Anda di halaman 1dari 3

Refleksi Teori dengan Materi Presentasi

1. Nama Kelompok 10 : Ajeng Ayu Lestari

Archamul Chasibin

Arina Taufiyah

2. Tema materi presentasi : Politik lokal untuk pembangunan daerah


3. Daerah fokus kajian : Surabaya
4. Kasus yang ditelaah : Pilkada Surabaya 2020

1. Refkleksi teoritis

Dalam materi politik lokal untuk pembangunan daerah, juga dibahas di bagian sub
materi tentang manfaat dan madharat pilkada dalam kehidupan sehari-hari. Pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau biasa disebut dengan Pilkada adalah
merupakan sebuah aksi demokratis berupa rakyat daerah administratif memilih secara
langsung calon kepala daerah dan calon wakil daerah untuk memimpin pemerintahan
selama lima tahun kedepan. Pasangan calon kepala daerah diusung atau diusulkan oleh
suatu partai politik, gabungan partai politik atau perseorangan. Pilkada berhubungan
dengan teori modal yang dicetuskan oleh Piere Bourdie. Dalam pandangannya, Bourdie
membagi modal ke dalam empat jenis yaitu: pertama, modal ekonomi yang terdiri dari alat-
alat produksi, materi dan uang. Kedua, modal budaya atau sosial yang dapat diperoleh
seseorang melalui pendidikan yang ia tempuh dan juga keluarga. Ketiga, modal sosial atau
jaringan yang dimiliki oleh individu dan keempat adalah modal simbolik yaitu segala
sesuatu berupa otoritas dan legitimasi yang dimiliki seseorang.

Modal dapat dikatakan sebagai salah satu bekal bagi kandidat atau Calon legislatif
untuk memenangkan suatu pentas politik. Pasangan kandidat yang memiliki modal yang
lebih besar dari kandidat lainnya, juga akan memiliki peluang lebih besar untuk menang
dalam kontestasi pilkada. Modal sosial sangat membantu untuk membuka peluang dan
kesempatan kontestan politik menang di pentas politik. Berbagai kinerja politik dilakukan
oleh masyarakat lokal untuk mendukung kegiatan-kegiatan politik seperti memobilisasi
suara pemilih, demonstrasi serta membangun wacana tentang kandidat tersebut. Dapat
diambil kesimpulan bahwa modal sosial yang dimiliki oleh kandidat memiliki implikasi
yang begitu kuat bagi kemenangan calon kepala daerah.
Para elite ekonomi daerah yang ingin menguasai kekuasaan daerah biasanya tidak
langsung terjun untuk turut serta merebutkan kekuasaan melalui Pilkada. Elite ekonomi
cukup menajdi pengawas dan orang menjalankan di belakang layar dengan cara memodali
para elite politik untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Dengan begitu, para elite
ekonomi dapat dengan mudah menguasai kekuasaan daerah melalui elite politik yang telah
memodali. Jika elite politik yang ia modali terpilih menjadi kepala daerah, maka elite
politik wajib memenuhi tuntutan elite ekonomi yaitu ketika ada proyek atau tender
pemerintahan, maka elite politik memberikan tender tersebut kepada elite ekonomi yang
telah memodalinya.

Pilkada juga sangat terkait dengan teori dramaturgi. Teori dramaturgi adalah suatu
kerangka untuk membaca tindakan manusia yang dilakukan di atas panggung untuk
menanamkan nilai atau mendapatkan pengaruh dari individu lain. Teori dramaturgi
berhubungan dengan modal simbolik yang dimiliki oleh calon Kepala Daerah. Para politisi
harus memainkan peran di atas panggung dengan sangat baik untuk menarik perhatian atau
mempengaruhi masyarkat untuk memilihnya, maka ia dituntut memiliki modal simbolik
berupa ilmu pengetahuan, kemampuan menyampaikan pendapat, berorasi di hadapan
massa dan sebagainya. Elite-elite politik berperan menjadi kaum yang memiliki tingkat
pengetahuan yang tinggi, kemampuan orasi yang baik, idealis dan sebagainya. Semua
kemmapuan ditunjukkan untuk merebut hati dan perhatian masyarakat.

2. Refleksi empiris

Setiap apapun memiliki dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif.
Pilkada memberikan akses seluas-luasnya kepada masyarakat untuk memberikan pilihan
terhadap Paslon (Pasangan calon) yang mereka anggap mampu untuk melaksanakan
mandat pemerintahan selanjutnya. Dengan begitu Pilkada dapat membuka peluang
tampilnya calon yang sesuai dengan harapan rakyat di daerah. Kepala daerah yang terpilih
mendapat legitimasi dari masyarakat karena didukung oleh rakyat yang memberikan
suaranya secara langsung. Sistem demokrasi berlaku secara efektif dan efisien dalam
kehidupan masyarakat.

Dampak negatif yang negatif dari pilkada adalah rawan timbulnya konflik
horizontal di kalangan masyarakat, sebagai contoh terjadinya konflik tahun 2007 di
Sulawesi Selatan dikarenakan Mahkamah Agung (MA) mewajibkan adanya pemilu ulang
dengan alasan Pilkada yang dilakukan tidak dengan adil dan jujur. Anggaran
penyelenggaraan Pilkada membutuhkan biaya yang cukup besar menyebabkan pengeluaran
daerah keluar banyak hanya untuk menyelenggarakan Pilkada. Pemilihan Kepala Daerah
mendorong terjadinya politik uang atau money politic dan menguntungkan elite politik
yang menduduki mayoritas kursi.

3. Refleksi persepektif Islam

Islam tidak mengenal pemilihan Kepala Daerah secara atau langsung yang biasa
disebut sebagai Pilkada. Pada zaman Nabi Muhammad SAW sistem pergantian
kepemimpinan dilakukan dengan cara musyawarah dengan tokoh-tokoh agama dan
pemimpin sebelumnya untuk menentukan orang yang tepat untuk meneruskan estafet
kepemimpinan pemerintahan Islam. Saat zaman sahabat berkuasa setelah wafatnya Nabi
Muhammad SAW sistem yang digunakan saat pergantian kepemimpinan pemerintahan
adalah dengan penunjukan secara langsung oleh pemimpin sebelumnya yang dianggap
mampu menjalankan mandat pemerintahan secara baik dan amanah. Bukan berarti Pilkada
yang saat ini dijalankan sebagai suatu cara untuk pergantian pemimpin bertentangan
dengan ajaran Islam. Islam tidak memberikan batasan untuk umatnya memilih metode atau
cara tertentu untuk memilih wakil pemimpinnya karena Islam tidak ingin mempersulit
umatnya dalam hal ini. Rakyat dapat memilih cara apapun yang mereka anggap sesuai
dengan kebutuhan tetapi dengan catatan metode tersebut tidak bertentangan dengan syariat
Islam.

Anda mungkin juga menyukai