Toksisitas bahan kimia perlu diketahui oleh para pekerja laboratorium kimia
Bukti atau kenyataan bahwa suatatu zat berbahaya bagi manusia dapat pula diperoleh
dari data-data epidemi. Suatu contoh keracunan metil raksa (methyl mercury) yang
terjadi pada ribuan orang Iraq ; keracunan air raksa di Jepang sebagai akibat ikan yang
dikonsumsi terkontaminasi air raksa; dan penyakit asbestosis (akibat serat-serat kecil
asbes) bagi para pekerja atau penduduk- sekitar pabrik asbes di Amerika:
Memang data-data epidemik tidak dapat dibantah, tetapi data-data tersebut baru
dapat diperoleh setelah keracunan terjadi yang mungkin memerlukan waktu yang
lama. Selain itu juga pengaruh lingkungan atau bahan-bahan lain juga
sering menambah kesulitan dalam interpretasi.
Kimia yang bersifat akumulatif, karsinogenik (penyebab kanker) atau bahan yang
dapat menimbulkan kekebalan pada binatang percobaan.
Untuk efek kronis, ukuran toksisitas dipakai istilah Threshold Limit Value (TLV)
atau Nilai Ambang Batas (NAB). Artinya adalah konsentrasi dari zat, uap atau
gas dalam udara yang dapat dihirup selama 8 jam per hari selama 5 hari/minggu
tanpa menimbulkan gangguan kesehatan yang berarti. Secara umum dapat
dikatakan bahwa bahan-bahan kimia dengan NAB rendah lebih toksik daripada
NAB tinggi. Tetapi nilai NAB tidak selalu menunjukkan sifat bahaya suatu
bahan kimia. Suatu contoh NaCN dan HCN mempunyai NAB yang sama karena
efek toksik keduanya berasal dari sianida. Tetapi HCN adalah gas yang mudah
dihirup, sedangkan NaCN adalah berupa pada dengan tekanan uap rendah. Suatu
contoh dari NAB bahan-bahan kimia yang sering kita temukan dalam
laboratorium adalah seperti tabel berikut.
Keterangan :
K3 dan Hukum Ketenagakerjaan 12
Ppm = bagian dalam satu juta (volume)
C = batas konsentrasi tertinggi dalam uadara tempat kerja
Daftar di atas diambil dari : Threshold Limit Value and Biological Exposure
Indices for 1986-1987 American Conference of Governmental Industrial
Hygienists.
1.3 Usaha Menghidari Keracunan
Keterpaan bahan-bahan kimia industri dalam laboratorium lebih banvak dan
berkemungkinan lebih pendek waktunya dari pada belum diketahui sifat-
sifatnva. Oleh karena itu amat diperlukankan informasi tentang nilai ambang batas
(NAB) ata threshold limit values (TLV) dari dari gas, uap, dan debu yang
dikeluarkan setiap tahun oleh American Conference of Govermental Industrial
Hygienists (ACGIH) banyak diterima dan merupakan pegangan di banyak
negara. NAB dari suatu zat dapat berubah setiap tahun, bergantung pada
perkembangan dari percobaan test toksisitas.
Menghadapi ketidaktentuan dalam hal toksisitas di atas, justru kita harus lebih
berhati-hati dalam, penanganan bahan kimia toksik. Penggunaan pelarut atau
reagen-reagen yang toksik diusahakan untuk diganti bila mungkin. Suatu
contoh, benzena sebagai pelarut diusahakan diganti dengan toluena yang kurang
toksik. Dalam hal toksisitas suatu zat tidak diketahui, perlu diadakan perkiraan,
terutama dari struktur molekul. Senyawa dengan gugus amino, nitro dan gugus
halogen reaktif perlu dicurigai akan kemungkinan bahayanya.
Pengaruh bahan kimia korosif amat bergantung pada keadaan fisik dan
kelarutan zat dalam permukaan bagian tubuh yang terkena. Akibat yang
ditimbulkannya dapat berupa efek setempat (primer) dan efek sistemik
(sekunder). Suatu contoh, asam sulfat dan asam trikloroasetat (TCA) dapat
menimbulkan luka setempat, sedangkan asam suifida dapat menimbulkan efek
sistemik, yakni tidak hanya peradangan pada saluran pernapasan tetapi juga
sampai pada paru paru. Bahan kimia korosif dapat dikelompokkan sesuai wujud
zat, yakni cair, padat, dan gas yang akan dibahas lebih lanjut.
Dapat menimbulkan iritasi setempat sebagai akibat reaksi langsung dengan kulit,
proses pelarutan atau denaturasi protein pada atau akibat gangguan
kesetimbangan membran dan tekanan osmosa pada kulit.
Pengaruh iritasi akan bergantung pada konsentrasi dan lamanya kontak
dengan kulit. Asam sulfat pekat dapat menimbulkan luka yang sukar
dipulihkan. Contoh bahan korosif cair adalah :
1. Asam mineral :
Asam fluorida : HF
2. Asam organik
3. Pelarut organik
Petroleum
Hidrokarbon terklorinasi
Karbon disulfida
Terpentin
Iritasi yang ditimbulkan oleh zat padat korosif amat bergantung pada kelarutan zat
pada kulit yang lembab. Sifat korosif dan panas yang ditimbulkan akibat proses
pelarutan adalah penyebab iritasi. Meskipun zat padat korosif kurang berbahaya
dibandingkan dengan bentuk cair, tetapi larutan pekat dan dispersi zat padat dalam
K3 dan Hukum Ketenagakerjaan 15
cair (slury) mempunyai bahaya yang lebih besar. Demikian juga zat tersebut dalam
bentuk debu halus. Contoh zat padat korosif sebagai berikut :
1. Basa
2. Asam
Trikhloroasetat CCl3COOH
3. Lain-lain
Fenol C6H5OH
Natrium Na
Kalium K
Posfor P
Cara penanganan bahan kimia korosif padat mirip dengan bentuk cairnya, yakni
mencegah kontak dengan bahan dengan cara memakai pelindung diri (sarung
tangan, kacamata, dan sebagainya). Demikian pula cara pertolongan pertama, yakni
dengan pencucian memakai air sebanyak mungkin atau bila perlu dengan air sabun.
Jenis gas irritant dapat digolongkan pada besar kecilnya kelarutan yang juga
menentukan daerah serangan pada alat pernapasan. Golongan tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Amat larut, dengan daerah serangan pada bagian atas saluran pernapasan.
Amonia NH3
Asam klorida HCl
Asam fluorida HF
Formaldehida HCNO
Asam asetat CH3COOH
Sulfurklorida S2Cl2
Tionil klorida SOCl2
Sulfuril klorida SO2Cl2
2. Kelarutan sedang.
Efek pada saluran pernapasan bagian atas dan yang lebih dalam (Bronchin)
Klor Cl2
Brom Br2
3. Kelarutan Kecil
Ozon O3
Fosgen COCl2
4. Lain-lain
Akrolein CH2CHCHO
Dikloroetilsulfida S(CH2CH2Cl)2
Diklorometileter O(CH2Cl)2
Kloropikrin CCl3NO2
Dimetilsulfat (CH3)2SO4
Secara umum untuk menghindari iritasi gas-gas tersebut, pemakaian alat pelindung
pernapasan (masker) adalah mutlak perlu di samping alat proteksi mata dan kulit.
Ventilasi amat diperlukan untuk menjaga agar konsentrasi gas dalam ruang kerja tetap
rendah.
I
A
Ada bahan yang mudah terbakar dengan oksigen, tetapi apabila suhu tidak cukup
tinggi, maka api atau proses kebakaran tidak akan terjadi. Demikian pula ada
bahan dan panas, tetapi bila oksigen tidak cukup, api pun tidak akan terjadi.
Dengan demikian, usaha untuk menghindarkan terjadinya api, pada prinsipnya
menghindarkan salah satu dari ketiga unsur tersebut di atas.
Dalam laboratorium, udara mengandung cukup banyak oksigen. Jadi, tidak dapat
ditiadakan. Maka untuk menghindarkan kebakaran, persoalannya adalah
menghindarkan adanya pertemuan antara panas/sumber penyalaan dan bahan mudah
Pada umumnya, zat cair lebih mudah terbakar daripada zat padat dan gas lebih mudah
terbakar daripada zat cair. Tetapi zat padat berupa bubuk halus lebih mudah terbakar
daripada zat cair atau mudah terbakar seperti gas. Di antara ketiga jenis di atas,
golongan cair adalah yang paling banyak terdapat dalam laboratorium berupa pelarut-
pelarut organik.
b. Pelarut Organik
Pelarut organik seperti eter, alkohol, aseton, benzena, dan heksana sering dipakai
dalam analisis kimia dan proses ekstraksi. Pelarut-pelarut tersebut mempunyai
banyak kemungkinan bahaya kebakaran, karena zat-zat tersebut dapat menghasilkan
uap yang dalam perbandingan tertentu dengan udara dapat terbakar oleh adanya api
terbuka atau loncatan listrik. Pengalaman menunjukkan bahwa uap pelarut organik
dapat berdifusi sejauh tiga meter menuju titik api, atau seolah olah kita lihat api dapat
"menyambar" pelarut organik pada jarak tersebut. Juga dapat terjadi pelarut organik
pada suhu tertentu dapat terbakar dengan sendirinya (auto-ignition), meskipun tidak
ada sumber nyala api.
Untuk dapat mengetahui kelakuan pelarut organik terhadap proses kebakaran, perlu
diketahui pula beberapa sifat pelarut organik yang menentukan mudah tidaknya
K3 dan Hukum Ketenagakerjaan 21
terbakar,
yakni:
1. Titik nyala (flash point) adalah suhu dimana suatu cairan menghasilkan uap
yang dapat membentuk campuran dengan udara yang dapat membentuk
campuran dengan udara yang dapat dibakar pada permukaan cairan. Cairan
dengan titik nyala di bawa 60oC (140oF) disebut mudah terbakar (flammable
liquid) seperti eter, aseton benzene dan sebagainya.
2. Suhu bakar (iqnition temperature) adalah suhu minimum suatu zat yang
diperlukan agar zat tersebut dapat terbakar tanpa bantuan energi dari luar.
Beberapa pelarut organic mempunyai suhu baker yang lebih rendah daripada
suhu api atau nyala. Eter dan karbon disulfide mempunyai suhu baker rendah
yakni 180oC dan 100oC. Ini berarti eter dan karbon disulfide dapat terbakar
dengan sendirinya pada suhu tersebut meskippun tidak ada nyala api dari luar.
3. Daerah konsentrasi mudah terbakar (flammable range) adalah daerah
konsentrasi di mana di bawah dan di atas konsentrasi tersebut. uap tidak dapat
dibakar. Semakin lebar daerah konsentrasi tersebut semakin besar kemung-
kinan bahaya untuk terbakar.
4. Titik didih, adalah suhu di mana tekanan uap zat tersebut sama dengan
tekanan luar. Semakin rendah titik didih suatu pelarut organik semakin
banyak uap yang dihasilkan di atas permukaannya. sehingga semakin besar
kemungkinan dapat terbakar.
5. Berat jenis uap relatif terhadap udara, menentukan kecenderungan
gerakan uap dalam udara. Berat jenis uap yang lebih berat daripada udara,
menunjukkan kecenderungan uap berada di bawah. Sedangkan bet-at jenis
lebih kecil daripada udara akan mengakibatkan uap selalu bergerak di
atas.
6. Berat jenis cairan relatif terhadap air, menunjukkan dapat tidaknya kebakara
pelarut tersebut dapat disiram dengan air. Pelarut organik dengan berat jenis
lebih besar daripada air, dapat disiram dengan air bila terjadi
kebakaran. Sebaliknya, bila berat jenis zat cair organik lebih kecil daripada
air, justru akan merata dan bertambah besar api kebakaran bila disiram dengan
air (kecuali pelarut organik tersebut larut dalam air).
K3 dan Hukum Ketenagakerjaan 22
Cairan Organik Mudah Terbakar
Daerah Titik Didih Titik Nyala Titik Bakar BJ BJ
o o o
No Pelarut Konsentrasi (%) C C C Cairan Uap *
Mudah Terbakar
1 Aseton 3-13 56 -18 538 0.79 2.0
2 Benzena 1.4-8 80 -11 562 0.88 2.8
3 Bensin 1.4-7.6 38-204 -43 280-456 0.8 3.0-4
4 Etil alkhohol 3.3-19 79 12 423 0.79 1.59
5 Etil Eter 1.85-48 34 -45 180 0.71 2.55
6 Heksana 1.1-7.5 68 -22 261 0.66 2.97
7 Heptana (n) 1.2-6.7 98 -4 223 0.68 3.45
8 Karbon disulfida 1-44 46 -30 100 1.26 2.6
9 Metanol 6-36.5 65 12 464 0.79 1.1
10 Metil etil keton 2-10 80 -7 515 0.81 2.5
11 Minyak tanah 0.7-5 170-300 38-66 229 0.81 4.5
12 Oktana 1.0-4.6 125 13 220 0.7 3.86
13 Pentana 1.4-8 36 -49 309 0.63 2.48
14 Petroleum eter 1-6 30-60 -57 288 0.6 2.50
15 Toluena 1.4-6.7 111 4.4 536 0.87 3.1
c. Jenis-jenis Kebakaran
Sesuai dengan bahan yang terbakar, kebakaran dapat dibedakan dalam beberapa
jenis yakni:
1. Kelas A: kebakaran kertas, kayu, karet, plastik, dan sebagainya.
2. Kelas B : kebakaran pelarut organik seperti etanol, benzena, aseton,
heksana, eter dan sebagainya
3. Kelas C : kebakaran instalasi linstrik seperti trafo dan peralatan listrik.
4. Kelas D : kebakaran logam-logam alkali dan natrium
a. Kesetimbangan negatif, yakni suatu reaksi eksplosif yang terjadi karena adanya
oksigen seperti contoh:
C 2 H 403 + 3 O → 2 C02 + 2 H20
(p-asam asetat)
Ini berarti bahwa zat p-asam asetat akan meledak bila ada oksidator. Senyawa seperti
etanol, asetaldehida, aseton, dan asam asetat juga akan meledak bila dicampur
dengan H 2 O2.
b. Kesetimbangan nol, artinya bahwa jumlah oksigen pereaksi dan hasil reaksi
adalah sama seperti reaksi :
Ini berarti bahwa reaksi eksplosif dapat terjadi dengan sendirinya tanpa ada
bantuan oksigen dari luar.
4.1.2 Struktur molekul di bawah ini adalah struktur molekul yang tidak stabil atau
eksplosif.
(1) Suhu penyimpanan : semakin tinggi suhu semakin mudah terjadi reaksi
eksplosif.
(2) Benturan, gesekan mekanik : dapat menimbulkan pemanaasan lokal yang
eksplosit. Hal ini dapat terjadi pada saat proses pencampuran, penggerusan dan
pengangkutan.
(3) Kelembaban : kelembaban yang tinggi dalam penyimpanan akan
menyebabkan adsorpsi air yang memudahkan reaksi kimia terjadi. Dengan
sendirinya penyimpanan harus bebas; dari atap yang bocor di waktu hujan.
(4) Listrik: dapat memberikan pemanasan dan atau loncatan api.
(5) Pengaruh bahan kimia lain dalam penyimpanan. Bahan kimia reduktor akan
berbahaya bila dicampur atau berdekatan dengan bahan oksidator yang
tidak stabil.
K3 dan Hukum Ketenagakerjaan 25
5. BAHAN KIMIA OKSIDATOR (OXIDISING AGENTS)
Bahan kimia oksidator adalah bahan kimia yang dapat menghasilkan oksigen
dalam penguraian atau reaksinya dengan senyawa lain. Bahan tersebut juga
bersifat reaktif dan eksplosif serta sering menimbulkan kebakaran. Kebakaran
akibat bahan oksidator sukar dipadamkan karena mampu menghasilkan oksigen
sendiri.
Bahan kimia oksidator dapat dibedakan dua jenis vakni:
(1) Oksidator anorganik, seperti:
• permanganat
• perklorat
• dikromat
• hidrogen peroksida
• periodat
• persulfat
Bahan-bahan tersebut banyak dipakai dalam analisis kimia sebagai reagen.
(2) Peroksida organik seperti:
• benzil peroksida
• asetil peroksida
• eter oksida
• asam perasetat
Zat-zat tersebut banyak dipakai dalam sintesis organik.
Oksidator ”tersembunyi”
Dalam laboratorium kimia, mungkin kita sering menghadapi bahan oksidator yang
jelas seperti asam perklorat yang masih tetap kita pakai dalam analisis kimia, di mana
kita harus selalu waspada. Tetapi kadang kala kita menghadapi zat oksidator yang
"tersembunyi", seperti peroksida dalam pelarutt organik. Senyawa peroksida
tersebut dapat terjadi karena proses auto-oksidasi pelarut seperti: etil eter; isopropil
eter, dioksan, tetrahidrofuran, dan eter alifatik lain.
Pelarut-pelarut di atas yang telah mengandung peroksida akan meledak hebat apabila
K3 dan Hukum Ketenagakerjaan 26
pelarut tersebut didistilasi atau diuapkan. Hal ini disebabkan oleh peroksida
hasil autooksidasi adalah tidak mudah menguap, sehingga dalam residu distilasi
menjadi lebih pekat atau terkonsentrasi yang oleh faktor panas akan meledak.
Karena seringnya peledakan oleh peroksida tersembunyi di atas, beberapa cara
penanganan yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:
a) Tes KI sebelum didistilasi pelarut di atas. Tes dilakukan dengan menambah 1 ml
larutan KI 10% + larutan kanji ke dalam 10 ml contoh eter. Warna biru
menunjukkan adanya peroksida yang perlu diambil. Pengambilan
peroksida dilakukan dengan mengocok eter dengan larutan FeSO4 (60 gr
FeSO4 dalam 110 ml air + 6 ml H2SO4) dan tes kembali sampai tak ada
peroksida.
(b) Distilasi dilakukan tanpa pengaduk udara.
(c) Memakai pelindung muka pada saat distilasi pelarut organik.
(d) Sebaiknya tidak memakai pelarut yang lama.
(e) Tidak menyimpan sisa-sisa pelarut seperti eter.
(f) Menyimpan pelarut dalam botol cokelat untuk mengurangi proses oksidasi.
Bahan reaktif terhadap air adalah bahan-bahan kimia yang mudah bereaksi
dengan air menghasilkan panas yang besar dan atau gas yang mudah terbakar.
Logam-logam seperti Na K, dan Ca bereaksi dengan air menghasilkan H2
yang langsung terbakar oleh panas reaksi vang terbentuk:
Demikian pula logam-logam seperti Cu, Zn, dan Al reaktif terhadap asam nitrat
menghasilkan gas NO2 yang beracun.
Dengan sendirinya zat-zat di atas dalam penyimpanannya harus dijauhkan dari asam-
asam.
Di antara gas-gas yang bertekanan yang sering dipakai dalam laboratorium seperti
pada tabel berikut :
Silinder gas – gas tersebut harus disimpan di tempat yang tidak kena panas,
terikat kuat dan bebas dari kebocoran kran.
Bahaya radiasi dapat pula berasal dari dalam tubuh, yang terjadi karena masuknya
zat – zat radioaktif melalui paru – paru ( berupa uap dan debu ), mulut dan kulit.
Dalam hal ini pemancar sinar alpha dan beta sudah cukup berbahaya karena dapat
beredar ke seluruh tubuh lewat peredaran darah atau terakumulasi dalam organ –
organ tertentu, bergantung pada jenis zat.