Anda di halaman 1dari 1439

Nama : Sukma Anggraeni

NPM : 1921030491
Kelas : G
Jurusan : Hukum Ekonomi Syariah
Mata Kuliah : Hukum Ketenagakerjaan

Pasal 27 UUD 1945 adalah pasal yang termasuk ke dalam bagian Bab X mengenai
Warga Negara dan Penduduk

Adapun bunyi ayat (2) pasal ini disebutkan sebagai berikut:

“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.”

Warga negara yang dimaksud pada ayat (2) ini adalah mereka orang-orang dari bangsa
Indonesia asli serta orang-orang dari bangsa lain yang sudah menjadi warga negara
berdasarkan pengesahan undang-undang.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2003

TENTANG

KETENAGAKERJAAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka


pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan
masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat
yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun
spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja
mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai
pelaku dan tujuan pembangunan;
c. bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja,
diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan
kualitas tenaga kerja dan peransertanya dalam pembangunan serta
peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan;
d. bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk
menjamin hak hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan
kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun
untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya
dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia
usaha;
e. bahwa beberapa undang undang di bidang ketenagakerjaan
dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan
pembangunan ketenagakerjaan, oleh karena itu perlu dicabut
dan/atau ditarik kembali;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf
a, b, c, d, dan e perlu membentuk Undang undang tentang
Ketenagakerjaan;
Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33
ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan persetujuan bersama antara


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

MenetapkanUNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGAKERJAAN.


:

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam undang undang ini yang dimaksud dengan :


1. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu
sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
2. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk
masyarakat.
3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan
dalam bentuk lain.
4. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan
lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
5. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili
perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah
Indonesia.
6. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik
persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang
mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
7. Perencanaan tenaga kerja adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara
sistematis yang dijadikan dasar dan acuan dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan
pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan.
8. Informasi ketenagakerjaan adalah gabungan, rangkaian, dan analisis data yang
berbentuk angka yang telah diolah, naskah dan dokumen yang mempunyai arti, nilai dan makna
tertentu mengenai ketenagakerjaan.
9. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,
meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos
kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi
jabatan atau pekerjaan.
10. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.
11. Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara
terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah
bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam
proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan
atau keahlian tertentu.
12. Pelayanan penempatan tenaga kerja adalah kegiatan untuk mempertemukan tenaga
kerja dengan pemberi kerja, sehingga tenaga kerja dapat memperoleh pekerjaan yang sesuai
dengan bakat, minat, dan kemampuannya, dan pemberi kerja dapat memperoleh tenaga kerja
yang sesuai dengan kebutuhannya.
13. Tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja
di wilayah Indonesia.
14. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi
kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
15. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan
perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
16. Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku
dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh,
dan pemerintah yang didasarkan pada nilai nilai Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
17. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk
pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka,
mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi
hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya.
18. Lembaga kerja sama bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari
pengusaha dan serikat pekerja/ serikat buruh yang sudah tercatat instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.
19. Lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah
tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha,
serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah.
20. Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang
memuat syarat syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
21. Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara
serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa
pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat syarat kerja, hak dan kewajiban
kedua belah pihak.
22. Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan
perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
hanya dalam satu perusahaan.
23. Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara
bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau
memperlambat pekerjaan.
24. Penutupan perusahaan (lock out) adalah tindakan pengusaha untuk menolak
pekerja/buruh seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan pekerjaan.
25. Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan
pengusaha.
26. Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun.
27. Siang hari adalah waktu antara pukul 06.00 sampai dengan pukul 18.00.
28. 1 (satu) hari adalah waktu selama 24 (dua puluh empat) jam.
29. Seminggu adalah waktu selama 7 (tujuh) hari.
30. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan
dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan,
termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa
yang telah atau akan dilakukan.
31. 31. Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau
keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja,
yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam
lingkungan kerja yang aman dan sehat.
32. Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan
pelaksanaan peraturan perundang undangan di bidang ketenagakerjaan.
33. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

BAB II
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN

Pasal 2

Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 3

Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui


koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.

Pasal 4

Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan :

a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;


b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan
kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan
d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
BAB III
KESEMPATAN DAN PERLAKUAN YANG SAMA

Pasal 5

Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh
pekerjaan.

Pasal 6

Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari
pengusaha.

BAB IV
PERENCANAAN TENAGA KERJA DAN
INFORMASI KETENAGAKERJAAN

Pasal 7

(1) Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan kebijakan dan menyusun
perencanaan tenaga kerja.
(2) Perencanaan tenaga kerja meliputi :

a. perencanaan tenaga kerja makro; dan


b. perencanaan tenaga kerja mikro.

(3) Dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan
yang berkesinambungan, pemerintah harus berpedoman pada perencanaan tenaga kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 8

(1) Perencanaan tenaga kerja disusun atas dasar informasi ketenagakerjaan yang antara lain meliputi
:
a. penduduk dan tenaga kerja;
b. kesempatan kerja;
c. pelatihan kerja termasuk kompetensi kerja;
d. produktivitas tenaga kerja;
e. hubungan industrial;
f. kondisi lingkungan kerja;
g. pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja; dan
h. jaminan sosial tenaga kerja.
(2) Informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diperoleh dari semua pihak
yang terkait, baik instansi pemerintah maupun swasta.
(3) Ketentuan mengenai tata cara memperoleh informasi ketenagakerjaan dan penyusunan serta
pelaksanaan perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB V
PELATIHAN KERJA

Pasal 9

Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan


mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan
kesejahteraan.

Pasal 10

(1) Pelatihan kerja dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pasar kerja dan dunia usaha,
baik di da-lam maupun di luar hubungan kerja.
(2) Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu pada standar
kompetensi kerja.
(3) Pelatihan kerja dapat dilakukan secara berjenjang.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penetapan standar kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 11

Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau


mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui
pelatihan kerja.

Pasal 12

(1) Pengusaha bertanggung jawab atas peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi


pekerjanya melalui pelatihan kerja.
(2) Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diwajibkan bagi pengusaha yang memenuhi persyaratan yang diatur dengan Keputusan Menteri.
(3) Setiap pekerja/buruh memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan kerja sesuai
dengan bi-dang tugasnya.

Pasal 13

(1) Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah dan/atau lembaga
pelatihan kerja swasta.
(2) Pelatihan kerja dapat diselenggarakan di tempat pelatihan atau tempat kerja.
(3) Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam
menyelenggarakan pe-latihan kerja dapat bekerja sama dengan swasta.

Pasal 14

(1) Lembaga pelatihan kerja swasta dapat berbentuk badan hukum Indonesia atau perorangan.
(2) Lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memperoleh izin
atau men daftar ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
kabupaten/kota.
(3) Lembaga pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah mendaftarkan
kegiatannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
kabupaten/kota.
(4) Ketentuan mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran lembaga pelatihan kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 15

Penyelenggara pelatihan kerja wajib memenuhi persyaratan :


a. tersedianya tenaga kepelatihan;
b. adanya kurikulum yang sesuai dengan tingkat pelatihan;
c. tersedianya sarana dan prasarana pelatihan kerja; dan
d. tersedianya dana bagi kelangsungan kegiatan penyelenggaraan pelatihan kerja.

Pasal 16

(1) Lembaga pelatihan kerja swasta yang telah memperoleh izin dan lembaga pelatihan kerja
pemerintah yang telah terdaftar dapat memperoleh akreditasi dari lembaga akreditasi.
(2) Lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat independen terdiri atas unsur
masya rakat dan pemerintah ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(3) Organisasi dan tata kerja lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan
Kepu tusan Menteri.

Pasal 17

(1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota dapat


menghentikan seme ntara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja, apabila dalam
pelaksanaannya ternyata :
a. tidak sesuai dengan arah pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9; dan/atau
b. tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
(2) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), disertai alasan dan saran perbaikan dan berlaku paling lama 6 (enam) bulan.
(3) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja hanya dikenakan terhadap
program pelatihan yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal
15.
(4) Bagi penyelenggara pelatihan kerja dalam waktu 6 (enam) bulan tidak memenuhi dan melengkapi
saran per baikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikenakan sanksi penghentian program
pelatihan.
(5) Penyelenggara pelatihan kerja yang tidak menaati dan tetap melaksanakan program pelatihan
kerja yang telah dihentikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dikenakan sanksi pencabutan
izin dan pembatalan pendaftaran penyelenggara pelatihan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara penghentian sementara, penghentian, pencabutan izin, dan
pembatalan pen daftaran diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 18
(1) Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pelatihan kerja
yang di selenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta,
atau pelatihan di tempat kerja.
(2) Pengakuan kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui sertifikasi
kompe tensi kerja.
(3) Sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat pula diikuti oleh tenaga
kerja yang telah berpengalaman.
(4) Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibentuk badan nasional sertifikasi profesi yang
inde penden.
(5) Pembentukan badan nasional sertifikasi profesi yang independen sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 19

Pelatihan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat dilaksanakan dengan memperhatikan jenis,
derajat kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang bersangkutan.

Pasal 20

(1) Untuk mendukung peningkatan pelatihan kerja dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan,
dikembang kan satu sistem pelatihan kerja nasional yang merupakan acuan pelaksanaan
pelatihan kerja di semua bidang dan/atau sektor.
(2) Ketentuan mengenai bentuk, mekanisme, dan kelembagaan sistem pelatihan kerja nasional
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 21

Pelatihan kerja dapat diselenggarakan dengan sistem pemagangan.

Pasal 22

(1) Pemagangan dilaksanakan atas dasar perjanjian pemagangan antara peserta dengan pengusaha
yang di buat secara tertulis.
(2) Perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang-kurangnya memuat
ketentuan hak dan kewajiban peserta dan pengusaha serta jangka waktu pemagangan.
(3) Pemagangan yang diselenggarakan tidak melalui perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), dianggap tidak sah dan status peserta berubah menjadi pekerja/buruh
perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 23

Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas pengakuan kualifikasi
kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi.

Pasal 24

Pemagangan dapat dilaksanakan di perusahaan sendiri atau di tempat penyelenggaraan


pelatihan kerja, atau perusahaan lain, baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia.

Pasal 25
(1) Pemagangan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia wajib mendapat izin dari Menteri atau
pejabat yang ditunjuk.
(2) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyelenggara pemagangan
harus ber bentuk badan hukum Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Ketentuan mengenai tata cara perizinan pemagangan di luar wilayah Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 26

(1) Penyelenggaraan pemagangan di luar wilayah Indonesia harus memperhatikan :


a. harkat dan martabat bangsa Indonesia;
b. penguasaan kompetensi yang lebih tinggi; dan
c. perlindungan dan kesejahteraan peserta pemagangan, termasuk melaksanakan ibadahnya.
(2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan pelaksanaan pemagangan di luar wilayah
Indo nesia apabila di dalam pelaksanaannya ternyata tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 27

(1) Menteri dapat mewajibkan kepada perusahaan yang memenuhi persyaratan untuk melaksanakan
program pemagangan.
(2) Dalam menetapkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri harus
memperhatikan ke pentingan perusahaan, masyarakat, dan negara.

Pasal 28

(1) Untuk memberikan saran dan pertimbangan dalam penetapan kebijakan serta melakukan
koordinasi pela tihan kerja dan pemagangan dibentuk lembaga koordinasi pelatihan kerja
nasional.
(2) Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga koordinasi pelatihan kerja sebagaimana
dimaksud da lam ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden.

Pasal 29

(1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pembinaan pelatihan kerja dan
pemagangan.
(2) Pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan ditujukan ke arah peningkatan relevansi, kualitas,
dan efisien si penyelenggaraan pelatihan kerja dan produktivitas.
(3) Peningkatan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan melalui
pengembangan buda ya produktif, etos kerja, teknologi, dan efisiensi kegiatan ekonomi, menuju
terwujudnya produktivitas nasional.

Pasal 30

(1) Untuk meningkatkan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dibentuk
lembaga pro duktivitas yang bersifat nasional.
(2) Lembaga produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berbentuk jejaring kelembagaan
pelayanan peningkatan produktivitas, yang bersifat lintas sektor maupun daerah.
(3) Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga produktivitas nasional sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden.

BAB VI
PENEMPATAN TENAGA KERJA

Pasal 31

Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan,
atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri.

Pasal 32

(1) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan
setara tanpa diskriminasi.
(2) Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat
sesuai de ngan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan
harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum.
(3) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan kesempatan kerja
dan penye diaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan program nasional dan daerah.

Pasal 33

Penempatan tenaga kerja terdiri dari :


a. penempatan tenaga kerja di dalam negeri; dan
b. penempatan tenaga kerja di luar negeri.

Pasal 34

Ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 huruf b diatur dengan undang-undang.

Pasal 35

(1) Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang
dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja.
(2) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memberikan
perlindu ngan sejak rekrutmen sampai penempatan tenaga kerja
(3) Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib
memberi kan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik
mental maupun fisik tenaga kerja.

Pasal 36

(1) Penempatan tenaga kerja oleh pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1)
dilakukan dengan memberikan pelayanan penempatan tenaga kerja.
(2) Pelayanan penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat terpadu
dalam satu sistem penempatan tenaga kerja yang meliputi unsur-unsur :
a. pencari kerja;
b. lowongan pekerjaan;
c. informasi pasar kerja;
d. mekanisme antar kerja; dan
e. kelembagaan penempatan tenaga kerja.
(3) Unsur-unsur sistem penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat
dilaksanakan secara terpisah yang ditujukan untuk terwujudnya penempatan tenaga kerja.

Pasal 37

(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) terdiri dari :
a. instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenaga-kerjaan; dan
b. lembaga swasta berbadan hukum.
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dalam
melak sanakan pelayanan penempatan tenaga kerja wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau
pejabat yang ditunjuk.

Pasal 38

(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a,
dilarang memungut biaya penempatan, baik langsung maupun tidak langsung, sebagian atau
keseluruhan kepada tenaga kerja dan pengguna tenaga kerja.
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf
b, hanya dapat memungut biaya penempatan tenaga kerja dari pengguna tenaga kerja dan dari
tenaga kerja golongan dan jabatan tertentu.
(3) Golongan dan jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.

BAB VII
PERLUASAN KESEMPATAN KERJA

Pasal 39

(1) Pemerintah bertanggung jawab mengupayakan perluasan kesempatan kerja baik di dalam
maupun di luar hubungan kerja.
(2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengupayakan perluasan kesempatan kerja baik di
dalam maupun di luar hubungan kerja.
(3) Semua kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah di setiap sektor diarahkan untuk
mewujudkan per luasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
(4) Lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan, dan dunia usaha perlu membantu
dan mem berikan kemudahan bagi setiap kegiatan masyarakat yang dapat menciptakan atau
mengembangkan perluasan kesempatan kerja.

Pasal 40

(1) Perluasan kesempatan kerja di luar hubungan kerja dilakukan melalui penciptaan kegiatan yang
produktif dan berkelanjutan dengan mendayagunakan potensi sumber daya alam, sumber daya
manusia dan teknologi tepat guna.
(2) Penciptaan perluasan kesempatan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan
pola pembentukan dan pembinaan tenaga kerja mandiri, penerapan sistem padat karya,
penerapan teknologi tepat guna, dan pendayagunaan tenaga kerja sukarela atau pola lain yang
dapat mendorong terciptanya perluasan kesempatan kerja.

Pasal 41

(1) Pemerintah menetapkan kebijakan ketenagakerjaan dan perluasan kesempatan kerja.


(2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengawasi pelaksanaan kebijakan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dibentuk badan
koordinasi yang beranggotakan unsur pemerintah dan unsur masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai perluasan kesempatan kerja, dan pembentukan badan koordinasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 40, dan ayat (3) dalam pasal ini diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

BAB VIII
PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING

Pasal 42

(1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari
Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing.
(3) Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak berlaku bagi perwakilan
negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai diplomatik dan
konsuler.
(4) Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan
tertentu dan waktu tertentu.
(5) Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)
ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(6) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) yang masa kerjanya habis dan tidak
dapat di perpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing lainnya.

Pasal 43

(1) Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana penggunaan tenaga
kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-
kurangnya me muat keterangan :
a. alasan penggunaan tenaga kerja asing;
b. jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja asing dalam struktur organisasi perusahaanyang
bersangkutan;
c. jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing; dan
d. penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping tenaga kerja
asing yang dipekerjakan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah, badan-
badan internasional dan perwakilan negara asing.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing diatur
dengan Keputu san Menteri.

Pasal 44

(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan standar
kompetensi yang berlaku.
(2) Ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 45

(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib :

a. menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping tenaga
kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing; dan
b. melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sebagaimana
dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja
asing.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kerja asing yang
menduduki ja batan direksi dan/atau komisaris.

Pasal 46

(1) Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau jabatan-
jabatan ter tentu.
(2) Jabatan-jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri

Pasal 47

(1) Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap tenaga kerja asing yang dipekerjakannya.
(2) Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi
instansi pe merintah, perwakilan negara asing, badan-badan internasional, lembaga sosial,
lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
(3) Ketentuan mengenai jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
(4) Ketentuan mengenai besarnya kompensasi dan penggunaannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 48

Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memulangkan tenaga kerja asing
ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir.

Pasal 49

Ketentuan mengenai penggunaan tenaga kerja asing serta pelaksanaan pendidikan dan
pelatihan tenaga kerja pendamping diatur dengan Keputusan Presiden.
BAB IX
HUBUNGAN KERJA

Pasal 50

Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh.

Pasal 51

(1) Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan.


(2) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang undangan yang berlaku.

Pasal 52

(1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar :


a. kesepakatan kedua belah pihak;
b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan,
dan peraturan perundang undangan yang berlaku.
(2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan.
(3) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum.

Pasal 53

Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja
dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha.

Pasal 54

(1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya memuat :
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. jabatan atau jenis pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e dan f, tidak boleh
ber-tentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan
perundang undangan yang berlaku.
(3) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang kurangnya rangkap 2
(dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh dan pengusaha masing
masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.

Pasal 55

Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak.

Pasal 56

(1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas :
a. jangka waktu; atau
b. selesainya suatu pekerjaan tertentu.

Pasal 57

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa
Indonesia dan huruf latin.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan
sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak
tertentu.
(3) Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian
terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku perjanjian kerja yang dibuat
dalam bahasa Indonesia.

Pasal 58

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.
(2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum.

Pasal 59

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut
jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama danpaling
lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan
yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.
(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk
paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling
lama 1 (satu) tahun.
(5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama
7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya
secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang
waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan
perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua)
tahun.
(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian
kerja waktu tidak tertentu.
(8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

Pasal 60

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama
3 (tiga) bulan.
(2) Dalam masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha dilarang
membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.

Pasal 61

(1) Perjanjian kerja berakhir apabila :


a. pekerja meninggal dunia;
b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya
hubungan kerja.
(2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas
perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah.
(3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab
pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-
hak pekerja/buruh.
(4) Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat
mengakhiri per-janjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh.
(5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/ buruh berhak mendapatkan hak
haknya se-suai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau hak hak yang telah
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 62

Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang
ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan
kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai
batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.

Pasal 63
(1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib
membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan.
(2) Surat pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang kurangnya memuat
keterangan :
a. nama dan alamat pekerja/buruh;
b. tanggal mulai bekerja;
c. jenis pekerjaan; dan
d. besarnya upah.

Pasal 64

Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya


melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat
secara tertulis.

Pasal 65

(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui
perjanjian pem borongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum.
(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana
dimak-sud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-
syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur
lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
(6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang
dipekerjakannya.
(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja
waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka
demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan
beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
(9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan
hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).

Pasal 66

(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi
kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan
proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan
langsung dengan proses produksi.
(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak
berhubungan lang-sung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf
a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara
tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul
menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang
bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib
memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin
dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d
serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh
dan perusahaan pemberi pekerjaan.

BAB X
PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN, DAN
KESEJAHTERAAN

Bagian Kesatu
Perlindungan

Paragraf 1
Penyandang Cacat

Pasal 67

(1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan
sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
(2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Paragraf 2
Anak

Pasal 68

Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.

Pasal 69

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang berumur
antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan
ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagai-mana dimaksud dalam
ayat (1) ha-rus memenuhi persyaratan :
a. izin tertulis dari orang tua atau wali;
b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e. keselamatan dan kesehatan kerja;
f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan
g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, b, f, dan g dikecualikan bagi anak yang
bekerja pada usaha keluarganya.

Pasal 70

(1) Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum
pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.
(2) Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit berumur 14 (empat belas) tahun.
(3) Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat :
a. diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan
pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan
b. diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

Pasal 71

(1) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi
syarat :
a. di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali;
b. waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan
c. kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu
sekolah.
(3) Ketentuan mengenai anak yang bekerja untuk mengembangkan bakat dan minat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 72

Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja
anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa.

Pasal 73

Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.

Pasal 74

(1) Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk.
(2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;
b. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk
pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian;
c. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk
produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
dan/atau
d. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.
(3) Jenis-jenis pekerjaaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak
sebagaimana di-maksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pasal 75

(1) Pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan
kerja.
(2) Upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Paragraf 3
Perempuan

Pasal 76

(1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang
dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
(2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan
dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila
bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan
pukul 07.00 wajib :
a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan
b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
(4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang
berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri.

Paragraf 4
Waktu Kerja

Pasal 77

(1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.


(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari
kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima)
hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha
atau peker-jaan tertentu.
(4) Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 78

(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat :
a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) haridan 14
(empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.
(3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi
sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(4) Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 79

(1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.
(2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi :
a. istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4
(empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2
(dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
c. cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang
bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan
d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun
ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja
selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan
pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan
dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
(3) Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(4) Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d hanya berlaku bagi
pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu.
(5) Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 80

Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/ buruh untuk
melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.

Pasal 81

(1) Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada
pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 82

(1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum
saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut
perhitungan dokter kandungan atau bidan.
(2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat
1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.

Pasal 83

Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya
untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.

Pasal 84
Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d, Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat upah penuh.

Pasal 85
(1) Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi.
(2) Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur resmi apabila
jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus- menerus atau
pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha.
(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan pada hari libur resmi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib membayar upah kerja lembur.
(4) Ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur
dengan Keputusan Menteri.

Paragraf 5
Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Pasal 86
(1) Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas :
a. keselamatan dan kesehatan kerja;
b. moral dan kesusilaan; dan
c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.

(2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal
diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Pasal 87
(1) Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang
terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.
(2) Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Pengupahan.

Pasal 88
(1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan.
(2) Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang
melindungi pekerja/buruh.
(3) Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
meliputi :
a. upah minimum;
b. upah kerja lembur;
c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
f. bentuk dan cara pembayaran upah;
g. denda dan potongan upah;
h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j. upah untuk pembayaran pesangon; dan
k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
(4) Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a
berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan mem-perhatikan produktivitas dan pertumbuhan
ekonomi.

Pasal 89
(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat terdiri atas :
a. upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota;
b. upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.
(2) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diarahkan kepada pencapaian kebutuhan
hidup layak.
(3) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur dengan
memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.
(4) Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 90
(1) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 89.
(2) Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 89 dapat dilakukan penangguhan.
(3) Tata cara penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 91
(1) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh
atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang
ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan
pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Pasal 92
(1) Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa
kerja, pendidikan, dan kompetensi.
(2) Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan mem-perhatikan kemampuan
perusahaan dan produktivitas.
(3) Ketentuan mengenai struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Keputusan Menteri.

Pasal 93
(1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar
upah apabila :
a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak
dapat melakukan pekerjaan;
c. pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan,
membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau
anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah
meninggal dunia;
d. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban
terhadap negara;
e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalan-kan ibadah yang
diperintahkan agamanya;
f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak
mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat
dihindari pengusaha;
g. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h. pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha;
dan
i. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
(3) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
huruf a sebagai berikut :
a. untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus perseratus) dari upah;
b. untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari upah;
c. untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh perseratus) dari upah; dan
d. untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah sebelum pemutusan
hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.
(4) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk bekerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf c sebagai berikut :
a. pekerja/buruh menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari;
b. menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
c. mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari
d. membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
e. isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
f. suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau menantu meninggal dunia, dibayar untuk selama 2
(dua) hari; dan
g. anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, dibayar untuk selama 1 (satu) hari.
(5) Pengaturan pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 94
Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka besarnya upah
pokok sedikit-dikitnya 75 % (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah pokok dan tunjangan
tetap.

Pasal 95
(1) Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat
dikenakan denda.
(2) Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan
pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.
(3) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh, dalam
pembayaran upah.
(4) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang
yang didahulukan pem-bayarannya.

Pasal 96
Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan
kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya
hak.
Pasal 97
Ketentuan mengenai penghasilan yang layak, kebijakan pengupahan, kebutuhan hidup layak,
dan perlindungan pengupahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, penetapan upah
minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, dan pengenaan denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 98
(1) Untuk memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan kebijakan pengupahan yang akan
ditetapkan oleh pemerintah, serta untuk pengembangan sistem pengupahan nasional dibentuk
Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
(2) Keanggotaan Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari unsur
pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/-serikat buruh, perguruan tinggi, dan pakar.
(3) Keanggotaan Dewan Pengupahan tingkat Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden,
sedangkan keanggotaan Dewan Pengupahan Provinsi, Kabupaten/Kota diangkat dan
diberhentikan oleh Gubenur/ Bupati/Walikota.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, komposisi keanggotaan, tata cara pengangkatan
dan pemberhentian keanggotaan, serta tugas dan tata kerja Dewan Pengupahan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Presiden.

Bagian Ketiga
Kesejahteraan

Pasal 99
(1) Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja.
(2) Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 100
(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha wajib
menyediakan fasilitas kesejahteraan.
(2) Penyediaan fasilitas kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilak?sanakan
dengan memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusa?haan.
(3) Ketentuan mengenai jenis dan kriteria fasilitas kesejahteraan sesuai dengan kebutuhan
pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 101
(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh, dibentuk koperasi pekerja/buruh dan usaha-
usaha produktif di perusahaan.
(2) Pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh berupaya
menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh, dan mengembangkan usaha produktif
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Pembentukan koperasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Upaya-upaya untuk menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XI
HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Umum

Pasal 102
(1) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi menetapkan kebijakan,
memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap
pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
(2) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruhnya
mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban
demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan
keterampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan
kesejahteraan anggota beserta keluarganya.
(3) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pengusaha dan organisasi pengusahanya mempunyai
fungsi menciptakan kemitraan, mengembang-kan usaha, memperluas lapangan kerja, dan
memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan.

Pasal 103
Hubungan Industrial dilaksanakan melalui sarana :
a. serikat pekerja/serikat buruh;
b. organisasi pengusaha;
c. lembaga kerja sama bipartit;
d. embaga kerja sama tripartit;
e. peraturan perusahaan;
f. perjanjian kerja bersama;
g. peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; dan
h. lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Bagian Kedua
Serikat Pekerja/Serikat Buruh

Pasal 104

(1) Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, serikat pekerja/serikat
buruh ber-hak menghimpun dan mengelola keuangan serta mempertanggungjawabkan
keuangan organisasi termasuk dana mogok.
(3) Besarnya dan tata cara pemungutan dana mogok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur
dalam ang-garan dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat buruh yang
bersangkutan.

Bagian Ketiga
Organisasi Pengusaha

Pasal 105

(1) Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha.
(2) Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang ber-laku.

Bagian Keempat
Lembaga Kerja Sama Bipartit

Pasal 106

(1) Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/ buruh atau lebih wajib
membentuk lembaga kerja sama bipartit.
(2) Lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi sebagai forum
komunikasi, dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan.
(3) Susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdiri
dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh pekerja/buruh secara
demokratis untuk mewakili kepentingan pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan dan susunan keanggotaan lembaga kerja sama
bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Bagian Kelima
Lembaga Kerja Sama Tripartit

Pasal 107

(1) Lembaga kerja sama tripartit memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada pemerintah
dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan.
(2) Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terdiri dari :
a. Lembaga Kerja sama Tripartit Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota; dan
b. Lembaga Kerja sama Tripartit Sektoral Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
(3) Keanggotaan Lembaga Kerja sama Tripartit terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha,
dan seri-kat pekerja/serikat buruh.
(4) Tata kerja dan susunan organisasi Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam
Peraturan Perusahaan

Pasal 108

(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib


membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat
yang ditunjuk.
(2) Kewajiban membuat peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku
bagi peru-sahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama.

Pasal 109
Peraturan perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang
bersangkutan.

Pasal 110

(1) Peraturan perusahaan disusun dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil
pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh maka
wakil pe-kerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pengurus serikat
pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan belum terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, wakil
pekerja/ buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pekerja/buruh yang dipilih secara
demokratis untuk mewakili kepentingan para pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 111

(1) Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat :


a. hak dan kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban pekerja/buruh;
c. syarat kerja;
d. tata tertib perusahaan; dan
e. jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
(2) Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang undangan yang berlaku.
(3) Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui setelah
habis masa berlakunya.
(4) Selama masa berlakunya peraturan perusahaan, apabila serikat pekerja/ serikat buruh di
perusahaan meng hendaki perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama, maka pengusaha
wajib melayani.
(5) Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat
(4) tidak mencapai kesepakatan, maka peraturan perusahaan tetap berlaku sampai habis jangka
waktu berlakunya.

Pasal 112

(1) Pengesahan peraturan perusahaan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) harus sudah diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak naskah peraturan perusahaan diterima.
(2) Apabila peraturan perusahaan telah sesuai sebagaimana ketentuan dalam Pasal 111 ayat (1) dan
ayat (2), maka dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sudah terlampaui dan peraturan perusahaan belum disahkan oleh Menteri atau pejabat yang
ditunjuk, maka peraturan perusahaan dianggap telah mendapatkan pengesahan.
(3) Dalam hal peraturan perusahaan belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk harus memberitahukan secara
tertulis kepada pengusaha mengenai perbaikan peraturan perusahaan.
(4) Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan diterima oleh
pengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), pengusaha wajib menyampaikan kembali
peraturan perusahaan yang telah diperbaiki kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 113
(1) Perubahan peraturan perusahaan sebelum berakhir jangka waktu berlakunya hanya dapat
dilakukan atas dasar kesepakatan antara pengusaha dan wakil pekerja/buruh.
(2) Peraturan perusahaan hasil perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mendapat
pengesa-han dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 114

Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah peraturan
perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh.

Pasal 115

Ketentuan mengenai tata cara pembuatan dan pengesahan peraturan perusahaan diatur dengan
Keputusan Menteri.

Bagian Ketujuh
Perjanjian Kerja Bersama

Pasal 116

(1) Perjanjian kerja bersama dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat
pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.
(2) Penyusunan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan secara
musya-warah.
(3) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuat secara tertulis
dengan huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia.
(4) Dalam hal terdapat perjanjian kerja bersama yang dibuat tidak menggunakan bahasa Indonesia,
maka per-janjian kerja bersama tersebut harus diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh
penerjemah tersumpah dan terjemahan tersebut dianggap sudah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).

Pasal 117

Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) tidak mencapai
kesepakatan, maka penyelesaiannya dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.

Pasal 118

Dalam 1 (satu) perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) perjanjian kerja bersama yang berlaku
bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan.

Pasal 119

(1) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh, maka serikat
pekerja/seri-kat buruh tersebut berhak mewakili pekerja/buruh dalam perundingan pembuatan
perjanjian kerja bersama dengan pengusaha apabila memiliki jumlah anggota lebih dari 50%
(lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tetapi tidak memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh
perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan maka serikat pekerja/serikat buruh
dapat mewakili pekerja/buruh dalam perundingan dengan pengusaha apabila serikat
pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah mendapat dukungan lebih 50% (lima puluh
perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui pemungutan suara.
(3) Dalam hal dukungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak tercapai maka serikat
pekerja/serikat buruh yang bersangkutan dapat mengajukan kembali permintaan untuk
merundingkan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha setelah melampaui jangka waktu 6
(enam) bulan terhitung sejak dilakukannya pemungutan suara dengan mengikuti prosedur
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

Pasal 120

(1) Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh maka yang
berhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan dengan pengusaha yang jumlah
keanggotaannya lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di
perusahaan tersebut.
(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak terpenuhi, maka serikat
pekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah lebih dari 50% (lima
puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut untuk mewakili
dalam perundingan dengan pengusaha.
(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) tidak terpenuhi, maka
para seri-kat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan
secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat pekerja/serikat buruh.

Pasal 121

Keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan Pasal
120 dibuktikan dengan kartu tanda anggota.

Pasal 122

Pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) diselenggarakan oleh
panitia yang terdiri dari wakil-wakil pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh
yang disaksikan oleh pihak pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan
pengusaha.

Pasal 123

(1) Masa berlakunya perjanjian kerja bersama paling lama 2 (dua) tahun.
(2) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang masa
berlakunya pa-ling lama 1 (satu) tahun berdasarkan kesepakatan tertulis antara pengusaha
dengan serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama berikutnya dapat dimulai paling cepat 3 (tiga)
bulan se-belum berakhirnya perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak mencapai kesepakatan maka
perjan-jian kerja bersama yang sedang berlaku, tetap berlaku untuk paling lama 1 (satu) tahun.

Pasal 124
(1) Perjanjian kerja bersama paling sedikit memuat :
a. hak dan kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;
c. jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama; dan
d. tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(3) Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka ketentuan yang bertentangan tersebut
batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 125

Dalam hal kedua belah pihak sepakat mengadakan perubahan perjanjian kerja bersama, maka
perubahan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kerja bersama yang
sedang berlaku.

Pasal 126

(1) Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pekerja/buruh wajib melaksanakan ketentuan yang
ada da-lam perjanjian kerja bersama.
(2) Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan isi perjanjian kerja bersama
atau peru-bahannya kepada seluruh pekerja/ buruh.
(3) Pengusaha harus mencetak dan membagikan naskah perjanjian kerja bersama kepada setiap
pekerja/ buruh atas biaya perusahaan.

Pasal 127

(1) Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/buruh tidak boleh bertentangan dengan
perjanjian kerja bersama.
(2) Dalam hal ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertentangan
dengan perjanjian kerja bersama, maka ketentuan dalam perjanjian kerja tersebut batal demi
hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam perjanjian kerja bersama.

Pasal 128

Dalam hal perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang diatur dalam perjanjian kerja
bersama maka yang berlaku adalah aturan-aturan dalam perjanjian kerja bersama.

Pasal 129

(1) Pengusaha dilarang mengganti perjanjian kerja bersama dengan peraturan perusahaan, selama di
perusa-haan yang bersangkutan masih ada serikat pekerja/serikat buruh.
(2) Dalam hal di perusahaan tidak ada lagi serikat pekerja/serikat buruh dan perjanjian kerja bersama
diganti dengan peraturan perusahaan, maka ketentuan yang ada dalam peraturan perusahaan
tidak boleh lebih rendah dari ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama.

Pasal 130

(1) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan diperpanjang atau
diper-baharui dan di perusahaan tersebut hanya terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh,
maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama tidak mensyaratkan
ketentuan dalam Pasal 119.
(2) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan diperpanjang atau
diper-baharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh
dan serikat pekerja/serikat buruh yang dulu berunding tidak lagi memenuhi ketentuan Pasal 120
ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan
oleh serikat pekerja/serikat buruh yang anggotanya lebih 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah
seluruh pekerja/buruh di perusahaan bersama-sama dengan serikat pekerja/serikat buruh yang
membuat perjanjian kerja bersama terdahulu dengan membentuk tim perunding secara
proporsional.
(3) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan diperpanjang atau
diper-baharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/ serikat
buruh dan tidak satupun serikat pekerja/serikat buruh yang ada memenuhi ketentuan Pasal 120
ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan
menurut ketentuan Pasal 120 ayat (2) dan ayat (3).

Pasal 131

(1) Dalam hal terjadi pembubaran serikat pekerja/serikat buruh atau pengalihan kepemilikan
perusahaan maka perjanjian kerja bersama tetap berlaku sampai berakhirnya jangka waktu
perjanjian kerja bersama.
(2) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) dan masing-masing perusahaan
mempunyai perjan-jian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama yang berlaku adalah
perjanjian kerja bersama yang lebih menguntungkan pekerja/buruh.
(3) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) antara perusahaan yang mempunyai
perjanjian kerja bersama dengan perusahaan yang belum mempunyai perjanjian kerja bersama
maka perjanjian kerja bersama tersebut berlaku bagi perusahaan yang bergabung (merger)
sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama.

Pasal 132

(1) Perjanjian kerja bersama mulai berlaku pada hari penandatanganan kecuali ditentukan lain dalam
perjanjian kerja bersama tersebut.
(2) Perjanjian kerja bersama yang ditandatangani oleh pihak yang membuat perjanjian kerja bersama
selan-jutnya didaftarkan oleh pengusaha pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.

Pasal 133

Ketentuan mengenai persyaratan serta tata cara pembuatan, perpanjangan, perubahan, dan
pendaftaran perjanjian kerja bersama diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 134

Dalam mewujudkan pelaksanaan hak dan kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha, pemerintah
wajib melaksanakan pengawasan dan penegakan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan.

Pasal 135

Pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dalam mewujudkan hubungan


industrial merupakan tanggung jawab pekerja/buruh, pengusaha, dan pemerintah.
Bagian Kedelapan
Lembaga Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial

Paragraf 1
Perselisihan Hubungan Industrial

Pasal 136

(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan
hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang.

Paragraf 2
Mogok Kerja

Pasal 137

Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara
sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.

Pasal 138

(1) Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang bermaksud mengajak pekerja/buruh
lain untuk mogok kerja pada saat mogok kerja berlangsung dilakukan dengan tidak melanggar
hukum.
(2) Pekerja/buruh yang diajak mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat memenuhi
atau tidak memenuhi ajakan tersebut.

Pasal 139

Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melayani
kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatan-nya membahayakan keselamatan
jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau
membahayakan keselamatan orang lain.

Pasal 140

(1) Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan,
pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada
pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :
a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja;
b. tempat mogok kerja;
c. alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan
d. tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris serikat
pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.
(3) Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat
pekerja/ serikat buruh, maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau
penanggung jawab mogok kerja.
(4) Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka demi
menyelamat kan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil tindakan
sementara dengan cara :
a. melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses produksi;
atau
b. bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan.

Pasal 141

(1) Instansi pemerintah dan pihak perusahaan yang menerima surat pemberitahuan mogok kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 wajib memberikan tanda terima.
(2) Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya pemogokan
dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan kesepakatan, maka
harus dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan pegawai dari
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menghasilkan kesepakatan,
maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan segera
menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya mogok kerja kepada lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang.
(5) Dalam hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4),
maka atas dasar perundingan antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh atau
penanggung jawab mogok kerja, mogok kerja dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara
atau dihentikan sama sekali.

Pasal 142

(1) Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139
dan Pa-sal 140 adalah mogok kerja tidak sah.
(2) Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur
dengan Keputusan Menteri.

Pasal 143

(1) Siapapun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh untuk
mengguna kan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan damai.
(2) Siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap pekerja/buruh dan
pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang melakukan mogok kerja secara sah, tertib, dan
damai sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 144

Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 140, pengusaha dilarang :
a. mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar
perusahaan; atau
b. memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh
dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja.

Pasal 145

Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan
hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh berhak
mendapatkan upah.

Paragraf 3
Penutupan Perusahaan (lock-out)

Pasal 146

(1) Penutupan perusahaan (lock out) merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak pekerja/buruh
sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan.
(2) Pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan perusahaan (lock out) sebagai tindakan
balasan sehubungan adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat
buruh.
(3) Tindakan penutupan perusahaan (lock out) harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku.

Pasal 147

Penutupan perusahaan (lock out) dilarang dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang


melayani kepentingan umum dan/atau jenis kegiatan yang membahayakan keselamatan jiwa
manusia, meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat pengendali telekomunikasi,
pusat penyedia tenaga listrik, pengolahan minyak dan gas bumi, serta kereta api.

Pasal 148

(1) Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh dan/atau serikat
pekerja/serikat buruh, serta instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
setempat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum penutupan perusahaan (lock out)
dilaksanakan.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :
a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan perusahaan (lock out); dan
b. alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan (lock out).
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh pengusaha dan/atau
pimpinan perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 149

(1) Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dan instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenaga-kerjaan yang menerima secara langsung surat pemberitahuan penutupan perusahaan
(lock out) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 harus memberikan tanda bukti penerimaan
dengan mencantumkan hari, tanggal, dan jam penerimaan.
(2) Sebelum dan selama penutupan perusahaan (lock out) berlangsung, instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan berwenang langsung menyelesaikan masalah yang
menyebabkan timbulnya penutupan perusahaan (lock out) dengan mempertemukan dan
merundingkannya dengan para pihak yang berselisih.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan kesepakatan, maka
harus dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan pegawai dari instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menghasilkan kesepakatan,
maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan segera
menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya penutupan perusahaan (lock out) kepada
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
(5) Apabila perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4),
maka atas dasar perundingan antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh, penutupan
perusahaan (lock out) dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama
sekali.
(6) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) dan ayat (2) tidak diperlukan
apabila :
a. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar prosedur mogok kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140;
b. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar ketentuan normatif yang
ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB XII
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

Pasal 150

Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan
hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik
negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Pasal 151

(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya
harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari,
maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak
menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan
persetu-juan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh
setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Pasal 152

(1) Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya.
(2) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diterima oleh lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila telah dirundangkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2).
(3) Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk memutuskan
hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan.

Pasal 153

(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan :

a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama
waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban
terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. pekerja/buruh menikah;
e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan
pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama;
g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat
buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di
dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan
pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis
kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit
karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu
penyembuhannya belum dapat dipastikan.
(2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang
bersangkutan.

Pasal 154

Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam hal :

a. pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara
tertulis sebelumnya;
b. pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan
sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan
kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;
c. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau
d. pekerja/buruh meninggal dunia.
Pasal 155

(1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3)
batal demi hukum.
(2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik
pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.
(3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan
hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima
pekerja/buruh.

Pasal 156

(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon
dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
(2) Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut
:
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulanupah;
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan
upah;
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan
upah;
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan
upah.
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan)
bulan upah;
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
(3) Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
sebagai be-rikut :
a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan
upah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan
upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4
(empat) bulan upah;
d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5
(lima) bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6
(enam) bulan upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu)
tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat)
tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.
(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana
pekerja/buruh diterima bekerja;
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas
perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi
syarat;
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama.
(5) Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja, dan uang
penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 157

(1) Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan
masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang tertunda, terdiri atas :
a. upah pokok;
b. segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan
keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada pekerja/buruh secara
cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai
upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh
pekerja/buruh.
(2) Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, maka
penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 kali penghasilan sehari.
(3) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil,
potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan sehari adalah sama dengan pendapatan rata-
rata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari
ketentuan upah minimum provinsi atau kabupaten/kota.
(4) Dalam hal pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada upah
borongan, maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12 (dua belas) bulan
terakhir.

Pasal 158

(1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan
pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut :
a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik
perusahaan;
b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau
pengusaha di lingkungan kerja;
f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang
milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam
keadaan bahaya di tempat kerja;
i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan
kecuali untuk kepentingan negara; atau
j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih.
(2) Kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didukung dengan bukti sebagai
berikut :
a. pekerja/buruh tertangkap tangan;
b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang
bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(3) Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
156 ayat (4).
(4) Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tugas dan fungsinya tidak
mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain uang penggantian hak sesuai dengan
ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 159

Apabila pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Pasal 160

(1) Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana
bukan atas pengaduan pengusaha, maka pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi wajib
memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya dengan
ketentuan sebagai berikut :
a. untuk 1 (satu) orang tanggungan : 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah;
b. untuk 2 (dua) orang tanggungan : 35% (tiga puluh lima perseratus) dari upah;
c. untuk 3 (tiga) orang tanggungan : 45% (empat puluh lima perseratus) dari upah;
d. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih : 50% (lima puluh perseratus) dari upah.
(2) Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan untuk paling lama 6 (enam) bulan
takwin ter-hitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib.
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang setelah 6
(enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena dalam proses
perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan tidak bersalah, maka pengusaha
wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali.
(5) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir dan
pekerja/ buruh dinyatakan bersalah, maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan
kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5) dilakukan tanpa
penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
(7) Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja
sebagai-mana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat
(4).

Pasal 161

(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan
pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.
(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama
6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156
ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Pasal 162

(1) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak
me-wakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi
syarat :
a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
b. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
(4) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan
tanpa pene-tapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Pasal 163

(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi
peru-bahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan
pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang
pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang perhargaan masa
kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan
dalam Pasal 156 ayat (4).
(2) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
perubahan status, penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia
menerima pekerja/buruh di perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon
sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali
ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal
156 ayat (4).

Pasal 164

(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus
selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh
berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang
penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuktikan dengan laporan
keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan
karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan
ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156
ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Pasal 165

Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/ buruh karena
perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Pasal 166

Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli warisnya
diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2 (dua) kali uang
pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(4).

Pasal 167

(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program
pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak
mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa
kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang diterima sekaligus dalam program
pensiun se-bagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata lebih kecil daripada jumlah uang
pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang penghargaan masa kerja 1 (satu)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(4), maka selisihnya dibayar oleh pengusaha.
(3) Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun yang
iurannya/premi-nya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang diperhitungkan
dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat diatur lain dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(5) Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami pemutusan
hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka pengusaha wajib memberikan
kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang
penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(6) Hak atas manfaat pensiun sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) ti-dak menghilangkan hak pekerja/buruh atas jaminan hari tua yang bersifat wajib sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 168

(1) Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan
secara ter tulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2
(dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan
mengundurkan diri.
(2) Keterangan tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk bekerja.
(3) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh yang
bersangkutan berhak menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) dan
diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 169

(1) Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan
sebagai berikut :
a. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
b. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
c. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut atau lebih;
d. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/ buruh;
e. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan;
atau
f. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan
kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
(2) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh
berhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan
masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(3) Dalam hal pengusaha dinyatakan tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial maka pengusaha dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak berhak atas uang pesangon
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), dan uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (3).
Pasal 170

Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi keten-tuan Pasal 151 ayat (3) dan
Pasal 168, kecuali Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan Pasal 169 batal demi
hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang bersangkutan serta membayar
seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima.

Pasal 171

Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga


penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162, dan pekerja/buruh yang bersangkutan
tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka pekerja/buruh dapat
mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu
paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya.

Pasal 172

Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja
dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan dapat
mengajukan pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan
uang pengganti hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4).

BAB XIII
PEMBINAAN

Pasal 173

(1) Pemerintah melakukan pembinaan terhadap unsur-unsur dan kegiatan yang berhubungan dengan
ketena-gakerjaan.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat mengikut-sertakan organisasi
pengusaha, seri-kat pekerja/serikat buruh, dan organisasi profesi terkait.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ayat (2), dilaksanakan secara terpadu
dan terko-ordinasi.

Pasal 174

Dalam rangka pembinaan ketenagakerjaan, pemerintah, organisasi peng-usaha, serikat


pekerja/serikat buruh dan organisasi profesi terkait dapat melakukan kerja sama internasional di
bidang ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 175

(1) Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang telah berjasa
dalam pem-binaan ketenagakerjaan.
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan dalam bentuk piagam, uang,
dan/atau bentuk lainnya.
BAB XIV
PENGAWASAN

Pasal 176

Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenaga-kerjaan yang


mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-
undangan ketenagakerjaan.

Pasal 177

Pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 ditetapkan oleh
Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 178

(1) Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja tersendiri pada instansi yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah
provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
(2) Pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Keputu-san Presiden.

Pasal 179

(1) Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 pada
pemerintah provin-si dan pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan pelaksanaan
pengawasan ketenagakerjaan kepada Menteri.
(2) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan
Keputusan Men-teri.

Pasal 180

Ketentuan mengenai persyaratan penunjukan, hak dan kewajiban, serta wewenang pegawai
pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 181

Pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya sebagai-mana dimaksud


dalam Pasal 176 wajib :
a. merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan;
b. tidak menyalahgunakan kewenangannya.

BAB XV
PENYIDIKAN

Pasal 182
(1) Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada pegawai pengawas
ketenagakerjaan dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai negeri sipil sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana
di bidang ketenaga-kerjaan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang
ketenagakerjaan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan
tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
d. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak
pidana di bidang ketenagakerjaan;
e. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di
bidang ketenagakerjaan;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana
di bidang ketenagakerjaan; dan
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan tentang
adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.
(3) Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB XVI
KETENTUAN PIDANA DAN
SANKSI ADMINISTRATIF

Bagian Pertama
Ketentuan Pidana

Pasal 183

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, dikenakan sanksi
pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

Pasal 184

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5), dikenakan
sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

Pasal 185

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143, dan Pasal 160 ayat
(4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4
(empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

Pasal 186

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3),
Pasal 93 ayat (2), Pasal 137, dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan sanksi pidana penjara paling
singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta
rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.

Pasal 187

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), Pasal 44
ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2),
Pasal 79 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144, dikenakan sanksi pidana
kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.

Pasal 188

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Pasal 38
ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114,
dan Pasal 148, dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah)
dan paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.

Pasal 189

Sanksi pidana penjara, kurungan, dan/atau denda tidak menghilangkan kewajiban pengusaha
membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian kepada tenaga kerja atau pekerja/buruh.

Bagian Kedua
Sanksi Administratif

Pasal 190

(1) Menteri atau pejabat yang ditunjuk mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran ketentuan-
ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 15, Pasal 25, Pasal 38 ayat (2),
Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), Pasal 48, Pasal 87, Pasal 106, Pasal 126 ayat (3), dan
Pasal 160 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa :
a. teguran;
b. peringatan tertulis;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pembatalan persetujuan;
f. pembatalan pendaftaran;
g. penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi;
h. pencabutan ijin.
(3) Ketentuan mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut oleh Menteri.

BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 191

Semua peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang undang
ini.

BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 192

Pada saat mulai berlakunya Undang undang ini, maka :

1. Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar


Indonesia (Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8);
2. Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja Anak Dan
Kerja Malam Bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647);
3. Ordonansi Tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja Anak anak Dan Orang Muda Di Atas
Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87);
4. Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur Kegiatan kegiatan
Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208);
5. 5. Ordonansi tentang Pemulangan Buruh Yang Diterima Atau Dikerahkan Dari Luar
Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545);
6. Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak anak (Staatsblad
Tahun 1949 Nomor 8);
7. Undang undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang undang
Kerja Tahun 1948 Nomor 12 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran
Negara Tahun 1951 Nomor 2);
8. Undang undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan Antara Serikat
Buruh Dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 598a);
9. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing (Lembaran
Negara Tahun 1958 Nomor 8 );
10. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana (Lembaran Negara
Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270);
11. Undang undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau
Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan, dan Badan Yang Vital (Lembaran Negara Tahun
1963 Nomor 67);
12. Undang undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan ketentuan Pokok Mengenai
Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2912);
13. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702);
14. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang
Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 184,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791);
15. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997
tentang Ketenaga-kerjaan Menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 240,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042),
dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 193

Undang undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 25 Maret 2003
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Maret 2003

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 39


PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 39 TAHUN 2004
TENTANG
PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN
TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa bekerja merupakan hak asasi manusia yang wajib dijunjung tinggi,
dihormati, dan dijamin penegakannya;

b. bahwa setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama
tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang
layak, baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan keahlian,
keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan;

c. bahwa tenaga kerja Indonesia di luar negeri sering dijadikan obyek


perdagangan manusia, termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban
kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat
manusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia;

d. bahwa negara wajib menjamin dan melindungi hak asasi warga negaranya
yang bekerja baik di dalam maupun di luar negeri berdasarkan prinsip
persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan
gender, anti diskriminasi, dan anti perdagangan manusia;

e. bahwa ...
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA
- 2 -

e. bahwa penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri merupakan suatu


upaya untuk mewujudkan hak dan kesempatan yang sama bagi tenaga
kerja untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, yang
pelaksanaannya dilakukan dengan tetap memperhatikan harkat, martabat,
hak asasi manusia, dan perlindungan hukum serta pemerataan kesempatan
kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan nasional;

f. bahwa penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri perlu dilakukan


secara terpadu antara instansi Pemerintah baik Pusat maupun Daerah dan
peran serta masyarakat dalam suatu sistem hukum guna melindungi tenaga
kerja Indonesia yang ditempatkan di luar negeri;

g. bahwa peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang


ada belum mengatur secara memadai, tegas, dan terperinci mengenai
penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri;

h. bahwa dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan dinyatakan penempatan tenaga kerja Indonesia di luar
negeri diatur dengan Undang-undang;

i. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,


huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h, perlu
membentuk Undang-undang tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri;

Mengingat : ...
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA
- 3 -

Mengingat : 1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 28 E ayat (1) dan ayat (3), Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


(Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4279);

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENEMPATAN DAN


PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut dengan TKI adalah


setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di
luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan
menerima upah.
2. Calon ...
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA
- 4 -

2. Calon Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut calon TKI adalah
setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat sebagai pencari
kerja yang akan bekerja di luar negeri dan terdaftar di instansi Pemerintah
Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

3. Penempatan TKI adalah kegiatan pelayanan untuk mempertemukan TKI


sesuai bakat, minat, dan kemampuannya dengan pemberi kerja di luar
negeri yang meliputi keseluruhan proses perekrutan, pengurusan dokumen,
pendidikan dan pelatihan, penampungan, persiapan pemberangkatan,
pemberangkatan sampai ke negara tujuan, dan pemulangan dari negara
tujuan.

4. Perlindungan TKI adalah segala upaya untuk melindungi kepentingan


calon TKI/TKI dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-haknya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, baik sebelum, selama,
maupun sesudah bekerja.

5. Pelaksana penempatan TKI swasta adalah badan hukum yang telah


memperoleh izin tertulis dari Pemerintah untuk menyelenggarakan
pelayanan penempatan TKI di luar negeri.

6. Mitra Usaha adalah instansi atau badan usaha berbentuk badan hukum di
negara tujuan yang bertanggung jawab menempatkan TKI pada Pengguna.

7. Pengguna Jasa TKI yang selanjutnya disebut dengan Pengguna adalah


instansi Pemerintah, Badan Hukum Pemerintah, Badan Hukum Swasta,
dan/atau Perseorangan di negara tujuan yang mempekerjakan TKI.

8. Perjanjian ...
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA

- 5 -

8. Perjanjian Kerja Sama Penempatan adalah perjanjian tertulis antara


pelaksana penempatan TKI swasta dengan Mitra Usaha atau Pengguna
yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam rangka
penempatan serta perlindungan TKI di negara tujuan.

9. Perjanjian Penempatan TKI adalah perjanjian tertulis antara pelaksana


penempatan TKI swasta dengan calon TKI yang memuat hak dan
kewajiban masing-masing pihak dalam rangka penempatan TKI di negara
tujuan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

10. Perjanjian Kerja adalah perjanjian tertulis antara TKI dengan Pengguna
yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban masing-masing
pihak.

11. Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri yang selanjutnya disebut dengan KTKLN
adalah kartu identitas bagi TKI yang memenuhi persyaratan dan prosedur
untuk bekerja di luar negeri.

12. Visa Kerja adalah izin tertulis yang diberikan oleh pejabat yang
berwenang pada perwakilan suatu negara yang memuat persetujuan untuk
masuk dan melakukan pekerjaan di negara yang bersangkutan.

13. Surat Izin Pelaksana Penempatan TKI yang selanjutnya disebut SIPPTKI
adalah izin tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada perusahaan yang
akan menjadi pelaksana penempatan TKI swasta.

14. Surat ...


PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA
- 6 -

14. Surat Izin Pengerahan yang selanjutnya disebut SIP adalah izin yang
diberikan Pemerintah kepada pelaksana penempatan TKI swasta untuk
merekrut calon TKI dari daerah tertentu, untuk jabatan tertentu, dan untuk
dipekerjakan pada calon Pengguna tertentu dalam jangka waktu tertentu.

15. Orang adalah pihak orang perseorangan atau badan hukum.

16. Pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang


terdiri dari Presiden beserta para Menteri.

17. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang


ketenagakerjaan.

Pasal 2

Penempatan dan perlindungan calon TKI/TKI berasaskan keterpaduan,


persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender,
anti diskriminasi, serta anti perdagangan manusia.

Pasal 3

Penempatan dan perlindungan calon TKI/TKI bertujuan untuk :


a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan
manusiawi;
b. menjamin dan melindungi calon TKI/TKI sejak di dalam negeri, di negara
tujuan, sampai kembali ke tempat asal di Indonesia;
c. meningkatkan kesejahteraan TKI dan keluarganya.

Pasal 4 ...
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA

- 7 -

Pasal 4

Orang perseorangan dilarang menempatkan warga negara Indonesia untuk


bekerja di luar negeri.

BAB II

TUGAS, TANGGUNG JAWAB, DAN


KEWAJIBAN PEMERINTAH

Pasal 5

(1) Pemerintah bertugas mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi


penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri.

(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),


Pemerintah dapat melimpahkan sebagian wewenangnya dan/atau tugas
perbantuan kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 6

Pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan upaya perlindungan TKI


di luar negeri.

Pasal 7

Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Pemerintah berkewajiban :

a. menjamin ...
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA

- 8 -

a. menjamin terpenuhinya hak-hak calon TKI/TKI, baik yang berangkat


melalui pelaksana penempatan TKI, maupun yang berangkat secara
mandiri;
b. mengawasi pelaksanaan penempatan calon TKI;
c. membentuk dan mengembangkan sistem informasi penempatan calon
TKI di luar negeri;
d. melakukan upaya diplomatik untuk menjamin pemenuhan hak dan
perlindungan TKI secara optimal di negara tujuan; dan
e. memberikan perlindungan kepada TKI selama masa sebelum
pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna penempatan.

BAB III

HAK DAN KEWAJIBAN TKI

Pasal 8

Setiap calon TKI/TKI mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk :
a. bekerja di luar negeri;
b. memperoleh informasi yang benar mengenai pasar kerja luar negeri dan
prosedur penempatan TKI di luar negeri;
c. memperoleh pelayanan dan perlakuan yang sama dalam penempatan di
luar negeri;
d. memperoleh kebebasan menganut agama dan keyakinannya serta
kesempatan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
keyakinan yang dianutnya;
e. memperoleh upah sesuai dengan standar upah yang berlaku di negara
tujuan;
f. memperoleh …
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA

- 9 -

f. memperoleh hak, kesempatan, dan perlakuan yang sama yang diperoleh


tenaga kerja asing lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
di negara tujuan;
g. memperoleh jaminan perlindungan hukum sesuai dengan peraturan
perundang-undangan atas tindakan yang dapat merendahkan harkat dan
martabatnya serta pelanggaran atas hak-hak yang ditetapkan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan selama penempatan di luar negeri;
h. memperoleh jaminan perlindungan keselamatan dan keamanan
kepulangan TKI ke tempat asal;
i. memperoleh naskah perjanjian kerja yang asli.

Pasal 9

Setiap calon TKI/TKI mempunyai kewajiban untuk :


a. menaati peraturan perundang-undangan baik di dalam negeri maupun di
negara tujuan;
b. menaati dan melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan perjanjian kerja;
c. membayar biaya pelayanan penempatan TKI di luar negeri sesuai dengan
peraturan perundang-undangan; dan
d. memberitahukan atau melaporkan kedatangan, keberadaan dan
kepulangan TKI kepada Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan.

BAB IV ...
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA
- 10 -

BAB IV

PELAKSANA PENEMPATAN TKI DI LUAR NEGERI

Pasal 10

Pelaksana penempatan TKI di luar negeri terdiri dari :


a. Pemerintah;
b. Pelaksana penempatan TKI swasta.

Pasal 11

(1) Penempatan TKI di luar negeri oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 10 huruf a, hanya dapat dilakukan atas dasar perjanjian secara
tertulis antara Pemerintah dengan Pemerintah negara Pengguna TKI atau
Pengguna berbadan hukum di negara tujuan.

(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan penempatan TKI oleh Pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 12

Perusahaan yang akan menjadi pelaksana penempatan TKI swasta sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 10 huruf b wajib mendapat izin tertulis berupa SIPPTKI
dari Menteri.

Pasal 13 ...
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA
- 11 -

Pasal 13

(1) Untuk dapat memperoleh SIPPTKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12,
pelaksana penempatan TKI swasta harus memenuhi persyaratan :
a. berbentuk badan hukum perseroan terbatas (PT) yang didirikan
berdasarkan peraturan perundang-undangan;
b. memiliki modal disetor yang tercantum dalam akta pendirian perusahaan,
sekurang-kurangnya sebesar Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah);
c. menyetor uang kepada bank sebagai jaminan dalam bentuk deposito
sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) pada bank pemerintah;
d. memiliki rencana kerja penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri
sekurang-kurangnya untuk kurun waktu 3 (tiga) tahun berjalan;
e. memiliki unit pelatihan kerja; dan
f. memiliki sarana dan prasarana pelayanan penempatan TKI.

(2) Sesuai dengan perkembangan keadaan, besarnya modal disetor sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf b dan jaminan dalam bentuk deposito
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dapat ditinjau kembali dan
diubah dengan Peraturan Menteri.

(3) Ketentuan mengenai penyusunan rencana kerja sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) huruf d, dan bentuk serta standar yang harus dipenuhi untuk sarana
dan prasarana pelayanan penempatan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf f, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Pasal 14 ...
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA
- 12 -

Pasal 14

(1) Izin untuk melaksanakan penempatan TKI di luar negeri diberikan untuk
jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang setiap 5 (lima) tahun
sekali.

(2) Perpanjangan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan
kepada pelaksana penempatan TKI swasta selain harus memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) juga harus memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut :
a. telah melaksanakan kewajibannya untuk memberikan laporan secara
periodik kepada Menteri;
b. telah melaksanakan penempatan sekurang-kurangnya 75% (tujuh puluh
lima perseratus) dari rencana penempatan pada waktu memperoleh
SIPPTKI;
c. masih memiliki sarana dan prasarana yang sesuai dengan standar yang
ditetapkan;
d. memiliki neraca keuangan selama 2 (dua) tahun terakhir tidak mengalami
kerugian yang di audit akuntan publik; dan
e. tidak dalam kondisi diskors.

Pasal 15

Tata cara pemberian dan perpanjangan SIPPTKI sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 16

Deposito hanya dapat dicairkan dalam hal pelaksana penempatan TKI swasta
tidak memenuhi kewajiban terhadap calon TKI/TKI sebagaimana telah
diperjanjikan dalam perjanjian penempatan.

Pasal 17 ...
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA
- 13 -

Pasal 17

(1) Pelaksana penempatan TKI swasta wajib menambah biaya keperluan


penyelesaian perselisihan atau sengketa calon TKI/TKI apabila deposito
yang digunakan tidak mencukupi.

(2) Pemerintah mengembalikan deposito kepada pelaksana penempatan TKI


swasta apabila masa berlaku SIPPTKI telah berakhir dan tidak
diperpanjang lagi atau SIPPTKI dicabut.

(3) Ketentuan mengenai penyetoran, penggunaan, pencairan, dan


pengembalian deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Pasal 18

(1) Menteri dapat mencabut SIPPTKI apabila pelaksana penempatan TKI


swasta :
a. tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13; atau
b. tidak melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya dan/atau
melanggar larangan dalam penempatan dan perlindungan TKI di luar
negeri yang diatur dalam Undang-undang ini.

(2) Pencabutan SIPPTKI oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
tidak mengurangi tanggung jawab pelaksana penempatan TKI swasta
terhadap TKI yang telah ditempatkan dan masih berada di luar negeri.

(3) Tata cara pencabutan SIPPTKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Pasal 19 …
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA
- 14 -

Pasal 19

Pelaksana penempatan TKI swasta dilarang mengalihkan atau


memindahtangankan SIPPTKI kepada pihak lain.

Pasal 20

(1) Untuk mewakili kepentingannya, pelaksana penempatan TKI swasta


wajib mempunyai perwakilan di negara TKI ditempatkan.

(2) Perwakilan pelaksana penempatan TKI swasta sebagaimana dimaksud


pada ayat (1), harus berbadan hukum yang dibentuk berdasarkan
peraturan perundang-undangan di negara tujuan.

Pasal 21

(1) Pelaksana penempatan TKI swasta dapat membentuk kantor cabang di


daerah di luar wilayah domisili kantor pusatnya.

(2) Kegiatan yang dilakukan oleh kantor cabang pelaksana penempatan TKI
swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menjadi tanggung jawab
kantor pusat pelaksana penempatan TKI swasta.

(3) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan kantor cabang pelaksana


penempatan TKI swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Pasal 22 …
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA
- 15 -

Pasal 22

Pelaksana penempatan TKI swasta hanya dapat memberikan kewenangan


kepada kantor cabang untuk :
a. melakukan penyuluhan dan pendataan calon TKI;
b. melakukan pendaftaran dan seleksi calon TKI;
c. menyelesaikan kasus calon TKI/TKI pada pra atau purna penempatan;
dan
d. menandatangani perjanjian penempatan dengan calon TKI atas nama
pelaksana penempatan TKI swasta.

Pasal 23

Seluruh kegiatan yang dilakukan oleh kantor cabang pelaksana penempatan


TKI swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, menjadi tanggung jawab
kantor pusat pelaksana penempatan TKI swasta.

Pasal 24

(1) Penempatan TKI pada Pengguna perseorangan harus melalui Mitra Usaha
di negara tujuan.

(2) Mitra Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbentuk badan
hukum yang didirikan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan di
negara tujuan.

Pasal 25

(1) Perwakilan Republik Indonesia melakukan penilaian terhadap Mitra


Usaha dan Pengguna sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.

(2) Hasil …
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA
- 16 -

(2) Hasil penilaian terhadap Mitra Usaha dan Pengguna sebagaimana


dimaksud pada ayat (1), digunakan sebagai pertimbangan Perwakilan
Republik Indonesia dalam memberikan persetujuan atas dokumen yang
dipersyaratkan dalam penempatan TKI di luar negeri.

(3) Berdasarkan hasil penilaian terhadap Mitra Usaha dan Pengguna


sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perwakilan Republik Indonesia
menetapkan Mitra Usaha dan Pengguna yang bermasalah dalam daftar
Mitra Usaha dan Pengguna bermasalah.

(4) Pemerintah mengumumkan daftar Mitra Usaha dan Pengguna bermasalah


secara periodik setiap 3 (tiga) bulan.

(5) Ketentuan mengenai tata cara penilaian dan penetapan Mitra Usaha dan
Pengguna baik bermasalah maupun tidak bermasalah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 26

(1) Selain oleh Pemerintah dan pelaksana penempatan TKI swasta


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, perusahaan dapat menempatkan
TKI di luar negeri untuk kepentingan perusahaannya sendiri atas dasar
izin tertulis dari Menteri.

(2) Penempatan TKI di luar negeri untuk kepentingan perusahaan sendiri


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi persyaratan :

a. perusahaan …
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA
- 17 -

a. perusahaan yang bersangkutan harus berbadan hukum yang dibentuk


berdasarkan hukum Indonesia;
b. TKI yang ditempatkan merupakan pekerja perusahaan itu sendiri;
c. perusahaan memiliki bukti hubungan kepemilikan atau perjanjian
pekerjaan yang diketahui oleh Perwakilan Republik Indonesia;
d. TKI telah memiliki perjanjian kerja;
e. TKI telah diikutsertakan dalam program jaminan sosial tenaga kerja
dan/atau memiliki polis asuransi; dan
f. TKI yang ditempatkan wajib memiliki KTKLN.

(3) Ketentuan mengenai penempatan TKI di luar negeri untuk kepentingan


perusahaan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

BAB V
TATA CARA PENEMPATAN
Bagian Pertama
Umum

Pasal 27

(1) Penempatan TKI di luar negeri hanya dapat dilakukan ke negara tujuan
yang pemerintahnya telah membuat perjanjian tertulis dengan Pemerintah
Republik Indonesia atau ke negara tujuan yang mempunyai peraturan
perundang-undangan yang melindungi tenaga kerja asing.
(2) Berdasarkan …
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA
- 18 -

(2) Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan


atas pertimbangan keamanan Pemerintah menetapkan negara-negara
tertentu tertutup bagi penempatan TKI dengan Peraturan Menteri.

Pasal 28

Penempatan TKI pada pekerjaan dan jabatan tertentu diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri.

Pasal 29

(1) Penempatan calon TKI/TKI di luar negeri diarahkan pada jabatan yang
tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan
kemampuan.

(2) Penempatan calon TKI/TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dilaksanakan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak azasi manusia,
perlindungan hukum, pemerataan kesempatan kerja, dan ketersediaan
tenaga kerja dengan mengutamakan kepentingan nasional.

Pasal 30

Setiap orang dilarang menempatkan calon TKI/TKI pada jabatan dan tempat
pekerjaan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan norma
kesusilaan serta peraturan perundang-undangan, baik di Indonesia maupun di
negara tujuan atau di negara tujuan yang telah dinyatakan tertutup
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.
Bagian ...
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA

- 19 -

Bagian Kedua
Pra Penempatan TKI

Pasal 31

Kegiatan pra penempatan TKI di luar negeri meliputi :


a. pengurusan SIP;
b. perekrutan dan seleksi;
c. pendidikan dan pelatihan kerja;
d. pemeriksaan kesehatan dan psikologi;
e. pengurusan dokumen;
f. uji kompetensi;
g. pembekalan akhir pemberangkatan (PAP); dan
h. pemberangkatan.

Paragraf 1
Surat Izin Pengerahan

Pasal 32

(1) Pelaksana penempatan TKI swasta yang akan melakukan perekrutan


wajib memiliki SIP dari Menteri.

(2) Untuk mendapatkan SIP, pelaksana penempatan TKI swasta harus


memiliki :
a. perjanjian kerjasama penempatan;
b. surat permintaan TKI dari Pengguna;
c. rancangan perjanjian penempatan; dan
d. rancangan perjanjian kerja.

(3) Surat …
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA
- 20 -

(3) Surat permintaan TKI dari Pengguna, perjanjian kerja sama penempatan,
dan rancangan perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a, huruf b, dan huruf d harus memperoleh persetujuan dari pejabat
yang berwenang pada Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan.

(4) Tata cara penerbitan SIP diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Pasal 33

Pelaksana penempatan TKI swasta dilarang mengalihkan atau


memindahtangankan SIP kepada pihak lain untuk melakukan perekrutan
calon TKI.

Paragraf 2
Perekrutan dan Seleksi

Pasal 34

(1) Proses perekrutan didahului dengan memberikan informasi kepada calon


TKI sekurang-kurangnya tentang :
a. tata cara perekrutan;
b. dokumen yang diperlukan;
c. hak dan kewajiban calon TKI/TKI;
d. situasi, kondisi, dan resiko di negara tujuan; dan
e. tata cara perlindungan bagi TKI.

(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan secara


lengkap dan benar.

(3) Informasi …
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA

- 21 -

(3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
wajib mendapatkan persetujuan dari instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan dan disampaikan oleh pelaksana
penempatan TKI swasta.

Pasal 35

Perekrutan calon TKI oleh pelaksana penempatan TKI swasta wajib dilakukan
terhadap calon TKI yang telah memenuhi persyaratan :
a. berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun kecuali bagi calon
TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-
kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun;
b. sehat jasmani dan rohani;
c. tidak dalam keadaan hamil bagi calon tenaga kerja perempuan; dan
d. berpendidikan sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama (SLTP) atau yang sederajat.

Pasal 36

(1) Pencari kerja yang berminat bekerja ke luar negeri harus terdaftar pada
instansi Pemerintah Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.

(2) Pendaftaran pencari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1),


dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri.

Pasal 37 …
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA

- 22 -
Pasal 37

Perekrutan dilakukan oleh pelaksana penempatan TKI swasta dari pencari


kerja yang terdaftar pada instansi Pemerintah Kabupaten/Kota yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 ayat (1).

Pasal 38

(1) Pelaksana penempatan TKI swasta membuat dan menandatangani


perjanjian penempatan dengan pencari kerja yang telah dinyatakan
memenuhi persyaratan administrasi dalam proses perekrutan.

(2) Perjanjian penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketahui


oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
Kabupaten/Kota.

Pasal 39

Segala biaya yang diperlukan dalam kegiatan perekrutan calon TKI,


dibebankan dan menjadi tanggung jawab pelaksana penempatan TKI swasta.

Pasal 40

Ketentuan mengenai tata cara perekrutan calon TKI, diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri.

Paragraf ...
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA

- 23 -

Paragraf 3
Pendidikan dan Pelatihan Kerja

Pasal 41

(1) Calon TKI wajib memiliki sertifikat kompetensi kerja sesuai dengan
persyaratan jabatan.

(2) Dalam hal TKI belum memiliki sertifikat kompetensi kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pelaksana penempatan TKI swasta wajib
melakukan pendidikan dan pelatihan sesuai dengan pekerjaan yang akan
dilakukan.

Pasal 42

(1) Calon TKI berhak mendapat pendidikan dan pelatihan kerja sesuai
dengan pekerjaan yang akan dilakukan.

(2) Pendidikan dan pelatihan kerja bagi calon TKI sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dimaksudkan untuk :
a. membekali, meningkatkan, dan mengembangkan kompe-tensi kerja
calon TKI;
b. memberi pengetahuan dan pemahaman tentang situasi, kondisi, adat
istiadat, budaya, agama, dan risiko bekerja di luar negeri;
c. membekali kemampuan berkomunikasi dalam bahasa negara tujuan;
dan
d. memberi pengetahuan dan pemahaman tentang hak dan kewajiban
calon TKI/TKI.

Pasal 43 ...
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA
- 24 -

Pasal 43

(1) Pendidikan dan pelatihan kerja dilaksanakan oleh pelaksana penempatan


tenaga kerja swasta atau lembaga pelatihan kerja yang telah memenuhi
persyaratan.

(2) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan kerja.

Pasal 44

Calon TKI memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti


pendidikan dan pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pendidikan dan
pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, dalam bentuk
sertifikat kompetensi dari lembaga pendidikan dan pelatihan yang telah
terakreditasi oleh instansi yang berwenang apabila lulus dalam sertifikasi
kompetensi kerja.

Pasal 45

Pelaksana penempatan TKI swasta dilarang menempatkan calon TKI yang


tidak lulus dalam uji kompetensi kerja.

Pasal 46

Calon TKI yang sedang mengikuti pendidikan dan pelatihan dilarang untuk
dipekerjakan.
Pasal 47 ...
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA
- 25 -

Pasal 47

Ketentuan mengenai pendidikan dan pelatihan kerja diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Menteri.

Paragraf 4
Pemeriksaan Kesehatan dan Psikologi

Pasal 48

Pemeriksaan kesehatan dan psikologi bagi calon TKI dimaksudkan untuk


mengetahui derajat kesehatan dan tingkat kesiapan psikis serta kesesuaian
kepribadian calon TKI dengan pekerjaan yang akan dilakukan di negara
tujuan.

Pasal 49

(1) Setiap calon TKI harus mengikuti pemeriksaan kesehatan dan psikologi
yang diselenggarakan oleh sarana kesehatan dan lembaga yang
menyelenggarakan pemeriksaan psikologi, yang ditunjuk oleh
Pemerintah.

(2) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pemeriksaan kesehatan dan


psikologi bagi calon TKI dan penunjukan sarana kesehatan dan lembaga
yang menyelenggarakan pemeriksaan psikologi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden.

Pasal 50 ...
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA

- 26 -

Pasal 50

Pelaksana penempatan TKI swasta dilarang menempatkan calon TKI yang


tidak memenuhi syarat kesehatan dan psikologi.

Paragraf 5
Pengurusan Dokumen

Pasal 51

Untuk dapat ditempatkan di luar negeri, calon TKI harus memiliki dokumen
yang meliputi :
a. Kartu Tanda Penduduk, ijazah pendidikan terakhir, akte kelahiran, atau
surat keterangan kenal lahir;
b. surat keterangan status perkawinan, bagi yang telah menikah
melampirkan copy buku nikah;
c. surat keterangan izin suami atau istri, izin orang tua, atau izin wali;
d. sertifikat kompetensi kerja;
e. surat keterangan sehat berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dan
psikologi ;
f. paspor yang diterbitkan oleh Kantor Imigrasi setempat;
g. visa kerja;
h. perjanjian penempatan TKI;
i. perjanjian kerja; dan
j. KTKLN.
Pasal 52 …
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA

- 27 -

Pasal 52

(1) Perjanjian penempatan TKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf


h dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh calon TKI dan pelaksana
penempatan TKI swasta setelah calon TKI yang bersangkutan terpilih
dalam perekrutan.

(2) Perjanjian penempatan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1),


sekurang-kurangnya memuat :
a. nama dan alamat pelaksana penempatan TKI swasta;
b. nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan, dan alamat calon TKI;
c. nama dan alamat calon Pengguna;
d. hak dan kewajiban para pihak dalam rangka penempatan TKI di luar
negeri yang harus sesuai dengan kesepakatan dan syarat-syarat yang
ditentukan oleh calon Pengguna tercantum dalam perjanjian kerjasama
penempatan;
e. jabatan dan jenis pekerjaan calon TKI sesuai permintaan Pengguna;
f. jaminan pelaksana penempatan TKI swasta kepada calon TKI dalam
hal Pengguna tidak memenuhi kewajibannya kepada TKI sesuai
perjanjian kerja;
g. waktu keberangkatan calon TKI;
h. biaya penempatan yang harus ditanggung oleh calon TKI dan cara
pembayarannya;
i. tanggung jawab pengurusan penyelesaian masalah;
j. akibat atas terjadinya pelanggaran perjanjian penempatan TKI oleh
salah satu pihak; dan
k. tanda tangan para pihak dalam perjanjian penempatan TKI.

(3) Ketentuan ...


PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA

- 28 -

(3) Ketentuan dalam perjanjian penempatan TKI sebagaimana dimaksud


pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan.

(4) Perjanjian penempatan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dibuat sekurang-kurangnya rangkap 2 (dua) dengan bermaterai
cukup dan masing-masing pihak mendapat 1 (satu) perjanjian
penempatan TKI yang mempunyai kekuatan hukum yang sama.

Pasal 53

Perjanjian penempatan TKI tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah,


kecuali atas persetujuan para pihak.

Pasal 54

(1) Pelaksana penempatan TKI swasta wajib melaporkan setiap perjanjian


penempatan TKI kepada instansi Pemerintah Kabupaten/Kota yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan


melampirkan copy atau salinan perjanjian penempatan TKI.

Bagian Ketiga
Perjanjian Kerja
Pasal 55
(1) Hubungan kerja antara Pengguna dan TKI terjadi setelah perjanjian kerja
disepakati dan ditandatangani oleh para pihak.

(2) Setiap ...


PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA
- 29 -

(2) Setiap TKI wajib menandatangani perjanjian kerja sebelum TKI yang
bersangkutan diberangkatkan ke luar negeri.

(3) Perjanjian kerja ditandatangani di hadapan pejabat instansi yang


bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

(4) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disiapkan oleh
pelaksana penempatan TKI swasta.

(5) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3),
sekurang-kurangnya memuat :
a. nama dan alamat Pengguna;
b. nama dan alamat TKI;
c. jabatan atau jenis pekerjaan TKI;
d. hak dan kewajiban para pihak;
e. kondisi dan syarat kerja yang meliputi jam kerja, upah dan tata cara
pembayaran, hak cuti dan waktu istirahat, fasilitas dan jaminan sosial;
dan
f. jangka waktu perjanjian kerja.

Pasal 56

(1) Perjanjian kerja dibuat untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan
dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.

(2) Dikecualikan dari ketentuan jangka waktu perjanjian kerja sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) untuk jabatan atau jenis pekerjaan tertentu.

(3) Ketentuan mengenai jabatan atau jenis pekerjaan tertentu yang


dikecualikan dari jangka waktu perjanjian kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Pasal 57 …
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA

- 30 -

Pasal 57

(1) Perpanjangan jangka waktu perjanjian kerja sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 56 ayat (1), dapat dilakukan oleh TKI yang bersangkutan
atau melalui pelaksana penempatan TKI swasta.

(2) Perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disepakati oleh
para pihak sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sebelum perjanjian kerja
pertama berakhir.

Pasal 58

(1) Perjanjian kerja perpanjangan dan jangka waktu perpanjangan perjanjian


kerja wajib mendapat persetujuan dari pejabat berwenang pada
Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan.

(2) Pengurusan untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pelaksana
penempatan TKI swasta.

(3) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh persetujuan


perjanjian kerja dan perpanjangan jangka waktu perjanjian kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri.

Pasal 59

TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan yang telah berakhir perjanjian
kerjanya dan akan memperpanjang perjanjian kerja, TKI yang bersangkutan
harus pulang terlebih dahulu ke Indonesia.
Pasal 60 …

- 31 -
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA

Pasal 60

Dalam hal perpanjangan dilakukan sendiri oleh TKI yang bersangkutan, maka
pelaksana penempatan TKI swasta tidak bertanggung jawab atas risiko yang
menimpa TKI dalam masa perpanjangan perjanjian kerja.

Pasal 61

Bagi TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan, apabila selama masa
berlakunya perjanjian kerja terjadi perubahan jabatan atau jenis pekerjaan,
atau pindah Pengguna, maka perwakilan pelaksana penempatan TKI swasta
wajib mengurus perubahan perjanjian kerja dengan membuat perjanjian kerja
baru dan melaporkannya kepada Perwakilan Republik Indonesia.

Pasal 62

(1) Setiap TKI yang ditempatkan di luar negeri, wajib memiliki dokumen
KTKLN yang dikeluarkan oleh Pemerintah.

(2) KTKLN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai kartu
identitas TKI selama masa penempatan TKI di negara tujuan.

Pasal 63

(1) KTKLN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 hanya dapat diberikan


apabila TKI yang bersangkutan :

a. telah …
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA

- 32 -
a. telah memenuhi persyaratan dokumen penempatan TKI di luar negeri;
b. telah mengikuti Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP); dan
c. telah diikutsertakan dalam perlindungan program asuransi.

(2) Ketentuan mengenai bentuk, persyaratan, dan tata cara memperoleh


KTKLN diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Pasal 64

Pelaksana penempatan TKI swasta dilarang menempatkan calon TKI yang


tidak memiliki KTKLN.

Pasal 65

Pelaksana penempatan TKI swasta bertanggung jawab atas kelengkapan


dokumen penempatan yang diperlukan.

Pasal 66

Pemerintah wajib menyediakan pos-pos pelayanan di pelabuhan


pemberangkatan dan pemulangan TKI yang dilengkapi dengan fasilitas yang
memenuhi syarat.

Pasal 67 …
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA
- 33 -

Pasal 67

(1) Pelaksana penempatan TKI swasta wajib memberangkatkan TKI ke luar


negeri yang telah memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 sesuai dengan perjanjian
penempatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2).

(2) Pelaksana penempatan TKI swasta wajib melaporkan setiap


keberangkatan calon TKI kepada Perwakilan Republik Indonesia di
negara tujuan.

(3) Pemberangkatan TKI ke luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilaksanakan melalui tempat pemeriksaan imigrasi yang terdekat.

Pasal 68

(1) Pelaksana penempatan TKI swasta wajib mengikutsertakan TKI yang


diberangkatkan ke luar negeri dalam program asuransi.

(2) Jenis program asuransi yang wajib diikuti oleh TKI sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Pasal 69

(1) Pelaksana penempatan TKI swasta wajib mengikutsertakan TKI yang


akan diberangkatkan ke luar negeri dalam pembekalan akhir
pemberangkatan.

(2) Pembekalan …
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA
- 34 -

(2) Pembekalan akhir pemberangkatan (PAP) dimaksudkan untuk memberi


pemahaman dan pendalaman terhadap :
a. peraturan perundang-undangan di negara tujuan; dan
b. materi perjanjian kerja.

(3) Pembekalan akhir pemberangkatan (PAP) menjadi tanggung jawab


Pemerintah.

(4) Ketentuan mengenai pembekalan akhir pemberangkatan (PAP)


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keempat
Masa Tunggu di Penampungan

Pasal 70

(1) Pelaksana penempatan TKI swasta dapat menampung calon TKI sebelum
pemberangkatan.

(2) Lamanya penampungan disesuaikan dengan jabatan dan/atau jenis


pekerjaan yang akan dilakukan di negara tujuan.

(3) Selama masa penampungan, pelaksana penempatan TKI swasta wajib


memperlakukan calon TKI secara wajar dan manusiawi.

(4) Ketentuan mengenai standar tempat penampungan dan lamanya


penampungan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Bagian ...
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA

- 35 -

Bagian Kelima
Masa Penempatan

Pasal 71

(1) Setiap TKI wajib melaporkan kedatangannya kepada Perwakilan


Republik Indonesia di negara tujuan.

(2) Kewajiban untuk melaporkan kedatangan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) bagi TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan dilakukan
oleh pelaksana penempatan TKI swasta.

Pasal 72

Pelaksana penempatan TKI swasta dilarang menempatkan TKI yang tidak


sesuai dengan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perjanjian
kerja yang disepakati dan ditandatangani TKI yang bersangkutan.

Bagian Keenam
Purna Penempatan
Pasal 73
(1) Kepulangan TKI terjadi karena :
a. berakhirnya masa perjanjian kerja;
b. pemutusan hubungan kerja sebelum masa perjanjian kerja berakhir;

c. terjadi ...
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA
- 36 -

c. terjadi perang, bencana alam, atau wabah penyakit di negara tujuan;


d. mengalami kecelakaan kerja yang mengakibatkan tidak bisa
menjalankan pekerjaannya lagi;
e. meninggal dunia di negara tujuan;
f. cuti; atau
g. dideportasi oleh pemerintah setempat.

(2) Dalam hal TKI meninggal dunia di negara tujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf e, pelaksana penempatan TKI berkewajiban :
a. memberitahukan tentang kematian TKI kepada keluarganya paling
lambat 3 (tiga) kali 24 (dua puluh empat) jam sejak diketahuinya
kematian tersebut;
b. mencari informasi tentang sebab-sebab kematian dan
memberitahukannya kepada pejabat Perwakilan Republik Indonesia
dan anggota keluarga TKI yang bersangkutan;
c. memulangkan jenazah TKI ke tempat asal dengan cara yang layak
serta menanggung semua biaya yang diperlukan, termasuk biaya
penguburan sesuai dengan tata cara agama TKI yang bersangkutan;
d. mengurus pemakaman di negara tujuan penempatan TKI atas
persetujuan pihak keluarga TKI atau sesuai dengan ketentuan yang
berlaku di negara yang bersangkutan;
e. memberikan perlindungan terhadap seluruh harta milik TKI untuk
kepentingan anggota keluarganya; dan
f. mengurus pemenuhan semua hak-hak TKI yang seharusnya diterima.

(3) Dalam …
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA
- 37 -

(3) Dalam hal terjadi perang, bencana alam, wabah penyakit, dan deportasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dan huruf g, Perwakilan
Republik Indonesia, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI,
Pemerintah, dan Pemerintah Daerah bekerja sama mengurus kepulangan
TKI sampai ke daerah asal TKI.

Pasal 74

(1) Setiap TKI yang akan kembali ke Indonesia wajib melaporkan


kepulangannya kepada Perwakilan Republik Indonesia negara tujuan.

(2) Pelaporan bagi TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan dilakukan
oleh pelaksana penempatan TKI swasta.

Pasal 75

(1) Kepulangan TKI dari negara tujuan sampai tiba di daerah asal menjadi
tanggung jawab pelaksana penempatan TKI.

(2) Pengurusan kepulangan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


meliputi hal :
a. pemberian kemudahan atau fasilitas kepulangan TKI;
b. pemberian fasilitas kesehatan bagi TKI yang sakit dalam kepulangan;
dan
c. pemberian upaya perlindungan terhadap TKI dari kemungkinan
adanya tindakan pihak-pihak lain yang tidak bertanggung jawab dan
dapat merugikan TKI dalam kepulangan.
(3) Pemerintah ...
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA

- 38 -

(3) Pemerintah dapat mengatur kepulangan TKI.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemulangan TKI sebagaimana dimaksud


pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Menteri.

Bagian Ketujuh
Pembiayaan

Pasal 76

(1) Pelaksana penempatan TKI swasta hanya dapat membebankan biaya


penempatan kepada calon TKI untuk komponen biaya :
a. pengurusan dokumen jati diri;
b. pemeriksaan kesehatan dan psikologi; dan
c. pelatihan kerja dan sertifikasi kompetensi kerja.

(2) Biaya selain biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Menteri.

(3) Komponen biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus
transparan dan memenuhi asas akuntabilitas.

BAB VI

PERLINDUNGAN TKI

Pasal 77

(1) Setiap calon TKI/TKI mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan


sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan mulai


dari pra penempatan, masa penempatan, sampai dengan purna
penempatan.
Pasal 78 ...
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA
- 39 -

Pasal 78

(1) Perwakilan Republik Indonesia memberikan perlindungan terhadap TKI


di luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta hukum
dan kebiasaan internasional.

(2) Dalam rangka perlindungan TKI di luar negeri, Pemerintah dapat


menetapkan jabatan Atase Ketenagakerjaan pada Perwakilan Republik
Indonesia tertentu.

(3) Penugasan Atase Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)


dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 79

Dalam rangka pemberian perlindungan selama masa penempatan TKI di luar


negeri, Perwakilan Republik Indonesia melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap perwakilan pelaksana penempatan TKI swasta dan TKI
yang ditempatkan di luar negeri.

Pasal 80

(1) Perlindungan selama masa penempatan TKI di luar negeri dilaksanakan


antara lain :
a. pemberian bantuan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di negara tujuan serta hukum dan kebiasaan
internasional;
b. pembelaan atas pemenuhan hak-hak sesuai dengan perjanjian kerja
dan/atau peraturan perundang-undangan di negara TKI ditempatkan.
(2) Ketentuan ...
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA

- 40 -

(2) Ketentuan mengenai pemberian perlindungan selama masa penempatan


TKI di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 81

(1) Dengan pertimbangan untuk melindungi calon TKI/TKI, pemerataan


kesempatan kerja dan/atau untuk kepentingan ketersediaan tenaga kerja
sesuai dengan kebutuhan nasional, Pemerintah dapat menghentikan
dan/atau melarang penempatan TKI di luar negeri untuk negara tertentu
atau penempatan TKI pada jabatan-jabatan tertentu di luar negeri.

(2) Dalam menghentikan dan/atau melarang penempatan TKI sebagaimana


dimaksud pada ayat (1), Pemerintah memperhatikan saran dan
pertimbangan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI.

(3) Ketentuan mengenai penghentian dan pelarangan penempatan TKI


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 82

Pelaksana penempatan TKI swasta bertanggung jawab untuk memberikan


perlindungan kepada calon TKI/TKI sesuai dengan perjanjian penempatan.

Pasal 83 …
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA
- 41 -

Pasal 83

Setiap calon TKI/TKI yang bekerja ke luar negeri baik secara perseorangan
maupun yang ditempatkan oleh pelaksana penempatan TKI swasta wajib
mengikuti program pembinaan dan perlindungan TKI.

Pasal 84

Program pembinaan dan perlindungan TKI sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 83 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VII

PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Pasal 85

(1) Dalam hal terjadi sengketa antara TKI dengan pelaksana penempatan TKI
swasta mengenai pelaksanaan perjanjian penempatan, maka kedua belah
pihak mengupayakan penyelesaian secara damai dengan cara
bermusyawarah.

(2) Dalam hal penyelesaian secara musyawarah tidak tercapai, maka salah
satu atau kedua belah pihak dapat meminta bantuan instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota,
Provinsi atau Pemerintah.

BAB VIII ...


PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA

- 42 -

BAB VIII

PEMBINAAN

Pasal 86

(1) Pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan yang


berkenaan dengan penyelenggaraan Penempatan dan Perlindungan TKI di
luar negeri.

(2) Dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),


Pemerintah dapat mengikutsertakan pelaksana penempatan TKI swasta,
organisasi dan/atau masyarakat.

(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi.

Pasal 87

Pembinaan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86,


dilakukan dalam bidang :
a. informasi;
b. sumber daya manusia; dan
c. perlindungan TKI.

Pasal 88

Pembinaan oleh Pemerintah dalam bidang informasi sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 87 huruf a, dilakukan dengan :

a. membentuk ...
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA

- 43 -

a. membentuk sistem dan jaringan informasi yang terpadu mengenai pasar


kerja luar negeri yang dapat diakses secara meluas oleh masyarakat;
b. memberikan informasi keseluruhan proses dan prosedur mengenai
penempatan TKI di luar negeri termasuk risiko bahaya yang mungkin
terjadi selama masa penempatan TKI di luar negeri.

Pasal 89

Pembinaan oleh Pemerintah dalam bidang sumber daya manusia sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 87 huruf b, dilakukan dengan :
a. meningkatkan kualitas keahlian dan/atau keterampilan kerja calon
TKI/TKI yang akan ditempatkan di luar negeri termasuk kualitas
kemampuan berkomunikasi dalam bahasa asing;
b. membentuk dan mengembangkan pelatihan kerja yang sesuai dengan
standar dan persyaratan yang ditetapkan.

Pasal 90

Pembinaan oleh Pemerintah dalam bidang perlindungan TKI


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 huruf c, dilakukan dengan :
a. memberikan bimbingan dan advokasi bagi TKI mulai dari pra
penempatan, masa penempatan dan purna penempatan;

b. memfasilitasi ...
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA
- 44 -

b. memfasilitasi penyelesaian perselisihan atau sengketa calon TKI/TKI


dengan Pengguna dan/atau pelaksana penempatan TKI;
c. menyusun dan mengumumkan daftar Mitra Usaha dan Pengguna
bermasalah secara berkala sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
d. melakukan kerja sama internasional dalam rangka perlindungan TKI
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 91

(1) Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga


yang telah berjasa dalam pembinaan penempatan dan perlindungan TKI
di luar negeri.

(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dalam
bentuk piagam, uang, dan/atau bentuk lainnya.

BAB IX

PENGAWASAN

Pasal 92

(1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan penempatan dan perlindungan


TKI di luar negeri dilaksanakan oleh instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan
Pemerintah Kabupaten/Kota.
(2) Pengawasan ...
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA
- 45 -

(2) Pengawasan terhadap penyelenggaraan penempatan dan perlindungan


TKI di luar negeri dilaksanakan oleh Perwakilan Republik Indonesia di
negara tujuan.

(3) Pelaksanaan pengawasan terhadap penyelenggaraan penempatan dan


perlindungan TKI di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 93

(1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan pada


Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib melaporkan
hasil pelaksanaan pengawasan terhadap pelaksanaan penempatan dan
perlindungan TKI di luar negeri yang ada di daerahnya sesuai dengan
tugas, fungsi, dan wewenangnya kepada Menteri.

(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

BAB X
BADAN NASIONAL
PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TKI

Pasal 94

(1) Untuk menjamin dan mempercepat terwujudnya tujuan penempatan dan


perlindungan TKI di luar negeri, diperlukan pelayanan dan tanggung
jawab yang terpadu.

(2) Untuk ...


PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA

- 46 -

(2) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibentuk
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI.

(3) Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI sebagaimana


dimaksud pada ayat (2), merupakan lembaga pemerintah non departemen
yang bertanggung jawab kepada Presiden yang berkedudukan di Ibukota
Negara.

Pasal 95

(1) Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 94 mempunyai fungsi pelaksanaan kebijakan di
bidang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri secara
terkoordinasi dan terintegrasi.

(2) Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),


Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI bertugas :
a. melakukan penempatan atas dasar perjanjian secara tertulis antara
Pemerintah dengan Pemerintah negara Pengguna TKI atau Pengguna
berbadan hukum di negara tujuan penempatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1);
b. memberikan pelayanan, mengkoordinasikan, dan melakukan
pengawasan mengenai :
1) dokumen;
2) pembekalan akhir pemberangkatan (PAP);
3) penyelesaian masalah;

4) sumber-sumber ...
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA

- 47 -
4) sumber-sumber pembiayaan;
5) pemberangkatan sampai pemulangan;
6) peningkatan kualitas calon TKI;
7) informasi;
8) kualitas pelaksana penempatan TKI; dan
9) peningkatan kesejahteraan TKI dan keluarganya.

Pasal 96

(1) Keanggotaan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI terdiri


dari wakil-wakil instansi Pemerintah terkait.

(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Badan Nasional Penempatan dan


Perlindungan TKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (2) dapat
melibatkan tenaga-tenaga profesional.

Pasal 97

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, fungsi, tugas, struktur


organisasi, dan tata kerja Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI
diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 98

(1) Untuk kelancaran pelaksanaan pelayanan penempatan TKI, Badan


Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI membentuk Balai Pelayanan
Penempatan dan Perlindungan TKI di Ibukota Provinsi dan/atau tempat
pemberangkatan TKI yang dianggap perlu.

(2) Balai ...


PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA
- 48 -

(2) Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan kemudahan pelayanan
pemrosesan seluruh dokumen penempatan TKI.
(3) Pemberian pelayanan pemrosesan dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan bersama-sama dengan instansi yang terkait.

Pasal 99
(1) Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 98 berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada Kepala Badan.
(2) Tata cara pembentukan dan susunan organisasi Balai Pelayanan
Penempatan dan Perlindungan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kepala Badan.

BAB XI
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 100
(1) Menteri menjatuhkan sanksi administratif atas pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1),
Pasal 20, Pasal 30, Pasal 32 ayat (1), Pasal 33, Pasal 34 ayat (3), Pasal
38 ayat (2), Pasal 54 ayat (1), Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 58
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 62 ayat (1), Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 69 ayat (1), Pasal 71, Pasal 72, Pasal 73 ayat (2), Pasal 74, Pasal
76 ayat (1), Pasal 82, Pasal 83, atau Pasal 105.
(2) Sanksi …
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA

- 49 -

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :


a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha
penempatan TKI;
c. pencabutan izin;
d. pembatalan keberangkatan calon TKI; dan/atau
e. pemulangan TKI dari luar negeri dengan biaya sendiri.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Menteri.

BAB XII

PENYIDIKAN

Pasal 101

(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, kepada Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu di instansi Pemerintah, Pemerintah Provinsi
dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan diberi wewenang khusus sebagai Penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana sebagaimana
diatur dalam Undang-undang ini.
(2) Penyidik …
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA

- 50 -

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :


a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan tentang tindak pidana
di bidang penempatan dan perlindungan TKI;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan
tindak pidana di bidang penempatan dan perlindungan TKI;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum
sehubungan dengan tindak pidana di bidang penempatan dan
perlindungan TKI;
d. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam
perkara tindak pidana di bidang penempatan dan perlindungan TKI;
e. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang
tindak pidana di bidang penempatan dan perlindungan TKI;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana di bidang penempatan dan perlindungan
TKI;
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang
membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang penempatan dan
perlindungan TKI.

(3) Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada


ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana.

BAB XIII ...


PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA

- 51 -

BAB XIII

KETENTUAN PIDANA

Pasal 102

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp
2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp
15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah), setiap orang yang :
a. menempatkan warga negara Indonesia untuk bekerja di luar negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4;
b. menempatkan TKI tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12;
atau
c. menempatkan calon TKI pada jabatan atau tempat pekerjaan yang
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan norma kesusilaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak
pidana kejahatan.

Pasal 103

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah), setiap orang yang :

a. mengalihkan ...
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA

- 52 -

a. mengalihkan atau memindahtangankan SIPPTKI sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 19;
b. mengalihkan atau memindahtangankan SIP kepada pihak lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33;
c. melakukan perekrutan calon TKI yang tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35;
d. menempatkan TKI yang tidak lulus dalam uji kompetensi kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45;
e. menempatkan TKI yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan dan
psikologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50;
f. menempatkan calon TKI/TKI yang tidak memiliki dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51;
g. menempatkan TKI di luar negeri tanpa perlindungan program asuransi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68; atau
h. memperlakukan calon TKI secara tidak wajar dan tidak manusiawi
selama masa di penampungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70
ayat (3).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak
pidana kejahatan.

Pasal 104

(1) Dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), setiap orang yang :

a. menempatkan ...
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA

- 53 -

a. menempatkan TKI tidak melalui Mitra Usaha sebagaimana


dipersyaratkan dalam Pasal 24;
b. menempatkan TKI di luar negeri untuk kepentingan perusahaan
sendiri tanpa izin tertulis dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (1);
c. mempekerjakan calon TKI yang sedang mengikuti pendidikan dan
pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46;
d. menempatkan TKI di luar negeri yang tidak memiliki KTKLN
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64; atau
e. tidak memberangkatkan TKI ke luar negeri yang telah
memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 67.

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak
pidana pelanggaran.

BAB XIV

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 105

(1) TKI yang bekerja di luar negeri secara perseorangan melapor pada
instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
dan Perwakilan Republik Indonesia.

(2) Selain ...


PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA

- 54 -
(2) Selain dokumen yang diperlukan untuk bekerja di luar negeri, TKI yang
bekerja di luar negeri secara perseorangan harus memiliki KTKLN.

Pasal 106

(1) TKI yang bekerja di luar negeri secara perseorangan berhak untuk
memperoleh perlindungan.

(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh


Perwakilan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

BAB XV

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 107

(1) Pelaksana penempatan TKI swasta yang telah memiliki izin penempatan
TKI di luar negeri sebelum berlakunya Undang-undang ini wajib
menyesuaikan persyaratan yang diatur dalam Undang-undang ini paling
lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Undang-undang ini.

(2) Bagi ...


PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA

- 55 -

(2) Bagi pelaksana penempatan TKI swasta yang menempatkan TKI sebelum
berlakunya Undang-undang ini, maka jangka waktu penyesuaian
terhitung mulai sejak Undang-undang ini berlaku sampai dengan
berakhirnya perjanjian kerja TKI terakhir yang ditempatkan sebelum
berlakunya Undang-undang ini.

(3) Apabila pelaksana penempatan TKI swasta dalam jangka waktu yang
ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menyesuaikan
persyaratan-persyaratan yang diatur dalam Undang-undang ini, maka izin
pelaksana penempatan TKI swasta yang bersangkutan dicabut oleh
Menteri.

Pasal 108

Pembentukan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (2) dilakukan dalam waktu paling
lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Undang-undang ini.

BAB XVI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 109

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar ...
PRESIDEN
REPUBLIK IND O NESIA
- 56 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-


undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 18 Oktober 2004

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 18 Oktober 2004

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,


ttd.
BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 133

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang Hukum dan
Perundang-undangan,

ttd

Lambock V. Nahattands
PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 2021
TENTANG
RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN KETENAGAKERJAAN
TAHUN 2020-2024

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 12


Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian
Ketenagakerjaan Tahun 2020-2024 sudah tidak
sesuai dengan perubahan struktur organisasi dan
tata kerja Kementerian Ketenagakerjaan dalam
rangka reformasi kelembagaan dan mendorong
perluasan kesempatan kerja akibat berbagai
kemudahan berusaha dan berinvestasi, serta
berbagai kemajuan dalam pelindungan sosial
ketenagakerjaan, sehingga perlu diganti;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang Rencana
Strategis Kementerian Ketenagakerjaan Tahun 2020-
2024;
-2-

Mengingat : 1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4421);
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2006 tentang
Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan
Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2006 Nomor 97, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4664);
5. Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2020 tentang
Kementerian Ketenagakerjaan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 213);
6. Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
2020-2024 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2020 Nomor 10);
7. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 1 Tahun
2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Ketenagakerjaan (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2021 Nomor 108);
8. Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional Nomor 5 Tahun 2019 tentang Tata Cara
Penyusunan Rencana Strategis Kementerian/Lembaga
Tahun 2020-2024 (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2019 Nomor 663) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional Nomor 6 Tahun 2020 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan
-3-

Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan


Nasional Nomor 5 Tahun 2019 tentang Tata Cara
Penyusunan Rencana Strategis Kementerian/Lembaga
Tahun 2020-2024 (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2020 Nomor 635);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN TENTANG
RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN
KETENAGAKERJAAN TAHUN 2020-2024.

Pasal 1
Rencana strategis Kementerian Ketenagakerjaan tahun
2020-2024 merupakan dokumen perencanaan strategis
Kementerian Ketenagakerjaan untuk periode 5 (lima)
tahun, yakni terhitung mulai tahun 2020-2024 yang
merupakan penjabaran dari rencana pembangunan jangka
menengah nasional tahun 2020-2024.

Pasal 2
(1) Rencana strategis Kementerian Ketenagakerjaan
tahun 2020-2024 sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 memuat:
a. pendahuluan;
b. visi, misi, dan tujuan Kementerian
Ketenagakerjaan tahun 2020-2024;
c. arah kebijakan, kerangka regulasi, dan kerangka
kelembagaan;
d. target kinerja dan kerangka pendanaan; dan
e. penutup.
(2) Rencana strategis Kementerian Ketenagakerjaan
tahun 2020-2024 sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
-4-

Pasal 3
Data dan informasi kinerja rencana strategis Kementerian
Ketenagakerjaan tahun 2020-2024 yang termuat dalam
Sistem Informasi KRISNA-Renstra merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari dokumen rencana strategis
Kementerian Ketenagakerjaan tahun 2020-2024.

Pasal 4
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan
Menteri Ketenagakerjaan Nomor 12 Tahun 2020 tentang
Rencana Strategis Kementerian Ketenagakerjaan Tahun
2020-2024 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020
Nomor 773), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 5
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
-5-

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Juli 2021

MENTERI KETENAGAKERJAAN
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

IDA FAUZIYAH

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 9 Juli 2021

DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BENNY RIYANTO

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 794

SALINAN SESUAI DENGAN ASLINYA


KEPALA BIRO HUKUM,

RENI MURSIDAYANTI
NIP 19720603 199903 2 001
-5-

LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 2021
TENTANG
RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN
KETENAGAKERJAAN TAHUN 2020-2024

BAB I
PENDAHULUAN

A. Kondisi Umum
Pada akhir periode pembangunan 2015-2019, sejumlah target
indikator kinerja strategis berhasil dicapai oleh Kementerian
Ketenagakerjaan, yaitu: jumlah provinsi yang memiliki Indeks
Pembangunan Ketenagakerjaan (IPK) baik, persentase tenaga kerja
yang bersertifikat kompetensi, tingkat produktivitas tenaga kerja,
jumlah penyediaan lapangan kerja, penurunan angka perselisihan
hubungan industrial, jumlah tenaga kerja yang menjadi peserta
Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, jumlah perusahaan yang
menerapkan norma ketenagakerjaan, jumlah pekerja anak yang ditarik
dari Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak (BPTA), dan status opini Wajar
Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Namun demikian, terdapat pula target yang belum berhasil dicapai,
seperti target angka pengangguran, persentase pekerja formal, hasil
evaluasi AKIP, dan Indeks Reformasi Birokrasi.
-6-

Tabel 1.1 Capaian Target Kinerja Kementerian Ketenagakerjaan Tahun 2019


No Sasaran Strategis Indikator Kinerja Target Realisasi
1 Meningkatnya kesempatan kerja Persentase angka 4-5% 5,28%
masyarakat Indonesia pengangguran
2 Peningkatan pembangunan Jumlah Provinsi yang Indeks 6 provinsi 7 provinsi
ketenagakerjaan di provinsi Pembangunan Ketenagakerjaan
(IPK) Baik
3 Peningkatan kompetensi dan produktivitas Persentase Tenaga Kerja yang 3,5% 3,76%
tenaga kerja bersertifikat Kompetensi
Tingkat Produktivitas Tenaga 79,05 juta 86,55 juta
Kerja rupiah/tenaga kerja rupiah/tenaga kerja
4 Peningkatan kualitas penempatan dan Penyediaan lapangan kerja 2.000.000 orang 2.248.445 orang
pemberdayaan tenaga kerja Peningkatan persentase tenaga 51% 44,28%
kerja formal
5 Penciptaan Hubungan Industrial yang Persentase penurunan angka 12% 39,65%
harmonis dan memperbaiki iklim perselisihan hubungan
ketenagakerjaan industrial antara pekerja
dengan perusahaan
Jumlah tenaga kerja yang telah 33.524.978 orang 34.367.581 orang
menjadi peserta Program
Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan (Formal dan
Informal)
6 Peningkatan perlindungan tenaga kerja, Jumlah perusahaan yang 23.140 perusahaan 23.591 perusahaan
menciptakan rasa keadilan dalam dunia menerapkan norma
usaha dan pengembangan sistem ketenagakerjaan
Jumlah pekerja anak yang 18.000 pekerja anak 18.000 pekerja anak
ditarik dari Bentuk Pekerjaan
Terburuk Anak (BPTA)
7 Peningkatan kapasitas dan kualitas Opini Badan Pemeriksa WTP WTP
organisasi Keuangan
Hasil Evaluasi AKIP BB B
Indeks Reformasi Birokrasi 83 75,02

Memasuki periode pembangunan 2020-2024 dan merujuk


Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2020 tentang Kementerian
Ketenagakerjaan dapat dikatakan bahwa lingkup wewenang, tugas dan
fungsi Kementerian Ketenagakerjaan secara substansi tidaklah
memiliki banyak perubahan. Tugas Kementerian Ketenagakerjaan
dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
Ketenagakerjaan tetap meliputi fungsi teknis Ketenagakerjaan di bidang
Kompetensi dan Daya Saing Tenaga Kerja serta Produktivitas,
Penempatan dan Perluasan Kesempatan Kerja, Hubungan Industrial
dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, serta Pengawasan
Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Selain itu,
fungsi non-teknis juga tetap meliputi berbagai hal, seperti: dukungan
administratif dan substansi, pengelolaan Barang Milik Negara (BMN),
pengawasan atas pelaksanaan tugas, perencanaan ketenagakerjaan
nasional, pengelolaan teknologi informasi dan data ketenagakerjaan,
serta pengembangan kebijakan ketenagakerjaan. Meskipun tidak
terjadi perubahan yang mendasar, namun bukan berarti Kementerian
Ketenagakerjaan hanya melakukan proses business as usual. Kondisi
yang demikian justru menjadi modal dasar untuk melaksanakan
-7-

berbagai terobosan strategis guna mengoptimalkan potensi


pembangunan serta mengatasi tantangan dan permasalahan
ketenagakerjaan yang semakin kompleks.

B. Potensi dan Permasalahan


1. Potensi
Dalam pembangunan ketenagakerjaan periode 2020-2024
terdapat sejumlah potensi yang harus dioptimalkan. Pertama,
potensi optimalisasi penciptaan lapangan kerja dengan hadirnya
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Hadirnya UU ini berpotensi meningkatkan permintaan tenaga
kerja dikarenakan adanya regulasi yang mampu mendorong
kemudahan berbisnis atau berinvestasi di Indonesia. Hal ini
tentunya sangat penting bagi upaya penurunan tingkat
pengangguran dan penciptaan lapangan kerja sektor formal di era
pelambatan ekonomi global karena efek pandemi Covid-19. Dalam
konteks yang demikian, tantangan yang muncul kemudian adalah
perumusan peraturan perundang-undangan turunan, khususnya
di bidang ketenagakerjaan, yang memiliki keselarasan “nafas” dan
semangat dengan UU Cipta Kerja sebagai payung hukumnya.
Kedua, bonus demografi dan karakteristik angkatan kerja
muda (generasi Z). Berdasarkan data sensus penduduk, penduduk
usia produktif (15-64 tahun) di Indonesia memiliki tren yang terus
meningkat dalam kurun waktu 1971-2020. Pada tahun 1971,
penduduk usia produktif sebesar 53,39 %. Persentase ini
meningkat menjadi 70,72 % pada tahun 2020. Kondisi yang
seperti ini tentunya menjadi insentif bagi perekonomian jika dapat
dimanfaatkan secara optimal, mengingat besar penduduk usia
produktif. Dengan demikian, tantangannya adalah penciptaan
lapangan pekerjaan seluas-luasnya agar bonus demografi
berdampak positif bagi perekonomian. Dari sisi regulasi, UU Cipta
Kerja sebenarnya sudah memberikan payung hukum bagi hal
tersebut.
Seiring dengan terjadinya bonus demografi, struktur
angkatan kerja pada tahun 2020-2024 juga akan didominasi oleh
Generasi Y/Milenial (kelahiran 1981-1996) dan Generasi Z
(kelahiran 1997 ke atas). Menurut data sensus penduduk 2020
-8-

(BPS, 2021) dari total 270,20 juta penduduk, sekitar 25,87 %


adalah generasi milenial dan 27,94 % adalah generasi Z. Dengan
demikian, kedua generasi ini memiliki komposisi 53,81 % dari
total penduduk Indonesia.
Menurut Bencsik et. al. (2016) generasi Z ini merupakan
digital native di mana penggunaan teknologi digital dalam
kehidupan keseharian terjadi secara lebih mendalam, bahkan
dibandingkan generasi Y (Milenial kelahiran 1980-1995) sekalipun.
Padahal, pada generasi milenial teknologi digital juga telah
menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Karakteristik lainnya
adalah generasi Z tidak memiliki suatu komitmen jangka panjang
dan hanya melakukan pekerjaan selama hal itu membuat mereka
merasa senang. Dalam kondisi yang demikian, batasan antara
work dengan entertainment menjadi blur. Berkonfigurasi dengan
perkembangan teknologi digital, hal ini berpotensi meningkatkan
labor turnover dan mengubah pola hubungan kerja menjadi lebih
fleksibel seperti pola part-time, freelance, kemitraan, dan
sebagainya. Pola hubungan kerja seperti ini adalah salah satu
karakteristik dari “GIG Economy”.
Kondisi kerja fleksibel yang demikian sedikit banyak sudah
terjadi di Indonesia. Hal tersebut dapat diindikasikan dari
meningkatnya jumlah pekerja paruh waktu sebesar ± 10 juta
orang sepanjang tahun 2016-2020, sebagaimana terlihat pada
gambar 1.2. Fleksibilitas hubungan kerja seperti ini tentunya akan
membuat pasar tenaga kerja Indonesia menjadi semakin adaptif
terhadap kondisi perekonomian global dan nasional yang dinamis.
Dalam konteks yang demikian, tantangannya adalah menciptakan
skema kesejahteraan yang tepat (dari sisi supply maupun demand)
agar tingginya labor turnover tidak meningkatkan angka
kemiskinan. Tentunya, Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang
disebutkan dalam UU Cipta Kerja adalah salah satu instrumen
utama untuk mengatasi tantangan ini.
-9-

54,0
33.342.250
52,0
27.962.749 29.022.176
50,0
24.674.737
23.257.887
48,0
46,0
44,0
42,0
40,0
2015
2018
2021
2024
2027
2030
2033
2036
2039
2042
2045
2016 2017 2018 2019 2020

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2018. Diolah. Sumber: Badan Pusat Statistik, beberapa tahun.
Diolah.

Grafik 1.1 Persentase Penduduk Usia Grafik 1.2 Tren Jumlah Pekerja Paruh Waktu.
Produktif (%).
Ketiga, potensi meningkatnya permintaan terhadap jenis-jenis
pekerjaan baru akibat perkembangan teknologi dan ekonomi
digital. Pada era sekarang ini, teknologi digital membawa banyak
perubahan dalam berbagai sendi kehidupan. Dalam sektor
ekonomi, terjadi transformasi industri yang mengarah pada
bentuk-bentuk industry 4.0. Revolusi Industri 4.0 belum sampai
satu dekade tapi pada tahun 2019/2020 sudah berkembang
Revolusi Industri 5.0. Saat ini banyak perusahaan-perusahaan
yang sedang menerapkan Revolusi Industri 4.0 mendadak harus
menerapkan Revolusi Industri 5.0. Revolusi Industri 4.0 yang
menitikberatkan kepada penggunaan teknologi yang lebih cerdas,
berubah menjadi adanya rekonsiliasi antara manusia dengan
mesin (robot). Revolusi Industri 4.0 ditandai dengan penggunaan
antara lain internet untuk segala (internet of things), komputasi
awan (cloud computing), sistem fisik-maya (cyber-physical system)
dan komputasi kognitif (cognitive computing), robotika (robotics),
dan kecerdasan Buatan (artificial intelligence). Pada Revolusi
Industri 5.0 yang merupakan rekonsiliasi manusia ditandai
dengan efisiensi dan personalisasi produk dan memberikan
ruang desain yang lebih luas kepada manusia. Persyaratan untuk
menuju Revolusi Industri 5.0 adalah:
 Kinerja tenaga kerja terlatih akan lebih baik: Dengan
teknologi yang begitu maju, dibutuhkan tenaga kerja terlatih
yang berspesialisasi dalam bidang tersebut. Diperlukan
tenaga kerja yang mengetahui tentang Robotika, AI (artificial
- 10 -

intelligence), dan juga mengetahui mesin dan operator dengan


baik. Pelatihan karyawan juga telah mengambil lompatan
besar dengan menggunakan fasilitas pendidikan online
melalui kursus atau lainnya.
 Teknologi yang sempurna: Untuk efisiensi dan kerja
kolaboratif yang lebih baik, teknologi baru dan lebih baik
akan selalu dibutuhkan. Ini tidak hanya diperlukan untuk
keselamatan dan masa depan yang direncanakan dengan
lebih baik tetapi juga untuk pabrik 5.0 yang lebih baik.
Keuntungan Revolusi Industri 5.0
 Perbaikan biaya: Keputusan dan kondisi keuangan akan
ditingkatkan karena manusia dan mesin akan bekerja sama.
 Solusi yang Lebih Ramah Lingkungan: Dengan penggunaan
teknologi baru, perhatian terhadap lingkungan menjadi
prioritas utama.
 Personalisasi Kreatif: Personalisasi adalah aspek kunci dari
industri 5.0. Dengan mesin yang masih melakukan tugas
monoton, interaksi manusia dengannya membuka gerbang
untuk personalisasi individu.
Pada aspek kemasyarakatan secara lebih luas, Jepang
menginisiasi konsep Society 5.0. Kedua konsep tersebut sejatinya
lebih memiliki banyak kesamaan dibandingkan perbedaan, di
mana sama-sama mengakui terjadinya perubahan dalam
kehidupan ekonomi dan sosial akibat dari perkembangan teknologi
digital. Perbedaannya, Society 5.0 lebih menekankan kontribusi
teknologi digital terhadap perubahan struktur dan kultur
masyarakat secara keseluruhan dan tidak hanya pada sektor
ekonomi industri. Hal ini cukup beralasan mengingat Margetts &
Dunleavy (2013) mengatakan bahwa teknologi digital juga
berdampak pada arah perkembangan sektor publik (pemerintahan)
yang justru semakin berlawanan dengan prinsip-prinsip New
Public Management (NPM) seiring dengan hadirnya gelombang
kedua Digital Era Governance (DEG).
- 11 -

Masyarakat Masyarakat Masyarakat Masyarakat Masyarakat 5.0


1.0 2.0 3.0 4.0
Masyarakat Berburu- Agraria Industrial Informasi Super cerdas
pengumpul
Pendekatan Menangkap/m Manufaktur Mekanisasi Teknologi Penggabungan
produktif engumpul Informasi dan ruang maya dan
Komunikasi ruang fisik
(TIK) (nyata)
Bahan material Batu-Tanah Logam Plastik Semikonduktor Bahan material
5.0*
Alat transportasi Kaki Lembu, kuda Mobil, perahu, Mobilitas multi- Mengemudi
pesawat moda otonom
Bentuk Nomaden, Kota Linear (Kota Kota jejaring Desentralisasi
pemukiman pemukiman berbenteng industri) otonomi daerah
kecil kota
Visi & Misi Kota Kelangsungan Pertahanan Fungsionalitas Profitabilitas Kemanusiaan
hidup
Sumber: Hitachi dan The University of Tokyo, 2020.
Tabel 1.2. Karakteristik Masyarakat Society 5.0.

Selain mengubah hubungan kerja menjadi lebih fleksibel,


dampak penting dari kehadiran teknologi digital bagi sektor
ketenagakerjaan adalah pergeseran permintaan terhadap
pekerjaan-pekerjaan tertentu dan pergeseran keterampilan yang
dibutuhkan. Menurut studi World Economic Forum (2020), 10
(sepuluh) jenis pekerjaan teratas yang akan meningkat
permintaannya adalah Analis Data dan Ilmuwan, Ahli Kecerdasan
Buatan (AI) dan Pembelajaran Mesin, Ahli Big Data, Ahli
Pemasaran dan Strategi Digital, Ahli Otomatisasi Proses,
Pengembangan Bisnis Profesional, Ahli Transformasi Digital,
Analis Keamanan Informasi, Pengembang Perangkat Lunak dan
Aplikasi, dan Ahli Internet untuk Segala (Internet of Things/IoT).
Dari daftar tersebut sangatlah jelas bahwa jenis-jenis pekerjaan
yang muncul adalah pekerjaan yang dekat dengan teknologi
digital.
Peningkatan Permintaan Penurunan Permintaan
1 Analis data dan ilmuwan 1 Petugas entry data
2 Ahli Kecerdasan buatan (AI) dan 2 Sekretaris administratif dan eksekutif
Pembelajaran mesin
3 Ahli Big Data 3 Petugas accounting, Pembukuan dan
Pengupahan
4 Ahli Pemasaran dan strategi digital 4 Akuntan dan Auditor
5 Ahli Otomatisasi proses 5 Pekerja Perakitan dan Pabrik
6 Pengembangan bisnis profesional 6 Manajer Layanan Bisnis dan Administrasi
7 Ahli Transformasi digital 7 Pekerja bagian Informasi Klien dan
Layanan Pelanggan
8 Analis keamanan informasi 8 Manajer Umum dan Operasional
- 12 -

9 Pengembang Perangkat lunak dan aplikasi 9 Mekanik dan Reparasi Mesin


10 Ahli Internet untuk Segala (IoT) 10 Petugas pencatatan bahan dan
penyimpanan stok
11 Manajer Proyek 11 Analis Keuangan
12 Manajer Layanan bisnis dan Administrasi 12 Petugas Layanan Pos
13 Database dan Jejaring Profesional 13 Perwakilan penjualan, grosir dan
manufaktur, produk teknologi dan sains
14 Insinyur Robotik 14 Manajer Humas
15 Penasihat Strategi 15 Teller Bank dan Petugas terkait
16 Analis Manajemen dan Organisasi 16 Penjual keliling, Penjual Koran, dan
Pedagang jalanan
17 Insinyur Teknik Finansial (Fintech) 17 Tukang pemasangan dan reparasi
elektronik dan telekomunikasi
18 Mekanik dan Reparasi mesin 18 Ahli SDM
19 Ahli Pengembangan Organisasi 19 Ahli Pelatihan dan Pengembangan
20 Ahli Manajemen Risiko 20 Buruh bangunan
Sumber: World Economic Forum, 2020.
Tabel 1.3. Dua puluh pekerjaan yang meningkat dan menurun permintaannya

Selanjutnya, 5 (lima) keterampilan yang dibutuhkan hingga


2025 adalah Pemikiran analitis dan inovatif; Pembelajaran aktif
dan strategi pembelajaran; Pemecahan masalah yang kompleks,
Pemikiran dan analisis yang Kritis, Kreativitas, Keorisinilan, dan
Berinisiatif. Seiring dengan pergeseran jenis pekerjaan dan
keterampilan tersebut, maka tantangan utamanya adalah
mempersiapkan pekerja agar sesuai dengan kebutuhan tersebut,
baik dari sisi sistem pendidikan konvensional maupun sistem
pelatihan kerja.

1 Pemikiran analitis dan inovatif


2 Pembelajaran aktif dan strategi pembelajaran
3 Pemecahan masalah yang kompleks
4 Pemikiran dan analisis yang kritis
5 Kreativitas, keorisinilan, dan berinisiatif
6 Kepemimpinan dan Pemberi Pengaruh Sosial

7 Pengunaan teknologi, Pemantauan dan pengendalian


8 Desain Teknologi dan pemrograman
9 Ketahanan, toleransi terhadap stres dan fleksibilitas

10 Penalaran, pemecahan masalah dan ideasi

11 Kecerdasan Emosional
12 Penyelesaian masalah dan pengalaman pengguna

13 Berorientasi Pelayanan
14 Analisis sistem dan evaluasi
15 Persuasif dan negosiasi
Tabel 1.4. Lima belas keterampilan (skill) yang dibutuhkan hingga 2025
- 13 -

Keempat, potensi pekerjaan yang lebih produktif di luar


sektor pertanian akibat transformasi sektoral penduduk bekerja.
Pergeseran penyerapan tenaga kerja sektoral memiliki
kecenderungan mengikuti pergeseran komposisi PDB sektoral.
Penurunan kontribusi PDB sektoral diikuti oleh penurunan
kontribusi masing-masing sektor tenaga kerjanya. Transisi
sektoral yang memiliki peluang besar mengarah pada sektor jasa
dan industri pengolahan yang menjelaskan peran disrupsi
ekonomi yang besar terhadap perubahan. Dari keseluruhan
transisi antar sektor tersebut, sektor pertambangan dan
penggalian memiliki nilai penyerapan tenaga kerja terkecil
dibandingkan sektor lainnya, serta sektor jasa merupakan sektor
yang paling diminati dibandingkan dengan sektor pertanian.
Sektor jasa semakin mendominasi sebagai sektor yang paling
diminati oleh angkatan kerja dari tahun 2015 hingga tahun 2019.
Tinggi dan rendahnya tingkat produktivitas setiap sektor usaha
pada gilirannya akan menekan kesejahteraan pekerja sektor
tersebut dan membuat pekerja enggan untuk masuk ke dalamnya.
Perkembangan sektor jasa, saat ini merupakan sektor yang
potensial untuk dapat menyerap tenaga kerja secara masif.
Meskipun dalalm perkembangannya, sektor jasa mayoritas
bermuara menjadi sektor informal. Perkembangan sektor jasa yang
masih mengarah pada sektor informal menjadi salah satu hal yang
perlu mendapatkan perhatian agar berubah mengarah pada sektor
formal. Perkembangan sektor jasa dapat dipandang dari dua sisi.
Pertama, perkembangan ekonomi digital dan teknologi memacu
tumbuhnya online entrepreneur. Selain itu, pertumbuhan sektor
jasa juga dipengaruhi dari karakteristik generasi Milenial dan
generasi Z yang cenderung memilih jam kerja fleksibel. Sisi
lainnya, pertumbuhan pekerja sektor jasa juga dapat disebabkan
alternatif terakhir untuk sekadar mendapatkan pekerjaan.
Teori yang sesuai dengan fenomena di atas adalah teori
transformasi struktural yang menitikberatkan pada mekanisme
transformasi ekonomi yang dialami oleh negara sedang
berkembang yang awalnya bersifat tradisional dan berbasis pada
sektor pertanian menuju ke struktur perekonomian yang lebih
- 14 -

modern dan sangat didominasi oleh sektor industri dan jasa.


Gambaran grafik diatas sesuai dengan teori yang dikemukakan
oleh W. Arthur Lewis, mengerucut pada dua sektor yang melihat
bagaimana supply penawaran tenaga kerja terjadi antara dua
sektor yakni sektor industri dan jasa. Lewis mendefinisikan bahwa
surplus tenaga kerja (surplus labor) yang terjadi di sektor
pertanian dan tenaga kerja bergeser pada sektor industri, jasa,
dan lainnya. Lewis menganggap adanya upah yang lebih tinggi
pada sektor industri mengakibatkan tenaga kerja memilih sektor
industri sebagai sektor yang dapat meningkatkan
kesejahteraannya. Pemerintah sebaiknya mendorong peningkatan
dalam sektor pertanian melalui kemajuan pada sektor non
pertanian dengan tujuan meningkatkan nilai tambah bagi sektor
pertanian.

Sumber: Badan Pusat Statistik, beberapa tahun. Diolah.


Grafik 1.3. Pangsa Relatif Sektor terhadap Tenaga Kerja (%).

Sumber: Badan Pusat Statistik, beberapa tahun. Diolah.

Grafik 1.4. Pangsa Sektor terhadap total PDB Nasional (%)


- 15 -

Rendahnya tingkat produktivitas sektor pertanian ini pada


gilirannya akan menekan kesejahteraan pekerja sektor tersebut
dan membuat pekerja enggan untuk masuk ke dalamnya. Mereka
akan melihat bahwa sektor non-pertanian lebih mampu
memberikan kesejahteraan secara relatif dibandingkan sektor
pertanian. Menurut data BPS (Agustus 2020) rata-rata upah
buruh di sektor pertanian hanya 1,97 juta rupiah per bulan.
Angka ini memang berada di bawah rata-rata upah buruh secara
nasional yang mencapai 2,76 juta rupiah per bulan.
Kelima, meningkatnya jumlah penduduk berwirausaha.
Dalam kurun waktu 2016-2020, persentase pekerja dengan status
berusaha (berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap,
dan berusaha dibantu buruh tetap) sesungguhnya semakin
meningkat. Pada tahun 2016, persentase pekerja dengan status
berusaha mencapai 37,03 %. Angka ini meningkat menjadi 39,16
% pada tahun 2020. Peningkatan ini sebenarnya tidaklah begitu
mengherankan, mengingat perkembangan teknologi digital
memungkinkan munculnya berbagai macam usaha rintisan (start-
up) ataupun aktivitas e-commerce. Menurut data BPS (2020),
mayoritas pemilik usaha e-commerce berpendidikan SMA/sederajat
ke bawah sebesar 62,69 %. Sedangkan yang berpendidikan
Sarjana/sederajat sebesar 26,76 %. Pemilik usaha e-commerce
berpendidikan Sarjana ke atas umumnya memiliki corak usaha e-
commerce berskala Menengah-Besar. Sedangkan SMA/sederajat ke
bawah umumnya berskala kecil dengan jumlah pekerja 1 sampai 4
orang. Dengan demikian, meningkatnya jumlah penduduk
berwirausaha ini tentunya berdampak positif bagi penciptaan
lapangan kerja.

39,16

38,27 38,22

37,29
37,03

2016 2017 2018 2019 2020

Sumber: Badan Pusat Statistik, beberapa tahun. Diolah.

Grafik 1.5. Persentase pekerja berstatus berusaha (berusaha sendiri, berusaha


dibantu buruh tidak tetap, dan berusaha dibantu buruh tetap) terhadap total
penduduk bekerja (%).
- 16 -

Keenam, potensi perkembangan agribisnis perdesaan dan


ekonomi kreatif. Meskipun sektor pertanian kurang berpotensi
dalam menyerap lapangan pekerjaan, namun jika pengembangan
agribisnis perdesaan dilakukan secara konsisten maka tidak
menutup kemungkinan sektor pertanian mampu menarik kembali
minat pekerja. Hal ini dimungkinkan karena agribisnis dapat
meningkatkan produktivitas sektor pertanian sehingga
menghasilkan nilai tambah yang lebih tinggi. Pada gilirannya, rata-
rata upah di sektor pertanian akan meningkatkan dan mampu
menarik kembali minat pekerja untuk masuk ke sektor tersebut.
Selain agribisnis, sektor ekonomi kreatif juga berpotensi besar
dalam penciptaan lapangan kerja. Sektor ini meliputi berbagai
jenis pekerjaan, seperti: arsitektur, desain interior, desain
komunikasi visual, desain produk, film, animasi, dan video,
fotografi, kuliner, kriya, musik, fashion, aplikasi dan game
developer, seni rupa, seni pertunjukan, televisi dan radio,
periklanan, dan penerbitan. Menurut Data BPS (2017) jumlah
buruh/karyawan/pegawai di sektor ekonomi kreatif terus
meningkat dari 5,64 juta orang pada tahun 2011 menjadi 7,05
juta orang pada tahun 2016. Pada periode yang sama, rata-rata
upah per bulan pekerja sektor ekonomi kreatif umumnya lebih
tinggi dibandingkan rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP) di
Indonesia. Pengecualian akan hal ini hanya terdapat pada tahun
2014 dan 2015. Pada tahun 2016, sebaran pekerja ekonomi kreatif
terbesar pada kegiatan fashion (34,60 %), kuliner (29,17 %), dan
kriya (25,36 %). Dari segi karakteristiknya, pekerja sektor ekonomi
kreatif cenderung berusia relatif muda (15-29 tahun) (BPS, 2017).
- 17 -

Tabel 1.5 Jumlah Buruh/Karyawan/Pegawai Ekonomi Kreatif Menurut Subsektor


Tahun 2014-2016.
2014 2015 2016
SUBSEKTOR
N % N % N %
Arsitektur 34.940 0,53 41.466 0,60 39.116 0,55
Desain interior, komunikasi visual, dan produk 13.828 0,21 17.375 0,25 20.779 0,29
Film, Animasi, Video 30.790 0,47 31.252 0,45 26.624 0,38
Fotografi 26.968 0,41 34.048 0,49 39.758 0,56
Kriya 1.767.052 26,85 1.848.689 26,67 1.787.386 25,36
Kuliner 1.651.438 25,09 1.882.709 27,16 2.056.515 29,17
Musik 23.981 0,36 27.386 0,40 26.472 0,38
Fashion 2.469.532 37,53 2.468.756 35,61 2.439.190 34,60
Aplikasi dan Game Developer 29.830 0,45 28.789 0,42 28.270 0,40
Penerbitan 353.377 5,37 340.302 4,91 343.640 4,87
Periklanan 28.610 0,43 30.829 0,44 30.360 0,43
TV/Radio 60.409 0,92 65.803 0,95 69.255 0,98
Seni Pertunjukan 73.756 1,12 93.935 1,35 110.944 1,57
Seni Rupa 16.401 0,25 21.419 0,31 30.768 0,44
TOTAL 6.580.912 100,00 6.932.758 100,00 7.049.077 100,00
Sumber: BPS, 2017.
Ketujuh, potensi penempatan tenaga kerja di luar negeri dan
remitansi Pekerja Migran Indonesia (PMI). Bank Indonesia (2020)
mencatat bahwa jumlah PMI mengalami kenaikan dari 3,51 juta
orang pada tahun 2016 menjadi 3,74 juta orang pada tahun 2019.
Seiring dengan kenaikan jumlah PMI, terjadi pula kenaikan
jumlah remitansi PMI dalam kurun waktu yang sama. Kenaikan
remitansi PMI ini bahkan membuat selisih dengan remitansi
Tenaga Kerja Asing (TKA) di Indonesia menjadi semakin
meningkat.
Namun demikian, pandemi Covid-19 juga memiliki efek
terhadap jumlah PMI dan remitansinya. Hingga triwulan III 2020,
jumlah PMI menurun menjadi 3,19 juta orang sehingga remintasi
PMI juga ikut menurun. Dengan ditemukannya vaksin Covid-19
diharapkan jumlah PMI kembali meningkat sehingga jumlah
remitansi meningkat pula. Remitansi ini tidak hanya
meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarga, namun juga
menggerakkan perekonomian di daerah asal PMI.

10.974 11.435
8.687 8.761
7.120

3.378 3.442 3.404 3.360


2.124

2016 2017 2018 2019 Q3 2020

Remitansi PMI Remitansi TKA

Sumber: Bank Indonesia, 2020. Diolah.


Grafik 1.6. Remitansi PMI dan TKA (dalam juta) USD)
- 18 -

2. Permasalahan
Selain sejumlah potensi yang dapat dioptimalkan dalam
pembangunan ketenagakerjaan periode 2020-2024, terdapat pula
sejumlah permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian. Pertama,
permasalahan rendahnya kualitas dan produktivitas angkatan kerja.
Pada tahun 2020, dari total angkatan kerja sebesar 138,2 juta orang
sekitar 56 % masih berpendidikan SMP ke bawah. Laporan The Global
Talent Competitiveness Index 2020 menunjukkan bahwa Indonesia
berada pada peringkat 58, dibandingkan negara-negara di kawasan
ASEAN lainnya, peringkat Indonesia masih di bawah Singapura (2),
Malaysia (26), Filipina (47), dan Thailand (56). Hal yang tidak jauh
berbeda juga terlihat dalam laporan IMD World Digital Competitiveness
Ranking 2020, di mana Indonesia berada pada peringkat 56 dari 63
negara. Peringkat ini di bawah Singapura (2), Malaysia (26), dan
Thailand (39). Kemudian dalam laporan itu juga disebutkan bahwa
Indonesia memiliki kelemahan dalam pilar Knowledge dengan salah
satu sub-pilar yang terburuk adalah Training and Education.
Data ASEAN juga menunjukkan hal yang sama perihal
produktivitas tenaga kerja bahwa Indonesia masih dibawah rata-rata
negara ASEAN. Produktivitas tenaga kerja per kapita (per-worker labor
productivity) Indonesia menurut Asian Productivity Organization (2020)
sebesar US$23,9 atau 19 %, masih lebih rendah dari negara ASEAN
(Brunei, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) dengan rata-rata
produktivitas tenaga kerja per kapita sebesar US$29,3 atau 23 %.
Lebih jelasnya, Indonesia masih tertinggal dari Singapura (116 % atau
lebih tinggi 16 % dari Amerika Serikat), Malaysia (43 %), Thailand (24
%), dan bahkan Sri Lanka (25 %). Data-data tersebut menunjukkan
tingkat produktivitas tenaga kerja adalah sasaran yang harus menjadi
perhatian utama dalam pembangunan ketenagakerjaan.
.
55,65

31,96

12,39

SMP dan Ke bawah SMA dan SMK Diploma dan Universitas

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2020. Diolah.

Grafik 1.7. Persentase Angkatan Kerja Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2020 (%).
- 19 -

Permasalahan rendahnya produktivitas tenaga kerja tersebut


dapat diintervensi oleh Pemerintah, khususnya Kementerian
Ketenagakerjaan dengan melakukan intervensi ke seluruh stakeholders
Kementerian Ketenagakerjaan sehingga dapat berkontribusi terhadap
peningkatan produktivitas secara nasional.
Secara persentase, kontribusi yang dilakukan pemerintah
terhadap peningkatan produktivitas apabila merujuk pada Model OSF
(70:20:10) (Lombardo dan Eichinger, 1986) ini dapat dihitung
kontribusi peningkatan produktivitas tenaga kerja nasional yang
disebabkan oleh intervensi Kementerian Ketenagakerjaan. Kontribusi
dari masing-masing stakeholders tersebut sebagai berikut:
 70 persen produktivitas disebabkan oleh peningkatan di tempat
kerja (perusahaan)
 20 persen peningkatan produktivitas disebabkan oleh interaksi di
asosiasi atau karena interaksi sosial antar tenaga kerja lainnya.
 10 persen peningkatan produktivitas disebabkan oleh pendidikan
dan pelatihan formal yang dilakukan oleh Kementerian
Ketenagakerjaan.
Kontribusi Kementerian Ketenagakerjaan walau maksimal hanya
10 persen tapi dapat mendorong peningkatan produktivitas secara
nasional dan sebagai pemicu variabel lain untuk ikut meningkatkan
produktivitasnya.
Kedua, permasalahan pengangguran muda, terdidik, di perkotaan.
Pada tahun 2020, tingkat pengangguran kelompok usia 15-19 tahun
mencapai 24,34 %, sedangkan pada kelompok usia 20-24 tahun
mencapai 18,71 %. Tingkat pengangguran pada kedua kelompok usia
ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok usia lainnya.
Dapat dikatakan bahwa salah satu karakteristik pengangguran di
Indonesia adalah pengangguran usia muda.

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2020. Diolah.

Grafik 1.8. Tingkat Pengangguran Terbuka menurut Kelompok Umur (%).


- 20 -

Sementara itu, jika mengacu pada tingkat pendidikan, tingkat


pengangguran tertinggi pada tahun 2020 secara berturut-turut berada
pada jenjang pendidikan SMK (13,55 %), SMA (9,86 %), Diploma (8,08
%), dan Sarjana (7,35 %). Berdasarkan pola seperti ini tentunya dapat
dikatakan bahwa karakteristik lainnya pengangguran di Indonesia
adalah pengangguran terdidik. Sedangkan dari segi spasial,
pengangguran di perkotaan relatif lebih tinggi dibandingkan perdesaan,
yaitu 8,98 % berbanding 4,71 % (BPS, 2020).
Ketiga, pengangguran sebagai “barang mewah”. Telah disampaikan
sebelumnya bahwa tingkat pengangguran di perkotaan lebih tinggi
dibandingkan perdesaan. Namun demikian, tingkat kemiskinan di
perdesaan selalu lebih tinggi dibandingkan perkotaan. Pada Maret
2020, tingkat kemiskinan di perdesaan mencapai 12,82 %, sedangkan
di perkotaan hanya 7,38 % (BPS, 2020). Hal ini menunjukkan bahwa
secara spasial pengangguran tidak selalu identik dengan kemiskinan.
Kondisi yang demikian sedikit banyak juga mengonfirmasikan bahwa
menganggur adalah “barang mewah”. Hal ini cukup beralasan
mengingat tingkat pengangguran justru cenderung rendah pada tenaga
kerja berpendidikan rendah (SMP ke bawah). Rendahnya tingkat
pendidikan ini mengindikasikan bahwa mereka tidak berasal dari
keluarga yang relatif mampu secara ekonomi sehingga memiliki
keterbatasan dalam mengakses pendidikan yang relatif lebih tinggi.
Dengan demikian, mereka tidak memiliki banyak pilihan sehingga tidak
memiliki “kemampuan” untuk menganggur dibandingkan dengan
pengangguran muda yang relatif terdidik. Adanya “kemampuan”
menganggur pada kalangan angkatan kerja muda terdidik ini
kemungkinan disebabkan transfer ekonomi antar generasi, di mana
mereka masih “menumpang hidup” pada orang tua. Hal ini
memungkinkan mereka mampu mencari pekerjaan dalam kurun waktu
yang relatif lebih panjang dan mampu “memilih-milih” pekerjaan,
sehingga masa pengangguran pun menjadi relatif lebih panjang pula.
Karakteristik pengangguran yang seperti ini tentunya perlu
diperhatikan dalam upaya menurunkan tingkat pengangguran.
Keempat, permasalahan pekerja miskin berpendidikan rendah di
sektor pertanian-informal perdesaan. Pola spasial dari data
pengangguran dan kemiskinan di atas juga mengindikasikan adanya
pekerja miskin berpendidikan rendah di sektor pertanian-informal
- 21 -

perdesaan. Pada tahun 2020, dari total 58,97 juta pekerja perdesaan,
sekitar 50,58 % (29,83 juta pekerja) adalah pekerja di sektor pertanian
(BPS, 2020). Dari total 29,83 juta pekerja di sektor pertanian perdesaan
tersebut, 83,59 % (24,93 juta orang) berpendidikan SMP ke bawah dan
94,98 % (56,01 juta orang) berstatus sebagai pekerja informal (BPS,
2020). Tingkat pendidikan yang rendah, status informal, serta relatif
rendahnya tingkat produktivitas dan upah sektor pertanian
sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, membuat mereka
tidak bisa keluar dari kemiskinan. Meskipun sudah bekerja, mereka
tetaplah miskin.
Kelima, urbanisasi angkatan kerja. Kondisi kemiskinan di sektor
pertanian-informal perdesaan, sedikit banyak berpengaruh terhadap
urbanisasi angkatan kerja Indonesia. Angkatan kerja muda dengan
tingkat pendidikan relatif tinggi cenderung enggan masuk ke dalam
sektor pertanian perdesaan. Sejak tahun 2015 persentase angkatan
kerja di perkotaan cenderung lebih tinggi daripada perdesaan dan
persentase ini semakin meningkat hingga tahun 2020. Namun
demikian, secara kasuistik urbanisasi angkatan kerja ini bukan saja
disebabkan perpindahan angkatan kerja dari desa ke kota, namun juga
akibat berkembangnya perdesaan menjadi perkotaan atau perluasan
wilayah perkotaan terhadap desa-desa di sekitarnya.

52,28 52,47 53,55 53,97 55,11 55,23


50,84
49,16 47,72 47,53 46,45 46,03 44,89 44,77

2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

Perkotaan Perdesaan

Sumber: Badan Pusat Statistik, beberapa tahun. Diolah.


Grafik 1.9. Persentase Angkatan Kerja menurut Perkotaan-Perdesaan (%).

Keenam, menurunnya wirausaha formal di tengah peningkatan


jumlah wirausaha secara umum. Pada bagian potensi telah disebutkan
bahwa secara umum persentase wirausaha meningkat. Namun
demikian, jika dilihat lebih detil, maka yang meningkat sejatinya
adalah wirausaha informal, yaitu mereka yang berstatus berusaha
sendiri dan berusaha dibantu buruh tidak tetap. Sedangkan wirausaha
- 22 -

formal (berusaha dibantu buruh tetap) secara persentase mengalami


penurunan terhadap jumlah wirausaha secara umum. Pada tahun
2016, persentase wirausaha formal mencapai 9,99 % terhadap
wirausaha secara umum. Pada tahun 2020 persentase ini menurun
menjadi 8,05 % (BPS, 2020). Hal ini kemungkinan disebabkan
mahalnya biaya untuk membangun wirausaha formal.
Ketujuh, permasalahan rendahnya pekerja formal. Dalam kurun
waktu 2016-2019 sebenarnya terjadi peningkatan persentase pekerja
formal, meskipun memang secara umum masih berada di bawah
pekerja informal. Pada tahun 2016, pekerja sektor formal sebesar 42,40
%. Angka ini meningkat menjadi 44,12 % pada tahun 2019. Akan
tetapi, pada tahun 2020 pandemi Covid-19 berdampak pada kinerja
sektor formal, sehingga persentase pekerja formal jatuh pada kisaran
39,53 % (BPS, 2020). Ini menunjukkan bahwa sektor informal juga
masih menjadi “bantalan” ketika terjadi “guncangan” ekonomi.
Kedelapan, dampak ketenagakerjaan di perkotaan akibat pandemi
Covid-19. Menurut data BPS (2020), pandemi Covid-19 memiliki
beberapa dampak ketenagakerjaan, khususnya di perkotaan. Dari total
2,56 juta orang yang menjadi pengangguran karena pandemi, 1,66 juta
pengangguran berada di daerah perkotaan. Sementara itu, dari 1,77
juta pekerja juga mengalami status sementara tidak bekerja, 1,27 juta
di antaranya berada di daerah perkotaan. Lebih lanjut, dari total 24,03
juta pekerja yang mengalami pengurangan jam kerja, 16,82 juta di
antaranya berada di daerah perkotaan.
Kesembilan, permasalahan terkait Pekerja Migran Indonesia.
Berdasarkan data BP2MI, permasalahan Pekerja Migran Indonesia
sebagian besar berada pada masa penempatan. Jumlah pengaduan
PMI selama masa penempatan secara berturut-turut sejak 2017 hingga
2019 adalah 3.632, 4.095, dan 7.902. Masalah yang diadukan pada
tahun 2019 terkait overstay (8,58 %), gaji tidak dibayar (7,04 %), sakit
(6,85 %), PMI ingin dipulangkan (3,99 %), Pemutusan Hubungan Kerja
sebelum perjanjian kerja berakhir (2,75 %), biaya penempatan melebihi
struktur biaya (1,72 %), dan pekerjaan tidak sesuai dengan perjanjian
kerja (1,32 %).
Berdasarkan pemetaan potensi dan permasalahan di atas, dapat
disusun matriks kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan
pembangunan ketenagakerjaan. Dalam hal ini terdapat beberapa 3
- 23 -

(tiga) poin penting. Pertama, kekuatan utama dari Kementerian


Ketenagakerjaan adalah kewenangan regulator dan koordinator dalam
hal pelatihan kerja, penempatan tenaga kerja, hubungan industrial,
dan pengawasan ketenagakerjaan. Namun demikian, kecenderungan
sikap aparatur masih pada level eksekutor-operator. Kedua, bisnis
proses dan tata kelembagaan Kementerian belum sepenuhnya
mendukung pencapaian target-target strategis dan mengadopsi
perkembangan teknologi digital. Jika kelemahan ini dapat diperbaiki,
maka peningkatan kompetensi aparatur Kemnaker serta link and match
antara kompetensi yang dimiliki dengan tugas yang diamanahkan akan
lebih mudah dilaksanakan. Selain itu, kolaborasi dan sinkronisasi
antar program dan kegiatan juga menjadi lebih baik.
Ketiga, memang terdapat peluang yang lahir dari sejumlah potensi
sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Namun demikian,
dalam memaksimalkan peluang tersebut tentunya ada sejumlah
tantangan pula. Tantangan terbesar adalah kondisi makro ekonomi
yang kurang begitu baik akibat pandemi Covid-19. Hal ini tentu
berpengaruh terhadap penciptaan lapangan kerja meskipun dari sisi
regulasi telah hadir UU Cipta Kerja, terutama jika peraturan turunan
dari UU Cipta Kerja tidak selaras dengan semangat yang diusung oleh
UU tersebut. Selain itu, meskipun wirausaha informal meningkat serta
terdapat peluang berusaha pada ekonomi kreatif dan agribisnis, namun
minat wirausaha di kalangan pengangguran masih relatif rendah. Data
BPS (2020) menyebutkan bahwa dari total 9.767.754 penganggur,
hanya 341.053 yang berstatus mempersiapkan usaha. Sedangkan
8.362.895 orang berstatus sedang mencari pekerjaan. Kondisi ini
tentunya menjadi persoalan dalam upaya penciptaan lapangan kerja
dan penurunan tingkat pengangguran. Lebih jauh, minat untuk terjun
ke sektor pertanian yang rendah (khususnya di kalangan pekerja
muda) diiringi dengan urbanisasi angkatan kerja juga menjadi
tantangan besar bagi upaya eksplorasi berbagai peluang agribisnis.
Tantangan lainnya yang dihadapi Kementerian Ketenagakerjaan
adalah mewujudkan integrasi skema kesejahteraan pekerja dengan
skema peningkatan kompetensi pekerja dalam kondisi pasar kerja yang
semakin fleksibel. Hal ini tentunya tidak mudah mengingat kapasitas
lembaga pelatihan kerja dan fiskal pemerintah yang terbatas. Selain
itu, urusan ketenagakerjaan juga belum menjadi prioritas di daerah.
- 24 -

Berikut ini adalah tabel kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan


pembangunan ketenagakerjaan secara lebih detil.

Tabel 1.6. Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Tantangan Pembangunan Ketenagakerjaan.

Kekuatan Kelemahan Peluang Tantangan


1. Tersedianya SDM 1. Belum optimalnya 1. Hadirnya UU Cipta 1. Penyusunan peraturan
aparatur sipil negara kompetensi SDM Kerja yang mampu turunan yang selaras
dan pegawai aparatur sipil negara mendorong dengan semangat UU
penunjang lainnya. dan pegawai. peningkatan investasi. Cipta Kerja.
penunjang lainnya.
2. Tersedianya sarana 2. Bonus demografi dan 2. Menurunnya kondisi
dan prasarana dalam 2. Tidak semua sarana Angkatan Kerja Muda. makro ekonomi akibat
melaksanakan dan prasarana pandemi Covid-19.
3. Perkembangan
pembangunan pembangunan teknologi digital 3. Rendahnya minat
ketenagakerjaan. ketenagakerjaan memunculkan berwirausaha di
3. Tersedianya landasan berfungsi optimal. pekerjaan dan kalangan
hukum yang kuat 3. Bisnis proses dan tata keterampilan baru, pengangguran.
terkait lingkup kelembagaan belum meningkatkan peluang
4. Terbatasnya kapasitas
wewenang, tugas dan sepenuhnya optimal berwirausaha, lembaga pelatihan
fungsi Kementerian. dalam mengadopsi meningkatkan kerja pemerintah
perkembangan fleksibilitas pasar
4. Kewenangan regulator untuk meningkatkan
teknologi digital dan kerja, serta
dan koordinator kualitas angkatan
mendukung target- kemudahan informasi
dalam hal pelatihan kerja.
target strategis pasar kerja.
kerja, penempatan 5. Rendahnya minat
ketenagakerjaan.
tenaga kerja, 4. Peluang penempatan
bekerja di sektor
hubungan industrial, 4. Kecenderungan dan perluasan
pertanian perdesaan
dan pengawasan aparatur bersikap kesempatan kerja
dan urbanisasi
ketenagakerjaan. sebagai eksekutor- pada sektor agribisnis
angkatan kerja.
operator dibandingkan dan ekonomi kreatif.
regulator dan 6. Penciptaan skema
5. Penempatan dan kesejahteraan dan
koordinator di bidang
remitansi PMI. perlindungan pekerja
ketenagakerjaan.
yang integratif dengan
5. Kolaborasi dan skema peningkatan
sinkronisasi antar kompetensi pekerja
program/kegiatan dalam konteks
ketenagakerjaan
fleksibilitas pasar
belum sepenuhnya kerja.
optimal.
7. Urusan
ketenagakerjaan belum
mendapatkan
perhatian secara
optimal di daerah.

Berdasarkan seluruh penjelasan di atas, maka terdapat isu-isu


lingkungan strategis pembangunan ketenagakerjaan sebagai berikut:
1. Peningkatan produktivitas dan kualitas angkatan kerja melalui
transformasi pelatihan dan penempatan tenaga kerja;
2. Penyediaan layanan pasar kerja sebagai fasilitasi link and match
antara penawaran dan permintaan tenaga kerja;
3. Perluasan kesempatan kerja untuk meningkatkan jumlah
wirausaha muda dan memberi akses menjadi tenaga kerja mandiri
formal;
4. Pengembangan talenta muda di industri kreatif pada pekerjaan
yang akan berkembang pada masa depan;
5. Perluasan pasar kerja formal luar negeri bagi pekerja migran
Indonesia;
6. Pengembangan hubungan industrial yang adaptif terhadap
- 25 -

perkembangan dunia kerja dan menjamin kesejahteraan pekerja


yang berkesinambungan;
7. Peningkatan perlindungan tenaga kerja dan pemberi kerja melalui
reformasi dan digitalisasi Pengawasan Ketenagakerjaan;
8. Percepatan perubahan ekosistem digital layanan ketenagakerjaan;
9. Penata kelolaan pemerintahan, pengawasan internal dan
percepatan reformasi birokrasi dengan mengarusutamakan
integrasi teknologi digital ke dalam bisnis proses kementerian
menuju digital era governance.
- 26 -

BAB II
VISI, MISI, DAN TUJUAN KEMENTERIAN KETENAGAKERJAAN
TAHUN 2020-2024

Visi dan misi Kementerian Ketenagakerjaan merupakan bagian dari visi


dan misi pembangunan nasional, pembangunan bidang ekonomi,
pembangunan lintas bidang dan pembangunan wilayah demi terwujudnya
visi dan misi pembangunan nasional. Berikut adalah visi dan misi
Kementerian Ketenagakerjaan.
1. Visi
Kementerian Ketenagakerjaan melaksanakan visi Presiden–Wakil
Presiden Republik Indonesia Tahun 2020-2024 yaitu, “Indonesia Maju
yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian berlandaskan Gotong
Royong”
2. Misi
Misi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2020-
2024 adalah:
a. peningkatan kualitas manusia Indonesia;
b. struktur ekonomi yang produktif, mandiri, dan berdaya saing;
c. pembangunan yang merata dan berkeadilan;
d. mencapai lingkungan hidup yang berkelanjutan;
e. kemajuan budaya yang mencerminkan kepribadian bangsa;
f. penegakan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan
terpercaya;
g. perlindungan bagi segenap bangsa dan memberikan rasa aman
pada seluruh warga;
h. pengelolaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan terpercaya;
i. sinergi pemerintah daerah dalam kerangka negara kesatuan.
Kementerian Ketenagakerjaan melaksanakan Misi Presiden dan
Wakil Presiden poin a, poin b, poin c, poin g, poin h dan poin i. Upaya
yang dilakukan oleh Kementerian Ketenagakerjaan untuk mewujudkan
visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun
2020-2024 tersebut yaitu:
a. memberikan dukungan teknis dan administrasi serta analisis
yang cepat, akurat, dan responsif kepada Presiden dan Wakil
Presiden dalam pengambilan kebijakan penyelenggaraan
pemerintahan negara;
- 27 -

b. menyelenggarakan pelayanan yang efektif dan efisien di bidang


pengawasan, administrasi umum, informasi, dan hubungan
kelembagaan; dan
c. meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan prasarana
Kementerian Ketenagakerjaan.
3. Tujuan
Kementerian Ketenagakerjaan memiliki tujuan:
a. mewujudkan tenaga kerja yang kompeten, tangguh, lincah dan
berdaya saing dalam hubungan industrial yang kondusif untuk
mendukung Indonesia yang maju, berdaulat, mandiri dan
berkepribadian berlandaskan gotong royong;
b. meningkatkan perluasan penempatan tenaga kerja baik dalam
dan luar negeri dalam rangka penciptaan lapangan kerja;
c. meningkatkan produktivitas tenaga kerja Indonesia yang sesuai
kebutuhan dunia usaha dan dunia industri di masa yang akan
datang;
d. mewujudkan visi baru hubungan industrial dan dialog sosial
ketenagakerjaan yang mendorong tumbuhnya suasana kerja yang
kondusif;
e. mewujudkan perluasan dan kualitas perlindungan tenaga kerja
yang mendorong produktivitas tenaga kerja berkelanjutan;
f. mewujudkan reformasi birokrasi yang mendorong percepatan
investasi dan penciptaan lapangan kerja;
g. mewujudkan tata kelola ketenagakerjaan yang efisien dan efektif
dalam menghadapi perubahan dunia yang dinamis.

4. Sasaran Strategis
Untuk mewujudkan visi, misi dan tujuan tersebut, Kementerian
Ketenagakerjaan menetapkan sejumlah sasaran strategis, sebagai
berikut:
a. Terwujudnya tenaga kerja yang kompeten, tangguh, lincah,
produktif, dan berdaya saing dalam hubungan industrial yang
kondusif untuk mendukung Indonesia yang maju, berdaulat,
mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong.
Sasaran strategis ini diukur dengan indikator kontribusi terhadap
produktivitas tenaga kerja nasional, di mana kontribusi ini
merupakan kontribusi Kementerian Ketenagakerjaan terhadap
- 28 -

produktivitas tenaga kerja nasional, yang dihitung berdasarkan


besar upah yang diterima penduduk bekerja pada tahun t.
Indikator Kinerja Sasaran Strategis/Utama ini didukung sejumlah
indikator kinerja program sebagai berikut:
 Persentase Tenaga Kerja yang ditingkatkan Kompetensinya
dan ditempatkan.
 Jumlah tenaga kerja berkeahlian menengah - tinggi di sektor
prioritas yang mendorong daya saing.
 Jumlah tenaga kerja di sektor prioritas yang meningkat
produktivitasnya.
 Kontribusi penempatan tenaga kerja dan perluasan
kesempatan kerja terhadap penyediaan lapangan kerja.
 Jumlah perusahaan yang menerapkan dan mematuhi norma
ketenagakerjaan dan K3.
 Jumlah tenaga kerja yang terlindungi hak-hak dasarnya.
 Jumlah pekerja pada perusahaan yang menerapkan
perlindungan hak-hak pekerja dan dialog sosial
 Indeks perkembangan kinerja program jaminan sosial
ketenagakerjaan.
 Persentase Pemanfaatan Rencana Tenaga Kerja dan daftar
jabatan tenaga kerja menengah - tinggi di sektor prioritas
yang mendorong daya saing.
 Persentase usulan kebijakan ketenagakerjaan tahun
sebelumnya yang diimplementasikan.
b. Meningkatnya tata kelola pemerintahan yang baik. Sasaran
strategis diukur dengan 3 (tiga) indikator kinerja utama, yaitu:
Indeks Reformasi Birokrasi, Opini Badan Pemeriksa Keuangan,
dan Indeks SPBE. Ketiga indikator ini didukung oleh sub-
indikator kinerja program sebagai berikut:
 Indeks dan Nilai Evaluasi PMPRB.
 Persentase temuan yang ditindaklanjuti.
 Nilai evaluasi SAKIP.
 Nilai Kinerja mitra kerja pengawasan internal.
 Tingkat maturitas layanan publik instansi pemerintah
(termasuk whistle blowing system).
 Indeks kepuasan layanan data dan informasi
ketenagakerjaan.
- 29 -

Tabel 2.1. Sasaran strategis, Indikator kinerja sasaran strategis, serta target kinerja
sasaran strategis.

Sasaran Strategis/Indikator Target Kinerja


Kinerja Sasaran Strategis 2020 2021 2022 2023 2024
Terwujudnya tenaga kerja yang kompeten, tangguh, lincah, produktif dan berdaya saing dalam
hubungan industrial yang kondusif untuk mendukung indonesia yang maju, berdaulat, mandiri dan
berkepribadian berlandaskan gotong royong
- Kontribusi terhadap
Produktivitas Tenaga n/a 3,03 5,55 7,19 9,85
Kerja Nasional
Meningkatnya tata kelola pemerintahan yang baik

- Indeks Reformasi Birokrasi 75,50 81,00 82,00 83,00 85,00

- Opini BPK WTP WTP WTP WTP WTP


- Indeks SPBE 3.29 3.39 3.52 4.0 4.0
- 30 -

BAB III
ARAH KEBIJAKAN, KERANGKA REGULASI, DAN
KERANGKA KELEMBAGAAN

Selaras dengan agenda pembangunan nasional, arah kebijakan dan


strategi Pembangunan Ketenagakerjaan juga merupakan bagian dari arah
kebijakan dan strategi Pembangunan Nasional, Pembangunan Bidang
Ekonomi, dan Pembangunan Wilayah.

1. Arah Kebijakan dan Strategi Nasional


Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional 2005-
2025 telah menetapkan 8 (delapan) sasaran pokok pembangunan
jangka panjang yang dituangkan ke dalam tahapan dan skala prioritas
pembangunan seperti tertulis dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM). Setiap RPJM merupakan keberlanjutan dari RPJM
sebelumnya.
Berlandaskan pelaksanaan, pencapaian, dan sebagai
keberlanjutan RPJM ke-3 dan RPJM ke-4 ditujukan untuk
mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan
makmur melalui percepatan pembangunan di berbagai bidang dengan
menekankan terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh
berlandaskan keunggulan kompetitif di berbagai wilayah yang
didukung oleh SDM berkualitas dan berdaya saing. Terdapat 4 (empat)
pilar dari RPJMN ke IV tahun 2020-2024 yang merupakan amanat
RPJPN 2005-2025 untuk mencapai tujuan utama dari rencana
pembangunan nasional periode terakhir, yakni:
a. kelembagaan politik dan hukum yang mantap;
b. kesejahteraan masyarakat yang terus meningkat;
c. struktur ekonomi yang semakin maju dan kokoh;
d. terwujudnya keanekaragaman hayati yang terjaga.

Oleh karena itu, tema RPJM 2020-2024 adalah “Indonesia


Berpenghasilan Menengah-Tinggi Yang Sejahtera, Adil, dan
Berkesinambungan” yang dituangkan ke dalam 7 misi atau agenda
pembangunan Ketujuh agenda pembangunan RPJMN IV tahun 2020-
2024 adalah sebagai berikut:
a. memperkuat ketahanan ekonomi untuk pertumbuhan yang
- 31 -

berkualitas;
b. mengembangkan wilayah untuk mengurangi kesenjangan;
c. meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas dan
berdaya saing;
d. membangun kebudayaan dan karakter bangsa;
e. memperkuat infrastruktur untuk mendukung pengembangan
ekonomi dan pelayanan dasar;
f. membangun lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan
bencana, dan perubahan iklim;
g. memperkuat stabilitas politik, hukum, pertahanan dan keamanan
serta transformasi pelayanan publik.
Dalam hal arah kebijakan dan strategi pembangunan
ketenagakerjaan, terdapat 4 (empat) agenda pembangunan RPJMN IV
2020-2024 yang terkait, (i) memperkuat ketahanan ekonomi untuk
pertumbuhan yang berkualitas; (ii) meningkatkan sumber daya
manusia yang berkualitas dan berdaya saing; (iii) memperkuat
infrastruktur untuk mendukung pengembangan ekonomi dan
pelayanan dasar; dan (iv) memperkuat stabilitas politik, hukum,
pertahanan dan keamanan serta transformasi pelayanan publik.
Agenda pembangunan Memperkuat Ketahanan Ekonomi untuk
Pertumbuhan yang Berkualitas ditujukan dalam rangka meningkatnya
daya dukung dan kualitas sumber daya ekonomi sebagai modalitas
bagi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dengan sasaran
utama peningkatan produktivitas tenaga kerja dan penciptaan
lapangan kerja.
Agenda Peningkatan Sumber Daya Manusia yang Berkualitas dan
Berdaya Saing didasari pada fakta bahwa manusia merupakan modal
utama pembangunan nasional untuk menuju pembangunan yang
inklusif dan merata di seluruh wilayah. Kementerian Ketenagakerjaan
berkomitmen untuk meningkatkan kualitas dan daya saing SDM yaitu
sumber daya manusia yang sehat dan cerdas, adaptif, inovatif,
terampil, dan berkarakter, melalui peningkatan produktivitas dan
daya saing.
Agenda Penguatan Infrastruktur dalam Mendukung
Pengembangan Ekonomi dan Pelayanan Dasar ditujukan untuk
mendukung aktivitas perekonomian serta mendorong pemerataan
pembangunan nasional. Kementerian Ketenagakerjaan akan
- 32 -

memastikan pembangunan ketenagakerjaan didukung dengan


peningkatan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan dalam
pembangunan serta rehabilitasi sarana dan prasarana yang sudah
tidak efisien.
Agenda Penguatan Stabilitas Politik, Hukum, Pertahanan dan
Keamanan serta Transformasi Pelayanan Publik ditujukan dalam
rangka melindungi segenap bangsa, memberikan rasa aman serta
pelayanan publik yang berkualitas pada seluruh warga negara dan
menegakkan kedaulatan negara. Dalam rangka mendukung agenda
tersebut, Kementerian Ketenagakerjaan akan berupaya meningkatkan
tata kelola pemerintahan yang baik dan transparan yang dapat diakses
oleh semua masyarakat melalui reformasi kelembagaan birokrasi
untuk pelayanan publik yang berkualitas dan mempermudah akses
terhadap pelayanan dan perlindungan WNI di luar negeri.

2. Arah Kebijakan dan Strategi Kementerian Ketenagakerjaan


Dalam rangka mengakselerasi tujuan pembangunan nasional
sebagaimana mandat Presiden dan Wakil Presiden, serta menghadapi
kompleksitas tantangan pembangunan ketenagakerjaan dengan
mengoptimalkan kekuatan dan memperbaiki kelemahan yang ada,
Menteri Ketenagakerjaan mencanangkan 9 (sembilan) Lompatan Besar
Pembangunan Ketenagakerjaan tahun 2020-2024 dengan arah
kebijakan dan agenda sesuai tabel 3.1 sebagai berikut:
Tabel 3.1 Arah kebijakan dan Agenda Kementerian Ketenagakerjaan
Tahun 2020 – 2024

No. LOMPATAN ARAH KEBIJAKAN AGENDA


1. Transformasi Mengubah secara Reformasi kelembagaan
BLK total BLK sebagai untuk meningkatkan
Balai Pelatihan kinerja organisasi BLK
Vokasi yang yang lebih inovatif dan
menjadi pusat transformatif
pengembangan Revitalisasi sarana dan
kompetensi dan prasarana untuk
produktivitas tenaga meningkatkan kapasitas,
kerja yang berdaya fasilitas, dan
saing di tingkat keterjangkauan BLK
nasional dan Redesain pelatihan untuk
internasional merespon tantangan
ketenagakerjaan lokal,
nasional, dan internasional
- 33 -

No. LOMPATAN ARAH KEBIJAKAN AGENDA


Relationship untuk
meningkatkan kemitraan
dan kolaborasi dengan
stakeholders dalam rangka
memperkuat kinerja BLK
Rebranding untuk
meningkatkan daya tarik
dan kepercayaan publik
terhadap BLK
Reorientasi SDM BLK
untuk meningkatkan
kualitas dan kuantitas
pelayanan BLK
2. Link and Match Pengembangan sistem
Ketenagakerjaan integrasi pelatihan,
sertifikasi, dan
Membangun penempatan
integrasi, pelatihan, Penguatan kelembagaan
sertifikasi, dan pelayanan pasar kerja
penempatan tenaga lintas-sektor dan unit
kerja dalam sebuah Penguatan SDM pelatihan,
bisnis proses yang sertifikasi, dan
utuh dan efektif penempatan
untuk Penguatan kurikulum yang
mempertemukan sesuai dengan kebutuhan
pencari kerja pasar kerja
dengan permintaan Digitalisasi pelayanan
pasar kerja pasar kerja
Pengembangan kemitraan
dan kolaborasi dengan
stakeholders
3. Transformasi Mengembangkan Penyusunan desain baru
Program program tenaga tenaga kerja mandiri
Perluasan kerja mandiri yang Pengembangan sistem
Kesempatan efektif untuk pengelolaan program
Kerja membentuk tenaga tenaga kerja mandiri
kerja mandiri dalam Penguatan kelembagaan
rangka memperluas pelaksana program tenaga
kesempatan kerja kerja mandiri
yang terukur dan Pengembangan jaringan
berkelanjutan kemitraan tenaga kerja
mandiri
4. Pengembangan Mengembangkan Transformasi Innovation
Talenta Muda dan mengelola Room menjadi Talent Hub
potensi kreatif Pengembangan kompetensi
generasi milenial talenta muda
- 34 -

No. LOMPATAN ARAH KEBIJAKAN AGENDA


menjadi talenta Perluasan kesempatan
muda yang siap kerja untuk talenta muda
menyambut future Pembentukan Talent
job yang dinamis Corner di BLK UPTP
dan fleksibel Talent Scouting Inovator
Muda

5. Perluasan Pasar Mengembangkan Pengembangan sistem


Kerja Luar pasar kerja luar market intelligence di
Negeri negeri dengan negara-negara sasaran PMI
memperluas negara Perluasan negara-negara
penempatan Pekerja penempatan PMI sektor
Migran Indonesia formal, termasuk
sektor formal dan implementasi Specified
memasifikasi Skill Worker (SSW)
pengisian jabatan di Pengembangan sistem
sektor formal manajemen PMI berbasis
digital yang terintegrasi
dengan SIAPkerja dan KIK
Pembenahan standar
kompetensi PMI dan proses
pelaksanaannya
Peningkatan kompetensi
CPMI, baik melalui
pelatihan luring maupun
daring
Penguatan perlindungan
hak-hak PMI

6. Visi Baru Mengembangkan Pengembangan inovasi


Hubungan hubungan program dalam rangka
Industrial industrial yang implementasi UU Cipta
lebih berkualitas Kerja dan aturan
dan adil serta turunannya
berorientasi pada Reformasi sistem
peningkatkan pengupahan
kualitas dan Peningkatan harmonitas
kesejahteraan hubungan dengan SP/SB
tenaga kerja secara yang lebih berkualitas
berkelanjutan Penerapan pola hubungan
kerja yang adaptif terhadap
pasar kerja yang fleksibel
Penguatan Lembaga
Kerjasama (LKS) Bipartit
dan Tripartit
- 35 -

No. LOMPATAN ARAH KEBIJAKAN AGENDA


7. Reformasi Meningkatkan Penyusunan rencana kerja
Pengawasan kualitas dan bidang pengawasan
Ketenagakerjaan efektivitas sistem ketenagakerjaan dan
pengawasan layanan K3
ketenagakerjaan Pengembangan sistem
yang dapat pengawasan
menjamin ketenagakerjaan yang
pelaksanaan transparan dan akuntabel
pengawasan Penguatan kelembagaan
ketenagakerjaan pengawasan
dan K3 yang ketenagakerjaan dan K3
berintegritas dan Pengembangan
kredibel pelaksanaan pengujian K3
Peningkatan kapasitas dan
integritas SDM
pengawasan
ketenagakerjaan dan K3
Pengembangan kolaborasi
pelaksanaan pengawasan
ketenagakerjaan dan
layanan K3
Pengembangan mekanisme
audit kinerja pengawasan
Penguatan penegakan
hukum (law enforcement)
ketenagakerjaan
8. Pengembangan Mengembangkan Transformasi SISNAKER
Ekosistem sistem informasi menjadi Sistem Informasi
Digital dan pelayanan dan Pelayanan
Ketenagakerjaan ketenagakerjaan Ketenagakerjaan
sebagai ekosistem (SIAPkerja)
digital Integrasi seluruh
ketenagakerjaan pelayanan di Kementerian
terbesar di Ketenagakerjaan ke dalam
Indonesia SIAPkerja
Pengembangan SIAPkerja
sebagai instrumen bagi
pembangunan big data
untuk
mengimplementasikan
Satu Data Ketenagakerjaan
Penguatan tata kelola
SIAPkerja yang kapabel
dan efektif
Pengembangan
infrastruktur dan sistem
SIAPkerja yang memadai
- 36 -

No. LOMPATAN ARAH KEBIJAKAN AGENDA


Sinergi platform digital
swasta yang bergerak
dalam bidang
ketenagakerjaan,
pelatihan, penempatan,
dan platform terkait
lainnya ke dalam
ekosistem SIAPkerja.
9. Reformasi Mengembangkan Manajemen perubahan
Birokrasi birokrasi yang Deregulasi
bersih, akuntabel, Kebijakan/Peraturan
profesional, lincah, Perundang-Undangan
inovatif, dan Penataan organisasi
responsif untuk Penataan tata laksana dan
mencapai kinerja pengembangan E-
maksimal dan Government
penyelenggaraan Penataan sumber daya
pelayanan publik manusia aparatur
yang prima Penguatan akuntabilitas
Penguatan pengawasan
Peningkatan kualitas
pelayanan publik

Dalam rangka menjalankan agenda dan strategi tersebut,


Kementerian Ketenagakerjaan melakukan restrukturisasi program
semenjak tahun 2021 yang menunjukkan nomenklatur dan
menggambarkan outcome dalam pencapaian sasaran pembangunan
baik pencapaian yang dilakukan oleh satu Kementerian/Lembaga,
maupun antar Kementerian/Lembaga (Lintas K/L). Rumusan program
diharapkan dapat mencerminkan real work (eye-catching) dan selaras
dengan Prioritas Pembangunan dalam RPJMN 2020- 2024.
Berkenaan dengan hal tersebut, sesuai dengan Surat Bersama
Deputi Pendanaan Pembangunan Kementerian PPN/Bappenas dan
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Nomor:S-
122/MK.02/2020 dan Nomor:B-517/M.PPN/D.8/PP.04.03/05/2020
tanggal 24 Juni 2020 untuk melakukan Redesign Program
Kementerian Ketenagakerjaan dengan hasil sebagai berikut:

Tabel 3.2 Perubahan Program Kementerian Ketenagakerjaan


SEMULA MENJADI
- 37 -

(PROGRAM (PROGRAM BARU)


EKSISTING)
Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan
Tugas Teknis Lainnya Dukungan Manajemen Internal
Pengawasan dan Peningkatan
Akuntabilitas Aparatur
Perencanaan, Penelitian, dan Riset, Ilmu Pengetahuan,
Pengembangan Teknologi dan Inovasi
Peningkatan Kompetensi Tenaga Kerja dan Pendidikan dan Pelatihan Vokasi
Produktivitas
Penempatan dan Pemberdayaan Tenaga
Kerja
Pengembangan Hubungan Industrial dan
Peningkatan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Pembinaan Ketenagakerjaan
Perlindungan Tenaga Kerja dan
Pengembangan Sistem Pengawasan
Ketenagakerjaan

3. Kerangka Regulasi
Berdasarkan hasil identifikasi isu-isu strategis serta penelusuran
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, selengkapnya
kerangka regulasi yang diperlukan untuk melaksanakan Renstra
Kementerian Ketenagakerjaan Tahun 2020-2024 disajikan pada Tabel
3.3.

Tabel.3.3 Regulasi yang diperlukan dalam mendukung pelaksanaan


program dan kegiatan Rencana Strategis Kementerian
Ketenagakerjaan Tahun 2020-2024.

Arah Kerangka
Target
No Regulasi dan/atau Urgensi Pembentukan Keterangan
Penyelesaian
Kebutuhan Regulasi
Ditjen Pembinaan Pelatihan Vokasi dan Produktivitas
1 Rancangan  Menjadi “benang 2021 Penyempurnaan
Permenaker merah” antara atas
tentang konsep Permenakertrans
Penyelenggaraan pemagangan [di Nomor
Pemagangan di luar negeri] dengan PER.8/MEN/IX/
Luar Negeri konsep bekerja di 2008 tentang
luar negeri (UKPS). Tata Cara
 Peningkatan Perizinan dan
kualitas Penyelenggaraan
penyelenggaraan Pemagangan di
pemagangan di Luar Negeri
luar negeri dan
lulusan
pemagangan di
luar negeri yang
- 38 -

Arah Kerangka
Target
No Regulasi dan/atau Urgensi Pembentukan Keterangan
Penyelesaian
Kebutuhan Regulasi
dirasakan sejalan
dengan program
lompatan Menaker,
yaitu “Transformasi
BLK dan Link and
Match
Ketenagakerjaan”.
2 Rancangan  Penyesuaian 2021 Penyempurnaan
Permenaker dengan kondisi atas
tentang Pedoman ketenagakerjaan Permenakertrans
Pelayanan dan produktivitas Nomor
Produktivitas nasional saat ini. PER.21/MEN/IX/
 Menciptakan 2009 tentang
budaya produktif Pedoman
dan beretos kerja Pelayanan
sebagai salah satu Produktivitas
upaya menjaga
eksistensi tenaga
kerja Indonesia,
baik dalam
hubungan kerja
ataupun di luar
hubungan kerja
untuk bersaing di
tingkat nasional
maupun
internasional.
Dengan demikian,
hal ini sejalan
dengan program
lompatan Menaker.
3 Rancangan Perlu disesuaikan 2021 Penyempurnaan
Permenaker dengan tugas dan atas
tentang Pedoman wewenang Permenakertrans
Penyelenggaraan penyelenggaraan Nomor 11 Tahun
Sistem Pelatihan otonomi daerah di 2013 tentang
Kerja Nasional di bidang ketenagakerjaan Pedoman
Daerah berdasarkan UU Nomor Penyelenggaraan
23 Tahun 2014 tentang Sistem Pelatihan
Pemerintahan Daerah Kerja Nasional di
sebagaimana telah Daerah (amanat
diubah dengan UU Pasal 21 ayat (2)
Nomor 9 T ahun 2015 PP Nomor 31
tentang Perubahan Tahun 2006
Kedua atas UU Nomor tentang Sistem
23 Tahun 2014 tentang Pelatihan Kerja
Pemerintahan Daerah Nasional
jo. RPP Konkuren.
Dengan demikian, hal
- 39 -

Arah Kerangka
Target
No Regulasi dan/atau Urgensi Pembentukan Keterangan
Penyelesaian
Kebutuhan Regulasi
ini sejalan dan
mendukung
pelaksanaan program
lompatan Menaker
4 Rancangan Peningkatan kualitas 2021 Penyempurnaan
Permenaker penyelenggaraan atas
tentang Pedoman pelatihan kerja dan Permenakertrans
Penyelenggaraan lulusan pelatihan kerja Nomor 8 Tahun
Pelatihan Berbasis yang dirasakan sejalan 2014 tentang
Kompetensi dengan program Pedoman
lompatan Menaker, Penyelenggaraan
yaitu “Transformasi Pelatihan Berbasis
BLK dan Link and Kompetensi
Match
Ketenagakerjaan”
5 Rancangan  Peningkatan 2021 Penyempurnaan
Permenaker kualitas atas Permenaker
tentang Tata Cara penyelenggaraan Nomor 17 Tahun
Perizinan dan pelatihan kerja. 2016 tentang
Pendaftaran Dengan demikian, Tata Cara
Lembaga hal ini sejalan dan Perizinan dan
Pelatihan Kerja mendukung Pendaftaran
pelaksanaan Lembaga
program lompatan Pelatihan Kerja
Menaker yaitu
“Transformasi
BLK”.
 Penyesuaian
dengan RPP
Perizinan Berusaha
Berbasis Risiko.
6 Rancangan Perlu dilakukan 2021 Penyempurnaan
Permenaker penyesuaian dengan atas Permenaker
tentang Akreditasi RPP Perizinan Nomor 34 Tahun
Lembaga Berusaha Berbasis 2016 tentang
Pelatihan Kerja Risiko. Sehingga, Akreditasi
sejalan dan Lembaga
mendukung Pelatihan Kerja
pelaksanaan program
lompatan Menaker
yaitu “Transformasi
BLK”
7 Rancangan Perlu dilakukan 2021 Penyempurnaan
Permenaker penyesuaian dengan atas Permenaker
tentang Standar RPP Perizinan Nomor 8 Tahun
Balai Latihan Berusaha Berbasis 2017 tentang
Kerja Risiko. Sehingga, Standar Balai
sejalan dan Latihan Kerja
mendukung
pelaksanaan program
- 40 -

Arah Kerangka
Target
No Regulasi dan/atau Urgensi Pembentukan Keterangan
Penyelesaian
Kebutuhan Regulasi
lompatan Menaker
yaitu “Transformasi
BLK”.
8 Rancangan  Pelaksanaan 2021 Baru
Permenaker amanat UU Nomor
tentang 18 Tahun 2017
Penyelenggaraan tentang
Pelatihan Kerja Pelindungan
bagi Calon Pekerja Pekerja Migran
Migran Indonesia Indonesia.
 Sejalan dengan
program lompatan
Menaker, yaitu
“Link and Match
Ketenagakerjaan”.
9 Rancangan Pengaturan lebih lanjut 2021 Baru
Permenaker atas SE Menaker
tentang Nomor
Pemberlakuan M/5/HK.004/VII/2019
Wajib Sertifikasi tentang pemberlakuan
Kompetensi bagi Wajib Sertifikasi
Tenaga Kerja yang Kompetensi terhadap
Menangani Bidang Jabatan Bidang
Manajemen Manajemen Sumber
Sumber Daya Daya Manusia.
Manusia di
Perusahaan
10 Rancangan  Pengaturan lebih 2021 Baru
Permenaker lanjut atas Permen
tentang Petunjuk PAN dan RB Nomor
Teknis Jabatan 82 Tahun 2020
Fungsional tentang Jabatan
Instruktur Fungsional
Instruktur.
 Sejalan dan
mendukung
pelaksanaan
program lompatan
Menaker yaitu
“Transformasi BLK
(peningkatan
kualitas SDM
Pelatihan Kerja)”.
Ditjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja
1 Rancangan Penyesuaian dengan 2022 Penyempurnaan
Peraturan kondisi atas Keputusan
Presiden tentang ketenagakerjaan Presiden Nomor
Wajib Lapor nasional saat ini dan 4 Tahun 1980
Lowongan sebagai payung hukum tentang Wajib
- 41 -

Arah Kerangka
Target
No Regulasi dan/atau Urgensi Pembentukan Keterangan
Penyelesaian
Kebutuhan Regulasi
Pekerjaan terhadap pelaksanaan Lapor Lowongan
wajib lapor lowongan Pekerjaan
pekerjaan pasca
diundangkan UU
Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja.
2 Rancangan Penyesuaian dengan 2022 Penyempurnaan
Permenaker kondisi atas Permenaker
tentang ketenagakerjaan Nomor 10 Tahun
Pelaksanaan atas nasional saat ini dan 2018 tentang
PP Nomor 34 sebagai pelaksanaan Tata Cara
Tahun 2021 atas PP Nomor 34 Penggunaan
tentang Tahun 2021 tentang Tenaga Kerja
Penggunaan Penggunaan Tenaga Asing
Tenaga Kerja Kerja Asing.
Asing
3 Rancangan Pelaksanaan amanat 2023 Baru
Peraturan Menteri UU Nomor 18 Tahun
Ketenagakerjaan 2017 tentang
tentang Pedoman Pelindungan Pekerjaa
Pembentukan dan Migran Indonesia.
Penyelenggaraan
Layanan Terpadu
Satu Atap
Penempatan dan
Pelindungan
Pekerja Migran
Indonesia
4 Rancangan Pelaksanaan amanat 2023 Baru
Permenaker UU Nomor 18 Tahun
tentang 2017 tentang
Penguatan Peran Pelindungan Pekerja
Pegawai Migran Indonesia.
Fungsional
Pengantar Kerja
pada Pelindungan
Pekerja Migran
Indonesia
5 Rancangan Pelaksanaan amanat 2022 Baru
Permenaker PP Nomor 33 Tahun
tentang 2013 tentang Perluasan
Penyelenggaraan Kesempatan Kerja.
dan
Pengembangan
Perluasan
Kesempatan Kerja
melalui Program
Tenaga Kerja
Mandiri
- 42 -

Arah Kerangka
Target
No Regulasi dan/atau Urgensi Pembentukan Keterangan
Penyelesaian
Kebutuhan Regulasi
6 Rancangan Penyesuaian dengan 2022 Penyempurnaan
Permenaker kondisi atas Permenaker
tentang ketenagakerjaan Nomor 39 Tahun
Penempatan nasional saat ini dan 2016 tentang
Tenaga Kerja khusus mengenai Penempatan
kelembagaan dalam Tenaga Kerja
penempatan tenaga
kerja perlu untuk
disesuaikan dengan
RPP Perizinan
Berusaha Berbasis
Risiko.
7 Rancangan Penyesuaian dengan 2021 Penyempurnaan
Kepmenaker kondisi atas Kepmenaker
tentang Jabatan ketenagakerjaan Nomor 228
yang dapat nasional saat ini dan Tahun 2019
diduduki oleh TKA sebagai pelaksanaan tentang Jabatan
atas PP Nomor 34 Tertentu yang
Tahun 2021 tentang dapat diduduki
Penggunaan Tenaga oleh TKA
Kerja Asing.

Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja


1 Rancangan  Rancangan April 2021  Mencabut
Permenaker Peraturan Menteri Keppres 107
tentang Dewan ini merupakan Tahun 2004
Pengupahan pelaksanaan UU tentang
Nomor 11 Tahun Dewan
2020 tentang Cipta Pengupahan.
Kerja dan PP  Mencabut
tentang Permenakertra
Pengupahan. ns
 PP tentang PER.03/MEN/
Pengupahan (baru) I/2005
mengamanatkan tentang Tata
pembentukan Cara
Peraturan Menteri Pengusulan
yang mengatur Keanggotaan
mengenai: Dewan
1) tata cara Pengupahan.
pengangkatan
dan
pemberhentian
Dewan
Pengupahan;
2) tata cara
penggantian
anggota
Dewan
Pengupahan;
dan
3) tata kerja
Dewan
Pengupahan.
2 Rancangan  Rancangan Maret 2021 Pembentukan
Peraturan
- 43 -

Arah Kerangka
Target
No Regulasi dan/atau Urgensi Pembentukan Keterangan
Penyelesaian
Kebutuhan Regulasi
Permenaker Permenaker ini Menteri ini
tentang Tata Cara merupakan melibatkan unit
Penyelenggaraan pelaksanaan UU di:
1) Ditjen
Program Jaminan Nomor 11 Tahun
Pembinaan
Kehilangan 2020 tentang Cipta Pelatihan
Pekerjaan Kerja dan PP Vokasi dan
tentang Produktivitas;
Penyelenggaraan 2) Ditjen
Program Jaminan Pembinaan
Kehilangan Penempatan
Tenaga Kerja
Pekerjaan (JKP).
dan
 PP tentang Perluasan
Penyelenggaraan Kesempatan
Program JKP Kerja;
mengamanatkan 3) Ditjen
pembentukan Pembinaan
Pengawasan
Peraturan Menteri
Ketenagakerj
yang mengatur aan dan
tentang: Keselamatan
1) tata cara dan
pendaftaran Kesehatan
peserta JKP; Kerja; dan
2) tata cara 4) Setjen (Pusat
pelaksanaan Pasar kerja).
rekomposisi
iuran;
3) tata cara
pendaftaran,
pemilihan
jenis
pelatihan,
lembaga
pelatihan,
dan
pemanfaatan
pelatihan;
dan
4) tata cara
pemberian
manfaat JKP.
3 Rancangan  Penyusunan Maret 2021 Pembentukan
Permenaker regulasi ini sebagai Peraturan
Menteri ini
tentang pelaksanaan UU
melibatkan:
Rekomposisi Iuran Nomor 11 Tahun 1) Kementerian
Program Jaminan 2020 tentang Cipta Keuangan;
Kehilangan Kerja dan PP 2) DJSN; dan
Pekerjaan tentang 3) BPJS TK.
Penyelenggaraan
Program Jaminan
Kehilangan
Pekerjaan (JKP).
 PP tentang
Penyelenggaraan
- 44 -

Arah Kerangka
Target
No Regulasi dan/atau Urgensi Pembentukan Keterangan
Penyelesaian
Kebutuhan Regulasi
Program JKP
mengamanatkan
pembentukan
Peraturan Menteri
yang mengatur
tentang
rekomposisi iuran
JKP.
4 Rancangan Peraturan Menteri ini Juli 2021 Baru
Permenaker dibutuhkan untuk
tentang Dewan
mengatur tata kerja
Pengawas BPJS
Ketenagakerjaan dan koordinasi antara
Perwakilan dari anggota Dewas BPJS
Kementerian perwakilan Kemnaker
Ketenagakerjaan dengan Kemnaker.
5 Rancangan Perubahan Permenaker April 2021 Baru
Permenaker 35 Tahun 2016
tentang diperlukan untuk
Perubahan penyesuaian ketentuan
Permenaker 35 mengenai Bank
Tahun 2016 penyalur, suku bunga
tentang Tata Cara yang dikenakan kepada
Pemberian, perusahaan
Persyaratan, dan pembangunan
Jenis Manfaat perumahan dan
Layanan kriteria perusahaan
Tambahan dalam pembangunan
Program Jaminan perumahan dalam
Hari Tua program Jaminan Hari
Tua.
6 Rancangan Rancangan Peraturan Agustus Baru
Permenaker Menteri ini sebagai 2021
tentang Dasar
pelaksanaan amanat
Perhitungan
Besaran Pasal 15 ayat (4) huruf
Simpanan e PP Nomor 25 Tahun
Tabungan 2020 tentang
Perumahan Penyelenggaraan
Rakyat Bagi Tabungan Perumahan
Pekerja/Buruh Rakyat (TAPERA),
Swasta
terkait dasar
perhitungan untuk
menentukan perkalian
besaran Simpanan
Peserta.

7 Rancangan Rancangan peraturan September Mencabut:


Permenaker menteri ini diperlukan 2021 1) Permenakertran
tentang Pedoman untuk mengatur s
PER.06/MEN/I
Verifikasi mekanisme verifikasi V/2005 tentang
- 45 -

Arah Kerangka
Target
No Regulasi dan/atau Urgensi Pembentukan Keterangan
Penyelesaian
Kebutuhan Regulasi
Keanggotaan keanggotaan SP/SB Pedoman
SP/SB dan dan organisasi Verifikasi
Organisasi pengusaha dalam Keanggotaan
SP/SB;
Pengusaha dalam kelembagaan
2) Kepmenakertra
Kelembagaan hubungan industrial ns
Hubungan yang menyesuaikan KEP.201/MEN/
Industrial dengan dinamika 2001 tentang
ketenagakerjaan. Keterwakilan
dalam
Kelembagaan
Hubungan
Industrial

Ditjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3


1 Rancangan Mendukung Lompatan 2021 Baru
Permenaker Transformasi
tentang petunjuk Pengawasan
Teknis Jabatan Ketenagakerjaan dari
Fungsional sisi SDM
Pengawas
Ketenagakerjaan
dan Penguji K3
2 Rancangan Mendukung Lompatan 2021 Baru
Permenaker Transformasi
tentang Pengawasan
Organisasi dan Ketenagakerjaan dari
Tata kerja Unit sisi sistem kerja UPT
Pelaksana Teknis Balai K3
Bidang
Keselamatan dan
Kesehatan Kerja
3 Rancangan Mendukung Lompatan 2021 Baru
Permenaker Transformasi
tentang Sistem Pengawasan
Pengawasan Ketenagakerjaan
Ketenagakerjaan melalui otomatisasi
Online sistem kerja
pengawasan
ketenagakerjaan
4 Rancangan Mendukung Lompatan 2021 Baru
Permenaker Transformasi
tentang Pedoman Pengawasan
Uji Kompetensi Ketenagakerjaan
Jabatan melalui peningkatan
Fungsional profesionalisme SDM
Pengawas Pengawas
Ketenagakerjaan Ketenagakerjaan
dan Penguji K3

Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan


1 Rancangan Mendukung lompatan 2021 Penyempurnaan
Permenaker Pengembangan atas
tentang Ekosistem Digital Permenakertrans
Pembangunan SIAPkerja Nomor 19 Tahun
dan 2009 tentang
- 46 -

Arah Kerangka
Target
No Regulasi dan/atau Urgensi Pembentukan Keterangan
Penyelesaian
Kebutuhan Regulasi
Pengembangan Pembangunan
Sistem Informasi dan
Ketenagakerjaan Pengembangan
Sistem Informasi
Ketenagakerjaan
2 Rancangan Mendukung lompatan 2021 Penyempurnaan
Permenaker Pengembangan atas
tentang E- Ekosistem Digital Permenakertrans
SIAPkerja dan efisiensi Nomor
Government di
PER.10/MEN/VII/
Kementerian sistem kerja di
2010 tentang E-
Ketenagakerjaan Kemnaker
Government di
Kementerian
Tenaga Kerja dan
Transmigrasi
3 Rancangan Melengkapi 2021 Baru
Kepmenaker Permenaker Satu Data
tentang Penetapan Ketenagakerjaan
Standar Data,
Metadata, dan
Kode Referensi
dan/atau Data
Induk
Ketenagakerjaan
tentang Satu Data
Ketenagakerjaan

4. Kerangka Kelembagaan
a. Agenda dan Sasaran Pembangunan Bidang Aparatur Negara
Sejalan dengan target Rencana Pembangunan Jangka Panjang
2005-2025 di mana periode 2020-2024 menjadikan pembangunan
Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai target utama, maka
pembangunan aparatur negara baik pada RPJMN 2020-2024 dan
Rencana Strategis Kementerian Ketenagakerjaan Tahun 2020-
2024 juga memfokuskan pada pembangunan sumber daya
manusia dalam hal ini Sumber Daya Aparatur Negara. Rencana
Pembangunan Jangka Menengah 2020-2024 menjadikan
perwujudan tata pemerintahan profesional dan netral sebagai
salah satu fokus RPJMN 2020-2024 dibidang politik hukum dan
kelembagaan. Sasaran pokok pembangunan SDM khususnya
pembangunan bidang aparatur negara yaitu: a) pemerintahan
yang bersih dan akuntabel; b) pemerintahan yang efektif dan
efisien; c) peningkatan kualitas pelayanan publik.
- 47 -

b. Arah Kebijakan dan Strategi Pembangunan Bidang Aparatur


Negara
Kebijakan Pembangunan Bidang Aparatur Negara pada
RPJMN 2020-2024 diarahkan untuk meningkatkan tata kelola
pemerintah yang baik dengan mewujudkan tata pemerintahan
profesional dan netral sebagai prasyarat bagi terciptanya sasaran
pembangunan nasional. Kebijakan pengarusutamaan tata kelola
pemerintah yang baik dilakukan dengan:
1) peningkatan keterbukaan informasi dan komunikasi publik;
2) peningkatan partisipasi masyarakat dalam perumusan
kebijakan;
3) peningkatan kapasitas birokrasi melalui reformasi birokrasi;
4) peningkatan kualitas pelayanan publik;
5) peningkatan kapasitas sumber daya aparatur dalam
merespon perkembangan digital.
c. Proses Bisnis dan Struktur Organisasi
Kondisi pada kurun waktu 2020-2024 akan banyak
mengalami perubahan dibandingkan dengan kondisi pada kurun
waktu 2015-2019. Hal ini terutama karena beberapa hal, antara
lain, yaitu: (1) makin masifnya penggunaan teknologi digital; (2)
terjadinya pandemi Covid-19 telah mengubah hidup dan
kehidupan khususnya di bidang ketenagakerjaan; dan (3)
terbitnya Undang-undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Perubahan tersebut menyebabkan diperlukan penataan organisasi
di Kementerian Ketenagakerjaan. Penataan tersebut dimaksudkan
untuk mewujudkan Kementerian Ketenagakerjaan yang mampu
beradaptasi dengan dinamika perkembangan tuntutan
masyarakat serta kemajuan teknologi sehingga organisasi menjadi
lebih efektif, efisien, responsif, transparan, akuntabel, tepat fungsi
dan tepat ukuran (right sizing) dalam mendukung
penyelenggaraan tugas serta mewujudkan tata kelola
pemerintahan yang baik dalam memberikan pelayanan
berkualitas kepada pemangku kepentingan. Kerangka pemikiran
kelembagaan dalam Rencana Strategis Kementerian
Ketenagakerjaan Tahun 2020-2024 disajikan pada Gambar 3.1.
Memperhatikan hasil analisis yang dilakukan menggunakan
kerangka pemikiran seperti tersebut, dapat disusun proses bisnis
- 48 -

pelaksanaan urusan ketenagakerjaan seperti disajikan pada


Gambar 3.2.
Pada Gambar 3.2 dapat dilihat bahwa kebijakan data dan
informasi dari Presiden, DPR, Kementerian, Lembaga lainnya,
Pemerintah Daerah dan Mitra Pembangunan, serta data dan
informasi penduduk dan pencari kerja diolah oleh proses
perencanaan dan pengembangan ketenagakerjaan menjadi
rencana jangka panjang dan menengah dan usulan kebijakan,
serta data dan informasi di bidang ketenagakerjaan nasional.
Selanjutnya rencana jangka panjang dan menengah dan usulan
kebijakan, serta data dan informasi di bidang ketenagakerjaan
nasional tersebut sebagai pedoman untuk proses peningkatan
kompetensi, daya saing dan produktivitas tenaga kerja, proses
peningkatan penempatan tenaga kerja dan perluasan kesempatan
kerja, proses pembinaan hubungan industrial dan jaminan sosial
tenaga kerja dan proses pengawasan ketenagakerjaan, dan
keselamatan dan kesehatan kerja. Keempat proses tersebut dalam
menghasilkan output/outcome-nya saling berkoordinasi dan
bermitra untuk menghasilkan outcome Kementerian
Ketenagakerjaan. Proses selanjutnya peningkatan kompetensi,
daya saing, dan produktivitas tenaga kerja menghasilkan output
tenaga kerja kompeten yang berdaya saing. Output ini akan
menjadi input dari proses peningkatan penempatan tenaga kerja
dan perluasan kesempatan kerja. Proses ini akan menghasilkan
output meningkatnya kesempatan kerja dan meningkatnya
pelayanan penempatan tenaga kerja prima yang akan menjadi
input bagi proses pembinaan hubungan industrial dan jaminan
sosial tenaga kerja. Proses ini akan menghasilkan output berupa
meningkatnya harmonisasi hubungan industrial dan kualitas
jaminan sosial tenaga kerja dan akan menjadi input bagi proses
pengawasan ketenagakerjaan, serta keselamatan dan kesehatan
kerja. Proses ini akan menghasilkan output berupa kualitas
keamanan, kenyamanan dan kesehatan kerja. Output dari
keempat proses dan output proses tata kelola dan proses
pengawasan akan menghasilkan outcome bagi Kementerian
Ketenagakerjaan.
Berdasarkan kerangka pemikiran dan proses bisnis tersebut,
- 49 -

maka untuk mewujudkan visi dan melaksanakan misi


Kementerian Ketenagakerjaan tahun 2020-2024 perlu dilakukan
penyempurnaan kelembagaan seperti yang tertuang dalam
Peraturan Presiden Nomor 95 tentang Kementerian
Ketenagakerjaan dan Peraturan Menteri Ketenegakerjaan Nomor 1
tahun 2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Ketenagakerjaan. Kerangka kelembagaan Kementerian
Ketenagakerjaan disajikan pada Gambar 3.3. Pada gambar
tersebut dapat dilihat bahwa struktur Kementerian
Ketenagakerjaan terdiri dari Menteri, Wakil Menteri, Sekretariat
Jenderal, Direktorat Jenderal Pembinaan Pelatihan Vokasi dan
Produktivitas, Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga
Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja, Direktorat Jenderal
Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga
Kerja, Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan
Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja,
Inspektorat Jenderal, Badan Perencanaan dan Pengembangan
Ketenagakerjaan dan Staf Ahli.
- 50 -

Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran Kelembagaan Kementerian Ketenagakerjaan


- 51 -

19
KEBIJAKAN,
DATA, DAN K/L/D/M
INFORMASI

K VIII
PEMBERI
1 4 6 KESEMPATAN
KERJA/
KERJA
PENGUSAHA

G H
PENYUSUNAN TERSEDIANYA
KEBIJAKAN KEBIJAKAN PERENCANAAN
RENCANA, DATA, TENAGA KERJA NASIONAL,
DAN INFORMASI 3 DATA, DAN INFORMASI

VII A

4 18
16
MENINGKATNYA
2 PEMBINAAN
PELATIHAN VOKASI KOMPETENSI DAN
PRODUKTIVITAS
5 PRODUKTIVITAS
I TENAGA KERJA 4
B 17
6
6
MENINGKATNYA
PENINGKATAN KESEMPATAN KERJA TERWUJUDNYA
PENEMPATAN T.K. DAN PELAYANAN TENAGA KERJA YANG KOMPETEN,
DAN PERLUASAN
DATA DAN 4 KESEMPATAN KERJA 7 PENEMPATAN TENAGA
KERJA YANG PRIMA
PRODUKTIF DAN BERDAYA SAING
II DALAM MENDUKUNG INDONESIA
INFORMASI
PENDUDUK DAN C 8 YANG MAJU, BERDAULAT, MANDIRI
DAN BERKEPRIBADIAN SERTA
PENCARI KERJA
BERKEADILAN BERLANDASKAN
GOTONG ROYONG
8

PENINGKATAN PEMBI
MENINGKATNYA
HARMONISASI
J
6 NAAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL DAN
HUBUNGAN
JAMINAN SOSIAL T.K. 9 INDUSTRIAL DAN
KUALITAS JAMINAN
10
4 III SOSIAL TENAGA KERJA
14
D 12
8
10 REFORMASI
BIROKRASI YANG
6 MENINGKATNYA
BERSIH, AKUNTABEL,
KAPABEL, DAN
PENGAWASAN
KETENAGAKERJAA KUALITAS, KEAMANAN, PELAYANAN PRIMA
N DAN
PEKERJA 4 KESELAMATAN DAN
KESEHATAN KERJA
11 KENYAMANAN, DAN
KESEHATAN KERJA F
ANAK 15 IV
I E
13
PENATAKELOLAAN PEMERINTAHAN YANG BAIK VI
KEBIJAKAN BERBASIS PENGETAHUAN SERTA DATA DAN INFORMASI V
19
Gambar 3.2. Proses Bisnis Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan di Bidang Ketenagakerjaan
- 52 -

Gambar 3.3. Struktur Organisasi Kementerian Ketenagakerjaan


- 53 -

Tabel 3.4.Kelembagaan yang diperlukan untuk Pencapaian Sasaran


Kinerja RENSTRA Kementerian Ketenagakerjaan Tahun 2020-
2024

UNIT KERJA JPT MADYA UNIT KERJA JPT PRATAMA (ESELON


NO (ESELON I) II)
1 SEKRETARIAT 1. Biro Perencanaan dan Manajemen Kinerja
JENDERAL 2. Biro Keuangan dan Barang Milik Negara
3. Biro Organisasi dan Sumber Daya
Aparatur
4. Biro Hukum
5. Biro Kerjasama
6. Biro Hubungan Masyarakat
7. Biro Umum
8. Pusat Pelatihan Sumber Daya Aparatur
9. Pusat Pasar Kerja
2 DIREKTORAT 1. Direktorat Bina Standardisasi Kompetensi
JENDERAL dan Program Pelatihan
PEMBINAAN 2. Direktorat Bina Kelembagaan Pelatihan
PELATIHAN VOKASI Vokasi
DAN 3. Direktorat Bina Penyelenggaraan Pelatihan
PRODUKTIVITAS Vokasi dan Pemagangan
4. Direktorat Bina Peningkatan Produktivitas
5. Direktorat Bina Instruktur dan Tenaga
Pelatihan
6. Sekretariat Direktorat Jenderal
3 DIREKTORAT 1. Direktorat Bina Penempatan Kerja Dalam
JENDERAL Negeri
PEMBINAAN 2. Direktorat Bina Penempatan dan
PENEMPATAN Pelindungan Pekerja Migran Indonesia
TENAGA KERJA DAN 3. Direktorat Bina Perluasan Kesempatan
PERLUASAN Kerja
KESEMPATAN
KERJA 4. Direktorat Pengendalian Penggunaan
Tenaga Kerja Asing
5. Direktorat Bina Pengantar Kerja
6. Sekretariat Direktorat Jenderal
4 DIREKTORAT 1. Direktorat Hubungan Kerja dan
JENDERAL Pengupahan
PEMBINAAN 2. Direktorat Jaminan Sosial Tenaga Kerja
HUBUNGAN 3. Direktorat Kelembagaan dan
INDUSTRIAL DAN Pencegahan Perselisihan Hubungan
JAMINAN SOSIAL Industrial
TENAGA KERJA
4. Direktorat Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial
5. Direktorat Bina Mediator Hubungan
Industrial
6. Sekretariat Direktorat Jenderal
- 54 -

UNIT KERJA JPT MADYA UNIT KERJA JPT PRATAMA (ESELON


NO (ESELON I) II)
5 DIREKTORAT 1. Direktorat Bina Sistem Pengawasan
JENDERAL Ketenagakerjaan
PEMBINAAN 2. Direktorat Bina Kelembagaan Keselamatan
PENGAWASAN dan Kesehatan Kerja
KETENAGAKERJAAN 3. Direktorat Bina Pemeriksaan Norma
DAN KESELAMATAN Ketenagakerjaan
DAN KESEHATAN
4. Direktorat Bina Pengujian
KERJA
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
5. Direktorat Bina Pengawas Ketenagakerjaan
dan Penguji K3
6. Sekretariat Direktorat Jenderal
6 INSPEKTORAT 1. Inspektorat I
JENDERAL 2. Inspektorat II
3. Inspektorat III
4. Inspektorat IV
5. Sekretariat Itjen
7 BADAN 1. Pusat Perencanaan Ketenagakerjaan
PERENCANAAN DAN 2. Pusat Data dan Teknologi Informasi
PENGEMBANGAN Ketenagakerjaan
KETENAGAKERJAAN
3. Pusat Pengembangan Kebijakan
Ketenagakerjaan
4. Sekretariat Badan
8 STAF AHLI MENTERI 1. Staf Ahli Bidang Ekonomi Ketenagakerjaan
2. Staf Ahli Bidang Hubungan Internasional
3. Staf Ahli Bidang Hubungan Antar Lembaga
4. Staf Ahli Bidang Sosial, Politik, dan
Kebijakan Publik

d. Mandat Organisasi
Kementerian Ketenagakerjaan adalah organisasi eksekutif di
bawah Presiden yang dibentuk untuk menjalankan tugas dan
fungsi utama di bidang ketenagakerjaan. Lebih khususnya,
mandat organisasi Kementerian Ketenagakerjaan tertuang di
dalam peraturan perundang-undangan, antara lain:
1) Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2020 tentang
Kementerian Ketenagakerjaan;
2) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 1 Tahun 2021
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Ketenagakerjaan.
- 55 -

Kementerian Ketenagakerjaan mempunyai tugas


menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
ketenagakerjaan untuk membantu Presiden dalam
menyelenggarakan pemerintahan negara. Dalam melaksanakan
tugasnya, Kementerian Ketenagakerjaan menyelenggarakan fungsi:
1) perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang
peningkatan kompetensi dan daya saing tenaga kerja serta
produktivitas, peningkatan penempatan tenaga kerja dan
perluasan kesempatan kerja, peningkatan hubungan
industrial dan jaminan sosial tenaga kerja, serta pengawasan
ketenagakerjaan dan keselamatan dan kesehatan kerja;
2) koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan dan pemberian
dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di
lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan;
3) pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi
tanggung jawab Kementerian Ketenagakerjaan;
4) pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan
Kementerian Ketenagakerjaan;
5) pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas
pelaksanaan urusan Kementerian Ketenagakerjaan di daerah;
6) perencanaan ketenagakerjaan nasional, pengelolaan teknologi
informasi dan data ketenagakerjaan, serta pengembangan
kebijakan di bidang ketenagakerjaan; dan
7) pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada
seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian
Ketenagakerjaan.

Susunan Organisasi Kementerian Ketenagakerjaan, terdiri


atas:
1) Sekretariat Jenderal;
2) Direktorat Jenderal Pembinaan Pelatihan Vokasi dan
Produktivitas;
3) Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan
Perluasan Kesempatan Kerja;
4) Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan
Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
5) Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan
dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja;
- 56 -

6) Inspektorat Jenderal;
7) Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan;
8) Staf Ahli Bidang Ekonomi Ketenagakerjaan;
9) Staf Ahli Bidang Hubungan Internasional;
10) Staf Ahli Bidang Hubungan Antar Lembaga; dan
11) Staf Ahli Bidang Sosial, Politik, dan Kebijakan Publik.
12) Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia
Ketenagakerjaan; dan
13) Pusat Pasar Kerja.
Dalam rangka mendukung usaha pencapaian output dan
outcome program dan kegiatan kementerian, kolaborasi antar
direktorat jenderal menjadi sangat penting. Kolaborasi akan
memunculkan kekuatan bersama dalam mewujudkan target
program dan kegiatan yang telah disusun. Salah satu wujud
kolaborasi yang perlu diperhatikan dan ditekankan adalah
kolaborasi antara Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan
Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan Direktorat
Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Kolaborasi kedua direktorat
tersebut sangat vital dalam rangka mewujudkan kondisi kerja atau
lingkungan kerja yang kondusif bagi pekerja. Kondisi lingkungan
kerja yang kondusif pada akhirnya menghasilkan produktivitas
pekerja.
Serta kolaborasi antara Direktorat Jenderal Pembinaan
Pelatihan Vokasi dan Produktivitas dengan Direktorat Jenderal
Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan
Kerja. Kolaborasi antar dua direktorat ini penting untuk
memastikan agar peserta program pelatihan yang disusun oleh
Direktorat Jenderal Pembinaan Pelatihan Vokasi dan Produktivitas
bisa berlanjut ke penempatan kerja dari peserta pelatihan yang
sesuai dengan keahliannya. Kolaborasi ini sangat penting dalam
rangka menjadikan agar output kegiatan bisa memberikan outcome
yang lebih besar.
Diharapkan Kementerian Ketenagakerjaan dapat menjadi
organisasi yang ideal dan dapat menyelesaikan fenomena-
fenomena terkini dalam dunia ketenagakerjaan yang dituangkan
dalam struktur organisasi yang lebih fleksibel dan adaptif.
- 57 -

Beberapa contoh fenomena terkini ketenagakerjaan tersebut


adalah adanya digitalisasi. Kemajuan teknologi telah memberikan
perubahan cara bekerja, pola hubungan kerja, hilangnya
pekerjaan, dan munculnya pekerjaan baru (changing nature of
work). Di sisi lain, masih banyak persoalan yang harus
diselesaikan diantaranya masih rendahnya tingkat keterampilan
tenaga kerja dan investasi dalam meningkatkan kapasitas dan
kapabilitas SDM serta masih lemahnya peran kelembagaan
ketenagakerjaan, peraturan ketenagakerjaan, dan sistem
pengawasan ketenagakerjaan.

5. Arah Pembangunan Sumber Daya Aparatur


Arah pembangunan sumber daya aparatur di Kementerian
Ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka mendukung agenda
prioritas nasional 2020-2024 yakni perwujudan Sumber Daya Manusia
Indonesia yang unggul. Pengembangan Sumber Daya Manusia di
Kementerian Ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka
mewujudkan pelayanan berbasis digital dalam platform Sistem
Informasi Ketenagakerjaan.
Apabila melihat komposisi pendidikan sumber daya manusia yang
saat ini berada di Kementerian Ketenagakerjaan, 80 persen aparatur
sipil negara di Kementerian Ketenagakerjaan telah berpendidikan tinggi
(D1 ke atas). Komposisi ini menjadi syarat pengembangan sumber daya
manusia di Kementerian Ketenagakerjaan bisa diarahkan dalam
rangka mendukung program utama pemerintah.

Gambar 3.4. Komposisi Sumber Daya Manusia Kementerian


Ketenagakerjaan berdasarkan Tingkat Pendidikan
- 58 -

Dilihat dari komposisi per direktorat, struktur pegawai


Kemnaker dinilai sudah cukup mampu untuk mendukung prioritas
peningkatan daya saing pekerja. Hal ini tercermin dari jumlah
pegawai yang sebagian besar tersebar di Direktorat Jenderal
Pembinaan Pelatihan Vokasi dan Produktivitas (Ditjen Binalavotas).

Gambar 3.5. Komposisi Sumber Daya Manusia Kementerian


Ketenagakerjaan berdasarkan Unit Kerja
Pengembangan kapasitas Aparatur Sipil Negara (ASN) Kementerian
Ketenagakerjaan 2020-2024 akan diarahkan sejalan dengan
Kompetensi SMART ASN 2024. Menuju 2024, pengembangan ASN
Kementerian Ketenagakerjaan diarahkan untuk:
1. ASN Menguasai IT (Information Technology)
Kompetensi ini sangat dibutuhkan dalam rangka menghadapi era
digital 4.0. Penguasaan IT oleh ASN menjadi modal terwujudnya
pelayanan publik dan kerja birokrasi yang adaptif terhadap
perkembangan teknologi informasi. Adanya penguasaan tersebut
diharapkan akan meningkatkan kualitas pelayanan dan kerja
ASN.
2. ASN Menguasai Bahasa Asing
Selain penguasaan teknologi informasi, ASN harus menguasai
bahasa asing. Bahasa asing menjadi kebutuhan mutlak saat ini di
tengah globalisasi yang semakin menguat. Penguasaan bahasa
asing bagi ASN bertujuan agar pelayanan publik bagi orang asing
atau tamu atau wisatawan yang datang ke Indonesia berjalan
baik.
3. ASN Memiliki Sifat dan Sikap Hospitality (Ramah)
- 59 -

Salah satu syarat mutlak dalam pelayanan publik adalah


keramahan atau hospitality. Sebagai bagian dari pemerintahan
yang menjalankan fungsi pelayanan, sifat hospitality wajib melekat
pada ASN.
4. ASN Memiliki Kemampuan Jaringan (Networking)
Dunia yang semakin terbuka dan kebutuhan akan kolaborasi
antar stakeholder menjadi keniscayaan di tengah dunia yang
semakin berkembang. Keberadaan networking sangat penting bagi
ASN dalam menghadapi hal tersebut.
5. ASN Memiliki Jiwa Entrepreneurship
Jiwa entrepreneurship menjadikan ASN memiliki sifat kreativitas,
keberanian, inovatif, pantang menyerah, dan cerdas dalam
menangkap dan menciptakan peluang. Sifat-sifat tersebut penting
bagi ASN dalam rangka menjalankan fungsi birokrasi dan
pelayanan publik yang efektif dan efisien.
- 60 -

BAB IV
TARGET KINERJA DAN KERANGKA PENDANAAN

Dalam rangka pencapaian sasaran strategis yang telah ditetapkan


tahun 2020-2024, Kementerian Ketenagakerjaan akan melaksanakan
program dan kegiatan sesuai dengan arah Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2020-2024, kebijakan dan strategi serta struktur
organisasi Kementerian Ketenagakerjaan. Terdapat dua sasaran strategis
Kementerian Ketenagakerjaan 2020-2024 yakni:
a. Terwujudnya tenaga kerja yang kompeten, tangguh, lincah, produktif
dan berdaya saing dalam hubungan industrial yang kondusif untuk
mendukung indonesia yang maju, berdaulat, mandiri, dan
berkepribadian berlandaskan gotong royong; dan
b. Meningkatnya tata kelola pemerintahan yang baik.

1. Target Kinerja
Pada tahun 2020 dikarenakan adanya pandemi Covid-19 terjadi
perubahan target kinerja dan pendanaan. Hal ini menyebabkan target
kinerja Kementerian Ketenagakerjaan 2020-2024 mengalami
pengurangan target dan anggaran pada tahun 2020 dikarenakan
adanya pengurangan anggaran berdasarkan ketentuan dalam
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur
dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun
Anggaran 2020 dan Keputusan Menteri Keuangan nomor
189.1/KMK.02/2020 tentang Perubahan atas Rincian Anggaran
Belanja Pemerintah Pusat Tahun Anggaran 2020. Adapun target kinerja
dan pendanaan disampaikan pada tabel 4.1 berikut ini:
- 61 -

Tabel 4.1. Target Kinerja Kementerian Ketenagakerjaan


Sasaran Program (Outcome)/SasaranKegiatan (Output)/Indikator Target Alokasi (Juta Rupiah) Unit Organisasi Pelaksana
2020 2021 2022 2023 2024 2020 2021 2022 2023 2024
KEMENTERIAN KETENAGAKERJAAN 1.451.650 5.695.051 9.157.866 11.016.596 12.880.392
SS : Terwujudnya tenaga kerja yang kompeten, tangguh, lincah, produktif
dan berdaya saing dalam hubungan industrial yang kondusif untuk
mendukung indonesia yangmaju, berdaulat, mandiri dan berkepribadian
berlandaskan gotong royong
- IKSS : Kontribusi terhadap Produktivitas Tenaga KerjaNasional n/a 3,03% 5,55% 7,19% 9,85%
SS: Meningkatnya tata kelola pemerintahan yang baik
- IKSS : Indeks Reformasi Birokrasi 75,50 81,00 82,00 83,00 85,00
- IKSS : Opini BPK WTP WTP WTP WTP WTP
- IKSS : Indeks SPBE 3.29 3.39 3.52 4.0 4.0
Program Pendidikan dan Pelatihan Vokasi ½ 4.016.994 6.637.700 8.255.565 9.864.274 DITJEN BINALATTAS
SP : Meningkatnya kompetensi dan daya saing tenaga kerja
IKP : Persentase Tenaga Kerja yang ditingkatkan kompetensinya dan
- ditempatkan n/a 65% 68% 72% 75%
IKP : Jumlah tenaga kerja berkeahlian menengah - tinggi di sektor prioritas 10.200 11.220 12.350 13.600
- yang mendorong daya saing. n/a Orang Orang Orang Orang
304.058 1.189.550 1.546.370 2.164.920
- IKP : Jumlah tenaga kerja di sektor prioritas yang meningkat produktivitasnya
n/a Orang Orang Orang Orang
Kegiatan 1 : Pengembangan standar kompetensi dan program pelatihan vokasi 41.357 42.184 43.028 43.888
SK : Tersedianya standar kompetensi tenaga kerja, program, materi dan metode
pelatihan vokasi
- IKK : Jumlah Standar Kompetensi Kerja yang disusun dan ditetapkan 150 SKK 150 SKK 150 SKK 150 SKK 150 SKK
IKK :Persentase Program dan materi pelatihan yang berkaitan dengan Tenaga
n/a 20% 50% 75% 100%
- Kerja Berkeahlian tinggi yang mendorong daya saing.
Kegiatan 2 : Peningkatan kualitas dan kapasitas kelembagaan pelatihan vokasi
dan produktivitas 2.044.365 2.582.877 3.096.648 3.505.682
SK : Meningkatnya kualitas dan kapasitas kelembagaan pelatihan vokasi dan
produktivitas
- IKK : Jumlah BLK Pemerintah yang terakreditasi 100 125 140 160
n/a
BLK BLK BLK BLK
- IKK : Jumlah BLK Komunitas yang diakreditasi 97 BLK 100 BLK 200 BLK 200 BLK
n/a Komunitas Komunitas Komunitas Komunitas
- IKK : Jumlah Lembaga Pelatihan Kerja yang terakreditasi n/a 150 LPK 150 LPK 150 LPK 150 LPK
IKK : Jumlah Lembaga Pelatihan Kerja yang dikembangkan menjadi Balai
- Pelatihan Profesional berstandar Internasional n/a 5 BLK 5 BLK 4 BLK 4 BLK

- IKK : Jumlah pembangunan Balai UPTP Baru n/a 6 BLK 5 BLK 4 BLK 4 BLK
4 4 4 3
- IKK : Jumlah pembangunan Workshop Pelatihan Kerja
n/a Workshop Workshop Workshop Workshop
IKK :Jumlah Lembaga pelatihan kerja dan produktivitas yang 300 550 550 550
-
ditingkatkan sarana dan prasarana n/a Lembaga Lembaga Lembaga Lembaga
1014 BLK 1000 BLK 1500 BLK 2000 BLK 2500 BLK
- IKK : Jumlah Pembangunan BLK Komunitas
Komunitas Komunitas Komunitas Komunitas Komunitas
- IKK : Jumlah Talent Corner yang ada pada BLK UPTP 7 Talent 8 Talent 9 Talent 10 Talent
n/a
Corner Corner Corner Corner
Kegiatan 3 : Peningkatan Penyelenggaraan Pelatihan Vokasi dan Pemagangan 824.580 1.533.808 2.057.924 2.939.348
SK : Terlaksananya penyelenggaraan pelatihan vokasi dan pemagangan yang
berkualitas
16.055 53.050 55.000 75.000 100.000
- IKK : Jumlah Peserta pemagangan dalam negeri
Orang Orang Orang Orang Orang
- 62 -

Program / Sasaran Program (Outcome)/SasaranKegiatan (Output)/Indikator Target Alokasi (Juta Rupiah)


Unit Organisasi Pelaksana
Kegiatan 2020 2021 2022 2023 2024 2020 2021 2022 2023 2024
- IKK : Jumlah Peserta pemagangan luar negeri 3.420 2.000 4.000 6.000 6.500
Orang Orang Orang Orang Orang
IKK : Jumlah tenaga kerja yang mendapat pelatihan berbasis kompetensi 159.010 158.558 250.000 350.000 500.000
- Orang Orang Orang Orang Orang
IKK : Jumlah tenaga kerja yang mendapat pelatihan berbasis kompetensi yang
berkaitan dengan keahlian menengah tinggi yang mendorong daya saing. n/a 10.200 11.220 12.350 13.600
Orang Orang Orang Orang
IKK : Jumlah Calon Pekerja Migran Indonesia yang mendapat pelatihan 576 3.008 10.000 50.000 100.000
berbasis kompetensi Orang Orang Orang Orang Orang
Kegiatan 4 : Pengembangan dan Peningkatan Produktivitas Tenaga Kerja
304.058 1.437.130 1.959.410 2.191.512
SK : Meningkatnya produktivitas tenaga kerja
IKK :Jumlah tenaga kerja yang meningkat produktivitasnya n/a 304.058 1.189.550 1.546.370 2.164.920
- Orang Orang Orang Orang
Kegiatan 5 : Peningkatan Kompetensi Instruktur dan Tenaga Kepelatihan
114.000 171.884 206.261 247.513
SK : Meningkatnya Kompetensi Instruktur dan Tenaga Kepelatihan

- IKK :Persentase Instruktur yang ditingkatkan kompetensinya n/a 20% 30% 40% 50%
- IKK :Persentase Instruktur yang berkinerja tinggi n/a 60% 65% 70% 75%
IKK : Persentase tenaga pelatihan yang ditingkatkan kompetensinya
- n/a 20% 30% 40% 50%
- IKK : Persentase tenaga pelatihan yang berkinerja tinggi n/a 60% 65% 70% 75%
Kegiatan 6 : Pengembangan Sistem dan Pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi
173.741 340.112 347.232 375.423
Profesi
SK : Terlaksananya Sertifikasi Kompetensi Kerja

IKK : Persentase tenaga kerja yang disertifikasi dan bekerja sesuai sertifikat
- n/a 10% 15% 20% 25%
kompetensinya
IKK : Jumlah tenaga kerja yang disertifikasi sesuai keahlian menengah - 10.200 11.220 12.350 13.600
- n/a
tinggi yang mendorong daya saing. Orang Orang Orang Orang
- IKK : Tingkat maturitas Layanan Publik berbasis elektronikuntuk BNSP
4 4 4 4 4

SP : Meningkatnya Tata Kelola Manajemen Internal Direktorat Jenderal


Pembinaan Pelatihan Vokasi dan Produktivitas
- IKP : Indeks PMPRB 76 35,05 35,35 35,65 35,95
- IKP : Persentase temuan yang ditindaklanjuti 65% 70% 75% 80% 85%
- IKP : Nilai evaluasi SAKIP 83 84 85 86 87
- IKP : Tingkat maturitas Layanan Publik Instansi Pemerintah 3 3 3 4 4

Kegiatan 7 : Dukungan Manajemen dan Manajemen Teknis lainnya Ditjen


514.893 529.705 545.062 560.908
Pembinaan Pelatihan Vokasi dan Produktivitas
SK : Meningkatnya dukungan dan manajemen teknis
- IKK : Indeks PMPRB 76 35,05 35,35 35,65 35,95
- IKK : Persentase temuan yang ditindaklanjuti 65% 70% 75% 80% 85%
- IKK : Nilai evaluasi SAKIP 83 84 85 86 87

- IKK : Tingkat maturitas Layanan Publik Instansi Pemerintah 3 3 3 4 4


- 63 -

Program / Sasaran Program (Outcome)/SasaranKegiatan (Output)/Indikator Target Alokasi (Juta Rupiah) Unit Organisasi Pelaksana
Kegiatan 2020 2021 2022 2023 2024 2020 2021 2022 2023 2024

Program Pembinaan Ketenagakerjaan 1/4 1.047.557 765.770 969.620 1.072.583 1.183.341 DITJEN BINAPENTA
DAN PKK
SP : Meningkatnya jumlah tenaga kerja yang ditempatkan dan diberdayakan
IKP : Kontribusi penempatan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja
- n/a 15,26% 19,32% 23,24% 29,38%
terhadap penyediaan lapangan kerja
Kegiatan 1 : Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri 28.233 27.450 30.195 33.215 36.536
SK : Meningkatnya penempatan tenaga kerja dalam negeri
- IKK : Jumlah tenaga kerja yang ditempatkan di dalam negeri 32.516 35.000 40.000 45.000 50.000
Orang Orang Orang Orang Orang
IKK : Jumlah tenaga kerja yang ditempatkan di dalam negeri hasil pelatihan kerja n/a 103.063 162.500 227.500 325.000
-
Orang Orang Orang Orang
Kegiatan 2 : Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia 55.858 57.025 190.000 215.000 240.000
SK : Meningkatnya pelindungan dan penempatan pekerja migran Indonesia
IKK : Jumlah Pekerja Migran Indonesia yang ditempatkan di luar negeri secara 175.000 150.000 175.000 200.000 250.000
- prosedural
Orang Orang Orang Orang Orang
- IKK : Jumlah Pekerja Migran Indonesia yang ditempatkan pada pengguna 125.000 150.000 162.500 175.000
berbadan hukum di luar negeri n/a Orang Orang Orang Orang
IKK : Persentase Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia yang
- memenuhi standar n/a 50% 60% 70% 80%
- IKK : Persentase Atase Ketenagakerjaan yang menyediakan informasi peluang kerja n/a 100% 100% 100% 100%
IKK : Jumlah PMI yang mendapatkan layanan pelindungan oleh atase di Negara 200.000 250.000 250.000 250.000
Penempatan n/a Orang Orang Orang Orang
Kegiatan 3 : Perluasan kesempatan kerja 811.207 475.511 523.063 575.370 632.908
SK : Meningkatnya tenaga kerja yang diberdayakan melalui perluasan kesempatan
kerja
IKK : Jumlah tenaga kerja yang diberdayakan melalui Padat Karya 106.160 45.000 50.000 55.000 60.000
-
Orang Orang Orang Orang Orang

- IKK : Jumlah tenaga kerja mandiri pemula yang dibina n/a 100.000 150.000 150.000 150.000
Orang Orang Orang Orang
- IKK : Persentase tenaga kerja mandiri pemula yang menjadi tenaga kerja
n/a 2% 2% 2% 2%
mandiri lanjutan
- IKK : Jumlah talenta muda yang diberdayakan n/a 176 orang 185 orang 194 orang 204 orang
IKK : Jumlah tenaga kerja yang tercipta akibat perluasan kesempatan kerja dari 880 925 970 1020
- tenaga kerja mandiri pemula n/a
Orang Orang Orang Orang

IKK : Jumlah BLK Komunitas yang menjadi Inkubator Wirausaha 25 BLK 100 BLK 150 BLK 200 BLK
- n/a
Komunitas Komunitas Komunitas Komunitas
Kegiatan 4 : Peningkatan pengendalian TKA 12.466 8.000 8.800 9.680 10.648

SK : terlaksananya pengendalian TKA melalui pelayanan perizinan yang


transparan dan akuntabel
- IKK : Persentase tenaga kerja pendamping sebagai akibat penggunaan TKA 100% 100% 100% 100% 100%
IKK : Persentase tenaga kerja yang mendapatkan alih pengetahuan dan teknologi
- yang disertifikasi akibat penggunaan TKA n/a 100% 100% 100% 100%

Kegiatan 5 : Peningkatan Kompetensi Pengantar Kerja 19.885 14.000 15.400 16.939 18.632
SK : meningkatnya kompetensi SDM pengantar kerja
- IKK : Persentase Pengantar Kerja yang ditingkatkan kompetensinya n/a 20% 30% 40% 50%
- IKK : Persentase Pengantar Kerja yang berkinerja tinggi n/a 60% 65% 70% 75%
- 64 -
Program / Target Alokasi (Juta Ru piah)
Sasaran Program (Outcome)/SasaranKegiatan (Output)/Indikator Unit Organisasi Pelaksana
Kegiatan 2020 2021 2022 2023 2024 2020 2021 2022 2023 2024
- IKK : Persentase Petugas Antar Kerja yang ditingkatkan kompetensinya n/a 20% 30% 40% 50%
- IKK : Persentase Petugas Antar Kerja yang berkinerja tinggi n/a 60% 65% 70% 75%

SP : Meningkatnya Tata Kelola Manajemen Internal Direktorat Jenderal


Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja
- IKP : Indeks PMPRB 76 35,05 35,35 35,65 35,95
- IKP : Persentase Temuan yang ditindaklanjuti 65% 70% 75% 80% 85%
- IKP : Nilai evaluasi SAKIP 83% 84% 85% 86% 87%
- IKP : Tingkat maturitas Layanan Publik Instansi Pemerintah n/a 3 3 4 4
Kegiatan 6 : Dukungan Manajemen dan Manajemen Teknis Lainnya Ditjen
Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja 119.908 183.784 202.162 222.379 244.617

SK : Meningkatnya dukungan dan manajemen teknis


- IKK : Indeks PMPRB 76 35,05 35,35 35,65 35,95
- IKK : Persentase Temuan yang ditindaklanjuti 65% 70% 75% 80% 85%
- IKK : Nilai evaluasi SAKIP 83 84 85 86 87
- IKK : Tingkat maturitas Layanan Publik Instansi Pemerintah n/a 3 3 4 4
Program Pembinaan Ketenagakerjaan 2/4 86.540 216.350 461.210 507.331 558.064 DITJEN BINWASNAKER
DAN K3
SP : Meningkatnya kualitas pelindungan tenaga kerja dan pengusaha yang
menerapkan norma ketenagakerjaan dan keselamatan dan kesehatan kerja
- IKP : Jumlah perusahaan yang menerapkan dan mematuhi Norma 101.160 121.400 182.100 282.240 451.580
Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Perusahaan Perusahaan Perusahaan Perusahaan Perusahaan

- IKP : Jumlah tenaga kerja yang terlindungi hak-hak dasarnya 2.529.000 3.035.000 4.552.500 7.056.010 11.289.510
Orang Orang Orang Orang Orang
Kegiatan 1 : Peningkatan Sistem Pengawasan Ketenagakerjaan 19.045 20.949 23.044
1. SK : Meningkatnya Kualitas Sistem Pengawasan Ketenagakerjaan
- IKK : Nilai rata-rata indeks kinerja lembaga pengawasan ketenagakerjaan n/a 50 55 60 65
- IKK : Nilai Indeks Efektivitas Tata Cara Pengawasan Ketenagakerjaan n/a 60 65 70 75
- IKK : Jumlah perusahaan besar yang melaporkan keadaan ketenagakerjaan n/a 4.625 4.625 4.625 4.625
pada WLKP Online Perusahaan Perusahaan Perusahaan Perusahaan
IKK : Jumlah perusahaan menengah yang melaporkan keadaan n/a 62.612 62.612 62.612 62.612
ketenagakerjaan pada WLKP Online Perusahaan Perusahaan Perusahaan Perusahaan
IKK : Jumlah perusahaan kecil yang melaporkan keadaan ketenagakerjaan n/a 139.301 139.301 139.301 139.301
pada WLKP Online Perusahaan Perusahaan Perusahaan Perusahaan
IKK : Jumlah perusahaan mikro yang melaporkan keadaan ketenagakerjaan n/a 241.552 241.552 241.552 241.552
pada WLKP Online Perusahaan Perusahaan Perusahaan Perusahaan
Kegiatan 2 : Peningkatan Kelembagaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja 13.802 15.182 16.700
SK : Meningkatnya kualitas kelembagaan K3
- IKK : Nilai rata-rata indeks kinerja kelembagaan K3 n/a 50 55 60 65
IKK : Jumlah perusahaan yang menerapkan SMK3 1.100 1.200 1.300 1.400 1.500
Perusahaan Perusahaan Perusahaan Perusahaan Perusahaan
IKK : Persentase Kader Norma n/a 20% 30% 40% 50%
Ketenagakerjaan dan ahli K3 yang ditingkatkan kompetensinya
IKK : n/a 60% 65% 70% 75%
Persentase Kader Norma Ketenagakerjaan, dan ahli K3 yang berkinerja tinggi
Kegiatan 3 : Peningkatan Pemeriksaan Norma Ketenagakerjaan 22.096 24.306 26.737
SK : Meningkatnya pemeriksaan penerapan norma
ketenagakerjaan dan K3 dan penyidikan tindak pidana ketenagakerjaan
- IKK : Persentase perusahaan yang diperiksa dari jumlah perusahaan n/a 40% 60% 80% 100%
dalam WLKP Online
- IKK : Persentase nota pemeriksaan yang ditindaklanjuti dari seluruh nota 100% 100% 100% 100% 100%
pemeriksaan
- 65 -

Program / Target Alokasi (Juta Rupiah) Unit Organisasi


Sasaran Program (Outcome)/SasaranKegiatan (Output)/Indikator Pelaksana
Kegiatan 2020 2021 2022 2023 2024 2020 2021 2022 2023 2024
IKK : Persentase jumlah perusahaan yang disidik dari jumlah perusahaan yang
- melakukan tindak pidana ketenagakerjaan dan K3 100% 100% 100% 100% 100%

Kegiatan 4 : Pengujian Keselamatan dan Kesehatan Kerja 152.393 167.633 184.396

SK : Meningkatnya kepatuhan norma K3 terhadap perusahaan yang diperiksa

- IKK : Persentase obyek K3 yang diuji n/a 100% 100% 100% 100%
Kegiatan 5 : Peningkatan Kompetensi Pengawas Ketenagakerjaan dan Penguji
15.889 17.478 19.226
K3
SK : Meningkatnya kompetensi SDM pengawasan ketenagakerjaan dan penguji
keselamatan dan kesehatan kerja
IKK : Persentase pengawas ketenagakerjaan yang ditingkatkan kompetensinya
- n/a 60% 65% 70% 75%

- IKK : Persentase pengawas ketenagakerjaan yang berkinerja tinggi n/a 60% 65% 70% 75%

IKK : Persentase penguji K3 yang ditingkatkan kompetensinya


- n/a 20% 30% 40% 50%

IKK : Persentase penguji K3 yang berkinerja tinggi


- n/a 60% 65% 70% 75%

SP : Meningkatnya Tata Kelola Manajemen Internal Direktorat Jenderal


Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
- IKP : Indeks PMPRB 76 35,05 35,35 35,65 35,95
- IKP : Persentase Temuan yang ditindaklanjuti 65% 70% 75% 80% 85%
- IKP : Nilai evaluasi SAKIP 83 84 85 86 87
- IKP : Tingkat maturitas Layanan Publik Instansi Pemerintah 3 3 3 4 4

Kegiatan 6 : Dukungan Manajemen dan Manajemen Teknis Lainnya Ditjen


86.540 216.350 237.985 261.784 287.962
Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
SK : Meningkatnya dukungan dan manajemen teknis
- IKK : Indeks PMPRB 76 35,05 35,35 35,65 35,95
- IKK : Persentase Temuan yang ditindaklanjuti 65% 70% 75% 80% 85%
- IKK : Nilai evaluasi SAKIP 83 84 85 86 87
- IKK : Tingkat maturitas Layanan Publik Instansi Pemerintah 3 3 3 4 4

Program Pembinaan Ketenagakerjaan ¾ - DITJEN PHI DAN


145.011 268.183 304.075 340.888 JAMSOS TK
SP : Meningkatnya Harmonisasi Hubungan Industrial dan Kualitas Jaminan
Sosial Tenaga Kerja
IKP : Jumlah pekerja pada perusahaan yang menerapkan perlindungan hak-hak 3.035.000 4.552.500 7.056.010 11.289.510
- n/a Orang
pekerja dan dialog sosial Orang Orang Orang
- IKP : Indeks Perkembangan Kinerja Program jaminan sosial ketenagakerjaan n/a 75 76 77 78
Kegiatan 1 : Peningkatan Pembinaan Hubungan Kerja dan Penerapan Pengupahan
17.860 42.355 46.950 51.645
SK : Meningkatnya Pelindungan Hak Pekerja/ Buruh Dan Pengusaha Serta
Penerapan Struktur Dan Skala Upah
IKK : Persentase Perusahaan yang menerapkan Upah berbasis produktivitas
- terhadap total jumlah perusahaan yang memiliki Struktur Skala Upah n/a 20% 25% 30% 35%

IKK : Persentase Perusahaan yang mendaftarkan Perjanjian Kerja Bersama (PKB)


- atau mengesahkan Peraturan Perusahaan (PP) n/a 75% 76% 77% 78%
- 66 -

Program / Target Alokasi (Juta Rupiah)


Sasaran Program (Outcome)/SasaranKegiatan (Output)/Indikator Unit Organisasi Pelaksana
Kegiatan 2020 2021 2022 2023 2024 2020 2021 2022 2023 2024
Kegiatan 2 : Peningkatan Penerapan Jaminan Sosial Tenaga Kerja
14.206 36.772 40.450 44.495
SK : Meningkatnya kepesertaan,Kepercayaan dan Kepuasan Program Jaminan
Sosial Ketenagakerjaan

- IKK : Indeks Perkembangan Kinerja Program jaminan sosial ketenagakerjaan (Indeks n/a 75 76 77 78
Kepesertaan, Kepercayaan dan Kepuasan)
- IKK : Integrasi data BPJSTK dengan SISNAKER n/a 100% 100% 100% 100%
Kegiatan 3 : Penguatan Kelembagaan dan Pencegahan Perselisihan Hubungan
Industrial 8.400 35.000 46.550 61.912

SK : Meningkatkan kualitas kelembagaan hubungan industrial dan efektifitas


pencegahan perselisihan hubungan industrial

- IKK : Persentase Peningkatan pembentukan LKS Bipartit di


perusahaan menengah dan besar n/a 15% 20% 25% 30%
Kegiatan 4 : Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
8.600 29.460 32.406 35.647
SK : Meningkatnya efektivitas penyelesaian perselisihan hubungan industrial

IKK : Persentase penanganan penyelesaian perselisihan terhadap total perselisihan


- n/a 100% 100% 100% 100%
baik di daerah maupun di pusat
IKK : Persentase Penyelesaian Perselisihan Di Luar Mediasi
n/a 60% 65% 70% 75%

IKK : Persentase Arbiter dan Konsiliator yang ditingkatkan kompetensinya


n/a 20% 30% 40% 50%

IKK : Persentase Arbiter dan Konsiliator yang berkinerjatinggi


n/a 60% 65% 70% 75%

Kegiatan 5 : Peningkatan Kompetensi Mediator Hubungan Industrial


7.300 26.950 29.645 32.610
SK : Meningkatnya kompetensi Mediator HI
- IKK : Persentase Mediator HI yang ditingkatkan kompetensinya n/a 20% 30% 40% 50%
- IKK : Persentase Mediator HI yang berkinerja tinggi n/a 60% 65% 70% 75%
SP : Meningkatnya Tata Kelola Manajemen Internal Direktorat Jenderal Pembinaan
Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja
- IKP : Indeks PMPRB 76 35,05 35,35 35,65 35,95
- IKP : Persentase Temuan yang ditindaklanjuti 65% 70% 75% 80% 85%
- IKP : Nilai evaluasi SAKIP 83 84 85 86 87
- IKP : Tingkat maturitas Layanan Publik Instansi Pemerintah 3 3 3 4 4
Kegiatan 6 : Dukungan Manajemen dan Manajemen Teknis Lainnya Ditjen Pembinaan 88.645 97.646 108.074 114.579
Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja
SK : Meningkatnya dukungan dan manajemen teknis

- IKK : Indeks PMPRB 76 35,05 35,35 35,65 35,95

- IKK : Persentase Temuan yang ditindaklanjuti 65% 70% 75% 80% 85%
- IKK : Nilai evaluasi SAKIP 65 84 85 86 87
- IKK : Tingkat maturitas Layanan Publik Instansi Pemerintah 3 3 3 4 4
- 67 -

Program / Target Alokasi (Juta Rupiah) Unit Organisasi


Sasaran Program (Outcome)/SasaranKegiatan (Output)/Indikator Pelaksana
Kegiatan 2020 2021 2022 2023 2024 2020 2021 2022 2023 2024
SEKRETARIAT
Program Dukungan Manajemen Internal 1/2
JENDERAL
250.617 317.962 382.384 415.914 448.901
SP : Terwujudnya penatakelolaan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan yang baik,
berintegritas, bersih, dan bebas KKN
- IKP : Indeks Reformasi Birokrasi 76 81,00 82,00 83,00 85,00
- IKP : Opini BPK WTP WTP WTP WTP WTP
- IKP : Tingkat maturitas Layanan Administrasi Pemerintahan Berbasis Elektronik 3 3 3 4 4
Kegiatan 1 : Peningkatan Pengelolaan Urusan Tata Usaha dan Pelayanan Umum 36.416 58.713 64.584 71.043 78.147
SK : Meningkatnya kualitas pengelolaan urusan tata usaha dan pelayanan umum
- IKK : Indeks Kepuasan Pengguna Layanan Umum 75.5 76 76.5 77 77.5
- IKK : Nilai Pengawasan Kearsipan Kementerian Ketenagakerjaan 94,88 95,38 95,88 96,38 96,88
Kegiatan 2 : Peningkatan Pengelolaan Kerja Sama Dalam dan Luar Negeri 6.910 3.957 10.698 11.768 9.379
SK : Meningkatnya tindak lanjut atas kerja sama
- IKK : Jumlah rencana aksi tindak lanjut kerja sama 12 17 18 19 20
Kegiatan 3 : Peningkatan dan Pengelolaan Hubungan Masyarakat 15.864 45.222 49.744 54.719 60.190
SK : Meningkatnya kemudahan akses, keterbukaan dan pelayanan informasi
publik
- IKK : Hasil nilai keterbukaan informasi publik pada badan publik 93,46 94 95 95 96
Kegiatan 4 : Peningkatan Perencanaan Program dan Anggaran 5.820 3.767 6.402 7.042 7.746

SK : Meningkatnya kualitas pelayanan perencanaan untukmendukung kinerja


dan akuntabilitas Kementerian
- IKK : Maturitas SPIP 3,4 3,5 3,6 3,7 3,8
- IKK : Nilai AKIP 65 70 71 72 73
Kegiatan 5 : Peningkatan Pengelolaan Organisasi, Ketatalaksanaan dan
8.010 13.061 8.811 9.692 10.661
Kepegawaian

SK : Meningkatnya Pengelolaan Organisasi, Ketatalaksanaan dan Kepegawaian


- IKK : Nilai Manajemen Perubahaan 2,30 2,40 2,45 2,50 2,55
- IKK : Nilai Penataan dan Penguatan Organisasi 1,50 1,50 1,50 1,50 1,50
- IKK : Nilai Penataan tata laksana 3,75 3,75 3,75 3,75 3,75
- IKK : Indeks Penerapan Sistem Merit 0,63 0,70 0,77 0,84 0,91

Kegiatan 6 : Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur 22.560 30.167 33.184 36.502 40.152
SK : Meningkatnya Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) ASN Ketenagakerjaan
IKK : Persentase SDM Kemnaker yang meningkat kompetensinya sesuai rencana
- pengembangan kompetensi 100% 100% 100% 100% 100%

Kegiatan 7 : Pembentukan, Pembaruan dan Penyelesaian Masalah Hukum 7.154 4.387 4.826 5.308 5.839

SK : Meningkatnya Kualitas Penataan Peraturan Perundang-


undangan dan Penyelesaian Permasalahan Hukum Ketenagakerjaan
- IKK : Nilai Penataan Peraturan perundang-undangan
n/a 2,0 2,0 2,0 2,0
Kegiatan 8 : Peningkatan Pengelolaan dan Pelaporan Keuangan
147.883 146.688 156.956 167.943 179.699
- 68 -

Program / Target Alokasi (Juta Rupiah) Unit Organisasi


Sasaran Program (Outcome)/SasaranKegiatan (Output)/Indikator Pelaksana
Kegiatan
2020 2021 2022 2023 2024 2020 2021 2022 2023 2024
SK : Meningkatnya tata kelola keuangan kementerian
- IKK : Persentase tindak lanjut kerugian negara atas temuan BPK 57% 58% 59% 60% 61%
- IKK : Indikator kinerja pelaksanaan anggaran (IKPA) 93 94 95 96 97
Program Pembinaan Ketenagakerjaan 4/4

Kegiatan 9 : Peningkatan Pelayanan Pasar Kerja 12.000 47.179 51.897 57.086


-
SK : Meningkatnya Pelayanan Pasar Kerja

IKK : Indeks Kemanfaatan Data dan Informasi persediaan dan permintaan tenaga
- kerja secara real time n/a 50 55 65 75

- IKK : Persentase Point Of Contact yang operasional terhadap total Point Of Contact n/a 50% 55% 65% 75%

- IKK : Indeks Kepuasan Pengguna Layanan Pasar Kerja n/a 50 55 65 75

- IKK : Indeks Kualitas Layanan Pasar Kerja n/a 50 55 65 75

- IKK : Jumlah Tenaga Kerja yang difasilitasi layanan pasar kerja 2.000.000 2.100.000 2.205.000 2.315.250
n/a
Orang Orang Orang Orang
- IKK : Jumlah Pengguna Layanan Pasar Kerja 2.200.000 2.310.000 2.425.500 2.546.780
n/a
Pengguna Pengguna Pengguna Pengguna
- IKK : Persentase Penyalahgunaan Data (Zero Based Data Breach ) n/a 0 0 0 0

Program Pendidikan dan Pelatihan Vokasi 2/2 10.598 29.548 20.779 21.818 22.909

Kegiatan 10 : Pelayanan Politeknik Ketenagakerjaan 10.598 29.548 20.779 21.818 22.909

SK : Meningkatnya Kompetensi masyarakat di bidang ketenagakerjaan

- IKK : Hasil Akreditasi Institusi dari BAN PT B B B B B


- IKK : Persentase Mahasiswa Politeknik Ketenagakerjaan yang ditempatkan n/a 100% 100% 100% 100%
INSPEKTORAT
Program Dukungan Manajemen Internal 2/2 56.338 59.303 62.269 65.382 68.651
JENDERAL

SP : Meningkatnya kualitas dan akuntabilitas pengawasan internal dalam


mendukung good governance di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan

- IKP : Opini BPK WTP WTP WTP WTP WTP


- IKP : Nilai Evaluasi PMPRB Kementerian Ketenagakerjaan 76 81 82 84 86
- IKP : Nilai kinerja mitra kerja Pengawasan Internal 65 78 80 81 83
- IKP : Tingkat maturitas Layanan Whistle Blowing System (WBS) 2 3 4 4 5

Kegiatan 1 : Pengawasan Inspektorat I 4.775 5.026 5.278 5.542 5.819

SK : Terwujudnya pengawasan Inspektorat I yang memberi kemanfaatan melalui


pengendalian internal dan tata kelola berbasis risiko serta peningkatan akuntabilitas
aparatur di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan
- IKK : Persentase Tindak lanjut rekomendasi atas temuan 85% 85% 86% 86% 87%
hasil audit internal mitra kerja Inspektorat I
- IKK : Nilai evaluasi mandiri SAKIP mitra kerja Inspektorat I A A A A A
- IKK : Rata-rata nilai kinerja Mitra Kerja Inspektorat I 65 78 80 81 83
- IKK : Jumlah Satker Mitra Kerja Inspektorat I yang diusulkan ZI menuju WBK dan 2 Satker 4 Satker 4 Satker 4 Satker 4 Satker
WBBM
- IKK : Nilai evaluasi mandiri maturitas SPIP mitra kerja Inspektorat I 3,2 3,4 3,6 3,8 4
- 69 -

Program / Target Alokasi (Juta Rupiah) Unit Organisasi


Sasaran Program (Outcome)/SasaranKegiatan (Output)/Indikator Pelaksana
Kegiatan 2020 2021 2022 2023 2024 2020 2021 2022 2023 2024
Kegiatan 2 : Pengawasan Inspektorat II 4.827 5.081 5.335 5.602 5.882

SK : Terwujudnya pengawasan Inspektorat II yang memberi


kemanfaatan melalui pengendalian internal dan tata kelola berbasis risiko serta
peningkatan akuntabilitas aparatur di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan
IKK : Persentase Tindak lanjut rekomendasi atas temuan
- 85% 85% 86% 86% 87%
hasil audit internal mitra kerja Inspektorat II
- IKK : Nilai evaluasi mandiri SAKIP mitra kerja Inspektorat II A A A A A
- IKK : Rata-rata nilai kinerja Mitra Kerja Inspektorat II 65 78 80 81 83
- IKK :Jumlah Satker Mitra Kerja Inspektorat II yang diusulkan ZI menuju WBK dan 2 Satker 3 Satker 4 Satker 4 Satker 4 Satker
WBBM
- IKK : Nilai evaluasi mandiri maturitas SPIP mitra kerja Inspektorat II 3,2 3,4 3,6 3,8 4
Kegiatan 3 : Pengawasan Inspektorat III 4.852 5.108 5.363 5.631 5.913
SK : Terwujudnya pengawasan Inspektorat III yang memberi kemanfaatan melalui
pengendalian internal dan tata kelolaberbasis risiko serta peningkatan akuntabilitas
aparatur di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan
IKK : Persentase Tindak lanjut rekomendasi atas temuan
- 85% 85% 86% 86% 87%
hasil audit internal mitra kerja Inspektorat III
- IKK : Nilai evaluasi mandiri SAKIP mitra kerja Inspektorat III A A A A A
- IKK : Rata-rata nilai kinerja Mitra Kerja Inspektorat III 65 78 80 81 83
- IKK : Jumlah Satker Mitra Kerja Inspektorat III yang diusulkan ZI menuju WBK dan 2 Satker 3 Satker 3 Satker 4 Satker 4 Satker
WBBM
- IKK : Nilai evaluasi mandiri maturitas SPIP mitra kerja Inspektorat III 3,2 3,4 3,6 3,8 4
Kegiatan 4 : Pengawasan Inspektorat IV 5.048 5.314 5.579 5.858 6.151
SK : Terwujudnya pengawasan Inspektorat IV yang memberi kemanfaatan melalui
pengendalian internal dan tata kelolaberbasis risiko serta peningkatan akuntabilitas
aparatur di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan
IKK : Persentase Tindak lanjut rekomendasi atas temuan hasil audit internal mitra
- 85% 85% 86% 86% 87%
kerja Inspektorat IV
- IKK : Nilai evaluasi mandiri SAKIP mitra kerja Inspektorat IV A A A A A
- IKK : Rata-rata nilai kinerja Mitra Kerja Inspektorat IV 65 78 80 81 83
- IKK : Jumlah Satker Mitra Kerja Inspektorat IV yang diusulkan ZI menuju WBK dan 2 Satker 4 Satker 6 Satker 8 Satker 10 Satker
WBBM
- IKK : Nilai evaluasi mandiri maturitas SPIP mitra kerja Inspektorat IV 3,2 3,4 3,6 3,8 4
Kegiatan 5 : Dukungan Manajemen dan Dukungan Teknis Lainnya Inspektorat Jenderal 36.836 38.775 40.714 42.750 44.887
SK: Meningkatnya kualitas pelayanan internal dan eksternal Inspektorat Jenderal
IKK : Persentase Tindak lanjut rekomendasi atas temuan hasil audit internal dan
- eksternal di Inspektorat Jenderal 100% 100% 100% 100% 100%
- IKK : Persentase pengaduan masyarakat yang ditindaklanjuti 70% 100% 100% 100% 100%
- IKK : Nilai Evaluasi PMPRB Inspektorat Jenderal 76 35,05 35,35 35,65 35,95
- IKK : Kapabilitas APIP 3 3 3,5 3,83 4
- IKK : Nilai evaluasi mandiri SAKIP Inspektorat Jenderal A A A A A
- IKK : Tingkat maturitas Layanan Whistle Blowing System (WBS) 2 3 4 4 5
- IKK : Indeks kepuasan pegawai 4,5 4,7 4,8 4,8 4,8

Program Riset, Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Inovasi - BARENBANG


144.112 355.722 373.928 393.364 KETENAGAKERJAAN
SP : Tersedianya Usulan Kebijakan dan Rencana Tenaga Kerja
Nasional Berbasis Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Data dan Informasi
- IKP : Persentase Usulan Kebijakan tahun sebelumnya yang diimplementasikan n/a 40% 45% 50% 55%
- IKP : Nilai Indeks Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) 3.29 3.39 3.52 4.0 4.0
IKP : Persentase Pemanfaatan Rencana Tenaga Kerja dan daftar jabatan tenaga kerja n/a 75% 76% 77% 78%
- menengah - tinggi di sektor prioritas yang mendorong daya saing.
- 70 -

Unit Organisasi
Program / Target Alokasi (Juta Rupiah) Pelaksana
Sasaran Program (Outcome)/SasaranKegiatan (Output)/Indikator
Kegiatan 2020 2021 2022 2023 2024 2020 2021 2022 2023 2024
- IKP : Indeks Kepuasan Layanan Data dan Informasi Ketenagakerjaan n/a 60 65 70 75
Kegiatan 1 : Pengembangan Perencanaan Tenaga Kerja 6.025 10.423 11.365 12.673
SK : Meningkatnya Kualitas Perencanaan Tenaga Kerja

IKK : Persentase Akurasi Proyeksi Ketepatan Rencana Tenaga Kerja Terhadap


- n/a 50% 55% 60% 65%
kebutuhan pasar kerja

IKK : Persentase Akurasi daftar jabatan tenaga kerja menengah - tinggi di sektor
- prioritas yang mendorong daya saing. penempatan tenaga kerja sesuai dengan n/a 50% 55% 60% 65%
keahlian
Kegiatan 2 : Pengelolaan Data dan Teknologi Informasi Ketenagakerjaan
79.671 283.962 298.159 313.067
SK : Tersedianya data dan informasi ketenagakerjaan yang akurat dan terkini dan
meningkatnya kualitas pelayanan publik di bidang ketenagakerjaan secara elektronik.

- IKK : Persentase Jenis Data dan Informasi Ketenagakerjaan yang terkini n/a 100% 100% 100% 100%
- IKK : Persentase Data dan Informasi yang dimanfaatkan oleh Stakeholder n/a 60% 65% 70% 75%

- IKK : Jumlah Pengakses Data dan Informasi pada web


2.000.000 2.250.000 2.500.000 2.750.000
satudata.kemnaker.go.id n/a
Akses Akses Akses Akses
-
IKK : Indeks Aspek Teknologi Informasi dan Komunikasi n/a n/a 2,75 3,00 3,25

- IKK : Indeks Aspek Penerapan Manajemen SPBE n/a n/a 3,00 3,25 3,50
- IKK : Indeks Aspek Audit TIK n/a n/a 2,75 3,00 3,25
Kegiatan 3 : Pengembangan Kebijakan Ketenagakerjaan 6.137 6.444 6.766 7.104

SK : Tersedianya Hasil Kajian Kebijakan Ketenagakerjaan

IKK : Persentase Rekomendasi Penyusunan dan Pengembangan Kebijakan yang


- dihasilkan sesuai dengan kebutuhan Kementerian 40% 45% 50% 55% 60%

IKK : Persentase Rekomendasi Hasil Evaluasi Program Prioritas


- Kementerian/Nasional n/a 60% 65% 70% 75%

SP : Meningkatnya Meningkatnya Tata Kelola Manajemen


Internal Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan

- IKP : Indeks PMPRB 76 35,05 35,35 35,65 35,95


- IKP : Persentase Temuan yang ditindaklanjuti 65% 70% 75% 80% 85%
- IKP : Nilai evaluasi SAKIP 83 84 85 86 87
Kegiatan 4 : Dukungan Manajemen dan manajemen teknis Lainnya Badan 52.280 54.894 57.638 60.520
Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan
SK 4 : Meningkatnya dukungan dan manajemen teknis
- IKK : Indeks PMPRB 76 35,05 35,35 35,65 35,95
- IKK : Persentase Temuan yang ditindaklanjuti 65% 70% 75% 80% 85%
- IKK : Nilai evaluasi SAKIP 83 84 85 86 87
2. Kerangka Pendanaan
Pendanaan pembangunan bidang ketenagakerjaan bersumber dari:
a. Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN).
b. Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD).
c. pendanaan swasta murni, termasuk dana pengembangan di
perusahaan/industri;
d. dana pinjaman dan hibah dari mitra pembangunan dalam negeri
maupun luar negeri;
e. iuran peserta dan pemberi kerja untuk sistem jaminan sosial
nasional;
f. pelatihan dan proses penempatan pekerja migran bersumber
dari swasta dan kredit perbankan.
Selama kurun waktu tahun 2020–2024 diperlukan anggaran
untuk Kementerian Ketenagakerjaan sebesar Rp40.201.556.000.000,00
(empat puluh triliun dua ratus satu milyar lima ratus lima puluh enam
juta rupiah). Terdapat pengurangan anggaran pada tahun 2020 sebesar
Rp2.430.062.123.000,00 (dua triliun empat ratus tiga puluh milyar
enam puluh dua juta seratus dua puluh tiga ribu rupiah) sesuai
dengan Keputusan Menteri Keuangan nomor 189.1/KMK.02/2020
tentang Perubahan atas Rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat
Tahun Anggaran 2020 dan penghematan anggaran pada tahun 2021
sebesar Rp232.708.893.000,00 (dua ratus tiga puluh dua milyar tujuh
ratus delapan juta delapan ratus sembilan puluh tiga ribu rupiah).
BAB V
PENUTUP

Rencana Strategis Kementerian Ketenagakerjaan Tahun 2020-2024 ini


memuat penyempurnaan sasaran, arah kebijakan dan strategi, dukungan
regulasi dan kelembagaan, program, kegiatan, serta target kinerja
pembangunan ketenagakerjaan dalam kurun waktu 2020-2024, yang telah
diselaraskan dengan agenda prioritas RPJMN 2020-2024. Rencana Strategis
ini akan menjadi pedoman dalam pelaksanaan pembangunan
ketenagakerjaan dalam kurun waktu 2020-2024, serta sebagai salah satu
instrumen awal untuk mengevaluasi pelaksanaan berbagai program dan
kegiatan pembangunan bidang Ketenagakerjaan.
Lebih lanjut, dokumen ini diharapkan juga berfungsi sebagai bahan
referensi bagi pemerintah pusat (baik kementerian maupun lembaga) dan
pemerintah daerah untuk menyusun program/kegiatan yang terkait bidang
ketenagakerjaan (baik langsung maupun tidak langsung) secara lebih
terintegrasi; bahan pengembangan organisasi berkinerja tinggi dan
berkelanjutan; serta instrumen untuk menciptakan harmonisasi
perencanaan program dan kegiatan pembangunan bidang Ketenagakerjaan
di Indonesia, yang terarah dan sesuai dengan RPJMN 2020-2024.
Diharapkan, berbagai agenda dan sasaran, arah kebijakan dan strategi,
serta program dan kegiatan bidang ketenagakerjaan yang telah dirancang
dalam Rencana Strategis ini dapat diimplementasikan dengan baik oleh
seluruh Unit Kerja di Lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan sehingga
memberikan kontribusi nyata terhadap agenda pembangunan nasional.

MENTERI KETENAGAKERJAAN
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

IDA FAUZIYAH

SALINAN SESUAI DENGAN ASLINYA


KEPALA BIRO HUKUM,

RENI MURSIDAYANTI
NIP 19720603 199903 2 001
SALINAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 35 TAHUN 2014
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002
TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia


menjamin kesejahteraan tiap warga negaranya,
termasuk perlindungan terhadap hak anak yang
merupakan hak asasi manusia;
b. bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. bahwa anak sebagai tunas, potensi, dan generasi
muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki
peran strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga wajib
dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak
manusiawi yang mengakibatkan terjadinya
pelanggaran hak asasi manusia;
d. bahwa dalam rangka meningkatkan perlindungan
terhadap anak perlu dilakukan penyesuaian
terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan
huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak;

Mengingat . . .

www.bphn.go.id
-2-

Mengingat : 1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28G
ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2), Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang


Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235);

3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang


Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5332);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA


dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-


UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG
PERLINDUNGAN ANAK.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23


Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4235) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan . . .

www.bphn.go.id
-3-

1. Ketentuan angka 7, angka 8, angka 12, angka 15,


dan angka 17 diubah, di antara angka 15 dan angka
16 disisipkan 1 (satu) angka, yakni angka 15a, dan
ditambah 1 (satu) angka yakni angka 18, sehingga
Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:


1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan.
2. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan
untuk menjamin dan melindungi Anak dan
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi.
3. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat
yang terdiri atas suami istri, atau suami istri
dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu
dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam
garis lurus ke atas atau ke bawah sampai
dengan derajat ketiga.
4. Orang Tua adalah ayah dan/atau ibu kandung,
atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah
dan/atau ibu angkat.
5. Wali adalah orang atau badan yang dalam
kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh
sebagai Orang Tua terhadap Anak.
6. Anak Terlantar adalah Anak yang tidak
terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik
fisik, mental, spiritual, maupun sosial.

7. Anak . . .
www.bphn.go.id
-4-

7. Anak Penyandang Disabilitas adalah Anak yang


memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual,
atau sensorik dalam jangka waktu lama yang
dalam berinteraksi dengan lingkungan dan
sikap masyarakatnya dapat menemui
hambatan yang menyulitkan untuk
berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan
kesamaan hak.
8. Anak yang Memiliki Keunggulan adalah Anak
yang mempunyai kecerdasan luar biasa atau
memiliki potensi dan/atau bakat istimewa tidak
terbatas pada kemampuan intelektual, tetapi
juga pada bidang lain.
9. Anak Angkat adalah Anak yang haknya
dialihkan dari lingkungan kekuasaan Keluarga
Orang Tua, Wali yang sah, atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan,
dan membesarkan Anak tersebut ke dalam
lingkungan Keluarga Orang Tua angkatnya
berdasarkan putusan atau penetapan
pengadilan.
10. Anak Asuh adalah Anak yang diasuh oleh
seseorang atau lembaga untuk diberikan
bimbingan, pemeliharaan, perawatan,
pendidikan, dan kesehatan karena Orang
Tuanya atau salah satu Orang Tuanya tidak
mampu menjamin tumbuh kembang Anak
secara wajar.
11. Kuasa Asuh adalah kekuasaan Orang Tua
untuk mengasuh, mendidik, memelihara,
membina, melindungi, dan
menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan
agama yang dianutnya dan sesuai dengan
kemampuan, bakat, serta minatnya.

12. Hak . . .
www.bphn.go.id
-5-

12. Hak Anak adalah bagian dari hak asasi


manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan
dipenuhi oleh Orang Tua, Keluarga,
masyarakat, negara, pemerintah, dan
pemerintah daerah.
13. Masyarakat adalah perseorangan, Keluarga,
kelompok, dan organisasi sosial dan/atau
organisasi kemasyarakatan.
14. Pendamping adalah pekerja sosial yang
mempunyai kompetensi profesional dalam
bidangnya.
15. Perlindungan Khusus adalah suatu bentuk
perlindungan yang diterima oleh Anak dalam
situasi dan kondisi tertentu untuk
mendapatkan jaminan rasa aman terhadap
ancaman yang membahayakan diri dan jiwa
dalam tumbuh kembangnya.
15a. Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap
Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual,
dan/atau penelantaran, termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum.
16. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau
korporasi.
17. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut
Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan pemerintahan
negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
18. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati,
dan walikota serta perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan.

2. Ketentuan . . .
www.bphn.go.id
-6-

2. Ketentuan Pasal 6 diubah dan penjelasan Pasal 6


diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6

Setiap Anak berhak untuk beribadah menurut


agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan
tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan
Orang Tua atau Wali.

3. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) diubah dan di antara


ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni
ayat (1a) sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9

(1) Setiap Anak berhak memperoleh pendidikan


dan pengajaran dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai
dengan minat dan bakat.

(1a) Setiap Anak berhak mendapatkan


perlindungan di satuan pendidikan dari
kejahatan seksual dan Kekerasan yang
dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan,
sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.

(2) Selain mendapatkan Hak Anak sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a), Anak
Penyandang Disabilitas berhak memperoleh
pendidikan luar biasa dan Anak yang memiliki
keunggulan berhak mendapatkan pendidikan
khusus.

4. Ketentuan . . .

www.bphn.go.id
-7-

4. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:

Pasal 12

Setiap Anak Penyandang Disabilitas berhak


memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan
pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

5. Ketentuan Pasal 14 ditambah 1 (satu) ayat, yakni


ayat (2) dan penjelasan Pasal 14 diubah sehingga
Pasal 14 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14

(1) Setiap Anak berhak untuk diasuh oleh Orang


Tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan
dan/atau aturan hukum yang sah
menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah
demi kepentingan terbaik bagi Anak dan
merupakan pertimbangan terakhir.
(2) Dalam hal terjadi pemisahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Anak tetap berhak:
a. bertemu langsung dan berhubungan
pribadi secara tetap dengan kedua Orang
Tuanya;
b. mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan,
pendidikan dan perlindungan untuk proses
tumbuh kembang dari kedua Orang
Tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat,
dan minatnya;
c. memperoleh pembiayaan hidup dari kedua
Orang Tuanya; dan
d. memperoleh Hak Anak lainnya.

6. Ketentuan . . .
www.bphn.go.id
-8-

6. Ketentuan Pasal 15 ditambah 1 (satu) huruf, yakni


huruf f, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15

Setiap Anak berhak untuk memperoleh perlindungan


dari:
a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
b. pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c. pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung
unsur Kekerasan;
e. pelibatan dalam peperangan; dan
f. kejahatan seksual.

7. Ketentuan Pasal 20 diubah, sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 20

Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah,


Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua atau Wali
berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan Perlindungan Anak

8. Ketentuan mengenai judul Bagian Kedua pada BAB


IV diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Bagian Kedua
Kewajiban dan Tanggung Jawab
Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah

9. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:

Pasal 21 . . .
www.bphn.go.id
-9-

Pasal 21

(1) Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah


berkewajiban dan bertanggung jawab
menghormati pemenuhan Hak Anak tanpa
membedakan suku, agama, ras, golongan,
jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa,
status hukum, urutan kelahiran, dan kondisi
fisik dan/atau mental.
(2) Untuk menjamin pemenuhan Hak Anak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), negara
berkewajiban untuk memenuhi, melindungi,
dan menghormati Hak Anak.
(3) Untuk menjamin pemenuhan Hak Anak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah berkewajiban dan bertanggung
jawab dalam merumuskan dan melaksanakan
kebijakan di bidang penyelenggaraan
Perlindungan Anak.
(4) Untuk menjamin pemenuhan Hak Anak dan
melaksanakan kebijakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Daerah
berkewajiban dan bertanggung jawab untuk
melaksanakan dan mendukung kebijakan
nasional dalam penyelenggaraan Perlindungan
Anak di daerah.

(5) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat


(4) dapat diwujudkan melalui upaya daerah
membangun kabupaten/kota layak Anak.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan


kabupaten/kota layak Anak sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) diatur dalam
Peraturan Presiden.

10. Ketentuan . . .
www.bphn.go.id
- 10 -

10. Ketentuan Pasal 22 diubah dan penjelasan Pasal 22


diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 22

Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah


berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan
dukungan sarana, prasarana, dan ketersediaan
sumber daya manusia dalam penyelenggaraan
Perlindungan Anak.

11. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 23

(1) Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah


menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan
kesejahteraan Anak dengan memperhatikan
hak dan kewajiban Orang Tua, Wali, atau
orang lain yang secara hukum bertanggung
jawab terhadap Anak.
(2) Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah
mengawasi penyelenggaraan Perlindungan
Anak.

12. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 24

Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah


menjamin Anak untuk mempergunakan haknya
dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia
dan tingkat kecerdasan Anak.

13. Ketentuan . . .
www.bphn.go.id
- 11 -

13. Ketentuan Pasal 25 ditambah 1 (satu) ayat, yakni


ayat (2), sehingga Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 25

(1) Kewajiban dan tanggung jawab Masyarakat


terhadap Perlindungan Anak dilaksanakan
melalui kegiatan peran Masyarakat dalam
penyelenggaraan Perlindungan Anak.

(2) Kewajiban dan tanggung jawab Masyarakat


sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dengan melibatkan organisasi
kemasyarakatan, akademisi, dan pemerhati
Anak.

14. Ketentuan mengenai judul Bagian Keempat pada BAB


IV diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Bagian Keempat
Kewajiban dan Tanggung Jawab Orang Tua dan
Keluarga

15. Ketentuan ayat (1) Pasal 26 ditambah 1 (satu) huruf,


yakni huruf d dan ayat (2) diubah sehingga Pasal 26
berbunyi sebagai berikut:

Pasal 26

(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung


jawab untuk:
a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan
melindungi Anak;
b. menumbuhkembangkan Anak sesuai
dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;

c. mencegah . . .
www.bphn.go.id
- 12 -

c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia


Anak; dan
d. memberikan pendidikan karakter dan
penanaman nilai budi pekerti pada Anak.

(2) Dalam hal Orang Tua tidak ada, atau tidak


diketahui keberadaannya, atau karena suatu
sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban
dan tanggung jawabnya, kewajiban dan
tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat beralih kepada Keluarga, yang
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

16. Ketentuan ayat (4) Pasal 27 diubah, sehingga Pasal


27 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 27

(1) Identitas diri setiap Anak harus diberikan


sejak kelahirannya.
(2) Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dituangkan dalam akta kelahiran.
(3) Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada
surat keterangan dari orang yang
menyaksikan dan/atau membantu proses
kelahiran.

(4) Dalam hal Anak yang proses kelahirannya


tidak diketahui dan Orang Tuanya tidak
diketahui keberadaannya, pembuatan akta
kelahiran untuk Anak tersebut didasarkan
pada keterangan orang yang menemukannya
dan dilengkapi berita acara pemeriksaan
kepolisian.

17. Ketentuan . . .
www.bphn.go.id
- 13 -

17. Ketentuan Pasal 28 diubah, sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 28

(1) Pembuatan akta kelahiran dilakukan oleh


instansi yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang administrasi
kependudukan.
(2) Pencatatan kelahiran diselenggarakan paling
rendah pada tingkat kelurahan/desa.
(3) Akta kelahiran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diterbitkan paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sejak tanggal dipenuhinya semua
persyaratan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dikenai biaya.
(5) Ketentuan mengenai tata cara dan syarat
pembuatan akta kelahiran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

18. Ketentuan ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5)
Pasal 33 diubah sehingga Pasal 33 berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 33

(1) Dalam hal Orang Tua dan Keluarga Anak tidak


dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung
jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26,
seseorang atau badan hukum yang memenuhi
persyaratan dapat ditunjuk sebagai Wali dari
Anak yang bersangkutan.

(2) Untuk . . .
www.bphn.go.id
- 14 -

(2) Untuk menjadi Wali dari Anak sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
penetapan pengadilan.
(3) Wali yang ditunjuk sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus memiliki kesamaan
dengan agama yang dianut Anak.
(4) Wali sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
bertanggung jawab terhadap diri Anak dan
wajib mengelola harta milik Anak yang
bersangkutan untuk kepentingan terbaik bagi
Anak.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan
tata cara penunjukan Wali sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

19. Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 1 (satu)


pasal, yakni Pasal 38A sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 38A

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan


pengasuhan Anak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 dan Pasal 38 diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

20. Ketentuan ayat (1), ayat (2), dan ayat (5) diubah, di
antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat,
yakni ayat (2a), dan di antara ayat (4) dan ayat (5)
disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (4a), sehingga
Pasal 39 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 39 . . .
www.bphn.go.id
- 15 -

Pasal 39

(1) Pengangkatan Anak hanya dapat dilakukan


untuk kepentingan yang terbaik bagi Anak dan
dilakukan berdasarkan adat kebiasaan
setempat dan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

(2) Pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) tidak memutuskan hubungan
darah antara Anak yang diangkat dan Orang
Tua kandungnya.
(2a) Pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib dicatatkan dalam akta
kelahiran, dengan tidak menghilangkan
identitas awal Anak.
(3) Calon Orang Tua angkat harus seagama
dengan agama yang dianut oleh calon Anak
Angkat.

(4) Pengangkatan Anak oleh warga negara asing


hanya dapat dilakukan sebagai upaya
terakhir.
(4a) Dalam hal Anak tidak diketahui asal usulnya,
orang yang akan mengangkat Anak tersebut
harus menyertakan identitas Anak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat
(4).
(5) Dalam hal asal usul Anak tidak diketahui,
agama Anak disesuaikan dengan agama
mayoritas penduduk setempat.

21. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 41 . . .
www.bphn.go.id
- 16 -

Pasal 41

Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat


melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan pengangkatan Anak.

22. Di antara Pasal 41 dan Pasal 42 disisipkan 1 (satu)


pasal, yakni Pasal 41A, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 41A

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaaan


pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 39, Pasal 40, dan Pasal 41 diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

23. Ketentuan ayat (1) Pasal 43 diubah sehingga Pasal 43


berbunyi sebagai berikut:

Pasal 43

(1) Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah,


Masyarakat, Keluarga, Orang Tua, Wali, dan
lembaga sosial menjamin Perlindungan Anak
dalam memeluk agamanya.
(2) Perlindungan Anak dalam memeluk agamanya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan
ajaran agama bagi Anak.

24. Ketentuan Pasal 44 diubah, sehingga Pasal 44


berbunyi sebagai berikut:

Pasal 44 . . .
www.bphn.go.id
- 17 -

Pasal 44

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib


menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan
upaya kesehatan yang komprehensif bagi Anak
agar setiap Anak memperoleh derajat
kesehatan yang optimal sejak dalam
kandungan.
(2) Penyediaan fasilitas dan penyelenggaraan
upaya kesehatan secara komprehensif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didukung oleh peran serta Masyarakat.
(3) Upaya kesehatan yang komprehensif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
upaya promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif, baik untuk pelayanan kesehatan
dasar maupun rujukan.
(4) Upaya kesehatan yang komprehensif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan secara cuma-cuma bagi
Keluarga yang tidak mampu.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4)
disesuaikan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

25. Ketentuan ayat (2) dan ayat (3) Pasal 45 diubah,


sehingga Pasal 45 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 45

(1) Orang Tua dan Keluarga bertanggung jawab


menjaga kesehatan Anak dan merawat Anak
sejak dalam kandungan.

(2) Dalam . . .

www.bphn.go.id
- 18 -

(2) Dalam hal Orang Tua dan Keluarga yang tidak


mampu melaksanakan tanggung jawab
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
memenuhinya.

(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat


(2), pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

26. Di antara Pasal 45 dan Pasal 46 disisipkan 2 (dua)


pasal, yakni Pasal 45A dan Pasal 45B sehingga
berbunyi sebagai berikut:

Pasal 45A

Setiap Orang dilarang melakukan aborsi terhadap


Anak yang masih dalam kandungan, kecuali dengan
alasan dan tata cara yang dibenarkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 45B

(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat,


dan Orang Tua wajib melindungi Anak dari
perbuatan yang mengganggu kesehatan dan
tumbuh kembang Anak.

(2) Dalam menjalankan kewajibannya


sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat,
dan Orang Tua harus melakukan aktivitas
yang melindungi Anak.

27. Ketentuan . . .

www.bphn.go.id
- 19 -

27. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 46

Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Keluarga,


dan Orang Tua wajib mengusahakan agar Anak yang
lahir terhindar dari penyakit yang mengancam
kelangsungan hidup dan/atau menimbulkan
kecacatan.

28. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 47

(1) Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah,


Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua wajib
melindungi Anak dari upaya transplantasi
organ tubuhnya untuk pihak lain.

(2) Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah,


Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua wajib
melindungi Anak dari perbuatan:
a. pengambilan organ tubuh Anak dan/atau
jaringan tubuh Anak tanpa
memperhatikan kesehatan Anak;
b. jual beli organ dan/atau jaringan tubuh
Anak; dan
c. penelitian kesehatan yang menggunakan
Anak sebagai objek penelitian tanpa seizin
Orang Tua dan tidak mengutamakan
kepentingan yang terbaik bagi Anak.

29. Ketentuan . . .

www.bphn.go.id
- 20 -

29. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 48

Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib


menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9
(sembilan) tahun untuk semua Anak.

30. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 49

Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Keluarga,


dan Orang Tua wajib memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada Anak untuk memperoleh
pendidikan.

31. Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 51

Anak Penyandang Disabilitas diberikan kesempatan


dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan
inklusif dan/atau pendidikan khusus.

32. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 53 . . .

www.bphn.go.id
- 21 -

Pasal 53

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah


bertanggung jawab untuk memberikan biaya
pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma
atau pelayanan khusus bagi Anak dari
Keluarga kurang mampu, Anak Terlantar, dan
Anak yang bertempat tinggal di daerah
terpencil.

(2) Pertanggungjawaban Pemerintah dan


Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) termasuk pula mendorong
Masyarakat untuk berperan aktif.

33. Ketentuan Pasal 54 diubah dan ditambah penjelasan


ayat (1) sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 54

(1) Anak di dalam dan di lingkungan satuan


pendidikan wajib mendapatkan perlindungan
dari tindak Kekerasan fisik, psikis, kejahatan
seksual, dan kejahatan lainnya yang
dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan,
sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga
kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau
Masyarakat.

34. Ketentuan Pasal 55 diubah, sehingga Pasal 55


berbunyi sebagai berikut:

Pasal 55 . . .

www.bphn.go.id
- 22 -

Pasal 55

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib


menyelenggarakan pemeliharaan, perawatan,
dan rehabilitasi sosial Anak terlantar, baik di
dalam lembaga maupun di luar lembaga.
(2) Penyelenggaraan pemeliharaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh
lembaga masyarakat.
(3) Untuk menyelenggarakan pemeliharaan dan
perawatan Anak terlantar, lembaga
pemerintah dan lembaga masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
mengadakan kerja sama dengan berbagai
pihak yang terkait.
(4) Dalam hal penyelenggaraan pemeliharaan dan
perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), pengawasannya dilakukan oleh
kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang sosial.

35. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 56

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam


menyelenggarakan pemeliharaan dan
perawatan wajib mengupayakan dan
membantu Anak, agar Anak dapat:
a. berpartisipasi;
b. bebas menyatakan pendapat dan berpikir
sesuai dengan hati nurani dan agamanya;

c. bebas . . .
www.bphn.go.id
- 23 -

c. bebas menerima informasi lisan atau


tertulis sesuai dengan tahapan usia dan
perkembangan Anak;
d. bebas berserikat dan berkumpul;
e. bebas beristirahat, bermain, berekreasi,
berkreasi, dan berkarya seni budaya; dan
f. memperoleh sarana bermain yang
memenuhi syarat kesehatan dan
keselamatan.

(2) Upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dikembangkan dan disesuaikan dengan usia
Anak, tingkat kemampuan Anak, dan
lingkungannya agar tidak menghambat dan
mengganggu perkembangan Anak.

36. Ketentuan ayat (2) Pasal 58 diubah sehingga Pasal


58 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 58

(1) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 57 sekaligus menetapkan tempat
penampungan, pemeliharaan, dan perawatan
Anak Terlantar yang bersangkutan.

(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah atau


lembaga yang diberi wewenang wajib
menyediakan tempat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).

37. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 59 . . .
www.bphn.go.id
- 24 -

Pasal 59

(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga


negara lainnya berkewajiban dan bertanggung
jawab untuk memberikan Perlindungan
Khusus kepada Anak.

(2) Perlindungan Khusus kepada Anak


sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan kepada:
a. Anak dalam situasi darurat;
b. Anak yang berhadapan dengan hukum;
c. Anak dari kelompok minoritas dan
terisolasi;
d. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi
dan/atau seksual;
e. Anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
f. Anak yang menjadi korban pornografi;
g. Anak dengan HIV/AIDS;
h. Anak korban penculikan, penjualan,
dan/atau perdagangan;
i. Anak korban Kekerasan fisik dan/atau
psikis;
j. Anak korban kejahatan seksual;
k. Anak korban jaringan terorisme;
l. Anak Penyandang Disabilitas;
m. Anak korban perlakuan salah dan
penelantaran;
n. Anak dengan perilaku sosial
menyimpang; dan

o. Anak . . .

www.bphn.go.id
- 25 -

o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi


dari pelabelan terkait dengan kondisi
Orang Tuanya.

38. Di antara Pasal 59 dan Pasal 60 disisipkan 1 (satu)


pasal, yakni Pasal 59A sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 59A

Perlindungan Khusus bagi Anak sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dilakukan melalui
upaya:
a. penanganan yang cepat, termasuk pengobatan
dan/atau rehabilitasi secara fisik, psikis, dan
sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan
kesehatan lainnya;
b. pendampingan psikososial pada saat pengobatan
sampai pemulihan;
c. pemberian bantuan sosial bagi Anak yang
berasal dari Keluarga tidak mampu; dan
d. pemberian perlindungan dan pendampingan
pada setiap proses peradilan.

39. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 60

Anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 59 ayat (2) huruf a terdiri atas:
a. Anak yang menjadi pengungsi;
b. Anak korban kerusuhan;

c. Anak . . .
www.bphn.go.id
- 26 -

c. Anak korban bencana alam; dan


d. Anak dalam situasi konflik bersenjata.

40. Ketentuan Pasal 63 dihapus.

41. Ketentuan Pasal 64 diubah sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 64

Perlindungan Khusus bagi Anak yang berhadapan


dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
59 ayat (2) huruf b dilakukan melalui:
a. perlakuan secara manusiawi dengan
memperhatikan kebutuhan sesuai dengan
umurnya;
b. pemisahan dari orang dewasa;
c. pemberian bantuan hukum dan bantuan lain
secara efektif;
d. pemberlakuan kegiatan rekreasional;
e. pembebasan dari penyiksaan, penghukuman,
atau perlakuan lain yang kejam, tidak
manusiawi serta merendahkan martabat dan
derajatnya;
f. penghindaran dari penjatuhan pidana mati
dan/atau pidana seumur hidup;
g. penghindaran dari penangkapan, penahanan
atau penjara, kecuali sebagai upaya terakhir
dan dalam waktu yang paling singkat;
h. pemberian keadilan di muka pengadilan Anak
yang objektif, tidak memihak, dan dalam
sidang yang tertutup untuk umum;
i. penghindaran dari publikasi atas identitasnya.

j. pemberian . . .
www.bphn.go.id
- 27 -

j. pemberian pendampingan Orang Tua/Wali


dan orang yang dipercaya oleh Anak;
k. pemberian advokasi sosial;
l. pemberian kehidupan pribadi;
m. pemberian aksesibilitas, terutama bagi Anak
Penyandang Disabilitas;
n. pemberian pendidikan;
o. pemberian pelayanan kesehatan; dan
p. pemberian hak lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

42. Ketentuan Pasal 65 diubah sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 65

Perlindungan Khusus bagi Anak dari kelompok


minoritas dan terisolasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59 ayat (2) huruf c dilakukan melalui
penyediaan prasarana dan sarana untuk dapat
menikmati budayanya sendiri, mengakui dan
melaksanakan ajaran agamanya sendiri, dan
menggunakan bahasanya sendiri.

43. Ketentuan Pasal 66 diubah dan ditambah penjelasan


sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 66

Perlindungan Khusus bagi Anak yang dieksploitasi


secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf d dilakukan
melalui:

a. penyebarluasan . . .
www.bphn.go.id
- 28 -

a. penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan


peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan Perlindungan Anak yang dieksploitasi
secara ekonomi dan/atau seksual;
b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi;
dan
c. pelibatan berbagai perusahaan, serikat pekerja,
lembaga swadaya masyarakat, dan Masyarakat
dalam penghapusan eksploitasi terhadap Anak
secara ekonomi dan/atau seksual.

44. Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 67

Perlindungan khusus bagi Anak yang menjadi


korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf e dan Anak
yang terlibat dalam produksi dan distribusinya
dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan,
perawatan, dan rehabilitasi.

45. Di antara Pasal 67 dan Pasal 68 disisipkan 3 (tiga)


pasal, yakni Pasal 67A, Pasal 67B, dan Pasal 67C
sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 67A

Setiap Orang wajib melindungi Anak dari pengaruh


pornografi dan mencegah akses Anak terhadap
informasi yang mengandung unsur pornografi.

Pasal 67B . . .
www.bphn.go.id
- 29 -

Pasal 67B

(1) Perlindungan Khusus bagi Anak yang menjadi


korban pornografi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59 ayat (2) huruf f dilaksanakan
melalui upaya pembinaan, pendampingan,
serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan
mental.
(2) Pembinaan, pendampingan, serta pemulihan
sosial, kesehatan fisik dan mental
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 67C

Perlindungan Khusus bagi Anak dengan HIV/AIDS


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2)
huruf g dilakukan melalui upaya pengawasan,
pencegahan, pengobatan, perawatan, dan
rehabilitasi.

46. Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 68

Perlindungan Khusus bagi Anak korban penculikan,


penjualan, dan/atau perdagangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 ayat 2 huruf h dilakukan
melalui upaya pengawasan, perlindungan,
pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi.

47. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 69 . . .
www.bphn.go.id
- 30 -

Pasal 69

Perlindungan Khusus bagi Anak korban Kekerasan


fisik dan/atau psikis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 ayat (2) huruf i dilakukan melalui upaya:
a. penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan
peraturan perundang-undangan yang
melindungi Anak korban tindak Kekerasan;
dan
b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian
sanksi.

48. Di antara Pasal 69 dan Pasal 70 disisipkan 2 (dua)


pasal, yakni Pasal 69A dan Pasal 69B sehingga
berbunyi sebagai berikut:

Pasal 69A

Perlindungan Khusus bagi Anak korban kejahatan


seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat
(2) huruf j dilakukan melalui upaya:
a. edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai
agama, dan nilai kesusilaan;
b. rehabilitasi sosial;
c. pendampingan psikososial pada saat
pengobatan sampai pemulihan; dan
d. pemberian perlindungan dan pendampingan
pada setiap tingkat pemeriksaan mulai dari
penyidikan, penuntutan, sampai dengan
pemeriksaan di sidang pengadilan.

Pasal 69B . . .

www.bphn.go.id
- 31 -

Pasal 69B

Perlindungan Khusus bagi Anak korban jaringan


terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
ayat (2) huruf k dilakukan melalui upaya:
a. edukasi tentang pendidikan, ideologi, dan nilai
nasionalisme;
b. konseling tentang bahaya terorisme;
c. rehabilitasi sosial; dan
d. pendampingan sosial.

49. Ketentuan Pasal 70 diubah dan huruf b ditambah


penjelasan sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 70

Perlindungan Khusus bagi Anak Penyandang


Disabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
ayat 2 huruf l dilakukan melalui upaya:
a. perlakuan Anak secara manusiawi sesuai
dengan martabat dan Hak Anak;
b. pemenuhan kebutuhan khusus;
c. perlakuan yang sama dengan Anak lainnya
untuk mencapai integrasi sosial sepenuh
mungkin dan pengembangan individu; dan
d. pendampingan sosial.

50. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 71 . . .

www.bphn.go.id
- 32 -

Pasal 71

Perlindungan Khusus bagi Anak korban perlakuan


salah dan penelantaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59 ayat (2) huruf m dilakukan melalui
upaya pengawasan, pencegahan, perawatan,
konseling, rehabilitasi sosial, dan pendampingan
sosial.

51. Di antara Pasal 71 dan Pasal 72 disisipkan 4 (empat)


pasal, yakni Pasal 71A, Pasal 71B, Pasal 71C, dan
Pasal 71D sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 71A

Perlindungan Khusus bagi Anak dengan perilaku


sosial menyimpang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 ayat (2) huruf n dilakukan melalui
bimbingan nilai agama dan nilai sosial, konseling,
rehabilitasi sosial, dan pendampingan sosial.

Pasal 71B

Perlindungan khusus bagi Anak yang menjadi


korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan
kondisi Orang Tuanya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 ayat (2) huruf o dilakukan melalui
konseling, rehabilitasi sosial, dan pendampingan
sosial.

Pasal 71C . .

www.bphn.go.id
- 33 -

Pasal 71C

Ketentuan lebih lanjut mengenai Perlindungan


Khusus bagi Anak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 sampai dengan Pasal 71B diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 71D

(1) Setiap Anak yang menjadi korban


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat
(2) huruf b, huruf d, huruf f, huruf h, huruf i,
dan huruf j berhak mengajukan ke pengadilan
berupa hak atas restitusi yang menjadi
tanggung jawab pelaku kejahatan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan


restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

52. Di antara BAB IX dan BAB X disisipkan 1 (satu) bab,


yakni BAB IXA sehingga berbunyi sebagai berikut:

BAB IXA
PENDANAAN

53. Di antara Pasal 71D dan Pasal 72 disisipkan 1 (satu)


pasal, yakni Pasal 71E sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 71E

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah


bertanggung jawab menyediakan dana
penyelenggaraan Perlindungan Anak.

(2) Pendanaan . . .
www.bphn.go.id
- 34 -

(2) Pendanaan penyelenggaraan Perlindungan


Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bersumber dari:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
dan
c. sumber dana lain yang sah dan tidak
mengikat.
(3) Sumber dana lain yang sah dan tidak
mengikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf c dikelola sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

54. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 72

(1) Masyarakat berperan serta dalam


Perlindungan Anak, baik secara perseorangan
maupun kelompok.
(2) Peran Masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh orang
perseorangan, lembaga perlindungan anak,
lembaga kesejahteraan sosial, organisasi
kemasyarakatan, lembaga pendidikan, media
massa, dan dunia usaha.
(3) Peran Masyarakat dalam penyelenggaran
Perlindungan Anak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
a. memberikan informasi melalui sosialisasi
dan edukasi mengenai Hak Anak dan
peraturan perundang-undangan tentang
Anak;

b. memberikan . . .
www.bphn.go.id
- 35 -

b. memberikan masukan dalam perumusan


kebijakan yang terkait Perlindungan Anak;
c. melaporkan kepada pihak berwenang jika
terjadi pelanggaran Hak Anak;
d. berperan aktif dalam proses rehabilitasi
dan reintegrasi sosial bagi Anak;
e. melakukan pemantauan, pengawasan dan
ikut bertanggungjawab terhadap
penyelenggaraan Perlindungan Anak;
f. menyediakan sarana dan prasarana serta
menciptakan suasana kondusif untuk
tumbuh kembang Anak;
g. berperan aktif dengan menghilangkan
pelabelan negatif terhadap Anak korban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59;
dan
h. memberikan ruang kepada Anak untuk
dapat berpartisipasi dan menyampaikan
pendapat.

(4) Peran organisasi kemasyarakatan dan lembaga


pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan dengan cara mengambil langkah
yang diperlukan sesuai tugas, fungsi, dan
kewenangan masing-masing untuk membantu
penyelenggaraan Perlindungan Anak.

(5) Peran media massa sebagaimana dimaksud


pada ayat (2) dilakukan melalui
penyebarluasan informasi dan materi edukasi
yang bermanfaat dari aspek sosial, budaya,
pendidikan, agama, dan kesehatan Anak
dengan memperhatikan kepentingan terbaik
bagi Anak.

(6) Peran . . .
www.bphn.go.id
- 36 -

(6) Peran dunia usaha sebagaimana dimaksud


pada ayat (2) dilakukan melalui:
a. kebijakan perusahaan yang berperspektif
Anak;
b. produk yang ditujukan untuk Anak harus
aman bagi Anak;
c. berkontribusi dalam pemenuhan Hak Anak
melalui tanggung jawab sosial perusahaan.

55. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 73

Peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 72 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

56. Di antara BAB X dan BAB XI disisipkan 1 (satu) bab,


yakni BAB XA, sehingga berbunyi sebagai berikut:

BAB XA

KOORDINASI, PEMANTAUAN, EVALUASI DAN


PELAPORAN

57. Di antara Pasal 73 dan Pasal 74 disisipkan 1 (satu)


pasal, yakni Pasal 73A sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 73A . . .

www.bphn.go.id
- 37 -

Pasal 73A

(1) Dalam rangka efektivitas penyelenggaraan


Perlindungan Anak, kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang Perlindungan Anak harus melakukan
koordinasi lintas sektoral dengan lembaga
terkait.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan melalui pemantauan, evaluasi,
dan pelaporan penyelenggaraan Perlindungan
Anak.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
penyelenggaraan koordinasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

58. Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 74

(1) Dalam rangka meningkatkan efektivitas


pengawasan penyelenggaraan pemenuhan Hak
Anak, dengan Undang-Undang ini dibentuk
Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang
bersifat independen.
(2) Dalam hal diperlukan, Pemerintah Daerah
dapat membentuk Komisi Perlindungan Anak
Daerah atau lembaga lainnya yang sejenis
untuk mendukung pengawasan
penyelenggaraan Perlindungan Anak di
daerah.

59. Ketentuan . . .
www.bphn.go.id
- 38 -

59. Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 75

(1) Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak


Indonesia terdiri atas 1 (satu) orang ketua, 1
(satu) orang wakil ketua, dan 7 (tujuh) orang
anggota.

(2) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud


dalam ayat (1) terdiri atas unsur Pemerintah,
tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi
kemasyarakatan, dunia usaha, dan kelompok
masyarakat yang peduli terhadap
Perlindungan Anak.

(3) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dan ayat (2) diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia, untuk masa jabatan 5
(lima) tahun dan dapat diangkat kembali
untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelengkapan


organisasi, mekanisme kerja, dan pembiayaan
diatur dengan Peraturan Presiden.

60. Ketentuan Pasal 76 diubah sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 76

Komisi Perlindungan Anak Indonesia bertugas:

a. melakukan . . .

www.bphn.go.id
- 39 -

a. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan


perlindungan dan pemenuhan Hak Anak;
b. memberikan masukan dan usulan dalam
perumusan kebijakan tentang penyelenggaraan
Perlindungan Anak.
c. mengumpulkan data dan informasi mengenai
Perlindungan Anak;
d. menerima dan melakukan penelaahan atas
pengaduan Masyarakat mengenai pelanggaran
Hak Anak;
e. melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran
Hak Anak;
f. melakukan kerja sama dengan lembaga yang
dibentuk Masyarakat di bidang Perlindungan
Anak; dan

g. memberikan laporan kepada pihak berwajib


tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap
Undang-Undang ini.

61. Di antara BAB XI dan BAB XII disisipkan 1 (satu)


bab, yakni BAB XIA, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

BAB XIA

LARANGAN

62. Di antara Pasal 76 dan Pasal 77 disisipkan 10


(sepuluh) pasal, yakni Pasal 76A, Pasal 76B, Pasal
76C, Pasal 76D, Pasal 76E, Pasal 76F, Pasal 76G,
Pasal 76H, Pasal 76I, dan Pasal 76J sehingga
berbunyi sebagai berikut:

Pasal 76A . . .
www.bphn.go.id
- 40 -

Pasal 76A

Setiap orang dilarang:


a. memperlakukan Anak secara diskriminatif
yang mengakibatkan Anak mengalami
kerugian, baik materiil maupun moril sehingga
menghambat fungsi sosialnya; atau
b. memperlakukan Anak Penyandang Disabilitas
secara diskriminatif.

Pasal 76B

Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan,


melibatkan, menyuruh melibatkan Anak dalam
situasi perlakuan salah dan penelantaran.

Pasal 76C

Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan,


melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta
melakukan Kekerasan terhadap Anak.

Pasal 76D

Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau


ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pasal 76E

Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau


ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu
muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau
membujuk Anak untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

Pasal 76F . . .
www.bphn.go.id
- 41 -

Pasal 76F

Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan,


melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta
melakukan penculikan, penjualan, dan/atau
perdagangan Anak.

Pasal 76G

Setiap Orang dilarang menghalang-halangi Anak


untuk menikmati budayanya sendiri, mengakui dan
melaksanakan ajaran agamanya dan/atau
menggunakan bahasanya sendiri tanpa
mengabaikan akses pembangunan Masyarakat dan
budaya.

Pasal 76H

Setiap Orang dilarang merekrut atau memperalat


Anak untuk kepentingan militer dan/atau lainnya
dan membiarkan Anak tanpa perlindungan jiwa.

Pasal 76I

Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan,


melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta
melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau
seksual terhadap Anak.

Pasal 76J

(1) Setiap Orang dilarang dengan sengaja


menempatkan, membiarkan, melibatkan,
menyuruh melibatkan Anak dalam
penyalahgunaan, serta produksi dan distribusi
narkotika dan/atau psikotropika.

(2) Setiap . . .
www.bphn.go.id
- 42 -

(2) Setiap Orang dilarang dengan sengaja


menempatkan, membiarkan, melibatkan,
menyuruh melibatkan Anak dalam
penyalahgunaan, serta produksi dan distribusi
alkohol dan zat adiktif lainnya.

63. Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 77

Setiap Orang yang melanggar ketentuan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76A dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).

64. Di antara Pasal 77 dan Pasal 78 disisipkan 2 (dua)


pasal, yakni Pasal 77A dan Pasal 77B sehingga
berbunyi sebagai berikut:

Pasal 77A

(1) Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan


aborsi terhadap Anak yang masih dalam
kandungan dengan alasan dan tata cara yang
tidak dibenarkan oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45A, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah kejahatan.

Pasal 77 B . . .
www.bphn.go.id
- 43 -

Pasal 77B

Setiap Orang yang melanggar ketentuan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76B, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).

65. Ketentuan Pasal 80 diubah sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 80

(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda
paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh
dua juta rupiah).

(2) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada


ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan/atau denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(4) Pidana . . .

www.bphn.go.id
- 44 -

(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) apabila yang melakukan
penganiayaan tersebut Orang Tuanya.

66. Ketentuan Pasal 81 diubah sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 81

(1) Setiap orang yang melangggar ketentuan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D
dipidana dengan pidana penjara paling singkat
5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap Orang
yang dengan sengaja melakukan tipu
muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk Anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain.

(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang
Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau
tenaga kependidikan, maka pidananya
ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

67. Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 82 . . .

www.bphn.go.id
- 45 -

Pasal 82

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E
dipidana dengan pidana penjara paling singkat
5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang
Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau
tenaga kependidikan, maka pidananya
ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

68. Ketentuan Pasal 83 diubah sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 83

Setiap orang yang melanggar ketentuan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76F dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling sedikit Rp60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah).

69. Di antara Pasal 86 dan Pasal 87 disisipkan 1 (satu)


pasal, yakni Pasal 86A sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 86A . . .

www.bphn.go.id
- 46 -

Pasal 86A

Setiap Orang yang melanggar ketentuan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76G dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).

70. Ketentuan Pasal 87 diubah sehingga berbunyi


sebagai berikut:
Pasal 87

Setiap Orang yang melanggar ketentuan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76H dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).

71. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 88

Setiap Orang yang melanggar ketentuan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76I, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan/atau denda paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

72. Ketentuan Pasal 89 diubah sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 89 . . .

www.bphn.go.id
- 47 -

Pasal 89

(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76J ayat
(1), dipidana dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).

(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76J ayat
(2), dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dan
denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah).

73. Di antara Pasal 91 dan Pasal 92 disisipkan 1 (satu)


pasal, yakni Pasal 91A sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 91A

Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang dibentuk


berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak tetap menjalankan tugas
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pasal II

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal


diundangkan.

Agar . . .
www.bphn.go.id
- 48 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 17 Oktober 2014
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta,
pada tanggal 17 Oktober 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 297

www.bphn.go.id
PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 35 TAHUN 2014

TENTANG

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002

TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

I. UMUM

Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari


keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa
dan negara. Agar kelak mampu bertanggung jawab dalam
keberlangsungan bangsa dan negara, setiap Anak perlu mendapat
kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang
secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial. Untuk itu, perlu
dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan
Anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya
tanpa perlakuan diskriminatif.

Negara menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk di


dalamnya hak asasi Anak yang ditandai dengan adanya jaminan
perlindungan dan pemenuhan Hak Anak dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan beberapa
ketentuan peraturan perundang-undangan baik yang bersifat nasional
maupun yang bersifat internasional. Jaminan ini dikuatkan melalui
ratifikasi konvensi internasional tentang Hak Anak, yaitu pengesahan
Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun
1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of The Child
(Konvensi Tentang Hak-Hak Anak).

Negara . . .
www.bphn.go.id
-2-

Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga


dan Orang Tua berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan
menjamin terpenuhinya hak asasi Anak sesuai dengan tugas dan
tanggung jawabnya. Perlindungan terhadap Anak yang dilakukan
selama ini belum memberikan jaminan bagi Anak untuk mendapatkan
perlakuan dan kesempatan yang sesuai dengan kebutuhannya dalam
berbagai bidang kehidupan, sehingga dalam melaksanakan upaya
perlindungan terhadap Hak Anak oleh Pemerintah harus didasarkan
pada prinsip hak asasi manusia yaitu penghormatan, pemenuhan,
dan perlindungan atas Hak Anak.

Sebagai implementasi dari ratifikasi tersebut, Pemerintah telah


mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, yang secara substantif telah mengatur beberapa
hal antara lain persoalan Anak yang sedang berhadapan dengan
hukum, Anak dari kelompok minoritas, Anak dari korban eksploitasi
ekonomi dan seksual, Anak yang diperdagangkan, Anak korban
kerusuhan, Anak yang menjadi pengungsi dan Anak dalam situasi
konflik bersenjata, Perlindungan Anak yang dilakukan berdasarkan
prinsip nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan
terhadap pendapat anak, hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang.
Dalam pelaksanaannya Undang-Undang tersebut telah sejalan
dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 terkait jaminan hak asasi manusia, yaitu Anak sebagai
manusia memiliki hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang.

Walaupun instrumen hukum telah dimiliki, dalam


perjalanannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak belum dapat berjalan secara efektif karena masih
adanya tumpang tindih antarperaturan perundang-undangan sektoral
terkait dengan definisi Anak. Di sisi lain, maraknya kejahatan
terhadap Anak di Masyarakat, salah satunya adalah kejahatan
seksual, memerlukan peningkatan komitmen dari Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan Masyarakat serta semua pemangku
kepentingan yang terkait dengan penyelenggaraan Perlindungan Anak.

Untuk . . .
www.bphn.go.id
-3-

Untuk efektivitas pengawasan penyelenggaraan Perlindungan


Anak diperlukan lembaga independen yang diharapkan dapat
mendukung Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam
penyelenggaraan Perlindungan Anak.

Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang


Perlindungan Anak juga mempertegas tentang perlunya pemberatan
sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap Anak, untuk
memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah konkret
untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial Anak korban
dan/atau Anak pelaku kejahatan. Hal tersebut perlu dilakukan untuk
mengantisipasi Anak korban dan/atau Anak pelaku kejahatan di
kemudian hari tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal I

Angka 1

Pasal 1

Cukup jelas.

Angka 2

Pasal 6

Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kebebasan


kepada Anak dalam rangka mengembangkan kreativitas
dan intelektualitasnya (daya nalarnya) sesuai dengan
tingkat usia Anak. Ketentuan pasal ini juga menegaskan
bahwa pengembangan tersebut masih tetap harus berada
dalam bimbingan Orang Tua atau Walinya.

Angka 3

Pasal 9

Cukup jelas.

Angka 4 . . .

www.bphn.go.id
-4-

Angka 4

Pasal 12

Hak dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin


kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan,
meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan
berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.

Angka 5

Pasal 14

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “pemisahan” antara lain


pemisahan akibat perceraian dan situasi lainnya
dengan tidak menghilangkan hubungan Anak dengan
kedua Orang Tuanya, seperti Anak yang ditinggal
Orang Tuanya ke luar negeri untuk bekerja, Anak
yang Orang Tuanya ditahan atau dipenjara.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Angka 6

Pasal 15

Perlindungan dalam ketentuan ini meliputi kegiatan yang


bersifat langsung dan tidak langsung, dari tindakan yang
membahayakan Anak secara fisik dan psikis.

Angka 7

Pasal 20

Cukup jelas.

Angka 8

Cukup jelas.

Angka 9. . .
www.bphn.go.id
-5-

Angka 9

Pasal 21

Cukup jelas.

Angka 10

Pasal 22

Yang dimaksud dengan “dukungan sarana dan


prasarana”, misalnya sekolah, lapangan bermain,
lapangan olahraga, rumah ibadah, fasilitas pelayanan
kesehatan, gedung kesenian, tempat rekreasi, ruang
menyusui, tempat penitipan Anak, termasuk optimalisasi
dari unit pelaksana teknis penyelenggaraan Perlindungan
Anak yang ada di daerah.

Angka 11

Pasal 23

Cukup jelas.

Angka 12

Pasal 24

Cukup jelas.

Angka 13

Pasal 25

Cukup jelas.

Angka 14

Cukup jelas.

Angka 15

Pasal 26

Cukup jelas.

Angka 16 . . .
www.bphn.go.id
-6-

Angka 16

Pasal 27

Cukup jelas.

Angka 17

Pasal 28

Cukup jelas.

Angka 18

Pasal 33

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Pengadilan yang dimaksud dalam ketentuan ini


adalah Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam
dan Pengadilan Negeri bagi yang beragama selain
Islam.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Angka 19

Pasal 38A

Cukup jelas.

Angka 20 . . .

www.bphn.go.id
-7-

Angka 20
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (2a)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (4a)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Ketentuan ini berlaku untuk Anak yang belum
berakal dan bertanggung jawab, dan penyesuaian
agamanya dilakukan oleh mayoritas penduduk
setempat (setingkat desa atau kelurahan) secara
musyawarah, dan telah diadakan penelitian yang
sungguh-sungguh.

Angka 21
Pasal 41
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 41A
Cukup jelas.

Angka 23 . . .

www.bphn.go.id
-8-

Angka 23

Pasal 43

Cukup jelas.

Angka 24

Pasal 44

Cukup jelas.

Angka 25

Pasal 45

Cukup jelas.

Angka 26

Pasal 45A

Cukup jelas.

Pasal 45B

Cukup jelas.

Angka 27

Pasal 46

Penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan


menimbulkan kecacatan, misalnya Human
Immunodeficiency Virus (HIV) atau Acquired Immuno
Deficiency Syndrome (AIDS), Tuberculosis (TBC), kusta, dan
polio.

Angka 28

Pasal 47
Cukup jelas.

Angka 29

Pasal 48

Cukup jelas.

Angka 30 . . .
www.bphn.go.id
-9-

Angka 30
Pasal 49
Cukup jelas.
Angka 31
Pasal 51
Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 53
Cukup jelas.
Angka 33
Pasal 54
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “lingkungan satuan
pendidikan” adalah tempat atau wilayah
berlangsungnya proses pendidikan.
Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain
petugas keamanan, petugas kebersihan, penjual
makanan, petugas kantin, petugas jemputan sekolah,
dan penjaga sekolah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 34
Pasal 55
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan frasa dalam lembaga adalah
melalui sistem panti pemerintah dan panti swasta,
sedangkan frasa di luar lembaga adalah sistem
asuhan Keluarga/perseorangan.

Ayat (2) . . .
www.bphn.go.id
- 10 -

Ayat (2)

Cukup jelas.
Ayat (3)

Cukup jelas.
Ayat (4)

Cukup jelas.
Angka 35

Pasal 56

Cukup jelas.

Angka 36

Pasal 58

Cukup jelas.

Angka 37

Pasal 59

Cukup jelas.

Angka 38

Pasal 59A

Cukup jelas.

Angka 39

Pasal 60

Cukup jelas.

Angka 40

Pasal 63

Dihapus.

Angka 41 . . .

www.bphn.go.id
- 11 -

Angka 41

Pasal 64

Cukup jelas.

Angka 42

Pasal 65

Cukup jelas.

Angka 43

Pasal 66

Yang dimaksud dengan “dieksploitasi secara ekonomi”


adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan Anak
yang menjadi korban yang meliputi tetapi tidak terbatas
pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan
atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan,
pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara
melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi
organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan
tenaga atau kemampuan Anak oleh pihak lain untuk
mendapatkan keuntungan materiil.

Yang dimaksud dengan “dieksploitasi secara seksual”


adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual
atau organ tubuh lain dari Anak untuk mendapatkan
keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua
kegiatan pelacuran dan pencabulan.

Angka 44

Pasal 67

Cukup jelas.

Angka 45

Pasal 67A

Cukup jelas.

Pasal 67B . . .
www.bphn.go.id
- 12 -

Pasal 67B
Cukup jelas.
Pasal 67C
Cukup jelas.
Angka 46
Pasal 68
Cukup jelas.
Angka 47
Pasal 69
Cukup jelas.
Angka 48
Pasal 69A
Cukup jelas.
Pasal 69B
Cukup jelas.
Angka 49
Pasal 70
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pemenuhan kebutuhan
khusus” meliputi aksesibilitas bagi Anak Penyandang
Disabilitas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.

Angka 50 . . .
www.bphn.go.id
- 13 -

Angka 50

Pasal 71

Cukup jelas.

Angka 51

Pasal 71A

Cukup jelas.

Pasal 71B

Cukup jelas.

Pasal 71C

Cukup jelas.

Pasal 71D

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “restitusi” adalah pembayaran


ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku
berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau
imateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.

Khusus untuk Anak yang berhadapan dengan hukum


yang berhak mendapatkan restitusi adalah Anak
korban.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Angka 52

Cukup jelas.

Angka 53

Pasal 71E

Cukup jelas.

Angka 54 . . .

www.bphn.go.id
- 14 -

Angka 54

Pasal 72

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan “penyebarluasan informasi”


adalah penyebarluasan informasi yang bermanfaat
bagi Anak dan perlindungan dari pemberitaan
identitas Anak untuk menghindari labelisasi.

Yang dimaksud dengan “media massa” meliputi media


cetak (surat kabar, tabloid, majalah), media elektronik
(radio, televisi, film, video), media teknologi informasi
dan komunikasi (laman/website, portal berita, blog,
media sosial).

Ayat (6)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “kebijakan perusahaan


yang berperspektif Anak” antara lain:
a. tidak merekrut tenaga kerja Anak; dan
b. menyiapkan layanan ruang laktasi.

Huruf b . . .
www.bphn.go.id
- 15 -

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Angka 55

Pasal 73

Cukup jelas.

Angka 56

Cukup jelas.

Angka 57

Pasal 73A

Ayat (1)

Lembaga terkait antara lain Komisi Perlindungan


Anak Indonesia, lembaga swadaya Masyarakat yang
peduli terhadap Anak, dan kepolisian.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Angka 58

Pasal 74

Cukup jelas.

Angka 59

Pasal 75

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2) . . .
www.bphn.go.id
- 16 -

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan frasa tokoh masyarakat
dalam ayat ini termasuk tokoh adat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Kelengkapan organisasi yang akan diatur dalam
Peraturan Presiden termasuk pembentukan
organisasi di daerah.

Angka 60
Pasal 76
Cukup jelas.
Angka 61
Cukup jelas.
Angka 62
Pasal 76A
Cukup jelas.
Pasal 76B
Cukup jelas.
Pasal 76C
Cukup jelas.
Pasal 76D
Cukup jelas.
Pasal 76E
Cukup jelas.
Pasal 76F
Cukup jelas.

Pasal 76G . . .

www.bphn.go.id
- 17 -

Pasal 76G

Cukup jelas.

Pasal 76H

Cukup jelas

Pasal 76I

Cukup jelas.

Pasal 76J

Cukup jelas.

Angka 63

Pasal 77

Cukup jelas.

Angka 64

Pasal 77A

Cukup jelas.

Pasal 77B

Cukup jelas.

Angka 65

Pasal 80

Cukup jelas.

Angka 66

Pasal 81

Cukup jelas.

Angka 67

Pasal 82

Cukup jelas.

Angka 68 . . .

www.bphn.go.id
- 18 -

Angka 68

Pasal 83

Cukup jelas.

Angka 69

Pasal 86A

Cukup jelas.

Angka 70

Pasal 87

Cukup jelas.

Angka 71

Pasal 88

Cukup jelas.

Angka 72

Pasal 89

Cukup jelas.

Angka 73

Pasal 91A

Cukup jelas.

Pasal II

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5606

www.bphn.go.id

Anda mungkin juga menyukai