Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Orang dengan skizofrenia dapat melihat dunia dengan cara yang berbeda dari
orang di sekitar mereka. Mereka bisa mendengar, melihat, menghidu, merasakan
hal yang tidak dialami oleh orang lain (halusinasi), misalnya mendengar suara
(yang cenderung menjadi halusinasi yang paling umum). Mereka mungkin
memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan dalam hal yang tidak benar (delusi),
misalnya bahwa orang membaca pikiran mereka, mengendalikan pikiran mereka
atau berencana menyakiti mereka. Ketika dunia mereka kadang-kadang tampak
menyimpang akibat halusinasi dan delusi, orang dengan skizofrenia dapat merasa
takut, cemas dan bingung. Mereka bisa menjadi begitu kacau sehingga mereka
dapat merasa takut sendiri dan juga dapat membuat orang di sekitar mereka takut.1
Skizofrenia terjadi sama pada pria dan perempuan, meskipun biasanya
muncul lebih awal pada pria. Usia puncak onset adalah 20-28 tahun untuk laki-
laki dan 26-32 tahun untuk perempuan. Onset pada masa kanak-kanak jauh lebih
jarang, dibanding pada dewasa atau usia tua. Prevalensi skizofrenia seumur hidup,
proporsi individu diperkirakan akan mengalami penyakit tersebut pada setiap saat
dalam kehidupan mereka, umumnya diberikan pada 1%. Namun, tinjauan
sistematis studi 2002 banyak ditemukan prevalensi seumur hidup pada angka
0,55%. Meskipun kebijaksanaan menerima bahwa skizofrenia terjadi pada tingkat
yang sama di seluruh dunia, tetapi prevalensinya bervariasi di seluruh dunia,
dalam masing-masing negara, dan pada tingkat lokal dan lingkungan. Salah satu
penelitian telah menemukan hubungan antara yang hidup di lingkungan perkotaan
dengan diagnosis skizofrenia. Skizofrenia dikenal menjadi penyebab utama
kecacatan. Dalam sebuah penelitian pada tahun 1999, dari 14 negara, psikosis
aktif menduduki peringkat ketiga kondisi paling menonaktifkan setelah
quadriplegia dan demensia.2
Sejumlah obat baru untuk skizofrenia dengan efikasi yang lebih luas untuk
berbagai gejala skizofrenia dan dapat memperbaiki kemampuan berfungsi pasien

1
telah tersedia sejak 20 tahun terakhir atau lebih. Obat antipsikotik baru ini dikenal
sebagai antipsikotik atipikal, antipsikotik novel atau antipsikotik generasi kedua.
Obat ini tampaknya memiliki lingkup efek yang lebih luas untuk gejala
skizofrenia. Obat ini efektif untuk mengobati gejala positif, seperti halusinasi dan
delusi, dan juga dapat membantu dalam mengobati gejala negatif seperti
berkurangnya motivasi atau emosi datar. Obat baru juga tersedia dalam bentuk
tablet, cairan dan suntikan jangka pendek dan jangka panjang (tergantung masing-
masing obat).1

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
SKIZOFRENIA

A. Definisi
Skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab
(banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis
atau “deteriorating”) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada
perimbangan pengaruh genetic, fisik, dan sosial budaya.
Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan
karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar
(inappropriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang jernih (clear
consciousness) dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara,
walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.3

B. Epidemiologi Skizofrenia
Sekitar satu persen penduduk dunia akan mengidap skizofrenia pada suatu
waktu dalam hidupnya. Di Indonesia diperkirakan satu sampai dua persen
penduduk atau sekitar dua sampai empat juta jiwa akan terkena penyakit ini.
Bahkan sekitar sepertiga dari sekitar satu sampai dua juta yang akan
terjangkit penyakit skizofrenia ini atau sekitar 700 ribu hingga 1,4 juta jiwa
kini sedang mengidap skizofrenia. Perkiraan angka ini disampaikan Dr. LS
Chandra, SpKJ dari Sanatorium Dharmawangsa Jakarta Selatan.
Tiga per empat dari jumlah pasien skizofrenia umumnya dimulai pada
usia 16 sampai 25 tahun pada laki-laki. Pada kaum perempuan, skizofrenia
biasanya mulai diidap pada usia 25 hingga 30 tahun. Penyakit yang satu ini
cenderung menyebar di antara anggota keluarga sedarah.4
Studi epidemiologi menyebutkan bahwa perkiraan angka prevalensi
skizofrenia secara umum berkisar antara 0,2%-2,0%. Di Indonesia angka
prevalensi skizofrenia yang tercatat di Depkes berdasarkan survey di rumah
sakit (1983), antara 0,5%-0,15%, dengan perkiraan bahwa 90% dari penderita

3
skizofrenia mengalami halusinasi pada saat mereka sakit. Empat besar kasus
penderita yakni klien dengan paranoid sebanyak 359 orang, skizofrenia 290
orang, depresi 286 orang dan gangguan psikologis akut 269 orang. Penderita
lainnya mengalami neurosa, epilepsi, gangguan afektif, parafrenia, retardasi
mental, sindrom ketergantungan obat dan lainnya.5

C. Etiologi Skizofrenia
1. Pengaruh Genetik
Kemungkinan bahwa skizofrenia merupakan kondisi kompleks
warisan, dengan beberapa gen mungkin berinteraksi untuk menghasilkan
resiko skizofrenia terpisah atau komponen yang dapat terjadi mengarah
diagnosa. Gen ini akan muncul untuk nonspesifik dimana mereka dapat
menimbulkan resiko gila lainnya. Seperti kekacauan gangguan bipolar.
Duplikasi dari urutan DNA dalam gen (dikenal sebagai menyalin nomor
varian) memungkinkan terjadi peningkatan resiko skizofrenia.
Sekelompok peneliti internasional mengidentifikasi tiga variasi baik
dari DNA yang diperkirakan meningkatkan penyakit skizofrenia, serta
beberapa gen lain yang mempunyai kaitan kuat dengan penyakit ini. David
St. Clair seorang psikiater di University of Aberdeen di Scotlandia
mengatakan, penemuan ini seperti awal dari jaman baru. Begitu peneliti
memahami mekanisme kerja dari proses mutasi, maka obat dan
pendekatan baru dapat dikembangkan.
Dalam penelitian,peneliti menganalisa gen dari 6.000-10.000 orang
dari seluruh dunia yang separuhnya menderita skizofrenia. Mereka
menemukan 1 mutasi pada kromosom 1,dua pada kromosom 15 dan
menetapkan suatu jenis gen yang terkait dengan kondisi skizofrenia pada
kromosom 22. Perubahan ini dapat meningkatkan resiko berkembangnya
skizofrenia hingga 15 kali lipat.

2. Faktor Biologis

4
a. Hipotesis Dopamin
Gejala skizofrenia merupakan hasil dari peningkatan aktifitas
dopamine pada system limbic (gejala positif) dan penurunan aktifitas
dopamine (gejala negatif). Patologi dopamine ini bisa karena
abnormalitas jumlah reseptor atau sensitifitasnya, atau abnormalitas
pelepasan dopamine (terlalu banyak atau terlalu sedikit).

b. Hipotesis Norepinefrin
Peningkatan level norepinefrin pada skizofrenia menyebabkan
peningkatan sensitisasi masukan sensorik.

c. Hipotesis GABA
Penurunan aktifitas GABA menyebabkan peningkatan aktifitas
dopamine.

d. Hipotesis Serotonin
Metabolisme serotonin tampaknya tidak normal pada beberapa
pasien skizofrenia, dengan dilaporkannya hiperserotoninemia ataupun
hiposerotoninemia. Secara spesifik, antagonis dari reseptor serotonin 5-
HT2 ditegaskan memiliki peran penting dalam mengurangi gejala
psikotik dan dalam melawan perkembangan dari gangguan gerak yang
berhubungan dengan antagonis D2.

e. Halusinogen
Diperkirakan beberapa endogenous amines bertindak sebagai
substrat untuk abnormalitas methylation, yang dihasilkan dalam
endogenous hallucinogens. Hipotesis ini tidak didukung oleh data yang
akurat.

f. Hipotesis Glutamat

5
Penurunan fungsi dari glutamat reseptor N-methyl-D-aspartate
(NMDA) diteorikan dalam menyebabkan gejala positif ataupun negatif
dari skizofrenia.
g. Teori Neurodevelopmental dan Neurodegeneratif
Angka kejadian untuk abnormalitas migrasi neuronal terjadi selama
trimester ke dua dari perkembangan janin. Teori dari abnormalitas
fungsi neuron pada orang dewasa merujuk kepada gejala-gejala
emergency. Reseptor glutamat yang memediasi kematian sel mungkin
terjadi. Semua ini dapat menjelaskan kematian sel tanpa gliosis yang
terlihat pada skizofrenia, dan perjalanan progresif penyakit ini pada
beberapa pasien.

3. Faktor Psikososial
Skizofrenia ditinjau dari factor psikososial sangat dipengaruhi oleh
faktor keluarga dan stressor psikososial. Pasien yang keluarganya
memiliki emosi ekspresi (EE) yang tinggi memiliki angka relaps lebih
tinggi daripada pasien yang berasal dari keluarga berkspresi yang rendah.
EE didefinisikan sebagai perilaku yang intrusive, terlihat berlebihan,
kejam dan kritis. Disamping itu, stress psikologik dan lingkungan paling
mungkin mencetuskan dekompensasi psikotik yang lebih terkontrol. Di
Negara industri sejumlah pasien skizofrenia berada dalam kelompok sosio
ekonomi rendah. Pengamatan tersebut telah dijelaskan oleh hipotesis
pergeseran ke bawah (Downward drift hypothesis), yang menyatakan
bahwa orang yang terkena bergeser ke kelompok sosioekonomi rendah
karena penyakitnya. Suatu penjelasan alternative adalah hipotesis akibat
sosial,yang menyatakan stress yang dialami oleh anggota kelompok
sosioekonomi rendah berperan dalam perkembangan skizofrenia.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa penyebab sosial dari
skizofenia di setiap kultur berbeda tergantung dari bagaim ana penyakit
mental diterima di dalam kultur, sifat peranan pasien, tersedianya
sistem pendukung sosial dan keluarga, dan kompleksitas komunikasi

6
sosial.

4. Teori Infeksi
Angka kejadian dari penyebab virus meliputi perubahan
neuropatologi karena infeksi: gliosis, glial scaring, dan antivirus antibody
dalam CSF serum pada beberapa pasien skizofrenia.

D. Gejala Skizofrenia
Seperti halnya berbagai macam penyakit, skizofrenia pun memiliki
gejala-gejala awal. Berikut ini adalah beberapa indikator premorbid (pra-
sakit) pre-skizofrenia:
 Ketidakmampuan seseorang mengekspresikan emosi: wajah dingin, jarang
tersenyum, acuh tak acuh.
 Penyimpangan komunikasi: pasien sulit melakukan pembicaraan terarah,
kadang menyimpang (tanjential) atau berputar-putar (sirkumstantial).
 Gangguan atensi: penderita tidak mampu memfokuskan, mempertahankan,
atau memindahkan atensi.
 Gangguan perilaku: menjadi pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial,
tidak bisa menikmati rasa senang, menantang tanpa alasan jelas,
mengganggu dan tak disiplin.
Pada umumnya gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi dua kelompok
berikut:
1. Gejala-gejala Positif
Gejala-gejala ini disebut positif karena merupakan manifestasi jelas
yang dapat diamati oleh orang lain. Yang termasuk dalam gejala ini antara
lain adalah halusinasi, delusi, gangguan pemikiran (kognitif).
2. Gejala-gejala Negatif
Gejala-gejala ini disebut negatif karena merupakan kehilangan dari
ciri khas atau fungsi normal seseorang. Yang termasuk dalam gejala-gejala
ini antara lain adalah kurang atau tidak mampu menampakkan/
mengekspresikan emosi pada wajah dan perilaku, kurangnya dorongan

7
untuk beraktivitas, tidak dapat menikmati kegiatan-kegiatan yang
disenangi dan kurangnya kemampuan bicara (alogia).
Meski bayi dan anak-anak kecil dapat menderita Skizofrenia atau
penyakit psikotik yang lainnya, keberadaan Skizofrenia pada kelompok ini
sangat sulit dibedakan dengan gangguan kejiwaan seperti autisme, sindrom
Asperger atau ADHD atau gangguan perilaku dan gangguan Post
Traumatic Stress Dissorder. Oleh sebab itu diagnosa penyakit psikotik atau
Skizofrenia pada anak-anak kecil harus dilakukan dengan sangat berhati-
hati oleh psikiater atau psikolog yang bersangkutan.
Pada remaja perlu diperhatikan kepribadian pra-sakit yang merupakan
faktor predisposisi skizofrenia, yaitu:
 Gangguan kepribadian paranoid atau kecurigaan berlebihan,
menganggap semua orang sebagai musuh.
 Gangguan kepribadian skizoid yaitu emosi dingin, kurang mampu
bersikap hangat dan ramah pada orang lain serta selalu menyendiri.
 Gangguan skizotipal yaitu perilaku atau tampilan diri aneh dan ganjil,
afek sempit, percaya hal-hal aneh, pikiran magis yang berpengaruh
pada perilakunya, persepsi pancaindra yang tidak biasa, pikiran
obsesif tak terkendali, pikiran yang samar-samar, penuh kiasan, sangat
rinci dan ruwet atau stereotipik yang termanifestasi dalam
pembicaraan yang aneh dan inkoheren.
Tidak semua orang yang memiliki indikator premorbid pasti berkembang
menjadi skizofrenia. Banyak faktor lain yang berperan untuk munculnya
gejala skizofrenia, misalnya tekanan (stresor) lingkungan dan faktor genetik
ataupun penggunaan yang salah pada beberapa jenis obat-obatan terlarang.

Gambaran Klinis

8
Perjalanan penyakit skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 (tiga) fase berikut
ini:
a. Fase Prodromal
Pada fase ini biasanya timbul gejala-gejala non spesifik yang
lamanya bisa minggu, bulan ataupun lebih dari satu tahun sebelum onset
psikotik menjadi jelas. Gejala pada fase ini meliputi: hendaya fungsi
pekerjaan, fungsi sosial, fungsi penggunaan waktu luang dan fungsi
perawatan diri. Perubahan-perubahan ini akan mengganggu individu serta
membuat resah keluarga dan teman, mereka akan mengatakan “orang ini
tidak seperti yang dulu”. Semakin lama fase prodromal semakin buruk
prognosisnya.
b. Fase Aktif
Pada fase ini, gejala positif/psikotik menjadi jelas seperti tingkah laku
katatonik, inkoherensi, waham, halusinasi disertai gangguan afek. Hampir
semua individu datang berobat pada fase ini. Bila tidak mendapat
pengobatan, gejala-gejala tersebut dapat hilang secara spontan tetapi suatu
saat mengalami eksaserbasi (terus bertahan dan tidak dapat disembuhkan).
Fase aktif akan diikuti oleh fase residual.
c. Fase Residual
Fase ini memiliki gejala-gejala yang sama dengan Fase Prodromal
tetapi gejala positif/psikotiknya sudah berkurang. Di samping gejala-gejala
yang terjadi pada ketiga fase di atas, penderita skizofrenia juga mengalami
gangguan kognitif berupa gangguan berbicara spontan, mengurutkan
peristiwa, kewaspadaan dan eksekutif (atensi, konsentrasi, hubungan
sosial).

E. Diagnosis Skizofrenia

9
1. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas dan biasanya
dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang jelas :
(a) - “Thought echo” : isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan,
walaupun isinya sama, namun kulitasnya berbeda; atau
- “Thought insertion or withdrawal”: isi pikiran yang asingdari luar
masuk kedalam pikirannya (insertion)atau isi pikirannya diambil keluar
oleh sesuatu dari luar (withdrawal); dan
- “Thought broadcasting”: isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang
lain atau umum mengetahuinya;
(b) - “delusion of control” : waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau
- “delusion of influence”: waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau
- “delusion of passivity”: waham tentang dirinya tidak berdaya dan
pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang ‘dirinya”: secara jelas
merujuk ke pergerakan tubuh/anggota gerak atau ke pikiran, tindakan
atau penginderaan khusus);
- “delusional perception”: pengalaman inderawi yang tak wajar, yang
bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau
mukjizat;
(c) Halusinasi auditorik :
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
perilaku pasien, atau
- Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai
suara yang berbicara), atau
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
(d) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal
keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan
diatas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau

10
berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain).
2. Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara
jelas :
(e) Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik
oleh waham yang mengambang mauupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai ole hide-ide berlebihan
(over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama
berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus;
(f) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisispan
(interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak
relevan, atau neologisme;
(g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisis
tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme,
dan stupor;
(h) Gejala-gejala “negative” seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang,
dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan social dan menurunnya
kinerja social; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak
disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
3. Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
prodromal).
4. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadai
(personal behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak
bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self
absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.

Adapun kriteria diagnosis skizofrenia menurut DSM IV :

11
 Berlangsung minimal dalam enam bulan
 Penurunan fungsi yang cukup bermakna di bidang pekerjaan,
hubungan interpersonal, dan fungsi dalam mendukung diri sendiri
 Pernah mengalami psikotik aktif dalam bentuk yang khas selama
berlangsungnya sebagian dari periode tersebut
 Tidak ditemui dengan gejala-gejala yang sesuai dengan skizoafektif,
gangguan mood mayor, autisme, atau gangguan organik.

Perjalanan gangguan skizofrenik dapat diklasifikasikan


menggunakan kode lima karakter berikut:
F20.x0 Berkelanjutan
F20.x1 Episodik dengan kemunduran progresif
F20.x2 Episodik dengan kemunduran stabil
F20.x3 Episodik berulang
F20.x4 Remisi tak sempurna
F20.x5 Remisi sempurna
F20.x8 Lainnya
F20.x9 Periode pengamatan kurang dari satu tahun

F. Klasifikasi Skizofrenia
Skizofrenia Paranoid (F20.0)
Pasien skizofrenik paranoid tipikal adalah tegang, pencuriga, berhati-hati,
dan tak ramah. Mereka juga dapat bersifat bermusuhan atau agresif. Pasien
skizofrenik paranoid kadang-kadang dapat menempatkan diri mereka secara
adekuat didalam situasi social. Kecerdasan mereka tidak terpengaruhi oleh
kecenderungan psikosis mereka dan tetap intak.
Pedoman Diagnostik Berdasarkan Kriteria PPDGJ III :
 Memenuhi kriteria diagnostik skizofrenia
 Sebagai tambahan :
- Halusinasi dan atau waham harus menonjol :
(a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi

12
perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa
bunyi pluit, mendengung, atau bunyi tawa.
(b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual,
atau lain-lain perasaan tubuh halusinasi visual mungkin ada tetapi
jarang menonjol.
(c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham
dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of
influence), atau “Passivity” (delusion of passivity), dan keyakinan
dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang paling khas.
- Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala
katatonik secara relatif tidak nyata / menonjol.
Skizofrenia Hebefrenik (F20.1)
Skizofrenia hebefrenik atau disebut juga disorganised, permulaannya
perlahan-lahan dan sering timbul pada masa remaja atau antara 15–25 tahun.
Pada Skizofrenia Hebefrenik kita dapat melihat tanda dan gejala yang khas,
antara lain :
- Inkoherensi yaitu jalan pikiran yang kacau, tidak dapat dimengerti apa
maksudnya.
- Alam perasaan yang datar tanpa ekspresi serta tidak serasi atau.
- Perilaku dan tertawa kekenak-kanakan, senyum yang menunjukkan rasa
puas diri atau senyum yang hanya dihayati sendiri.
- Waham yang tidak jelas dan tidak sistematik tidak terorganisasi sebagai
suatu kesatuan.
- Halusinasi yang terpecah-pecah yang isi temanya tidak terorganisasi
sebagai satu kesatuan.
- Gangguan proses berfikir
- Perilaku aneh, misalnya menyeringai sendiri, menunjukkan gerakan-
gerakan aneh, berkelakar, pengucapan kalimat yang diulang-ulang dan
cenderung untuk menarik diri secara ekstrim dari hubungan sosial.

13
Beberapa tanda dan gejala yang paling sering ditemukan pada pasien-pasien
Skizofrenia Hebefrenik adalah,
 Waham
 Halusinasi
 Siar pikiran

Pedoman Diagnostik Berdasarkan Kriteria PPDGJ III :


 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.
 Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia
remaja atau dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun).
 Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas : pemalu dan senang
menyendiri (solitary), namun tidak harus demikian untuk menentukan
diagnosis.
 Untuk diagnosis hebefrenia yang menyakinkan umumnya diperlukan
pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan
bahwa gambaran yang khas berikut ini memang benar bertahan :
- Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta
mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary), dan
perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan;
- Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropriate), sering
disertai oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self-satisfied),
senyum sendirir (self-absorbed smiling), atau oleh sikap, tinggi hati (lofty
manner), tertawa menyeringai (grimaces), mannerisme, mengibuli secara
bersenda gurau (pranks), keluhan hipokondrial, dan ungkapan kata yang
diulang-ulang (reiterated phrases);
- Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu
(rambling) serta inkoheren.
 Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir
umumnya menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya
tidak menonjol (fleeting and fragmentary delusions and hallucinations).
Dorongan kehendak (drive) dan yang bertujuan (determination) hilang

14
serta sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku penderita memperlihatkan
ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan (aimless) dan tanpa maksud (empty
of purpose). Adanya suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-
buat terhadap agama, filsafat dan tema abstrak lainnya, makin
mempersukar orang memahami jalan pikiran pasien. Menurut DSM-IV TR
Skizofrenia disebut sebagai Skizofrenia tipe terdisorganisasi

Skizofrenia Katatonik (F20.2)


Skizofrenia katatonik atau disebut juga katatonia, timbulnya pertama kali
antara umur 15-30 tahun dan biasanya akut serta sering didahului oleh stres
emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah katatonik atau stupor katatonik.

Pedoman Diagnostik Berdasarkan Kriteria PPDGJ III :


 Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia.
 Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran
klinisnya :
(a) stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan
dalam gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak
berbicara):
(b) Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan,
yang tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal)
(c) Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan
mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh);
(d) Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap
semua perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakkan
kearah yang berlawanan);
(e) Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan
upaya menggerakkan dirinya);
(f) Fleksibilitas cerea / ”waxy flexibility” (mempertahankan anggota
gerak dan tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar); dan
(g) Gejala-gejala lain seperti “command automatism” (kepatuhan secara

15
otomatis terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta
kalimat-kalimat.
 Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari
gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai
diperoleh bukti yang memadai tentang adanya gejala-gejala lain.
Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan petunjuk
diagnostik untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat dicetuskan oleh
penyakit otak, gangguan metabolik, atau alkohol dan obat-obatan, serta
dapat juga terjadi pada gangguan afektif.

Skizofrenia Tak Terinci (F20.3)


Pedoman Diagnostik Berdasarkan Kriteria PPDGJ III :
 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
 Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid,
hebefrenik, atau katatonik.
 Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca
skizofrenia.

Depresi Pasca-skizofrenia (F20.4)


 Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau :
(a) Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria diagnosis
umum skizzofrenia) selama 12 bulan terakhir ini;
(b) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi
mendominasi gambaran klinisnya); dan
(c) Gejala-gejala depresif menonjol dan menganggu, memenuhi paling
sedikit kriteria untuk episode depresif, dan telah ada dalam kurun
waktu paling sedikit 2 minggu.
 Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis
menjadi episode depresif. Bila gejala skizofrenia diagnosis masih jelas dan
menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang
sesuai.

16
Skizofrenia Residual (F20.5)
Pedoman Diagnostik Berdasarkan Kriteria PPDGJ III :
 Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus
dipenuhi semua :
(a) Gejala “negative” dari skizofrenia yang menonjol misalnya perlambatan
psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan
ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan,
komunikasi non-verbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak
mata, modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial
yang buruk;
(b) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau
yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofenia;
(c) Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan
frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat
berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom “negative” dari
skizofrenia;
(d) Tidak terdapat dementia atau penyakit / gangguan otak organik lain,
depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas
negative tersebut.

Skizofrenia Simpleks (F20.6)


Pedoman Diagnostik Berdasarkan Kriteria PPDGJ III :
 Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena
tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan
progresif dari :
- gejala “negative” yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului
riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode
psikotik, dan
- disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang
bermakna, bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok,
tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara

17
sosial.
 Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe
skizofrenia lainnya.

Skizofrenia Lainnya (F20.8)


Skizofrenia YTT (F20.9)

G. Perjalanan Penyakit
Tanda awal dari skizofrenia adalah simtom-simtom pada masa premorbid.
Biasanya simtom ini muncul pada masa remaja dan kemudian diikuti dengan
berkembangnya simtom prodormal dalam kurun waktu beberapa hari sampai
beberapa bulan. Adanya perubahan social / lingkungan dapat memicu
munculnya simtom gangguan. Masa prodormal ini bisa langsung sampai
bertahun-tahun sebelum akhirnya muncul simtom psikotik yang terlihat.
Perjalanan penyakit skizofrenia yang umum adalah memburuk dan remisi.
Setelah sakit yang pertama kali, pasien mungkin dapat berfungsi normal
untuk waktu lama (remisi), keadaan ini diusahakan dapat terus dipertahankan.
Namun yang terjadi biasanya adalah pasien mengalami kekambuhan. Tiap
kekambuhan yang terjadi membuat pasien mengalami deteriorasi sehingga ia
tidak dapat kembali ke fungsi sebelum ia kambuh. Kadang, setelah episode
psikotik lewat, pasien menjadi depresi, dan ini bisa berlangsung seumur
hidup. Seiring dengan berjalannya waktu, simtom positif hilang, berkurang,
atau tetap ada, sedangkan simtom negative relative sulit hilang bahkan
bertambah parah.
Faktor-faktor resiko tinggi untuk berkembangnya skizofrenia adalah
Mempunyai anggota keluarga yang menderita skizofrenia, terutama jika salah
satu orang tuanya/saudara kembar monozygotnya menderita skizofrenia,
kesulitan pada waktu persalinan yang mungkin menyebabkan trauma pada
otak, terdapat penyimpangan dalam perkembangan kepribadian, yang terlihat
sebagai anak yang sangat pemalu, menarik diri, tidak mempunyai teman,
amat tidak patuh, atau sangat penurut, proses berpikir idiosinkratik, sensitive

18
dengan perpisahan, mempunyai orang tua denga sikap paranoid dan gangguan
berpikir normal, memiliki gerakan bola mata yang abnormal,
menyalahgunakan zat tertentu seperti amfetamin, kanabis, kokain,
Mempunyai riwayat epilepsi, memilki ketidakstabilan vasomotor, gangguan
pola tidur, control suhu tubuh yang jelek dan tonus otot yang jelek.

H. Penatalaksanaan Skizofrenia
1. Medikamentosa
Obat-obatan anti-psikotik meliputi dopamine reseptor antagonis dan
serotonin-dopamin antagonis, seperti risperidon (Risperdal) dan clozapine
(Clozaril).
1. Obat Pilihan
a. Dopamin reseptor antagonis (tipikal antipsikotik)
Efektif untuk mengobati gejala-gejala positif pada skizofrenia.
Dapat menimbulkan efek samping berupa gejala
ekstrapiramidal, terutama pada penggunaan haloperidol.
b. Serotonin-dopamin antagonis (atipikal antipsikotik)
Efektif untuk mengobati gejala-gejala negatif pada skizofrenia.
Memiliki efek samping gejala ekstrapiramidal yang minimal,
terutama clozapine.
2. Dosis
Untuk gejala psikotik akut, pemberian obat diberikan selama 4-
6 minggu, atau lebih pada kasus yang kronis. Dosis untuk terapi
tipikal adalah 4-6 minggu risperidone 2-8 mg/hari, 10-20 mg dan
Haloperidol 5-20 mg/hari.
3. Maintenance
Skizofrenia merupakan penyakit kronis, dan pemberian terapi
jangka panjang sangat dibutuhkan terutama untuk mencegah
kekambuhan. Apabila keadaan pasien sudah stabil selama 1 tahun,
maka dosis pemberian obat dapat diturunkan secara perlahan, sekitar
10-20% per bulan. Selama penurunan dosis, pasien dan keluarga
pasien diberikan edukasi agar melaporkan bisa terjadi kekambuhan,

19
termasuk insomnia, kecemasan, withdrawal, dan kebiasaan yang
aneh.
4. Obat lainnya
Apabila pengobatan standart dengan antipsikotik tidak berhasil,
beberapa obat lainnya telah dilaporkan dapat meningkatan
keefektifan pengobatan. Penambahan lithium dapat meningkatkan
keefektifan pengobatan pada sebagian besar pasien. propanolol
(Inderal), benzodiazepine, asam valproat (Depakene) atau divalproex
(Depakote), dan carbamazepine (Tegretol) telah dilaporkan dapat
meningkatkan keefektifan pengobatan pada beberapa kasus.

2. Terapi Elektrokonvulsif
Terapi Elektrokonvulsif disingkat ECT juga dikenal sebagai terapi
elektroshock. ECT telah menjadi pokok perdebatan dan keprihatinan
masyarakat karena beberapa alasan. Di masa lalu ECT ini digunakan di
berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai gangguan jiwa, termasuk
schizophrenia. Namun terapi ini tidak membuahkan hasil yang
bermanfaat. Sebelum prosedur ECT yang lebih manusiawi
dikembangkan, ECT merupakan pengalaman yang sangat menakutkan
pasien. Pasien seringkali tidak bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan
ke tubuhnya dan mengakibatkan ketidaksadaran sementara, serta
seringkali menderita kerancuan pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu.
Adakalanya, intensitas kekejangan otot yang menyertai serangan otak
mengakibatkan berbagai cacat fisik.
Namun, sekarang ECT sudah tidak begitu menyakitkan. Pasien
diberi obat bius ringan dan kemudian disuntik dengan penenang otot.
Aliran listrik yang sangat lemah dialirkan ke otak melalui kedua
pelipisatau pada pelipis yang mengandung belahan otak yang tidak
dominan. Hanya aliran ringan yang dibutuhkan untuk menghasilkan
serangan otak yang diberikan, karena serangan itu sendiri yang bersifat
terapis, bukan aliran listriknya. Penenang otot mencegah terjadinya

20
kekejangan otot tubuh dan kemungkinan luka. Pasien bangun beberapa
menit dan tidak ingat apa-apa tentang pengobatan yang dilakukan.
Kerancuan pikiran dan hilang ingatan tidak terjadi, terutama bila aliran
listrik hanya diberikan kepada belahan otak yang tidak dominan
(nondominan hemisphere).
Indikasi pemberian terapi ini adalah pasien skizofrenia katatonik
dan bagi pasien karena alasan tertentu karena tidak dapat menggunakan
antipsikotik atau tidak adanya perbaikan setelah pemberian antipsikotik.
Kontra indikasi Elektrokonvulsif terapi adalah Dekompensasio kordis,
aneurisma aorta, penyakit tulang dengan bahaya fraktur tetapi dengan
pemberian obat pelemas otot pada pasien dengan keadaan diatas boleh
dilakukan. Kontra indikasi mutlak adalah tumor otak.
3. Psikoterapi
Gejala-gejala gangguan schizophrenia yang kronik telah membuat
situasi pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ)
menjadi monoton dan menjemukan. Para psikiater dan petugas kesehatan
terkondisi untuk menangani schizophrenia dengan obat saja selain terapi
kejang listrik (ECT). Psikoterapi suportif, terapi kelompok, maupun terapi
perilaku hampir tidak pernah dilakukan, karena dianggap tidak akan
banyak manfaatnya. Wawancara tatap muka yang rutin dengan pasien
jarang dilakukan.
Psikoterapi adalah perawatan dan penyembuhan gangguan jiwa
dengan cara psikologis. Beberapa pakar psikoterapi beranggapan bahwa
perubahan perilaku tergantung pada pemahaman individu atas motif dan
konflik yang tidak disadari.
1) Terapi Psikoanalisa
Terapi Psikoanalisa adalah metode terapi berdasarkan konsep Freud.
Tujuan psikoanalisis adalah menyadarkan individu akan konflik yang
tidak disadarinya dan mekanisme pertahanan yang digunakannya
untuk mengendalikan kecemasannya. Hal yang paling penting pada
terapi ini adalah untuk mengatasi hal-hal yang direpress oleh

21
penderita. Metode terapi ini dilakukan pada saat penderita
schizophrenia sedang tidak “kambuh”. Macam terapi psikoanalisa
yang dapat dilakukan, adalah Asosiasi Bebas. Pada teknik terapi ini,
penderita didorong untuk membebaskan pikiran dan perasaan dan
mengucapkan apa saja yang ada dalam pikirannya tanpa penyuntingan
atau penyensoran. Pada teknik ini, penderita disupport untuk bisa
berada dalam kondisi relaks baik fisik maupun mental dengan cara
tidur di sofa. Ketika penderita dinyatakan sudah berada dalam keadaan
relaks, maka pasien harus mengungkapkan hal yang dipikirkan pada
saat itu secara verbal.
Pada saat penderita tidur di sofa dan disuruh menyebutkan segala
macam pikiran dan perasaan yang ada di benaknya dan penderita
mengalami blocking, maka hal itu merupakan manifestasi dari
keadaan over-repressi. Hal yang direpress biasanya berupa dorongan
vital seperti sexual dan agresi. Repressi terhadap dorongan agresi
menyangkut figur otorotas yang selalu diwakili oleh father dan mother
figure. Repressi anger dan hostile merupakan salah satu bentuk
intrapsikis yang biasa menyebabkan blocking pada individu. Akibat
dari blocking tersebut, maka integrasi kepribadian menjadi tidak baik,
karena ada tekanan ego yang sangat besar.
Menurut Freud, apabila terjadi blocking dalam proses asosiasi
bebas, maka penderita akan melakukan analisa. Hasil dari analisanya
dapat menimbulkan insight pada penderita. Analisa pada waktu terjadi
blocking bertujuan agar penderita mampu menempatkan konfliknya
lebih proporsional, sehingga penderita mengalami suatu proses
penurunan ketegangan dan penderita lebih toleran terhadap konflik
yang dialaminya.
Seperti yang telah diungkapkan terdahulu bahwa penderita diberi
kesempatan untuk dapat mengungkapkan segala traumatic events dan
keinginan-keinginan yang direpressnya. Waktu ini disebut dengan
moment chatarsis. Disini penderita diberi kesempatan untuk

22
mengeluarkan uneg-uneg yang ia rasakan, sehingga terjadi redusir
terhadap pelibatan emosi dalam menyelesaikan masalah yang
dialaminya. Dalam teknik asosiasi bebas ini, juga terdapat proses
transference, yaitu suatu keadaan dimana pasien menempatkan
therapist sebagai figur substitusi dari figur yang sebenarnya
menimbulkan masalah bagi penderita. Terdapat 2 macam transference,
yaitu transference positif, yaitu apabila therapist menggantikan figur
yang disukai oleh penderita, transference negatif, yaitu therapist
menggantikan figur yang dibenci oleh penderita.

2) Terapi Perilaku (Behavioristik)


Pada dasarnya, terapi perilaku menekankan prinsip pengkondisian
klasik dan operan, karena terapi ini berkaitan dengan perilaku nyata.
Para terpist mencoba menentukan stimulus yang mengawali respon
malasuai dan kondisi lingkungan yang menguatkan atau
mempertahankan perilaku itu.
Akhir-akhir ini, pakar terapi perilaku melihat adanya pengaruh
variabel kognitif pada perilaku (misalnya, pemikiran individu tentang
situasi menimbulkan kecemasan tentang akibat dari tindakan tertentu)
dan telah mencakupkan upaya untuk mengubah variabel semacam itu
dengan prosedur yang khusus ditujukan pada perilaku tersebut. Pada
kongres psikiatri di Malaysia tahun 2000 ini, cognitif behavior
therapy untuk pasien schizophrenia ditampilkan pakar psikiatri dari
Amerika maupun dari Malaysia sendiri. Ternyata, terdapat hasil yang
cukup baik, terutama untuk kasus-kasus baru, dengan menggunakan
cognitif behavior therapy tersebut. Rupanya ada gelombang besar
optimisme akan kesembuhan schizophrenia di dunia dengan terapi
yang lebih komprehensif ini.
Selain itu, secara umum terapi ini juga bermaksud secara langsung
membentuk dan mengembangkan perilaku penderita schizophrenia
yang lebih sesuai, sebagai persiapan penderita untuk kembali berperan

23
dalam masyarakat. Paul dan Lentz menggunakan dua bentuk program
psikososial untuk meningkatkan fungsi kemandirian.
1) Social Learning Program
Social learning program menolong penderita skizofrenia untuk
mempelajari perilaku-perilaku yang sesuai. Program ini
menggunakan token economy, yakni suatu cara untuk
menguatkan perilaku dengan memberikan tanda tertentu (token)
bila penderita berhasil melakukan suatu perilaku tertentu. Tanda
tersebut dapat ditukar dengan hadiah (reward), seperti makanan
atau hak-hak tertentu. Program lainnya adalah millieu program
atau terapi komunitas. Dalam program ini, penderita dibagi dalam
kelompok-kelompok kecil yang mempunyai tanggung jawab
untuk tugas-tugas tertentu. Mereka dianjurkan meluangkan waktu
untuk bersama-sama dan saling membantu dalam penyesuaian
perilaku serta membicarakan masalah-masalah bersama dengan
pendamping. Terapi ini berusaha memasukkan penderita
schizophrenia dalam proses perkembangan untuk mempersiapkan
mereka dalam peran sosial yang bertanggung jawab dengan
melibatkan seluruh penderitan dan staf pembimbing. Dalam
penelitian, social learning program mempunyai hasil yang lebih
baik dibandingkan dengan perawatan dalam rumah sakit jiwa dan
millieu program. Persoalan yang muncul dalam terapi ini adalah
identifikasi tentang unsur-unsur mana yang efektif. Tidak jelas
apakah penguatan dengan tanda (token) ataukan faktor-faktor lain
yang menyebabkan perubahan perilaku; dan apakah program
penguatan dengan tanda tersebut membantu perubahan perilaku
hanya selama tanda diberikan atau hanya dalam lingkungan
perawatan.

2) Social Skills Training


Terapi ini melatih penderita mengenai ketrampilan atau

24
keahlian sosial, seperti kemampuan percakapan, yang dapat
membantu dalam beradaptasi dengan masyarakat. Social Skills
Training menggunakan latihan bermainsandiwara. Para penderita
diberi tugas untuk bermain peran dalam situasi-situasi tertentu
agar mereka dapat menerapkannya dalam situasi yang
sebenarnya. Bentuk terapi seperti ini sering digunakan dalam
panti-panti rehabilitasin psikososial untuk membantu penderita
agar bisa kembali berperan dalam masyarakat. Mereka dibantu
dan didukung untuk melaksanakan tugas-tugas harian seperti
memasak, berbelanja, ataupun utnuk berkomunikasi, bersahabat,
dan sebagainya. Meskipun terapi ini cukup berhasil, namun tetap
ada persoalan bagaimana mempertahankan perilaku bila suatu
program telah selesai, dan bagaimana dengan situasi-situasi yang
tidak diajarkan secara langsung.
3) Terapi Humanistik
a. Terapi Kelompok.
Banyak masalah emosional menyangkut kesulitan seseorang
dalam berhubungan dengan orang lain, yang dapat menyebabkan
seseorang berusaha menghindari relasinya dengan orang lain,
mengisolasi diri, sehingga menyebabkan pola penyelesaian
masalah yang dilakukannya tidak tepat dan tidak sesuai dengan
dunia empiris. Dalam menangani kasus tersebut, terapi kelompok
akan sangat bermanfaat bagi proses penyembuhan klien,
khususnya klien skizofrenia.
Terapi kelompok ini termasuk salah satu jenis terapi
humanistik. Pada terapi ini, beberapa klien berkumpul dan saling
berkomunikasi dan terapist berperan sebagai fasilitator dan
sebagai pemberi arah di dalamnya. Di antara peserta terapi
tersebut saling memberikan feedback tentang pikiran dan
perasaan yang dialami oleh mereka. Klien dihadapkan pada
setting sosial yang mengajaknya untuk berkomunikasi, sehingga

25
terapi ini dapat memperkaya pengalaman mereka dalam
kemampuan berkomunikasi. Di rumah sakit jiwa, terapi ini sering
dilakukan. Melalui terapi kelompok ini iklim interpersonal
relationship yang konkrit akan tercipta, sehingga klien selalu
diajak untuk berpikir secara realistis dan menilai pikiran dan
perasaannya yang tidak realistis.
b. Terapi Keluarga.
Terapi keluarga ini merupakan suatu bentuk khusus dari terapi
kelompok. Kelompoknya terdiri atas suami istri atau orang tua
serta anaknya yang bertemu dengan satu atau dua terapist. Terapi
ini digunakan untuk penderita yang telah keluar dari rumah sakit
jiwa dan tinggal bersama keluarganya. Ungkapan-ungkapan
emosi dalam keluarga yang bisa mengakibatkan penyakit
penderita kambuh kembali diusahakan kembali. Keluarga diberi
informasi tentang cara-cara untuk mengekspresikan perasaan-
perasaan, baik yang positif maupun yang negatif secara
konstruktif dan jelas, dan untuk memecahkan setiap persoalan
secara bersama-sama. Keluarga diberi pengetahuan tentang
keadaan penderita dan cara-cara untuk menghadapinya. Keluarga
juga diberi penjelasan tentang cara untuk mendampingi,
mengajari, dan melatih penderita dengan sikap penuh
penghargaan. Perlakuan-perlakuan dan pengungkapan emosi
anggota keluarga diatu dan disusun sedemikian rupa serta
dievaluasi.
Dari beberapa penelitian, seperti yang dilakukan oleh Fallon
ternyata campur tangan keluarga sangan membantu dalam proses
penyembuhan, atau sekurang-kurangnya mencegah kambuhnya
penyakit penderita, dibandingkan dengan terapi-terapi secara
individual.
Prognosis
I.

Faktor pendukung : Faktor penghambat :

26
 Awitan lambat
 Faktor pencetus jelas - Awitan cepat
 Riwayat social, seksual, - Adanya riwayat genetik
pekerjaan, premorbid baik - Onset kronik
 genetik tidak ada - Usia muda
 Awitan akut - Faktor pencetus tidak jelas
 Usia tua - Riwayat premorbid buruk
 Belum Pernah sakit seperti ini - Pernah sakit seperti ini
 Sudah Menikah - Tidak menikah
 Adanya Suportif lingkungan - Suportif lingkungan tidak ada
 Status ekonomi cukup - Status ekonomi kurang
Untuk waktu pendek (1 tahun), prognosis skizofrenia berhubungan erat
dengan bagaimana penderita menjalani pengobatan. Tanpa pengobatan, 70
hingga 80 persen penderita yang penah menderita skizofrenia akan
mengalami kekambuhan setelah 2 bulan berikutnya dari masa sakit yang lalu.
Pemberian obat terus menerus dapat mengurangi tingkat kekambuhan hingga
30 persen.
Untuk jangka panjang, prognosis penderita skizofrenia bervariasi. Pada
umumnya, sepertiga penderita mengalami kesembuhan yang berarti dan tetap,
sepertiga penderita mengalami sedikit perbaikan yang diselingi dengan
kekambuhan, dan sepertiga penderita kondisinya menjadi buruk dan
permanen.
Factor yang mempengaruhi prognosis yang baik meliputi mulai
munculnya penyakit yang mendadak, menderita pada usia lanjut, mempunyai
tingkat kemampuan yang baik dan berprestasi sebelum sakit, penyakit dengan
jenis paranoid atau nondefisit. Factor yang mempengaruhi prognosis yang
buruk meliputi menderita pada waktu muda, tingkat social dan kemampuan
yang rendah sebelum sakit, dari keluarga penderita skizofrenia, dan penyakit
dengan hebefrenik atau defisit.
Sepuluh persen kasus bunuh diri ada kaitannya dengan skizofrenia. Rata-
rata skizofrenia mengurangi masa hidup penderita 10 tahun.

27
BAB III

KESIMPULAN

Skizofrenia adalah suatu deskripsi dengan variasi penyebab (banyak belum


diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau deteriorating)
yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh
genetik, fisik, dan sosial budaya. Etiologi skizofrenia meliputi genetic, biologis,
psikososial, dan infeksi. Terdapat beberapa klasifikasi pada skizofrenia, yaitu:
skizofrenia paranoid, skizofrenia hebefrenik, skizofrenia katatonik, skizofrenia tak

28
terinci (undifferentiated), depresi pasca skizofrenia, skizofrenia residual,
skizofrenia simpleks, skizofrenia lainnya, dan skizofrenia YTT.
Skizofrenia hebefrenik adalah suatu bentuk skizofrenia dengan perubahan
prilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan,ada
kecenderungan untuk selalu menyendiri, dan prilaku menunjukkan hampa prilaku
dan hampa perasaan, senang menyendiri, dan ungkapan kata yang di ulang –
ulang, proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu serta
adanya penurunan perawatan diri pada individu dan merupakan suatu gangguan
yang yang ditandai dengan regresi dan primitif, afek yang tidak sesuai, serta
menarik diri secara ekstrim dari hubungan sosial. Gangguan jiwa skizofrenia
merupakan gangguan jiwa yang berat dan gawat yang dapat dialami manusia sejak
muda dan dapat berlanjut menjadi kronis dan lebih gawat ketika muncul pada
lanjut usia (lansia) karena menyangkut perubahan pada segi fisik, psikologis dan
sosial-budaya.
Gejala karakteristik skizofrenia meliputi gejala positif, gejala negatif, dan
juga gejala-gejala karakteristik lainnya. Diagnosis banding skizofrenia adalah:
gangguan mood, gangguan kepribadian, gangguan psikotik lainnya, dan gangguan
psikotik sekunder dan akibat obat. Penatalaksanaan skizofrenia meliputi
medikamentosa, elektrokonvulsif terapi, dan psikoterapi.
Obat-obatan yang digunakan merupakan obat antipsikotik tipikal dan
atipikal. Antipsikotik tipikal efektif untuk mengatasi gejala positif, sedangkan
antipsikotik atipikal efektif untuk mengatasi gejala negatif. Prognosis untuk
penyakit skizofrenia tergantung dari berbagai factor, antara lain onset, factor
pencetus, riwayat keluarga, system pendukung, gejala, riwayat sosial, seksual, dan
lain-lain.

29
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan, HI, Sadock BJ, Skizofrenia, In :Synopsis of Psychiatry :
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition,2007.
2. Maslim, Rusdi dr. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan
Ringkasan dari PPDGJ III Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika
Atmajaya, Jakarta, 2001.
3. Sinaga Banhard Rudyanto. 2AA7. Skizofrenia dan Diagnosis Banding.
Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
4. Maslim, Rusdi. 2007. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. PT Nuh Jaya
Jakarta.

30
5. Donald I. Templer. The Decline of Hebephrenic Schizophrenia In:
Orthomolecular Psychiatry, Volume 11, Number 2,1982, Pp. 100-102.
6. First M.B, Tasman A Schizophrenia and Other Psychotic Disorders
In:.Clinical Guide To The Diagnosis And Treatment Of Mental Disorders.
2006 John Wiley & Sons.p 219-221

31

Anda mungkin juga menyukai