Anda di halaman 1dari 2

Ketentuan SIH untuk industri batik berpedoman pada 

Peraturan Menteri Perindustrian


Nomor 39 Tahun 2019 tentang Standar Industri Hijau untuk Industri
Batik (“Permenperin 39/2019”).

Persyaratan teknis yang dimaksud meliputi:


a. bahan baku;
b. zat warna dan bahan penolong lainnya;
c. energi;
d. air;
e. proses produksi;
f. produk;
g. kemasan;
h. limbah; dan
i. emisi gas rumah kaca.

Jakarta, indomaritim.id – Kementerian Perindustrian berkomitmen untuk


mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan melalui penguatan konsep
circular economy sebagai sumber efisiensi dan nilai tambah sektor industri.
Hal ini sebagai upaya penerapan Peraturan Presiden Nomor 18 tahun 2020
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun
2020-2024, yang mengarahkan kebijakan peningkatan nilai tambah ekonomi.

“Dalam upaya penggunaan sumber daya berkelanjutan dan pencapaian


pembangunan berkelanjutan, Kemenperin mengembangkan konsep circular
economy dalam bentuk kebijakan Industri Hijau untuk mempertahankan nilai
produk agar dapat digunakan berulang tanpa menghasilkan sampah melalui
kegiatan recycle, reuse, atau remanufacture,” kata Kepala Badan Penelitian
dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin, Doddy Rahadi di Jakarta,
Rabu (30/9/2020).

Menurut Kepala BPPI, konsep circular economy bukan hal yang baru bagi
Indonesia, karena sejak enam tahun lalu melalui penerbitan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2014, Kemenperin telah menetapkan salah satu tujuan untuk
mewujudkan industri yang mandiri, berdaya saing, dan maju, serta menuju
industri hijau.

“Sebuah perusahaan industri bisa dikatakan sebagai industri hijau jika dalam
proses produksinya telah mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas
penggunaan sumber daya secara berkelanjutan sehingga mampu
menyelaraskan pembangunan Industri dengan kelestarian fungsi lingkungan
hidup serta dapat memberikan manfaat bagi masyarakat,” jelasnya.

Sebagai bentuk pengakuan pemerintah terhadap industri yang telah


memenuhi Standar Industri Hijau (SIH), perusahaan akan diberikan Sertifkat
Industri Hijau yang diberikan oleh Lembaga Sertifikasi Industri Hijau (LSIH).
SIH yang ditetapkan oleh Menteri Perindustrian berisikan kriteria terkait upaya
efisiensi dan efektivitas sumber daya.
Misalnya, tentang pengaturan batasan rasio penggunaan bahan baku,
konsumsi peggunaan energi panas dan listrik, konsumsi penggunaan air,
mendorong kegiatan reduce, reuse, dan recycle. Kemudian, mendorong
penggunaan energi terbarukan, serta mengatur batasan tingkat
kesempurnaan kinerja peralatan produksi melalui penghitungan Overall
Equipment Effectiveness (OEE).

“Untuk mendukung perluasan penerapan industri hijau di tanah air, saat ini
Kemenperin sedang menyusun mekanisme fasilitasi insentif untuk industri
hijau. Fasilitasi tersebut merupakan amanat dari Peraturan Pemerintah No. 29
Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Industri, yang menyebutkan bahwa
pemerintah dapat memberikan fasilitas baik berupa fiskal maupun non-fiskal,”
paparnya.

Dalam penyusunan insentif fiskal industri hijau, lanjut Doddy, pihaknya telah
memetakan jenis insentif yang telah dimanfaatkan oleh industri hingga saat
ini. “Sekarang sedang berjalan penyusunan mengenai Benefit Cost Analysis
(BCA) dan kelayakan dari pemberian insentif fiskal industri hijau yang
diharapkan menghasilkan justifikasi yang kuat untuk pemberian insentif
industri hijau kepada industri yang telah mendapatkan sertifikat industri hijau,”
imbuhnya.

Salah satu jenis fasilitasi yang telah diberikan pemerintah adalah fasilitasi
pembiayaan proses sertifikasi industri hijau. Sejak tahun 2017-2019,
sebanyak 31 perusahaan industri telah mendapatkan fasilitas tersebut.

“Tahun ini kami akan melanjutkan program fasilitasi pembiayaan tersebut


untuk 15 perusahaan, dan akan kembali dianggarkan untuk tahun 2021. Hal
tersebut merupakan bukti komitmen kami untuk mendukung perusahaan
industri menerapkan industri hijau,” pungkasnya.

Anda mungkin juga menyukai