Anda di halaman 1dari 12

Hukum Administrasi Daerah

SISTEM DEMOKRASI DIBUMI OLIGARKI

DISUSUN OLEH :

M.IQBAL FIDDIA ( 2101180145 )

YOHANES GESRIARDO NDAHUR ( 2101180131 )

PEMBAHASAN

SISTEM DEMOKRASI DIBUMI OLIGARKI

 Demokrasi oligarki merupakan istilah yang digunakan oleh Yuki Fukuoka


(2013), yang merujuk pada suatu tatanan demokrasi di mana pertarungan
politik didominasi oleh koalisi kepentingan yang predatoris serta
mendorong peminggiran kekuatan masyarakat sipil. Gagalnya konsolidasi
demokrasi pasca runtuhnya rejim otoritarianisme Soeharto membawa
implikasi negatif bagi iklim demokrasi di era reformasi. Kebanyakan
masyarakat terjebak pada eforia reformasi yang membuat mereka lupa
bahwa runtuhnya Orde Baru tidak disertai melenyapnya kekuatan oligarki
yang dibesarkan oleh rezim Soeharto. Justru, kekuatan oligarki yang
semula bersenggama dengan rezim Soeharto kembali mengonsolidasi diri
(beradaptasi) dengan rezim reformasi yang jauh lebih
menguntungkannya.

Kenyataan bahwa Indonesia pasca tumbangnya Orde Baru kembali dikuasai


oleh para oligark telah berulang kali dinyatakan, terutama oleh Vedi R. Hadiz. Ia
dengan sangat jelas dan tegas mengatakan bahwa “keuntungan terbesar bagi
para konglomerat barangkali adalah bahwa proses reformasi terjadi di dalam
aparatur negara yang masih didominasi oleh hubungan-hubungan kekuasaan
predatoris serta berbagai tokoh yang sama yang pernah mendominasi rezim
lama”. Upaya pembacaan yang dilakukan Hadiz di atas bisa saja berbeda
menurut masing-masing penafsir. Namun, satu hal pasti, bahwa kenyataan rezim
politik hari ini benar-benar ada di bawah kuasa para oligark sulit dinafikan.
Oligarki sendiri sebagai suatu aliansi cair yang menghubungkan kepentingan
para konglomerat kaya raya selalu lihai dalam beradaptasi dengan sistem
apapun, baik otoratirianisme maupun demokrasi.

Coba amati, kebanyakan penguasa yang kini menempati posisi strategis di


berbagai institusi publik hingga partai politik rata-rata adalah petarung lama.
Tidak ada yang baru sama sekali. Para pimpinan (elite) partai, penguasa
media mainstream, para pejabat pemerintahan yang berada di jajaran kabinet
Jokowi, sampai pada seluruh jabatan strategis lainnya di dalam birokrasi
pemerintahan saat ini hanyalah sirkulasi elit-elit lama yang selalu berotasi di
dalam lingkar kekuasaan oligarki. Para oligark di atas, termasuk orang-orang
yang pernah diistimewakan di rezim kepemimpinan Soeharto melalui
relasi patron-client. Hubungan kekuasaan lama yang penuh muslihat dan tipu
daya semasa Orde Baru, belakangan setelah runtuhnya “Soeharto”, tampil
sebagai pejuang demokrasi berkedok populis. Inilah wajah anomali demokrasi
pasca otoritarianisme Soeharto. Kebanyakan orang tertipu dengan politik
pencitraan yang terus dipolesi oleh media, yang juga notabene adalah milik
mereka (baca: oligark).
 Dominasi oligarki dalam ranah politik Indonesia terjadi karena kenaifan
asumsi reformasi institusional neoliberal yang percaya akan primasi
pengelolaan institusi rasional. Kenaifan ini mengabaikan keberadaan
relasi ekonomi politik oligarki yang menyejarah. Kemampuan oligarki
untuk menaklukkan kekuasaan negara serta melakukan disorganisasi
atas kekuatan oposisi masyarakat sipil, membuat proses reformasi
institusional neoliberal tidak memiliki basis sosial dan politik yang kuat.
Hal inilah yang kemudian menyebabkan oligarki dapat mempertahankan
dominasi politiknya, yang dengannya merepresi kemungkinan bagi
munculnya agensi politik non-oligarki.

Harus disadari bahwa reformasi politik yang beriringan dengan reformasi


ekonomi pasca Orde Baru, tidak sama sekali menghancurkan relasi oligarki ini.
Kenyataan bahwa lemahnya kekuatan civil society belakangan ini dalam
membendung gurita oligarki semakin membuktikan tesis Richard Robison dan
Vedi R Hadiz bahwa penguasaan atas politik negara sekaligus disertai
disorganisasi kekuatan oposisional yang tercakup dalam elemen masyarakat
sipil menjadi dasar historis bagi dominasi oligarki terhadap kekuatan politik non-
oligarki. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa perseteruan politik di era
reformasi kembali meneguhkan posisi elit lama.

Jeffrey Winters, salah seorang penggagas tesis oligarki terkemuka lewat


bukunya Oligarchy (2011), mengemukakan bahwa pembacaan terhadap
dinamika kekuasaan politik harus didasarkan pada konsentrasi sumber daya
kekuasaan yang dimiliki setiap oligark. Tulisnya, “oligark didefinisikan oleh tipe
dan ukuran sumber daya kekuasaan yang dikendalikannya”. Winters membagi
sumber daya kekuasaan mencakup hak politik formal, jabatan resmi (baik di
dalam maupun di luar pemerintahan), kuasa pemaksaan (coercive power),
kekuatan mobilisasi (mobilizational power), dan kekuasaan material (material
power). Khusus untuk sumber daya kekuasaan yang terakhir (kekuasaan
material) merupakan basis kekuasaan oligark.
 Oligark adalah aktor yang diberdayakan oleh kekayaan (sumber daya
paling menonjol di antara bentuk-bentuk kekuasaan lainnya). Oligark
berbeda dengan kaum elit pada umumnya yang cenderung menggunakan
kekuasaan non-material. Oligark lebih cenderung menggunakan basis
sumber daya material dalam melangsungkan manuver politiknya. Dalam
konteks demokrasi, kaum oligark memanfaatkan situasi ketimpangan
sumber daya material sebagai peluang memenangkan konstestasi politik
(pemilu/pemilukada). Mahalnya biaya politik ditambah mentradisinya
politik transaksional belakangan ini semakin mempermudah para oligark
dalam menggeser rival politiknya yang tidak memiliki basis material yang
memadai.

tesis oligarki Winters yang melihat kondisi ketidaksetaraan kekayaan yang ekstrem
antar-warga senantiasa mengarah pada ketidaksetaraan politik yang juga ekstrem
menemukan relevansinya di Indonesia saat ini. Hal ini terbukti di mana momentum
pemilu/pemilukada tereduksi semata-mata sebagai ajang pertarungan kepentingan para
oligark, bukan urusan menyeleksi wakil rakyat yang kompeten dan berintegritas
secara fair dan demokratis. Dalam demokrasi oligarki, rakyat (voters) tidak memilih apa
yang mereka kehendaki, melainkan telah dipilihkan oleh segelintir elit kekuasaan yang
memegang peran dominatif di dalam institusi demokrasi.

Bagaimana dikatakan pilihan rakyat, jika calon pemimpin/penguasa baik di pusat


maupun di daerah, melewati suatu saringan politik di internal partai (kecuali calon
independen) yang sarat dengan kalkulasi kapital tanpa melalui usulan publik (rakyat)
dianggap pilihan rakyat? Nalar sehat macam apa yang melihat fakta politik demikian
sebagai logika publik yang mengafirmasi diri dalam bentuk pilihan rasional? Bukankah
itu yang selama ini kita sebut kegilaan di atas kegilaan? Alias ketidakwarasan yang
cenderung diafirmasi secara terus-menerus tanpa refleksi.

makin berkembangnya sistem demokrasi justru makin membuat oligarki merajalela.


Namun demikian hal itu bukan karena sistem demokrasi yang salah, melainkan penegakan
hukum yang lemah. Menurut Winters, penegakan hukum di Indonesia ditegakkan ketika
yang dihadapi rakyat lemah. Namun ketika yang dihadapi kaum oligarki, penegakan hukum
seolah tak berfungsi. "Apakah Indonesia menerapkan hukumnya? jawabannya kadang-
kadang. Pertanyaannya kapan itu bekerja dan kapan itu tidak bekerja, jawabannya simpel,
ketika hukum menghadapi orang yang sangat powerfull seringkali tidak bekerja, tetapi
ketika hukum menghadapi orang lemah itu berfungsi padahal harusnya hukum bekerja
untuk yang kuat dan yang lemah,

ORBA DAN REZIM KAPITALIS - MILITERISTIK

 Rezim kapitalis-militeristik itu bertahan dengan keji dengan membunuh, menculik


hingga memenjarakan rakyatnya. Tak terhitung banyak kasus pelanggaran HAM
selama Soeharto bercokol. Ingatan atas semua itu diabadikan salah satunya
melalui Aksi Kamisan. Di sana para korban hingga simpatisan berdiri. Mereka
menolak lupa. Ingatan telah menautkan bangsa ini pada soal yang tak bisa
dipenuhi: keadilan. Nilai yang terus dikhianati terutama setelah Soeharto roboh.
Bukan saja karena rezim berusaha menangkis tuntutan tapi massa mengambang
diorganisir oleh sayap kekuatan konservatif. Elemen yang pada masa Orba
memang diorganisir untuk kepentingan rezim sekaligus rumah para bandit.
Sehingga ketika Orba runtuh para pendukungnya berusaha untuk menjelma dan
mengubah diri sebagai reformis. Muncullah partai politik serta Ormas yang
memusatkan perubahan pada bersatunya kaum orbais dengan para reformis.

Mulusnya adaptasi ini diperantarai oleh bertahannya lingkaran elite Orba dan kaum
oligarkh. Mereka secara canggih mampu mereformasi posisi sehingga tetap punya
pengaruh utama. Hampir semua menteri Orba duduk sebagai lapisan elite di kabinet
siapapun. Malah secara piawai sekutu Orba melahirkan partai politik kemudian duduk
sebagai ketuanya. Struktur kekuasaan yang dipadati oleh elite Orba ini mampu
memproduksi kader-kader daerah yang sama liciknya. Kawanan perompak ini duduk
sebagai pejabat daerah dari bupati hingga gurbenur. Kebijakannya bejat: menjual
kekayaan alam daerah hingga jual beli SK. Banyak diantaranya ditangkap dan
dipenjara oleh KPK. Tapi tak menutup kenyataan kusam kalau praktek Orbais ini
meluas ke mana-mana. Dikendalikan oleh para oligarkh yang punya rentang pengaruh
pada institusi resmi maupun basis-basis ekonomi vital. Bertahanya elite orbais ini punya
resiko ganda: pengukuhan status quo dan bertahanya para serdadu.

Bertahannya elite orba ini karena aturan main. Didesain untuk menampung semua
aktor tampak sirkulasi elite mengalami kekacauan. Para pemain baru dan amatir musti
bersepakat dengan politisi lama yang canggih dalam memahami mesin politik yang ada.
Melalui aturan main terciptalah kompetisi politik yang semu dimana partai politik tetap
berkuasa sekaligus jadi penentu. Partai serupa dengan perusahaan yang menjalankan
politik dengan cara jual-beli: tiap dukungan ada uang maharnya dan keputusan
ditentukan oleh para ketua. Serupa dengan komplotan, partai telah jadi pintu bagi
siapapun yang mau duduk di posisi utama. Bahkan partai menjelma jadi kekuatan inti
penentu masa depan perubahan. Maka seperti ember raksasa, partai menampung
siapapun dan siapa saja yang ingin ‘menjabat, berpengaruh dan punya peran’. Faktor
yang membuat partai politik gampang sekali ricuh, pecah dan diancam oleh masalah.

Masalah utama dan mendasar adalah membuat partai politik ini besar dan
berpengaruh. Mustinya ada pendidikan politik yang terstruktur dengan didasarkan pola
pengorganisasian yang berbasis pada ideologi partai. Tapi semua tahu kelahiran partai
politik di sini tidak normal sama sekali: muncul karena ada kesempatan politik dan
diorganisir oleh kekuatan campuran. Hasilnya tampak pada pengurusan partai yang
campau baur dengan keanggotaan yang mengejutkan. Ada aktivis, selebritis dan
orbais. Bisa anggota partai satu pindah begitu cepat ke partai lain. Serupa mobil, pilihan
aktif ke partai ditimbang dari sejauh mana ‘kecepatan’ partai mengantar pada kursi
kekuasaan. Malah lebih mirip sebagai jaring persilangan antar keluarga yang beranak-
pinak. Cerminan ini tampak pada pilihan kepala daerah dan susunan koalisi gado-gado
di setiap daerah. Target untuk menduduki kekuasaan membuat langkah-langkah
pragmatis bahkan brutal ditempuh. Disanalah kaum demagog dan ormas fasis muncul
sebagai sebuah keniscayaan.

Mengapa musti ormas fasis? Pilihan yang paling masuk akal karena pertimbangan
pragmatis. Secara umum ormas ini adalah hasil dari kebijakan politik massa
mengambang semasa Orba. Mereka yang dilumpuhkan kesadaran politiknya untuk
diorganisir bagi banyak kepentingan sempit. Dihuni oleh kelas sosial yang dihantam
oleh kapitalisme pasar bebas sehingga punya masalah dalam soal identitas hingga
pekerjaan. Dipayungi oleh sentimen agama atau nasionalisme bar-bar dihimpunlah
energi massa ini dalam rumah ormas. Pengalaman di masa lalu ormas macam begini
terlatih menjadi jagal pada tiap konflik. Kebutuhan utama ormas ini hanya pengakuan
dan perlindungan. Diakui dengan memberi mereka proyek keamanan serta dilindungi
jika terlibat konflik. Di masa Orba kebutuhan-salah satunya- adalah untuk pemenangan
pemilu dan ketika membesar ditumpas melalui kebijakan Petrus (Penembakan
Misterius)

Persekutuan ormas dengan serdadu jadi cerita lama. Dulu jadi algojo kini milisi.
Terutama ketika gugatan atas pelanggaran mengarah pada institusi militer. Keintiman
hubungan itu membuat aktor milisi maupun serdadu punya banyak kesamaan agenda:
anti kiri dan mempertahankan patriotisme NKRI secara buta. Malah banyak ormas
memanfaatkan kemampuan serdadu terutama dalam latihan kedisplinan dan aksi.
Berulang-ulang kehamornisan hubungan itu dirawat baik oleh sejarah maupun aliansi
taktis pada agenda-agenda tertentu. Pada masa kejatuhan Orba hingga merebaknya
konflik di sejumlah daerah. Sulit untuk mengerti bagaimana perolehan senjata hingga
kekejian yang ada di banyak ormas kalau tak diajari oleh para serdadu. Ruang
konsolidasi di antara mereka juga muncul pada banyak peristiwa sosial maupun politik.
Relasi ini bukan hal baru tapi cerminan dari evolusi demokrasi sekaligus logika dari
struktur kekuasaan Orbais.

Ormas ini juga mahir mendorong agenda-agenda populis. Terutama topik semacam:
keadilan, kesejahteraan hingga keyakinan keagamaan. Topik itu mengena di tengah
kondisi ketimpangan sosial d imana-mana. Kampanye yang terus digelorakan adalah
pemurnian keyakinan hingga ancaman atas kehidupan ekonomi. Isu-isu ini dimasak
begitu rupa hingga memunculkan beragam hoax yang volume produksinya sudah
berlebihan. Konten-konten SARA itu jadi ladang bisnis yang memakan untung luar
biasa. Digerakkan oleh berbagai isu liar itulah ormas-ormas tersebut melakukan
persekusi. Terdapat banyak contoh korban persekusi yang bermula dari omongan di
media sosial. Secara sederhana hoax dan ormas seperti bertaut karena para
penggerak hoax menjadi inspirator bagi bergeraknya ormas. Tekhnologi media sosial ini
telah jadi arena persekutuan sekaligus pengorganisasian isu yang bisa menggerakkan
siapa saja. Setidaknya ormas ini menjadi penumpang gelap dari disorganisasi dan
kekacauan pada praktik demokrasi di sini.

Ormas ini makin mahir dalam mengelola diri. Secara patron merawat hubungan dengan
kekuatan politik mana saja. Bahkan secara fungsi mampu melayani kebutuhan
siapapun, terutama yang berurusan dengan hukum. Maka untuk memelihara keyakinan
sekaligus militansi anggota ada kebutuhan untuk munculnya para demagog. Mereka
yang bisa meyakinkan tentang siapa musuh dan mampu menanam keberanian buta.
Kaum demagog ini bukan didasarkan atas pengetahuan tapi keyakinan yang serupa.
Maka saat kompetisi politik berjalan peran dan fungsi demagog jadi penting. Tak harus
berorasi di kumpulan massa tapi cukup dengan menabur berita hoax yang diproduksi
begitu rupa. Nyala ranting kebencian itu berkobar dengan melahap siapa saja yang
membaca dan ormas jadi ujung eksekutornya. Jejak rekam dalam kasus intoleransi
hingga konflik di banyak tempat membuat ormas jadi kekuatan raksasa yang bisa sulit
dikendalikan.

 Kenapa sulit dikelola?

Karena memang rezim masih memerlukan kekuatan ini untuk mengatasi tuntutan
radikal dari kekuatan sipil. Terutama tuntutan keadilan atas korban pelanggaran
HAM masa lalu maupun perlindungan atas minoritas. Dimana pada konteks soal
penanganan kasus HAM masa lalu memang tinggal pada soal enforcement-
nya[6]. Pada soal minoritas terdapat banyak masalah menggantung. Soal yang
menganggu bahkan menempatkan sejumlah kota pada predikat yang buruk. Di
samping untuk menangkis tuntutan, ormas bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan-
kebutuhan ‘kotor’. Melindungi bandit, menganiaya hingga membunuh.
Setidaknya ormas digunakan untuk membatasi keriuhan demokrasi dan
mengintimidasi kelompok sipil yang keras dalam menyatakan posisi.

Kemampuan memobilisasi massa jadi alat tekan pada semua masalah. Melalui proses
mobilisasi yang terstruktur sekaligus intimidatif ormas telah menjelma serupa dengan
pasukan keamanan. Melakukan praktik persekusi hingga menekan organisasi atau
lembaga mana saja. Tak jarang dengan piawai melakukan arak-arakan untuk kegiatan
apa saja yang bisa menunjukkan kekuatan ormas di hadapan rezim serta publik.
Pilkada DKI salah satunya jadi bukti bagaimana kekuatan ormas menghimpun dan
mengonsolidasi massa dalam jumlah raksasasa. Massa seperti barisan boneka yang
digerakkan oleh para demagog dengan ucapan, pernyataan hingga provokasi liar.
Aneka rupa kegiatan penghimpunan massa dilakukan sebagai praktik mobilisasi dana
sekaligus memastikan dukungan para oligarkh.

Konflik dan fragmentasi mudah muncul karena berebut proyek. Banyak konflik antar
ormas pada skala yang kecil maupun besar. Ramuan konflik ini bisa mengambil bentuk
rebutan lahan hingga rebutan kader. Bisa pula dipicu oleh pertarungan antar kandidat
atau pengurus. Bahkan dapat pula karena konflik antar pengurusnya sendiri.
Singkatnya kerentanan konflik membuat ormas itu bisa tenggelam atau muncul dalam
bentuk baru. Namun fragmentasi itu yang membuat kekuatan ormas menjadi lebih
tersebar, kurang terkoordinasi dan sporadis dalam bentuk aksi. Kelemahan ini yang
sebaiknya jadi catatan penting bagi gerakan sipil untuk tidak melihat soal eksistensi
Ormas hanya pada kegiatan brutalnya tapi juga ketidak-mampuanya untuk membesar
jadi kekuatan sosial yang signifikan.

Kemudian apa yang bisa dilakukan?

Gerakan sipil memerlukan amunisi anak-anak muda yang potensial direkrut oleh ormas.
Pada sisi populasi mereka jumlahnya paling besar dan mayoritas tinggal di kota.
Kantong-kantong anak muda mulai disisir untuk dijadikan kader militan. Heroisme anak
muda maupun pragmatismenya musti dimanfaatkan untuk melawan sentimen konyol
yang diungkapkan oleh para demagog. Mereka yang dinamai gerakan z punya
kemampuan dalam teknologi yang secara aktif dapat memproduksi artikel atau pesan
perlawanan. Melalui aneka bentuk manifestasi anak-anak muda dapat melakukan
perlawanan yang militan, terus-terusan dan menggerakkan. Terutama dalam upaya
mempertahankan demokrasi dan meneguhkan sekulerisme dalam hidup
bermasyarakat. Kantong anak-anak muda ini makin banyak terpusat di lembaga
pendidikan maupun perguruan tinggi.

Perlunya untuk memanfaatkan taktik ormas dalam membuat kerisauan atas situasi
sosial yang dihadapi. Pengalaman LBH dalam menangani banyak kasus-kasus
struktural dapat dijadikan media kampanye mujarab untuk didengungkan pada area
publik. Area yang kini banyak ditinggalkan dan terus dihujani oleh berita bohong
maupun agenda ormas yang punya aktivitas bahaya. Merecoki ruang publik dengan
ancaman atas soal demokrasi penting terutama untuk melawan keyakinan semu atas
totaliterisme. Bentuknya bisa populer: melalui aneka aktivitas yang dapat menjaring
minat publik. Kasus pabrik semen Rembang hingga teluk Banoa bisa jadi contoh
kontemporer. Publik patut untuk diberitahu resiko apa yang terjadi jika kegiatan
persekusi itu terus berlangsung. Kampanye bukan hanya sebagai ajakan tapi juga
pendidikan publik.

Tentu persoalan hukum dan keadilan patut untuk dijadikan dasar pengorganisasian.
Menampung relawan untuk menangani, terlibat dan mendokumentasikan pengalaman
merupakan taktik pembelajaran yang jitu. Upaya Kalabahu-instrumen pendidikan LBH-
salah satunya perlu ditunjang oleh pendidikan-pendidikan alternatif untuk memahami
kalau soal hukum bukan hanya pada pengamalan pasal tapi juga bagaimana memaknai
hukum yang terkait dengan soal politik, sosial dan budaya. Bukan hanya untuk
membangun opini positif tapi juga meraih dukungan nyata jika LBH suatu saat
mengalami tekanan massa seperti pada waktu sebelumnya. Di samping memang itu
juga punya tujuan mengembangkan aliansi dengan aktor-aktor strategis perubahan.
Belajar pada kasus-kasus sebelumnya, diperlukan ‘respons strategis terhadap logika
baru persaingan politik’: dimana kasus-kasus hukum di tingkat lokal dapat jadi dasar
untuk melakukan kampanye aktif soal keadilan serta perlindungan.

Jika bisa diusulkan memang mengembangkan jejaring dengan ormas agama yang
punya pandangan serupa. Bukan melalui deklarasi atau pelatihan tapi bagaimana
mengembangkan pertukaran pengalaman berorganisasi. Sehingga aktivis sipil maupun
keagamaan mendapatkan pengalaman baru dalam memahami gagasan perubahan. Di
samping juga untuk bisa memberi perspektif pada tiap agenda perubahan untuk tidak
menanggalkan unsur keadilan dan sentimen etis. Seperti yang dirintis oleh Kristen Hijau
maupun FKSDA salah satunya. Ramuan itu dalam sejarahnya menghasilkan
pelipatgandaan kekuatan yang berarti sebagaimana ada pada Syarekat Islam.
Organisasi di abad 19 yang mencetak para aktivis militan dengan pemikir raksasa.

Akhirnya:

Perjuangan mempertahankan demokrasi memang tak mudah. Arus balik yang kini
menghantam begitu keras dan mengkhawatirkan. Tiap saat kita semua seakan berada
di tepi jurang yang mengancam sekaligus bisa memusnahkan apa saja yang sudah kita
rintis. Tapi mungkin karena itu perjuangan ini jadi tampak lebih menantang dan
memerlukan taktik yang beragam. Tiap rintisan alternatif tidak hanya diukur dari
dukungan tapi sejauh mana bisa mengatasi soal soal dasar yang kita hadapi. Hanya
pengalaman telah membentuk kita bahwa kepercayaan diri atau pendidikan tinggi
hingga jaringan yang rapi tetap tidak cukup untuk menembus tembok ototerisme. Kita
ternyata butuh militansi ganda yang bisa meyakinkan diri kita dan sekitar kita,
pengetahuan yang membakar yang membuat kita punya keyakinan untuk bertahan dan
tentu resiko yang berbahaya hingga kita bisa meraih makna perjuangan yang
sebenarnya. Kalau itu diringkas dengan kata mutiara mungkin kalimat Iqbal bisa
mewakilinya:

GUSDUR DAN DEMOKRASI INDONESIA

 Gus dur menjadi tokoh pengusung demokrasi pasca reformasi gus dur sebenarnya sudah
berhasil mengajarkan prinsip kebebasan yang merupakan basis utama dalam demokrasi.
Keadaan tak bisa berjalan baik karena demokrasi belum bisa dilandasi oleh kesadaran
hukum. Kondisi inilah yang dialami indonesia pasca orde baru, merupakan suatu
kewajaran karena indonesia baru mengalami masa transisi dari orba ke reformasi
demokrasi tak bisa meletakan kebebasan tanpa hukum maka demokrasi yang dewasa
adalah pelaksanaanya berdasarkan hukum,sehingga pentingnya memahami dan
melaksanakan hukum yang berlaku. Kesadaran akan hukum membuat gus dur membahas
mengenai islam dan konstitusi negara, pembahasan ini penting karena konstitusi
merupakan hukum tata negara yang melandasi negara. Kemudian pelaksanaan hukum
diranah sosial begitu penting untuk menjamin keselamatan warga negara. Apakah ada
kaitan antara teologi pembebasan dengan demokrasi? Sepertinya gus dur memahami
dengan baik prinsip dasar kemanusiaan yaitu keselamatan dan kenyamanan hidup, kedua
keadaan tersebut bisa tercapai bila negara bisa mewujudkannya. Akan tetapi apabila
negara sebaliknya melanggar hak asasi manusia maka setiap orang yang beragama harus
melakukan kebaikan dan menghalangi keburukan sebagai realisasi dari kesalehan social
dan upaya ini di bantu dengan perjuangan demokrasi. Menurut gus dur mengenai
demokrasi: “demokrasi menyamakan derajat dan kedudukan semua warga negara dimuka
undang-undang dengan tidak memandang asal-usul etnis, agama, jenis kelamin dan
bahasa ibu’’.

Anda mungkin juga menyukai