Anda di halaman 1dari 13

BAB II

PEMBAHASAN
1. TAFSIR IBNU KATSIR 
Tafsir ibnu katsir atau biasa disebut dengan nama tafsir al-Qurân al-Azhîm muncul pada abad
ke VIII H, yang merupakan salah satu kitab termasyhur, kitab yang paling banyak diterima
dan tersebar di tengah umat islam. Penafsiran beliau sangat kaya dengan riwayat, baik hadis
maupun atsar, sehingga sangat bermanfaat dalam berbagai displin ilmu agama, seperti aqidah,
fiqh, dan lain sebagainya.  Sampai imam as-Suyuti berkata “belum pernah ada kitab tafsir
yang semisal dengannya”. 

A. Biografi Ibnu Katsir 


Penulis kitab tafsir ini adalah Imad ad-Dîn Ismail ibn Umar ibn Katsir al-Qurasyî al-
Dimasyqî. Ia biasa dipanggil dengan sebutan Abu al-Fidâ’, Namun beliau dikenal dengan
julukan Ibn Katsîr, yaitu julukan yang disandarkan pada kakeknya (Katsîr). 
Ia lahir di desa mijdal yang berada di Bashra, tahun 700 H/1300 M. Ayahnya berasal dari
Bashra, bernama Syihâb al-Dîn Abu Hafsh Umar ibn Katsîr, adalah salah seorang alim di
kotanya, imam dan khatib di kampungnya.  Ayahnya wafat ketika Ibn Katsîr berumur tiga
tahun. Selanjutnya kakaknya bernama Abdul Wahâb yang mendidik dan mengasuh Ibn Katsîr
kecil, dan membawanya ke Damaskus. Pada saat itu, beliau berguru pada ulama-ulama besar
di Damaskus. 
Pendidikan dan Aktivitas Keilmuan Ibn Katsir 
Ketika berumur 6 tahun Ibnu Katsir pergi dan menetap di kota Damaskus, ibu kota Syiria. Ia
mendalami ilmu fiqh kepada Syaikh Burhan al-Dîn Ibrâhim Ibn Abdi al-Rahman al-Fazzari
(w. 729) yang biasa dikenal dengan sebutan Ibn al-Farkah. Kemudian, belajar ilmu ushul fiqh
ibn Hâjib kepada Syaikh Kamal al-Dîn bin Qodi Syuhbah. 
Ibn Katsîr berhasil menghafal al-Quran di usia 11 tahun, dibawah bimbingan Syaikh Ghailan
al-Ba’labaki. Dalam bidang hadits, ia banyak belajar dari ulama-ulama Hijaz, Ibn Katsîr
mempelajari Sahîh Muslim berguru kepada Syaikh Nazmu al-Dîn bin al-Asqalâni, dan Ia
memperoleh ijazah dari al-Wani. Ia juga dididik oleh pakar hadis terkenal di Suriah yakni
Jamal ad-Dîn al-Mizzi (w. 742 H/1342 M), al-Mizzi kagum dengan beliau sehingga
menikahkan Ibn Katsîr dengan anak perempuannya (Zainab). 
Pada tahun 748 H/1341 M ia menggantikan gurunya Muhammad ibn Muhammad al-Dzahabi
di sebuah lembaga pendidikan Turba Umm Sâlîh. Selanjutnya ia juga diangkat menjadi
kepala lembaga pendidikan hadis di Dâr al-Hadîs al-Asyrafiyah setelah  Hakim Taqiuddin al-
Subkî wafat yaitu kepala terdahulu yang ia gantikan. Kemudian di tahun 768 H/1366 M ia
diangkat menjadi guru besar oleh Gubernur Mankali Buga di Masjid Umayah Damaskus. 
Beberapa guru yang mempunyai pengaruh besar terhadap Ibn Katsir: 
a. Ibn Taymiyyah (728 H). 
Banyak sekali sikap Ibn Katsîr yang terwarnai dengan Ibn Taymiyah, baik itu dalam
berfatwa, cara berpikir juga dalam metode karya-karyanya. Dan hanya sedikit sekali fatwa
beliau yang berbeda dengan Ibn Taymiyyah. 
b. Syaikh Abû Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi 
c. Syaikh Abû Abbâs Ahmad al-Hijar (Ibn al-Syahnah) 
d. Syaikh Abu Ishâq Ibrâhim al-Fazarî 
e. Syaikh al-Hâfidz Kamal al-Diîn Abdul Wahhâb 
f. Kamal al-Dîn Abû Ma’ali Muhammad bin Zamalkanî 
g. Imâm Muhyiyu al-Dîn Abû Zakariyâ Yahya al-Syaibanî 
h. Imâm Muhammad Qosim al-Barzalî 
i. Syaikh Syamsu al-Dîn Abû Nashr Muhammad al-Syirazi, dan lain-lain. 
Selain memiliki banyak guru, Ibn Katsîr  juga memiliki banyak murid, diantaranya: 
a. Muhammad bin Muhammad bin Khodri al-Quraysî 
b. Mas’ûd al-Anthâki al-Nahwi 
c. Muhammad ibn Abî Muhammad al-Juzri (Syaikh Ilmu Qirâat) 
d. Muhammad ibn Ismâil 
e. Imâm Ibn Abî ‘Uzz al-Hanafi, dan lain-lain 
Karya-karya Ibn Katsîr 
Sosok ulama seperti Ibn Katsîr, memang jarang kita temui, ulama yang lintas kemampuan
dalam disiplin ilmu. Spesialisasinya tidak hanya satu jenis ilmu saja. Selain itu, ia juga sangat
produktif dalam karya, telah banyak karya-karya yang lahir dari tangan dan ketajaman
berpikirnya. Diantara karya-karya beliau adalah: 
a. Ilmu tafsir 
Ibnu Katsir menulis tafsir Qur'an yang terkenal yang bernama Tafsir Ibnu Katsir. Hingga
kini, tafsir Alquran al-Karim sebanyak 10 jilid ini masih menjadi bahan rujukan dalam dunia
Islam. Di samping itu, ia juga menulis buku Fada'il Alquran (Keutamaan Alquran), berisi
ringkasan sejarah Alquran. 
b. Ilmu hadits 
1. Jami al-Masanid wa as-Sunan (Kitab Penghimpun Musnad dan Sunan) sebanyak delapan
jilid, berisi nama-nama sahabat yang banyak meriwayatkan hadis; 
2. Al-Kutub as-Sittah (Kitab-kitab Hadis yang Enam) yakni suatu karya hadis; 
3. At-Takmilah fi Mar'ifat as-Sigat wa ad-Dhua'fa wa al-Mujahal (Pelengkap dalam
Mengetahui Perawi-perawi yang Dipercaya, Lemah dan Kurang Dikenal); 
4. Al-Mukhtasar (Ringkasan) merupakan ringkasan dari Muqaddimmah-nya Ibn Salah; dan 
5. Adillah at-Tanbih li Ulum al-Hadits (Buku tentang ilmu hadis) atau lebih dikenal dengan
nama Al-Ba'its al-Hadits. 
c. Ilmu sejarah 
1. Al-Bidayah wa an Nihayah (Permulaan dan Akhir) atau nama lainnya Tarikh ibnu Katsir
sebanyak 14 jilid, 
2. Al-Fusul fi Sirah ar-Rasul (Uraian Mengenai Sejarah Rasul), dan 
3. Tabaqat asy-Syafi'iyah (Peringkat-peringkat Ulama Mazhab Syafii). 

d. Ilmu fiqih 
Dalam ilmu fiqih, Ibnu Katsir juga tidak diragukan keahliannya. Oleh para penguasa, ia kerap
dimintakan pendapat menyangkut persoalan-persoalan tata pemerintahan dan kemasyarakat
yang terjadi kala itu. Misalnya saja saat pengesahan keputusan tentang pemberantasan
korupsi tahun 1358 serta upaya rekonsiliasi setelah perang saudara atau peristiwa
Pemberontakan Baydamur (1361) dan dalam menyerukan jihad (1368-1369). Selain itu, ia
menulis buku terkait bidang fiqih didasarkan pada Alquran dan hadis. 
Aliran Ibn Katsîr 
Ibn Katsîr adalah seorang ulama yang beraliran Ahlu al-Sunnah wa al-Jamâ’ah dan mengikuti
manhaj Salafu al-Salih dalam beragama, baik itu dalam masalah aqidah, ibadah maupun
akhlak. Kesimpulan seperti itu dapat dibuktikan melalui hasil karyanya yang banyak,
termasuk di dalamnya kitab Tafsîr Ibn Katsîr. 
Kondisi Sosial Pada Masa Ibn Katsîr 
Kondisi pada saat itu, dunia Islam tengah diliputi tragedi yang sangat memilukan, yaitu
dengan dihadapkannya mereka pada sifat biadab dari Bangsa Tartar, di mana banyak ulama
dan kaum Muslimin yang dibantai, buku-buku penting dimusnahkan, dan pusat-pusat
peradaban lslam dihancurkan, semua itu tidak pernah mematikan semangatnya untuk
menuntut ilmu. Di antara ketakutan demi ketakutan yang terus meneror, dia mengayuhkan
langkahnya untuk menuntut ilmu kepada para ulama yang masih tersisa.  
Ibn Katsîr adalah seorang pemikir dan ulama Muslim. Tercatat, guru pertamanya adalah
Syaikh Burhan al-Dîn Ibrâhim Ibn Abdi al-Rahman al-Fazzari (w. 729), seorang ulama
penganut mazhab Syâfi’î. Ia berguru kepada Ibnu Taymiyyah di Damaskus, Suriah dan
kepada Ibn al-Qayyim. 
Pada akhir usianya beliau diuji dengan kehilangan pandangan (buta). Ibn al-Juzri salah
seorang murid dari Ibn Katsîr berkata, Ibn Katsîr berkata kepadanya: Aku masih tetap
menulis kitab (Jami’ al-Masânid) pada waktu malam dengan cahaya yang semakin meredup
sehingga mengakibatkan pandanganku semakin melemah. 
Akhirnya, pada bulan Sya’ban 774 H/Februari 1373 M, mufasir ini wafat di Damaskus.
Jenazahnya dimakamkan di samping makam Ibnu Taymiyah, di Sufiyah Damaskus. 
B. Metodologi Penafsiran. 
Kitab ini dapat dikategorikan sebagai salah satu kitab tafsir dengan corak dan orientasi (al-
laun wa al-ittijah) tafsir bi al-ma’sur atau tafsir bi al-riwayah karena beliau sangat dominan
dalam tafsirannya memakai riwayah atau hadits, dan pendapat sahabat dan tabi’in. 
Metode Penafsiran 
Metode penafsiran adalah metode tertentu yang digunakan oleh mufasir dalam penafsirannya.
Pada umumnya metode ini terbagi menjadi empat, yaitu metode tahlîlîy (analitis), ijmâlîy
(global), muqârin(perbandingan), dan mawdhû’iy (tematik). Dan setiap metode yang
digunakan pasti memiliki suatu ciri dan spesifikasi masing-masing. 
Adapun manhaj yang ditempuh oleh Ibnu Kasir dalam menafsirkan al-Qur’an dapat
dikategorikan sebagai manhaj tahlili (metode analitis). Karena dalam menafsirkan setiap ayat,
Ibn Katsîr menjelaskannya secara rinci dengan mencantumkan beberapa periwayatan yang
lalu digunakan sebagai pendukung dari argumentasinya. Namun Ibnu Kasir pun terkadang
menggunakan rasio atau penalaran ketika menafsirkan ayat. 
Dalam menerapkan metode ini biasanya mufasir menguraikan makna yang dikandung oleh
al-Quran, ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutannya dalam mushaf. Uraian
tersebut menyangkut beberapa aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian
kosakata, konotasi kalimatnya, latar belakang turun ayat, kaitannya dengan ayat-ayat yang
lain, baik sebelum maupun sesudahnya (munasâbat), dan tak ketinggalan pendapat-pendapat
yang telah dikeluarkan berkenaan dengan tafsiran ayat tersebut baik yang disampaikan oleh
Nabi, sahabat, maupun para tabi’in, dan tokoh tafsir lainnya. 
Adapun corak penafsiran dalam Tafsîr Ibn Katsîr adalah menitikberatkan kepada masalah
fiqh. Beliau mengetengahkan perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh dan menyelami
madzhab-madzhab serta dalil-dalil yang dijadikan pegangan oleh mereka, manakala
membahas tentang ayat yang berkaitan dengan masalah hukum. Tetapi meski demikian,
beliau mengambil cara yang pertengahan, singkat, dan tidak berlarut-larut sebagaimana yang
dilakukan oleh kebanyakan ulama fiqh ahli tafsir dalam tulisan-tulisan mereka. 

Langkah-langkah/sumber penafsiran: 
Ibn Katsîr menafsirkan al-Quran dengan al-Quran, al-Quran dengan sunnah, dengan
perkataan sahabat, perkataan tabi’in dan bahasa Arab, kemudian menyimpulkan hukum-
hukum dan dalil-dalil dari ayat al-Quran. 
1. Menafsirkan al-Quran dengan al-Quran 
Contoh: 
‫غ فَا ْست َِع ْذ بِاهَّلل ِ إِنَّهُ َس ِمي ٌع َعلِي ٌم‬
ٌ ‫ك ِمنَ ال َّش ْيطَا ِن ن َْز‬
َ َّ‫ َوإِ َّما يَ ْنزَ َغن‬ 
Artinya: “Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan Maka berlindunglah kepada Allah.”
(QS. al-A’raf: 200 
‫ين‬
ِ ‫اط‬ ِ ‫ َوقُلْ َربِّ أَعُو ُذ بِكَ ِم ْن هَ َمزَ ا‬ 
ِ َ‫ت ال َّشي‬
Artinya: “Dan Katakanlah: Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan
syetan.” (QS. al-Mukminûn: 97) 
‫غ فَا ْستَ ِع ْذ بِاهَّلل ِ إِنَّهُ ه َُو ال َّس ِمي ُع ْال َعلِي ُم‬
ٌ ‫ك ِمنَ ال َّش ْيطَا ِن ن َْز‬
َ َّ‫ َوإِ َّما يَ ْن َز َغن‬ 
“Dan jika syetan mengganggumu dengan suatu gangguan, Maka mohonlah perlindungan
kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS.
Fushilat: 36) 

Inilah tiga ayat yang tidak ada pertentangan di dalam maknanya, yang saling menjelaskan,
ayat yang satu dengan yang lainnya, dan di dalam ayat Allah Swt  memerintahkan untuk
berlindung dari kejahatan syaitan. 

2. Menafsirkan al-Quran dengan sunnah 


Metode atau langkah ini dipakai ketika penjelasan dari ayat lain tidak ditemukan atau di ayat
lain ada tapi hadits dimaksudkan untuk melengkapi penjelasan. Misalnya: 
ُ ‫ َواَل يَ ْغتَب بَّ ْع‬ia menegaskannya
Ayat tentang ghibah dalam Q.S. al-Hujurat (49): 12, ‫ض ُكم بَ ْعضًا‬
dengan sabda rasul ‫ذكرك اخاك بما يكره‬  yaitu kamu membicarakan saudaramu, dengan perkataan
yang tidak disenanginya. 

3. Menafsirkan al-Quran dengan perkataan sahabat dan tabi’in 


Hal ini karena para sahabat terutama tokoh-tokohnya adalah orang yang lebih mengetahui
penafsiran al-quran, karena mereka mengalami dan menyaksikan langsung proses turunnya
ayat-ayat al-Qur`an. 
Tafsir Ibnu Katsîr memasukkan perkataan sahabat di dalam kitab tafsirnya seperti; perkataan
al-Khulafâ’ al-Rasyidîn, Ibn ‘Abbâs, Ibn Mas’ûd, Abû Ibn Ka’ab, Abdullah ibn Umar,
Abdullah ibn ‘Amr, Abû Hurairah, Abû Darda’, Mu’az ibn Jabâl, Qatâdah dan lain-lain. 
4. Menafsirkan al-Quran dengan perkataan ulama 
Untuk perkataan ulama tafsir dari tabi’in, seperti; Mujâhid, Atha’ Ibn Abî Rabah, ‘Akramah,
Thawas al-Yamanî, Abû Aliyah, Zaid ibn Aslam, Sa’id ibn Musayyab, Muhammad ibn Ka’ab
al-Qarzhî, Sa’id ibn Jubair, Hasan al-Bashrî, Masruq ibn al-Ajda’, Abu Wa’il, Muqâtil ibn
Hayyân, Muqâtil ibn Sulaiman al-Balakhî, Rabi’ ibn Anas, dll. 
5. Menafsirkan al-Quran dengan pendapatnya sendiri 
Adapun untuk membedakan antara pendapatnya sendiri dengan pendapat ulama-ulama
lainnya, dapat diketahui dari pernyataannya: “menurut pendapatku....” (qultu...) 

C. Sistematika Kitab Tafsir Ibnu Katsir 


Tafsir ini disusun oleh Ibnu Katsir berdasarkan sistematika tertib susunan ayat-ayat dan surat-
surat dalam mushaf Al-Qur’an, yang lazim disebut sebagai sistematika tartib mushafi. Meski
demikian, metode penafsiran kitab ini pun dapat dikatakan semi tematik (maudu’i), karena
ketika menafsirkan ayat ia mengelompokkan ayat-ayat yang masih dalam satu konteks
pembicaraan ke dalam satu tempat baik satu atau beberapa ayat, kemudian ia menampilkan
ayat-ayat lainnya yang terkait untuk menjelaskan ayat yang sedang ditafsirkan itu. 
Tafsîr Ibn Katsîr adalah salah satu kitab tafsir yang terkenal dengan menggunakan
pendekatan periwayatan atau yang biasa disebut tafsîr bi al-ma’tsûr. Dalam kitab tafsirnya,
Ibn Katsîr lebih banyak mencantumkan periwayatan baik dari hadis-hadis Nabi, perkataan
para sahabat dan tabi’in sebagai sumber dari  argumentasinya, tak jarang Ibnu Katsir juga
memberikan penjelasan tentang jarh wa ta’dil pada periwayatan, mensahihkan dan
mendhaifkan hadits. 
Adapun sistematika penulisan kitab tafsir ini adalah:    
pada permulaan tafsir ini diawali dengan muqadimah yang panjang, di dalam muqadimah ini
berisikan tentang banyak hal yang berhubungan dengan al-Quran dan tafsirnya. Akan tetapi
kebanyakan dari isi muqadimahnya merupakan saduran dari perkataan Ibnu Taimiyah yang
diambil dari Muqadimah kitab beliau, yakni kitab usûl al-tafsîr. 
Ayat al-Quran ditulis lengkap, baru kemudian diberikan penafsiran. Dan seringkali di dalam
penafsirannya disertakan ayat lain untuk menafsirkan ayat tadi. 
Ibnu Katsir menggunakan hadis dan riwayat, menggunakan ilmu jarh wa ta’dil, melakukan
komparasi berbagai pendapat, dan mentarjih sebagiannya, serta mempertegas kualitas
riwayat-riwayat hadis yang sahih dan yang dhaif. 
Ibn Katsîr menyebutkan hadis-hadis marfu’ yang berkaitan denga ayat itu, serta menyertakan
pendapat-pendapat para sahabat dan para tabi’in. Beliau tidak hanya menyertakan pendapat
dari para sahabat dan tabi’in saja, akan tetapi beliau juga mentarjih diantara pendapat mereka.
Melemahkan pendapat yang lemah dan mensahihkan pendapat yang sahih serta melakukan
jarh wa ta’dilterhadap para rawi hadis tersebut. 
Kebanyakan penafsiran dari Ibn Katsîr mengutip dari tafsirnyaIbn Jarîr al-Thabariy,  tafsir
Ibn Abî Hâtim, tafsirnya Ibn A’thiyyah. Akan tetapi tafsir Ibn Katsir ini berbeda dengan kitab
tafsir lainnya. Hal ini dikarenakan di dalam tafsirnya beliau menjelaskan tentang kemunkaran
israiliyat. Kadang kala beliau menjelaskan secara umum dan kadangkala menjelaskannya
secara khusus. 
Selain itu, beliau juga selalu memaparkan masalah-masalah hukum yang ada dalam berbagai
madzhab, kemudian mediskusikannya secara komprehensif. 

D. Kelebihan Dan Kekurangan Tafsir Ibnu Katsir 


Kelebihan: 
1. Teliti dalam sanadnya, sederhana ungkapannya, dan kejelasan ide pemikirannya. 
2. Penafsiran ayat dengan ayat atau ayat dengan hadis tersusun secara semi tematik. 
3. Dalam tafsir ini banyak memuat informasi dan kritik tentang riwayat Israilliyyat, dan
mengindari kupasan-kupasan linguistik yang cendrung bertele-tele, karena itulah al-Suyûthî
(w. 911) memujinya sebagai kitab tafsir yang tiada tandingannya. 
Imâm al-Suyûthî dan al-Zarqâni menyanjung tafsir ini dengan berkomentar; “Sesungguhnya
belum ada ulama’ yang mengarang dalam metode seperti ini”. 
Dalam hal ini Rasyid Ridha berkomentar; “Tafsir ini merupakan tafsir paling masyhur yang
memberian perhatian besar pada riwayat-riwayat dari para mufasir salaf, menjelaskan mana-
mana ayat dan hukumnya, menjauhi pembahasan masalah i’rab dan cabang-cabang balâghah
yang pada umumnya dibicarakan secara panjang lebar oleh kebanyakan mufasirin,
menghindar dari pembicaraan yang melebar pada ilmu-ilmu lain yang tidak diperlukan dalam
memahami al-Quran secara umum atau hukum dan nasihat-nasihatnya secara khusus.” 

Kekurangan: 
1. masih ada juga memuat hadis yang sanadnya dhaif dan kontradiktif. 
2. secara teknis ia terkadang hanya menyebutkan maksud hadisnya tanpa menampilkan
matan/redaksi hadisnya, dengan menyebut fî al-Hadîs (dalam suatu hadis) atau fî al-Hadîs al-
akhar (dalam hadis yang lain). Seperti, ketika ia menafsirkan surah al-Isrâ’ (17): 36. 

E. Sikap Penafsiran Ibnu Katsir 


a. Sikapnya terhadap Israiliyat 
Ibn Katsir menggunakan daya kritisnya yang tinggi terhadap cerita-cerita Israiliyat. 
Demikian juga terhadap riwayat-riwa¬yat Israiliyat yang dinilainya tidak dapat dicerna oleh
akal sehat, ia terkadang meriwayatkannya disertai peringatan atau membantahnya dengan
keras.  
Adakalanya  riwayat-riwayat Israiliyat yang ia pakai hanyalah sekedar “aksesoris” untuk
menambah penjelasan, seperti tentang nama-namaashâb al-kahf, jumlah dan warna anjing
mereka, dan tentang jenis kayu yang menjadi bahan baku tong¬kat Nabi Musa As. Tetapi,
riwayat Isrâiliyat yang nyata-nyata tidak sejalan atau bertentangan dengan ajaran Islam
tidaklah  dipakai oleh Ibn Katsîr. 
b. Tentang ayat-ayat hukum 
Ketika menafsir¬kan ayat-ayat yang bernuansa hukum, Ibn Katsîr memberikan penjelasan
yang relatif lebih luas, apalagi ketika menafsirkan ayat-ayat yang dipahami secara berbeda-
beda di kalangan para ulama. Dalam hal ini, ia kerap kali menyajikan diskusi dengan
menge¬mukakan argumentasi masing-masing, termasuk pendapatnya sendiri. Dari
penafsiran-penafsirannya dalam masalah-masalah fiqh ini, terlihat bahwa ia adalah seorang
yang moderat dan toleran. 
c. Tentang naskh (penghapusan). 
Dalam masalah ini, Ibn Kasîr termasuk yang berpendapat bahwa naskh dalam al-Quran itu
ada. Adanya penghapusan ini merupakan kehendak Allah sesuai kebutuhan demi
kemaslahatan, sebagaimana al-Quran banyak me-naskh  ajaran-ajaran sebelumnya.
Contohnya ialah penghapusan hukum pernikahan antara saudara kandung sebagaimana yang
dilakukan oleh putra-putri Nabi Adam As., penghapusan penyem¬belihan Ibrâhim As. atas
putranya yakni Ismâil As., dan sebagainya. 
d. Tentang  muhkam dan mutasyâbih 
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa dalam hal ini beliau mengikuti pendapat Muhammad
Ibn Ishâq ibn Yasar, yang ber¬pendapat bahwa ayat-ayat al-Quran yang muhkam merupakan
argumentasi Tuhan, kesucian hamba, dan untuk mengatasi per¬selisihan yang batil. Pada
ayat-ayat tersebut, tidak ada perubahan dan pemalsuan. Sedangkan pada ayat-ayat yang
mutasyâbih tidak ada perubahan dan pentakwilan. Allah hendak menguji hamba-hambanya
melalui ayat ini sebagaimana dalam hal halal dan haram; apakah dengannya akan berpaling
kepada yang batil, dan berpaling dari kebenaran. 
e. Tentang ayat-ayat tasybîh (antropomorfis) 
Dalam mengartikan ayat-ayat semacam ini ia nampaknya mengikuti pendapat ulama salaf al-
Sâlih yang berpendapat tidak adanya penyerupaan (tasybîh) perbuatan Allah dengan hamba-
hamba-Nya. Dalam menafsirkan ayat-ayat semacam ini, ia menjelaskan dengan mengutip
pendapat sejumlah ulama. Ia juga mengutip hadis-hadis. 

2. TAFSIR AL-MARAGHI 
Tafsir al-Maraghi pertama kali diterbitkan pada tahun 1951 di Kairo.Pada terbitan yang
pertama ini, Tafsir al-Maraghi terdiri atas 30 juz atau dengan kata lain sesuai dengan
pembagian juz Al-Qur’an. Kemudian, pada penerbitan yang kedua terdiri dari 10 jilid, di
mana setiap jilid berisi 3 juz, dan juga pernah diterbitkan ke dalam 15 Jilid, di mana setiap
jilid berisi 2 juz.Kebanyakan yang beredar di Indonesia adalahTafsir al-Maraghi yang
diterbitkan dalam 10 jilid. 
A. Biografi Ahmad Musthafa al-Maraghi 
1. Kelahiran dan Keluarga 
Ahmad Musthafa al-Maraghi dilahirkan di Negara Mesir tepatnya di daerah Maragha. Suatu
daerah di tepian sungai Nil berjarak sekitar 70 km di sisi selatan kota Kairo pada tahun 1300
H/1883 M. Nama kota kelahiran beliau menjadi nisbah (nama belakang) bagi beliau, bukan
dari nama keluarga. Al-Maraghi berasal dari keluarga yang mapan di bidang ilmu
pengetahuan, dan juga mengabdikan diri pada ilmu peradilan sehingga keluarga al-Maraghi
dikenal sebagai keluarga hakim. 
Dikarenakan berasal dari kalangan ulama yang taat serta menguasai berbagai bidang ilmu
agama, Dari 8 orang anak Syekh Mustafa al-Maraghi (ayah dari Ahmad Musthafa al-
Maraghi), 5 orang diantaranya menjadi ulama besar yang cukup terkenal. Yaitu : 
1. Syeikh Muhammad Mustafa Al-Maraghi yang pernah menjadi Syekh al-Azhar dua
periode, tahun 1928-1930 dan 1935-1945. 
2. Syeikh Ahmad Mustafa Al-Maraghi, pengarang Tafsir Al-Maraghi. 
3. Syeikh Abdul Aziz Mustafa Al-Maraghi, Dekan Fakultas Usuluddin Universitas AlAzhar
dan Imam Raja Faruq. 
4. Syeikh Abdullah Mustafa Al-Maraghi, Inspektur Umum pada Universitas Al-Azhar. 
5. Syeikh Abul Wafa Mustafa Al-Maraghi, Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan
Universitas Al-Azhar. 
Di samping itu, ada 4 orang putra Ahmad Mustafa Al-Maraghi menjadi hakim, yaitu: 
1. M. Aziz Ahmad Al-Maraghi, Hakim di Kairo. 
2. A. Hamid Al-Maraghi, Hakim dan Penasehat Menteri Kehakiman di Kairo 
3. Asim Ahmad Al-Maraghi, Hakim di Kuwait dan di Pengadilan Tinggi Kairo. 
4. Ahmad Midhat Al-Maraghi, Hakim di Pengadilan Tinggi Kairo dan Wakil Menteri
Kehakiman di Kairo. 
2. Rihlah Keilmuan 
Setelah menginjak usia sekolah, orang tua al-Maraghi memasukkan beliau ke madrasah al-
Qur’an. Karena kecerdasannya, beliau mampu menghafal al-Qur’an sebelum usia 13 tahun.
Selain itu beliau juga mempelajari ilmu Tajwid dan dasar-dasar ilmu Syari’ah di madrasah
hingga lulus pendidikan tingkat menengah. Orang tua al-Maraghi meminta beliau untuk
meninggalkan kota Maragh untuk menuntut ilmu di Kairo tepatnya di Universitas al-Azhar
pada tahun 1314 H/ 1897 M. Di al-Azhar beliau mempelajari ilmu bahasa Arab, Balaghah,
Tafsir, ilmu al-Qur’an, Hadits, ilmu Hadits, Fikih, ushul Fikih, Akhlak, ilmu Falak dan
sebagainya. 
Beliau juga mengikuti kuliah di Darul Ulum Kairo (yang mana dulunya merupakan
perguruan tinggi sendiri, sekarang menjadi bagian dari Universitas Kairo). Beliau berhasil
menyelesaikan studinya di kedua perguruan tinggi tersebut pada tahun 1909. Setelah lulus
beliau memulai karirnya menjadi guru di beberapa sekolah menengah. Kemudian beliau
diangkat menjadi direktur Madrasah Mu’alimin di Fayum. Pada tahun 1916 beliau diangkat
menjadi dosen utusan Universitas al-Azhar untuk mengajar ilmu-ilmu SYari’ah Islam di
fakultas Ghirdun Sudan. Sekembalinya dari Sudan tahun 1920 beliau diangkat menjadi dosen
Bahasa Arab di Universitas Darul Ulum dan dosen Balaghah dan Kebudayaan di Fakultas
Bahasa Arab Universitas al-Azhar. Al-Maraghi juga menjadi guru di beberapa madrasah,
diantaranya Ma’had Tarbiyah Mu’alimah dan diberikan kepercayaan untuk memimpin
Madrasah Utsman Basya di Kairo. 
3. Guru al-Maraghi 
Guru yang pernah mengajar al-Maraghi saat beliau menuntut ilmu di Universitas al-Azhar
dan Darul Ulum diantaranya adalah: 
- Syekh Muhammad Abduh 
- Syekh Muhammad al-„Adawi 
- Syekh Muhammad Bhis al-Mut’i 
- Syekh Muhammad Rifa’i al-Fayumi 
4. Wafatnya al-Maraghi 
Dalam menjalankan tugas-tugasnya di Mesir, al-Maraghi tinggal di daerah Hilwan, sebuah
kota yang terletak sekitar 25 Km sebelah selatan kota Kairo. Ia menetap di sana sampai akhir
hayatnya. Ia wafat pada usia 69 tahun (1371 H./1952 M.). Namanya kemudian diabadikan
sebagai nama salah satu jalan yang ada di kota tersebut. 
5. Karya-karya al-Maraghi 
Selama hidup, al-Maraghi telah mengabdikan diri pada ilmu pengetahuan dan agama. Selain
mengajar di beberapa lembaga pendidikan, al-Maraghi juga mewariskan kepada umat ini
karya ilmiyah. Salah satu di antaranya adalah Tafsir al-Maraghi, sebuah kitab tafsir yang
muncul pada abad ke 14 dan beredar juga dikenal di seluruh dunia Islam sampai saat ini.
Karya-karyanya yang lainnya adalah: 
- Al-Hisbat fi al-Islâm 
- Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh 
- Ulûm al-Balâghah 
- Muqaddimat at-Tafsîr 
- Ulum al-Balagah 
- Hidayah at-Talib 
- Tahzib at-Taudih 
- Tarikh ’Ulum al-Balagah wa Ta’rif bi Rijaliha 
6. Aliran al-Maraghi 
Di dalam bukunya, al-Mufassirun hayatuhum wa manhajuhum, syeikh Ali Iyazi menyebutkan
bahwa Ahmad Musthafa Al-Maraghi memiliki madzhab Asy Syafii Al-Asy’ary. 
7. Motivasi penulisan dan Kondisi masyarakat 
Yang melatar belakangi penulisan tafsir ini adalah suatu kenyataan yang sempat disaksikan
oleh al-Maraghi, bahwa kebanyakan orang enggan membaca kitab-kitab tafsir dengan alasan
kitab-kitab tafsir yang ada sangat sulit dipahami, bahkan diwarnai dengan berbagai istilah
yang hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang ahli dalam bidang ilmu tersebut. Karenanya
itu, al-Maraghi termotivasi untuk menulis tafsir dengan sengaja merubah gaya bahasa dan
menyajikannya dalam bentuk sederhana dan yang mudah dipahami. 
Masyarakat pada masa itu ingin memperluas pengetahuannya di bidang tafsir, namun merasa
kesulitan dengan kitab yang mereka baca karena kebanyakan kitab tafsir telah dibumbui
istilah istilah ilmiah akibat perkembangan dalam penemuan ilmiah. Ada pula kitab yang
dibarengi dengan analisa ilmiah, selaras dengan perkembangan ilmu ketika penulisan tafsir
tersebut. 
Masyarakat pun mulai mencoba mengemukakan metode baru dalam hal tulis menulis secara
simple dan penggunaan bahasa efektif yang mudah dipahami, karena masyarakat
membutuhkan kitab-kitab tafsir yang mampu memenuhi kebutuhan mereka, disajikan secara
sistematis, diungkapkan dengan gaya bahasa yang mudah dimengerti, dan masalah-masalah
yang dibahas benar-benar didukung dengan hujjah, bukti-bukti nyata serta berbagai
percobaan yang diperlukan. Bisa pula dinukilkan pendapat-pendapat para ahli dalam berbagai
cabang ilmu yang berkait erat dengan Al-Qur’an, selaras dengan syarat penyajian yang harus
sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan modern. 
B. Metodologi Penafsiran 
Bagi sebagian pengamat tafsir, al-Maraghi adalah mufassir yang pertama kali
memperkenalkan metode tafsir yang memisahkan antara uraian global dan uraian rincian,
sehingga penjelasan ayat-ayat di dalamnya dibagi menjadi dua kategori, yaitu makna Ijmali
dan makna Tahlili. Kemudian, dari segi sumber yang digunakan selain menggunakan ayat
dan atsar, al-Maraghi juga menggunakan ra’yi (nalar) sebagai sumber dalam menafsirkan
ayat-ayat. 
Namun perlu diketahui, penafsirannya yang bersumber dari riwayat (relatif) terpelihara dari
riwayat yang lemah (dhaif) dan susah diterima akal atau tidak didukung oleh bukti-bukti
secara ilmiah. Hal ini diungkapkan oleh al-Maraghi sendiri pada muqaddimahnya tafsirnya
ini. Al-Maraghi sangat menyadari kebutuhan kontemporer. Dalam konteks kekinian,
merupakan keniscayaan bagi mufassir untuk melibatkan dua sumber penafsiran (aql dan
naql). Karena memang hampir tidak mungkin menyusun tafsir kontemporer dengan hanya
mengandalkan riwayat semata, selain karena jumlah riwayat (naql) yang cukup terbatas juga
karena kasus-kasus yang muncul membutuhkan penjelasan yang semakin komprehensif,
seiring dengan perkembangan problematika sosial, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang
berkembang pesat. 
Tafsir al-Maraghi sangat dipengaruhi oleh tafsir-tafsir yang ada sebelumnya, terutama Tafsir
al-Manar. Hal ini wajar karena dua penulis tafsir tersebut, Muhammad Abduh dan Rasyid
Ridha, adalah guru yang paling banyak memberikan bimbingan kepada Al-Maraghi di bidang
tafsir. Bahkan, sebagian orang berpendapat bahwa Tafsir alMaraghi adalah penyempurnaan
terhadap Tafsir al-Manar yang sudah ada sebelumnya. Metode yang digunakan juga
dipandang sebagai pengembangan dari metode yang digunakan oleh Muhammad Abduh dan
Rasyid Ridha 
C. Corak Penafsiran 
Corak penafsiran yang digunakan dalam tafsir al-Maraghi adalah Adabi Ijtima’i, yang mana
sama dengan corak kitab tafsir gurunya yaitu Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dengan
karyanya al-Manar , Tafsir Al-Qur’an Al-Karim karya Mahmud Syaltut, dan tafsir Al-Wadih
karya Muhammad mahmud Hijazi. 
D. Sumber Rujukan dan Referensi 
Kitab-kitab yang dijadikan sumber rujukan dan referensi al-Maraghi dalam penyusunan
tafsirnya adalah sebagai berikut:  
- Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir, Jami‟ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an 
- Abu al-Qasim Jar Allah al-Zamakhsari, Tafsir al-Kasysyaf „an Haqaiq al-Tanzil 
- Syaraf al-Din al-Hasan Ibn Muhammad al-Tiby, Hasyiah Tafsir al-Kasysyaf 
- Al-Qadi Nasir al-Din Abdullah Ibn Umar al-Baidawi, Anwar al-Tanzil 
- Al-Raghib al-Asfahani, Tafsir Abi al-Qasim al-Husain Ibn Muhammad 
- Imam Abu Hasan al-Wahidi al-Naisabury, tafsir al-Basit 
- Imam Fakhruddin al-Raazi, Mafatih al-Ghaib 
- Tafsir al-Husain Ibn Mas‟ud al-Baghawi 
Dan masih banyak lagi kitab-kitab yang dijadikan rujukan atau referensi oleh al-Maraghi
dalam penyusunan tafsirnya. 
E. Sistematika Penulisan 
1. Menyebutkan satu, dua, atau sekelompok ayat yang akan ditafsirkan; Pengelompokan ini
kelihatannya dilakukan dengan melihat kesatuan inti atau pokok bahasan. Ayat-ayat ini diurut
menurut tertib ayat mulai dari surah al-Fātihah sampai surah an-Nās. 
2. Penjelasan kosa kata (syarh al-mufradāt); Setelah menyebutkan satu, dua, atau sekelompok
ayat, al-Maraghi melanjutkannya dengan menjelaskan beberapa kosa kata yang sukar
menurut ukurannya. Dengan demikian, tidak semua kosa kata dalam sebuah ayat dijelaskan
melainkan dipilih beberapa kata yang bersifat konotatif atau sulit bagi pembaca. 
3. Pengertian umum ayat (Ma’na al-Ijmāli); Dalam hal ini, al-Maraghi berusaha
menggambarkan maksud ayat secara global, yang dimaksudkan agar pembaca sebelum
melangkah kepada penafsiran yang lebih rinci dan luas ia sudah memiliki pandangan umum
yang dapat digunakan sebagai asumsi dasar dalam memahami maksud ayat tersebut lebih
lanjut. Kelihatannya pengertian secara ringkas yang diberikan oleh al-Maraghi ini merupakan
keistimewaan dan sesuatu yang baru, di mana sebelumnya tidak ada mufassir yang
melakukan hal serupa. 
4. Penjelasan (al-Īdhāh); Pada langkah terakhir ini, al-Maraghi memberikan penjelasan yang
luas, termasuk menyebutkan asbāb an-Nuzūl jika ada dan dianggap shahih menurut standar
atau kriteria keshahihan riwayat para ulama. Dalam memberikan penjelasan, kelihatannya Al-
Maraghi berusaha menghindari uraian yang bertele-tele (al-ithnāb), serta menghindari istilah
dan teori ilmu pengetahuan yang sukar dipahami. Penjelasan tersebut dikemas dengan bahasa
yang sederhana, singkat, padat, serta mudah dipahami dan dicerna oleh akal. 
F. Gaya Bahasa 
Dalam menyusun kitab tafsirnya, Al-Maraghi tetap merujuk kepada pendapatpendapat
mufassir terdahulu sebagai penghargaan atas upaya yang pernah mereka lakukan. Al-Maraghi
mencoba menunjukkan kaitan ayat-ayat al-Qur’an dengan pemikiran dan ilmu pengetahuan
lain. 
G. Jumlah Juz Tafsir Al-Maraghi 
Kitab tafsir ini disusun menjadi 30 jilid. Setiap jilid terdiri satu juz Al-Qur’an. Hal ini
dimaksudkan agar mempermudah para pembaca, di samping mudah dibawa kemana-mana,
baik ketika menempati suatu tempat atau bepergian. Kitab ini lahir untuk pertama kalinya
bertepatan pada pertengahan Zulhijjah 1365 H di tempat kediaman Al-Maraghi, yaitu
Hilwan, Kairo, Mesir. 
H. Kelebihan dan Kekurangan 
Tafsir al-Maraghi memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan. Diantara kelebihannya adalah
: 1) Tidak hanya terfokus pada aspek balaghah, namun juga mengaitkan makna yang
terkandung dengan keadaan sosial yang ada. 2) Bahasa yang dipakai lugas dan tidak berbelit
sesuai dengan keadaan sosial yang ada. 3) Menganalogikan tafsiran dengan teknologi
sehingga makna mudah ditangkap. 
Adapun kekurangan dari tafsir al-Maraghi adalah: 1) Terkadang tidak sesuai dengan daerah
kondisi mufassir tinggal (bersifat lokal). 

Anda mungkin juga menyukai