Anda di halaman 1dari 14

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Penulis panjatkan puji syukur dengan berkat rahmat Allah SWT, yang telah
memudahkan Penulis dalam menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Shalawat dan salam
semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Rasulullah terakhir yang diutus dengan
membawa syari’ah yang mudah, penuh rahmat, dan membawa keselamatan dalam kehidupan
dunia dan akhirat. Makalah berjudul “Jual Beli (Bai)” ini disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah Fiqih Muamalah. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan
yang ada agar makalah ini dapat tersusun sesuai harapan. Sesuai dengan fitrahnya, manusia
diciptakan Allah sebagai makhluk yang tak luput dari kesalahan dan kekhilafan, maka dalam
makalah yang Penulis susun ini belum mencapai tahap kesempurnaan. Terakhir, Penulis
mengucapkan Jazakumullah akhsanal jaza, kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam
proses penyelesaian makalah ini, khususnya kepada Bapak Asep Sopyan yang telah memberikan
tugas dan bimbingan dalam penyusunan makalah ini. Mudah-mudahan makalah ini dapat
memberikan manfaat untuk kita semua dalam kehidupan sehari-hari. Adapun kritik dan saran
sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur hubungan seorang hamba
dengan Tuhannya yang biasa disebut dengan muamalah ma’allah dan mengatur pula hubungan
dengan sesamanya yang biasa disebut dengan muamalah ma’annas. Nah, hubungan dengan
sesama inilah yang melahirkan suatu cabang ilmu dalam Islam yang dikenal dengan Fiqih
muamalah. Aspek kajiannya adalah sesuatu yang berhubungan dengan muamalah atau hubungan
antara umat satu dengan umat yang lainnya. Mulai dari jual beli, sewa menyewa, hutang piutang
dan lain-lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap muslim pasti melaksanakan
suatu transaksi yang biasa disebut dengan jual beli. Si penjual menjual barangnya, dan si pembeli
membelinya dengan menukarkan barang itu dengan sejumlah uang yang telah disepakati oleh
kedua belah pihak.Jika zaman dahulu transaksi ini dilakukan secara langsung dengan bertemunya
kedua belah pihak, maka pada zaman sekarang jual beli sudah tidak terbatas pada satu ruang
saja.Dengan kemajuan teknologi, dan maraknya penggunaan internet, kartu kredit, ATM, dan
lain-lain sehingga kedua belah pihak dapat bertransaksi dengan lancar. Dengan cara demikian
kehidupan masyarakat menjadi teratur dan subur, pertalian yang satu dengan yang lainpun
menjadi lebih teguh. Akan tetapi sifat loba dan tamak tetap ada pada manusia, suka
mementingkan diri sendiri supaya hak masing-masing jangan sampai tersia-sia, dan juga
menjaga kemaslahatan umum agar pertukaran dapat berjalan dengan lancar dan teratur. Oleh
sebab itu agama memberi peraturan yang sebaik-baiknya; karena dengan teraturnya muamalat,
maka penghidupan manusia jadi terjamin pula dengan sebaik-baiknya sehingga pembantahan dan
dendam-mendendam tidak akan terjadi. Nasihat Luqmanul Hakim kepada anaknya, “Wahai
anakku! Berusahalah untuk menghilangkan kemiskinan dengan usaha yang halal. Sesungguhnya
orang
yang berusaha dengan jalan yang halal itu tidaklah akan mendapat kemiskinan, kecuali apabila
dia telah dihinggapi oleh tiga macam penyakit:
(1) tipis kepercayaan agamanya,
(2) lemah akalnya,
(3)hilang kesopanannya,
Sebenarnya bagaimana pengertian jual beli menurut Fiqih muamalah?Apa saja syaratnya?
Lalu apakah jual beli yang dipraktekkan pada zaman sekarang sah menurut fiqih muamalah?
Tentu ini akan menjadi pambahasan yang menarik untuk dibahas.
1.2. Rumusan Masalah
Dari beberapa uraian diatas tentang Ba’i atau jual beli yang sebagian telah dipaparkan, maka
beberapa pertanyaan yang perlunya untuk di jawab agar tidak ada keraguan lagi.
a. Apa yang Dimaksud dengan Jual Beli ?
b. Bagaimana Hukum Jual beli ?
c. Apa Saja Rukun-rukun dan Syarat-syarat Jual Beli ?
d. Sebutkan Macam-macam Jual Beli ?
e. Apa Saja Jual Beli yang Sah Hukumnya, Tetapi Dilarang Agama ?

1.3. TujuanPenulisan
Dari beberapa uraian rumusan masalah diatas, maka dapat di spesifikan beberapa tujuan
penulis menyusun makalah ini, diantaranya :
a. Siswa dapat memahami ruang lingkup jual beli dalam Fiqih Muamalah.
b. Untuk memperdalam materi jual beli agar bisa menerapkan keluar.
c. Memenuhi tugas mata pelajaran Pendidikan Agama Islam
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Jual Beli


Arti jual beli secara bahasa adalah menukar sesuatu dengan sesuatu. Jual beli menurut syara’
adalah akad tukar menukar harta dengan harta yang lain melalui tata cara yang telah ditentukan
oleh hukum islam. Yang dimaksud kata “harta” adalah terdiri dari dua macam. Pertama; harta
yang berupa barang, misalnya buku, rumah, mobil dll. Kedua; harta yang berupa manfaat (jasa),
misalnya pulsa telephone, pulsa listrik, dan lain-lain. Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud
jual beli adalah Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan
melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan;

2.2. Landasan Hukum Jual Beli


Dasar hukum (landasan syara’) jual beli adalah sebagai berikut :
a. Dasar Al-Qur‟an
Allah SWT berfirman:

  ۗ ‫ض ِّم ْن ُك ْم ۗ   َواَل َت ْق ُتلُ ۤ ْوا اَ ْنـفُ َس ُك ْم‬ َ َ‫ٰۤيـا َ ُّي َها الَّ ِذي َْن ٰا َم ُن ْوا اَل َتأْ ُكلُ ۤ ْوا ا‬
ٍ ‫مْوا لَـ ُك ْم َب ْي َن ُك ْم ِبا ْل َبا طِ ِل ِااَّل ۤ اَنْ َت ُك ْو َن ت َِجا َر ًة َعنْ َت َرا‬
‫اِنَّ هّٰللا َ َكا َن ِب ُك ْم َر ِح ْيمًا‬
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama
suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang
kepadamu."
(QS. An-Nisa' 4: Ayat 29)

b. Al-Hadits :
“Dari Rifa‟ah ibn Rafi‟ RA. Nabi Muhammad SAW., Ditanya tentang mata pencaharian yang
paling baik, beliau menjawab, „Seseorang yang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli
yang mabrur‟.” (HR. Bazzar, hakim menyahihkannya dari Rifa’ah ibn Rafi’) Maksud Mabrur
dalam hadits diatas adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu, dan merugikan orang
lain. Berdasarkan dalil-dalil tersebut diatas maka hukum dari jual beli adalah halal atau boleh.
c. Ijma
‟ Ulama telah sepakat bahwa jual-beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan
mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau
barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang
sesuai.
d. Hukum-hukum yang bersangkut paut dengan jual beli :
1) Mubah (boleh), ialah asal hukum jual beli;
2) Wajib, seperti wali menjual harta anak yatim apabila terpaksa, begitu juga qadhi menjua harta
muflis (orang yang lebih banyak utangnya daripada hartanya) sebagaimana akan datang
keterangannya tentang muflis;
3) Haram, sebagaimana yang telah lalu apa-apa jual beli yang terlarang;
4) Sunah, seperti jual beli kepada sahabat atau pamili yang dikasihi, dan kepada orang yang
sangat berhajat kepada barang itu.

2.3. Syarat dan Rukun Jual Beli


A. Syarat Jual Beli
Syarat adalah hal-hal yang harus ada atau dipenuhi sebelum transaksi jual beli.
1) Syarat Penjual dan Pembeli atau pihak yang bertransaksi (Aqid) adalah :
a) Berakal, agar dia tidak terkecoh, orang yang gila atau bodoh tidak sah jual belinya.
b) Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa), keterangannya yaitu ayat diatas tentang suka
sama suka.
c) Tidak mubazir (pemboros), sebab harta orang mubazir itu di tangan walinya, sedangkan
dalam jual beli itu harus barang milik sendiri.
d) Balig (berumur 15 tahun ke atas/dewasa), anak kecil tidak sah jual belinya, adapun anak
yang sudah mengerti tetapi belum sampai pada umur dewasa, menurut pendapat sebagian para
ulama mereka diperbolehkan berjual-beli barang yang kecil-kecil; karena kalau tidak
diperbolehkan sudah tentu menjadi kesulitan dan kesukaran, sedangkan agama islam sekali-kali
tidak akan menetapkan peraturan yang mendatangkan kesulitan kepada pemeluknya.
2) Syarat Barang yang diperjual-belikan atau objek jual beli (Ma‟qud Alaih)
a) Suci, barang najis tidak sah di jual dan tidak boleh dijadikan uang untuk dibelikan, seperti
kulit binatang atau bangkai yang belum disamak (dikuliti).
b) Ada manfaatnya, tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Dilarang pula
mengambil tukarannya karena hal itu termasuk dalam arti menyia-nyiakan (memboroskan) harta
yang terlarang.
c) Barang itu dapat diserahkan, tidak sah menjual suatu barang yang tidak dapat diserahkan
kepada yang membeli, misalnya ikan dalam laut, barang rampasan yang masih berada di tangan
yang merampasnya, barang yang sedang dijaminkan, sebab semua itu mengandung tipu daya
(kecohan).
d) Barang tersebut merupakan kepunyaan si penjual, kepunyaan yang diwakilinya, atau yang
mengusahakan.
e) Barang tersebut diketahui oleh si penjual dan si pembeli, zat, bentuk, kada (ukuran) dan
sifat-sifatnya jelas, sehingga antara keduanya tidak akan terjadi kecoh-mengecoh.
3) Syarat ucapan serah terima (Ijab dan Kabul)
Ijab kabul dapat dilakukan dengan kata-kata penyerahan dan penerimaan atau dapat juga
berbentuk tulisan seperti faktur, kuitansi, atau nota dan lain sebagainya. Ijab adalah perkataan
penjual, umpanya, “saya jual barang ini sekian”, Kabul adalah ucapan si pembeli, “Saya terima
(saya beli) dengan harga sekian.” Keterangannya yaitu ayat yang mengatakan bahwa jual beli itu
suka sama suka. Sedangkan suka sama suka itu tidak dapat diketahui dengan jelas kecuali
dengan perkataan, karena perasaan suka itu bergantung pada hati masing-masing. Ini pendapat
kebanyakan para ulama. Tetapi Imam Nawawi, Mutawali, Bagawi dan beberapa ulama yang
berpendapat bahwa lafaz itu tidak menjadi rukun, hanya
menurut adat kebiasaan saja. Apabila menurut telah berlaku bahwa hal yang seperti itu sudah
dipandang sebagai jual beli, maka itu saja sudah cukup karena tidak ada suatu dalil yang jelas
untuk mewajibkan lafaz. Menurut ulama yang mewajibkan lafaz, lafaz itu diwajibkan memenuhi
beberapa syarat :
a) Keadaan ijab dan kabul berhubungan. Artinya salah satu dari keduanya pantas menjadi
jawaban dari yang lain dan belum berselang lama.
b) Makna keduanya hendaklah mufakat (sama) walau lafaz keduanya berlainan.
c) Keduanya tidak disangkutkan dengan urusan yang lain, seperti katanya “Kalau saya jadi
pergi, saya jual barang ini sekian.”
d) Tidak berwaktu, sebab jual beli berwaktu seperti sebulan atau setahun, tidak sah.

B. Rukun Jual Beli


Rukun adalah hal-hal yang harus ada dan terpenuhi dalam pelaksanaan transaksi jual beli,
Rukun jual beli ada 3 :
1. Aqid (Pihak yang bertransaksi)
2. Ma‟qud Alaih mencakup barang yang jual dan harganya
3. Sighat Ijab Kabul (ucapan serah terima dari penjual dan pembeli)
C. Hukum (Ketetapan) Ba’i Beserta Pembahasan Barang dan Harga
1. Hukum (Ketetapan) Akad Hukum akad adalah tujuan dari akad. Dalam jual beli,
ketetapan akad adalah menjadikan barang sebagai milik pembeli dan menjadikan harga atau uang
sebagai milik penjual. Secara mutlak hukum akad dibagi tiga bagian :
a. Dimaksudkan sebagai taklif, yang berkaitan dengan wajib, haram, sunah, makruh, dan mubah.
b. Dimaksudkan sesuai dengan sifat-sifat syara’ dan perbuatan, yaitu : sah, luzum, dan tidak
luzum, seperti pernyataan, “akad yang sesuai dengan rukun dan syaratnya disebut sahih lazim.”
c. Dimaksudkan sebagai dampak tasharruf syara‟, seperti wasiat yang memenuhi ketentuan
syara’ berdampak pada beberapa ketentuan, baik bagi orang yang diberi wasiat, maupun bagi
orang atau benda yang diwasiatkan. Hukum atau ketetapan yang dimaksud pada pembahasan
akad jual-beli ini, yakni menetapkan barang milik pembeli dan menetapkan uang milik penjual.
Hak-hak akad (huquq al-aqd) adalah aktifitas yang harus dikerjakan sehingga menghasilkan
hukum akad, seperti menyerahkan barang yang dijual, memegang harga (uang), mengembalikan
barang yang cacat, khiyar, dan lain-lain. Adapun hak jual-beli yang mengikuti hukum adalah
segala sesuatu yang berkaitan dengan barang yang dibeli, yang meliputi berbagai hak yang harus
ada dari benda tersebut yang disebut pengiring (murafiq). Kaidah umum dari masalah ini
misalnya : segala sesutau yang berkaitan dengan rumah adalah termasuk pintu, jendela, WC,
dapur dan lain-lain, walaupun tidak disebutkan ketika akad, kecuali jika ada pengecualian.

2. Tsaman (harga) dan Mabi‟ (Barang Jualan)


a. Pengertian harga dan mabi’ Secara umum, mabi’ adalah “ma yata’ayyanu bitt ta’yiinn”
(perkara yang menjadi tentu dengan ditentukan”. Sedangkan pengertian harga secara umum
adalah “ma laa yata’ayyanu bitt ta’yiinn” (perkkara yang tidak tentu dengan ditentukan). Definisi
diatas sebenarnya sangat umum sebab sangat bergantung pada bentuk dan barang yang
diperjualbelikan. Adakalanya mabi’tidak memerlukan penentuan, sebaliknya harga memerlukan
penentuan, seperti penetapan uang muka. Imam syafi’i dan jafar berpendapat bahwa harga dan
mabi‟ termasuk dua nama yang berbeda bentuknya, tetapi maksudnya satu perbedaan diantara
keduanya dalam hukum adalah penggunaan huruf Ba (dengan).
b. Penentuan mabi‟ (barang jualan) Penentuan Mabi‟ adalah penentuan barang yang akan dijual
dari barangbarang lainnya yang tidak akan dijual. Jika penentuan tersebut menolong atau
menentukan akad, baik pada jual beli yang barangnya ada di tempat akad atau tidak apabila
mabi’ tidak ditentukan dalam akad, penentuannya adalah dengan cara penyerahan mabi’ tersebut.
c. Perbedaan Harga, Nilai, dan Utang.
1) Harga Harga hanya terjadi pada akad, yakni sesuatu yang direlakan dalam akad, baik
lebih sedikit, lebih besar, atau sama dengan nilai barang. Biasanya harga dijadikan penukar
barang yang diridai oleh kedua pihak yang berakad.
2) Nilai Sesuatu Sesuatu yang dinilai sama menurut pandangan manusia.
3) Utang Utang adalah sesuatu yang menjadi tanggungan seseorang dalam urusan harta,
yang keberadaannya disebabkan adanya beberapa iltijam, yakni keharusan untuk mengerjakan
atau tidak untuk mengerjakan sesuatu untuk orang lain, seperti merusak harta ghasab, berutang,
dan lain lain.
d. Perbedaan Mabi‟ dan Harga Kaidah umum tentang mabi‟ dan harga adalah segala sesuatu
yang dijadikan mabi’ adalah sah dijadikan harga, tetapi tidak semua harga dapat dijadikan mabi’.
Diantara perbedaan antara mabi‟ dan Tsaman adalah :
1. Secara umum uang adalah harga, sedangkan barang yang dijual adalah mabi‟;
2. Jika tidak menggunakan uang, barang yang akan ditukarkan adalah mabi‟ dan penukarnya
adalah harga.
3. Ketetapan Mabi‟ dan Harga

2.4. Macam-Macam Jual Beli

A. Bai’Sohihah Yaitu akad jual beli yang telah memenuhi syarat dan rukunnya.
Adapun macam-macam Bai’Sohihah, antara lain;
1) Jual beli barang yang terlihat secara jelas dan ada ditempat terjadinya transaksi.
2) Jual beli barang yang pesanan yang lazim dikenal dengan istilah dengan akad salam.
3) Jual beli mas atau perak, baik sejenis atau tidak (bai’ sharf).
4) Jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan ditambah keuntungan (bai
murabahah).
5) Jual beli barang secara kerja sama atau serikat (bai isyrak).
6) Jual beli barang dengan cara penjual memberi diskon kepada pembeli (bai muhatah).
7) Jual beli barang dengan harga pokok, tanpa ada keuntungan (bai’ tauliyah).
8) Jual beli hewan dengan hewan (bai muqabadah).
9) Jual beli barang dengan syarat khiyar, yaitu perjanjian yang telah disepakati antara
penjual dan pembeli, untuk mengembalikan barang yang diperjual belikan, jika tidak ada
kecocokan didalam masa yang telah disepakati oleh keduanya.
10) Jual beli barang dengan syarat tidak ada cacat (bai bisyarti al baro)

B. Bai Fasidah Yaitu akad jual yang tidak memenuhi salah satu atau seluruh syarat dan
rukunnya.
Adapun macam-macam bai’ fasidah (terlarang), antara lain;
Jual beli terlarang artinya jual beli yang tidak memenuhi rukun dan syarat jual beli, yaitu :
1.Jual Beli Sistem Ijon Maksud dari jual beli sistem Ijon adalah jual beli hasil tanaman yang
masih belum nyata buahnya, belum ada isinya, belum ada buahnya, seperti jual beli padi masih
muda, jual beli mangga masih berwujud bunga, semua itu kemungkinan besar masih bisa rusak
yang akan dapat merugikan kedua belah pihak.
Rasulullah saw bersabda : “Dari Ibnu Umar, Nabi Muhammad SAW, telah melarang jual beli
buah-buahan sehingga nyata baiknya buah itu (pantas untuk diambil dan dipetik buahnya)” HR.
Bukhori dan Muslim.
2. Jual beli barang haram Jual beli barang yang diharamkan hukumnya tidak sah atau dilarang
serta karena haram hukumnya. Seperti jual beli minuman keras (khamr), bangkai, darah, daging
babi, patung berhala dan sebagainya.
3. Jual beli sperma hewan Jual beli sperma hewan tidak sah, karena sperma tidak dapat
diketahui kadarnya dan tidak dapat diterima wujudnya, rasulullah saw, bersabda : “rasulullah
saw, telah melarang jual beli kelebihan air (sperma)” (H.R Muslim)
4. Jual beli anak binatang yang masih ada dalam kandungan induknya Hal ini dilarang karena
belum jelas kemungkinannya ketika lahir hidup atau mati. Rasulullah saw, bersabda :
“sesungguhnya rasulullah saw, melarang jual beli anak binatang yang masih dalam kandungan
induknya” (H.R Bukhori dan Muslim)
5. Jual beli barang yang belum dimiliki Maksudnya adalah jual beli yang barangnya belum
diterima dan masih berada di tangan penjual pertama. Rasulullah saw, bersabda : “nabi
Muhammad saw, telah bersabda janganlah engkau menjual sesuatu yang baru saja engkau beli,
sehingga engkau menerima (memegang) barang itu” (HR. Ahmad dan Baihaqi)
6. Jual beli barang yang belum jelas Menjual buah-buahan yang belum nyata buahnya, sabda
nabi Muhammad saw, dari Ibnu Umar Ra : “Nabi Muhammad saw, telah melarang menjual
buahbuahan yang tidak tampak manfaatnya” (HR. Muttafaq Alaih)

 Jual beli berdasarkan pertukarannya secara umum dibagi 4 macam, yaitu :


a. Jual beli saham (pesanan) Jual beli saham adalah jual-beli melalui pesanan, yakni jual beli
dengan cara menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudian barangnya diantar belakangan.
b. Jual-beli muqayadhah (barter) Jual beli muqayadhah adalah jual beli dengan cara menukar
barang dengan barang, seperti menukar baju dengan sepatu.
c. Jual beli muthlaq Jual beli muthlaq adalah jual beli barang dengan sesuatu yang telah
disepakati sebagai alat pertukaran, seperti uang.
d. Jual beli alat penukar dengan alat penukar Jual beli alat penukar dengan alat penukar
adalah jual beli barang yang biasa dipakai sebagai alat penukar dengan alat penukar lainnya,
seperti uang perak dengan uang emas.

 Berdasarkan segi harga, jual beli dibagi pula menjadi empat bagian :
a. Jual beli yang menguntungkan (al-murabbahah),
b. Jual beli yang tidak menguntungkan, yaitu menjual dengan harga aslinya (at-tauliyah),
c. Jual beli rugi (al-khasarah)
d. Jual beli al-musawah, yaitu penjual menyembunyikan harga aslinya, tetapi kedua orang
yang akad saling meridai, jual beli seperti inilah yang berkembang sekarang.

 Jual Beli Yang Sah Hukumnya,


Tetapi Dilarang Agama Jual beli ini hukumnya sah, tetapi dilarang oleh agama karena adanya
suatu sebab atau akibat dari perbuatan tersebut, yaitu :
a. Jual beli pada saat Khutbah dan shalat jum’at Larangan melakukan kegiatan jual beli pada
saat khutbah dan shalat jum’at ini tentu bagi laki-laki muslim, karena pada waktu itu setiap
muslim laki-laki wajib melaksanakan shalat jum’at, Allah swt, berfirman :

‫ِي لِلص َّٰلو ِة مِنْ ي َّْو ِم ْال ُجم َُع ِة َفا سْ َع ْوا ا ِٰلى ذ ِْك ِر هّٰللا ِ َو َذرُواـ ْال َبي َْع  ٰۗ ذ لِ ُك ْم َخ ْي ٌر لَّـ ُك ْم اِنْ ُك ْن ُت ْم‬
َ ‫ٰۤيا َ ُّي َها الَّ ِذي َْن ٰا َم ُن ۤ ْوا ِا َذا ُن ْود‬
‫َتعْ لَم ُْو َن‬
"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan sholat pada hari
Jum'at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."(QS. Al-Jumu'ah 62: Ayat 9)

b. Jual beli dengan cara menghadang di jalan sebelum sampai ke pasar Jual beli seperti ini,
penjual tidak mengetahui harga pasar yang sebenarnya, dengan tujuan barang akan dibeli dengan
harga yang serendah
rendahnya, selanjutnya akan dijual di pasar dengan harga setinggi-tingginya. Rasulullah saw,
bersabda : “janganlah kamu menghambat orang-orang yang akan pasar” (H.R Bukhori dan
Muslim).
c. Jual beli dengan niat menimbun barang Jual beli ini tidak terpuji, oleh karena itu dilarang,
karena pada saat orang banyak membutuhkan justru ia menimbun dan akan dijual dengan harga
setinggitingginya pada saat barang-barang yang ia timbun langka.
d. Jual beli dengan cara mengurangi ukuran dan timbangan Contoh jual beli mengurangi ukuran
dan timbangan adalah apabila ia bermaksud menipu, ia menjual minyak tanah dengan
mengatakan satu liter ternyata tidak ada satu liter, menjual beras 1 kg, ternyata setelah ditimbang
hanya 8 ons dan sebagainya.
e. Jual beli dengan cara mengecoh Jual beli ini termasuk menipu sehingga dilarang, misalnya
penjual mangga meletakkan mangga yang bagus-bagus diatas onggokan, sedangkan yang
jelekjelek ditempatkan dibawah onggokan.
f. Jual beli barang yang masih di tawar orang lain Apabila masih terjadi tawar menawar antara
penjual dan pembeli hendaknya penjual tidak menjual tidak menjual barang tersebut kepada
orang lain sebaliknya apabila seseorang akan membeli suatu barang maka hendaknya tidak ikut
membeli suatu barang yang sedang ditawar oleh orang lain, kecuali sudah tidak ada kepastian
dari orang tersebut atau sudah membatalkan jual belinya.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa jual beli itu diperbolehkan dalam
Islam.Hal ini dikarenakan jual beli adalah sarana manusia dalam mencukupi kebutuhan mereka,
dan menjalin silaturahmi antara mereka.Namun demikian, tidak semua jual beli
diperbolehkan.Ada juga jual beli yang dilarang karena tidak memenuhi rukun atau syarat jual
beli yang sudah disyariatkan. Rukun jual beli adalah adanya akad (ijab kabul), subjek akad dan
objek akad yang kesemuanya mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi, dan itu semua telah
dijelaskan di atas.Walaupun banyak perbedaan pendapat dari kalangan ulama dalam menentukan
rukun dan syarat jual beli, namun pada intinya terdapat kesamaan, yang berbeda hanyalah
perumusannya saja, tetapi inti dari rukun dan syaratnya hampir sama. Bagi umat Islam yang
melakukan bisnis dan selalu berpegang teguh pada norma-norma hukum islam, akan mendapat
berbagai hikmah diantaranya; (a) bahwa jual beli (bisnis) dalam islam dapat bernilai sosial atau
tolong menolong terhadap sesama, akan menumbuhkan berbagai pahala, (b) bisnis dalam islam
merupakan salah satu cara untuk menjaga kebersihan dan halalnya harta yang dimakan untuk
dirinya dan keluarganya, (c) bisnis dalam islam merupakan cara untuk memberantas kemalasan,
pengangguran dan pemerasan kepada orang lain, (d) berbisnis dengan jujur, sabar, ramah,
memberikan pelayanan yang memuaskan sebagaimana yang diajarkan dalam islam akan selalu
menjalin persahabatan kepada sesama manusia.
3.2. Saran
Jual beli merupakan kegiatan yang sering dilakukan oleh setiap manusia, namun pada zaman
sekarang manusia tidak menghiraukan hukum islam. Oleh karena itu, sering terjadi penipuan
dimana-mana. Untuk menjaga perdamaian dan
ketertiban sebaiknya kita berhati-hati dalam bertransaksi dan alangkah baiknya menerapkan
hukum islam dalam interaksinya. Allah SWT telah berfirman bahwasannya Allah
memperbolehkan jual beli dan mengharamkan riba.Maka dari itu, jauhilah riba dan jangan
sampai kita melakukun riba. Karena sesungguhnya riba dapat merugikan orang lain.
TUGAS PAI MAKALAH
‘’Jual beli dalam islam’’

DISUSUN OLEH :
o ILHAM HERLAN K
o JIHAN NASFAIRA
o ALDREY ARIEL
o INDRI LESTARI
o AVRILYTHA ZABYTH
o PUTRI RIZKI
o SHASA SHANIA
SEKOLAH MENENGAH ATAS BINA DHARMA 2 BANDUNG
2020

Anda mungkin juga menyukai