif atau reaktivasi
fokus TB laten dengan penyebaran limfohematogenus, namun patogenesis belum sepenuhnya
dipahami. Salah satu hipotesis yang banyak dipercaya adalah akibat erosi lapisan epitel sel
alveolus pada TB paru dan menyebar melalui vena pulmonalis ke jantung, masuk ke sirkulasi
sistemik dan menyebar ke seluruh tubuh. Kuman TB kemudian memperbanyak diri, membentuk
fokus primer di organ ekstrapulmonal dan menyebar ke sirkulasi sistemik membentuk TB
diseminata. Selain itu, melalui sistem limfatik, basil M. tuberculosis masuk kembali ke sirkuasi
vena sistemik dan kembali ke pulmonal dan menyebabkan TM milier. Patogenesis TB diseminata
erat kaitannya dengan perjalanan alamiah sesuai lini waktu Wallgreen pada TB anak (Gambar 4).

Gambar 4. Perjalanan alamiah TB anak menurut Wallgreen9

8
Diagnosis TB diseminata dapat ditegakkan bila ditemukan:5,8
1. Isolat Mycobacterium tuberculosis dari darah, sumsum tulang, spesimen biopsi hati, atau 2 atau
lebih organ yang tidak lazim menular (noncontiguous organ) atau
2. Isolat Mycobacterium tuberculosis dari satu organ dan atau secara histologi menggambarkan
adanya granulomatus kaseosa dari sumsum tulang belakang, biopsi hati, atau organ yang tidak
lazim menular (noncontiguous organ) atau
3. Isolat Mycobacterium tuberculosis dari satu organ dan temuan lesi milier pada pencitraan
toraks.
Pada pasien ini, didapatkan gambaran biopsi sesuai sklofuroderma dengan granuloma
epiteloid sel radang limfosit dan sel plasma, gambaran tuberkuloma pada serebelum serta hasil
PCR M. tuberculosis positif, maka diagnosis TB diseminata sudah dapat ditegakkan. Faktor resiko
yang sering dikaitkan dengan TB diseminata adalah infeksi human immunodeficiency virus (HIV)
dan penggunaan obat imunosupresan. Menurut Krishnan dkk.10 ada beberapa faktor yang
mempengaruhi penyebaran M. TB seperti respon imunitas didapat dan imunitas adaptif. Pada
pasien ini, malnutrisi, usia remaja, tempat tinggal padat penduduk, tingkat kebersihan lingkungan
yang buruk serta tingkat pendidikan yang rendah sangat memungkinkan memperparah terjadinya
TB diseminata.11
Pasien datang dengan dominasi gejala dan tanda spondilitis TB, sklofuroderma dan
neurogenic bladder yang cukup jelas. Sesuai teori, gejala pertama yang muncul pada spondilitis
TB adalah benjolan yang disertai nyeri yang terlokalisir pada daerah tulang belakang yang
terinfeksi seperti regio torakal yang merupakan daerah paling sering terinfeksi disertai defisit
neurologis, baik sensorik maupun motorik, adanya gibus disertai deformitas tulang belakang
seperti pada pasien ini.1 Hal ini sejalan dengan hasil penelitian oleh Ismiarto dkk.12 bahwa
manifestasi klinis spondilitis TB yang paling sering ditemukan adalah defisit neurologis sensorik
dan motorik sebesar 47%, diikuti dengan nyeri tulang belakang sebesar 38,5% serta deformitas
baik kifosis maupun gibus sebesar 14,1%.13–17 Manifestasi klinis spondilitis TB berkembang
secara progresif dengan lambat sehingga tidak jarang terjadi keterlambatan diagnosis dan tata
laksana yang berakibat timbulnya gejala dan komplikasi yang berat seperti deformitas tulang
belakang dan defisit neurologis seperti pada yang terjadi pada pasien ini.11,18–20 Pada pasien
ditemukan neurogenic bladder sebagai komplikasi spondilitis TB yang disebabkan oleh

9
terputusnya pusat pengaturan miksi (pontine micturition center) dari spinal cord yang
mengakibatkan relaksasi detrusor dan sfingter sehingga menyebabkan retensi urin.21
Selama perawatan, pasien mengalami osteomyelitis dengan hasil kultur tumbuh kuman
Pseudomonas aeruginosa. Organisme penyebab dibedakan bersadarkan usia pasien seperti tampak
pada tabel 2.

Tabel 2. Penyebab osteomyelitis tersering pada anak berdasarkan usia22


Kelompok usia Etiologi bakteri paling sering
Staphylococcus aureus (MSSA dan MRSA)
Kurang dari 3 bulan Group B streptococcus (Streptococcus agalactiae)
Gram negative bacilli
S. aureus (MSSA dan MRSA)
Group A Streptococcus (Streptococcus pyogenes)
3 bulan sampai anak Streptococcus pneumoniae
Kingella kingae
Hib
S. aureus (MSSA dan MRSA)
Anak besar dan remaja Group A Streptococcus (S. pyogenes)
S. pneumoniae

Hasil biopsi kulit pada pasien sesuai dengan sklofuroderma yang menandakan pasien
mengalami TB kulit. Sklofuroderma biasanya diawali dengan pembesaran kelenjar getah bening
atau limfadenitis TB tanpa disertai tanda-tanda peradangan, awalnya hanya menyerang sebuah
kelenjar kemudian beberapa kelenjar serta terjadi perlunakan atau abses dingin yang kemudian
pecah dan membentuk fistel yang lama-kelamaan meluas serta membentuk ulkus berwarna merah
kebiruan yang memanjang dan tidak teratur serta memiliki dinding bergaung yang bila ulkus
mengering akan membentuk krusta kekuningan.23–25 Pasien dilakukan pemeriksaan uji Mantoux
dengan hasil terdapat indurasi 12 mm, namun uji Mantoux dan interferon-gamma release assay
(IGRA) tidak rutin dilakukan pada TB ekstrapulmonal karena tidak dapat membedakan infeksi TB
atau sakit TB dengan sensitifitas dan spesifisitas yang rendah 1,20,26
Pemeriksaan penunjang pada pasien ini menunjukkan gambaran khas TB dan spondilitis
TB. Meskipun begitu, penyempitan diskus dan destruksi tulang vertebra hanya dapat
diindentifikasi bila progresifitas penyakit bertambah hingga menyebabkan kifosis saat onset lanjut.
Pencitraan toraks berguna untuk mengidentifikasi adanya lesi infeksi TB paru aktif karena menurut
data, pada 60-70% kasus spondilitis TB terdapat lesi TB aktif pada paru, seperti yang terjadi pada
pasien ini.6,7 Modalitas lain adalah MRI yang dapat menilai keterlibatan saraf dan level kerusakan

10
yang terjadi serta menggambarkan keterlibatan vertebra, destruksi diskus intervertebralis, abses
dingin, kolaps vertebra dan deformitas tulang belakang.1
Tata laksana pada pasien meliputi tata laksana medikamentosa dan tata laksana non
medikamentosa. Tata laksana medikamentosa meliputi, pemberian OAT untuk TB diseminata,
pemberian steroid, antibiotik untuk spondilitis, antidepresan, antinyeri, dan tata laksana gizi buruk.
Untuk tata laksana non medika mentosa meliputi psikoedukasi pasien dan keluarga, imobilisasi
dengan menggunakan back slap dan korset, bladder training serta fisioterapi. Selain itu, dilakukan
tata laksana bedah berupa debrideman dan stabilisasi posterior pada tulang belakang.

Tabel 3. OAT dosis dewasa27


Berat badan (kg) Fase intensif (2 bulan) RHZE Fase lanjutan (4 bulan) RH
<38 2 tablet 2 tablet
38-54 3 tablet 3 tablet
55-70 4 tablet 4 tablet
>=71 5 tablet 5 tablet

Untuk tata laksana medikamentosa, pasien mendapatkan OAT fase intensif dosis dewasa
menggunakan kombinasi dosis tetap (KDT) dengan dosis sesuai anjuran yang dapat dilihat pada
tabel 3. Pasien mendapatkan OAT KDT dewasa fase intensif dengan dosis 1x3 tablet karena berat
badan melebihi 30 kg yang diberikan selama 2 bulan, dan dilanjutkan dengan fase lanjutan selama
10 bulan. Pasien juga mendapatkan steroid bersamaan dengan OAT sejak awal pengobatan.
Menurut teori, penggunaan steroid pada pasien TB masih kontroversial. Pemberian steroid berguna
untuk mengatasi respon inflamasi akibat kerusakan jaringan sebagai respon inflamasi terhadap
Mycobacterium. Namun, penggunaan steroid akan beresiko meningkatkan infeksi lain.28
Osteomielitis pada pasien ditangani dengan pemberian antibiotik ampisilin sulbaktam dosis infeksi
berat. Pasien juga mendapatkan terapi anti depresi karena terdapat gangguan penyesuaian afek
depresi selama perawatan. Selain itu, intervensi nutrisi juga dilakukan berupa pemberian F75 pada
awal pengobatan dan suplementasi sesuai tata laksana gizi buruk.
Tata laksana non medikamentosa sudah dimulai sejak pertama kali pasien terdiagnosis,
yaitu berupa pendampingan dan psikoedukasi dari dokter, perawat dan care giver untuk
menumbuhkan semangat dan movitasi pada pasien dan keluarga. Selain itu, imobilisasi dengan
pemasangan back slap dan korset juga dilakukan di awal untuk mencegah kerusakan vertebra lebih
lanjut. Pada fase penyembuhan, braket sangat berguna untuk meminimalisasi progresifitas kifosis
selama fase aktif penyakit.

11
Tabel 4. Panduan OAT dan lama pengobatan27
Kategori diagnostik Fase intensif Fase lanjutan
TB klinis
TB kelenjar 2RHZ 4RH
Efusi pleura TB
TB terkonfirmasi bakteriologis
TB paru dengan kerusakan luas
2RHZE 4RH
TB ekstraparu (selain TB meningitis dan TB
tulang/sendi)
TB tulang/sendi
TB milier 2RHZE 10 RH
TB meningitis

Tata laksana pembedahan yang dilakukan adalah posterior debridemen, dekompresi


dengan laminektomi pada vertebra torakalis 8 dan 9, serta stabilisasi posterior vertebra torakalis 8
dan 9 serta vertebra torakalis 12 hingga vertebra lumbalis 1. Selain itu, dilakukan debridemen dan
sekuesterektomi pada tulang metatarsalis kiri untuk mengatasi osteomielitis. Tindakan
pembedahan pada fase aktif ditujukan untuk debrideman lesi dan untuk menilai instabilitas tulang
belakang dan defisit neurologis sedangkan pada fase penyembuhan dilakukan untuk koreksi
deformitas yang progresif, defisit neurologis onset lambat, nyeri yang tidak tertangani, dan
instabilitas tulang belakang.16 Pada pasien, tindakan dilakukan pada fase penyembuhan sehingga
tujuannya adalah untuk koreksi deformitas yang progresif serta stabilisasi posterior.

Gambar 5. Foto vertebra AP/lateral pasien pasca stabilisasi posterior tahap pertama

12
Prognosis spondilitis TB bervariasi tergantung dari manifestasi klinik yang terjadi.
Prognosis yang buruk berhubungan dengan TB diseminata terutama dengan manifestasi TB milier
dan meningitis TB, dimana dapat terjadi sekuele antara lain tuli, buta, paraplegia permanen dan
retardasi mental di masa depan dengan angka mortalitas yang tertinggi pada anak dengan usia
kurang dari 5 tahun. Prognosis bertambah baik bila pengobatan lebih cepat dilakukan.1
Secara umum, tata laksana spondilitis TB pada pasien dengan TB diseminata ini cukup
kompleks dan memerlukan keterlibatan multidisiplin karena membutuhkan tata laksana dan
pemantauan jangka panjang.

Summary
A sixteen years old boy came to the emergency room with chief complain abdominal distension,
severely back pain, paraplegia and parestesis of the lower extremity as well as retension of urine
with a history of sclofuroderma months before. Further examination found severe vertebral
thoracalis deformity followed by gibbus formation. Moreover, brain CT scan with contrast found
tuberculoma in the brain in which disseminated tuberculosis was confirmed. Following days he
got osteomyelitis in the first left metatarsal with Pseudomonas aeruginosa. He also lost his spirit
and got depression because of the pain, long awaited diagnostic and treatment plan as well as the
physiotheraphy and rehabilitations. He was treated with antituberculosis drugs, antibiotics,
steroid as well as antidepressant, nutritional intervention and physiotheraphy. Surgical
management with posterior debridemant, decompression with laminectomy for management of
spondilitis TB as well as sequesterectomy in the left metatarsal was performed. He was discharged
for rehabilitation and further surgical management in the future.

13
Daftar Pustaka

1. Paramarta IGE, Purniti PS, Subanada IB, Astawa P. Spondilitis tuberkulosis. Sari Pediatr.
2016;10:177.
2. Glaziou P, Floyd K, Raviglione MC. Global epidemiology of tuberculosis. Semin Respir Crit
Care Med. 2018;39:271–85.
3. Tsukamoto Y, Kiyasu J, Tsuda M, Ikeda M, Shiratsuchi M, Ogawa Y, dkk. Fatal disseminated
tuberculosis during treatment with ruxolitinib plus prednisolone in a patient with primary
myelofibrosis: A case report and review of the literature. Intern Med. 2018;57:1297–300.
4. Abebe G, Zegeye Bonsa WK. Treatment outcomes and associated factors in tuberculosis
patients at Jimma University Medical Center: A 5‑year retrospective study gemeda. Int J
Mycobacteriology. 2017;6:239–45.
5. Wang JY, Hsueh PR, Wang SK, Jan IS, Lee LN, Liaw YS, dkk. Disseminated tuberculosis:
A 10-year experience in a medical center. Medicine. 2007;86:39–46.
6. Dhammi I, Singh S, Jain A. Hemiplegic/monoplegic presentation of cervical spine (C1-C2)
tuberculosis. Eur Spine J. 2001;10:540–4.
7. Jain AK. Treatment of tuberculosis of the spine with neurologic complications. Clin Orthop
Relat Res. 2002;398:75–84.
8. Khan FY. Review of literature on disseminated tuberculosis with emphasis on the focused
diagnostic group. J Fam Community Med. 2019;2:83–91.
9. Khan F, Dosa K, Fuad A, Ibrahim W, Alaini A, Osman L. Disseminated tuberculosis among
adult patients admitted to Hamad General Hospital, Qatar: A five year hospital based study.
Mycobact Dis. 2016;6:212-5.
10. Krishnan N, Robertson BD, Thwaites G. The mechanisms and consequences of the extra-
pulmonary dissemination of Mycobacterium tuberculosis. Tuberculosis. 2010;90:361–6.
11. Garg RK, Somvanshi DS. Spinal tuberculosis: A review. J Spinal Cord Med. 2011;34:440–
54.
12. Ismiarto AF, Tiksnadi B, Soenggono A. Young to middle-aged adults and low education: Risk
factors of spondylitis tuberculosis with neurological deficit and deformity at Dr. Hasan
Sadikin General Hospital. Althea Med J. 2018;5:69–76.
13. Rajasekaran S. Buckling collapse of the spine in childhood spinal tuberculosis. Clin Orthop
Relat Res. 2007;460:86–92.

14
14. Rajasekaran S. The problem of deformity in spinal tuberculosis. Clin Orthop Relat Res.
2002;398:85–92.
15. Rajasekaran S. The natural history of post-tubercular kyphosis in children. Radiological signs
which predict late increase in deformity. J Bone Joint Surg Br. 2001;83:954–62.
16. Jain AK, Rajasekaran S, Jaggi KR, Myneedu VP. Tuberculosis of the spine. J Bone Jt Surg
Am. 2020;102:617–28.
17. Pandita A, Madhuripan N, Pandita S, Hurtado RM. Challenges and controversies in the
treatment of spinal tuberculosis. J Clin Tuberc Other Mycobact Dis. 2020;19:1001-51.
18. Jain AK. Tuberculosis of the spine: A fresh look at an old disease. J Bone Jt Surg.
2010;92:905–13.
19. Colmenero JD, Jiménez-Mejías ME, Reguera JM, Palomino-Nicás J, Ruiz-Mesa JD,
Márquez-Rivas J, dkk. Tuberculous vertebral osteomyelitis in the new millenniuim: Still a
diagnostic and therapeutic challenge. Eur J Clin Microbiol Infect Dis. 2004;23:477–83.
20. Lacerda C, Linhas R, Duarte R. Tuberculous spondylitis: A report of different clinical
scenarios and literature update. Case Rep Med. 2017;2:201-5.
21. Kalita J, Misra UK, Kumar G, Kapoor R. Bladder dysfunction in spinal tuberculosis: Clinical,
urodynamic and MRI study. Spinal Cord. 2010;48:697–703.
22. Howard-Jones AR, Isaacs D. Systematic review of duration and choice of systemic antibiotic
therapy for acute haematogenous bacterial osteomyelitis in children. J Paediatr Child Health.
2013;49:760–8.
23. Ganesan A, Kumar G. Scrofuloderma: A rare cutaneous manifestation of tuberculosis. J Indian
Acad Oral Med Radiol. 2017;29:223.
24. Soeroso NN, Harina EG, Yosi A. A very rare case of scrofuloderma with multiple cervical
lymphadenitis tuberculosis. Respir Med Case Reports. 2019;27:1008-13.
25. Muzeyyen G, Ulker G, Arzu K, Secil S, Murat D, Ayhan K. Coexistence of tuberculosis
verrucosa cutis with scrofuloderma. Turkish J Med Sci. 2008;38:495–9.
26. Weng CY, Chi CY, Shih PJ, Ho CM, Lin PC, Chou CH, dkk. Spinal tuberculosis in non-HIV-
infected patients: 10 year experience of a medical center in central taiwan. J Microbiol
Immunol Infect. 2010;43:464–9.
27. Rahajoe NN, Nawas A, Setyanto DB, Kaswandani N, Triasih R, Indawati W, dkk. Buku
petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB anak. Kementerian Kesehatan Republik

15
Indonesia 2016 h 112-4.
28. Singh SK, Tiwari KK. Use of corticosteroids in tuberculosis. J Assoc Chest Physicians.
2017;5:70–5.

16

Anda mungkin juga menyukai