Anda di halaman 1dari 306

PERUBAHAN

UNDANG-UNDANG
KETENAGAKERJAAN

DIREKTORAT PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL


DITJEN PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JAMINAN SOSIAL
TENAGA KERJA KEMENTERIAN KETENAGAKERJAAN RI
TAHUN 2020
DAFTAR ISI

Dalam rangka penguatan perlindungan kepada tenaga kerja dan meningkatkan


peran dan kesejahteraan pekerja/buruh dalam mendukung ekosistem investasi,
Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru
beberapa ketentuan yang diatur dalam :

a. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); ................ 1

b. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan


Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4456); ............................................................................................... 153

c. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan


Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5256); ..................................................................... 191

d Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja


Migran Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017
Nomor 242, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6141). ................................................................................................ 245
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2003
TENTANG
KETENAGAKERJAAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka


pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk
mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur,
yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga
kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat
penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan;
c. bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga
kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk
meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya
dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan
tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan;
d. bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan
untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan
menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa

1
diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan
tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia
usaha;
e. bahwa beberapa undang-undang di bidang
ketenagakerjaan dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan dan tuntutan pembangunan ketenagakerjaan,
oleh karena itu perlu dicabut dan/atau ditarik kembali;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut
pada huruf a, b, c, d, dan e perlu membentuk Undang-
undang tentang Ketenagakerjaan.
Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28,
dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Dengan persetujuan bersama antara
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGAKERJAAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga
kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
2. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan
guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan
sendiri maupun untuk masyarakat.
3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk lain.

2
4. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum,
atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
5. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara
berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
6. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh
dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus
dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan
dalam bentuk lain.
7. Perencanaan tenaga kerja adalah proses penyusunan rencana
ketenagakerjaan secara sistematis yang dijadikan dasar dan acuan dalam
penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan
ketenagakerjaan yang berkesinambungan.
8. Informasi ketenagakerjaan adalah gabungan, rangkaian, dan analisis
data yang berbentuk angka yang telah diolah, naskah dan dokumen yang
mempunyai arti, nilai dan makna tertentu mengenai ketenagakerjaan.
9. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi,
memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja,
produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan
keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau
pekerjaan.
10. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang
mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai
dengan standar yang ditetapkan.

3
11. Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang
diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan
dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan
instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses
produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai
keterampilan atau keahlian tertentu.
12. Pelayanan penempatan tenaga kerja adalah kegiatan untuk
mempertemukan tenaga kerja dengan pemberi kerja, sehingga tenaga kerja
dapat memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya, dan pemberi kerja dapat memperoleh tenaga kerja yang
sesuai dengan kebutuhannya.
13. Tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan
maksud bekerja di wilayah Indonesia.
14. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan
pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan
kewajiban para pihak.
15. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan
pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur
pekerjaan, upah, dan perintah.
16. Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk
antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri
dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan
pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
17. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh,
dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan,
yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab
guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan
pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya.
18. Lembaga kerja sama bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu
perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.

4
19. Lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan
musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari
unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah.
20. Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh
pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
21. Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil
perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat
pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha
atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan
kewajiban kedua belah pihak.
22. Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha
dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya
perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan
pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh hanya dalam satu perusahaan.
23. Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan
dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat
buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan.
24. Penutupan perusahaan (lock out) adalah tindakan pengusaha untuk
menolak pekerja/buruh seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan
pekerjaan.
25. Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena
suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban
antara pekerja/buruh dan pengusaha.
26. Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun.
27. Siang hari adalah waktu antara pukul 06.00 sampai dengan pukul 18.00.
28. 1 (satu) hari adalah waktu selama 24 (dua puluh empat) jam.
29. Seminggu adalah waktu selama 7 (tujuh) hari.
30. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam
bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian

5
kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk
tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan
dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
31. Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan
dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam
maupun di luar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung
dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman
dan sehat.
32. Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan
menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan.
33. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.

Penjelasan
I. UMUM
Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan
nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya
untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta
mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik materiil
maupun spiritual.
Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga
terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan
pekerja/buruh serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi
yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha.
Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan
keterkaitan. Keterkaitan itu tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja
selama, sebelum dan sesudah masa kerja tetapi juga keterkaitan dengan
kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan
pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup
pengembangan sumber-daya manusia, peningkatan produktivitas dan daya
saing tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja,
pelayanan penempatan tenaga kerja, dan pembinaan hubungan industrial.

6
Pembinaan hubungan industrial sebagai bagian dari pembangunan
ketenagakerjaan harus diarahkan untuk terus mewujudkan hubungan
industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan. Untuk itu, pengakuan
dan penghargaan terhadap hak asasi manusia sebagaimana yang
dituangkan dalam TAP MPR NO. XVII/MPR/1998 harus diwujudkan. Dalam
bidang ketenagakerjaan, ketetapan MPR ini merupakan tonggak utama
dalam menegakkan demokrasi di tempat kerja. Penegakan demokrasi di
tempat kerja diharapkan dapat mendorong partisipasi yang optimal dari
seluruh tenaga kerja dan pekerja/buruh Indonesia untuk membangun
negara Indonesia yang dicita-citakan.
Beberapa peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan yang
berlaku selama ini, termasuk sebagian yang merupakan produk kolonial,
menempatkan pekerja pada posisi yang kurang menguntungkan dalam
pelayanan penempatan tenaga kerja dan sistem hubungan industrial yang
menonjolkan perbedaan kedudukan dan kepentingan sehingga dipandang
sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masa kini dan tuntutan masa
yang akan datang.
Peraturan perundang-undangan tersebut adalah :
- Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan
Pekerjaan Di Luar Indonesia (Staatsblad tahun 1887 No. 8);
- Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan
Kerja Anak Dan Kerja Malam bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925
Nomor 647);
- Ordonansi Tahun 1926 Peraturan Mengenai Kerja Anak-anak dan
Orang Muda Di Atas Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87);
- Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur
Kegiatan-kegiatan Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936
Nomor 208);
- Ordonansi tentang Pemulangan Buruh yang Diterima atau Dikerahkan
Dari Luar Indonesia (Staatsblad tahun 1939 Nomor 545);
- Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak-anak
(Staatsblad Tahun 1949 Nomor 8);
- Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya
Undang-undang Kerja tahun 1948 Nomor 12 dari Republik Indonesia
untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara tahun 1951 Nomor 2);

7
- Undang-undang Nomor 21 tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan
antara Serikat Buruh dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954
Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Nomor 598 a);
- Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga
Asing (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 8);
- Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana
(Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2270);
- Undang-undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan
Pemogokan dan/atau Penutupan (lock out) Di Perusahaan, Jawatan
dan Badan yang Vital (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67);
- Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor
55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912)
- Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3702);
- Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara 1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3791); dan
- Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang
Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang
Ketenagakerjaan Menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun
2000 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042).
- Peraturan perundang-undangan tersebut di atas dipandang perlu untuk
dicabut dan diganti dengan Undang-undang yang baru. Ketentuan-
ketentuan yang masih relevan dari peraturan perundang-undangan
yang lama ditampung dalam Undang-undang ini. Peraturan
pelaksanaan dari undang-undang yang telah dicabut masih tetap
berlaku sebelum ditetapkannya peraturan baru sebagai pengganti.
Undang-undang ini disamping untuk mencabut ketentuan yang tidak sesuai
lagi dengan tuntutan dan perkembangan zaman, dimaksudkan juga untuk
menampung perubahan yang sangat mendasar di segala aspek kehidupan

8
bangsa Indonesia dengan dimulainya era reformasi tahun 1998.
Di bidang ketenagakerjaan internasional, penghargaan terhadap hak asasi
manusia di tempat kerja dikenal melalui 8 (delapan) konvensi dasar
International Labour Organization (ILO). Konvensi dasar ini terdiri atas 4
(empat) kelompok yaitu :
- Kebebasan Berserikat (Konvensi ILO No. 87 dan No. 98);
- Diskriminasi (Konvensi ILO No. 100, dan No. 111);
- Kerja Paksa (Konvensi ILO No. 29, dan No. 105); dan
- Perlindungan Anak (Konvensi ILO No. 138 dan No. 182).
Komitmen bangsa Indonesia terhadap penghargaan pada hak asasi manusia
di tempat kerja antara lain diwujudkan dengan meratifikasi kedelapan
konvensi dasar tersebut. Sejalan dengan ratifikasi konvensi mengenai hak
dasar tersebut, maka Undang-undang ketenagakerjaan yang disusun ini
harus pula mencerminkan ketaatan dan penghargaan pada ketujuh prinsip
dasar tersebut.
Undang-undang ini antara lain memuat :
- Landasan, asas, dan tujuan pembangunan ketenagakerjaan;
- Perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan;
- Pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama bagi tenaga kerja
dan pekerja/ buruh;
- Pelatihan kerja yang diarahkan untuk meningkatkan dan
mengembangkan keterampilan serta keahlian tenaga kerja guna
meningkatkan produktivitas kerja dan produktivitas perusahaan.
- Pelayanan penempatan tenaga kerja dalam rangka pendayagunaan
tenaga kerja secara optimal dan penempatan tenaga kerja pada
pekerjaan yang sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan
sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dan masyarakat dalam
upaya perluasan kesempatan kerja;
- Penggunaan tenaga kerja asing yang tepat sesuai dengan kompetensi
yang diperlukan;
- Pembinaan hubungan industrial yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila
diarahkan untuk menumbuhkembangkan hubungan yang harmonis,
dinamis, dan berkeadilan antar para pelaku proses produksi;
- Pembinaan kelembagaan dan sarana hubungan industrial, termasuk
perjanjian kerja bersama, lembaga kerja sama bipartit, lembaga kerja
sama tripartit, pemasyarakatan hubungan industrial dan penyelesaian

9
perselisihan hubungan industrial;
- Perlindungan pekerja/buruh, termasuk perlindungan atas hak-hak
dasar pekerja/ buruh untuk berunding dengan pengusaha,
perlindungan keselamatan, dan kesehatan kerja, perlindungan khusus
bagi pekerja/buruh perempuan, anak, dan penyandang cacat, serta
perlindungan tentang upah, kesejahteraan, dan jaminan sosial tenaga
kerja;
- Pengawasan ketenagakerjaan dengan maksud agar dalam peraturan
perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan ini benar-benar
dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Pasal 1
Cukup jelas.
BAB II
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN
Pasal 2
Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 2
Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya. Oleh sebab itu, pembangunan
ketenagakerjaan dilaksanakan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat
Indonesia yang sejahtera, adil, makmur, dan merata baik materiil maupun
spiritual.

Pasal 3
Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan
melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.
Pasal 3
Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas
pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi Pancasila serta asas adil
dan merata. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi
dan keterkaitan dengan berbagai pihak yaitu antara pemerintah, pengusaha
dan pekerja/buruh. Oleh sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan
dilaksanakan secara terpadu dalam bentuk kerja sama yang saling
mendukung.

10
Pasal 4
Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan :
a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan
manusiawi;
b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja
yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan
kesejahteraan; dan
d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
Pasal 4
Huruf a
Pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja merupakan suatu
kegiatan yang terpadu untuk dapat memberikan kesempatan kerja
seluas-luasnya bagi tenaga kerja Indonesia. Melalui pemberdayaan dan
pendayagunaan ini diharapkan tenaga kerja Indonesia dapat
berpartisipasi secara optimal dalam Pembangunan Nasional, namun
dengan tetap menjunjung nilai-nilai kemanusiaannya.
Huruf b
Pemerataan kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja
dengan memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh
pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja Indonesia sesuai dengan bakat,
minat, dan kemampuannya. Demikian pula pemerataan penempatan
tenaga kerja perlu diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan di
seluruh sektor dan daerah.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
BAB III
KESEMPATAN DAN PERLAKUAN YANG SAMA
Pasal 5
Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk
memperoleh pekerjaan.

11
Pasal 5
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk
memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan
jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan
kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang
sama terhadap para penyandang cacat.

Pasal 6
Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa
diskriminasi dari pengusaha.
Pasal 6
Pengusaha harus memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh tanpa
membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, dan aliran
politik.

BAB IV
PERENCANAAN TENAGA KERJA
DAN INFORMASI KETENAGAKERJAAN
Pasal 7
(1) Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan
kebijakan dan menyusun perencanaan tenaga kerja.
(2) Perencanaan tenaga kerja meliputi :
a. perencanaan tenaga kerja makro; dan
b. perencanaan tenaga kerja mikro.
(3) Dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program
pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan, pemerintah harus
berpedoman pada perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).
Pasal 7
Cukup jelas.
Ayat (1)
Perencanaan tenaga kerja yang disusun dan ditetapkan oleh
pemerintah dilakukan melalui pendekatan perencanaan tenaga
kerja nasional, daerah, dan sektoral.

12
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan perencanaan tenaga kerja makro
adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara
sistematis yang memuat pendayagunaan tenaga kerja secara
optimal, dan produktif guna mendukung pertumbuhan
ekonomi atau sosial, baik secara nasional, daerah, maupun
sektoral sehingga dapat membuka kesempatan kerja seluas-
luasnya, meningkatkan produktivitas kerja dan meningkatkan
kesejahteraan pekerja/ buruh.
Huruf b
Yang dimaksud dengan perencanaan tenaga kerja mikro
adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara
sistematis dalam suatu instansi, baik instansi pemerintah
maupun swasta dalam rangka meningkatkan pendayagunaan
tenaga kerja secara optimal dan produktif untuk mendukung
pencapaian kinerja yang tinggi pada instansi atau perusahaan
yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
(1) Perencanaan tenaga kerja disusun atas dasar informasi ketenagakerjaan
yang antara lain meliputi :
a. penduduk dan tenaga kerja;
b. kesempatan kerja;
c. pelatihan kerja termasuk kompetensi kerja;
d. produktivitas tenaga kerja;
e. hubungan industrial;
f. kondisi lingkungan kerja;
g. pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja; dan
h. jaminan sosial tenaga kerja.
(2) Informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
diperoleh dari semua pihak yang terkait, baik instansi pemerintah maupun
swasta.

13
(3) Ketentuan mengenai tata cara memperoleh informasi ketenagakerjaan dan
penyusunan serta pelaksanaan perencanaan tenaga kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 8
Ayat (1)
Informasi ketenagakerjaan dikumpulkan dan diolah sesuai dengan
maksud disusunnya perencanaan tenaga kerja nasional, perencanaan
tenaga kerja daerah provinsi atau kabupaten/kota.
Ayat (2)
Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, partisipasi swasta
diharapkan dapat memberikan informasi mengenai ketenagakerjaan.
Pengertian swasta mencakup perusahaan, perguruan tinggi, dan
lembaga swadaya masyarakat di pusat, provinsi atau kabupaten/kota.
Ayat (3)
Cukup jelas.
BAB V
PELATIHAN KERJA
Pasal 9
Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan,
dan mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan,
produktivitas, dan kesejahteraan.
Pasal 9
Yang dimaksud dengan peningkatan kesejahteraan dalam pasal ini adalah
kesejahteraan bagi tenaga kerja yang diperoleh karena terpenuhinya
kompetensi kerja melalui pelatihan kerja.

Pasal 10
(1) Pelatihan kerja dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pasar kerja
dan dunia usaha, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
(2) Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang
mengacu pada standar kompetensi kerja.
(3) Pelatihan kerja dapat dilakukan secara berjenjang.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penetapan standar kompetensi kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

14
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penetapan standar kompetensi kerja dilakukan oleh Menteri dengan
mengikut-sertakan sektor terkait.
Ayat (3)
Jenjang pelatihan kerja pada umumnya terdiri atas tingkat dasar,
trampil, dan ahli.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 11
Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau
mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya melalui pelatihan kerja.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
(1) Pengusaha bertanggung jawab atas peningkatan dan/atau pengembangan
kompetensi pekerjanya melalui pelatihan kerja.
(2) Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diwajibkan bagi pengusaha yang memenuhi persyaratan
yang diatur dengan Keputusan Menteri.
(3) Setiap pekerja/buruh memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti
pelatihan kerja sesuai dengan bidang tugasnya.
Pasal 12
Ayat (1)
Pengguna tenaga kerja terampil adalah pengusaha, oleh karena itu
pengusaha bertanggung jawab mengadakan pelatihan kerja untuk
meningkatkan kompetensi pekerjanya.
Ayat (2)
Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi diwajibkan bagi
pengusaha karena perusahaan yang akan memperoleh manfaat hasil
kompetensi pekerja/ buruh.

15
Ayat (3)
Pelaksanaan pelatihan kerja disesuaikan dengan kebutuhan serta
kesempatan yang ada di perusahaan.

Pasal 13
(1) Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah
dan/atau lembaga pelatihan kerja swasta.
(2) Pelatihan kerja dapat diselenggarakan di tempat pelatihan atau tempat
kerja.
(3) Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dalam menyelenggarakan pelatihan kerja dapat bekerja sama dengan
swasta.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pelatihan kerja swasta juga termasuk pelatihan
kerja perusahaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13

(1) Pelatihan kerja diselenggarakan oleh:


a. lembaga pelatihan kerja pemerintah;
b. lembaga pelatihan kerja swasta; atau
c. lembaga pelatihan kerja perusahaan.
(2) Pelatihan kerja dapat diselenggarakan di tempat pelatihan atau tempat
kerja.
(3) Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dalam menyelenggarakan pelatihan kerja dapat bekerja sama
dengan swasta.

16
(4) Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dan lembaga pelatihan kerja perusahaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c mendaftarkan kegiatannya kepada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
kabupaten/kota.
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “lembaga pelatihan kerja pemerintah”
adalah lembaga pelatihan kerja yang dimiliki oleh pemerintah.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “lembaga pelatihan kerja swasta”
adalah lembaga yang dimiliki oleh swasta.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “lembaga pelatihan kerja perusahaan”
adalah unit pelatihan yang terdapat di dalam perusahaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 14
(1) Lembaga pelatihan kerja swasta dapat berbentuk badan hukum Indonesia
atau perorangan.
(2) Lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib memperoleh izin atau mendaftar ke instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
(3) Lembaga pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah
mendaftarkan kegiatannya kepada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan di kabupaten/ kota.
(4) Ketentuan mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran lembaga pelatihan
kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan
Keputusan Menteri.

17
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pendaftaran kegiatan pelatihan yang diselenggarakan oleh instansi
pemerintah dimaksudkan untuk mendapatkan informasi sehingga hasil
pelatihan, sarana dan prasarana pelatihan dapat berdayaguna dan
berhasil guna secara optimal.

Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14

(1) Lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13


ayat (1) huruf b wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan
oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
(2) Bagi lembaga pelatihan kerja swasta yang terdapat penyertaan modal
asing, Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan
oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Penyelenggara pelatihan kerja wajib memenuhi persyaratan :
a. tersedianya tenaga kepelatihan;
b. adanya kurikulum yang sesuai dengan tingkat pelatihan;
c. tersedianya sarana dan prasarana pelatihan kerja; dan
d. tersedianya dana bagi kelangsungan kegiatan penyelenggaraan pelatihan
kerja.

18
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
(1) Lembaga pelatihan kerja swasta yang telah memperoleh izin dan lembaga
pelatihan kerja pemerintah yang telah terdaftar dapat memperoleh
akreditasi dari lembaga akreditasi.
(2) Lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat
independen terdiri atas unsur masyarakat dan pemerintah ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.
(3) Organisasi dan tata kerja lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
(1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
kabupaten/kota dapat menghentikan sementara pelaksanaan
penyelenggaraan pelatihan kerja, apabila di dalam pelaksanaannya
ternyata:
a. tidak sesuai dengan arah pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9; dan/atau
b. tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
(2) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disertai alasan dan saran perbaikan
dan berlaku paling lama 6 (enam) bulan.
(3) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja
hanya dikenakan terhadap program pelatihan yang tidak memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 15.
(4) Bagi penyelenggara pelatihan kerja dalam waktu 6 (enam) bulan tidak
memenuhi dan melengkapi saran perbaikan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dikenakan sanksi penghentian program pelatihan.
(5) Penyelenggara pelatihan kerja yang tidak menaati dan tetap melaksanakan
program pelatihan kerja yang telah dihentikan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4) dikenakan sanksi pencabutan izin dan pembatalan
pendaftaran penyelenggara pelatihan.

19
(6) Ketentuan mengenai tata cara penghentian sementara, penghentian,
pencabutan izin, dan pembatalan pendaftaran diatur dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
(1) Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah
mengikuti pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja
pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat
kerja.
(2) Pengakuan kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan melalui sertifikasi kompetensi kerja.
(3) Sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat
pula diikuti oleh tenaga kerja yang telah berpengalaman.
(4) Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibentuk badan nasional
sertifikasi profesi yang independen.
(5) Pembentukan badan nasional sertifikasi profesi yang independen
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sertifikasi kompetensi adalah proses pemberian sertifikat kompetensi
yang dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi
yang mengacu kepada standar kompetensi nasional dan/atau
internasional.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

20
Pasal 19
Pelatihan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat dilaksanakan dengan
memperhatikan jenis, derajat kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja
penyandang cacat yang bersangkutan.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
(1) Untuk mendukung peningkatan pelatihan kerja dalam rangka pembangunan
ketenagakerjaan, dikembangkan satu sistem pelatihan kerja nasional yang
merupakan acuan pelaksanaan pelatihan kerja di semua bidang dan/atau
sektor.
(2) Ketentuan mengenai bentuk, mekanisme, dan kelembagaan sistem
pelatihan kerja nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 20
Ayat (1)
Sistem pelatihan kerja nasional adalah keterkaitan dan keterpaduan
berbagai unsur pelatihan kerja yang antara lain meliputi peserta, biaya,
sarana, dan prasarana, tenaga kepelatihan, program dan metode, serta
lulusan. Dengan adanya sistem pelatihan kerja nasional, semua unsur
dan sumber daya pelatihan kerja nasional yang tersebar di instansi
pemerintah, swasta, dan perusahaan dapat dimanfaatkan secara
optimal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21
Pelatihan kerja dapat diselenggarakan dengan sistem pemagangan.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
(1) Pemagangan dilaksanakan atas dasar perjanjian pemagangan antara
peserta dengan pengusaha yang dibuat secara tertulis.
(2) Perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang-

21
kurangnya memuat ketentuan hak dan kewajiban peserta dan pengusaha
serta jangka waktu pemagangan.
(3) Pemagangan yang diselenggarakan tidak melalui perjanjian pemagangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dianggap tidak sah dan status
peserta berubah menjadi pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Hak peserta pemagangan antara lain memperoleh uang saku dan/atau
uang transpor, memperoleh jaminan sosial tenaga kerja, memperoleh
sertifikat apabila lulus di akhir program.
Hak pengusaha antara lain berhak atas hasil kerja/jasa peserta
pemagangan, merekrut pemagang sebagai pekerja/buruh bila
memenuhi persyaratan. Kewajiban peserta pemagangan antara lain
menaati perjanjian pemagangan, mengikuti tata tertib program
pemagangan, dan mengikuti tata tertib perusahaan.
Adapun kewajiban pengusaha antara lain menyediakan uang saku
dan/atau uang transpor bagi peserta pemagangan, menyediakan
fasilitas pelatihan, menyediakan instruktur, dan perlengkapan
keselamatan dan kesehatan kerja. Jangka waktu pemagangan
bervariasi sesuai dengan jangka waktu yang diperlukan untuk
mencapai standar kompetensi yang ditetapkan dalam program
pelatihan pemagangan.
Ayat (3)
Dengan status sebagai pekerja/buruh di perusahaan yang
bersangkutan, maka berhak atas segala hal yang diatur dalam
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 23
Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas
pengakuan kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga
sertifikasi.

22
Pasal 23
Sertifikasi dapat dilakukan oleh lembaga sertifikasi yang dibentuk dan/atau
diakreditasi oleh pemerintah bila programnya bersifat umum, atau dilakukan
oleh perusahaan yang bersangkutan bila programnya bersifat khusus.

Pasal 24
Pemagangan dapat dilaksanakan di perusahaan sendiri atau di tempat
penyelenggaraan pelatihan kerja, atau perusahaan lain, baik di dalam maupun
di luar wilayah Indonesia.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
(1) Pemagangan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia wajib mendapat izin
dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
penyelenggara pemagangan harus berbentuk badan hukum Indonesia
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Ketentuan mengenai tata cara perizinan pemagangan di luar wilayah
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
(1) Penyelenggaraan pemagangan di luar wilayah Indonesia harus
memperhatikan :
a. harkat dan martabat bangsa Indonesia;
b. penguasaan kompetensi yang lebih tinggi; dan
c. perlindungan dan kesejahteraan peserta pemagangan, termasuk
melaksanakan ibadahnya.
(2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan pelaksanaan
pemagangan di luar wilayah Indonesia apabila di dalam pelaksanaannya
ternyata tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 26
Cukup jelas.

23
Pasal 27
(1) Menteri dapat mewajibkan kepada perusahaan yang memenuhi persyaratan
untuk melaksanakan program pemagangan.
(2) Dalam menetapkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Menteri harus memperhatikan kepentingan perusahaan, masyarakat, dan
negara.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kepentingan perusahaan dalam ayat ini adalah
agar terjamin tersedianya tenaga terampil dan ahli pada tingkat
kompetensi tertentu seperti juru las spesialis dalam air.
Yang dimaksud dengan kepentingan masyarakat misalnya untuk
membuka kesempatan bagi masyarakat memanfaatkan industri yang
bersifat spesifik seperti teknologi budidaya tanaman dengan kultur
jaringan.
Yang dimaksud dengan kepentingan negara misalnya untuk
menghemat devisa negara, maka perusahaan diharuskan
melaksanakan program pemagangan seperti keahlian membuat alat-
alat pertanian modern.
Pasal 28
(1) Untuk memberikan saran dan pertimbangan dalam penetapan kebijakan
serta melakukan koordinasi pelatihan kerja dan pemagangan dibentuk
lembaga koordinasi pelatihan kerja nasional.
(2) Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga koordinasi pelatihan
kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan
Presiden.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
(1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pembinaan
pelatihan kerja dan pemagangan.
(2) Pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan ditujukan ke arah peningkatan
relevansi, kualitas, dan efisiensi penyelenggaraan pelatihan kerja dan
produktivitas.

24
(3) Peningkatan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan
melalui pengembangan budaya produktif, etos kerja, teknologi, dan efisiensi
kegiatan ekonomi, menuju terwujudnya produktivitas nasional.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
(1) Untuk meningkatkan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
ayat (2) dibentuk lembaga produktivitas yang bersifat nasional.
(2) Lembaga produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berbentuk
jejaring kelembagaan pelayanan peningkatan produktivitas, yang bersifat
lintas sektor maupun daerah.
(3) Pembentukan, keanggotan, dan tata kerja lembaga produktivitas nasional
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden.
Pasal 30
Cukup jelas.
BAB VI
PENEMPATAN TENAGA KERJA
Pasal 31
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih,
mendapat- kan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak
di dalam atau di luar negeri.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
(1) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas,
obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.
(2) Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada
jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan
kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan
perlindungan hukum.
(3) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan
kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan
program nasional dan daerah.

25
Pasal 32
Ayat (1)
- Yang dimaksud dengan terbuka adalah pemberian informasi
kepada pencari kerja secara jelas antara lain jenis pekerjaan,
besarnya upah, dan jam kerja. Hal ini diperlukan untuk melindungi
pekerja/buruh serta untuk menghindari terjadinya perselisihan
setelah tenaga kerja ditempatkan.
- Yang dimaksud dengan bebas adalah pencari kerja bebas memilih
jenis pekerjaan dan pemberi kerja bebas memilih tenaga kerja,
sehingga tidak dibenarkan pencari kerja dipaksa untuk menerima
suatu pekerjaan dan pemberi kerja tidak dibenarkan dipaksa untuk
menerima tenaga kerja yang ditawarkan.
- Yang dimaksud dengan obyektif adalah pemberi kerja agar
menawarkan pekerjaan yang cocok kepada pencari kerja sesuai
dengan kemampuannya dan persyaratan jabatan yang dibutuhkan,
serta harus memperhatikan kepentingan umum dengan tidak
memihak kepada kepentingan pihak tertentu.
- Yang dimaksud dengan adil dan setara adalah penempatan tenaga
kerja dilakukan berdasarkan kemampuan tenaga kerja dan tidak
didasarkan atas ras, jenis kelamin, warna kulit, agama, dan aliran
politik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pemerataan kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah
Negara Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja nasional
dengan memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh
pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya. Demikian pula pemerataan kesempatan kerja perlu
diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan tenaga kerja di seluruh
sektor dan daerah.
Pasal 33
Penempatan tenaga kerja terdiri dari :
a. penempatan tenaga kerja di dalam negeri; dan
b. penempatan tenaga kerja di luar negeri.
Pasal 33
Cukup jelas.

26
Pasal 34
Ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 huruf b diatur dengan undang-undang.
Pasal 34
Sebelum undang-undang mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri
diundangkan maka segala peraturan perundangan yang mengatur
penempatan tenaga kerja di luar negeri tetap berlaku.
Pasal 35
(1) Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri
tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga
kerja.
(2) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib memberikan perlindungan sejak rekrutmen sampai penempatan
tenaga kerja
(3) Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam
mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang
mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun
fisik tenaga kerja.
Pasal 35
Ayat (1)
Yang dimaksud pemberi kerja adalah pemberi kerja di dalam negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 36
(1) Penempatan tenaga kerja oleh pelaksana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 ayat (1) dilakukan dengan memberikan pelayanan penempatan
tenaga kerja
(2) Pelayanan penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
bersifat terpadu dalam satu sistem penempatan tenaga kerja yang meliputi
unsur-unsur :
a. pencari kerja;
b. lowongan pekerjaan;
c. informasi pasar kerja;

27
d. mekanisme antar kerja; dan
e. kelembagaan penempatan tenaga kerja.
(3) Unsur-unsur sistem penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dapat dilaksanakan secara terpisah yang ditujukan untuk
terwujudnya penempatan tenaga kerja.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
ayat (1) terdiri dari:
a. instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan; dan
b. lembaga swasta berbadan hukum.
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf b dalam melaksanakan pelayanan penempatan tenagakerja
wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 37
Ayat (1)
Huruf a.
Penetapan instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di tingkat pusat dan daerah ditentukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Huruf b.
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 37

(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal


35 ayat (1) terdiri atas:

28
a. instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan; dan
b. lembaga penempatan tenaga kerja swasta.
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dalam melaksanakan pelayanan penempatan tenaga
kerja wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh
Pemerintah Pusat.
(3) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat.
Pasal 37
Cukup jelas.

Pasal 38
(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat (1) huruf a, dilarang memungut biaya penempatan, baik langsung
maupun tidak langsung, sebagian atau keseluruhan kepada tenaga kerja
dan pengguna tenaga kerja.
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 ayat (1) huruf b, hanya dapat memungut biaya penempatan
tenaga kerja dari pengguna tenaga kerja dan dari tenaga kerja golongan
dan jabatan tertentu.
(3) Golongan dan jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 38
Cukup jelas.
BAB VII
PERLUASAN KESEMPATAN KERJA
Pasal 39
(1) Pemerintah bertanggung jawab mengupayakan perluasan kesempatan kerja
baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
(2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengupayakan perluasan
kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
(3) Semua kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah di setiap sektor
diarahkan untuk mewujudkan perluasan kesempatan kerja baik di dalam
maupun di luar hubungan kerja

29
(4) Lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan, dan dunia
usaha perlu membantu dan memberikan kemudahan bagi setiap kegiatan
masyarakat yang dapat menciptakan atau mengembangkan perluasan
kesempatan kerja.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
(1) Perluasan kesempatan kerja di luar hubungan kerja dilakukan melalui
penciptaan kegiatan yang produktif dan berkelanjutan dengan
mendayagunakan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan
teknologi tepat guna.
(2) Penciptaan perluasan kesempatan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan dengan pola pembentukan dan pembinaan tenaga kerja
mandiri, penerapan sistem padat karya, penerapan teknologi tepat guna,
dan pendayagunaan tenaga kerja sukarela atau pola lain yang dapat
mendorong terciptanya perluasan kesempatan kerja.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
(1) Pemerintah menetapkan kebijakan ketenagakerjaan dan perluasan
kesempatan kerja.
(2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengawasi pelaksanaan
kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat
dibentuk badan koordinasi yang beranggotakan unsur pemerintah dan
unsur masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai perluasan kesempatan kerja, dan pembentukan
badan koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 40, dan
ayat (3) dalam pasal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 41
Karena upaya perluasan kesempatan kerja mencakup lintas sektoral, maka
harus disusun kebijakan nasional di semua sektor yang dapat menyerap
tenaga kerja secara optimal. Agar kebijakan nasional tersebut dapat
dilaksanakan dengan baik, maka pemerintah dan masyarakat bersama-
sama mengawasinya secara terkoordinasi.

30
BAB VIII
PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING
Pasal 42
(1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib
memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja
asing.
(3) Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak
berlaku bagi perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja
asing sebagai pegawai diplomatik dan konsuler.
(4) Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan
kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu.
(5) Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(6) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) yang masa
kerjanya habis dan tidak dapat diperpanjang dapat digantikan oleh tenaga
kerja asing lainnya.
Pasal 42
Ayat (1)
Perlunya pemberian izin penggunaan tenaga kerja warga negara asing
dimaksudkan agar penggunaan tenaga kerja warga negara asing
dilaksanakan secara selektif dalam rangka pendayagunaan tenaga kerja
Indonesia secara optimal.
Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.

31
Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 42

(1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib
memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh
Pemerintah Pusat.
(2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja
asing.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi:
a. direksi atau komisaris dengan kepemilikan saham tertentu atau
pemegang saham sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
b. pegawai diplomatik dan konsuler pada kantor perwakilan negara
asing; atau
c. tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh pemberi kerja pada jenis
kegiatan produksi yang terhenti karena keadaan darurat, vokasi,
perusahaan rintisan (start-up) berbasis teknologi, kunjungan bisnis,
dan penelitian untuk jangka waktu tertentu.
(4) Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam
hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki
kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki.
(5) Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi
personalia.
(6) Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 42
Cukup jelas.

Pasal 43
(1) Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki
rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau
pejabat yang ditunjuk.
(2) Rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) sekurang-kurangnya memuat keterangan:
a. alasan penggunaan tenaga kerja asing;

32
b. jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja asing dalam struktur
organisasi perusahaan yang bersangkutan;
c. jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing; dan
d. penunjukkan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai
pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi instansi
pemerintah, badan-badan internasional dan perwakilan negara asing.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pengesahan rencana penggunaan tenaga
kerja asing diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 43
Ayat (1)
Rencana penggunaan tenaga kerja warga negara asing merupakan
persyaratan untuk mendapatkan izin kerja (IKTA).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan badan internasional dalam ayat ini adalah
badan- badan internasional yang tidak mencari keuntungan seperti
lembaga yang bernaung di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
antara lain ILO, WHO, atau UNICEF.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 43 Dihapus

Pasal 44
(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai
jabatan dan standar kompetensi yang berlaku.
(2) Ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.

33
Pasal 44
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan standar kompetensi adalah kualifikasi yang
harus dimiliki oleh tenaga kerja warga negara asing antara lain
pengetahuan, keahlian, keterampilan di bidang tertentu, dan
pemahaman budaya Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 44 Dihapus

Pasal 45
(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib:
a. menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga
pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi
dan alih keahlian dari tenaga kerja asing; dan
b. melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja
Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan
kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja asing.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga
kerja asing yang menduduki jabatan direksi dan/atau komisaris.
Pasal 45
Ayat (1)
Huruf a
Tenaga kerja pendamping tenaga kerja asing tidak secara otomatis
menggantikan atau menduduki jabatan tenaga kerja asing yang
didampinginya. Pendampingan tersebut lebih dititikberatkan pada
alih teknologi dan alih keahlian agar tenaga kerja pendamping
tersebut dapat memiliki kemampuan sehingga pada waktunya
diharapkan dapat mengganti tenaga kerja asing yang

34
didampinginya.
Huruf b
Pendidikan dan pelatihan kerja oleh pemberi kerja tersebut dapat
dilaksanakan baik di dalam negeri maupun dengan mengirimkan
tenaga kerja Indonesia untuk berlatih di luar negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 45

(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib:


a. menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga
pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih
teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing;
b. melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja
Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan
kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja asing; dan
c. memulangkan tenaga kerja asing ke negara asalnya setelah
hubungan kerjanya berakhir.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b
tidak berlaku bagi tenaga kerja asing yang menduduki jabatan tertentu.
Pasal 45
Ayat (1)
Huruf a
Tenaga kerja pendamping tenaga kerja asing tidak secara
otomatis menggantikan atau menduduki jabatan tenaga kerja
asing yang didampinginya. Pendampingan tersebut lebih
dititiberatkan pada alih teknologi dan alih keahlian agar tenaga
kerja pendamping tersebut dapat memiliki kemampuan
sehingga pada waktunya diharapkan dapat mengganti tenaga
kerja asing yang didampinginya.
Huruf b
Pendidikan dan pelatihan kerja oleh pemberi kerja tersebut
dapat dilaksanakan baik di dalam negeri maupun dengan

35
mengirimkan tenaga kerja Indonesia untuk berlatih ke luar
negeri.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 46
(1) Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia
dan/atau jabatan-jabatan tertentu.
(2) Jabatan-jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 46
Cukup jelas.

Pasal 46 Dihapus

Pasal 47
(1) Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap tenaga kerja asing
yang dipekerjakannya.
(2) Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tidak berlaku bagi instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan-
badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan-
jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
(3) Ketentuan mengenai jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
(4) Ketentuan mengenai besarnya kompensasi dan penggunaannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 47
Ayat (1)

36
Kewajiban membayar kompensasi dimaksudkan dalam rangka
menunjang upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia
Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 47

(1) Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap tenaga kerja
asing yang dipekerjakannya.
(2) Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku bagi instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan
internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu
di lembaga pendidikan.
(3) Ketentuan mengenai besaran dan penggunaan kompensasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 47
Ayat (1)
Kewajiban membayar kompensasi dimaksudkan dalam rangka
menunjang upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia
Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

37
Pasal 48
Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memulangkan
tenaga kerja asing ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir.
Pasal 48
Cukup jelas.

Pasal 48 Dihapus

Pasal 49
Ketentuan mengenai penggunaan tenaga kerja asing serta pelaksanaan
pendidikan dan pelatihan tenaga kerja pendamping diatur dengan Keputusan
Presiden.
Pasal 49
Cukup jelas.

Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 49

Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan tenaga kerja asing diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 49
Cukup jelas.

BAB IX
HUBUNGAN KERJA
Pasal 50
Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan
pekerja/ buruh.
Pasal 50
Cukup jelas.

38
Pasal 51
(1) Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan.
(2) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 51
Ayat (1)
Pada prinsipnya perjanjian kerja dibuat secara tertulis, namun melihat
kondisi masyarakat yang beragam dimungkinkan perjanjian kerja
secara lisan.
Ayat (2)
Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis harus sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain
perjanjian kerja waktu tertentu, antarkerja antardaerah, antarkerja
antarnegara, dan perjanjian kerja laut.

Pasal 52
(1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar :
a. kesepakatan kedua belah pihak;
b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat
dibatalkan.
(3) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi
hukum.
Pasal 52
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.

39
Huruf b
Yang dimaksud dengan kemampuan atau kecakapan adalah para
pihak yang mampu atau cakap menurut hukum untuk membuat
perjanjian. Bagi tenaga kerja anak, yang menandatangani
perjanjian adalah orang tua atau walinya.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 53
Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan
perjanjian kerja dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
(1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat :
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. jabatan atau jenis pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan
pekerja/ buruh;
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

40
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf e dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang-
kurangnya rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama,
serta pekerja/buruh dan pengusaha masing-masing mendapat 1 (satu)
perjanjian kerja.
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan tidak boleh bertentangan pada ayat ini adalah
apabila di perusahaan telah ada peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama, maka isi perjanjian kerja baik kualitas maupun kuantitas
tidak boleh lebih rendah dari peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama di perusahaan yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 55
Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas
persetujuan para pihak.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
(1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak
tertentu.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) didasarkan atas :
a. jangka waktu; atau
b. selesainya suatu pekerjaan tertentu.
Pasal 56
Cukup jelas.

41
Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 56
(1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak
tertentu.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) didasarkan atas:
a. jangka waktu; atau
b. selesainya suatu pekerjaan tertentu.
(3) Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan perjanjian kerja.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian kerja waktu tertentu
berdasarkan jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 56
Cukup jelas.

Pasal 57
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus
menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis
bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.
(3) Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa
asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya,
maka yang berlaku perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
Pasal 57
Cukup jelas.

Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 57
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus
menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.

42
(2) Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu dibuat dalam bahasa
Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan
penafsiran antara keduanya, yang berlaku perjanjian kerja waktu
tertentu yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
Pasal 57
Cukup jelas.

Pasal 58
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya
masa percobaan kerja.
(2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang
disyaratkan batal demi hukum.
Pasal 58
Cukup jelas.

Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 58

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya
masa percobaan kerja.
(2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan tersebut batal
demi hukum dan masa kerja tetap dihitung.
Pasal 58
Cukup jelas.

Pasal 59
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan
tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan
selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

43
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak
terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau
produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan
yang bersifat tetap.
(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau
diperbaharui.
(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu
dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh
diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu
tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu
berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/
buruh yang bersangkutan.
(6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah
melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian
kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu
ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.
(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan
ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
(8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam pasal ini akan diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 59
Ayat (1)
Perjanjian kerja dalam ayat ini dicatatkan ke instansi yang bertanggung
jawab dibidang ketenagakerjaan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap dalam ayat ini
adalah pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus,
tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi
dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman.

44
Pekerjaan yang bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak
tergantung cuaca atau suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu
merupakan pekerjaan yang terus menerus, tidak terputus-putus, tidak
dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses produksi,
tetapi tergantung cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya
suatu kondisi tertentu maka pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan
musiman yang tidak termasuk pekerjaan tetap sehingga dapat menjadi
objek perjanjian kerja waktu tertentu.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.

Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 59

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk
pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan
pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu sebagai berikut:
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang
tidak terlalu lama;
c. pekerjaan yang bersifat musiman;
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru,
atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau

45
penjajakan; atau
e. pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk
pekerjaan yang bersifat tetap.
(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) demi hukum menjadi
perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan,
jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu
tertentu diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 59
Ayat (1)
Perjanjian kerja dalam ayat ini dicatatkan ke instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap dalam ayat ini
adalah pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus,
tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses
produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan
musiman.
Pekerjaan yang bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak
tergantung cuaca atau suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu
merupakan pekerjaan yang terus menerus, tidak terputus-putus,
tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses
produksi, tetapi tergantung cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan
karena adanya suatu kondisi tertentu maka pekerjaan tersebut
merupakan pekerjaan musiman yang tidak termasuk pekerjaan tetap
sehingga dapat menjadi objek perjanjian kerja waktu tertentu.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 60
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa
percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan.

46
(2) Dalam masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.
Pasal 60
Ayat (1)
Syarat masa percobaan kerja harus dicantumkan dalam perjanjian
kerja. Apabila perjanjian kerja dilakukan secara lisan, maka syarat
masa percobaan kerja harus diberitahukan kepada pekerja yang
bersangkutan dan dicantumkan dalam surat pengangkatan. Dalam hal
tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja atau dalam surat
pengangkatan, maka ketentuan masa percobaan kerja dianggap tidak
ada.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 61
(1) Perjanjian kerja berakhir apabila :
a. pekerja meninggal dunia;
b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap; atau
d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
(2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau
beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan,
atau hibah.
(3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh
menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam
perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh.
(4) Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris
pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan
pekerja/buruh.
(5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/buruh berhak
mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

47
Pasal 61
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Keadaan atau kejadian tertentu seperti bencana alam, kerusuhan
sosial, atau gangguan keamanan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud hak-hak yang sesuai dengan perundang-undangan
yang berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama adalah hak-hak
yang harus diberikan yang lebih baik dan menguntungkan
pekerja/buruh yang bersangkutan.

Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 61

(1) Perjanjian kerja berakhir apabila:


a. pekerja/buruh meninggal dunia;
b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c. selesainya suatu pekerjaan tertentu;
d. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan

48
hukum tetap; atau
e. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
(2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau
beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan,
atau hibah.
(3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan, hak-hak pekerja/buruh
menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam
perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja / buruh.
(4) Dalam hal pengusaha orang perseorangan meninggal dunia, ahli waris
pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan
dengan pekerja/buruh.
(5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/buruh
berhak mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 61
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Keadaan atau kejadian tertentu seperti bencana alam,
kerusuhan sosial, atau gangguan keamanan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

49
Ayat (5)
Yang dimaksud hak-hak yang sesuai dengan peraturan perundang-
undangan atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama adalah hak-
hak yang harus diberikan yang lebih baik dan menguntungkan
pekerja/buruh yang bersangkutan.

Di antara Pasal 61 dan Pasal 62 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 61A
sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 61A

(1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu berakhir sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf b dan huruf c, pengusaha wajib
memberikan uang kompensasi kepada pekerja/buruh.
(2) Uang kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
kepada pekerja/buruh sesuai dengan masa kerja pekerja/buruh di
perusahaan yang bersangkutan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai uang kompensasi diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 61A
Cukup jelas.

Pasal 62
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya
jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau
berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan
membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai
batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
(1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka
pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang

50
bersangkutan.
(2) Surat pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang-
kurangnya memuat keterangan:
a. nama dan alamat pekerja/buruh;
b. tanggal mulai bekerja;
c. jenis pekerjaan; dan
d. besarnya upah.
Pasal 63
Cukup jelas.

Pasal 64
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan
jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
Pasal 64
Cukup jelas.

Pasal 64 Dihapus

Pasal 65
(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain
dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara
tertulis.
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi
pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbentuk

51
badan hukum.
(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada
perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya
sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan
pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
(6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara
perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya.
(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas
perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu
apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dan ayat (3),
tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh
dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan
kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
(9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja
pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).
Pasal 65
Cukup jelas.

Pasal 65 Dihapus

Pasal 66
(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh
digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau
kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali
untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan
langsung dengan proses produksi.

52
(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan
yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana
dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu
yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara
tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta
perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh; dan
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan
perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan
hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf
a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum
status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
perusahaan pemberi pekerjaan.
Pasal 66
Ayat (1)
Pada pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan usaha pokok atau
kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi,
pengusaha hanya diperbolehkan mempekerjakan pekerja/buruh
dengan perjanjian kerja waktu tertentu dan/atau perjanjian kerja
waktu tidak tertentu.
Yang dimaksud kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak
berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang
berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan.
Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning

53
service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering),
usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa
penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan
angkutan pekerja/buruh.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja maupun
penyelesaian perselisihan antara penyedia jasa tenaga kerja
dengan pekerja/buruh harus sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh memperoleh hak (yang sama) sesuai dengan
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama atas perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat
kerja, serta perselisihan yang timbul dengan pekerja/buruh lainnya
di perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 66

(1) Hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh yang
dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja yang dibuat secara
tertulis, baik perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian kerja
waktu tidak tertentu.
(2) Pelindungan pekerja/buruh, upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja,

54
serta perselisihan yang timbul dilaksanakan sekurang-kurangnya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjadi
tanggung jawab perusahaan alih daya.
(3) Dalam hal perusahaan alih daya mempekerjakan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), perjanjian kerja tersebut harus mensyaratkan pengalihan
pelindungan hak-hak bagi pekerja/buruh apabila terjadi pergantian
perusahaan alih daya dan sepanjang objek pekerjaannya tetap ada.
(4) Perusahaan alih daya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk
badan hukum dan wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan
oleh Pemerintah Pusat.
(5) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus
memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan pekerja/buruh
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pengalihan perlindungan hak-hak bagi
pekerja/buruh” yaitu perusahaan alih daya yang baru memberikan
perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh minimal sama dengan
hak-hak yang diberikan oleh perusahaan alih daya sebelumnya.
Yang dimaksud “obyek pekerjaannya tetap ada” adalah pekerjaan
yang ada pada 1 (satu) perusahaan pemberi pekerjaan yang sama.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.

55
BAB X
PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN, DAN KESEJAHTERAAN
Bagian Kesatu
Perlindungan
Paragraf 1
Penyandang Cacat
Pasal 67
(1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib
memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
(2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 67
Ayat (1)
Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini misalnya
penyediaan aksesibilitas, pemberian alat kerja, dan alat pelindung diri
yang disesuaikan dengan jenis dan derajat kecacatannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Paragraf 2
Anak
Pasal 68
Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi
anak berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas)
tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu
perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan :
a. izin tertulis dari orang tua atau wali;
b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;

56
c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e. keselamatan dan kesehatan kerja;
f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan
g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, b, f dan g
dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
(1) Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian
dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang
berwenang.
(2) Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit berumur 14
(empat belas) tahun.
(3) Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan
syarat :
a. diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta
bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan
b. diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib memenuhi syarat :
a. di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali;
b. waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan
c. kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik,
mental, sosial, dan waktu sekolah.
Ketentuan mengenai anak yang bekerja untuk mengembangkan bakat dan
minat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Keputusan Menteri.

57
Pasal 71
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk melindungi anak agar
pengembangan bakat dan minat anak yang pada umumnya muncul
pada usia ini tidak terhambat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 72
Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa,
maka tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh
dewasa.
Pasal 72
Cukup jelas.

Pasal 73
Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat
dibuktikan sebaliknya.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
(1) Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-
pekerjaan yang terburuk.
(2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;
b. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan
anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau
perjudian;
c. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan
anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau

58
d. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau
moral anak.
(3) Jenis-jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau
moral anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
(1) Pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang
bekerja di luar hubungan kerja.
(2) Upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 75
Ayat (1)
Penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja
dimaksudkan untuk menghapuskan atau mengurangi anak yang
bekerja di luar hubungan kerja. Upaya tersebut harus dilakukan secara
terencana, terpadu, dan terkoordinasi dengan instansi terkait.
Anak yang bekerja di luar hubungan kerja misalnya anak penyemir
sepatu atau anak penjual koran.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Paragraf 3
Perempuan
Pasal 76
(1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas)
tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 s.d. 07.00.
(2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang
menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan
kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 s.d.
pukul 07.00.
(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul
23.00 s.d. pukul 07.00 wajib :
a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan

59
b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
(4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh
perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 s.d.
pukul 05.00.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) diatur
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 76
Ayat (1)
Yang bertanggung jawab atas pelanggaran ayat ini adalah pengusaha.
Apabila pekerja/buruh perempuan yang dimaksud dalam ayat ini
dipekerjakan antara pukul 23.00 s.d. 07.00 maka yang bertanggung
jawab atas pelanggaran tersebut adalah pengusaha.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Paragraf 4
Waktu Kerja
Pasal 77
(1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.
(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu
untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu)
minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku
bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(4) Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 77

60
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud sektor usaha atau pekerjaan tertentu dalam ayat ini
misalnya pekerjaan di pengeboran minyak lepas pantai, sopir angkutan
jarak jauh, penerbangan jarak jauh, pekerjaan di kapal (laut), atau
penebangan hutan.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 77

(1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.


(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu)
minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu)
minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(4) Pelaksanaan jam kerja bagi pekerja/buruh di perusahaan diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau
pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 77
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)

61
Bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu dapat diberlakukan
ketentuan waktu kerja yang kurang atau lebih dari 7 (tujuh) jam 1
(satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu atau 8
(delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu)
minggu.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 78
(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat:
a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam
dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.
(3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
b tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(4) Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 78
Ayat (1)
Mempekerjakan lebih dari waktu kerja sedapat mungkin harus
dihindarkan karena pekerja/buruh harus mempunyai waktu yang cukup
untuk istirahat dan memulihkan kebugarannya. Namun, dalam hal-hal
tertentu terdapat kebutuhan yang mendesak yang harus diselesaikan
segera dan tidak dapat dihindari sehingga pekerja/buruh harus bekerja
melebihi waktu kerja.

Ayat (2)
Cukup jelas.

62
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 78

1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat:
a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling lama 4 (empat)
jam dalam 1 (satu) hari dan 18 (delapan belas) jam dalam 1 (satu)
minggu.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar upah kerja
lembur.
(3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja
lembur diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 78
Ayat (1)
Mempekerjakan lebih dari waktu kerja sedapat mungkin harus
dihindarkan karena pekerja/buruh harus mempunyai waktu yang
cukup untuk istirahat dan memulihkan kebugarannya. Namun,
dalam hal-hal tertentu terdapat kebutuhan yang mendesak yang
harus diselesaikan segera dan tidak dapat dihindari sehingga
pekerja/buruh harus bekerja melebihi waktu kerja.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

63
Pasal 79
(1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.
(2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi :
a. istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah
bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat
tersebut tidak termasuk jam kerja;
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1
(satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1
(satu) minggu;
c. cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah
pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan
secara terus menerus; dan
d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan
pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi
pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-
menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh
tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua)
tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa
kerja 6 (enam) tahun.
(3) Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
huruf c diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama.
(4) Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d hanya
berlaku bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu.
(5) Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a.

64
Cukup jelas.
Huruf b.
Cukup jelas.
Huruf c.
Cukup jelas.
Huruf d.
Selama menjalankan istirahat panjang, pekerja/buruh diberi uang
kompensasi hak istirahat tahunan tahun kedelapan sebesar ½
(setengah) bulan gaji dan bagi perusahaan yang telah
memberlakukan istirahat panjang yang lebih baik dari ketentuan
undang-undang ini, maka tidak boleh mengurangi dari ketentuan
yang sudah ada.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Ketentuan Pasal 79 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 79
(1) Pengusaha wajib memberi:
a. waktu istirahat; dan
b. cuti.
(2) Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib
diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi:
a. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah
bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus, dan waktu istirahat
tersebut tidak termasuk jam kerja; dan
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1
(satu) minggu.
(3) Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang wajib diberikan
kepada pekerja/buruh, yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 (dua belas)

65
hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12
(dua belas) bulan secara terus menerus.
(4) Pelaksanaan cuti tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama.
(5) Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat
panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai perusahaan tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Bagi perusahaan yang telah memberlakukan istirahat panjang tidak
boleh mengurangi dari ketentuan yang sudah ada.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 80
Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada
pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.
Pasal 80
Yang dimaksud kesempatan secukupnya yaitu menyediakan tempat untuk
melaksanakan ibadah yang memungkinkan pekerja/buruh dapat
melaksanakan ibadahnya secara baik, sesuai dengan kondisi dan
kemampuan perusahaan.

66
Pasal 81
(1) Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan
memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama
dan kedua pada waktu haid.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
(1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu
setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah)
bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau
bidan.
(2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak
memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat
keterangan dokter kandungan atau bidan.
Pasal 82
Ayat (1)
Lamanya istirahat dapat diperpanjang berdasarkan surat keterangan
dokter kandungan atau bidan, baik sebelum maupun setelah
melahirkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 83
Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi
kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan
selama waktu kerja.
Pasal 83
Yang dimaksud dengan kesempatan sepatutnya dalam pasal ini adalah
lamanya waktu yang diberikan kepada pekerja/buruh perempuan untuk
menyusui bayinya dengan memperhatikan tersedianya tempat yang sesuai
dengan kondisi dan kemampuan perusahaan, yang diatur dalam peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

67
Pasal 84
Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d, Pasal 80, dan Pasal 82
berhak mendapat upah penuh.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
(1) Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi.
(2) Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-
hari libur resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus
dilaksanakan atau dijalankan secara terus-menerus atau pada keadaan lain
berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha.
(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan
pada hari libur resmi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib
membayar upah kerja lembur.
(4) Ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 85
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk melayani kepentingan
dan kesejahteraan umum. Di samping itu untuk pekerjaan yang karena
sifat dan jenis pekerjaannya tidak memungkinkan pekerjaan itu
dihentikan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Paragraf 5
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Pasal 86
(1) Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan
atas:

68
a. keselamatan dan kesehatan kerja;
b. moral dan kesusilaan; dan
c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-
nilai agama.
(2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan
produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan
kesehatan kerja.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 86
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Upaya keselamatan dan kesehatan kerja dimaksudkan untuk
memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat
kesehatan para pekerja/buruh dengan cara pencegahan kecelakaan
dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja,
promosi kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 87
(1) Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan
kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.
(2) Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan
kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 87
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan
kerja adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara
keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan,
pelaksanaan, tanggung jawab, prosedur, proses, dan sumber daya
yang dibutuhkan bagi pengembangan penerapan, pencapaian,
pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan
kerja dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan

69
kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan
produktif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Bagian Kedua
Pengupahan
Pasal 88
(1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
(2) Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah
menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.
(3) Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) meliputi :
a. upah minimum;
b. upah kerja lembur;
c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar
pekerjaannya;
e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
f. bentuk dan cara pembayaran upah;
g. denda dan potongan upah;
h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j. upah untuk pembayaran pesangon; dan
k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
(4) Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan
produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Pasal 88
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penghasilan yang memenuhi penghidupan
yang layak adalah jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh

70
dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup
pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan
dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi,
dan jaminan hari tua.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 88

(1) Setiap pekerja/buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi


kemanusiaan.
(2) Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu
upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan.
(3) Kebijakan pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. upah minimum;
b. struktur dan skala upah;
c upah kerja lembur;
d. upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena
alasan tertentu;
e. bentuk dan cara pembayaran upah;
f. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan
g. upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan
kewajiban lainnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 88
Ayat (1)
Cukup jelas.

71
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “alasan tertentu” antara lain alasan
karena pekerja/buruh sedang berhalangan, melakukan kegiatan
lain di luar pekerjaannya, atau menjalankan hak waktu
istirahatnya.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “hal-hal yang dapat diperhitungkan
dengan upah” antara lain berupa denda, ganti rugi,
pemotongan upah untuk pihak ketiga, uang muka upah, sewa
rumah dan/atau sewa barang-barang milik perusahaan yang
disewakan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh, hutang atau
cicilan hutang pekerja/buruh kepada pengusaha, atau kelebihan
pembayaran upah.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “upah sebagai dasar perhitungan atau
pembayaran hak dan kewajiban lainnya” antara lain upah untuk
pembayaran pesangon atau upah untuk perhitungan pajak
penghasilan.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Di antara Pasal 88 dan Pasal 89 disisipkan 5 (lima) pasal, yakni Pasal 88A,
Pasal 88B, Pasal 88C, Pasal 88D, dan Pasal 88E sehingga berbunyi sebagai
berikut:

72
Pasal 88A

(1) Hak pekerja/buruh atas upah timbul pada saat terjadi hubungan kerja
antara pekerja/buruh dengan pengusaha dan berakhir pada saat
putusnya hubungan kerja.

(2) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh upah yang sama untuk


pekerjaan yang sama nilainya.
(3) Pengusaha wajib membayar upah kepada pekerja/buruh sesuai dengan
kesepakatan.
(4) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara
pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak
boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan.
(5) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) lebih
rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
kesepakatan tersebut batal demi hukum dan pengaturan pengupahan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan
keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan
persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.
(7) Pekerja/buruh yang melakukan pelanggaran karena kesengajaan atau
kelalaiannya dapat dikenakan denda.
(8) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau
pekerja/buruh dalam pembayaran upah.
Pasal 88A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pengusaha dilarang tidak membayar upah bagi pekerj a/ buruh.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

73
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.

Pasal 88B

(1) Upah ditetapkan berdasarkan:


a. satuan waktu; dan/atau
b. satuan hasil.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai upah berdasarkan satuan waktu
dan/atau satuan hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 88B
Cukup jelas.
Pasal 88C

(1) Gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi.


(2) Gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan
syarat tertentu.
(3) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan.
(4) Syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi
pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi pada kabupaten/kota yang
bersangkutan.
(5) Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus lebih tinggi dari upah minimum provinsi.
(6) Kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) menggunakan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di
bidang statistik.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan upah minimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan syarat tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 88C
Cukup jelas.

74
Pasal 88D

(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan
ayat (2) dihitung dengan menggunakan formula perhitungan upah
minimum.
(2) Formula perhitungan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) memuat variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai formula perhitungan upah minimum
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 88D
Cukup jelas.
Pasal 88E

(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan
ayat (2) berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1
(satu) tahun pada perusahaan yang bersangkutan.
(2) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum.
Pasal 88E
Cukup jelas.

Pasal 89
(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a
dapat terdiri atas :
a. upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota;
b. upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau
kabupaten/kota;
(2) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diarahkan kepada
pencapaian kebutuhan hidup layak.
(3) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh
Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan
Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.
(4) Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

75
Pasal 89
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Upah minimum sektoral dapat ditetapkan untuk kelompok
lapangan usaha beserta pembagiannya menurut klasifikasi
lapangan usaha Indonesia untuk kabupaten/kota, provinsi,
beberapa provinsi atau nasional dan tidak boleh lebih rendah dari
upah minimum regional daerah yang bersangkutan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup
layak dalam ayat ini ialah setiap penetapan upah minimum harus
disesuaikan dengan tahapan pencapaian perbandingan upah minimum
dengan kebutuhan hidup layak yang besarannya ditetapkan oleh
Menteri.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pencapaian kebutuhan hidup layak perlu dilakukan secara bertahap
karena kebutuhan hidup layak tersebut merupakan peningkatan dari
kebutuhan hidup minimum yang sangat ditentukan oleh tingkat
kemampuan dunia usaha.

Ketentuan Pasal 89 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 89 Dihapus

Pasal 90
(1) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.
(2) Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89 dapat dilakukan penangguhan.
(3) Tata cara penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur
dengan Keputusan Menteri.

76
Pasal 90
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penangguhan pelaksanaan upah minimum bagi perusahaan yang tidak
mampu dimaksudkan untuk membebaskan perusahaan yang
bersangkutan melaksanakan upah minimum yang berlaku dalam kurun
waktu tertentu. Apabila penangguhan tersebut berakhir maka
perusahaan yang bersangkutan wajib melaksanakan upah minimum
yang berlaku pada saat itu tetapi tidak wajib membayar pemenuhan
ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu diberikan
penangguhan.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 90 Dihapus

Di antara Pasal 90 dan Pasal 91 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 90A dan
Pasal 90B sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 90A

Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara


pengusaha dan pekerja/buruh di perusahaan.
Pasal 90A
Cukup jelas.
Pasal 90B

(1) Ketentuan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat
(1) dan ayat (2) dikecualikan bagi Usaha Mikro dan Kecil.
(2) Upah pada Usaha Mikro dan Kecil ditetapkan berdasarkan kesepakatan
antara pengusaha dan pekerja/buruh di perusahaan.
(3) Kesepakatan upah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-
kurangnya sebesar persentase tertentu dari rata-rata konsumsi
masyarakat berdasarkan data yang bersumber dari lembaga yang

77
berwenang di bidang statistik.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai upah bagi Usaha Mikro dan Kecil diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 90B
Cukup jelas.

Pasal 91
(1) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara
pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh
lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah
atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan
tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah
pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 91
Cukup jelas.

Pasal 91 Dihapus

Pasal 92
(1) Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan
golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.
(2) Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan
memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.
(3) Ketentuan mengenai struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 92
Ayat (1)
Penyusunan struktur dan skala upah dimaksudkan sebagai pedoman
penetapan upah sehingga terdapat kepastian upah tiap pekerja/buruh

78
serta untuk mengurangi kesenjangan antara upah terendah dan
tertinggi di perusahaan yang bersangkutan.
Ayat (2)
Peninjauan upah dilakukan untuk penyesuaian harga kebutuhan hidup,
prestasi kerja, perkembangan, dan kemampuan perusahaan.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 92

(1) Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan


dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.
(2) Struktur dan skala upah digunakan sebagai pedoman pengusaha dalam
menetapkan upah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur dan skala upah diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 92
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penyusunan struktur dan skala upah dimaksudkan sebagai pedoman
penetapan upah sehingga terdapat kepastian upah tiap
pekerja/buruh serta mengurangi kesenjangan antara upah terendah
dan tertinggi di perusahaan yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Di antara Pasal 92 dan Pasal 93 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 92A
sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 92A

79
Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan
memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.
Pasal 92A
Peninjauan upah dilakukan untuk penyesuaian harga kebutuhan hidup,
prestasi kerja, perkembangan, dan kemampuan perusahaan.

Pasal 93
(1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan
pengusaha wajib membayar upah apabila :
a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua
masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
c. pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah,
menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan
atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu
atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah
meninggal dunia;
d. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena
menjalankan kewajiban terhadap negara;
e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena
menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan
tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan
sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
g. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h. pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/ serikat buruh atas
persetujuan pengusaha; dan
i. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
(3) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf a sebagai berikut :
a. untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus perseratus)
dari upah;

80
b. untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima
perseratus) dari upah;
c. untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh perseratus) dari
upah; dan
d. untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima perseratus) dari
upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.
(4) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk bekerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c sebagai berikut :
a. pekerja/buruh menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari;
b. menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
c. mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
d. membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
e. isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2
(dua) hari;
f. suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau menantu meninggal
dunia, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; dan
g. anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, dibayar untuk
selama 1 (satu) hari.
(5) Pengaturan pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama.
Pasal 93
Ayat (1)
Ketentuan ini merupakan asas yang pada dasarnya berlaku untuk
semua pekerja/buruh, kecuali apabila pekerja/buruh yang
bersangkutan tidak dapat melakukan pekerjaan bukan karena
kesalahannya.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud pekerja/buruh sakit ialah sakit menurut keterangan
dokter.
Huruf b
Cukup jelas.

81
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan menjalankan kewajiban terhadap negara
adalah melaksanakan kewajiban negara yang telah diatur dengan
peraturan perundang-undangan.
Pembayaran upah kepada pekerja/buruh yang menjalankan
kewajiban terhadap negara dilaksanakan apabila :
a. negara tidak melakukan pembayaran ; atau
b. negara membayar kurang dari upah yang biasa diterima
pekerja/buruh, dalam hal ini maka pengusaha wajib
membayar kekurangannya.
Huruf e
Yang dimaksud dengan menjalankan kewajiban ibadah menurut
agamanya adalah melaksanakan kewajiban ibadah menurut
agamanya yang telah diatur dengan peraturan perundang-
undangan.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 94
Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka
besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75 % (tujuh puluh lima perseratus) dari

82
jumlah upah pokok dan tunjangan tetap.
Pasal 94
Yang dimaksud dengan tunjangan tetap dalam pasal ini adalah pembayaran
kepada pekerja/buruh yang dilakukan secara teratur dan tidak dikaitkan
dengan kehadiran pekerja/ buruh atau pencapaian prestasi kerja tertentu.

Ketentuan Pasal 94 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 94

Dalam hal komponen upah terdiri atas upah pokok dan tunjangan tetap,
besarnya upah pokok paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari
jumlah upah pokok dan tunjangan tetap.
Pasal 94
Yang dimaksud dengan “tunjangan tetap” adalah pembayaran kepada
pekerja/buruh yang dilakukan secara teratur dan tidak dikaitkan dengan
kehadiran pekerja/buruh atau pencapaian prestasi kerja tertentu.

Pasal 95
(1) Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau
kelalaiannya dapat dikenakan denda.
(2) Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan
keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan
persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.
(3) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau
pekerja/ buruh, dalam pembayaran upah.
(4) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak
lainnya dari pekerja/ buruh merupakan utang yang didahulukan
pembayarannya.
Pasal 95
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)

83
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud didahulukan pembayarannya adalah upah
pekerja/buruh harus dibayar lebih dahulu dari pada utang lainnya.

Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 95

(1) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan


ketentuan peraturan perundang-undangan, upah dan hak lainnya yang
belum diterima oleh pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan
pembayarannya.
(2) Upah pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan
pembayarannya sebelum pembayaran kepada semua kreditur.
(3) Hak lainnya dari pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didahulukan pembayarannya atas semua kreditur kecuali para kreditur
pemegang hak jaminan kebendaan.
Pasal 95
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud “didahulukan pembayarannya” yaitu pembayaran
upah pekerja/buruh didahulukan dari semua jenis kreditur termasuk
kreditur separatis atau kreditur pemegang hak jaminan kebendaan,
tagihan hak negara, kantor lelang dan badan umum yang dibentuk
pemerintah.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 96
Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul
dari hubungan kerja menjadi kedaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2
(dua) tahun sejak timbulnya hak.
Pasal 96

84
Cukup jelas.

Pasal 96 Dihapus

Pasal 97
Ketentuan mengenai penghasilan yang layak, kebijakan pengupahan, kebutuhan
hidup layak, dan perlindungan pengupahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
88, penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, dan
pengenaan denda sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1), ayat (2)
dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 97
Cukup jelas.

Pasal 98
(1) Untuk memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan kebijakan
pengupahan yang akan ditetapkan oleh pemerintah, serta untuk
pengembangan sistem pengupahan nasional dibentuk Dewan Pengupahan
Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
(2) Keanggotaan Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat
buruh, perguruan tinggi, dan pakar.
(3) Keanggotaan Dewan Pengupahan tingkat Nasional diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden, sedangkan keanggotaan Dewan Pengupahan
Provinsi, Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur/Bupati/
Walikota.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, komposisi keanggotaan, tata
cara pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan, serta tugas dan tata
kerja Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2), diatur dengan Keputusan Presiden.
Pasal 98
Cukup jelas.

85
Bagian Ketiga
Kesejahteraan
Pasal 99
(1) Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan
sosial tenaga kerja.
(2) Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya,
pengusaha wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan.
(2) Penyediaan fasilitas kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran
kemampuan perusahaan.
(3) Ketentuan mengenai jenis dan kriteria fasilitas kesejahteraan sesuai dengan
kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 100
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan fasilitas kesejahteraan antara lain pelayanan
keluarga berencana, tempat penitipan anak, perumahan pekerja/buruh,
fasilitas beribadah, fasilitas olah raga, fasilitas kantin, fasilitas
kesehatan, dan fasilitas rekreasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 101
(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh, dibentuk koperasi
pekerja/buruh dan usaha-usaha produktif di perusahaan.
(2) Pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat

86
buruh berupaya menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh, dan
mengembangkan usaha produktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Pembentukan koperasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Upaya-upaya untuk menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 101
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan usaha-usaha produktif di perusahaan adalah
kegiatan yang bersifat ekonomis yang menghasilkan pendapatan di luar
upah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
BAB XI
HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 102
(1) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi
menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan
pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan.
(2) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh dan serikat
pekerja/serikat buruhnya mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai
dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi,
menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan,
dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan
kesejahteraan anggota beserta keluarganya.

87
(3) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pengusaha dan organisasi
pengusahanya mempunyai fungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan
usaha, memperluas lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan
pekerja/buruh secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan.
Pasal 102
Cukup jelas.

Pasal 103
Hubungan Industrial dilaksanakan melalui sarana :
a. serikat pekerja/serikat buruh;
b. organisasi pengusaha;
c. lembaga kerja sama bipartit;
d. lembaga kerja sama tripartit;
e. peraturan perusahaan;
f. perjanjian kerja bersama;
g. peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; dan
h. lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 103
Cukup jelas.
Bagian Kedua
Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Pasal 104
(1) Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat
pekerja/serikat buruh.
(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102,
serikat pekerja/ serikat buruh berhak menghimpun dan mengelola
keuangan serta mempertanggung-jawabkan keuangan organisasi termasuk
dana mogok.
(3) Besarnya dan tata cara pemungutan dana mogok sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) diatur dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah
tangga serikat pekerja/ serikat buruh yang bersangkutan.
Pasal 104
Ayat (1)

88
Kebebasan untuk membentuk, masuk atau tidak masuk menjadi
anggota serikat pekerja/serikat buruh merupakan salah satu hak dasar
pekerja/buruh.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Bagian Ketiga
Organisasi Pengusaha
Pasal 105
(1) Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi
pengusaha.
(2) Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 105
Cukup jelas.
Bagian Keempat
Lembaga Kerja Sama Bipartit
Pasal 106
(1) Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang
pekerja/buruh atau lebih wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit.
(2) Lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berfungsi sebagai forum komunikasi, dan konsultasi mengenai hal
ketenagakerjaan di perusahaan.
(3) Susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) terdiri dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang
ditunjuk oleh pekerja/buruh secara demokratis untuk mewakili kepentingan
pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan dan susunan keanggotaan
lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 106
Ayat (1)
Pada perusahaan dengan jumlah pekerja/buruh kurang dari 50 (lima
puluh) orang, komunikasi dan konsultasi masih dapat dilakukan secara

89
individual dengan baik dan efektif. Pada perusahaan dengan jumlah
pekerja/buruh 50 (lima puluh) orang atau lebih, komunikasi dan
konsultasi perlu dilakukan melalui sistem perwakilan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Bagian Kelima
Lembaga Kerja Sama Tripartit
Pasal 107
(1) Lembaga kerja sama tripartit memberikan pertimbangan, saran, dan
pendapat kepada pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan
kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan.
(2) Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terdiri
dari:
a. Lembaga Kerja sama Tripartit Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota;
dan
b. Lembaga Kerja sama Tripartit Sektoral Nasional, Provinsi, dan
Kabupaten/Kota.
(3) Keanggotaan Lembaga Kerja sama Tripartit terdiri dari unsur pemerintah,
organisasi pengusaha, dan serikat pekerja/serikat buruh.
(4) Tata kerja dan susunan organisasi Lembaga Kerja sama Tripartit
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 107
Cukup jelas.
Bagian Keenam
Peraturan Perusahaan
Pasal 108
(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku
setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

90
(2) Kewajiban membuat peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak berlaku bagi perusahaan yang telah memiliki perjanjian kerja
bersama.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Peraturan perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung jawab dari
pengusaha yang bersangkutan.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
(1) Peraturan perusahaan disusun dengan memperhatikan saran dan
pertimbangan dari wakil pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan telah terbentuk serikat
pekerja/serikat buruh maka wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) adalah pengurus serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan belum terbentuk serikat
pekerja/serikat buruh, wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) adalah pekerja/buruh yang dipilih secara demokratis untuk
mewakili kepentingan para pekerja/buruh di perusahaan yang
bersangkutan.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
(1) Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat :
a. hak dan kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban pekerja/buruh;
c. syarat kerja;
d. tata tertib perusahaan; dan
e. jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
(2) Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib

91
diperbaharui setelah habis masa berlakunya.
(4) Selama masa berlakunya peraturan perusahaan, apabila serikat
pekerja/serikat buruh di perusahaan menghendaki perundingan pembuatan
perjanjian kerja bersama, maka pengusaha wajib melayani.
(5) Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4) tidak mencapai kesepakatan, maka peraturan
perusahaan tetap berlaku sampai habis jangka waktu berlakunya.
Pasal 111
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan syarat kerja adalah hak dan kewajiban
pengusaha dan pekerja/buruh yang belum diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah peraturan
perusahaan tidak boleh lebih rendah kualitas atau kuantitasnya dari
peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan apabila ternyata
bertentangan, maka yang berlaku adalah ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

92
Pasal 112
(1) Pengesahan peraturan perusahaan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) harus sudah diberikan
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak naskah peraturan
perusahaan diterima.
(2) Apabila peraturan perusahaan telah sesuai sebagaimana ketentuan dalam
Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2), maka dalam waktu 30 (tiga puluh) hari
kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah terlampaui dan peraturan
perusahaan belum disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk, maka
peraturan perusahaan dianggap telah mendapatkan pengesahan.
(3) Dalam hal peraturan perusahaan belum memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2) Menteri atau
pejabat yang ditunjuk harus memberitahukan secara tertulis kepada
pengusaha mengenai perbaikan peraturan perusahaan.
(4) Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal
pemberitahuan diterima oleh pengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3), pengusaha wajib menyampaikan kembali peraturan perusahaan yang
telah diperbaiki kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
(1) Perubahan peraturan perusahaan sebelum berakhir jangka waktu
berlakunya hanya dapat dilakukan atas dasar kesepakatan antara
pengusaha dan wakil pekerja/buruh.
(2) Peraturan perusahaan hasil perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) harus mendapat pengesahan dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan
naskah peraturan perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh.
Pasal 114
Pemberitahuan dilakukan dengan cara membagikan salinan peraturan
perusahaan kepada setiap pekerja/buruh, menempelkan di tempat yang

93
mudah dibaca oleh para pekerja/buruh, atau memberikan penjelasan
langsung kepada pekerja/buruh.

Pasal 115
Ketentuan mengenai tata cara pembuatan dan pengesahan peraturan
perusahaan diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 115
Cukup jelas.
Bagian Ketujuh
Perjanjian Kerja Bersama
Pasal 116
(1) Perjanjian kerja bersama dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau
beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha
atau beberapa pengusaha.
(2) Penyusunan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilaksanakan secara musyawarah.
(3) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
dibuat secara tertulis dengan huruf latin dan menggunakan bahasa
Indonesia.
(4) Dalam hal terdapat perjanjian kerja bersama yang dibuat tidak
menggunakan bahasa Indonesia, maka perjanjian kerja bersama tersebut
harus diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah
dan terjemahan tersebut dianggap sudah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
Pasal 116
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pembuatan perjanjian kerja bersama harus dilandasi dengan itikad
baik, yang berarti harus ada kejujuran dan keterbukaan para pihak
serta kesukarelaan/kesadaran yang artinya tanpa ada tekanan dari satu
pihak terhadap pihak lain.

94
Ayat (3)
Dalam hal perjanjian kerja bersama dibuat dalam bahasa Indonesia dan
diterjemahkan dalam bahasa lain, apabila terjadi perbedaan penafsiran,
maka yang berlaku perjanjian kerja bersama yang menggunakan
bahasa Indonesia.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 117
Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) tidak
mencapai kesepakatan, maka penyelesaiannya dilakukan melalui prosedur
penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 117
Penyelesaian melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan
industrial dapat dilakukan melalui lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.

Pasal 118
Dalam 1 (satu) perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) perjanjian kerja
bersama yang berlaku bagi seluruh pekerja/ buruh di perusahaan.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
(1) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat
buruh, maka serikat pekerja/serikat buruh tersebut berhak mewakili
pekerja/buruh dalam perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama
dengan pengusaha apabila memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima
puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang
bersangkutan.
(2) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat
buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi tidak memiliki jumlah
anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh
pekerja/buruh di perusahaan maka serikat pekerja/serikat buruh dapat
mewakili pekerja/buruh dalam perundingan dengan pengusaha apabila
serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah mendapat dukungan
lebih 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di

95
perusahaan melalui pemungutan suara.
(3) Dalam hal dukungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak tercapai
maka serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan dapat mengajukan
kembali permintaan untuk merundingkan perjanjian kerja bersama dengan
pengusaha setelah melampaui jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak
dilakukannya pemungutan suara dengan mengikuti prosedur sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2).
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
(1) Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat
pekerja/serikat buruh maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan
perundingan dengan pengusaha yang jumlah keanggotaannya lebih dari
50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di
perusahaan tersebut.
(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
terpenuhi, maka serikat pekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi
sehingga tercapai jumlah lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari
seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut untuk mewakili dalam
perundingan dengan pengusaha.
(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2)
tidak terpenuhi, maka para serikat pekerja/serikat buruh membentuk tim
perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional
berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal
119 dan Pasal 120 dibuktikan dengan kartu tanda anggota.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2)
diselenggarakan oleh panitia yang terdiri dari wakil-wakil pekerja/buruh dan

96
pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang disaksikan oleh pihak pejabat yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan pengusaha.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
(1) Masa berlakunya perjanjian kerja bersama paling lama 2 (dua) tahun.
(2) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
diperpanjang masa berlakunya paling lama 1 (satu) tahun berdasarkan
kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat
buruh.
(3) Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama berikutnya dapat dimulai
paling cepat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya perjanjian kerja bersama
yang sedang berlaku.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak
mencapai kesepakatan maka perjanjian kerja bersama yang sedang
berlaku, tetap berlaku untuk paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
(1) Perjanjian kerja bersama paling sedikit memuat :
a. hak dan kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;
c. jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama;
dan
d. tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang
berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 124
Ayat (1)

97
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku adalah kualitas dan kuantitas isi
perjanjian kerja bersama tidak boleh lebih rendah dari peraturan
perundangan-undangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 125
Dalam hal kedua belah pihak sepakat mengadakan perubahan perjanjian kerja
bersama, maka perubahan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
(1) Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pekerja/buruh wajib
melaksanakan ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama.
(2) Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan isi
perjanjian kerja bersama atau perubahannya kepada seluruh pekerja/buruh.
(3) Pengusaha harus mencetak dan membagikan naskah perjanjian kerja
bersama kepada setiap pekerja/buruh atas biaya perusahaan.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
(1) Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/buruh tidak boleh
bertentangan dengan perjanjian kerja bersama.
(2) Dalam hal ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) bertentangan dengan perjanjian kerja bersama, maka ketentuan
dalam perjanjian kerja tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah
ketentuan dalam perjanjian kerja bersama.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Dalam hal perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang diatur dalam

98
perjanjian kerja bersama maka yang berlaku adalah aturan-aturan dalam
perjanjian kerja bersama.
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129
(1) Pengusaha dilarang mengganti perjanjian kerja bersama dengan peraturan
perusahaan, selama di perusahaan yang bersangkutan masih ada serikat
pekerja/serikat buruh.
(2) Dalam hal di perusahaan tidak ada lagi serikat pekerja/serikat buruh dan
perjanjian kerja bersama diganti dengan peraturan perusahaan, maka
ketentuan yang ada dalam peraturan perusahaan tidak boleh lebih rendah
dari ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama.
Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
(1) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya
akan diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut hanya
terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh, maka perpanjangan atau
pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama tidak mensyaratkan
ketentuan dalam Pasal 119.
(2) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya
akan diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut terdapat
lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja/serikat
buruh yang dulu berunding tidak lagi memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat
(1), maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja
bersama dilakukan oleh serikat pekerja/ serikat buruh yang anggotanya
lebih 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di
perusahaan bersama-sama dengan serikat pekerja/serikat buruh yang
membuat perjanjian kerja bersama terdahulu dengan membentuk tim
perunding secara proporsional.
(3) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya
akan diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut terdapat
lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan tidak satupun serikat
pekerja/serikat buruh yang ada memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1),

99
maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja
bersama dilakukan menurut ketentuan Pasal 120 ayat (2) dan ayat (3).
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
(1) Dalam hal terjadi pembubaran serikat pekerja/serikat buruh atau
pengalihan kepemilikan perusahaan maka perjanjian kerja bersama tetap
berlaku sampai berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama.
(2) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) dan masing-masing
perusahaan mempunyai perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja
bersama yang berlaku adalah perjanjian kerja bersama yang lebih
menguntungkan pekerja/buruh.
(3) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) antara perusahaan
yang mempunyai perjanjian kerja bersama dengan perusahaan yang belum
mempunyai perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama
tersebut berlaku bagi perusahaan yang bergabung (merger) sampai dengan
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
(1) Perjanjian kerja bersama mulai berlaku pada hari penandatanganan kecuali
ditentukan lain dalam perjanjian kerja bersama tersebut.
(2) Perjanjian kerja bersama yang ditandatangani oleh pihak yang membuat
perjanjian kerja bersama selanjutnya didaftarkan oleh pengusaha pada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Ketentuan mengenai persyaratan serta tata cara pembuatan, perpanjangan,
perubahan, dan pendaftaran perjanjian kerja bersama diatur dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 133
Cukup jelas.

100
Pasal 134
Dalam mewujudkan pelaksanaan hak dan kewajiban pekerja/buruh dan
pengusaha, pemerintah wajib melaksanakan pengawasan dan penegakan
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dalam
mewujudkan hubungan industrial merupakan tanggung jawab pekerja/buruh,
pengusaha, dan pemerintah.
Pasal 135
Cukup jelas.
Bagian Kedelapan
Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Paragraf 1
Perselisihan Hubungan Industrial
Pasal 136
(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh
pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara
musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan
hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang.
Pasal 136
Cukup jelas.
Paragraf 2
Mogok Kerja
Pasal 137
Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh
dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.
Pasal 137

101
- Yang dimaksud dengan gagalnya perundingan dalam pasal ini adalah tidak
tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial
yang dapat disebabkan karena pengusaha tidak mau melakukan
perundingan atau perundingan mengalami jalan buntu.
- Yang dimaksud dengan tertib dan damai adalah tidak mengganggu
keamanan dan ketertiban umum, dan/atau mengancam keselamatan jiwa
dan harta benda milik perusahaan atau pengusaha atau orang lain atau
milik masyarakat.
Pasal 138
(1) Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang bermaksud
mengajak pekerja/buruh lain untuk mogok kerja pada saat mogok kerja
berlangsung dilakukan dengan tidak melanggar hukum.
(2) Pekerja/buruh yang diajak mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), dapat memenuhi atau tidak memenuhi ajakan tersebut.
Pasal 138
Cukup jelas.
Pasal 139
Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan
yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya
membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga
tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan
orang lain.
Pasal 139
Yang dimaksud dengan perusahaan yang melayani kepentingan umum
dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan
jiwa manusia adalah rumah sakit, dinas pemadam kebakaran, penjaga pintu
perlintasan kereta api, pengontrol pintu air, pengontrol arus lalu lintas
udara, dan pengontrol arus lalu lintas laut.
Yang dimaksud dengan pemogokan yang diatur sedemikian rupa yaitu
pemogokan yang dilakukan oleh para pekerja/buruh yang tidak sedang
menjalankan tugas.

Pasal 140
(1) Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja
dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib

102
memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya
memuat:
a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja;
b. tempat mogok kerja;
c. alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan
d. tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan
sekretaris serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab
mogok kerja.
(3) Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak
menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka pemberitahuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditandatangani oleh perwakilan
pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau penanggung
jawab mogok kerja.
(4) Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), maka demi menyelamatkan alat produksi dan aset perusahaan,
pengusaha dapat mengambil tindakan sementara dengan cara:
a. melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi
kegiatan proses produksi; atau
b. bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada
di lokasi perusahaan.
Pasal 140
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a.
Cukup jelas.
Huruf b.
Tempat mogok kerja adalah tempat-tempat yang ditentukan oleh
penanggung jawab pemogokan yang tidak menghalangi
pekerja/buruh lain untuk bekerja.
Huruf c.
Cukup jelas.

103
Huruf d.
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 141
(1) Instansi pemerintah dan pihak perusahaan yang menerima surat
pemberitahuan mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 wajib
memberikan tanda terima.
(2) Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah yang
menyebabkan timbulnya pemogokan dengan mempertemukan dan
merundingkannya dengan para pihak yang berselisih.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan
kesepakatan, maka harus dibuatkan perjanjian bersama yang
ditandatangani oleh para pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak
menghasilkan kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang
menyebabkan terjadinya mogok kerja kepada lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang berwenang.
(5) Dalam hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha
dengan serikat pekerja/serikat buruh atau penanggung jawab mogok kerja,
mogok kerja dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau
dihentikan sama sekali.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
(1) Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 139 dan Pasal 140 adalah mogok kerja tidak sah.
(2) Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) akan diatur dengan Keputusan Menteri.

104
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 143
(1) Siapapun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh dan serikat
pekerja/serikat buruh untuk menggunakan hak mogok kerja yang dilakukan
secara sah, tertib, dan damai.
(2) Siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap
pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang melakukan
mogok kerja secara sah, tertib, dan damai sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 143
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan menghalang-halangi dalam ayat ini antara lain
dengan cara :
a. menjatuhkan hukuman;
b. mengintimidasi dalam bentuk apapun; atau
c. melakukan mutasi yang merugikan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 144
Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 140, pengusaha dilarang:
a. mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari
luar perusahaan; atau
b. memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada
pekerja/ buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan
sesudah melakukan mogok kerja.
Pasal 144
Cukup jelas.
Pasal 145
Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam
melakukan tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh
pengusaha, pekerja/buruh berhak mendapatkan upah.

105
Pasal 145
- Yang dimaksud dengan sungguh-sungguh melanggar hak normatif adalah
pengusaha secara nyata tidak bersedia memenuhi kewajibannya
sebagaimana dimaksud dan/atau ditetapkan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan, meskipun sudah ditetapkan dan
diperintahkan oleh pejabat yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
- Pembayaran upah pekerja/buruh yang mogok dalam pasal ini tidak
menghilangkan ketentuan pengenaan sanksi terhadap pengusaha yang
melakukan pelanggaran ketentuan normatif.

Paragraf 3
Penutupan Perusahaan (lock-out)
Pasal 146
(1) Penutupan perusahaan (lock out) merupakan hak dasar pengusaha untuk
menolak pekerja/buruh sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan
pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan.
(2) Pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan perusahaan (lock out)
sebagai tindakan balasan sehubungan adanya tuntutan normatif dari
pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Tindakan penutupan perusahaan (lock out) harus dilakukan sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku.

Pasal 146
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam hal penutupan perusahaan (lock out) dilakukan secara tidak sah
atau sebagai tindakan balasan terhadap mogok yang sah atas tuntutan
normatif, maka pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh.

106
Pasal 147
Penutupan perusahaan (lock out) dilarang dilakukan pada perusahaan-
perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau jenis kegiatan yang
membahayakan keselamatan jiwa manusia, meliputi rumah sakit, pelayanan
jaringan air bersih, pusat pengendali telekomunikasi, pusat penyedia tenaga
listrik, pengolahan minyak dan gas bumi, serta kereta api.
Pasal 147
Cukup jelas.
Pasal 148
(1) Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh
dan/atau serikat pekerja/serikat buruh, serta instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya 7 (tujuh)
hari kerja sebelum penutupan perusahaan (lock out) dilaksanakan.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya
memuat:
a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan
perusahaan (lock out); dan
b. alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan (lock out).
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh
pengusaha dan/atau pimpinan perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 148
Cukup jelas.
Pasal 149
(1) Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dan instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang menerima secara
langsung surat pemberitahuan penutupan perusahaan (lock out)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 harus memberikan tanda bukti
penerimaan dengan mencantumkan hari, tanggal, dan jam penerimaan.
(2) Sebelum dan selama penutupan perusahaan (lock out) berlangsung, instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan berwenang langsung
menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya penutupan
perusahaan (lock out) dengan mempertemukan dan merundingkannya
dengan para pihak yang berselisih.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)

107
menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuat perjanjian bersama yang
ditandatangani oleh para pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak
menghasilkan kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang
menyebabkan terjadinya penutupan perusahaan (lock out) kepada lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
(5) Apabila perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha
dan serikat pekerja/serikat buruh, penutupan perusahaan (lock out) dapat
diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali.
(6) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) dan ayat
(2) tidak diperlukan apabila:
a. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar prosedur
mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140;
b. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar ketentuan
normatif yang ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 149
Cukup jelas.
BAB XII
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Pasal 150
Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini
meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan
hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan
hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan
usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain
dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Pasal 150
Cukup jelas.

108
Pasal 151
(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah,
dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan
hubungan kerja.
(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja
tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib
dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau
dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak
menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar
tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan
hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 151
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan segala upaya dalam ayat ini adalah kegiatan-
kegiatan yang positif yang pada akhirnya dapat menghindari terjadinya
pemutusan hubungan kerja antara lain pengaturan waktu kerja,
penghematan, pembenahan metode kerja, dan memberikan pembinaan
kepada pekerja/buruh.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Ketentuan Pasal 151 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 151

(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan


Pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi pemutusan
hubungan kerja.
(2) Dalam hal pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maksud dan
alasan pemutusan hubungan kerja diberitahukan oleh pengusaha kepada

109
pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal pekerja/buruh telah diberitahu dan menolak pemutusan
hubungan kerja, penyelesaian pemutusan hubungan kerja wajib
dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan
pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.
(4) Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
tidak mendapatkan kesepakatan, pemutusan hubungan kerja dilakukan
melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
Pasal 151
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan mengupayakan adalah kegiatan-kegiatan
yang positif yang pada akhirnya dapat menghindari terjadinya
pemutusan hubungan kerja antara lain pengaturan waktu kerja,
penghematan, pembenahan metode kerja, dan memberikan
pembinaan kepada pekerja/buruh.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Di antara Pasal 151 dan Pasal 152 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 15 IA
sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 151A

Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2) tidak perlu
dilakukan oleh pengusaha dalam hal:
a. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri;
b. pekerja/buruh dan pengusaha berakhir hubungan kerjanya sesuai
dengan perjanjian kerja waktu tertentu;
c. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; atau

110
d. pekerja/buruh meninggal dunia.
Pasal 151A
Cukup jelas.

Pasal 152
(1) Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis
kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai
alasan yang menjadi dasarnya.
(2) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
diterima oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
apabila telah dirundingkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat
(2).
(3) Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat
diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika
ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan,
tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan.
Pasal 152
Cukup jelas.

Pasal 152 Dihapus

Pasal 153
(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan:
a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut
keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan
secara terus-menerus;
b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena
memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. pekerja/buruh menikah;

111
e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau
menyusui bayinya;
f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan
dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama;
g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat
pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat
pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas
kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama;
h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib
mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana
kejahatan;
i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit,
golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan
kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat
keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat
dipastikan.
(2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib
mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.
Pasal 153
Cukup jelas.

Ketentuan Pasal 153 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 153

(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja kepada


pekerja/buruh dengan alasan:
a. berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter
selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-

112
menerus;
b. berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi
kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan;
c. menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. menikah;
e. hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f. mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan
pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan;
g. mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat
pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat
pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas
kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama;
h. mengadukan pengusaha kepada pihak yang berwajib mengenai
perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i. berbeda paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan,
jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan; dan
j. dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau
sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter
yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
(2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib
mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.
Pasal 153
Cukup jelas.

Pasal 154
Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan
dalam hal :
a. pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah
dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;
b. pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis
atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari

113
pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja
waktu tertentu untuk pertama kali;
c. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau
peraturan perundang-undangan; atau
d. pekerja/buruh meninggal dunia.
Pasal 154
Cukup jelas.

Pasal 154 Dihapus

Di antara Pasal 154 dan Pasal 155 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 154A
sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 154A

(1) Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan:


a. perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan,
atau pemisahan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia
melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia
menerima pekerja/buruh;
b. perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan
perusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan perusahaan yang
disebabkan perusahaan mengalami kerugian;
c. perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami
kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun;
d. perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force
majeur).
e. perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran
utang;
f. perusahaan pailit;
g. adanya permohonan pemutusan hubungan kerja yang diajukan oleh
pekerja/buruh dengan alasan pengusaha melakukan perbuatan

114
sebagai berikut:
1. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam
pekerja/buruh;
2. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan;
3. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan
selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun
pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu;
4. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada
pekerja/buruh;
5. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan
pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
6. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan,
kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan
tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja;
h. adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial yang menyatakan pengusaha tidak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud pada huruf g terhadap permohonan yang
diajukan oleh pekerja/buruh dan pengusaha memutuskan untuk
melakukan pemutusan hubungan kerja;
i. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus
memenuhi syarat:
1. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai
pengunduran diri;
2. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
3. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai
pengunduran diri;
j. pekerja/buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih
berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi
dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua)
kali secara patut dan tertulis;
k. pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama,
kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku
untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain dalam

115
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama;
l. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam)
bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan
tindak pidana;
m. pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat
kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah
melampaui batas 12 (dua belas) bulan;
n. pekerja/buruh memasuki usia pensiun; atau
o. pekerja/buruh meninggal dunia.
(2) Selain alasan pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dapat ditetapkan alasan pemutusan hubungan kerja lainnya
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemutusan hubungan kerja
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 154A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan atau mengatur lebih baik dari peraturan perundang-
undangan.

Pasal 155
(1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum.
(2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap
melaksanakan segala kewajibannya.
(3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada
pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja
dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa

116
diterima pekerja/buruh.
Pasal 155
Cukup jelas.

Pasal 155 Dihapus

Pasal 156
(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan
membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan
uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
(2) Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling
sedikit sebagai berikut:
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun,
2 (dua) bulan upah;
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3
(tiga) bulan upah;
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat)
tahun, 4 (empat) bulan upah;
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima)
tahun, 5 (lima) bulan upah;
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun,
6 (enam) bulan upah;
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh)
tahun, 7 (tujuh) bulan upah.
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan)
tahun, 8 (delapan) bulan upah;
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah;
(3) Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ditetapkan sebagai berikut :
a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun,
2 (dua) bulan upah;

117
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan)
tahun, 3 (tiga) bulan upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12
(duabelas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
d. masa kerja 12 (duabelas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima
belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18
(delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21
(duapuluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g. masa kerja 21 (duapuluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24
(duapuluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h. masa kerja 24 (duapuluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan
upah.
(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) meliputi:
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya
ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan
15% (limabelas perseratus) dari uang pesangon dan atau uang
penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(5) Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan
masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 156
Cukup jelas.

Ketentuan Pasal 156 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 156

118
(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib
membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan
uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
(2) Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua)
tahun, 2 (dua) bulan upah;
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga)
tahun, 3 (tiga) bulan upah;
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat)
tahun, 4 (empat) bulan upah;
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima)
tahun, 5 (lima) bulan upah;
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam)
tahun, 6 (enam) bulan upah;
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh)
tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan)
tahun, 8 (delapan) bulan upah;
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
(3) Uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam)
tahun, 2 (dua) bulan upah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9
(sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua
belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
d. masa kerja 12 (duabelas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15
(lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18
(delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21
(dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari
24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;

119
h.masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh)
bulan upah.
(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke
tempat pekerja/buruh diterima bekerja;
c. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian uang pesangon, uang
penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal 156
Cukup jelas.

Pasal 157
(1) Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang
pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang
seharusnya diterima yang tertunda, terdiri atas :
a. upah pokok;
b. segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan
kepada pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari
catu yang diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang
apabila catu harus dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai
upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang
harus dibayar oleh pekerja/buruh.
(2) Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan
harian, maka penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 kali penghasilan
sehari.
(3) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan
hasil, potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan sehari adalah
sama dengan pendapatan rata-rata per hari selama 12 (dua belas) bulan
terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah

120
minimum provinsi atau kabupaten/kota.
(4) Dalam hal pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya
didasarkan pada upah borongan, maka perhitungan upah sebulan dihitung
dari upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir.
Pasal 157
Cukup jelas.

Ketentuan Pasal 157 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 157

(1) Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang


pesangon dan uang penghargaan masa kerja terdiri atas:
a. upah pokok; dan
b. tunjangan tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan
keluarganya.
(2) Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan
harian, upah sebulan sama dengan 30 (tiga puluh) dikalikan upah sehari.
(3) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan
hasil, upah sebulan sama dengan penghasilan rata-rata dalam 12 (dua
belas) bulan terakhir.
(4) Dalam hal upah sebulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) lebih
rendah dari upah minimum, upah yang menjadi dasar perhitungan
pesangon adalah upah minimum yang berlaku di wilayah domisili
perusahaan.
Pasal 157
Cukup jelas.

Di antara Pasal 157 dan Pasal 158 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 157A
sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 157A

(1) Selama penyelesaian perselisihan hubungan industrial, pengusaha dan

121
pekerja/ buruh harus tetap melaksanakan kewajibannya.
(2) Pengusaha dapat melakukan tindakan skorsing kepada pekerja/buruh
yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap
membayar upah beserta hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
(3) Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sampai dengan selesainya proses penyelesaian perselisihan hubungan
industrial sesuai tingkatannya.
Pasal 157A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “hak lainnya” yaitu hak-hak lain yang diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja
bersama.
Contoh: hak cuti yang belum diambil dan belum gugur.
Ayat (3)
Yang dimaksud “sesuai tingkatannya” adalah penyelesaian
perselisihan di tingkat bipartit atau mediasi/konsiliasi/arbitrase atau
pengadilan hubungan industrial.

Pasal 158 *)1


(1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai
berikut:
a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau
uang milik perusahaan;
b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga
merugikan perusahaan;
c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan
atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di
lingkungan kerja;
d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;

*) Pasal ini tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, Sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi RI Perkara
Nomor : 012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004.

122
e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja
atau pengusaha di lingkungan kerja;
f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam
keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian
bagi perusahaan;
h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau
pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya
dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
(2) Kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didukung
dengan bukti sebagai berikut:
a. pekerja/buruh tertangkap tangan;
b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang
berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(3) Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat memperoleh uang
penggantian hak sebagai dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4).
(4) Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tugas dan
fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain
uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4)
diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 158
Cukup jelas.

Pasal 158 Dihapus

123
Pasal 159 *)2
Apabila pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat
mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 159
Cukup jelas.

Pasal 159 Dihapus

Pasal 160 **)3


(1) Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga
melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha, maka
pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan
kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. untuk 1 (satu) orang tanggungan : 25% (dua puluh lima perseratus)
dari upah;
b. untuk 2 (dua) orang tanggungan : 35% (tiga puluh lima perseratus)
dari upah;
c. untuk 3 (tiga) orang tanggungan : 45% (empat puluh lima perseratus)
dari upah;
d. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih : 50% (lima puluh
perseratus) dari upah.
(2) Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan untuk paling lama
6 (enam) bulan takwin terhitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan
oleh pihak yang berwajib.

*)
Pasal ini tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, Sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi RI Perkara
Nomor : 012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004.
**)
Anak kalimat “ …… bukan atas pengaduan pengusaha “ ….. tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat, Sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi RI Perkara Nomor: 012/PUU-I/2003 tanggal 28
Oktober 2004.

124
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh yang setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan
pekerjaan sebagaimana mestinya karena dalam proses perkara pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam)
bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh
dinyatakan tidak bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan
pekerja/buruh kembali.
(5) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam)
bulan berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan bersalah, maka pengusaha
dapat melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang
bersangkutan.
(6) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat
(5) dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.
(7) Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami
pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat
(5), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat
(3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal 160
Ayat (1)
Keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungan adalah istri/suami,
anak atau orang yang syah menjadi tanggungan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

125
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.

Ketentuan Pasal 160 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 160

(1) Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga
melakukan tindak pidana, pengusaha tidak wajib membayar upah, tetapi
wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi
tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk 1 (satu) orang tanggungan, 25% (dua puluh lima persen) dari
upah;
b. untuk 2 (dua) orang tanggungan, 35% (tiga puluh lima persen) dari
upah;
c. untuk 3 (tiga) orang tanggungan, 45% (empat puluh lima persen)
dari upah;
d. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih, 50% (lima puluh
persen) dari upah.
(2) Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk paling
lama 6 (enam) bulan terhitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan
oleh pihak yang berwajib.
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh yang setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan
pekerjaan sebagaimana mestinya karena dalam proses perkara pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6
(enam) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir dan
pekerja/buruh dinyatakan tidak bersalah, pengusaha wajib
mempekerjakan pekerja/buruh kembali.
(5) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6
(enam) bulan berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan bersalah,
pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja kepada
pekerja/buruh yang bersangkutan.

126
Pasal 160
Ayat (1)
Keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungan adalah
istri/suami, anak atau orang yang sah menjadi tanggungan
pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan
atau perjanjian kerja bersama.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 161
(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah
kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan
pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.
(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing
berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar
1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja
sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian
hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 161
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)

127
Masing-masing surat peringatan dapat diterbitkan secara berurutan
atau tidak, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja
atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Dalam hal surat peringatan diterbitkan secara berurutan maka surat
peringatan pertama berlaku untuk jangka 6 (enam) bulan. Apabila
pekerja/buruh melakukan kembali pelanggaran ketentuan dalam
perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama masih dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan maka
pengusaha dapat menerbitkan surat peringatan kedua, yang juga
mempunyai jangka waktu berlaku selama 6 (enam) bulan sejak
diterbitkannya peringatan kedua.
Apabila pekerja/buruh masih melakukan pelanggaran ketentuan dalam
perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama, pengusaha dapat menerbitkan peringatan ketiga (terakhir)
yang berlaku selama 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya peringatan
ketiga. Apabila dalam kurun waktu peringatan ketiga pekerja/buruh
kembali melakukan pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka pengusaha dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja.
Dalam hal jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya surat
peringatan pertama sudah terlampaui, maka apabila pekerja/buruh
yang bersangkutan melakukan kembali pelanggaran perjanjian kerja
atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka surat
peringatan yang diterbitkan oleh pengusaha adalah kembali sebagai
peringatan pertama, demikian pula berlaku juga bagi peringatan kedua
dan ketiga.
Perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama dapat memuat pelanggaran tertentu yang dapat diberi
peringatan pertama dan terakhir. Apabila pekerja/buruh melakukan
pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama dalam tenggang waktu masa berlakunya
peringatan pertama dan terakhir dimaksud, pengusaha dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja.
Tenggang waktu 6 (enam) bulan dimaksudkan sebagai upaya mendidik
pekerja/buruh agar dapat memperbaiki kesalahannya dan di sisi lain
waktu 6 (enam) bulan ini merupakan waktu yang cukup bagi
pengusaha untuk melakukan penilaian terhadap kinerja pekerja/buruh

128
yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 161 Dihapus

Pasal 162
(1) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang
tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara
langsung, selain menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) harus memenuhi syarat :
a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran
diri;
b. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran
diri.
(4) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan
sendiri dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.
Pasal 162
Cukup jelas.

Pasal 162 Dihapus

129
Pasal 163
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan,
peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh
tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak
atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat
(3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
(2) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh karena perubahan status, penggabungan, atau peleburan
perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh di
perusahaannya, maka pekerja/ buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2
(dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1
(satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal 163
Cukup jelas.

Pasal 163 Dihapus

Pasal 164
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan
mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau
keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak
atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2)
uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156
ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah

130
diaudit oleh akuntan publik.
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian
2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa ( force
majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan
pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 164
Cukup jelas.

Pasal 164 Dihapus

Pasal 165
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh karena perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh
berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2),
uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat
(3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 165
Cukup jelas.

Pasal 165 Dihapus

Pasal 166
Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia,
kepada ahli warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama
dengan perhitungan 2 (dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (2), 1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 166

131
Cukup jelas.

Pasal 166 Dihapus

Pasal 167
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah
mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar
penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan
uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan
masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang diterima sekaligus
dalam program pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata
lebih kecil daripada jumlah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156
ayat (2) dan uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal
156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(4), maka selisihnya dibayar oleh pengusaha.
(3) Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam
program pensiun yang iurannya/preminya dibayar oleh pengusaha dan
pekerja/buruh, maka yang diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu
uang pensiun yang premi/ iurannya dibayar oleh pengusaha.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
dapat diatur lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama.
(5) Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang
mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program
pensiun maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang
pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang
penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(6) Hak atas manfaat pensiun sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak menghilangkan hak pekerja/buruh atas
jaminan hari tua yang bersifat wajib sesuai dengan peraturan perundang-

132
undangan yang berlaku.
Pasal 167
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh dari ayat ini adalah :
- Misalnya uang pesangon yang seharusnya diterima pekerja/buruh
adalah Rp.10.000.000,00 dan besarnya jaminan pensiun menurut
program pensiun adalah Rp.6.000.000,00. serta dalam pengaturan
program pensiun tersebut telah ditetapkan premi yang ditanggung
oleh pengusaha 60% (enampuluh perseratus) dan oleh
pekerja/buruh 40% (empatpuluh perseratus), maka :
- Perhitungan hasil dari premi yang sudah dibayar oleh pengusaha
adalah: sebesar 60% x Rp 6.000.000,00 = Rp. 3.600.000,00
- Besarnya santunan yang preminya dibayar oleh pekerja/buruh
adalah sebesar 40% X Rp 6.000.000,00 = Rp 2.400.000,00
- Jadi kekurangan yang masih harus dibayar oleh Pengusaha
sebesar Rp 10.000.000,00 dikurangi Rp3.600.000,00 = Rp.
6.400.000,00
- Sehingga uang yang diterima oleh pekerja/buruh pada saat PHK
karena pensiun tersebut adalah :
• Rp 3.600.000,00 (santunan dari penyelenggara program
pensiun yang preminya 60% dibayar oleh pengusaha)
• Rp 6.400.000.00 (berasal dari kekurangan pesangon yang
harus di bayar oleh pengusaha)
• Rp 2.400.000.00 (santunan dari penyelenggara program
pensiun yang preminya 40% dibayar oleh pekerja/buruh)
- Jumlah Rp 12.400.000,00 (dua belas juta empat ratus ribu rupiah)
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.

133
Pasal 167 Dihapus

Pasal 168
(1) Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-
turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang
sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan
tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan
mengundurkan diri.
(2) Keterangan tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) harus diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh
masuk bekerja.
(3) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
pekerja/buruh yang bersangkutan berhak menerima uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) dan diberikan uang pisah yang
besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 168
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan dipanggil secara patut dalam ayat ini adalah
pekerja/ buruh telah dipanggil secara tertulis yang ditujukan pada
alamat pekerja/buruh sebagaimana tercatat di perusahaan berdasarkan
laporan pekerja/buruh. Tenggang waktu antara pemanggilan pertama
dan kedua paling sedikit 3 (tiga) hari kerja.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 168 Dihapus

134
Pasal 169
(1) Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja
kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal
pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
a. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
b. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
c. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama
3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih;
d. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada
pekerja/buruh;
e. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar
yang diperjanjikan; atau
f. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan,
kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan
tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
(2) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) pekerja/buruh berhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (4).
(3) Dalam hal pengusaha dinyatakan tidak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak berhak atas uang pesangon
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), dan uang penghargaan masa kerja
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3).
Pasal 169
Cukup jelas.

Pasal 169 Dihapus

135
Pasal 170 *)4
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan Pasal
151 ayat (3) dan Pasal 168, kecuali Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), Pasal
162, dan Pasal 169 batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan
pekerja/buruh yang bersangkutan serta membayar seluruh upah dan hak yang
seharusnya diterima.
Pasal 170
Cukup jelas.

Pasal 170 Dihapus

Pasal 171 **)5


Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal
162, dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat menerima pemutusan
hubungan kerja tersebut, maka pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan ke
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu paling lama
1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya.
Pasal 171
Tenggang waktu 1 tahun dianggap merupakan waktu yang cukup layak
untuk mengajukan gugatan.

Pasal 171 Dihapus

*)
Anak Kalimat “…. kecuali Pasal 158 ayat (1), …..” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sesuai
Putusan Mahkamah RI Perkara Nomor : 012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004.
**) Anak Kalimat “….. Pasal 158 ayat (1) …..” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sesuai dengan
Putusan Mahkamah RI Perkara Nomor : 012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004.

136
Pasal 172
Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat
kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui
batas 12 (dua belas) bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan
diberikan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang
penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang
pengganti hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 172
Cukup jelas.

Pasal 172 Dihapus

BAB XIII
PEMBINAAN
Pasal 173
(1) Pemerintah melakukan pembinaan terhadap unsur-unsur dan kegiatan yang
berhubungan dengan ketenagakerjaan.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat mengikutsertakan
organisasi pengusaha, serikat pekerja/ serikat buruh, dan organisasi profesi
terkait.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ayat (2),
dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi.
Pasal 173
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pembinaan dalam ayat ini adalah kegiatan yang
dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh
hasil yang lebih baik untuk meningkatkan dan mengembangkan semua
kegiatan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)

137
Yang melakukan koordinasi dalam ayat ini adalah instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

Pasal 174
Dalam rangka pembinaan ketenagakerjaan, pemerintah, organisasi pengusaha,
serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi profesi terkait dapat melakukan
kerja sama internasional di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 174
Cukup jelas.
Pasal 175
(1) Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga
yang telah berjasa dalam pembinaan ketenagakerjaan.
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan dalam
bentuk piagam, uang, dan/atau bentuk lainnya.
Pasal 175
Cukup jelas.
BAB XIV
PENGAWASAN
Pasal 176
Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas
ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin
pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
Pasal 176
Yang dimaksudkan dengan independen dalam pasal ini adalah pegawai
pengawas dalam mengambil keputusan tidak terpengaruh oleh pihak lain.

Pasal 177
Pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176
ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 177
Cukup jelas.

138
Pasal 178
(1) Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja tersendiri pada
instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten/kota.
(2) Pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur dengan Keputusan Presiden.
Pasal 178
Cukup jelas.
Pasal 179
(1) Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 178 pada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota wajib
menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepada
Menteri.
(2) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 179
Cukup jelas.
Pasal 180
Ketentuan mengenai persyaratan penunjukkan, hak dan kewajiban, serta
wewenang pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 176 sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 180
Cukup jelas.
Pasal 181
Pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 wajib :
a. merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan;
b. tidak menyalahgunakan kewenangannya.
Pasal 181
Cukup jelas.
BAB XV
PENYIDIKAN
Pasal 182
(1) Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada

139
pegawai pengawas ketenagakerjaan dapat diberi wewenang khusus sebagai
penyidik pegawai negeri sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan
tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak
pidana di bidang ketenagakerjaan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum
sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
d. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam
perkara tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
e. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang
tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; dan
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang
membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.
(3) Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 182
Cukup jelas.
BAB XVI
KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian Pertama
Ketentuan Pidana
Pasal 183
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74,
dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).

140
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak
pidana kejahatan.
Pasal 183
Cukup jelas.

Pasal 184
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167
ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp
100.000.000.00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000.00
(lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak
pidana kejahatan.
Pasal 184
Cukup jelas.
Pasal 185
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal
90 ayat (1), Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan
sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4
(empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta
rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak
pidana kejahatan.
Pasal 185
Cukup jelas.

Ketentuan Pasal 185 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 185

1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


42 ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 88A
ayat (3), Pasal 88E ayat (2), Pasal 143, Pasal 156 ayat (1), atau Pasal

141
160 ayat (4) dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit
Rpl00.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak
pidana kejahatan.
Pasal 185
Cukup jelas.

Pasal 186 *)6


(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1),
dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling
lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus
juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak
pidana pelanggaran.
Pasal 186
Cukup jelas.

Ketentuan Pasal 186 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 186

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


35 ayat (2) atau ayat (3), atau Pasal 93 ayat (2), dikenakan sanksi
pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat)
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak
pidana pelanggaran.
Pasal 186
Cukup jelas.

*) Anak kalimat “….. Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) ….” Tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi RI Perkara Nomor: 012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004.

142
Pasal 187
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71
ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2), Pasal
85 ayat (3), Pasal 144, dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1
(satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak
pidana pelanggaran.
Pasal 187
Cukup jelas.

Ketentuan Pasal 187 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 187

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat
(2), Pasal 79 ayat (1), ayat (2), atau ayat (3), Pasal 85 ayat (3), atau
Pasal 144 dikenai sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan
dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak
pidana pelanggaran.
Pasal 187
Cukup jelas.

Pasal 188
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108
ayat (1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan sanksi

143
pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling
banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak
pidana pelanggaran.
Pasal 188
Cukup jelas.

Ketentuan Pasal 188 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 188

1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1),
Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, atau Pasal 148 dikenai sanksi pidana
denda paling sedikit Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak
pidana pelanggaran.
Pasal 188
Cukup jelas.

Pasal 189
Sanksi pidana penjara, kurungan, dan/atau denda tidak menghilangkan
kewajiban pengusaha membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian kepada
tenaga kerja atau pekerja/buruh.
Pasal 189
Cukup jelas.
Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 190
(1) Menteri atau pejabat yang ditunjuk mengenakan sanksi administratif atas
pelanggaran ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal
6, Pasal 15, Pasal 25, Pasal 38 ayat (2), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat
(1), Pasal 48, Pasal 87, Pasal 106, Pasal 126 ayat (3), dan Pasal 160 ayat

144
(1) dan ayat (2) Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa :
a. teguran;
b. peringatan tertulis;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pembatalan persetujuan;
f. pembatalan pendaftaran;
g. penghentian sementara sebahagian atau seluruh alat produksi;
h. pencabutan ijin.
(3) Ketentuan mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 190
Cukup jelas.

Ketentuan Pasal 190 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 190

(1) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya


mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran ketentuan-ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 14 ayat (1), Pasal 15,
Pasal 25, Pasal 37 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 42 ayat (1), Pasal 47
ayat (1), Pasal 61A, Pasal 66 ayat (4), Pasal 87, Pasal 92, Pasal 106,
Pasal 126 ayat (3), atau Pasal 160 ayat (1) atau ayat (2) undang-undang
ini serta peraturan pelaksanaannya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 190
Cukup jelas.

145
BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 191
Semua peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang
baru berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal 191
Yang dimaksud peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan
dalam undang-undang ini adalah peraturan pelaksanaan dari berbagai
undang-undang di bidang ketenagakerjaan baik yang sudah dicabut
maupun yang masih berlaku.
Dalam hal peraturan pelaksanaan belum dicabut atau diganti berdasarkan
undang-undang ini, agar tidak terjadi kekosongan hukum, maka dalam
Pasal ini tetap diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan undang-
undang ini.
Demikian pula, apabila terjadi suatu peristiwa atau kasus ketenagakerjaan
sebelum undang-undang ini berlaku dan masih dalam proses penyelesaian
pada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka sesuai
dengan azas legalitas, terhadap peristiwa atau kasus ketenagakerjaan
tersebut diselesaikan berdasarkan peraturan pelaksanaan yang ada sebelum
ditetapkannya undang-undang ini.

Di antara Pasal 191 dan Pasal 192 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 191A
sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 191A

Pada saat berlakunya Undang-Undang ini:


a. untuk pertama kali upah minimum yang berlaku, yaitu upah minimum
yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur
mengenai pengupahan.
b. bagi perusahaan yang telah memberikan upah lebih tinggi dari upah
minimum yang ditetapkan sebelum Undang-Undang ini, pengusaha
dilarang mengurangi atau menurunkan upah.

146
Pasal 191A
Cukup jelas.

BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 192
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka :
1. Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan
Pekerjaan Di Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8);
2. Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja
Anak Dan Kerja Malam Bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647);
3. Ordonansi Tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja Anak-anak Dan Orang
Muda Di Atas Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87);
4. Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur Kegiatan-
kegiatan Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208);
5. Ordonansi tentang Pemulangan Buruh Yang Diterima Atau Dikerahkan Dari
Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545);
6. Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak-anak
(Staatsblad Tahun 1949 Nomor 8);
7. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya
Undang- undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 Dari Republik Indonesia
Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2);
8. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan
Antara Serikat Buruh Dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor
69, Tambahan Lembaran Negara Nomor 598a);
9. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing
(Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 8);
10. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana
(Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2270);
11. Undang-undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan
Pemogokan dan/atau Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan, dan

147
Badan Yang Vital (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67);
12. Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912);
13. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3702);
14. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara 1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3791);
15. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan
Berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang
Ketenagakerjaan Menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 2000
Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042).
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 192
Cukup jelas.

Pasal 193
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan

148
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-
undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Pasal 193
Cukup jelas.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 25 Maret 2003
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Maret 2003
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 39


TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4279

149
150
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 2004
TENTANG
SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk


dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan
meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya
masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur;
b. bahwa untuk memberikan jaminan sosial yang
menyeluruh, negara mengembangkan Sistem Jaminan
Sosial Nasional bagi seluruh rakyat Indonesia;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk
Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Tenaga
Kerja;
Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28 H ayat (1), ayat (2),
dan Ayat (3), dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

151
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG SISTEM JAMINAN SOSIAL
NASIONAL.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk
menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya
yang layak.
2. Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah suatu tata cara penyelenggaraan
program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggaraan jaminan
sosial.
3. Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat
wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas resiko
sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya.
4. Tabungan wajib adalah simpanan yang bersifat wajib bagi peserta program
jaminan sosial.
5. Bantuan iuran adalah iuran yang dibayar oleh Pemerintah bagi fakir miskin
dan orang mampu sebagai peserta program jaminan sosial.
6. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah badan hukum yang dibentuk
untuk menyelenggarakan program jaminan sosial.
7. Dana Jaminan Sosial adalah dana amanat milik seluruh peserta yang
merupakan himpunan iuran beserta hasil pengembangannya yang dikelola
oleh Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial untuk pembayaran manfaat
kepada peserta dan pembiayaan operasional penyelenggaraan program
jaminan sosial.
8. Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling
singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran.
9. Manfaat adalah faedah jaminan sosial yang menjadi hak peserta dan/atau
anggota keluarganya.

152
10. Iuran adalah sejumlah uang yang dibayar secara teratur oleh peserta,
pemberi kerja, dan/atau Pemerintah.
11. Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah,
atau imbalan dalam bentuk lain.
12. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau
badan- badan lainnya yang mempekerjakan pegawai negeri dengan
membayar gaji, upah atau imbalan dalam bentuk lainnya.
13. Gaji atau upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam
bentuk uang sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada pekerja ditetapkan
dan dibayar menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan
perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya
atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
14. Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi dalam hubungan kerja,
termasuk kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dari rumah menuju
tempat kerja atau sebaliknya, dan penyakit yang disebabkan oleh
lingkungan kerja.
15. Cacat adalah keadaan berkurangnya atau hilangnya fungsi tubuh atau
hilangnya anggota badan yang secara langsung atau tidak langsung
mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan pekerja untuk
menjalankan pekerjaannya.
16. Cacat total tetap adalah cacat yang mengakibatkan ketidakmampuan
seseorang untuk melakukan pekerjaan.

PENJELASAN
UMUM
Pembangunan sosial ekonomi sebagai salah satu pelaksanaan kebijakan
pembangunan nasional telah menghasilkan banyak kemajuan, diantaranya
telah meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan tersebut harus
dapat dinikmati secara berkelanjutan, adil, dan merata menjangkau seluruh
rakyat.
Dinamika pembangunan bangsa Indonesia telah menumbuhkan tantangan
berikut tuntutan penanganan berbagai persoalan yang belum terpecahkan.
Salah satunya adalah penyelenggaraan jaminan sosial bagi seluruh rakyat,
yang diamanatkan dalam Pasal 28 ayat (3) mengenai hak terhadap jaminan

153
sosial dan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun1945. Jaminan sosial juga dijamin dalam Deklarasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak asasi Manusia Tahun 1948 dan
ditegaskan dalam Konvensi ILO Nomor 102 Tahun 1952 yang
menganjurkan semua negara untuk memberikan perlindungan minimum
kepada setiap tenaga kerja. sejalan dengan ketentuan tersebut, Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam TAP Nomor
X/MPR/2001 menugaskan Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan
Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang
menyeluruh dan terpadu.Sistem Jaminan Sosial Nasional pada dasarnya
merupakan program Negara yang bertujuan memberi kepastian
perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Melalui program ini, setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi
kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat
mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita
sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut,
atau pensiun.Selama beberapa dekade terakhir ini, Indonesia telah
menjalankan beberapa program jaminan sosial. Undang-Undang yang
secara khusus mengatur jaminan sosial bagi tenaga kerja swasta adalah
Undang-Undang Nomor 3 tahun 1992 tenang Jaminan Tenaga Kerja
(JAMSOSTEK), yang mencakup program jaminan pemeliharaan kesehatan,
jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua dan jaminan kematian.Untuk
Pegawai Negeri Sipil (PNS), telah dikembangkan program Dana Tabungan
dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN) yang dibentuk dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 26 Tahun1981 dan program Asuransi Kesehatan
(ASKES) yang diselenggarakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
69 Tahun 1991 yang bersifat wajib bagi PNS/Penerima Pensiun/Perintis
Kemerdekaan/Veteran dana anggota keluarganya.Untuk prajurit Tentara
Nasional Indonesia (TNI), anggota Kepolisian Republik Indonesia (POLRI),
dan PNS Departemen Pertahanan/TNI/POLRI beserta keluarganya telah
dilaksanakan program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ASABRI) sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun
1991 yang merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44
Tahun 1971.Berbagai program tersebut diatas baru mencakup sebagian
kecil masyarakat. Sebagian besar rakyat belum memperoleh perlindungan
yang memadai. Disamping itu, pelaksanaan berbagai program jaminan
sosial tersebut mampu memberikan perlindungan yang adil dan memadai

154
kepada para peserta sesuai dengan manfaat program yang menjadi hak
peserta.Sehubungan dengan hal di atas, dipandang perlu menyusun Sistem
Jaminan Nasional yang mampu mensinkronisasikan penyelenggaraan
berbagai bentuk jaminan sosial yang dilaksanakan oleh beberapa
penyelenggara agar dapat menjangkau kepesertaan yang lebih luas serta
memberikan manfaat yang lebih besar bagi setiap peserta.
Prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah sebagai berikut :
• Prinsip kegotong royongan. Prinsip ini diwujudkan dalam mekanisme
gotongroyong dari peserta yang mampu kepada peserta yang kurang
mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat; peserta
yang berisiko rendah membantu yang berisiko tinggi; dan peserta
yang sehat membantu yang sakit. Melalui prinsip kegotong-royongan
ini jaminan sosial dapat menumbuhkan keadaan sosial bagi
keseluruhan rakyat Indonesia.
• Prinsip nirlaba. Pengelolaan dana amanat tidak dimaksudkan mencari
laba (nirlaba) bagi Badan Penyelenggara Jaminan sosial, akan tetapi
tujuan utama penyelenggaraan jaminan sosial adalah untuk memenuhi
sebesar-besarnya kepentingan peserta. Dana amanat, hasil
pengembangannya, dan surplus anggaran akan dimanfaatkan sebesar-
besarnya untuk kepentingan peserta.
• Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan
efektivitas. Prinsip- prinsip manajemen ini diterapkan dan mendasari
seluruh kegiatan pengelolaan dana yang berasal dari iuran peserta dan
hasil pengembangannya.
• Prinsip portabilitas. Jaminan sosial dimaksudkan untuk memberikan
jaminan yang berkelanjutan meskipun peserta berpindah pekerjaan
atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
• Prinsip kepesertaan bersifat wajib. Kepesertaan wajib dimaksudkan
agar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga dapat terlindungi.
Meskipun kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh rakyat,
penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat
dan pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program. Tahapan
pertama dimulai dari pekerja di sektor formal, bersamaan dengan itu
sektor informal dapat menajdi peserta secara mandiri, sehingga pada

155
akhirnya Sistem Jaminan Sosial Nasional dapat mencakup seluruh
rakyat.
• Prinsip dana amanat. Dana yang terkumpul dari iuran peserta
merupakan titipan kepada badan-badan penyelenggara untuk dikelola
sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk
kesejahteraan peserta.
• Prinsip hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial Nasional dalam Undang-
Undang ini adalah hasil berupa dividen dari pemegang saham yang
dikembalikan untuk kepentingan peserta jaminan sosial.
Dalam Undang-Undang ini diatur penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial
Nasional yang meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja,
jaminan pensiun, jaminan hari tua, dan jaminan kematian bagi seluruh
penduduk melalui iuran wajib pekerja. Program-program jaminan sosial
tersebut diselenggarakan oleh beberapa Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dalam Undang-Undang ini
adalah transformasi dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang
sekarang telah berjalan dan dimungkinkan membentuk badan
penyelenggara baru sesuai dengan dinamika perkembangan jaminan sosial.
Pasal 1
Cukup Jelas.
BAB III
ASAS, TUJUAN, DAN PRINSIP PENYELENGGARAAN
Pasal 2
Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan,
asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pasal 2
Asas kemanusiaan berkaitan dengan penghargaan terhadap martabat
manusia. Asas manfaat merupakan asas yang bersifat operasional
menggambarkan pengelolaan yang efisien dan efektif. Asas keadilan
merupakan asas yang bersifat ideal. Ketiga asas tersebut dimaksudkan
untuk menjamin kelangsungan program dan hak peserta.

156
Pasal 3
Sistem Jaminan Sosial Nasional bertujuan untuk memberikan jaminan
terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau
anggota keluarganya.
Pasal 3
Yang dimaksud dengan kebutuhan dasar hidup adalah kebutuhan esensial
setiap orang agar dapat hidup layak, demi terwujudnya kesejahteraan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pasal 4
Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan pada prinsip :
a. kegotong-royongan;
b. nirlaba;
c. keterbukaan;
d. kehati-hatian;
e. akuntabilitas;
f. portabilitas;
g. kepesertaan bersifat wajib;
h. dan amanat, dan
i. hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk
pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.
Pasal 4
Prinsip kegotongroyongan dalam ketentuan ini adalah prinsip kebersamaan
antar peserta dalam menanggung beban biaya jaminan sosial, yang
diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai
dengan tingkat gaji, upah, atau penghasilannya.
Prinsip nirlaba dalam ketentuan ini adalah prinsip pengelolaan usaha yang
mengutamakan penggunaan hasil pengembangan dana untuk memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh peserta.
Prinsip keterbukaan dalam ketentuan ini adalah prinsip dalam ketentuan ini
adalah prinsip mempermudah akses informasi yang lengkap, benar, dan
jelas bagi setiap peserta.

157
Prinsip kehati-hatian dalam ketentuan ini adalah prinsip pengelolaan dana
secara cermat, teliti, aman, dan tertib.
Prinsip akuntabilitas dalam ketentuan ini adalah prinsip pelaksanaan
program dan pengelolaan keuangan yang akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Prinsip portabilitas dalam ketentuan ini adalah prinsip memberikan jaminan
yang berkelanjutan meskipun peserta berpindah pekerjaan atau tempat
tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Prinsip kepesertaan wajib dalam ketentuan ini adalah prinsip yang
mengharuskan seluruh penduduk menjadi peserta jaminan sosial, yang
dilaksanakan secara bertahap.
Prinsip dana amanat dalam ketentuan ini adalah bahwa iuran dan hasil
pengembangannya merupakan dana titipan dari peserta untuk digunakan
sebesar-besarnya bagi kepentingan peserta jaminan sosial.
Prinsip hasil pengelolaan dana Jaminan Sosial Nasional dalam ketentuan ini
adalah hasil dividen dari pemegang saham yang dikembalikan untuk
kepentingan peserta jaminan sosial.

BAB III
BADAN PENYELENGGARAAN JAMINAN SOSIAL
Pasal 5
1. Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial harus dibentuk dengan Undang-
Undang.
2. Sejak berlakunya Undang-Undang ini, badan penyelenggara jaminan sosial
yang ada dinyatakan sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menurut
Undang-Undang ini.
3. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah:
a. Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(JAMSOSTEK);
b. Perusahaan Perseroan (Persero) Dana tabungan dan Asuransi Pegawai
Negeri (TASPEN);
c. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ASABRI); dan

158
d. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia
(ASKES);
4. Dalam hal diperlukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial selain dimaksud
pada ayat (3), dapat dibentuk yang baru dengan Undang-Undang.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menurut
ketentuan ini dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan dinamika
perkembangan jaminan sosial dengan tetap memberi kesempatan
kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang telah ada/atau
yang baru, dalam mengembangkan cakupan kepesertaan dan
program jaminan sosial.

BAB IV
DEWAN JAMINAN SOSIAL NASIONAL
Pasal 6
Untuk penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional dengan Undang-Undang
ini dibentuk Dewan Jaminan Sosial Nasional.
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
1. Dewan Jaminan Sosial Nasional bertanggung jawab kepada Presiden.
2. Dewan Jaminan Sosial nasional berfungsi merumuskan kebijakan umum
dan sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional.
3. Dewan Jaminan Sosial Nasional bertugas :

159
a. melakukan kajian dan penelitian yang berkaitan dengan
penyelenggaraan jaminan sosial;
b. mengusulkan kebijakan investasi dana Jaminan Sosial nasional ; dan
c. mengusulkan anggaran jaminan sosial bagi penerima bantuan iuran
dan tersedianya anggaran operasional kepada Pemerintah.
4. Dewan Jaminan Sosial Nasional berwenang melakukan monitoring dan
evaluasi penyelenggaraan program jaminan sosial.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Kajian dan penelitian yang dilakukan dalam ketentuan ini antara
lain penyesuaian masa transisi, standar operasional dan
prosedur Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, besaran iuran
dan manfaat, pentahapan kepesertaan dan perluasan program,
pemenuhan hak peserta, dan kewajiban Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial.
Huruf b
Kebijakan investasi yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah
penempatan dana dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian,
optimalisasi hasil, keamanan dana, dan transparansi.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Kewenangan melakukan monitoring dan evaluasi dalam ketentuan ini
dimaksudkan untuk menjamin terselenggaranya program jaminan
sosial, termasuk tingkat kesehatan keuangan Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial.

160
Pasal 8
1. Dewan Jaminan Sosial Nasional beranggotakan 15 (lima belas) orang, yang
terdiri dari unsur Pemerintah, tokoh dan / atau ahli yang memahami bidang
jaminan sosial, organisasi pemberi kerja, dan organisasi pekerja.
2. Dewan Jaminan Sosial Nasional dipimpin oleh Ketua merangkap anggota
dan anggota lainnya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
3. Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berasal dari unsur Pemerintah.
4. Dalam melaksanakan tugasnya, Dewan Jaminan Sosial Nasional dibantu
oleh Sekretariat Dewan yang dipimpin oleh seorang sekretaris yang
diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional.
5. Masa jabatan anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional adalah 5 (lima)
tahun, dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan.
6. Untuk dapat diangkat menjadi anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional
harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Warga Negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. berkelakuan baik;
e. berusia sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan setinggi-
tingginya 60 (enam puluh) tahun pada saat menjadi anggota;
f. lulusan pendidikan paling rendah jenjang strata 1 (satu);
g. memiliki keahlian di bidang jaminan sosial;
h. memiliki kepedulian terhadap bidang jaminan sosial; dan
i. tidak pernah dipidana berdasarkan keputusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
kejahatan.
Pasal 8
Ayat (1)
Jumlah 15 (lima belas) orang anggota dalam ketentuan ini terdiri dari
unsur pemerintah 5 (lima) orang, unsur tokoh dan/ atau ahli 6
(enam) orang, unsur organisasi pemberi kerja 2 (dua) orang, dan
unsur organisasi pekerja 2 (dua) orang Unsur pemerintah dalam

161
ketentuan ini berasal dari departemen yang bertanggung jawab di
bidang keuangan, ketenagakerjaan, kesehatan, sosial, dan
kesejahteraan rakyat dan/atau bidang pertahanan dan keamanan,
masing-masing 1 (satu) orang.
Unsur ahli dalam ketentuan ini meliputi ahli di bidang asuransi,
keuangan, investasi, dan aktuaria.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 9
Dalam melaksanakan tugasnya, Dewan Jaminan Sosial Nasional dapat meminta
masukkan dan bantuan tenaga ahli sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Susunan organisasi dan tata kerja Dewan Jaminan Sosial Nasional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Presiden.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional dapat berhenti atau diberhentikan
sebelum berakhir masa jabatan karena :

162
a. meninggal dunia;
b. berhalangan tetap;
c. mengundurkan diri;
d. tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6).
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
1. Untuk pertama kali, Ketua dan anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional
diusulkan oleh Menteri yang bidang tugasnya meliputi kesejahteraan sosial.
2. Tata cara pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Dewan
Jaminan Sosial Nasional diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.
Pasal 12
Cukup jelas
BAB V
KEPESERTAAN DAN IURAN
Pasal 13
1. Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan
pekerjaannya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial, sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti.
2. Pentahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Presiden.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
1. Pemerintah secara bertahap mendaftarkan penerima bantuan iuran sebagai
peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
2. Penerima bantuan iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fakir
miskin dan orang tidak mampu.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

163
Pasal 14
Ayat (1)
Frasa "secara bertahap" dalam ketentuan ini dimaksudkan agar
memperhatikan syarat- syarat kepesertaan dan program yang
dilaksanakan dengan memperhatikan kemampuan anggaran negara,
seperti diawali dengan program jaminan kesehatan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 15
1. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Wajib memberikan nomor identitas
tunggal kepada setiap peserta dan anggota keluarganya.
2. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib memberikan informasi tentang
hak dan kewajiban kepada peserta untuk mengikuti ketentuan yang
berlaku.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Informasi yang dimaksud dalam ketentuan ini mencakup hak dan
kewajiban sebagai peserta, akun pribadi secara berkala minimal satu
tahun sekali, dan perkembangan program yang diikutinya.

Pasal 16
Setiap peserta berhak memperoleh manfaat dan informasi tentang pelaksanaan
program jaminan sosial yang diikuti.
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
1. Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan
berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu.

164
2. Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya,
menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran
tersebut kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala.
3. Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan
perkembangan sosial, ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak.
4. Iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak
mampu dibayar oleh Pemerintah.
5. Pada tahap pertama, iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibayar
oleh Pemerintah untuk program jaminan kesehatan.
6. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud pembayaran iuran secara berkala dalam ketentuan ini
adalah pembayaran setiap bulan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Fakir miskin dan orang yang tidak mampu dalam ketentuan ini adalah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas

165
BAB VI
PROGRAM JAMINAN SOSIAL
Bagian Kesatu
Jenis Program Jaminan Sosial
Pasal 18
Jenis program jaminan sosial meliputi :
a. jaminan kesehatan;
b. jaminan kecelakaan kerja;
c. jaminan hari tua;
d. jaminan pensiun; dan
e. jaminan kematian.
Pasal 18
Cukup jelas

Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18

Jenis program jaminan sosial meliputi:


a. jaminan kesehatan;
b. jaminan kecelakaan kerja;
c. jaminan hari tua;
d. jaminan pensiun;
e. jaminan kematian; dan
f. jaminan kehilangan pekerjaan.
Pasal 18
Cukup jelas.

166
Bagian Kedua
Jaminan Kesehatan
Pasal 19
1. Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip
asuransi sosial dan prinsip ekuitas.
2. Jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta
memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam
memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.
Pasal 19
Ayat (1)
Prinsip asuransi sosial meliputi :
a. kegotong-royongan antara yang kaya dan miskin, yang sehat
dan sakit, yang tua dan muda, dan yang berisiko tinggi dan
rendah;
b. kepesertaan yang bersifat wajib dan tidak selektif;
c. iuran berdasarkan persentase upah/penghasilan;
d. bersifat nirlaba.
Prinsip ekuitas yaitu kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai
dengan kebutuhan medisnya yang tidak terikat dengan besaran iuran
yang telah dibayarkannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 20
1. Peserta jaminan kesehatan adalah setiap orang yang telah membayar iuran
atau iurannya dibayar oleh Pemerintah.
2. Anggota keluarga peserta berhak menerima manfaat jaminan kesehatan.
3. Setiap peserta dapat mengikutsertakan anggota keluarga yang lain menjadi
tanggungannya dengan penambahan iuran.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas

167
Ayat (2)
Anggota keluarga adalah istri/suami yang sah, anak kandung, anak
tiri dari perkawinan yang sah, dan anak angkat yang sah, sebanyak-
banyaknya 5 (lima) orang.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan anggota keluarga yang lain dalam ketentuan
ini adalah anak ke 4 dan seterusnya, ayah, ibu, dan mertua.
Untuk mengikutsertakan anggota keluarga yang lain, pekerja
memberikan surat kuasa kepada pemberi kerja untuk menambah
iurannya kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana
ditetapkan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 21
1. Kepesertaan jaminan kesehatan tetap berlaku paling lama 6 (enam) bulan
sejak seorang peserta mengalami pemutusan hubungan kerja.
2. Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah 6 (enam) bulan
belum memperoleh pekerjaaan dan tidak mampu, iurannya dibayar oleh
Pemerintah.
3. Peserta yang mengalami cacat total tetap dan tidak mampu, iurannya
dibayar oleh Pemerintah.
4. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden.
Pasal 21
Ayat (1)
Ketentuan ini memungkinkan seorang peserta yang mengalami
pemutusan hubungan kerja dan keluarganya tetap dapat menerima
jaminan kesehatan hingga 6 (enam) bulan berikutnya tanpa
mengangsur.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

168
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 22
1. Manfaat jaminan kesehatan bersifat pelayanan perseorangan berupa
pelayanan kesehatan yang mencakup pelayanan promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang
diperlukan.
2. Untuk jenis pelayanan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan
pelayanan, peserta dikenakan urun biaya.
3. Ketentuan mengenai pelayanan kesehatan dan urun biaya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Presiden.
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud pelayanan kesehatan dalam pasal ini meliputi
pelayanan dan penyuluhan kesehatan, imunisasi, pelayanan Keluarga
Berencana, rawat jalan, rawat inap, pelayanan gawat darurat dan
tindakan medis lainnya, termasuk cuci darah dan operasi jantung.
Pelayanan tersebut diberikan sesuai dengan pelayanan standar, baik
mutu maupun jenis pelayanannya dalam rangka menjamin
kesinambungan program dan kepuasan peserta. Luasnya pelayanan
kesehatan disesuaikan dengan kebutuhan peserta yang dapat
berubah dan kemampuan keuangan Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial. Hal ini diperlukan untuk kehati-hatian.
Ayat (2)
Jenis pelayanan yang dimaksud adalah pelayanan yang membuka
peluang moral hazaard (sangat dipengaruhi selera dan perilaku
peserta), misalnya pemakaian obat-obat suplemen, pemeriksaan
diagnostik, dan tindakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan medik.
Urun biaya harus menjadi bagian upaya pengendalian, terutama
upaya pengendalian dalam menerima pelayanan kesehatan.
Penetapan urun biaya dapat berupa nilai nominal atau persentase
tertentu dari biaya pelayanan, dan dibayarkan kepada fasilitas
kesehatan pada saat peserta memperoleh pelayanan kesehatan.

169
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 23
1. Manfaat jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
diberikan pada fasilitas kesehatan milik Pemerintah atau swasta yang
menjalin kerjasama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
2. Dalam keadaan darurat, pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dapat diberikan pada fasilitas kesehatan yang tidak menjalin kerja sama
dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
3. Dalam hal di suatu daerah belum tersedia fasilitas kesehatan yang
memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medik sejumlah peserta,
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib memberikan Kompensasi.
4. Dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit, maka kelas
pelayanan di rumah sakit diberikan berdasarkan kelas standar.
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Presiden.
Pasal 23
Ayat (1)
Fasilitas kesehatan meliputi rumah sakit, dokter praktek, klinik,
laboratorium, apotek dan fasilitas kesehatan lainnya. Fasilitas
kesehatan memenuhi syarat tertentu apabila kesehatan tersebut
diakui dan memiliki izin dari instansi Pemerintah yang bertanggung
jawab di bidang kesehatan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Kompensasi yang diberikan pada peserta dapat dalam bentuk uang
tunai, sesuai dengan hak pesera.
Ayat (4)
Peserta yang menginginkan kelas yang lebih tinggi dari haknya (kelas
standar), dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti asuransi
kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya

170
yang dijamin oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dengan biaya
yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 24
1. Besarnya pembayaran kepada fasilitas kesehatan untuk setiap wilayah
ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial dan asosiasi fasilitas kesehatan di wilayah tersebut.
2. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib membayar fasilitas kesehatan
atas pelayanan yang diberikan kepada peserta paling lambat 15 (lima
belas) hari sejak permintaan pembayaran diterima.
3. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mengembangkan sistem pelayanan
kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan, dan sistem pembayaran
pelayanan, kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ketentuan ini menghendaki agar Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
membayar fasilitas kesehatan secara efektif dan efisien. Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial dapat memberikan anggaran tertentu
kepada suatu rumah sakit di suatu daerah untuk melayani sejumlah
peserta atau membayar sejumlah tetap tertentu per kapita per bulan
(kapitasi). Anggaran tersebut sudah mencakup jasa medis, biaya
perawatan, biaya penunjang, dan biaya obat-obatan yang
penggunaan rincinya diatur sendiri oleh pimpinan rumah sakit.
Dengan demikian, sebuah rumah sakit akan lebih leluasa
menggunakan dana seefektif dan seefisien mungkin.
Ayat (3)
Dalam pengembangan pelayanan kesehatan, Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial menerapkan sistem kendali mutu dan kendali biaya
termasuk menerapkan iuran biaya untuk mencegah penyalahgunaan
pelayanan kesehatan.

171
Pasal 25
Daftar dan harga tertinggi obat-obatan, serta bahan medis habis pakai yang
dijamin oleh Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial ditetapkan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 25
Penetapan daftar dan plafon harga dalam ketentuan ini dimaksudkan agar
mempertimbangkan perkembangan kebutuhan medik ketersediaan, serta
efektifitas dan efisiensi obat atau bahan medis habis pakai.

Pasal 26
Jenis-jenis pelayanan yang tidak dijamin Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
1. Besarnya jaminan kesehatan untuk peserta penerima upah ditentukan
berdasarkan persentase dari upah sampai batas tertentu, yang secara
bertahap ditanggung bersama oleh pekerja dan pemberi kerja.
2. Besarnya iuran jaminan kesehatan untuk peserta yang tidak menerima
upah ditentukan berdasarkan nominal yang ditinjau secara berkala.
3. Besarnya iuran jaminan kesehatan untuk penerima bantuan iuran
ditentukan berdasarkan nominal yang ditetapkan secara berkala.
4. Batas upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditinjau secara berkala.
5. Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3), serta batas upah sebagaimana pada ayat (4) diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Presiden.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

172
Ayat (3)
Pengertian secara berkala dalam ketentuan ini adalah jangka waktu
tertentu untuk melakukan peninjauan atau perubahan sesuai dengan
perkembangan kebutuhan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 28
1. Pekerja yang memiliki anggota keluarga lebih dari 5 (lima) orang dan ingin
mengikutsertakan anggota keluarga yang wajib membayar tambahan iuran.
2. Tambahan iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Presiden.
Pasal 28
Cukup jelas
Bagian Ketiga
Jaminan kecelakaan Kerja
Pasal 29
1. Jaminan kecelakaan kerja diselenggarakan secara nasional berdasarkan
prinsip asuransi sosial.
2. Jaminan kecelakaan kerja adalah seseorang yang telah membayar iuran.
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Peserta jaminan kecelakaan kerja adalah seseorang yang telah membayar iuran.
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
1. Peserta yang mengalami kecelakaan kerja berhak mendapatkan manfaat
berupa pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya dan

173
mendapatkan manfaat berupa uang tunai apabila terjadi cacat total tetap
atau meninggal dunia.
2. Manfaat jaminan kecelakaan kerja yang berupa uang tunai diberikan
sekaligus kepada ahli waris pekerja yang meninggal dunia atau pekerja
yang cacat sesuai dengan tingkat kecacatan.
3. Untuk jenis-jenis pelayanan tertentu atau kecelakaan tertentu, pemberi
kerja dikenakan urun biaya.
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
1. Manfaat jaminan kecelakaan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31
ayat (1) diberikan pada fasilitas kesehatan milik Pemerintah atau swasta
yang memenuhi syarat dan menjalin kerja sama dengan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial.
2. Dalam keadaan darurat, pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diberkan pada fasilitas kesehatan yang tidak menjalin kerja sama
dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
3. Dalam hal kecelakaan kerja terjadi disuatu daerah yang belum tersedia
fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat, maka guna memenuhi
kebutuhan medis bagi peserta, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib
memberikan kompensasi.
4. Dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit, maka kelas
perawatan di rumah sakit diberikan kelas standar.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Kompensasi dalam ketentuan ini dapat berbentuk penggantian uang
tunai, pengiriman tenaga kesehatan, atau penyediaan fasilitas
kesehatan tertentu.

174
Ayat (4)
Peserta yang menginginkan kelas yang lebih tinggi dari pada haknya
(kelas standar), dapat meningkatkan kelasnya dengan mengikuti
asuransi kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih antara
biaya yang dijamin oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dengan
biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan.

Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya manfaat uang tunai, hak ahli waris,
kompensasi, dan pelayanan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan
Pasal 32 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
1. Besarnya iuran jaminan kecelakaan kerja adalah sebesar persentase
tertentu dari upah atau penghasilan yang ditanggung seluruhnya oleh
pemberi kerja.
2. Besarnya iuran jaminan kecelakaan kerja untuk peserta yang tidak
menerima upah adalah jumlah nominal yang ditetapkan secara berkala oleh
Pemerintah.
3. Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bervariasi untuk
setiap kelompok pekerja sesuai dengan risiko lingkungan kerja.
4. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Variasi besarnya iuran disesuaikan dengan tingkat risiko lingkungan
kerja dimaksudkan pula untuk mendorong pemberi kerja menurunkan
tingkat risiko lingkungan kerjanya dan terciptanya efisiensi usaha.

175
Ayat (4)
Cukup jelas
Bagian Keempat
Jaminan Hari Tua
Pasal 35
1. Jaminan hari tua diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip
asuransi sosial atau tabungan wajib.
2. Jaminan hari tua diselenggarakan dengan tujuan untuk menjamin agar
peserta menerima uang tunai apabila memasuki masa pensiun, mengalami
cacat total tetap, atau meninggal dunia.
Pasal 35
Ayat (1)
Prinsip asuransi sosial dalam jaminan hari tua didasarkan pada
mekanisme asuransi dengan pembayaran iuran antara pekerja dan
pemberi kerja.
Prinsip tabungan wajib dalam jaminan hari tua didasarkan pada
pertimbangan bahwa manfaat jaminan hari tua didasarkan pada
pertimbangan bahwa manfaat jaminan hari tua berasal dari akumulasi
iuran dan hasil pengembangannya.
Ayat (2)
Jaminan hari tua diterimakan kepada peserta yang belum memasuki
usia pensiun karena mengalami cacat total tetap sehingga tidak bisa
lagi bekerja dan iurannya berhenti.

Pasal 36
Peserta jaminan hari tua adalah peserta yang telah membayar iuran.
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
1. Manfaat jaminan hari tua berupa uang tunai dibayarkan sekaligus pada saat
peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat
total tetap.

176
2. Besarnya manfaat jaminan hari tua ditentukan berdasarkan seluruh
akumulasi iuran yang telah disetorkan ditambah hasil pengembangannya.
3. Pembayaran manfaat jaminan hari tua dapat diberikan sebagian sampai
batas tertentu setelah kepesertaan mencapai minimal 10 (sepuluh) tahun.
4. Apabila peserta meninggal dunia, ahli warisnya yang sah berhak menerima
manfaat jaminan hari tua.
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pemerintah menjamin terselenggaranya pengembangan dana jaminan
hari tua sesuai dengan prinsip kehati-hatian minimal setara tingkat suku
bunga deposito bank Pemerintah jangka waktu satu tahun sehingga
peserta memperoleh manfaat yang sebesar- besarnya.
Ayat (3)
Sebagian jaminan hari tua dapat dibayarkan untuk membantu peserta
mempersiapkan diri memasuki masa pensiun.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 38
1. Besarnya iuran jaminan hari tua untuk peserta penerima upah ditetapkan
berdasarkan persentase tertentu dari upah atau penghasilan tertentu yang
ditanggung bersama oleh pemberi kerja dan pekerja
2. Besarnya iuran jaminan hari tua untuk peserta yang tidak menerima upah
ditetapkan berdasarkan jumlah nominal yang ditetapkan berdasarkan
jumlah nominal yang ditetapkan secara berkala.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

177
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang akan diatur oleh Pemerintah adalah persentase iuran yang
dibayar oleh pekerja dan pemberi kerja.

Bagian Kelima
Jaminan Pensiun
Pasal 39
1. Jaminan pensiun diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip
asuransi sosial atau tabungan wajib.
2. Jaminan pensiun diselenggarakan untuk mempertahankan derajat kehidupan
yang layak pada saat peserta kehilangan atau berkurang penghasilannya
karena memasuki usia pensiun atau mengalami cacat total tetap.
3. Jaminan pensiun diselenggarakan berdasarkan manfaat pasti.
4. Usia pensiun ditetapkan menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 39
Ayat (1)
Pada dasarnya mekanisme jaminan pensiun berdasarkan asuransi
sosial, namun ketentuan ini memberi kesempatan kepada pekerja
yang memasuki usia pensiun tetapi masa iurannya tidak mencapai
waktu ditentukan, untuk diberlakukan sebagai tabungan wajib dan
dibayarkan pada saat yang bersangkutan berhenti bekerja, ditambah
hasil pengembangannya.
Ayat (2)
Derajat kehidupan yang layak yang dimaksud dalam ketentuan ini
adalah besaran jaminan pensiun mampu memenuhi kebutuhan pokok
pekerja dan keluarganya.

178
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan manfaat pasti adalah terdapat batas minimun
dan maksimum manfaat yang akan diterima peserta.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 40
Peserta jaminan pensiun adalah pekerja yang telah membayar iuran.
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
1. Manfaat jaminan pensiun berwujud uang tunai yang diterima setiap bulan
sebagai:
a. Pensiun hari tua, diterima peserta setelah pensiun sampai meninggal
dunia;
b. Pensiun cacat, diterima peserta yang cacat akibat kecelakaan atau
akibat penyakit sampai meninggal dunia;
c. Pensiun janda/duda, diterima janda/duda ahli waris peserta sampai
meninggal dunia atau menikah lagi;
d. Pensiun anak, diterima anak ahli waris peserta sampai mencapai 23
(dua puluh tiga) tahun, bekerja, atau menikah; atau
e. Pensiun orang tua, diterima orang tua ahli waris peserta lajang sampai
batas waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Setiap peserta atau ahli warisnya berhak mendapatkan pembayaran uang
pensiun berkala setiap bulan setelah memenuhi masa iuran minimal 15
(lima belas) tahun, kecuali ditetapkan lain oleh peraturan perundang-
undangan.
3. Manfaat jaminan pensiun dibayarkan kepada peserta yang telah mencapai
usia pensiun sesuai formula yang ditetapkan.
4. Apabila peserta meninggal dunia masa iur 15 (lima belas) tahun ahli
warisnya tetap berhak, mendapatkan manfaat jaminan pensiun.
5. Apabila peserta mencapai usia pensiun sebelum memenuhi masa iur (lima
belas) tahun, peserta tersebut berhak mendapatkan seluruh akumulasi
iurannya ditambah hasil pengembangannya.

179
6. Hak ahli waris atas manfaat pensiun anak berakhir apabila anak tersebut
menikah, bekerja tetap, atau mencapai usia 23 (dua puluh tiga) tahun.
7. Manfaat pensiun cacat dibayarkan kepada peserta yang mengalami cacat
total tetap meskipun peserta tersebut belum memasuki usia pensiun.
8. Ketentuan mengenai manfaat pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.
Pasal 41
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Manfaat pensiun anak adalah pemberian uang pensiun berkala
kepada anak sebagai ahli waris peserta, paling banyak 2 (dua)
orang yang belum bekerja, belum menikah, atau sampai berusia
23 (dua puluh tiga) tahun, yang tidak mempunyai sumber
penghasilan apabila seorang peserta meninggal dunia.
Huruf e
Manfaat orang tua adalah pemberian uang pensiun berkala
kepada orang tua sebagai ahli waris peserta lajang apabila
seorang peserta meninggal dunia.
Ayat (2)
Ketentuan 15 (lima belas) tahun diperlukan agar ada kecukupan dari
akumulasi dana untuk memberi jaminan pensiun sampai jangka
waktu yang ditetapkan dalam bentuk Undang-Undang ini.
Ayat (3)
Formula jaminan pensiun ditetapkan berdasarkan masa kerja dan
upah terakhir.

180
Ayat (4)
Meskipun peserta belum memenuhi masa iur selama 15 (lima belas)
tahun, sesuai dengan prinsip asuransi sosial, ahli waris berhak
menerima jaminan pensiun sesuai dengan formula yang ditetapkan.
Ayat (5)
Karena belum memenuhi syarat masa iur, iuran jaminan pensiun
diberlakukan sebagai tabungan wajib.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 42
1. Besarnya iuran jaminan pensiun untuk peserta penerima upah ditentukan
berdasarkan persentase tertentu dari upah atau penghasilan atau suatu
jumlah nominal tertentu yang ditanggung bersama antara pemberi kerja
dan pekerja.
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh lebih lanjut
dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 42
Cukup jelas
Bagian Keenam
Jaminan Kematian
Pasal 43
1. Jaminan kematian diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip
asuransi sosial.
2. Jaminan kematian diselenggarakan dengan tujuan untuk memberikan
santunan kematian yang dibayarkan kepada ahli waris peserta yang
meninggal dunia.
Pasal 43
Cukup jelas

181
Pasal 44
Peserta jaminan kematian adalah setiap orang yang telah membayar iuran.
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
1. Manfaat jaminan kematian berupa uang tunai dibayarkan paling lambat 3
(tiga) hari kerja setelah klaim diterima dan disetujui Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial.
2. Besarnya manfaat jaminan kematian ditetapkan berdasarkan suatu jumlah
nominal tertentu.
3. Ketentuan mengenai manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
1. Iuran jaminan kematian ditanggung oleh pemberi kerja.
2. Besarnya iuran jaminan kematian bagi peserta penerima upah ditentukan
berdasarkan persentase tertentu dari upah atau penghasilan.
3. Besarnya iuran jaminan kematian bagi peserta bukan penerima upah
ditentukan berdasarkan jumlah nominal tertentu dibayar oleh peserta.
4. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 46
Cukup jelas

Di antara Pasal 46 dan Pasal 47 disisipkan 1 (satu) Bagian yakni Bagian


Ketujuh Jaminan Kehilangan Pekerjaan sehingga berbunyi sebagai berikut:

Bagian Ketujuh
Jaminan Kehilangan Pekerjaan
Pasal 46A
(1) Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja berhak
mendapatkan jaminan kehilangan pekerjaan.

182
(2) Jaminan kehilangan pekerjaan diselenggarakan oleh badan
penyelenggara jaminan sosial ketenagakerjaan dan Pemerintah Pusat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan jaminan
kehilangan pekerjaan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 46A
Cukup jelas.
Pasal 46B
(1) Jaminan kehilangan pekerjaan diselenggarakan secara nasional
berdasarkan prinsip asuransi sosial.
(2) Jaminan kehilangan pekerjaan diselenggarakan untuk mempertahankan
derajat kehidupan yang layak pada saat pekerja/buruh kehilangan
pekerjaan.
Pasal 46B
Cukup jelas.
Pasal 46C
(1) Peserta jaminan kehilangan pekerjaan adalah setiap orang yang telah
membayar iuran.
(2) Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayar oleh Pemerintah
Pusat.
Pasal 46C
Cukup jelas.
Pasal 46D
(1) Manfaat jaminan kehilangan pekerjaan berupa uang tunai, akses
informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja.
(2) Jaminan kehilangan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan paling banyak 6 (enam) bulan upah.
(3) Manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima oleh peserta
setelah mempunyai masa kepesertaan tertentu.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai manfaat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan masa kepesertaan tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 46D
Cukup jelas.

183
Pasal 46E
(1) Sumber pendanaan jaminan kehilangan pekerjaan berasal dari:
a. modal awal pemerintah;
b. rekomposisi iuran program jaminan sosial; dan/atau
c. dana operasional BPJS Ketenagakerjaan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendanaan jaminan kehilangan
pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal 46E
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud “rekomposisi iuran” adalah rekomposisi iuran
yang tidak berasal dari pekerja/buruh tanpa mengurangi
manfaat program jaminan sosial lainnya yang menjadi hak
pekerja/buruh.
Huruf c
Cukup jelas.

BAB VII
PENGELOLAAN DANA JAMINAN SOSIAL
Pasal 47
1. Dana Jaminan Sosial wajib dikelola dan dikembangkan oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial secara optimal dengan mempertimbangkan
aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang
memadai.
2. Tata cara pengelolaan dan pengembangan Dana Jaminan Sosial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah.

184
Pasal 47
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan likuiditas adalah kemampuan keuangan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial dalam memenuhi kewajibannya jangka
pendek.
Yang dimaksud dengan solvabilitas adalah kemampuan keuangan
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dalam memenuhi semua
kewajiban jangka pendek dan jangka panjang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 48
Pemerintah dapat melakukan tindakan-tindakan khusus guna menjamin
terpeliharanya tingkat kesehatan keuangan Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial.
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
1. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mengelola pembukuan sesuai dengan
standar akuntasi yang berlaku.
2. Subsidi silang antar program dengan membayarkan manfaat suatu program
dari dana prgram lain yang tidak diperkenankan.
3. Pesera berhak setiap saat memperoleh infromasi tentang akumulasi iuran
dan hasil pengembangannya serta manfaat dari jenis program jaminan hari
tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.
4. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib memberikan informasi
skumulasi iuran berikut hasil pengembangannya kepada setiap peserta
jaminan hari tua sekurang-kurangnya sekali alam satu tahun.
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas

185
Ayat (2)
Subsidi silang yang tidak diperkenankan dalam ketentuan ini misalnya
dana pensiun tidak dapat digunakan untuk membiayai jaminan
kesehatan dan sebaliknya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 50
1. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib membentuk cadangan teknis
sesuai dengan standar praktek aktuaria yang lazim dan berlaku umum.
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 50
Ayat (1)
Cadangan teknis menggambarkan kewajiban Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial yang timbul dalam rangka memenuhi kewajiban di
masa depan kepada peserta.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 51
Pengawasan terhadap pengelolaan keuangan Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial dilakukan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan
perundangan-undangan.
Pasal 51
Cukup jelas
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 52
1. Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku :
a. Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(JAMSOSTEK) yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36
Tahun 1995 tentang Penetapan Badan penyelenggara Program

186
Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1995 Nomor 59), berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja ( Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 nomor 14, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3468);
b. Perusahaan perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi
Pegawai Negeri (TASPEN) yang dibentuk dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 26 tahun 1981 tentang Pengalihan Bentuk
Perusahaan Umum Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri
Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 38), berdasarkan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1969 tentang pensiun Pegawai dan pensiun
Janda/Duda Pegawai (Lembaran Negara Nomor 2906), Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian
(Lembaran Negara Republik Indonesia tahun1974 Nomor 55,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3014) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 43 tahun 1999 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3890), dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun
1981 tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 37, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3200);
c. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ASABRI) yang dibentuk dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 68 Tahun 1991 tentang Pengalihan Bentuk
Perusahaan Umum (Perum) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia menjadi Perusahaan perseroan (persero)
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 88);
d. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia
(ASKES) yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
1992 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Husada
Bhakti menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 16); tetap berlaku sepanjang
belum disesuaikan dengan Undang-Undang ini.
2. Semua ketentuan yang mengatur mengenai Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan Undang-

187
Undang ini paling lambat 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
Pasal 52
Cukup jelas
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 53
Undang-Undang ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-
Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Pasal 53
Cukup jelas
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 19 Oktober 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ttd

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Oktober 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK
INDONESIA,

Ttd

BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 150


TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4456

188
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2011
TENTANG
BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sistem jaminan sosial nasional merupakan


program negara yang bertujuan memberikan kepastian
perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh
rakyat;
b. bahwa untuk mewujudkan tujuan sistem jaminan sosial
nasional perlu dibentuk badan penyelenggara yang
berbentuk badan hukum berdasarkan prinsip
kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian,
akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib,
dana amanat, dan hasil pengelolaan dana jaminan
sosial seluruhnya untuk pengembangan program dan
untuk sebesar-besar kepentingan peserta;
c. bahwa berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional, harus dibentuk Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial dengan Undang-Undang
yang merupakan transformasi keempat Badan Usaha
Milik Negara untuk mempercepat terselenggaranya

189
sistem jaminan sosial nasional bagi seluruh rakyat
Indonesia;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
membentuk Undang-Undang tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial;
Mengingat : 1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23A, Pasal 28H ayat (1), ayat
(2) dan ayat (3), dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456);

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG BADAN PENYELENGGARA
JAMINAN SOSIAL.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS
adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program
jaminan sosial.
2. Jaminan Sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk
menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya
yang layak.

190
3. Dana Jaminan Sosial adalah dana amanat milik seluruh peserta yang
merupakan himpunan iuran beserta hasil pengembangannya yang dikelola
oleh BPJS untuk pembayaran manfaat kepada peserta dan pembiayaan
operasional penyelenggaraan program Jaminan Sosial.
4. Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling
singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran.
5. Manfaat adalah faedah jaminan sosial yang menjadi hak peserta dan/atau
anggota keluarganya.
6. Iuran adalah sejumlah uang yang dibayar secara teratur oleh Peserta,
pemberi kerja, dan/atau Pemerintah.
7. Bantuan Iuran adalah Iuran yang dibayar oleh Pemerintah bagi fakir miskin
dan orang tidak mampu sebagai Peserta program Jaminan Sosial.
8. Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah,
atau imbalan dalam bentuk lain.
9. Pemberi Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau
badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja atau penyelenggara
negara yang mempekerjakan pegawai negeri dengan membayar gaji, upah,
atau imbalan dalam bentuk lainnya.
10. Gaji atau Upah adalah hak Pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam
bentuk uang sebagai imbalan dari Pemberi Kerja kepada Pekerja yang
ditetapkan dan dibayar menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau
peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi Pekerja dan
keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan
dilakukan.
11. Dewan Jaminan Sosial Nasional yang selanjutnya disingkat DJSN adalah
dewan yang berfungsi untuk membantu Presiden dalam perumusan
kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan sistem jaminan sosial
nasional.
12. Dewan Pengawas adalah organ BPJS yang bertugas melakukan
pengawasan atas pelaksanaan pengurusan BPJS oleh direksi dan
memberikan nasehat kepada direksi dalam penyelenggaraan program
Jaminan Sosial.
13. Direksi adalah organ BPJS yang berwenang dan bertanggung jawab penuh
atas pengurusan BPJS untuk kepentingan BPJS, sesuai dengan asas,

191
tujuan, dan prinsip BPJS, serta mewakili BPJS, baik di dalam maupun di luar
pengadilan, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
14. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

PENJELASAN
I. UMUM
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 diamanatkan bahwa tujuan negara adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Dalam Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tujuan tersebut semakin
dipertegas yaitu dengan mengembangkan sistem jaminan sosial bagi
kesejahteraan seluruh rakyat. Sistem jaminan sosial nasional merupakan
program negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan
kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan dalam
Pasal 28H ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat
(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain
itu, dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/2001,
Presiden ditugaskan untuk membentuk sistem jaminan sosial nasional
dalam rangka memberikan perlindungan sosial bagi masyarakat yang lebih
menyeluruh dan terpadu.
Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional, bangsa Indonesia telah memiliki sistem
Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan tujuan
sistem jaminan sosial nasional perlu dibentuk badan penyelenggara yang
berbentuk badan hukum publik berdasarkan prinsip kegotongroyongan,
nirlaba, keterbukaan, kehati- hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan
bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial
dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk
sebesar- besarnya kepentingan Peserta.
Pembentukan Undang-Undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial ini merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, setelah Putusan Mahkamah
Konstitusi terhadap perkara Nomor 007/PUU-III/2005, guna memberikan
kepastian hukum bagi pembentukan BPJS untuk melaksanakan program
Jaminan Sosial di seluruh Indonesia. Undang-Undang ini merupakan
pelaksanaan dari Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 40

192
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang mengamanatkan
pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan transformasi
kelembagaan PT Askes (Persero), PT Jamsostek (Persero), PT TASPEN
(Persero), dan PT ASABRI (Persero) menjadi Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial. Transformasi tersebut diikuti adanya pengalihan peserta, program,
aset dan liabilitas, pegawai, serta hak dan kewajiban.
Dengan Undang-Undang ini dibentuk 2 (dua) BPJS, yaitu BPJS Kesehatan
dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan menyelenggarakan program
jaminan kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program
jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan
kematian. Dengan terbentuknya kedua BPJS tersebut jangkauan
kepesertaan program jaminan sosial akan diperluas secara bertahap.

Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan asas:
a. kemanusiaan;
b. manfaat; dan
c. keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah asas yang terkait
dengan penghargaan terhadap martabat manusia.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas manfaat” adalah asas yang bersifat
operasional menggambarkan pengelolaan yang efisien dan efektif.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia” adalah asas yang bersifat idiil.

Pasal 3
BPJS bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan
terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap Peserta dan/atau
anggota keluarganya.

193
Pasal 3
Yang dimaksud dengan “kebutuhan dasar hidup” adalah kebutuhan esensial
setiap orang agar dapat hidup layak, demi terwujudnya kesejahteraan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pasal 4
BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan prinsip:
a. kegotongroyongan;
b. nirlaba;
c. keterbukaan;
d. kehati-hatian;
e. akuntabilitas;
f. portabilitas;
g. kepesertaan bersifat wajib;
h. dana amanat; dan
i. hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk
pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan Peserta.

Pasal 4
Huruf a
Yang dimaksud dengan “prinsip kegotongroyongan” adalah prinsip
kebersamaan antar Peserta dalam menanggung beban biaya Jaminan
Sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap Peserta membayar
Iuran sesuai dengan tingkat Gaji, Upah, atau penghasilannya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “prinsip nirlaba” adalah prinsip pengelolaan
usaha yang mengutamakan penggunaan hasil pengembangan dana
untuk memberikan Manfaat sebesar- besarnya bagi seluruh Peserta.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “prinsip keterbukaan” adalah prinsip
mempermudah akses informasi yang lengkap, benar, dan jelas bagi
setiap Peserta.

194
Huruf d
Yang dimaksud dengan “prinsip kehati-hatian” adalah prinsip
pengelolaan dana secara cermat, teliti, aman, dan tertib.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “prinsip akuntabilitas” adalah prinsip
pelaksanaan program dan pengelolaan keuangan yang akurat dan
dapat dipertanggung-jawabkan.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “prinsip portabilitas” adalah prinsip
memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun Peserta berpindah
pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “prinsip kepesertaan bersifat wajib” adalah
prinsip yang mengharuskan seluruh penduduk menjadi Peserta
Jaminan Sosial, yang dilaksanakan secara bertahap.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “prinsip dana amanat” adalah bahwa Iuran
dan hasil pengembangannya merupakan dana titipan dari Peserta
untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan Peserta Jaminan
Sosial.
Huruf i
Cukup jelas.
BAB II
PEMBENTUKAN DAN RUANG LINGKUP
Bagian Kesatu
Pembentukan
Pasal 5
(1) Berdasarkan Undang-Undang ini dibentuk BPJS.
(2) BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. BPJS Kesehatan; dan
b. BPJS Ketenagakerjaan.

195
Pasal 5
Cukup jelas.

Bagian Kedua
Ruang Lingkup
Pasal 6
(1) BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a
menyelenggarakan program jaminan kesehatan.
(2) BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf
b menyelenggarakan program:
a. jaminan kecelakaan kerja;
b. jaminan hari tua;
c. jaminan pensiun; dan
d. jaminan kematian.
Pasal 6
Cukup jelas.

Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 6

(1) BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a
menyelenggarakan program jaminan kesehatan.
(2) BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2)
huruf b menyelenggarakan program:
a. jaminan kecelakaan kerja;
b. jaminan hari tua;
c. jaminan pensiun;
d. jaminan kematian; dan
e. jaminan kehilangan pekerjaan.
Pasal 6
Cukup jelas.

196
BAB III
STATUS DAN TEMPAT KEDUDUKAN
Bagian Kesatu
Status
Pasal 7
(1) BPJS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 adalah badan hukum publik
berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada
Presiden.
Pasal 7
Cukup jelas.
Bagian Kedua
Tempat Kedudukan
Pasal 8
(1) BPJS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 berkedudukan dan berkantor
pusat di ibu kota Negara Republik Indonesia.
(2) BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mempunyai kantor
perwakilan di provinsi dan kantor cabang di kabupaten/kota.
Pasal 8
Cukup jelas.
BAB IV
FUNGSI, TUGAS, WEWENANG, HAK, DAN KEWAJIBAN
Bagian Kesatu
Fungsi
Pasal 9
(1) BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a
berfungsi menyelenggarakan program jaminan kesehatan.
(2) BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf
b berfungsi menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, program
jaminan kematian, program jaminan pensiun, dan jaminan hari tua.
Pasal 9
Cukup jelas.

197
Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 9

(1) BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a
berfungsi menyelenggarakan program jaminan kesehatan.
(2) BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2)
huruf b berfungsi menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja,
program jaminan kematian, program jaminan pensiun, program jaminan
hari tua, dan program jaminan kehilangan pekerjaan.
Pasal 9
Cukup jelas.

Bagian Kedua
Tugas
Pasal 10
Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, BPJS
bertugas untuk:
a. melakukan dan/atau menerima pendaftaran Peserta;
b. memungut dan mengumpulkan Iuran dari Peserta dan Pemberi Kerja;
c. menerima Bantuan Iuran dari Pemerintah;
d. mengelola Dana Jaminan Sosial untuk kepentingan Peserta;
e. mengumpulkan dan mengelola data Peserta program Jaminan Sosial;
f. membayarkan Manfaat dan/atau membiayai pelayanan kesehatan sesuai
dengan ketentuan program Jaminan Sosial; dan
g. memberikan informasi mengenai penyelenggaraan program Jaminan Sosial
kepada Peserta dan masyarakat.
Pasal 10
Cukup jelas.
Bagian Ketiga
Wewenang
Pasal 11
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, BPJS
berwenang untuk:

198
a. menagih pembayaran Iuran;
b. menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendek dan
jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas,
kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai;
c. melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan Peserta dan
Pemberi Kerja dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan jaminan sosial nasional;
d. membuat kesepakatan dengan fasilitas kesehatan mengenai besar
pembayaran fasilitas kesehatan yang mengacu pada standar tarif yang
ditetapkan oleh Pemerintah;
e. membuat atau menghentikan kontrak kerja dengan fasilitas kesehatan;
f. mengenakan sanksi administratif kepada Peserta atau Pemberi Kerja yang
tidak memenuhi kewajibannya;
g. melaporkan Pemberi Kerja kepada instansi yang berwenang mengenai
ketidakpatuhannya dalam membayar Iuran atau dalam memenuhi
kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;
dan
h. melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka penyelenggaraan
program Jaminan Sosial.
Pasal 11
Huruf a
Yang dimaksud dengan “menagih” adalah meminta pembayaran
dalam hal terjadi penunggakan, kemacetan, atau kekurangan
pembayaran Iuran.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Pemerintah menetapkan standar tarif setelah mendapatkan masukan
dari BPJS bersama dengan asosiasi fasilitas kesehatan, baik tingkat
nasional maupun tingkat daerah.
Besaran tarif di suatu wilayah (regional) tertentu dapat berbeda
dengan tarif di wilayah (regional) lainnya sesuai dengan tingkat
kemahalan harga setempat, sehingga diperoleh pembayaran fasilitas
kesehatan yang efektif dan efisien.

199
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “kewajiban lain” antara lain adalah kewajiban
mendaftarkan diri dan Pekerjanya sebagai Peserta, melaporkan data
kepesertaan termasuk perubahan Gaji atau Upah, jumlah Pekerja dan
keluarganya, alamat Pekerja, serta status Pekerja.
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang–undangan” adalah
Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan
peraturan pelaksanaannya.
Huruf h
Kerja sama dengan pihak lain terkait pemungutan dan pengumpulan
Iuran dari Peserta dan Pemberi Kerja serta penerimaan Bantuan Iuran
dilakukan dengan instansi Pemerintah dan pemerintah daerah, badan
usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah.

Bagian Keempat
Hak
Pasal 12
Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, BPJS
berhak untuk:
a. memperoleh dana operasional untuk penyelenggaraan program yang
bersumber dari Dana Jaminan Sosial dan/atau sumber lainnya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
b. memperoleh hasil monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program
Jaminan Sosial dari DJSN setiap 6 (enam) bulan.

Pasal 12
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dana operasional” adalah bagian dari
akumulasi Iuran Jaminan Sosial dan hasil pengembangannya yang
dapat digunakan BPJS untuk membiayai kegiatan operasional
penyelenggaraan program Jaminan Sosial.

200
Huruf b
Cukup jelas.
Bagian Kelima
Kewajiban
Pasal 13
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, BPJS
berkewajiban untuk:
a. memberikan nomor identitas tunggal kepada Peserta;
b. mengembangkan aset Dana Jaminan Sosial dan asset BPJS untuk sebesar-
besarnya kepentingan Peserta;
c. memberikan informasi melalui media massa cetak dan elektronik mengenai
kinerja, kondisi keuangan, serta kekayaan dan hasil pengembangannya;
d. memberikan Manfaat kepada seluruh Peserta sesuai dengan Undang-
Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional;
e. memberikan informasi kepada Peserta mengenai hak dan kewajiban untuk
mengikuti ketentuan yang berlaku;
f. memberikan informasi kepada Peserta mengenai prosedur untuk
mendapatkan hak dan memenuhi kewajibannya;
g. memberikan informasi kepada Peserta mengenai saldo jaminan hari tua dan
pengembangannya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun;
h. memberikan informasi kepada Peserta mengenai besar hak pensiun 1
(satu) kali dalam 1 (satu) tahun;
i. membentuk cadangan teknis sesuai dengan standar praktik aktuaria yang
lazim dan berlaku umum;
j. melakukan pembukuan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku
dalam penyelenggaraan Jaminan Sosial; dan
k. melaporkan pelaksanaan setiap program, termasuk kondisi keuangan,
secara berkala 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden dengan tembusan
kepada DJSN.

Pasal 13
Huruf a
Yang dimaksud dengan “nomor identitas tunggal” adalah nomor yang
diberikan secara khusus oleh BPJS kepada setiap Peserta untuk
menjamin tertib administrasi atas hak dan kewajiban setiap Peserta.
Nomor identitas tunggal berlaku untuk semua program Jaminan
Sosial.

201
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Informasi mengenai kinerja dan kondisi keuangan BPJS mencakup
informasi mengenai jumlah aset dan liabilitas, penerimaan, dan
pengeluaran untuk setiap Dana Jaminan Sosial, dan/atau jumlah aset
dan liabilitas, penerimaan, dan pengeluaran BPJS.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.

BAB V
PENDAFTARAN PESERTA DAN PEMBAYARAN IURAN
Bagian Kesatu
Pendaftaran Peserta
Pasal 14
Setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan
di Indonesia, wajib menjadi Peserta program Jaminan Sosial.

202
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
(1) Pemberi Kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya
sebagai Peserta kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang
diikuti.
(2) Pemberi Kerja, dalam melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), wajib memberikan data dirinya dan Pekerjanya berikut anggota
keluarganya secara lengkap dan benar kepada BPJS.
(3) Penahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Presiden.

Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “program Jaminan Sosial yang diikuti” adalah
5 (lima) program Jaminan Sosial dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “data” adalah data diri Pemberi Kerja dan
Pekerja beserta anggota keluarganya termasuk perubahannya.
Ayat (3)
Yang diatur dalam Peraturan Presiden adalah penahapan yang
didasarkan antara lain pada jumlah Pekerja, jenis usaha, dan/atau
skala usaha.
Penahapan yang akan diatur tersebut tidak boleh mengurangi
manfaat yang sudah menjadi hak Peserta dan kewajiban Pemberi
Kerja untuk mengikuti program Jaminan Sosial.

Pasal 16
(1) Setiap orang, selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan penerima Bantuan Iuran,
yang memenuhi persyaratan kepesertaan dalam program Jaminan Sosial
wajib mendaftarkan dirinya dan anggota keluarganya sebagai Peserta
kepada BPJS, sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti.
(2) Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan data
mengenai dirinya dan anggota keluarganya secara lengkap dan benar
kepada BPJS.

203
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
(1) Pemberi Kerja selain penyelenggara negara yang tidak melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2),
dan setiap orang yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. teguran tertulis;
b. denda; dan/atau
c. tidak mendapat pelayanan publik tertentu.
(3) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf
b dilakukan oleh BPJS.
(4) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan
oleh Pemerintah atau pemerintah daerah atas permintaan BPJS.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pelayanan publik tertentu” antara lain
pemrosesan izin usaha, izin mendirikan bangunan, bukti
kepemilikan hak tanah dan bangunan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “Pemerintah atau pemerintah daerah” adalah
unit pelayanan publik yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau
pemerintah daerah.

204
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 18
(1) Pemerintah mendaftarkan penerima Bantuan Iuran dan anggota
keluarganya sebagai Peserta kepada BPJS.
(2) Penerima Bantuan Iuran wajib memberikan data mengenai diri sendiri dan
anggota keluarganya secara lengkap dan benar kepada Pemerintah untuk
disampaikan kepada BPJS.

Pasal 18
Cukup jelas.

Bagian Kedua
Pembayaran Iuran
Pasal 19
(1) Pemberi Kerja wajib memungut Iuran yang menjadi beban Peserta dari
Pekerjanya dan menyetorkannya kepada BPJS.
(2) Pemberi Kerja wajib membayar dan menyetor Iuran yang menjadi
tanggung jawabnya kepada BPJS.
(3) Peserta yang bukan Pekerja dan bukan penerima Bantuan Iuran wajib
membayar dan menyetor Iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada
BPJS.
(4) Pemerintah membayar dan menyetor Iuran untuk penerima Bantuan Iuran
kepada BPJS.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai:
a. besaran dan tata cara pembayaran Iuran program jaminan kesehatan
diatur dalam Peraturan Presiden; dan
b. besaran dan tata cara pembayaran Iuran selain program jaminan
kesehatan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Cukup jelas.
BAB VI
ORGAN BPJS
Bagian Kesatu
Struktur

205
Pasal 20
Organ BPJS terdiri atas Dewan Pengawas dan Direksi.

Pasal 20
Cukup jelas.
Bagian Kedua
Dewan Pengawas
Pasal 21
(1) Dewan Pengawas terdiri atas 7 (tujuh) orang profesional.
(2) Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 2 (dua)
orang unsur Pemerintah, 2 (dua) orang unsur Pekerja, dan 2 (dua) orang
unsur Pemberi Kerja, serta 1 (satu) orang unsur tokoh masyarakat.
(3) Anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat
dan diberhentikan oleh Presiden.
(4) Salah seorang dari anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan sebagai ketua Dewan Pengawas oleh Presiden.
(5) Anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat
untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diusulkan untuk diangkat
kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Calon anggota Dewan Pengawas dari unsur Pekerja diusulkan oleh
organisasi Pekerja di tingkat nasional. Calon anggota Dewan
Pengawas dari unsur Pemberi Kerja diusulkan oleh organisasi
pengusaha di tingkat nasional.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

206
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “diusulkan untuk diangkat kembali” adalah
dicalonkan kembali melalui proses seleksi.

Pasal 22
(1) Dewan Pengawas berfungsi melakukan pengawasan atas pelaksanaan
tugas BPJS.
(2) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dewan
Pengawas bertugas untuk:
a. melakukan pengawasan atas kebijakan pengelolaan BPJS dan kinerja
Direksi;
b. melakukan pengawasan atas pelaksanaan pengelolaan dan
pengembangan Dana Jaminan Sosial oleh Direksi;
c. memberikan saran, nasihat, dan pertimbangan kepada Direksi
mengenai kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan BPJS; dan
d. menyampaikan laporan pengawasan penyelenggaraan Jaminan Sosial
sebagai bagian dari laporan BPJS kepada Presiden dengan tembusan
kepada DJSN.
(3) Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dewan
Pengawas berwenang untuk:
a. menetapkan rencana kerja anggaran tahunan BPJS;
b. mendapatkan dan/atau meminta laporan dari Direksi;
c. mengakses data dan informasi mengenai penyelenggaraan BPJS;
d. melakukan penelaahan terhadap data dan informasi mengenai
penyelenggaraan BPJS; dan
e. memberikan saran dan rekomendasi kepada Presiden mengenai
kinerja Direksi.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang
Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur dengan Peraturan Dewan Pengawas.
Pasal 22
Cukup jelas.

207
Bagian Ketiga
Direksi
Pasal 23
(1) Direksi terdiri atas paling sedikit 5 (lima) orang anggota yang berasal dari
unsur profesional.
(2) Anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden.
(3) Presiden menetapkan salah seorang dari anggota Direksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sebagai direktur utama.
(4) Anggota Direksi diangkat untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat
diusulkan untuk diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan
berikutnya.
Pasal 23
Ayat (1)
Anggota yang berasal dari unsur profesional adalah orang yang
mempunyai keahlian dan/atau pengetahuan khusus di bidang
Jaminan Sosial.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “diusulkan untuk diangkat kembali” adalah
dicalonkan kembali melalui proses seleksi.

Pasal 24
(1) Direksi berfungsi melaksanakan penyelenggaraan kegiatan operasional
BPJS yang menjamin Peserta untuk mendapatkan Manfaat sesuai dengan
haknya.
(2) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi
bertugas untuk:

208
a. melaksanakan pengelolaan BPJS yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi;
b. mewakili BPJS di dalam dan di luar pengadilan; dan
c. menjamin tersedianya fasilitas dan akses bagi Dewan Pengawas untuk
melaksanakan fungsinya.
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direksi
berwenang untuk:
a. melaksanakan wewenang BPJS;
b. menetapkan struktur organisasi beserta tugas pokok dan fungsi, tata
kerja organisasi, dan sistem kepegawaian;
c. menyelenggarakan manajemen kepegawaian BPJS termasuk
mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan pegawai BPJS serta
menetapkan penghasilan pegawai BPJS;
d. mengusulkan kepada Presiden penghasilan bagi Dewan Pengawas dan
Direksi;
e. menetapkan ketentuan dan tata cara pengadaan barang dan jasa
dalam rangka penyelenggaraan tugas BPJS dengan memperhatikan
prinsip transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas;
f. melakukan pemindahtanganan aset tetap BPJS paling banyak
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dengan persetujuan
Dewan Pengawas;
g. melakukan pemindahtanganan aset tetap BPJS lebih dari
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) sampai dengan
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) dengan persetujuan
Presiden; dan
h. melakukan pemindahtanganan aset tetap BPJS lebih dari
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang
Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur
dengan Peraturan Direksi.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.

209
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perencanaan” adalah termasuk
penyusunan Rencana Kerja Anggaran Tahunan BPJS.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “penghasilan” adalah gaji atau upah dan
manfaat tambahan lainnya.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
BAB VII
PERSYARATAN, TATA CARA PEMILIHAN DAN PENETAPAN, DAN
PEMBERHENTIAN ANGGOTA DEWAN PENGAWAS
DAN ANGGOTA DIREKSI

210
Bagian Kesatu
Persyaratan Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Direksi
Paragraf 1
Persyaratan Umum
Pasal 25
(1) Untuk dapat diangkat sebagai anggota Dewan Pengawas atau anggota
Direksi, calon yang bersangkutan harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;
e. memiliki kualifikasi dan kompetensi yang sesuai untuk pengelolaan
program Jaminan Sosial;
f. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 60
(enam puluh) tahun pada saat dicalonkan menjadi anggota;
g. tidak menjadi anggota atau menjabat sebagai pengurus partai politik;
h. tidak sedang menjadi tersangka atau terdakwa dalam proses
peradilan;
i. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun
atau lebih; dan/atau
j. tidak pernah menjadi anggota direksi, komisaris, atau dewan
pengawas pada suatu badan hukum yang dinyatakan pailit karena
kesalahan yang bersangkutan.
(2) Selama menjabat, anggota Dewan Pengawas dan anggota Direksi tidak
boleh merangkap jabatan di pemerintahan atau badan hukum lainnya.
Pasal 25
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.

211
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Kriteria kualifikasi calon anggota Dewan Pengawas atau calon
anggota Direksi diukur dari jenjang pendidikan formal.
Kriteria kompetensi calon anggota Dewan Pengawas atau calon
anggota Direksi diukur berdasarkan pengalaman, keahlian, dan
pengetahuan sesuai dengan bidang tugasnya.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “tidak boleh merangkap jabatan” adalah
setelah diangkat menjadi anggota Dewan Pengawas atau anggota
Direksi, yang bersangkutan melepaskan jabatan lain di pemerintahan,
termasuk lembaga negara atau badan hukum lain.

Paragraf 2
Persyaratan Khusus
Pasal 26
Selain harus memiliki persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, calon
anggota Dewan Pengawas harus memenuhi persyaratan khusus, yaitu memiliki
kompetensi dan pengalaman di bidang manajemen, khususnya di bidang
pengawasan paling sedikit 5 (lima) tahun.

212
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Selain harus memiliki persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, calon
anggota Direksi harus memenuhi persyaratan khusus, yaitu memiliki kompetensi
yang terkait untuk jabatan direksi yang bersangkutan dan memiliki pengalaman
manajerial paling sedikit 5 (lima) tahun.

Pasal 27
Kriteria kompetensi calon anggota Direksi diukur berdasarkan pengalaman,
keahlian, dan pengetahuan sesuai dengan bidang tugasnya, antara lain,
bidang ekonomi, keuangan, perbankan, aktuaria, perasuransian, dana
pensiun, teknologi informasi, manajemen risiko, manajemen kesehatan,
kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja, dan/atau hukum yang dapat
dibuktikan dengan sertifikat kompetensi.

Bagian Kedua
Tata Cara Pemilihan dan Penetapan Anggota
Dewan Pengawas dan Anggota Direksi
Pasal 28
(1) Untuk memilih dan menetapkan anggota Dewan Pengawas dan anggota
Direksi, Presiden membentuk panitia seleksi yang bertugas
melaksanakan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
(2) Keanggotaan panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas 2 (dua) orang unsur Pemerintah dan 5 (lima) orang unsur
masyarakat.
(3) Keanggotaan panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
(1) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 mengumumkan
penerimaan pendaftaran calon anggota Dewan Pengawas dan calon
anggota Direksi paling lama 5 (lima) hari kerja setelah ditetapkan.

213
(2) Pendaftaran dan seleksi calon anggota Dewan Pengawas dan calon anggota
Direksi dilakukan dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja secara terus-
menerus.
(3) Panitia seleksi mengumumkan nama calon anggota Dewan Pengawas dan
nama calon anggota Direksi kepada masyarakat untuk mendapatkan
tanggapan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pendaftaran ditutup.
(4) Tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada
panitia seleksi paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak tanggal
diumumkan.
(5) Panitia seleksi menentukan nama calon anggota Dewan Pengawas dan
nama calon anggota Direksi yang akan disampaikan kepada Presiden
sebanyak 2 (dua) kali jumlah jabatan yang diperlukan paling lama 10
(sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditutupnya masa penyampaian
tanggapan dari masyarakat.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
(1) Presiden memilih dan menetapkan anggota Dewan Pengawas yang berasal
dari unsur Pemerintah dan anggota Direksi berdasarkan usul dari panitia
seleksi.
(2) Presiden mengajukan nama calon anggota Dewan Pengawas yang berasal
dari unsur Pekerja, unsur Pemberi Kerja, dan unsur tokoh masyarakat
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebanyak 2 (dua) kali
jumlah jabatan yang diperlukan, paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal diterimanya daftar nama calon dari panitia seleksi.
(3) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia memilih anggota Dewan
Pengawas yang berasal dari unsur Pekerja, unsur Pemberi Kerja, dan unsur
tokoh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling lama 20
(dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan usulan dari
Presiden.
(4) Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menyampaikan
nama calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Presiden

214
paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal berakhirnya
pemilihan.
(5) Presiden menetapkan calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan
surat dari pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

(6) Penetapan anggota Dewan Pengawas dari unsur pemerintah dan anggota
Direksi dilakukan bersama-sama dengan penetapan anggota Dewan
Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan dan penetapan Dewan
Pengawas dan Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, dan
Pasal 30 diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 31
Cukup jelas.
Bagian Ketiga
Pemberhentian
Pasal 32
Anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi berhenti dari jabatannya
karena:
a. meninggal dunia;
b. masa jabatan berakhir; atau
c. diberhentikan.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
(1) Anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi dapat diberhentikan
sementara karena:
a. sakit terus-menerus lebih dari 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat
menjalankan tugasnya;

215
b. ditetapkan menjadi tersangka; atau
c. dikenai sanksi administratif pemberhentian sementara.
(2) Dalam hal anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi diberhentikan
sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden menunjuk
pejabat sementara dengan mempertimbangkan usulan dari DJSN.
(3) Anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikembalikan pada jabatannya apabila telah dinyatakan sehat
kembali untuk melaksanakan tugas atau apabila statusnya sebagai
tersangka dicabut, atau sanksi administratif pemberhentian sementaranya
dicabut.
(4) Pengembalian jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak dinyatakan sehat atau
statusnya sebagai tersangka dicabut atau sanksi administratif
pemberhentian sementaranya dicabut.
(5) Pemberhentian sementara anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengembalian jabatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Presiden.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Untuk menjalankan tugas anggota Dewan Pengawas yang
diberhentikan sementara, pejabat sementara yang diusulkan oleh
DJSN dipilih dari antara anggota Dewan Pengawas yang lain.
Untuk menjalankan tugas anggota Direksi yang diberhentikan
sementara, pejabat sementara yang diusulkan oleh DJSN dipilih dari
antara anggota Direksi yang lain.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “dinyatakan sehat kembali” adalah apabila
dinyatakan sehat oleh dokter yang bekerja pada rumah sakit milik
Pemerintah.

216
Yang dimaksud dengan “statusnya sebagai tersangka dicabut” adalah
apabila proses penyidikan perkaranya dihentikan oleh penyidik.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 34
Anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi diberhentikan dari jabatannya
karena:
a. sakit terus-menerus selama 6 (enam) bulan sehingga tidak dapat
menjalankan tugasnya;
b. tidak menjalankan tugasnya sebagai anggota Dewan Pengawas atau
anggota Direksi secara terus- menerus lebih dari 3 (tiga) bulan karena
alasan selain sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. merugikan BPJS dan kepentingan Peserta Jaminan Sosial karena kesalahan
kebijakan yang diambil;
d. menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana;
e. melakukan perbuatan tercela;
f. tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai anggota Dewan Pengawas atau
anggota Direksi; dan/atau
g. mengundurkan diri secara tertulis atas permintaan sendiri.

Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Dalam hal anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi berhenti
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf a atau diberhentikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34, Presiden mengangkat anggota Dewan Pengawas atau
anggota Direksi pengganti untuk meneruskan sisa masa jabatan yang
digantikan.
Pasal 35
Cukup jelas.

217
Pasal 36
(1) Dalam hal terjadi kekosongan jabatan anggota Dewan Pengawas dan/atau
anggota Direksi, Presiden membentuk panitia seleksi untuk memilih calon
anggota pengganti antarwaktu.
(2) Prosedur pemilihan dan penetapan calon anggota pengganti antarwaktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, dan
Pasal 31.
(3) Dalam hal sisa masa jabatan yang kosong sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) kurang dari 18 (delapan belas) bulan, Presiden menetapkan
anggota pengganti antar waktu berdasarkan usulan DJSN.
(4) DJSN mengajukan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
berdasarkan peringkat hasil seleksi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan dan penetapan calon
anggota pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 36
Cukup jelas.
BAB VIII
PERTANGGUNGJAWABAN
Pasal 37
(1) BPJS wajib menyampaikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan
tugasnya dalam bentuk laporan pengelolaan program dan laporan
keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik kepada Presiden
dengan tembusan kepada DJSN paling lambat tanggal 30 Juni tahun
berikutnya.
(2) Periode laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai dari 1 Januari sampai dengan
31 Desember.
(3) Bentuk dan isi laporan pengelolaan program sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diusulkan oleh BPJS setelah berkonsultasi dengan DJSN.
(4) Laporan keuangan BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dan
disajikan sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku.

218
(5) Laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipublikasikan dalam bentuk ringkasan eksekutif
melalui media massa elektronik dan melalui paling sedikit 2 (dua) media
massa cetak yang memiliki peredaran luas secara nasional, paling lambat
tanggal 31 Juli tahun berikutnya.
(6) Bentuk dan isi publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan
oleh Direksi setelah mendapat persetujuan dari Dewan Pengawas.
(7) Ketentuan mengenai bentuk dan isi laporan pengelolaan program
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
(1) Direksi bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian finansial
yang ditimbulkan atas kesalahan pengelolaan Dana Jaminan Sosial.
(2) Pada akhir masa jabatan, Dewan Pengawas dan Direksi wajib
menyampaikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya kepada
Presiden dengan tembusan kepada DJSN.
Pasal 38
Cukup jelas.
BAB IX
PENGAWASAN
Pasal 39
(1) Pengawasan terhadap BPJS dilakukan secara eksternal dan internal.
(2) Pengawasan internal BPJS dilakukan oleh organ pengawas BPJS, yang
terdiri atas:
a. Dewan Pengawas; dan
b. satuan pengawas internal.
(3) Pengawasan eksternal BPJS dilakukan oleh:
a. DJSN; dan
b. lembaga pengawas independen.
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.

219
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
DJSN melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan
program Jaminan Sosial.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “lembaga pengawas independen” adalah
Otoritas Jasa Keuangan. Dalam hal tertentu sesuai dengan
kewenangannya Badan Pemeriksa Keuangan dapat melakukan
pemeriksaan.
BAB X
ASET
Bagian Kesatu
Pemisahan Aset
Pasal 40
(1) BPJS mengelola:
a. aset BPJS; dan
b. aset Dana Jaminan Sosial.
(2) BPJS wajib memisahkan aset BPJS dan aset Dana Jaminan Sosial.
(3) Aset Dana Jaminan Sosial bukan merupakan asset BPJS.
(4) BPJS wajib menyimpan dan mengadministrasikan Dana Jaminan Sosial
pada bank kustodian yang merupakan badan usaha milik negara.
Pasal 40
Cukup jelas.
Bagian Kedua
Aset BPJS
Pasal 41
(1) Aset BPJS bersumber dari:
a. modal awal dari Pemerintah, yang merupakan kekayaan negara yang
dipisahkan dan tidak terbagi atas saham;

220
b. hasil pengalihan aset Badan Usaha Milik Negara yang
menyelenggarakan program jaminan sosial;
c. hasil pengembangan aset BPJS;
d. dana operasional yang diambil dari Dana Jaminan Sosial; dan/atau
e. sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Aset BPJS dapat digunakan untuk:
a. biaya operasional penyelenggaraan program Jaminan Sosial;
b. biaya pengadaan barang dan jasa yang digunakan untuk mendukung
operasional penyelenggaraan Jaminan Sosial;
c. biaya untuk peningkatan kapasitas pelayanan; dan
d. investasi dalam instrumen investasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber dan penggunaan aset BPJS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Modal awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a untuk BPJS
Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan ditetapkan masing-masing paling banyak
Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 42
Cukup jelas.

Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18

(1) Modal awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a
untuk BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan ditetapkan masing-
masing paling banyak Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) yang
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(2) Modal awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a
untuk program jaminan kehilangan pekerjaan ditetapkan paling sedikit

221
Rp6.000.000.000.000,00 (enam triliun rupiah) yang bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 42
Cukup jelas.

Bagian Ketiga
Aset Dana Jaminan Sosial
Pasal 43
(1) Aset Dana Jaminan Sosial bersumber dari:
a. Iuran Jaminan Sosial termasuk Bantuan Iuran;
b. hasil pengembangan Dana Jaminan Sosial;
c. hasil pengalihan aset program jaminan sosial yang menjadi hak
Peserta dari Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan
program jaminan sosial; dan
d. sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Aset Dana Jaminan Sosial digunakan untuk:
a. pembayaran Manfaat atau pembiayaan layanan Jaminan Sosial;
b. dana operasional penyelenggaraan program Jaminan Sosial; dan
c. investasi dalam instrumen investasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber dan penggunaan aset Dana
Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 43
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Aset program jaminan sosial dapat berupa uang, surat berharga,
serta tanah dan bangunan.
Huruf d
Cukup jelas.

222
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Bagian Keempat
Biaya Operasional
Pasal 44
(1) Biaya operasional BPJS terdiri atas biaya personel dan biaya non personel.
(2) Personel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Dewan
Pengawas, Direksi, dan karyawan.
(3) Biaya personel mencakup Gaji atau Upah dan manfaat tambahan lainnya.
(4) Dewan Pengawas, Direksi, dan karyawan memperoleh Gaji atau Upah dan
manfaat tambahan lainnya yang sesuai dengan wewenang dan/atau
tanggung jawabnya dalam menjalankan tugas di dalam BPJS.
(5) Gaji atau Upah dan manfaat tambahan lainnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) memperhatikan tingkat kewajaran yang berlaku.
(6) Dewan Pengawas, Direksi, dan karyawan dapat memperoleh insentif sesuai
dengan kinerja BPJS yang dibayarkan dari hasil pengembangan.
(7) Ketentuan mengenai Gaji atau Upah dan manfaat tambahan lainnya serta
insentif bagi karyawan ditetapkan dengan peraturan Direksi.
(8) Ketentuan mengenai Gaji atau Upah dan manfaat tambahan lainnya serta
insentif bagi anggota Dewan Pengawas dan anggota Direksi diatur dengan
Peraturan Presiden.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
(1) Dana operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf d
ditentukan berdasarkan persentase dari Iuran yang diterima dan/atau dari
dana hasil pengembangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persentase dana operasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 45
Cukup jelas.

223
BAB XI
PEMBUBARAN BPJS
Pasal 46
BPJS hanya dapat dibubarkan dengan Undang-Undang.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
BPJS tidak dapat dipailitkan berdasarkan ketentuan perundangan-undangan
mengenai kepailitan.
Pasal 47
Cukup jelas.
BAB XII
PENYELESAIAN SENGKETA
Bagian Kesatu
Penyelesaian Pengaduan
Pasal 48
(1) BPJS wajib membentuk unit pengendali mutu pelayanan dan penanganan
pengaduan Peserta.
(2) BPJS wajib menangani pengaduan paling lama 5 (lima) hari kerja sejak
diterimanya pengaduan.
(3) Ketentuan mengenai unit pengendali mutu dan penanganan pengaduan
Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan BPJS.

Pasal 48
Cukup jelas.

Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi
Pasal 49
(1) Pihak yang merasa dirugikan yang pengaduannya belum dapat diselesaikan
oleh unit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1), penyelesaian
sengketanya dapat dilakukan melalui mekanisme mediasi.

224
(2) Mekanisme mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
bantuan mediator yang disepakati oleh kedua belah pihak secara tertulis.
(3) Penyelesaian sengketa melalui mediasi dilakukan paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak penandatangan kesepakatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) oleh kedua belah pihak.
(4) Penyelesaian sengketa melalui mekanisme mediasi, setelah ada
kesepakatan kedua belah pihak secara tertulis, bersifat final dan mengikat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian sengketa melalui
mediasi dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” adalah
Undang-Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
Bagian Ketiga
Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
Pasal 50
Dalam hal pengaduan tidak dapat diselesaikan oleh unit pengendali mutu
pelayanan dan penanganan pengaduan Peserta melalui mekanisme mediasi
tidak dapat terlaksana, penyelesaiannya dapat diajukan ke pengadilan negeri di
wilayah tempat tinggal pemohon.
Pasal 50
Cukup jelas.

225
BAB XIII
HUBUNGAN DENGAN LEMBAGA LAIN
Pasal 51
(1) Dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan program Jaminan
Sosial, BPJS bekerja sama dengan lembaga Pemerintah.
(2) Dalam menjalankan tugasnya, BPJS dapat bekerja sama dengan organisasi
atau lembaga lain di dalam negeri atau di luar negeri.
(3) BPJS dapat bertindak mewakili Negara Republik Indonesia sebagai anggota
organisasi atau anggota lembaga internasional apabila terdapat ketentuan
bahwa anggota dari organisasi atau lembaga internasional tersebut
mengharuskan atas nama negara.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara hubungan antarlembaga diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kerja sama dengan organisasi atau lembaga lain di dalam negeri atau
di luar negeri dilakukan dalam rangka peningkatan kualitas BPJS
ataupun kualitas pelayanannya kepada Peserta.
Ayat (3)
Keanggotaan BPJS dalam organisasi atau lembaga internasional
dilakukan dengan tetap mengikuti ketentuan peraturan perundang-
undangan di Indonesia.
Ayat (4)
Cukup jelas.
BAB XIV
LARANGAN
Pasal 52
Anggota Dewan Pengawas dan anggota Direksi dilarang:
a. memiliki hubungan keluarga sampai derajat ketiga antaranggota Dewan
Pengawas, antaranggota Direksi, dan antara anggota Dewan Pengawas dan
anggota Direksi;

226
b. memiliki bisnis yang mempunyai keterkaitan dengan penyelenggaraan
Jaminan Sosial;
c. melakukan perbuatan tercela;
d. merangkap jabatan sebagai anggota partai politik, pengurus organisasi
masyarakat atau organisasi sosial atau lembaga swadaya masyarakat yang
terkait dengan program Jaminan Sosial, pejabat struktural dan fungsional
pada lembaga pemerintahan, pejabat di badan usaha dan badan hukum
lainnya;
e. membuat atau mengambil keputusan yang mengandung unsur benturan
kepentingan;
f. mendirikan atau memiliki seluruh atau sebagian badan usaha yang terkait
dengan program Jaminan Sosial;
g. menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan dihapuskannya
suatu laporan dalam buku catatan atau dalam laporan, dokumen atau
laporan kegiatan usaha, atau laporan transaksi BPJS dan/atau Dana
Jaminan Sosial;
h. menyalahgunakan dan/atau menggelapkan asset BPJS dan/atau Dana
Jaminan Sosial;
i. melakukan subsidi silang antarprogram;
j. menempatkan investasi aset BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial pada jenis
investasi yang tidak terdaftar pada Peraturan Pemerintah;
k. menanamkan investasi kecuali surat berharga tertentu dan/atau investasi
peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kesejahteraan sosial;
l. membuat atau menyebabkan adanya suatu laporan palsu dalam buku
catatan atau dalam laporan, atau dalam dokumen atau laporan kegiatan
usaha, atau laporan transaksi BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial;
dan/atau
m. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau
menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam
laporan, atau dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan
transaksi atau merusak catatan pembukuan BPJS dan/atau Dana Jaminan
Sosial.

227
Pasal 52
Huruf a
Yang dimaksud dengan “hubungan keluarga” adalah hubungan
keluarga karena pertalian darah atau perkawinan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “melakukan perbuatan tercela” adalah
melakukan perbuatan yang merendahkan martabat Dewan Pengawas
dan Direksi.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.

228
Pasal 53
(1) Anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi yang melanggar ketentuan
larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, huruf e, atau huruf f dikenai sanksi administratif.
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Presiden atau pejabat yang ditunjuk.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pemberhentian sementara; dan/atau
c. pemberhentian tetap.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 53
Cukup jelas.
BAB XV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 54
Anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi yang melanggar larangan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf g, huruf h, huruf i,
huruf j, huruf k, huruf l, atau huruf m dipidana dengan pidana penjara paling
lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Pemberi Kerja yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8
(delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
Pasal 55
Cukup jelas.

229
BAB XVI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 56
(1) Presiden sewaktu-waktu dapat meminta laporan keuangan dan laporan
kinerja BPJS sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan
Pemerintah yang berkaitan dengan penyelenggaraan Jaminan Sosial
nasional.
(2) Dalam hal terdapat kebijakan fiskal dan moneter yang mempengaruhi
tingkat solvabilitas BPJS, Pemerintah dapat mengambil kebijakan khusus
untuk menjamin kelangsungan program Jaminan Sosial.
(3) Dalam hal terjadi krisis keuangan dan kondisi tertentu yang memberatkan
perekonomian, Pemerintah dapat melakukan tindakan khusus untuk
menjaga kesehatan keuangan dan kesinambungan penyelenggaraan
program Jaminan Sosial.
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kondisi tertentu yang memberatkan perekonomian dapat berupa
tingkat inflasi yang tinggi, keadaan pascabencana yang
mengakibatkan penggunaan sebagian besar sumber daya ekonomi
negara, dan lain sebagainya.
Tindakan khusus untuk menjaga kesehatan keuangan dan
kesinambungan penyelenggaraan program Jaminan Sosial antara lain
berupa penyesuaian Manfaat, Iuran, dan/atau usia pensiun, sebagai
upaya terakhir.
BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 57
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Perusahaan Perseroan (Persero) PT Asuransi Kesehatan Indonesia atau
disingkat PT Askes (Persero) yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah

230
Nomor 6 Tahun 1992 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum
(Perum) Husada Bhakti menjadi Perusahaan Perseroan (Persero)
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 16) diakui
keberadaannya dan tetap melaksanakan program jaminan kesehatan,
termasuk menerima pendaftaran peserta baru, sampai dengan
beroperasinya BPJS Kesehatan;
b. Kementerian Kesehatan tetap melaksanakan kegiatan operasional
penyelenggaraan program jaminan kesehatan masyarakat, termasuk
penambahan peserta baru, sampai dengan beroperasinya BPJS Kesehatan;
c. Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian
Republik Indonesia tetap melaksanakan kegiatan operasional
penyelenggaraan program layanan kesehatan bagi pesertanya, termasuk
penambahan peserta baru, sampai dengan beroperasinya BPJS Kesehatan,
kecuali untuk pelayanan kesehatan tertentu berkaitan dengan
kegiatan operasionalnya, yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden;
d. Perusahaan Perseroan (Persero) PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja atau
disingkat PT Jamsostek (Persero) yang dibentuk dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 36 Tahun 1995 tentang Penetapan Badan
Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 59), berdasarkan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 14, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3468) tetap melaksanakan kegiatan
operasional penyelenggaraan:
1. program jaminan pemeliharaan kesehatan termasuk penambahan
peserta baru sampai dengan beroperasinya BPJS Kesehatan; dan
2. program jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan jaminan
hari tua bagi pesertanya, termasuk penambahan peserta baru sampai
dengan berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan.
e. Perusahaan Perseroan (Persero) PT ASABRI atau disingkat PT ASABRI
(Persero) yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun
1991 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Asuransi
Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menjadi Perusahaan
Perseroan (Persero) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991
Nomor 88), berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1966 tentang

231
Pemberian Pensiun, Tunjangan bersifat Pensiun, dan Tunjangan Kepada
Militer Sukarela (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1966 Nomor
33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2812),
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan
Pensiun Janda/Duda Pegawai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1969 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
2906), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3890), Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor 4, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3369), Peraturan Pemerintah Nomor 36
Tahun 1968 tentang Pemberian Pensiun Kepada Warakawuri, Tunjangan
Kepada Anak Yatim/Piatu, dan Anak Yatim-Piatu Militer Sukarela (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 61, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2863), dan Peraturan Pemerintah Nomor
67 Tahun 1991 tentang Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 87,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3455) tetap
melaksanakan kegiatan operasional penyelenggaraan program Asuransi
Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan program pembayaran
pensiun bagi pesertanya, termasuk penambahan peserta baru, sampai
dengan dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan.
f. Perusahaan Perseroan (Persero) PT DANA TABUNGAN DAN ASURANSI
PEGAWAI NEGERI atau disingkat PT TASPEN (Persero) yang dibentuk
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1981 tentang Pengalihan
Bentuk Perusahaan Umum Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri
Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 38), berdasarkan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 42, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2906), Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik

232
Indonesia Nomor 3890), dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981
tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3200) tetap melaksanakan kegiatan operasional
penyelenggaraan program tabungan hari tua dan program pembayaran
pensiun bagi pesertanya, termasuk penambahan peserta baru sampai
dengan dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan.

Pasal 57
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
terdiri atas santunan asuransi, santunan nilai tunai asuransi, santunan
risiko kematian, santunan biaya pemakaman, santunan risiko
kematian khusus, santunan cacat karena dinas, santunan cacat bukan
karena dinas, santunan biaya pemakaman istri/suami, dan santunan
biaya pemakaman anak.
Huruf f
Program tabungan hari tua terdiri atas asuransi dwiguna dan asuransi
kematian.
BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 58
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini Dewan Komisaris dan Direksi PT Askes
(Persero) sampai dengan beroperasinya BPJS Kesehatan ditugasi untuk:
a. menyiapkan operasional BPJS Kesehatan untuk program jaminan kesehatan
sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 28 Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

233
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456).
b. menyiapkan pengalihan aset dan liabilitas, pegawai, serta hak dan
kewajiban PT Askes (Persero) ke BPJS Kesehatan.
Pasal 58
Huruf a
Penyiapan operasional BPJS Kesehatan mencakup antara lain:
a. menyusun sistem dan prosedur operasional yang diperlukan
untuk beroperasinya BPJS Kesehatan;
b. melakukan sosialisasi kepada seluruh pemangku kepentingan
jaminan kesehatan;
c. menentukan program jaminan kesehatan yang sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional untuk Peserta PT Askes (Persero);
d. berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan untuk
mengalihkan penyelenggaraan program jaminan kesehatan
masyarakat ke BPJS Kesehatan;
e. berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia untuk mengalihkan
penyelenggaraan program pelayanan kesehatan bagi anggota
TNI/Polri dan PNS di lingkungan Kementerian Pertahanan,
Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Republik Indonesia
beserta anggota keluarganya ke BPJS Kesehatan; dan
f. berkoordinasi dengan PT Jamsostek (Persero) untuk mengalihkan
penyelenggaraan program jaminan pemeliharaan kesehatan ke
BPJS Kesehatan.
Huruf b
Kegiatan penyiapan pengalihan aset dan liabilitas, pegawai, serta hak
dan kewajiban PT Askes (Persero) ke BPJS Kesehatan, mencakup
antara lain:
a. menunjuk kantor akuntan publik untuk melakukan audit atas
laporan keuangan penutup PT Askes (Persero), laporan posisi

234
keuangan pembukaan BPJS Kesehatan, dan laporan posisi
keuangan pembukaan dana jaminan kesehatan; dan
b. menyusun laporan keuangan penutup PT Askes (Persero),
laporan posisi keuangan pembukaan BPJS Kesehatan, dan
laporan posisi keuangan pembukaan dana jaminan kesehatan.

Pasal 59
Untuk pertama kali, Dewan Komisaris dan Direksi PT Askes (Persero) diangkat
menjadi Dewan Pengawas dan Direksi BPJS Kesehatan untuk jangka waktu
paling lama 2 (dua) tahun sejak BPJS Kesehatan mulai beroperasi.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
(1) BPJS Kesehatan mulai beroperasi menyelenggarakan program jaminan
kesehatan pada tanggal 1 Januari 2014.
(2) Sejak beroperasinya BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. Kementerian Kesehatan tidak lagi menyelenggarakan program jaminan
kesehatan masyarakat;
b. Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian
Republik Indonesia tidak lagi menyelenggarakan program pelayanan
kesehatan bagi pesertanya, kecuali untuk pelayanan kesehatan
tertentu berkaitan dengan kegiatan operasionalnya, yang ditetapkan
dengan Peraturan Presiden; dan
c. PT Jamsostek (Persero) tidak lagi menyelenggarakan program jaminan
pemeliharaan kesehatan.
(3) Pada saat BPJS Kesehatan mulai beroperasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1):
a. PT Askes (Persero) dinyatakan bubar tanpa likuidasi dan semua aset
dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum PT Askes (Persero)
menjadi aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum BPJS
Kesehatan;
b. semua pegawai PT Askes (Persero) menjadi pegawai BPJS Kesehatan;
dan

235
c. Menteri Badan Usaha Milik Negara selaku Rapat Umum Pemegang
Saham mengesahkan laporan posisi keuangan penutup PT Askes
(Persero) setelah dilakukan audit oleh kantor akuntan publik dan
Menteri Keuangan mengesahkan laporan posisi keuangan pembuka
BPJS Kesehatan dan laporan posisi keuangan pembuka dana jaminan
kesehatan.

Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, Dewan Komisaris dan Direksi PT
Jamsostek (Persero) sampai dengan berubahnya PT Jamsostek (Persero)
menjadi BPJS Ketenagakerjaan ditugasi untuk:
a. menyiapkan pengalihan program jaminan pemeliharaan kesehatan kepada
BPJS Kesehatan;
b. menyiapkan operasional BPJS Ketenagakerjaan untuk program jaminan
kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan
kematian;
c. menyiapkan pengalihan aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban program
jaminan pemeliharaan kesehatan PT Jamsostek (Persero) terkait
penyelenggaraan program jaminan pemeliharaan kesehatan ke BPJS
Kesehatan; dan
d. menyiapkan pengalihan aset dan liabilitas, pegawai, serta hak dan
kewajiban PT Jamsostek (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan.

Pasal 61
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penyiapan operasional BPJS Ketenagakerjaan untuk program jaminan
kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan
kematian mencakup antara lain:
a. menyusun sistem dan prosedur operasional yang diperlukan
untuk beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan; dan
b. melakukan sosialisasi kepada seluruh pemangku kepentingan
jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun,
dan jaminan kematian.

236
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Kegiatan penyiapan pengalihan aset dan liabilitas, pegawai, serta hak
dan kewajiban PT Jamsostek (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan,
mencakup antara lain:
a. menunjuk kantor akuntan publik untuk melakukan audit atas
laporan posisi keuangan penutup PT Jamsostek (Persero) dan
laporan posisi keuangan pembukaan BPJS Ketenagakerjaan; dan
b. menyusun laporan posisi keuangan penutup PT Jamsostek
(Persero) dan laporan posisi keuangan pembukaan BPJS
Ketenagakerjaan.

Pasal 62
(1) PT Jamsostek (Persero) berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan pada
tanggal 1 Januari 2014.
(2) Pada saat PT Jamsostek (Persero) berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. PT Jamsostek (Persero) dinyatakan bubar tanpa likuidasi dan semua
aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum PT Jamsostek
(Persero) menjadi aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum
BPJS Ketenagakerjaan;
b. semua pegawai PT Jamsostek (Persero) beralih menjadi pegawai BPJS
Ketenagakerjaan;
c. Menteri Badan Usaha Milik Negara selaku Rapat Umum Pemegang
Saham mengesahkan laporan posisi keuangan penutup PT
Jamsostek (Persero) setelah dilakukan audit oleh kantor akuntan
publik dan Menteri Keuangan mengesahkan posisi laporan keuangan
pembukaan BPJS Ketenagakerjaan dan laporan posisi keuangan
pembukaan dana jaminan ketenagakerjaan; dan
d. BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan
kecelakaan kerja, program jaminan hari tua, dan program jaminan
kematian yang selama ini diselenggarakan oleh PT Jamsostek
(Persero), termasuk menerima peserta baru, sampai dengan
beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan yang sesuai dengan ketentuan
Pasal 29 sampai dengan Pasal 38 dan Pasal 43 sampai dengan Pasal
46 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan

237
Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4456), paling lambat 1 Juli 2015.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Untuk pertama kali, Dewan Komisaris dan Direksi PT Jamsostek (Persero)
diangkat menjadi anggota Dewan Pengawas dan anggota Direksi BPJS
Ketenagakerjaan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak BPJS
Ketenagakerjaan mulai beroperasi.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi menyelenggarakan program jaminan
kecelakaan kerja, program jaminan hari tua, program jaminan pensiun, dan
program jaminan kematian bagi Peserta, selain peserta program yang dikelola
PT TASPEN (Persero) dan PT ASABRI (Persero), sesuai dengan ketentuan Pasal
29 sampai dengan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4456), paling lambat tanggal 1 Juli 2015.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
(1) PT ASABRI (Persero) menyelesaikan pengalihan program Asuransi Sosial
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan program pembayaran pensiun
ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat tahun 2029.
(2) PT TASPEN (Persero) menyelesaikan pengalihan program tabungan hari tua
dan program pembayaran pensiun dari PT TASPEN (Persero) ke BPJS
Ketenagakerjaan paling lambat tahun 2029.
Pasal 65
Ayat (1)
PT ASABRI (Persero) menyelesaikan penyusunan roadmap
transformasi paling lambat tahun 2014 yang antara lain memuat

238
pengalihan program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia dan program pembayaran pensiun ke BPJS
Ketenagakerjaan.
Ayat (2)
PT TASPEN (Persero) menyelesaikan penyusunan roadmap
transformasi paling lambat tahun 2014 yang antara lain memuat
pengalihan program tabungan hari tua dan program pembayaran
pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan.

Pasal 66
Ketentuan mengenai tata cara pengalihan program Asuransi Sosial Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia dan program pembayaran pensiun dari PT
ASABRI (Persero) dan pengalihan program tabungan hari tua dan program
pembayaran pensiun dari PT TASPEN (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 66
Program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan
program pembayaran pensiun yang dialihkan dari PT ASABRI (Persero) dan
program tabungan hari tua dan program pembayaran pensiun yang
dialihkan dari PT TASPEN (Persero) adalah bagian program yang sesuai
dengan Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
PT ASABRI (Persero) dan PT TASPEN (Persero) menyelesaikan penyusunan
roadmap transformasi paling lambat tahun 2014, yang antara lain memuat
pengalihan program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia dan program pembayaran pensiun dari PT ASABRI (Persero) dan
pengalihan program tabungan hari tua dan program pembayaran pensiun
ke BPJS Ketenagakerjaan.

Pasal 67
Ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756) dan
Pasal 64 ayat (1) Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha
Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297) tidak berlaku
untuk pembubaran PT Askes (Persero) dan PT Jamsostek (Persero)

239
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (3) huruf a dan Pasal 62 ayat (2)
huruf a.

Pasal 67
Cukup jelas.

Pasal 68
Pada saat berubahnya PT Jamsostek (Persero) menjadi BPJS Ketenagakerjaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang
ini:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1995 tentang Penetapan Badan
Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 59) dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku lagi; dan
b. Ketentuan Pasal 8 sampai dengan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3468) dinyatakan tetap berlaku sampai dengan
beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
64.
Pasal 68
Cukup jelas.

Pasal 69
Pada saat mulai beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 64, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 14,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3468) dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama:
a. 1 (satu) tahun untuk peraturan yang mendukung beroperasinya BPJS
Kesehatan; dan

240
b. 2 (dua) tahun untuk peraturan yang mendukung beroperasinya BPJS
Ketenagakerjaan terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 70
Cukup jelas.

Pasal 71
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-
Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Pasal 71
Cukup jelas.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 25 November 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 November 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 116

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5256

241
242
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 2017
TENTANG
PELINDUNGAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa bekerja merupakan hak asasi manusia yang


wajib dijunjung tinggi, dihormati, dan dijamin
penegakannya sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. bahwa negara menjamin hak, kesempatan, dan
memberikan perlindungan bagi setiap warga negara
tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan dan
penghasilan yang layak, baik di dalam maupun di luar
negeri sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat,
minat, dan kemampuan;
c. bahwa pekerja migran Indonesia harus dilindungi dari
perdagangan manusia, perbudakan dan kerja paksa,
korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan
atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain
yang melanggar hak asasi manusia;
d. bahwa penempatan pekerja migran Indonesia
merupakan suatu upaya untuk mewujudkan hak dan

243
kesempatan yang sama bagi tenaga kerja untuk
memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak,
yang pelaksanaannya dilakukan dengan tetap
memperhatikan harkat, martabat, hak asasi manusia,
dan pelindungan hukum, serta pemerataan
kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang
sesuai dengan kepentingan nasional;
e. bahwa negara wajib membenahi keseluruhan sistem
pelindungan bagi pekerja migran Indonesia dan
keluarganya yang mencerminkan nilai kemanusiaan dan
harga diri sebagai bangsa mulai dari sebelum bekerja,
selama bekerja, dan setelah bekerja;
f. bahwa penempatan dan pelindungan pekerja migran
Indonesia perlu dilakukan secara terpadu antara
instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah dengan
mengikutsertakan masyarakat;
g. bahwa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan
pelindungan pekerja migran Indonesia;
h. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
huruf e, huruf f, dan huruf g perlu membentuk Undang-
Undang tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia;
Mengingat : 1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (2) , Pasal 28 D
ayat ( 1) dan ayat (2), Pasal 28 E ayat ( 1) dan ayat
(3), Pasal 28 G, Pasal 28 I ayat ( 1) dan ayat (2)
, dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);

244
3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012 tentang
Pengesahan International Convention on the Protection
of the Rights of All Migrant Workers and Members of
Their Families (Konvensi Internasional mengenai
Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan
Anggota Keluarganya) (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 115, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5314);

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PELINDUNGAN PEKERJA
MIGRAN INDONESIA.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Calon Pekerja Migran Indonesia adalah setiap tenaga kerja Indonesia yang
memenuhi syarat sebagai pencari kerja yang akan bekerja di luar negeri
dan terdaftar di instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan.
2. Pekerja Migran Indonesia adalah setiap warga negara Indonesia yang akan,
sedang, atau telah melakukan pekerjaan dengan menerima upah di luar
wilayah Republik Indonesia.
3. Keluarga Pekerja Migran Indonesia adalah suami, istri, anak, atau orang tua
termasuk hubungan karena putusan dan/atau penetapan pengadilan, baik
yang berada di Indonesia maupun yang tinggal bersama Pekerja Migran
Indonesia di luar negeri.

245
4. Pekerja Migran Indonesia Perseorangan adalah Pekerja Migran Indonesia
yang akan bekerja ke luar negeri tanpa melalui pelaksana penempatan.
5. Pelindungan Pekerja Migran Indonesia adalah segala upaya untuk
melindungi kepentingan Calon Pekerja Migran Indonesia dan/atau Pekerja
Migran Indonesia dan keluarganya dalam mewujudkan terjaminnya
pemenuhan haknya dalam keseluruhan kegiatan sebelum bekerja, selama
bekerja, dan setelah bekerja dalam aspek hukum, ekonomi, dan sosial.
6. Pelindungan Sebelum Bekerja adalah keseluruhan aktivitas untuk
memberikan pelindungan sejak pendaftaran sampai pemberangkatan.
7. Pelindungan Selama Bekerja adalah keseluruhan aktivitas untuk
memberikan pelindungan selama Pekerja Migran Indonesia dan anggota
keluarganya berada di luar negeri.
8. Pelindungan Setelah Bekerja adalah keseluruhan aktivitas untuk
memberikan pelindungan sejak Pekerja Migran Indonesia dan anggota
keluarganya tiba di debarkasi di Indonesia hingga kembali ke daerah asal,
termasuk pelayanan lanjutan menjadi pekerja produktif.
9. Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia adalah badan usaha
berbadan hukum perseroan terbatas yang telah memperoleh izin tertulis
dari Menteri untuk menyelenggarakan pelayanan penempatan Pekerja
Migran Indonesia.
10. Mitra Usaha adalah instansi dan/atau badan usaha berbentuk badan hukum
di negara tujuan penempatan yang bertanggung jawab menempatkan
Pekerja Migran Indonesia pada pemberi kerja.
11. Pemberi Kerja adalah instansi pemerintah, badan hukum pemerintah,
badan hukum swasta, dan/atau perseorangan di negara tujuan
penempatan yang mempekerjakan Pekerja Migran Indonesia.
12. Perjanjian Kerja Sama Penempatan adalah pedanjian tertulis antara
Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia dan Mitra Usaha atau
Pemberi Kerja yang memuat hak dan kewajiban setiap pihak dalam rangka
penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia di negara tujuan
penempatan.
13. Perjanjian Penempatan Pekerja Migran Indonesia yang selanjutnya disebut
Perjanjian Penempatan adalah perjanjian tertulis antara pelaksana
penempatan Pekerja Migran Indonesia dan Calon Pekerja Migran Indonesia

246
yang memuat hak dan kewajiban setiap pihak, dalam rangka penempatan
Pekerja Migran Indonesia di negara tujuan penempatan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
14. Perjanjian Kerja adalah perjanjian tertulis antara Pekerja Migran Indonesia
dan Pemberi Kerja yang memuat syarat kerja, hak, dan kewajiban setiap
pihak, serta jaminan keamanan dan keselamatan selama bekerja sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
15. Visa Kerja adalah izin tertulis yang diberikan oleh pejabat yang berwenang
di suatu negara tujuan penempatan yang memuat persetujuan untuk
masuk dan melakukan pekerjaan di negara yang bersangkutan.
16. Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia yang
selanjutnya disebut SIP3MI adalah izin tertulis yang diberikan oleh Menteri
kepada badan usaha berbadan hukum Indonesia yang akan menjadi
Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia.
17. Surat Izin Perekrutan Pekerja Migran Indonesia yang selanjutnya disebut
SIP2MI adalah Izin yang diberikan oleh kepala Badan kepada Perusahaan
Penempatan Pekerja Migran Indonesia yang digunakan untuk
menempatkan Calon Pekerja Migran Indonesia.
18. Jaminan Sosial adalah salah satu bentuk pelindungan sosial untuk
menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya
yang layak.
19. Orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi.
20. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah badan hukum yang
menyelenggarakan program Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia.
21. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh
Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
22. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah otonom.
23. Pemerintah Desa adalah kepala desa atau yang disebut dengan nama lain
dibantu perangkat desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa.

247
24. Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri yang selanjutnya disebut
Perwakilan Republik Indonesia adalah perwakilan diplomatik dan perwakilan
konsuler Republik Indonesia yang secara resmi mewakili dan
memperjuangkan kepentingan bangsa, negara, dan pemerintah Republik
Indonesia secara keseluruhan di negara tujuan penempatan atau pada
organisasi internasional.
25. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang ketenagakerjaan.
26. Badan adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang bertugas sebagai
pelaksana kebijakan dalam pelayanan dan Pelindungan Pekerja Migran
Indonesia secara terpadu.

PENJELASAN
I. UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menjamin setiap warga negara Indonesia mempunyai hak dan kesempatan
yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan dan
penghidupan yang layak. Bekerja merupakan hak asasi manusia yang wajib
dijunjung tinggi, dihormati, dan dijamin penegakannya. Pekerja Migran
Indonesia harus dilindungi dari perdagangan manusia, termasuk
perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan,
kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain yang
melanggar hak asasi manusia. Pelindungan Pekerja Migran Indonesia perlu
dilakukan dalam suatu sistem yang terpadu yang melibatkan pemerintah
pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
Pelindungan Pekerja Migran Indonesia meliputi perlindungan secara
kelembagaan yang mengatur tugas dan kewenangan kementerian sebagai
regulator/pembuat kebijakan dengan Badan sebagai operator/pelaksana
kebijakan.
Hal ini memberikan ketegasan baik tugas dan kewenangan
kementerian dan Badan, mengingat permasalahan yang ada selama ini
adalah karena adanya dualisme kewenangan antara kedua pihak tersebut.
Tugas Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dilaksanakan oleh Badan yang
dibentuk oleh presiden.

248
Selanjutnya, peran Pemerintah Daerah dalam memberikan
pelindungan kepada Pekerja Migran Indonesia dilakukan mulai dari desa,
kabupaten/kota, dan provinsi, sejak sebelum bekerja sampai setelah
bekerja. Pemerintah Daerah berperan mulai dari memberikan informasi
permintaan (job order) yang berasal dari Perwakilan Republik Indonesia,
Pemberi Kerja, dan Mitra Usaha di luar negeri.
Pemerintah Daerah memberikan layanan terpadu satu atap serta
memfasilitasi keberangkatan dan kepulangan Pekerja Migran Indonesia.
Pekerja Migran Indonesia yang diberangkatkan harus memiliki kompetensi
atau keahlian. Begitu juga pada Pekerja Migran Indonesia setelah bekerja,
Pemerintah Daerah bekerja sama dengan Pemerintah Pusat memberikan
pelatihan kewirausahaan kepada Pekerja Migran Indonesia purna dan
keluarganya.
Dalam rangka memberikan pelayanan penempatan dan pelindungan
yang mudah, murah, cepat, dan aman, layanan terpadu satu atap
melakukan pelayanan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2009 tentang Pelayanan Publik dan Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun
2OL2 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik. Layanan terpadu satu atap memberikan layanan dalam
pengurusan persyaratan dokumen dan administrasi penempatan dan
perlindungan Calon Pekerja Migran Indonesia dan/atau Pekerja Migran
Indonesia dan bersama Pemerintah Pusat melakukan perekrutan dan
mempersiapkan pelayanan persyaratan administratif.
Pelatihan kerja dilaksanakan oleh lembaga pelatihan kerja milik
pemerintah atau swasta yang terakreditasi kepada Calon Pekerja Migran
Indonesia.
Undang-Undang ini lebih menekankan dan memberikan peran yang
lebih besar kepada pemerintah dan mengurangi peran swasta dalam
penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Undang-Undang ini juga memberikan pelindungan Jaminan Sosial
bagi Pekerja Migran Indonesia yang selama ini dilaksanakan oleh
perusahaan asuransi yang tergabung dalam konsorsium asuransi dengan
program pelindungan meliputi perlindungan prapenempatan, masa
penempatan, dan purna penempatan. Peran pelindungan tersebut saat ini
dialihkan dan dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

249
(BPJS) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Untuk risiko tertentu yang
tidak tercakup dalam program Jaminan Sosial, BPJS dapat bekerja sama
dengan lembaga pemerintah atau swasta.
Ketentuan yang mengatur tentang penempatan dan perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dalam Undang-Undang Nomor 39
Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
di Luar Negeri belum memenuhi kebutuhan Pelindungan Pekerja Migran
Indonesia. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri belum mengatur
pembagian tugas dan wewenang antara Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, dan swasta secara proporsional.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, perlu dilakukan perubahan
mendasar terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2OO4 tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri,
yakni dibentuknya suatu Undang-Undang yang baru yang menitikberatkan
pengaturan pada Pelindungan pekerja Migran Indonesia. Dalam Undang-
Undang ini, peran pelindungan pekerja Migran Indonesia diserahkan
kepada pemerintah baik pusat maupun daerah, dimulai dari sebelum
bekerja, selama bekerja, dan setelah bekerja. Pihak swasta hanya diberi
peran sebagai pelaksana penempatan Pekerja Migran Indonesia.
Adapun pelindungan Calon Pekerja Migran Indonesia dan Pekerja
Migran Indonesia bertujuan untuk:
a. menjamin pemenuhan dan penegakan hak asasi manusia sebagai
warga negara dan Pekerja Migran Indonesia; dan
b. menjamin pelindungan hukum, ekonomi, dan sosial Pekerja Migran
Indonesia dan keluarganya.
Pokok-pokok pengaturan dalam Undang-Undang ini meliputi Pekerja
Migran Indonesia yang bekerja pada Pemberi Kerja berbadan hukum,
Pekerja Migran Indonesia yang bekerja pada Pemberi Kerja perseorangan,
pelaut awak kapal dan pelaut perikanan, hak dan kewajiban Pekerja Migran
Indonesia dan keluarganya, upaya Pelindungan Pekerja Migran Indonesia
baik pelindungan dalam sistem penempatan (sebelum bekerja, selama
bekerja, dan sesudah bekerja), atase ketenagakerjaan, layanan terpadu

250
satu atap, sistem pembiayaan yang berpihak pada Calon Pekerja Migran
Indonesia dan Pekerja Migran Indonesia, penyelenggaraan Jaminan Sosial
Pekerja Migran Indonesia, dan pelindungan hukum, sosial, dan ekonomi.
Undang-Undang ini juga mengatur tugas dan wewenang Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah, serta peran dan fungsi Badan sebagai pelaksana
kebijakan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Dalam Undang-Undang
ini, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004
diperkuat fungsi dan perannya sebagai pelaksana pelindungan bagi Pekerja
Migran Indonesia.
Dalam pelaksanaan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dibutuhkan
pengawasan dan penegakan hukum yang tegas. Pengawasan mencakup
pelindungan sebelum bekerja, selama bekerja, dan setelah bekerja.
Penegakan hukum meliputi sanksi administratif dan sanksi pidana.
Pasal 1
Cukup jelas.

Ketentuan Pasal 1 angka 9 dan angka 16 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:


1. Calon Pekerja Migran Indonesia adalah setiap tenaga kerja Indonesia
yang memenuhi syarat sebagai pencari kerja yang akan bekerja di luar
negeri dan terdaftar di instansi pemerintah kabupaten/kota yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
2. Pekerja Migran Indonesia adalah setiap warga negara Indonesia yang
akan, sedang, atau telah melakukan pekerjaan dengan menerima upah
di luar wilayah Republik Indonesia.
3. Keluarga Pekerja Migran Indonesia adalah suami, istri, anak, atau orang
tua termasuk hubungan karena putusan dan/atau penetapan pengadilan,
baik yang berada di Indonesia maupun yang tinggal bersama Pekerja
Migran Indonesia di luar negeri.

251
4. Pekerja Migran Indonesia Perseorangan adalah Pekerja Migran Indonesia
yang akan bekerja ke luar negeri tanpa melalui pelaksana penempatan.
5. Pelindungan Pekerja Migran Indonesia adalah segala upaya untuk
melindungi kepentingan Calon Pekerja Migran Indonesia dan/atau
Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya dalam mewujudkan
terjaminnya pemenuhan haknya dalam keseluruhan kegiatan sebelum
bekerja, selama bekerja, dan setelah bekerja dalam aspek hukum,
ekonomi, dan sosial.
6. Pelindungan Sebelum Bekerja adalah keseluruhan aktivitas untuk
memberikan pelindungan sejak pendaftaran sampai pemberangkatan.
7. Pelindungan Selama Bekerja adalah keseluruhan aktivitas untuk
memberikan pelindungan selama Pekerja Migran Indonesia dan anggota
keluarganya berada di luar negeri.
8. Pelindungan Setelah Bekerja adalah keseluruhan aktivitas untuk
memberikan pelindungan sejak Pekerja Migran Indonesia dan anggota
keluarganya tiba di debarkasi di Indonesia hingga kembali ke daerah
asal, termasuk pelayanan lanjutan menjadi pekerja produktif.
9. Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia adalah badan usaha
berbadan hukum perseroan terbatas yang telah memperoleh izin tertulis
dari Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan pelayanan penempatan
Pekerja Migran Indonesia.
10. Mitra Usaha adalah instansi dan/atau badan usaha berbentuk badan
hukum di negara tujuan penempatan yang bertanggung jawab
menempatkan Pekerja Migran Indonesia pada pemberi kerja.
11. Pemberi Kerja adalah instansi pemerintah, badan hukum pemerintah,
badan hukum swasta, dan/atau perseorangan di negara tujuan
penempatan yang mempekerjakan Pekerja Migran Indonesia.
12. Perjanjian Kerja Sama Penempatan adalah perjanjian tertulis antara
Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia dan Mitra Usaha atau
Pemberi Kerja yang memuat hak dan kewajiban setiap pihak dalam
rangka penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia di negara
tujuan penempatan.
13. Perjanjian Penempatan Pekerja Migran Indonesia yang selanjutnya
disebut Perjanjian Penempatan adalah perjanjian tertulis antara

252
pelaksana penempatan Pekerja Migran Indonesia dan Calon Pekerja
Migran Indonesia yang memuat hak dan kewajiban setiap pihak, dalam
rangka penempatan Pekerja Migran Indonesia di negara tujuan
penempatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
14. Perjanjian Kerja adalah perjanjian tertulis antara Pekerja Migran
Indonesia dan Pemberi Kerja yang memuat syarat kerja, hak, dan
kewajiban setiap pihak, serta jaminan keamanan dan keselamatan
selama bekerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
15. Visa Kerja adalah izin tertulis yang diberikan oleh pejabat yang
berwenang di suatu negara tujuan penempatan yang memuat
persetujuan untuk masuk dan melakukan pekerjaan di negara yang
bersangkutan.
16. Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia yang
selanjutnya disebut SIP3MI adalah izin tertulis yang diberikan oleh
Pemerintah Pusat kepada badan usaha berbadan hukum Indonesia yang
akan menjadi Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia.
17. Surat Izin Perekrutan Pekerja Migran Indonesia yang selanjutnya disebut
SIP2MI adalah izin yang diberikan oleh kepala Badan kepada Perusahaan
Penempatan Pekerja Migran Indonesia yang digunakan untuk
menempatkan Calon Pekerja Migran Indonesia.
18. Jaminan Sosial adalah salah satu bentuk pelindungan sosial untuk
menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar
hidupnya yang layak.
19. Orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi.
20. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah badan hukum yang
menyelenggarakan program Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia.
21. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh
Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
22. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah otonom.

253
23. Pemerintah Desa adalah kepala desa atau yang disebut dengan nama
lain dibantu perangkat desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
desa.
24. Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri yang selanjutnya disebut
Perwakilan Republik Indonesia adalah perwakilan diplomatik dan
perwakilan konsuler Republik Indonesia yang secara resmi mewakili dan
memperjuangkan kepentingan bangsa, negara, dan pemerintah Republik
Indonesia secara keseluruhan di negara tujuan penempatan atau pada
organisasi internasional.
25. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang ketenagakerjaan.
26. Badan adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang bertugas
sebagai pelaksana kebijakan dalam pelayanan dan Pelindungan Pekerja
Migran Indonesia secara terpadu.
Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Pelindungan Pekerja Migran Indonesia memiliki asas:
a. keterpaduan;
b. persamaan hak;
c. pengakuan atas martabat dan hak asasi manusia;
d. demokrasi;
e. keadilan sosial;
f. kesetaraan dan keadilan gender;
g. nondiskriminasi;
h. anti-perdaganganmanusia;
i. transparansi;
j. akuntabilitas; dan
k. berkelanjutan.
Pasal 2
Huruf a

254
Yang dimaksud dengan 'asas keterpaduan" adalah bahwa
Pelindungan Pekerja Migran Indonesia harus mencerminkan
keterpaduan dan sinergitas seluruh pemangku kepentingan terkait.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "asas persamaan hak" adalah bahwa Calon
Pekerja Migran Indonesia dan/atau Pekerja Migran Indonesia
mempunyai hak, kesempatan, dan perlakuan yang sama untuk
memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "asas pengakuan atas martabat dan hak
asasi manusia" adalah bahwa Pelindungan Pekerja Migran Indonesia
harus mencerminkan penghormatan terhadap keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa demi kehormatan serta
pelindungan harkat dan martabat manusia.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "asas demokrasi" adalah Pekerja Migran
Indonesia diberikan perlakuan dan hak yang sama dalam
mengemukakan pendapat, berserikat, dan berkumpul.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "asas keadilan sosial" adalah dalam
Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dilakukan dengan
menekankan pada aspek pemerataan, tidak diskriminatif, dan
keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "asas kesetaraan dan keadilan gender"
adalah suatu keadaan pada saat perempuan dan laki-laki menikmati
status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk
mewujudkan secara penuh hak asasi dan potensinya untuk bekerja
ke luar negeri.
Huruf g
Yang dimaksud dengan uasas nondiskriminasi" adalah bahwa
Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dilakukan tanpa adanya
pembedaan perlakuan yang langsung ataupun tidak langsung

255
didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras,
etnis, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis
kelamin, bahasa, dan keyakinan politik.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "asas anti-perdagangan manusia" adalah bahwa
tidak adanya tindakan perekrutan, pengangkutan, pengiriman,
pemindahan, atau penerimaan Calon Pekerja Migran Indonesia atau
Pekerja Migran Indonesia dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan, pencuiikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, dan
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan uang atau
memberikan bayaran atau manfaat sehingga memperoleh
persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain
tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antarnegara,
untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan Calon Pekerja Migran
Indonesia atau Pekerja Migran Indonesia tereksploitasi.
Huruf i
Yang dimaksud dengan "asas transparansi" adalah bahwa
Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dilakukan secara terbuka,
jelas, dan jujur.
Huruf j
Yang dimaksud dengan "asas akuntabilitas" adalah bahwa setiap
kegiatan dan hasil akhir dari penyelenggaraan Pelindungan Pekeda
Migran Indonesia harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf k
Yang dimaksud dengan "asas berkelanjutan' adalah bahwa
Pelindungan Pekerja Migran Indonesia harus memenuhi seluruh
tahapan pelindungan yang meliputi sebelum, selama, dan setelah
bekerja untuk menjamin kesejahteraan dan kemajuan dalam seluruh
aspek kehidupan, baik untuk masa kini maupun masa yang akan
datang.

Pasal 3
Pelindungan Pekerja Migran Indonesia bertujuan untuk:

256
a. menjamin pemenuhan dan penegakan hak asasi manusia sebagai warga
negara dan Pekerja Migran Indonesia; dan
b. menjamin pelindungan hukum, ekonomi, dan sosial Pekerja Migran
Indonesia dan keluarganya.
Pasal 3
Cukup jelas.
BAB II
PEKERJA MIGRAN INDONESIA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 4
(1) Pekerja Migran Indonesia meliputi:
a. Pekerja Migran Indonesia yang bekerja pada Pemberi Kerja berbadan
hukum;
b. Pekerja Migran Indonesia yang bekerja pada Pemberi Kerja
perseorangan atau rumah tangga; dan
c. Pelaut awak kapal dan pelaut perikanan.
(2) Tidak termasuk sebagai Pekerja Migran Indonesia dalam Undang-Undang
ini, yaitu:
a. warga negara Indonesia yang dikirim atau dipekerjakan oleh badan
internasional atau oleh negara di luar wilayahnya untuk menjalankan
tugas resmi;
b. pelajar dan peserta pelatihan di luar negeri;
c. warga negara Indonesia pengungsi atau pencari suaka;
d. penanam modal;
e. aparatur sipil negara atau pegawai setempat yang bekerja di
Perwakilan Republik Indonesia;
f. warga negara Indonesia yang bekerja pada institusi yang dibiayai oleh
anggaran pendapatan dan belanja negara; dan
g. warga negara Indonesia yang mempunyai usaha mandiri di luar
negeri.

257
Pasal 4
Cukup jelas.
Bagian Kedua
Persyaratan
Pasal 5
Setiap Pekerja Migran Indonesia yang akan bekerja ke luar negeri harus
memenuhi persyaratan:
a. berusia minimal 18 (delapan belas) tahun;
b. memiliki kompetensi;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. terdaftar dan memiliki nomor kepesertaan Jaminan Sosial; dan
e. memiliki dokumen lengkap yang dipersyaratkan.
Pasal 5
Cukup jelas.
Bagian Ketiga
Hak dan Kewajiban
Pasal 6
(1) Setiap Calon Pekerja Migran Indonesia atau Pekerja Migran Indonesia
memiliki hak:
a. mendapatkan pekerjaan di luar negeri dan memilih pekerjaan sesuai
dengan kompetensinya;
b. memperoleh akses peningkatan kapasitas diri melalui pendidikan dan
pelatihan kerja;
c. memperoleh informasi yang benar mengenai pasar kerja, tata cara
penempatan, dan kondisi kerja di luar negeri;
d. memperoleh pelayanan yang profesional dan manusiawi serta
perlakuan tanpa diskriminasi pada saat sebelum bekerja, selama
bekerja, dan setelah bekerja;
e. menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan yang
dianut;
f. memperoleh upah sesuai dengan standar upah yang berlaku di

258
negara tujuan penempatan dan/atau kesepakatan kedua negara
dan/atau Perjanjian Kerja;
g. memperoleh pelindungan dan bantuan hukum atas tindakan yang
dapat merendahkan harkat dan martabat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di Indonesia dan di negara tujuan
penempatan;
h. memperoleh penjelasan mengenai hak dan kewajiban sebagaimana
tertuang dalam Perjanjian Kerja;
i. memperoleh akses berkomunikasi;
j. menguasai dokumen perjalanan selama bekerja;
k. berserikat dan berkumpul di negara tujuan penempatan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
negara tujuan penempatan;
l. memperoleh jaminan pelindungan keselamatan dan keamanan
kepulangan Pekerja Migran Indonesia ke daerah asal; dan/atau
m. memperoleh dokumen dan Perjanjian Kerja Calon Pekerja Migran
Indonesia dan/atau Pekerja Migran Indonesia.
(2) Setiap Pekerja Migran Indonesia memiliki kewajiban:
a. menaati peraturan perundang-undangan, baik di dalam negeri
maupun di negara tujuan penempatan;
b. menghormati adat-istiadat atau kebiasaan yang berlaku di negara
tujuan penempatan;
c. menaati dan melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan Perjanjian
Kerja; dan
d. melaporkan kedatangan, keberadaan, dan kepulangan Pekerja Migran
lndonesia kepada Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan
penempatan.
(3) Setiap Keluarga Pekerja Migran Indonesia memiliki hak:
a. memperoleh informasi mengenai kondisi, masalah, dan kepulangan
Pekerja Migran Indonesia;
b. menerima seluruh harta benda Pekerja Migran Indonesia yang
meninggal di luar negeri;

259
c. memperoleh salinan dokumen dan Perjanjian Kerja Calon Pekerja
Migran Indonesia dan/atau Pekerja Migran Indonesia; dan
d. memperoleh akses berkomunikasi.
Pasal 6
Cukup jelas.
BAB III
PELINDUNGAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 7
Pelindungan Calon Pekerja Migran Indonesia atau Pekerja Migran Indonesia
meliputi:
a. Pelindungan Sebelum Bekerja;
b. Pelindungan Selama Bekerja; dan
c. Pelindungan Setelah Bekerja.
Pasal 7
Cukup jelas.
Bagian Kedua
Pelindungan Sebelum Bekerja
Pasal 8
(1) Pelindungan Sebelum Bekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf
a meliputi:
a. pelindungan administratif; dan
b. pelindungan teknis.
(2) Pelindungan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
paling sedikit meliputi:
a. kelengkapan dan keabsahan dokumen penempatan; dan
b. penetapan kondisi dan syarat kerja.
(3) Pelindungan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling
sedikit meliputi:

260
a. pemberian sosialisasi dan diseminasi informasi;
b. peningkatan kualitas Calon Pekerja Migran Indonesia melalui
pendidikan dan pelatihan kerja;
c. Jaminan Sosial;
d. fasilitasi pemenuhan hak Calon Pekerja Migran Indonesia;
e. penguatan peran pegawai fungsional pengantar kerja;
f. pelayanan penempatan di layanan terpadu satu atap penempatan dan
pelindungan Pekerja Migran Indonesia; dan
g. pembinaan dan pengawasan.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
(1) Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c dan
permintaan Pekerja Migran Indonesia berasal dari:
a. Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan penempatan;
b. Mitra Usaha di negara tujuan penempatan; dan/atau
c. calon Pemberi Kerja, baik perseorangan maupun badan usaha asing
di negara tujuan penempatan.
(2) Informasi dan permintaan Pekerja Migran Indonesia yang berasal dari Mitra
Usaha dan calon Pemberi Kerja di negara tujuan penempatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c harus diverifikasi
oleh atase ketenagakerjaan dan/atau pejabat dinas luar negeri yang
ditunjuk.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
(1) Atase ketenagakerjaan dan/atau pejabat dinas luar negeri yang ditunjuk di
negara tujuan penempatan wajib melakukan verifikasi terhadap:
a. Mitra Usaha; dan
b. calon Pemberi Kerja.
(2) Berdasarkan hasil verifikasi terhadap Mitra Usaha dan calon Pemberi Kerja

261
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atase ketenagakerjaan dan/atau
pejabat dinas luar negeri yang ditunjuk menetapkan Pemberi Kerja dan
Mitra Usaha yang bermasalah dalam daftar Pemberi Kerja dan Mitra Usaha
yang bermasalah.
(3) Atase ketenagakerjaan dan/atau pejabat dinas Iuar negeri yang ditunjuk
wajib mengumumkan daftar Mitra Usaha dan calon Pemberi Kerja
bermasalah secara periodik.
(4) Hasil verifikasi terhadap Mitra Usaha dan calon Pemberi Kerja bermasalah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi bahan rekomendasi dalam
pemberian izin penempatan bagi Perusahaan Penempatan Pekerja Migran
Indonesia yang bermitra dengan Mitra Usaha yang bermasalah.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (21
Yang dimaksud dengan "Mitra Usaha dan calon pemberi Kerja yang
bermasalah" adalah Pemberi Kerja dan Mitra Usaha yang melanggar
ketentuan dalam Undang-Undang ini, baik masalah keperdataan,
administratif, maupun pidana.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 11
(1) Pemerintah Pusat mendistribusikan informasi dan permintaan Pekerja
Migran Indonesia kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota melalui
Pemerintah Daerah provinsi.
(2) Pemerintah Daerah kabupaten/ kota melakukan sosialisasi informasi dan
permintaan Pekerja Migran Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada masyarakat dengan melibatkan aparat Pemerintah Desa.
Pasal 11
Cukup jelas.

262
Pasal 12
(1) Calon Pekerja Migran Indonesia wajib mengikuti proses yang
dipersyaratkan sebelum bekerja.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses yang dipersyaratkan diatur dengan
Peraturan Kepala Badan.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Untuk dapat ditempatkan di luar negeri, Calon Pekerja Migran Indonesia wajib
memiliki dokumen yang meliputi:
a. surat keterangan status perkawinan, bagi yang telah menikah melampirkan
fotokopi buku nikah;
b. surat keterangan izin suami atau istri, izin orang tua, atau izin wali yang
diketahui oleh kepala desa atau lurah;
c. sertifikat kompetensi kerja;
d. surat keterangan sehat berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dan
psikologi;
e. paspor yang diterbitkan oleh kantor imigrasi setempat;
f. Visa Kerja;
g. Perjanjian Penempatan Pekerja Migran Indonesia; dan
h. Perjanjian Kerja.
Pasal 13
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “surat keterangan izin suami atau istri adalah
bagi mereka yang telah menikah, sedangkan "izin orang tua atau izin
wali" adalah bagi mereka yang belum menikah.
Huruf c
Cukup jelas.

263
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 14
Hubungan kerja antara Pemberi Kerja dan Pekerja Migran Indonesia
berdasarkan Perjanjian Kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan
perintah.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
(1) Hubungan kerja antara Pemberi Kerja dan Pekerja Migran Indonesia terjadi
setelah Perjanjian Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 disepakati
dan ditandatangani oleh para pihak.
(2) Perjanjian Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
meliputi:
a. nama, profil, dan alamat lengkap Pemberi Kerja;
b. nama dan alamat lengkap Pekerja Migran Indonesia;
c. jabatan atau jenis pekerjaan Pekerja Migran Indonesia;
d. hak dan kewajiban para pihak;
e. kondisi dan syarat kerja yang meliputi jam kerja, upah dan tata cara
pembayaran, hak cuti dan waktu istirahat, serta fasilitas dan Jaminan
Sosial dan/atau asuransi;
f. jangka waktu Perjanjian Ke{a; dan

264
g. jaminan keamanan dan keselamatan Pekerja Migran Indonesia selama
bekerja.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar Perjanjian Kerja,
penandatanganan, dan verifikasi diatur dengan Peraturan Kepala Badan.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “alamat lengkap" adalah tidak hanya
terbatas dengan Kotak Pos tetapi alamat yang memuat nama
jalan, nomor rumah, nomor telepon yang dapat dihubungi,
nama desa, nama kelurahan, nama kabupaten/kota, nama
provinsi, nama negara atau istilah lain yang sesuai dengan
negara tujuan penempatan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "alamat lengkap" adalah alamat yang
memuat nama jalan, nomor rumah, rukun tetangga/rukun
warga, nomor telepon yang dapat dihubungi, nama desa,
nama kelurahan, nama kecamatan, nama kabupaten/kota,
nama provinsi.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan jaminan keamanan dan keselamatan"
adalah tempat kerja yang memenuhi syarat Keselamatan dan
Kesehatan Kerja.

265
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16
Jangka waktu Perjanjian Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2)
huruf f dibuat berdasarkan kesepakatan tertulis antara Pekerja Migran Indonesia
dan Pemberi Kerja serta dapat diperpanjang.
Pasal 16
Cukup je1as.
Pasal 17
Perpanjangan jangka waktu Perjanjian Kerja sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang di kantor Perwakilan
Republik Indonesia di negara tujuan penempatan.
Pasal 17
Yang dimaksud dengan "pejabat yang berwenang" adalah atase
ketenagakerjaan, pejabat dinas luar negeri yang ditunjuk, atau pegawai
setempat yang memiliki kompetensi dan ditugaskan.

Pasal 18
Perjanjian Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 tidak dapat diubah
tanpa persetujuan para pihak.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
(1) Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia wajib menempatkan
Calon Pekerja Migran Indonesia sesuai dengan jabatan dan jenis pekerjaan
sebagaimana tercantum dalam Perjanjian Kerja.
(2) Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia yang tidak
menempatkan Calon Pekerja Migran Indonesia sesuai dengan jabatan dan
jenis pekerjaan yang tercantum dalam Perjanjian Kerja sebagaimana di
maksud pada ayat (l) dikenai sanksi administratif.
Pasal 19
Cukup jelas.

266
Pasal 20
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian Pelindungan Sebelum
Bekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 19 diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 20
Cukup jelas.
Bagian Ketiga
Pelindungan Selama Bekerja
Pasal 2 1
(l) Pelindungan Selama Bekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b
meliputi:
a, pendataan dan pendaftaran oleh atase ketenagakerjaan atau pejabat
dinas luar negeri yang ditunjuk;
b. pemantauan dan evaluasi terhadap Pemberi Kerja, pekerjaan, dan
kondisi kerja;
c. fasilitasi pemenuhan hak Pekerja Migran Indonesia;
d. fasilitasi penyelesaian kasus ketenagakerjaan;
e. pemberian layanan jasa kekonsuleran;
f. pendampingan, mediasi, advokasi, dan pemberian bantuan hukum
berupa fasilitasi jasa advokat oleh Pemerintah Pusat dan/atau
Perwakilan Republik Indonesia serta perwalian sesuai dengan hukum
negara setempat;
g. pembinaan terhadap Pekerja Migran Indonesia; dan
h. fasilitasi repatriasi.
(2) Pelindungan Pekerja Migran Indonesia selama bekerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tidak mengambil alih tanggung
jawab pidana dan/atau perdata Pekerja Migran Indonesia dan dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, hukum negara
tujuan penempatan, serta hukum dan kebiasaan internasional.
Pasal 21
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.

267
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "pembinaan" adalah kegiatan
pembekalan kepada Pekerja Migran Indonesia selama berada
di negara tujuan penempatan.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "fasilitasi repatriasi" adalah bantuan
pemulangan yang diberikan kepada Pekerja Migran Indonesia
dalam hal terjadi peperangan, bencana alam, wabah penyakit,
deportasi, dan Pekerja Migran Indonesia yang mengalami
masalah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
(1) Dalam rangka peningkatan hubungan bilateral di bidang ketenagakerjaan
dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia di luar negeri, Pemerintah Pusat
menetapkan jabatan atase ketenagakerjaan pada Perwakilan Republik
Indonesia di negara tertentu.
(2) Penugasan atase ketenagakerjaan dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Pejabat yang ditunjuk sebagai atase ketenagakerjaan memiliki kompetensi
ketenagakerjaan dan status diplomatik.

268
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan wewenang atase
ketenagakerjaan diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "negara tertentu" adalah negara tujuan
penempatan dengan pertimbangan antara lain jumlah penempatan
dan luas wilayah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian Pelindungan Selama
Bekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 23
Cukup jelas.
Bagian Keempat
Pelindungan Setelah Bekerja
Pasal 24
(1) Pelindungan Setelah Bekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c
meliputi:
a. fasilitasi kepulangan sampai daerah asal;
b. penyelesaian hak Pekerja Migran Indonesia yang belum terpenuhi;
c. fasilitasi pengurusan Pekerja Migran Indonesia yang sakit dan meninggal
dunia;
d. rehabilitasi sosial dan reintegrasi sosiai; dan
e. pemberdayaan Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya.

269
(2) Pelindungan Setelah Bekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Pemerintah Pusat bersama-sama dengan Pemerintah
Daerah.
Pasal 24
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "rehabilitasi sosial" adalah pemulihan
dari gangguan terhadap kondisi mental sosial dan
pengembalian keberfungsian sosial agar dapat melaksanakan
perannya kembali secara wajar, baik dalam keluarga maupun
dalam masyarakat.
Yang dimaksud dengan "reintegrasi sosial" adalah penyatuan
kembali Pekerja Migran Indonesia yang bermasalah kepada
pihak keluarga atau pengganti keluarga yang dapat
memberikan pelindungan dan pemenuhan kebutuhannya.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 25
(1) Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia wajib melaporkan data
kepulangan dan/atau data perpanjangan Perjanjian Kerja Pekerja Migran
Indonesia kepada Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan
penempatan.
(2) Perwakilan Republik Indonesia wajib melakukan verifikasi atas laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

270
(3) Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia yang tidak melaporkan
data kepulangan dan/atau data perpanjangan Perjanjian Kerja pekerja
Migran Indonesia kepada Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan
penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (i) dikenai sanksi
administratif.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2),
Pekerja Migran Indonesia yang tidak memiliki permasalahan dapat:
a. menjalani proses kepulangan; atau
b. melakukan perpanjangan Perjanjian Kerja.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
(1) Kepulangan Pekerja Migran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26 huruf a, dapat terjadi karena:
a. berakhirnya Perjanjian Kerja;
b. cuti;
c. pemutusan hubungan kerja sebelum masa Perjanjian Kerja berakhir;
d. mengalami kecelakaan kerja dan/atau sakit yang mengakibatkan tidak
dapat menjalankan pekerjaannya lagi;
e. mengalami penganiayaan atau tindak kekerasan lainnya;
f. terjadi perang, bencana alam, atau wabah penyakit di negara tujuan
penempatan;
g. dideportasi oleh pemerintah negara tujuan penempatan;
h. meninggal dunia di negara tujuan penempatan; dan/atau
i. sebab lain yang menimbulkan kerugian pekerja Migran Indonesia.
(2) Dalam hal Pekerja Migran Indonesia meninggal dunia di negara tujuan
penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h, perusahaan
Penempatan Pekerja Migran Indonesia berkewajiban:

271
a. memberitahukan tentang kematian Pekerja Migran Indonesia kepada
keluarganya paling lambat 3 (tiga) kali 24 (dua puluh empat) jam
sejak diketahuinya kematian tersebut;
b. mencari informasi tentang sebab kematian dan memberitahukannya
kepada pejabat Perwakilan Republik Indonesia dan anggota Keluarga
Pekerja Migran Indonesia yang bersangkutan;
c. memulangkan jenazah Pekerja Migran Indonesia ke tempat asal
dengan cara yang layak serta menanggung semua biaya yang
diperlukan, termasuk biaya penguburan sesuai dengan tata cara
agama Pekerja Migran Indonesia yang bersangkutan;
d. mengurus pemakaman di negara tujuan penempatan Pekerja Migran
Indonesia atas persetujuan pihak Keluarga Pekerja Migran Indonesia
atau sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara yang
bersangkutan;
e. memberikan pelindungan terhadap seluruh harta milik Pekerja Migran
Indonesia untuk kepentingan keluarganya; dan
f. mengurus pemenuhan semua hak Pekerja Migran Indonesia yang
seharusnya diterima.
(3) Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia yang tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai
sanksi administratif.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian Pelindungan Setelah
Bekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 27 diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 28
Cukup jelas.
Bagian Kelima
Jaminan Sosial
Pekerja Migran Indonesia

272
Pasal 29
(1) Dalam upaya Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Pemerintah Pusat
menyelenggarakan Jaminan Sosial bagi Pekerja Migran Indonesia dan
keluarganya.
(2) Penyelenggaraan program Jaminan Sosial bagi Pekerja Migran Indonesia
dan keluarganya merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional.
(3) Penyelenggaraan Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (l)
dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
(4) Untuk risiko tertentu yang tidak tercakup oleh Jaminan Sosial, Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dapat bekerja sama
dengan lembaga pemerintah atau swasta.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Jaminan Sosial bagi Pekerja Migran
Indonesia secara khusus diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "risiko tertentu" adalah program manfaat
baru antara lain pemutusan hubungan kerja sepihak dan
pemulangan Pekerja Migran Indonesia bermasalah.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Bagian Keenam
Pembiayaan
Pasal 30
(1) Pekerja Migran Indonesia tidak dapat dibebani biaya penempatan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya penempatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala Badan.

273
Pasal 30
Cukup jelas.
Bagian Ketujuh
Pelindungan Hukum, Sosial, dan Ekonomi
Paragraf 1
Pelindungan Hukum
Pasal 31
Pekerja Migran Indonesia hanya dapat bekerja ke negara tujuan penempatan
yang:
a. mempunyai peraturan perundang-undangan yang melindungi tenaga kerja
asing;
b. telah memiliki perjanjian tertulis antara pemerintah negara tujuan
penempatan dan Pemerintah Republik Indonesia; dan/atau
c. memiliki sistem Jaminan Sosial dan/atau asuransi yang melindungi pekerja
asing.
Pasal 3 1
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan 'perjanjian tertulis antara pemerintah negara
tujuan penempatan dan Pemerintah Republik Indonesia" adalah
perjanjian internasional yang dibuat secara tertulis meliputi
perjanjian di bidang hukum publik, diatur oleh hukum internasional,
dan dibuat oleh Pemerintah dengan pemerintah negara tujuan
penempatan.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 32
(1) Pemerintah Pusat dapat menghentikan dan/atau melarang penempatan
Pekerja Migran Indonesia untuk negara tertentu atau jabatan tertentu di
luar negeri dengan pertimbangan:
a. keamanan;

274
b. pelindungan hak asasi manusia;
c. pemerataan kesempatan kerja; dan/atau
d. kepentingan ketersediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan nasional.
(2) Dalam menghentikan dan/atau melarang penempatan Pekerja Migran
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat
memperhatikan saran dan pertimbangan Perwakilan Republik Indonesia,
kementerian/ lembaga, Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia,
dan masyarakat.
(3) Penetapan negara tertentu atau jabatan tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian dan pelarangan penempatan
Pekerja Migran Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan pelindungan hukum
terhadap Pekerja Migran Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan, hukum negara tujuan penempatan, serta hukum dan
kebiasaan internasional.
Pasal 33
Cukup jelas.
Paragraf 2
Pelindungan Sosial
Pasal 34
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib
melakukan pelindungan sosial bagi Calon Pekerja Migran Indonesia dan/atau
Pekerja Migran Indonesia melalui:
a. peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan kerja melalui standardisasi
kompetensi pelatihan kerja;
b. peningkatan peran lembaga akreditasi dan sertifikasi;
c. penyediaan tenaga pendidik dan pelatih yang kompeten;

275
d. reintegrasi sosial melalui layanan peningkatan keterampilan, baik terhadap
Pekerja Migran Indonesia maupun keluarganya;
e. kebijakan pelindungan kepada perempuan dan anak; dan
f. penyediaan pusat Pelindungan Pekerja Migran Indonesia di negara tujuan
penempatan.
Pasal 34
Cukup jelas.
Paragraf 3
Pelindungan Ekonomi
Pasal 35
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib
melakukan pelindungan ekonomi bagi Calon Pekerja Migran Indonesia dan/ atau
Pekerja Migran Indonesia melalui :
a. pengelolaan remitansi dengan melibatkan lembaga perbankan atau
lembaga keuangan nonbank dalam negeri dan negara tujuan penempatan;
b. edukasi keuangan agar Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya dapat
mengelola hasil remitansinya; dan
c. edukasi kewirausahaan.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan hukum, pelindungan sosial, dan
pelindungan ekonomi bagi Calon Pekerja Migran Indonesia dan/ atau Pekerja
Migran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 sampai dengan Pasal
35 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 36
Cukup jelas.
Bagian Kedelapan
Sanksi Administratif
Pasal 37
(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (21, Pasal
25 ayat (3), dan Pasal 27 ayat (3) berupa:

276
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha; atau
c. pencabutan izin.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 37
Cukup jelas.
BAB IV
LAYANAN TERPADU SATU ATAP PENEMPATAN DAN PELINDUNGAN
PEKERJA MIGRAN INDONESIA
Pasal 38
(1) Pelayanan penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia
dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah secara
terkoordinasi dan terintegrasi.
(2) Dalam memberikan pelayanan penempatan dan pelindungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah membentuk layanan terpadu
satu atap.
(3) Layanan terpadu satu atap sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
bertujuan:
a. mewujudkan efektivitas penyelenggaraan pelayanan penempatan dan
Pelindungan Pekerja Migran Indonesia;
b. memberikan efisiensi dan transparansi dalam pengurusan dokumen
penempatan dan pelindungan Calon Pekerja Migran Indonesia
dan/atau Pekerja Migran Indonesia; dan
c. mempercepat peningkatan kualitas pelayanan Pekerja Migran
Indonesia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai layanan terpadu satu atap diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.

277
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "layanan terpadu satu atap" adalah layanan
Pekerja Migran Indonesia yang diselenggarakan secara terpadu dan
terintegrasi oleh perangkat daerah dan Pemerintah Pusat yang
berada dalam satu tempat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
BAB V
TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH PUSAT DAN
PEMERINTAH DAERAH
Bagian Kesatu
Pemerintah Pusat
Pasal 39
Pemerintah Pusat memiliki tugas dan tanggung jawab:
a. menjamin pelindungan Calon Pekerja Migran Indonesia dan/ atau Pekerja
Migran Indonesia dan keluarganya;
b. mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan
penempatan Pekerja Migran Indonesia;
c. menjamin pemenuhan hak Calon Pekerja Migran Indonesia dan/atau
Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya;
d. membentuk dan mengembangkan sistem informasi terpadu dalam
penyelenggaraan penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia;
e. melakukan koordinasi kerja sama antarinstansi terkait dalam menanggapi
pengaduan dan penanganan kasus Calon Pekerja Migran Indonesia
dan/atau Pekerja Migran Indonesia;
f. mengurus kepulangan Pekerja Migran Indonesia dalam hal terjadi
peperangan, bencana alam, wabah penyakit, deportasi, dan Pekerja Migran
Indonesia bermasalah;
g. melakukan upaya untuk menjamin pemenuhan hak dan Pelindungan
Pekerja Migran Indonesia secara optimal di negara tujuan penempatan;

278
h. menyusun kebijakan mengenai Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan
keluarganya;
i. menghentikan atau melarang penempatan Pekerja Migran Indonesia untuk
negara tertentu atau pada jabatan tertentu di luar negeri;
j. membuka negara atau jabatan tertentu yang tertutup bagi penempatan
Pekerja Migran Indonesia;
k. menerbitkan dan mencabut SIP3MI;
l. menerbitkan dan mencabut SIP2MI;
m. melakukan koordinasi antar instansi terkait mengenai kebijakan
Pelindungan Pekerja Migran Indonesia;
n. mengangkat pejabat sebagai atase ketenagakerjaan yang ditempatkan di
kantor Perwakilan Republik Indonesia atas usul Menteri; dan
o. menyediakan dan memfasilitasi pelatihan Calon Pekerja Migran Indonesia
melalui pelatihan vokasi yang anggarannya berasal dari fungsi pendidikan.
Pasal 39
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.

279
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Yang dimaksud dengan "pelatihan vokasi" adalah pelatihan yang
diberikan kepada Calon Pekerja Migran Indonesia oleh lembaga
pelatihan pemerintah atau swasta yang terakreditasi.

Bagian Kedua
Pemerintah Daerah Provinsi
Pasal 40
Pemerintah Daerah provinsi memiliki tugas dan tanggung jawab:
a. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kerja oleh lembaga pendidikan
dan lembaga pelatihan kerja milik pemerintah dan/atau swasta yang
terakreditasi;
b. mengurus kepulangan Pekerja Migran Indonesia dalam hal terjadi
peperangan, bencana a1am, wabah penyakit, deportasi, dan Pekerja
Migran Indonesia bermasalah sesuai dengan kewenangannya;
c. menerbitkan izin kantor cabang Perusahaan Penempatan Pekerja Migran
Indonesia;

280
d. melaporkan hasil evaluasi terhadap Perusahaan Penempatan Pekerja
Migran Indonesia secara berjenjang dan periodik kepada Menteri;
e. memberikan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia sebelum bekerja dan
setelah bekerja;
f. menyediakan pos bantuan dan pelayanan di tempat pemberangkatan dan
pemulangan Pekerja Migran Indonesia yang memenuhi syarat dan standar
kesehatan;
g. menyediakan dan memfasilitasi pelatihan Calon Pekerja Migran Indonesia
melalui pelatihan vokasi yang anggarannya berasal dari fungsi pendidikan;
h. mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan
penempatan Pekerja Migran Indonesia; dan
i. dapat membentuk layanan terpadu satu atap penempatan dan Pelindungan
Pekerja Migran Indonesia di tingkat provinsi.
Pasal 40
Cukup jelas.
Bagian Ketiga
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
Pasal 41
Pemerintah Daerah kabupaten/kota memiliki tugas dan tanggung jawab:
a. menyosialisasikan informasi dan permintaan Pekerja Migran Indonesia
kepada masyarakat;
b. membuat basis data Pekerja Migran Indonesia;
c. melaporkan hasil evaluasi terhadap Perusahaan Penempatan Pekerja
Migran Indonesia secara periodik kepada Pemerintah Daerah provinsi;
d. mengurus kepulangan Pekerja Migran Indonesia dalam hal terjadi
peperangan, bencana alam, wabah penyakit, deportasi, dan Pekerja Migran
Indonesia bermasalah sesuai dengan kewenangannya;
e. memberikan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia sebelum bekerja dan
setelah bekerja di daerah kabupaten/kota yang kewenangannya;
f. menjadi tugas dan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kerja
kepada Calon Pekerja Migran Indonesia yang dapat bekerja sama dengan
lembaga pendidikan dan lembaga pelatihan kerja milik pemerintah
dan/atau swasta yang terakreditasi;

281
g. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap lembaga pendidikan dan
lembaga pelatihan kerja di kabupaten/kota;
h. melakukan reintegrasi sosial dan ekonomi bagi Pekerja Migran Indonesia
dan keluarganya;
i. menyediakan dan memfasilitasi pelatihan Calon Pekerja Migran Indonesia
melalui pelatihan vokasi yang anggarannya berasal dari fungsi pendidikan;
j. mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan
penempatan Pekerja Migran Indonesia; dan
k. dapat membentuk layanan terpadu satu atap penempatan dan Pelindungan
Pekerja Migran Indonesia di tingkat kabupaten/kota.
Pasal 41
Cukup jelas.
Bagian Keempat
Pemerintah Desa
Pasal 42
Pemerintah Desa memiliki tugas dan tanggung jawab:
a. menerima dan memberikan informasi dan permintaan pekerjaan dari
instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
ketenagakerjaan;
b. melakukan verifikasi data dan pencatatan Calon Pekerja Migran Indonesia;
c. memfasilitasi pemenuhan persyaratan administrasi kependudukan Calon
Pekerja Migran Indonesia;
d. melakukan pemantauan keberangkatan dan kepulangan Pekerja Migran
Indonesia; dan
e. melakukan pemberdayaan kepada Calon Pekerja Migran Indonesia, Pekerja
Migran Indonesia, dan keluarganya.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan tanggung jawab Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah diatur dengan Peraturan Pemerintah.

282
Pasal 43
Cukup jelas.
BAB VI
KELEMBAGAAN
Pasal 44
Pelaksanaan tugas pemerintah di bidang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia
diselenggarakan oleh kementerian dan Badan.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Tugas Menteri sebagai pembuat kebijakan:
a. menyusun norma dan standar mengenai:
l) Pelindungan Pekerja Migran Indonesia;
2) pengawasan penyelenggaraan penempatan;
3) penetapan penyelenggara Jaminan Sosial;
4) pemenuhan hak Pekerja Migran Indonesia;
b. mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan Pelindungan Pekerja
Migran Indonesia;
c. melakukan kerja sama luar negeri untuk menjamin pemenuhan hak dan
Pelindungan Pekerja Migran Indonesia melalui koordinasi dengan menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hubungan luar
negeri;
d. menghentikan atau melarang penempatan Pekerja Migran Indonesia pada
negara tertentu atau jabatan/ profesi tertentu;
e. menerbitkan dan mencabut SIP3MI atas usul kepala Badan paling lama 60
(enam puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal pengusulan;
f. mengusulkan pejabat atase ketenagakerjaan kepada menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hubungan luar negeri;
g. melakukan pemberdayaan sosial dan ekonomi purna Pekerja Migran
Indonesia; dan
h. tugas lain yang sesuai dengan kewenangannya.

283
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
(1) Tugas Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dilaksanakan oleh Badan yang
dibentuk oleh Presiden.
(2) Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh kepala Badan
yang diangkat oleh Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden
melalui Menteri.
(3) Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan lembaga
pemerintah nonkementerian yang bertugas sebagai pelaksana kebijakan
dalam pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia secara terpadu.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Tugas kepala Badan sebagai pelaksana kebijakan:
a. melaksanakan kebijakan penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran
Indonesia:
1) melayani dan melindungi Pekerja Migran Indonesia;
2) menerbitkan dan mencabut SIP2MI;
3) menyelenggarakan pelayanan penempatan;
4) melakukan pengawasan pelaksanaan pelayanan Jaminan Sosial;
5) memenuhi hak Pekerja Migran Indonesia;
6) memverifikasi dokumen Pekerja Migran Indonesia;
b. melaksanakan penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia
melalui kerja sama antara Pemerintah Pusat dengan negara tujuan
penempatan;
c. mengusulkan pencabutan SIP3MI kepada Menteri terhadap Perusahaan
Penempatan Pekerja Migran Indonesia;
d. memberikan Pelindungan Selama Bekerja dengan berkoordinasi dengan
Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan penempatan;
e. melakukan fasilitasi, rehabilitasi, dan reintegrasi purna Pekerja Migran
Indonesia;

284
f. melakukan pemberdayaan sosial dan ekonomi purna Pekerja Migran
Indonesia; dan
g. tugas lain yang sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, fungsi, tugas, struktur
organisasi, dan tata kerja Badan diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 48
Cukup jelas.
BAB VII
PELAKSANA PENEMPATAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 49
Pelaksana penempatan Pekerja Migran Indonesia ke luar negeri terdiri atas:
a. Badan;
b. Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia; atau
c. perusahaan yang menempatkan Pekerja Migran Indonesia untuk
kepentingan perusahaan sendiri.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
(1) Penempatan Pekerja Migran Indonesia oleh Badan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 49 huruf a, dilakukan atas dasar perjanjian secara tertulis
antara pemerintah dengan pemerintah negara Pemberi Kerja Pekerja
Migran Indonesia atau Pemberi Kerja berbadan hukum di negara tujuan
penempatan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penempatan Pekerja Migran
Indonesia oleh Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

285
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
(1) Perusahaan yang akan menjadi Perusahaan Penempatan Pekerja Migran
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf b wajib mendapat
izin tertulis berupa SIP3MI dari Menteri.
(2) SIP3MI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dialihkan dan
dipindahtangankan kepada pihak lain.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai izin tertulis berupa SIP3Mi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 51
Cukup jelas.

Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 51

(1) Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 49 huruf b wajib memiliki izin yang memenuhi
Perizinan Berusaha dan diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dialihkan dan
dipindahtangankan kepada pihak lain.
(3) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat.
Pasal 51
Cukup jelas.

Pasal 52
(1) Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 49 huruf b mempunyai tugas dan tanggung jawab:
a. mencari peluang kerja;

286
b. menempatkan Pekerja Migran Indonesia; dan
c. menyelesaikan permasalahan Pekerja Migran Indonesia yang
ditempatkannya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan tanggung jawab Perusahaan
Penempatan Pekerja Migran Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(l) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
(1) Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia dapat membentuk
kantor cabang di luar wilayah domisili kantor pusatnya.
(2) Kegiatan yang dilakukan oleh kantor cabang Perusahaan Penempatan
Pekerja Migran Indonesia menjadi tanggung jawab kantor pusat
Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia.
(3) Kantor cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terdaftar di
Pemerintah Daerah provinsi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan kantor cabang
Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 53
Cukup jelas.

Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 53

(1) Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia dapat membentuk


kantor cabang di luar wilayah domisili kantor pusatnya.
(2) Kegiatan yang dilakukan oleh kantor cabang Perusahaan Penempatan
Pekerja Migran Indonesia menjadi tanggung jawab kantor pusat
Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia.
(3) Kantor cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi
Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah provinsi.

287
(4) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan
oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 53
Cukup jelas

Pasal 54
(1) Untuk dapat memperoleh SIP3MI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
ayat (1), Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia harus
memenuhi persyaratan:
a. memiliki modal disetor yang tercantum dalam akta pendirian
perusahaan paiing sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);
b. menyetor uang kepada bank pemerintah dalam bentuk deposito paling
sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) yang
sewaktu-waktu dapat dicairkan sebagai jaminan untuk memenuhi
kewajiban dalam Pelindungan Pekerja Migran Indonesia;
c. memiliki rencana kerja penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran
Indonesia paling singkat 3 (tiga) tahun berjalan; dan
d. memiliki sarana dan prasarana pelayanan penempatan Pekerja Migran
Indonesia.
(2) Deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, hanya dapat
dicairkan oleh Menteri apabila Perusahaan Penempatan Pekerja Migran
Indonesia tidak memenuhi kewajiban terhadap Calon Pekerja Migran
Indonesia dan/atau Pikerja Migran Indonesia.
(3) Sesuai dengan perkembangan keadaan, besarnya modal disetor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan jaminan dalam bentuk
deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat ditinjau
kembali dan diubah dengan Peraturan Menteri.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
(1) Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia wajib menambah biaya
keperluan penyelesaian perselisihan atau sengketa Calon Pekerja Migran
Indonesia dan/atau Pekerja Migran Indonesia jika deposito yang digunakan
tidak mencukupi.

288
(2) Menteri mengembalikan deposito kepada Perusahaan Penempatan Pekerja
Migran Indonesia apabila masa berlaku SIP3MI telah berakhir, tidak
diperpanjang, atau dicabut setelah perusahaan menyelesaikan seluruh
kewajibannya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyetoran, penggunaan, pencairan, dan
pengembalian deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia yang tidak menambah biaya
keperluan penyelesaian perselisihan atau sengketa Calon Pekerja Migran
Indonesia dan/atau Pekerja Migran Indonesia jika deposito yang digunakan
tidak mencukupi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) humf b dikenai
sanksi administratif.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
(1) SIP3MI diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat
diperpanjang setiap 5 (lima) tahun sekali setelah mendapat rekomendasi
dari Badan.
(2) Selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat
(1), perpanjangan SIP3MI sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dapat
diberikan kepada Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia
dengan memenuhi persyaratan paling sedikit:
a. telah melaksanakan kewajibannya untuk memberikan laporan secara
periodik kepada Menteri;
b. telah melaksanakan penempatan paling sedikit 75% (tujuh puluh lima
persen) dari rencana penempatan pada waktu memperoleh SIP3MI;
c. masih memiliki sarana dan prasarana yang sesuai dengan standar
yang ditetapkan;
d. memiliki neraca keuangan selama 2 (dua) tahun terakhir tidak
mengalami kerugian yang diaudit akuntan publik;

289
e. tidak dalam kondisi diskors; dan
f. telah melaporkan dan menyerahkan persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) untuk divalidasi ulang.
(3) Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia harus menyerahkan
pembaruan data dan menyelesaikan persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja.
(4) Dalam hal Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia tidak
menyerahkan pembaruan data sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia diizinkan untuk
memperbarui SIP3MI paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja dengan
membayar denda keterlambatan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai denda keterlambatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 57
Cukup jelas.

Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 57

(1) Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia harus menyerahkan


pembaruan data paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja.
(2) Dalam hal Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia tidak
menyerahkan pembaruan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia diizinkan untuk
memperbarui izin paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja dengan
membayar denda keterlambatan.
(3) Ketentuan mengenai denda keterlambatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 57
Cukup jelas.

290
Pasal 58
(1) Menteri mencabut SIP3MI jika Perusahaan Penempatan Pekerja Migran
Indonesia:
a. tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
54 ayat (1); atau
b. tidak melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya dan/atau
melanggar larangan dalam penempatan dan Pelindungan Pekerja
Migran Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang ini.
(2) Pencabutan SIP3MI oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
tidak mengurangi tanggung jawab Perusahaan Penempatan Pekerja Migran
Indonesia terhadap Pekerja Migran Indonesia yang telah ditempatkan dan
masih berada di luar negeri.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
(1) Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia yang akan
melaksanakan penempatan wajib memiliki SIP2MI.
(2) SIP2MI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dialihkan dan
dipindahtangankan kepada pihak lain.
(3) SIP2MI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mencantumkan negara
tujuan penempatan.
(4) Untuk mendapatkan SIP2MI sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia harus memiliki
dokumen:
a. Perjanjian Kerja Sama penempatan;
b. surat permintaan Pekerja Migran Indonesia dari Pemberi Kerja;
c. rancangan Perjanjian Penempatan; dan
d. rancangan Perjanjian Kerja.
Pasal 59
Cukup jelas.

291
Pasal 60
Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan Pekerja Migran Indonesia oleh
Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
(1) Perusahaan dapat menempatkan pekerjanya ke luar negeri untuk
kepentingan perusahaan sendiri.
(2) Perusahaan wajib bertanggung jawab terhadap pelindungan pekerjanya
yang ditempatkan ke luar negeri untuk kepentingan perusahaan sendiri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan pekerja oleh perusahaan
untuk kepentingan perusahaan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 61
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "perusahaan adalah perusahaan yang
menempatkan pekerjanya sendiri dan memiliki izin tertulis yang
diberikan oleh Menteri untuk kepentingan perusahaan sendiri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 62
Perusahaan yang tidak bertanggung jawab terhadap pelindungan pekerjanya
yang ditempatkan ke luar negeri untuk kepentingan perusahaan sendiri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dikenai sanksi administratif.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
(1) Pekerja Migran Indonesia Perseorangan dapat bekerja ke luar negeri pada
Pemberi Kerja berbadan hukum.

292
(2) Segala risiko ketenagakerjaan yang dialami oleh Pekerja Migran Indonesia
Perseorangan, menjadi tanggung jawab sendiri.
(3) Pekerja Migran Indonesia Perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib melapor pada instansi yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang ketenagakerjaan dan Perwakilan Republik
Indonesia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pekerja Migran Indonesia Perseorangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan dan pelindungan pelaut awak
kapal dan pelaut perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf
c diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 64
Cukup jelas.
Bagian Kedua
Larangan
Pasal 65
Setiap Orang dilarang memberikan tidak benar dalam pengisian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal data dan informasi setiap dokumen Pasal 13.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Setiap Orang dilarang menempatkan Pekerja Migran Indonesia yang tidak
memenuhi persyaratan umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Setiap Orang dilarang menempatkan Calon Pekerja Migran Indonesia pada:
a. jabatan dan jenis pekerjaan yang tidak sesuai dengan Perjanjian Kerja
sehingga merugikan Calon Pekerja Migran Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2); atau

293
b. pekerjaan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 67
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Peraturan perundang-undangan dalam ketentuan ini antara lain
Undang-Undang tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang,
Undang-Undang tentang Pornografi, Undang-Undang tentang
Perlindungan Anak, Undang-Undang tentang Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia.

Pasal 68
Setiap Orang dilarang melaksanakan penempatan yang tidak memenuhi
persyaratan Pekerja Migran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf b sampai dengan huruf e.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Orang perseorangan dilarang melaksanakan penempatan Pekerja Migran
Indonesia.
Pasal 69
Orang perseorangan dalam ketentuan ini antara lain calo atau individu
yang tidak memiliki kewenangan untuk menempatkan Pekerja Migran
Indonesia.
Pasal 70
(1) Setiap pejabat dilarang memberangkatkan Pekerja Migran Indonesia yang
tidak memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13.
(2) Setiap pejabat dilarang menahan pemberangkatan Pekerja Migran
Indonesia yang telah memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.

294
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Setiap Orang dilarang :
a. menempatkan Pekerja Migran Indonesia pada pekerjaan yang tidak sesuai
dengan Perjanjian Kerja yang telah disepakati dan ditandatangani Pekerja
Migran Indonesia;
b. menempatkan Pekerja Migran Indonesia pada jabatan yang tidak sesuai
dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan;
c. mengalihkan atau memindahtangankan SIP3MI kepada pihak lain; atau
d. mengalihkan atau memindahtangankan SIP2MI kepada pihak lain.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Setiap Orang dilarang:
a. membebankan komponen biaya penempatan yang telah ditanggung calon
Pemberi Kerja kepada Calon Pekerja Migran Indonesia;
b. menempatkan Calon Pekerja Migran Indonesia ke negara tertentu yang
dinyatakan tertutup;
c. menempatkan Pekerja Migran Indonesia tanpa SIP2MI; atau
d. menempatkan Pekerja Migran Indonesia ke negara tujuan penempatan
yang tidak mempunyai peraturan perundang-undangan yang melindungi
tenaga kerja asing, tidak memiliki perjanjian tertulis antara pemerintah
negara tujuan penempatan dan pemerintah Republik Indonesia, dan/ atau
tidak memiliki sistem Jaminan Sosial dan/atau asuransi yang melindungi
pekerja asing.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Pejabat, pegawai, petugas, dan setiap Orang yang memiliki kewenangan untuk
melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan penempatan dan

295
Pelindungan Pekerja Migran Indonesia diiarang merangkap sebagai komisaris
atau pengurus perusahaan penempatan Pekerja Migran Indonesia dan/atau
organisasi usaha yang terkait dengan penempatan Pekerja Migran Indonesia.
Pasal 73
Cukup jelas.
Bagian Ketiga
Sanksi Administratif
Pasal 74
(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dan Pasal 62
berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha; atau
c. pencabutan izin.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 74
Cukup jelas.
BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Pembinaan
Pasal 75
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan terhadap
lembaga yang terkait dengan penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran
Indonesia.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara
terpadu dan terkoordinasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 75
Cukup jelas.

296
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 76
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran
Indonesia.
(2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengikutsertakan
masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan terhadap pelaksanaan
penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 76
Cukup je1as.
BAB IX
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
Pasal 77
(1) Dalam hal terjadi perselisihan antara Pekerja Migran Indonesia dengan
pelaksana penempatan mengenai pelaksanaan Perjanjian Penempatan,
penyelesaian dilakukan secara musyawarah.
(2) Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (l) tidak tercapai,
salah satu atau kedua belah pihak dapat meminta bantuan penyelesaian
perselisihan tersebut kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Pemerintah Daerah
provinsi, atau Pemerintah Pusat.
(3) Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak tercapai, salah satu atau kedua belah pihak dapat mengajukan
tuntutan dan/atau gugatan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 77
Cukup jelas.

297
BAB X
PENYIDIKAN
Pasal 78
(1) Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, kepada pejabat
pegawai negeri sipil tertentu di instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan diberi
wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
(2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan tentang tindak pidana
di bidang ketenagakerjaan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan
tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
c. meminta keterangan dan bukti dari orang atau badan hukum
sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
d. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti
dalam perkara tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
e. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang
tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; dan
g. menghentikan penyidikan jika tidak terdapat cukup bukti tentang
adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.
(3) Dalam melaksanakan kewenangannya, penyidik pegawai negeri sipil
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berkoordinasi dengan penyidik
pegawai negeri sipil instansi terkait.
(4) Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 78
Cukup jelas.

298
BAB XI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 79
Setiap Orang yang dengan sengaja memberikan data dan informasi tidak benar
dalam pengisian setiap dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Setiap Orang yang menempatkan Pekerja Migran Indonesia, padahal diketahui
atau patut menduganya bahwa yang bersangkutan tidak memenuhi persyaratan
umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Orang perseorangan yang melaksanakan penempatan Pekerja Migran Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima
belas miliar rupiah).
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp15.000.000.000,00 (1ima belas miliar rupiah), setiap Orang
yang dengan sengaja menempatkan Calon Pekerja Migran Indonesia pada:
a. jabatan dan jenis pekerjaan yang tidak sesuai dengan perjanjian kerja
sehingga merugikan Calon Pekerja Migran Indonesia tersebut sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 67 huruf a; atau

299
b. pekerjaan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Setiap Orang yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 68 yang dengan sengaja melaksanakan penempatan Pekerja Migran
Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau
denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
(1) Setiap pejabat yang dengan sengaja memberangkatkan Pekerja Migran
Indonesia yang tidak memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Setiap pejabat yang dengan sengaja menahan pemberangkatan Pekerja
Migran Indonesia yang telah memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (21 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), setiap orang yang:
a. menempatkan Pekerja Migran Indonesia pada pekerjaan yang tidak sesuai
dengan Perjanjian Kerja yang telah disepakati dan ditandatangani Pekerja
Migran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7l huruf a;
b. menempatkan Pekerja Migran Indonesia pada jabatan yang tidak sesuai
dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf b;

300
c. mengalihkan atau memindahtangankan SIP3MI kepada pihak lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf c; atau
d. mengalihkan atau memindahtangankan SIP2MI kepada pihak lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf d.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah), setiap Orang yang:
a. membebankan komponen biaya penempatan yang telah ditanggung calon
Pemberi Kerja kepada Calon Pekerja Migran Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 72 huruf a;
b. menempatkan Calon Pekerja Migran Indonesia ke negara tertentu yang
dinyatakan tertutup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 huruf b;
c. menempatkan Pekerja Migran Indonesia tanpa SIP2MI sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 72 huruf c; atau
d. menempatkan Pekerja Migran Indonesia pada negara tujuan penempatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal72 huruf d.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, Pasal 66,
Pasal 67, Pasal 68, Pasal 71, dan Pasal 72 dilakukan oleh atau atas nama
suatu korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap
korporasi dan/atau pengurusnya.
(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana
denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga)
dari masing-masing ancaman pidana denda.
(3) Selain pidana pokok, korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dikenai hukuman tambahan berupa pencabutan izin.
Pasal 87
Cukup jelas.

301
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 88
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia tetap
melaksanakan fungsi dan tugasnya sampai dibentuknya Badan berdasarkan
Undang-Undang ini.
Pasal 88
Cukup jelas.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 89
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4445), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;
b. Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 133, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4445) dinyatakan masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-
Undang ini.
Pasal 89
Cukup jelas.

Di antara Pasal 89 dan Pasal 90 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 89A
sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 89A

(1) Pada saat berlakunya Undang-Undang tentang Cipta Kerja, pengertian


atau makna SIP3MI dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017

302
tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia menyesuaikan dengan
ketentuan mengenai Perizinan Berusaha.
Pasal 89A
Cukup jelas.

Pasal 90
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2
(dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-
Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Pasal 91
Cukup jelas.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 22 November 2Ol7
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 November 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2OI7 NOMOR 242


TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6141

303

Anda mungkin juga menyukai