Anda di halaman 1dari 7

Bab 1-1

Gemuruh angin topan menghantam atap-atap rumah tanpa ampun. Genting-genting itu
tersingkap, luruh dan membelah diri menjadi pecahan-pecahan tak beraturan. Suara seperti
cekikikan yang mengerikan merangsek masuk ke telinga, tajam dan menulikan. Disambut
oleh teriakan-teriakan penuh kesakitan, derap-derap kaki yang tergesa, ratapan-ratapan penuh
lara, dan lengkingan toa yang mengaung di penjuru desa.

Pohon-pohon bergoyang dan beberapa tersungkur. Sesuatu yang ringan mengudara dengan
bebas, kemudian menabrak apa saja yang menghalanginya.

“Haruskah aku meninggalkan kampung ini, atau bertahan?”

###

Di saat jam pelajaran telah usai, sekolah cukup sepi menjadi tempat yang nyaman untuk
berlatih di lapangan. Di saat terik yang menyengat membakar kulit, Santi berteduh di teras
kelas pura-pura sakit perut. UKS bukan tempat yang cocok dengan perawat yang kerap
menghantarkan segudang pertanyaan.

Santi sangat menikmati, satu dua gerakan yang tak pernah luput dari pengamatannya. Elang
begitu lincah saat melambaikan bendera semaphore, kedua tangannya membentuk kode
salam, pesan, dan penutup. Kadang teman-temannya sering bercanda dengan isi pesan,
ngawur dan sembarangan. Pernah terjadi pertengkaran yang cukup rumit di antara seniornya
dulu, hanya karna isi pesan yang secara tidak sengaja menyinggung. Kode tidak menjadi hal
yang rahasia lagi saat semua sama-sama tahu.

Pekan lalu dirinya bertugas menerangkan peta pita. Lambang sungai, tegalan, jalan setapak,
pohon, masjid, dia menjelaskan satu demi satu dengan saksama. Menurutnya, seorang
penjelajah wajib tau arah, jika tidak mau terus menerus berputar pada tempat yang sama dan
mendapati jalan buntu.
Pertama kali bertanya harusnya pada diri sendiri, apakah benar-benar tidak tau atau benar-
benar tidak mau tau. Santi sering mendapati temannya bertanya, tetapi kemudian dijawab
sendiri atau temannya yang lain mengeluh padahal belum benar-benar mencoba semua
alternatif dengan peluang sekecil apapun. Tingkah laku temannya tak pernah membuat dia
terusik, kecuali saat mengambil hati atau utang budi.

“Baik, itu tadi sekilas penjelasan dan praktik pemakaian semaphore. Kalian bisa mencobanya
di rumah dengan melihat kode di selebaran yang sudah dibagikan. Apa ada pertanyaan?”
Suara Elang begitu tegas dan ngebass.

Seorang peserta yang memakai kacamata bulat bingkai hitam bertanya, “Kak, mengapa
warna bendera semaphore merah dan kuning? Kok tidak biru atau hitam?”

Elang hanya tersenyum, kemudian memberi ruang bagi peserta didik yang lain untuk
menjawab.

“Kau ini, bertanya itu yang mutu sedikit. Begitu saja tidak tahu.” Bukannya menjawab,
peserta dengan kumis tipis di bawah hidungnya itu justru memantik keributan.

“Kak, saya tau jawabannya!” Peserta dengan hasduk yang agak berantakan di atas
kerudungnya itu mencoba menarik perhatian.

“Ya, silakan.”

“Warna bendera semaphore begitu, karna Claude Chappe sebagai penemu mungkin
menyukai warna itu, Kak!” jelas gadis itu dengan percaya diri.
Sontak, gelak tawa 45 anak itu pecah. Elang masih diam saja membiarkan mereka menguasai
keadaan. Di saat anak-anak ricuh, Santi perlahan bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah
utara. Seorang temannya baru saja memberi potongan kertas yang berisi sebuah pesan. Di
sana tertulis bahwa dirinya diajak bertemu di samping rumah tukang jahit belakang sekolah.
Seingat Santi, dia tidak punya daftar nama siapa pun yang kemungkinan mengajak bertemu di
tengah kegiatan sekolah. Tidak mungkin orang tuanya, mereka sibuk bekerja. Kata temannya,
orang itu mengaku sebagai paman Santi, tetapi semua saudara ayahnya ada di luar kota dan
ibunya anak tunggal. Di saat alam berpikirnya sibuk bertanya, kakinya berbelok ke kamar
mandi untuk buang hajat dan mencuci muka. Dia perlu mempersiapkan diri.

Sementara itu, anak-anak mulai kondusif kembali. Beberapa informasi mengenai sejarah
ditemukannya semaphore tertulis di selebaran itu, tetapi hanya sekilas tentang penemunya
dan kegunaan semaphore sebagai alat komunikasi militer di Prancis pada tahun 1792. Elang
kemudian menjelaskan, “Awalnya semaphore ini hanya diwujudkan oleh dua lengan yang
membentuk kode-kode yang mengandung arti abjad. Bendera ini kemudian ditambahkan
untuk memperjelas bentukan lengan.” Elang memperagakan diri dengan bendera semaphore
terbentang di kedua lengannya. “Lalu, mengapa warna ini yang digunakan? Ada dua jenis
warna yang dipakai oleh kemiliteran Prancis. Kuning dan merah untuk lokasi laut karena
warna itu sangat kontras dan mencolok. Sedangkan untuk daratan mereka menggunakan
warna putih dan biru.”

“Kita di daratan, mengapa menggunakan warna untuk lokasi air?” Si Kacamata Bulat Bingkai
Hitam itu kembali mengajukan pertanyaan.

###

Angin berembus sepoi-sepoi, kadang pula cukup kencang khas musim kemarau. Anak angin
tampak jelas berputar-putar di jalanan membuat mata kelilipan. Pukul dua siang ini, para
penjual di pasar desa Tropodo mulai mengemasi barang-barang mereka.
“Akhir-akhir ini banyak angin ribut dari utara ya, Mbak. Dengar-dengar tahun ini, tahun
sial.” Ibu penjual pakaian dengan anak yang berusia sekitar satu setengah tahun
digendongannya itu memulai pembicaraan.

“Sial bagaimana, Mbak?” Sedangkan Ibu penjual makanan ringan itu sibuk penasaran.

“Itu lo, katanya tahun ini tahun wabah. Orang-orang akan banyak yang hilang,” jawab Ibu
penjual pakaian dengan kekhawatiran.

“Maksudnya?” Jawaban sependek itu tak membuat puas Ibu penjual makanan ringan yang
haus informasi.

“Saya tidak berani membicarakannya, Mbak. Membayangkannya saja sudah bergidik, amit-
amit jangan sampe keluarga saya ada yang kena,” pungkas Ibu penjual pakaian dengan
ketakutan, sepertinya dia agak menyesal telah membahas isu mengerikan itu.

Tidak semua orang tahu mengenai kisah itu, hanya mereka yang mendengar dari orang tua
atau kakek nenek. Cerita itu tidak banyak diperdengarkan, lantaran orang-orang takut.
Beberapa orang menceritakannya dengan analogi-analogi yang menyimpan makna ambigu.
Tidak ada yang berani bercerita dengan gamblang dan jelas, semua hanya berupa gambaran-
gambaran abstrak.

Ibu penjual makanan ringan itu, sejak kecil sudah bertanya-tanya mengenai kisah ini. Dirinya
tidak menyangka, jika masanya kejatuhan jawaban dari rasa penasaran yang lama terpendam.
Kaki-kakinya berjalan mengarah parkir kemudian pulang.

###
“Santi, kau mau ke mana?”

Bab 2

SMA Islamiyah Swasta Desa Tropodo, selalu melaksanakan upacara di hari Rabu, hari
pertama masuk setelah libur Selasa kemarin. Yayasan ini banyak menyimpang dari aturan
yang ditetapkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), mulai dari
hari libur hingga kegiatan belajar mengajar dan cakupan mata pelajaran.

Meski belum tampak si pemilik kaki, derapnya jauh terdengar oleh gadis dengan selendang
yang melingkar antara bahu hingga pinggang, terpampang jelas tulisan “Petugas Keamanan”
yang kini tengah diemban. Dari ritme gedebuk yang dihasilkan, gadis yang tengah memasang
wajah garang dengan alis tertaut itu sudah bisa menebak.

Satu menit. Seandainya pemilik kaki yang bergerak lincah itu datang satu menit lebih awal,
mungkin gerbang yang dijaga oleh gadis petugas keamanan masih menyisakan celah,
setidaknya untuk tubuh ramping itu.

“Lagi-lagi kau begini, Ar.” Antara marah dan kasihan, antara sarkas dan prihatin, mendapati
teman satu kelas melanggar peraturan memang cukup menyulitkan. Dada Arum masih naik
turun, mencoba menyeimbangkan pernapasan. Keringat-keringat di dalam kulitnya
menendang-nendang ingin keluar dari pori-pori. Arum menggeleng-gelengkan kepala dan
memejam-mejamkan mata serta menaik-menaikkan alisnya untuk menghalau pusing.

Setelah merasa organ tubuhnya normal kembali, Arum hanya melayangkan cengengesan tak
berdosa pada temannya itu. “Tidak kau bangunkan, sih,” candanya mencoba melempar
kesalahan.
“Seandainya rumah kita berdampingan, sudah kurobohkan dinding kamarkau,” selorohnya.

Arum hanya menaikkan alisnya sekilas. Kini tatapannya mengarah pada aliran air di bawah
jembatan, gerbang itu berada di timurnya. Sejujurnya, Arum merasa jengah dengan dirinya
yang seperti itu, tetapi alam berpikirnya terlalu sibuk untuk memikirkan penggal demi
penggal catatan dari buku-buku yang dibaca.

Menurutnya, daripada sibuk menyesali keterlambatan atau segala kesalahan yang dilakukan,
mengapa tidak mencoba membuat keunggulan di bidang lain? Daripada sibuk menyesali
kekurangan diri, mengapa energi itu tidak disalurkan untuk membuat kelebihan diri lebih
bersinar? Tidak ada yang tidak tahu jika Arum cukup lihai di bidang akademik, dua tahun
terakhir ini dia selalu menjuarai kelas unggulan teratas. Baginya, hal-hal seperti rapi dan
disiplin adalah hal yang sangat sulit untuk ditaklukan.

“Ar, sebelum berangkat tadi, apa kau tidak bercermin?” Setelah hening beberapa saat, gadis
petugas keamanan itu kembali menanyai Arum.

“Apa ada sisa pasta gigi di sekitar bibirku?” Apalagi kalau bukan busa pasta gigi, seingat
Arum di waktu sesempit itu dia tidak punya sedikitpun untuk sekadar memoleskan bedak
atau hal-hal lain yang bisa dipakai di wajahnya. Arum semakin bingung dengan gelengan
kepala temannya. Perlahan, temannya itu mendekati Arum, sorot matanya menuju ke bawah,
bukan ke wajahnya.

“Ini, kau lupa mengancingkan bajumu!” Sontak, bola mata Arum membulat tak ubahnya
bulan purnama membayangkan bajunya berkibar bak bendera di tiang ketika dia bersepeda
dan lari tadi.

“Gila.”
###

Elang mengikuti kaki-kaki panjang itu, melangkah mendahuluinya dengan mandat tak
tertolak. Buku-buku dalam gendongan Elang, tertumpuk tinggi melebihi tiang bendera.
Tumpukan itu berjerit-jerit ketakutan akan pena merah mengerikan Pak Andre. Meski
terkenal baik, guru ahli waris itu selalu disiplin dan mematikan bila bersinggungan dengan
tugas anak-anak.

Anda mungkin juga menyukai