Anda di halaman 1dari 25

PATOGEN

OLEH
TRI SUHARDI
2004290053
AGROTEKNOLOGI B1 PAGI

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “PATOGEN”

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Kedua orang tua yang telah mendukung secara moral maupun material.
2. Ibu Efrida Lubis, M.D. selaku dosen penanggung jawab praktikum Dasar
Perlindungan Tanaman.
3. Kakak Rini Susanti, S.P., M.P. selaku asisten praktikum Dasar
Perlindungan Tanaman
4. Abang Rendi Priel Laksana selaku asisten praktikum Dasar Perlindungan
Tanaman
5. Abdillah Ihza Mahendra selaku asisten praktikum Dasar Perlindungan
Tanaman

Penulisa menyadari bahwa laporan ini masih banyak kekurangan. Oleh


karena itu, kritik dan saran bersifat membangun sangat diharapkan oleh
penulis.

Medan, 23 Desember 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

halaman

KATA PENGANTAR ................................................................................. i

DAFTAR ISI.................................................................................................ii

DAFTAR GAMBAR...................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1

1.1 Latar Belakang.....................................................................................1

1.2 Tujuan Praktikum ................................................................................3

1.3 Kegunaan Praktikum............................................................................3

BAB II ISI......................................................................................................4

2.1 Phytophtora palmivora (Buah busuk kakao).......................................4

2.2 Collectrotichum sp (Antraknosa pada tanaman cabai)........................7

2.3 Ralstonia solanacearum (Penyakit layu pada tanaman cabai)...........10

2.4 Burkholderia glumae (Penyakit busuk bulir padi).............................12

BAB II PENUTUP......................................................................................16

3.1 Kesimpulan .......................................................................................16

3.2 Saran...................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................18

ii
DAFTAR GAMBAR
Halaman

Gambar 1.1.....................................................................................................5
Gambar 1.2.....................................................................................................6
Gambar 1.3.....................................................................................................8
Gamabr 1.4.....................................................................................................9
Gambar 1.5...................................................................................................10
Gambar 1.6...................................................................................................12
Gambar 1.7...................................................................................................13
Gambar 1.8...................................................................................................14

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bakteri adalah sekelompok mahluk hidup yang berukuran mikroskopis,

yang biasa pula disebut jasad renik. Bakteri berbentuk bulat, batang, spiral dan

vibrion (bentuk koma). Bakteri berkembang biak dengan cara membela diri,

pembelahan diri dapat terjadi tiap jam sekali. Jika satu bakteri membelah terus-

menerus tanpa ada yang mati selama 24 jam, maka akan terbentuk 17 juta bakteri.

Tetapi pembelahan bakteri tidak selalu berjalan mulus, ada saja faktor-faktor yang

menghambat misalnya suhu, air, persediaan makanan, dan ruang tumbuh

(Nathasia, 2015).

Bakteri patogen pada tumbuhan merupakan agen penyebab penyakit yang

penting setelah jamur. Kerugian hasil yang ditimbulkan pada tumbuhan dapat

terjadi baik di lapangan maupun pada penyimpanan, terutama pada produk-produk

yang banyak mengandung air seperti buah dan sayur. Selain busuk, bakteri dapat

menyebabkan gejala layu vaskular, pustul, hawar, dan bengkak (tumor) (Hakim,

2015).
2

Lebih dari 8.000 spesies jamur yang dikenal dapat menyebabkan penyakit

pada tumbuhan dan banyak tumbuhan yang rentan terhadap beberapa jenis jamur

patogen. Sebagian spesies jamur, mikoryza, hidup secara simbiotik pada atau

dalam akar-akar dari banyak jenis tumbuhan. Hubungan ini pada dasarnya bersifat

parasitik tetapi dalam banyak situasi mungkin juga dapat menguntungkan bagi

tumbuhan dan jamur itu sendiri. Pertumbuhan bagian tertentu dari tumbuhan
melalui cara penyerapan beberapa unsur hara atau mineral, sementara jamur

mendapatkan akses hara-hara organik didalam tumbuhan dimana jamur tersebut

berada (Pinaria dan Assa, 2017).

Tanaman yang sakit sebenarnya adalah hasil interaksi antara faktor-faktor

pendukungnya yaitu tanaman inang, lingkungan dan patogen, yang dikenal

dengan segitiga penyakit. Patogen merupakan mikro organisme penyebab

penyakit, beberapa jenis mikroorganisme dikenal sebagai penyebab penyakit yang

merugikan untuk tanaman, untuk tanaman karet didominasi oleh golongan jamur,

bakteri dan virus. Sedangkan gangguan fisiologis pada umumnya disebabkan oleh

kekurangan hara baik mikro maupun makro serta keracunan yang mampu

menghambat pertumbuhan tanaman (Defitri, 2014).

Penyakit pada tanaman terjadi karena adanya interaksi antara tiga factor

utama yaitu factor tumbuhan atau inang, faktor organisme pengganggu tumbuhan

atau pest dan tentu saja lingkungan sekitar tanaman dan pest yang mempengaruhi

langsung terhadap perkembangaqn tumbuhan maupun pest sehingga terjadinya

penyakit yang selanjutnya disebut dengan segitiga penyakit. Faktor yang

mempengaruhi terjadinya penyakit pada tanaman serta memahami mengenai

segitiga penyakit, sebenarnya juga merupakan segitiga pertumbuhan tanaman.

Dengan memahami segitiga penyakit ini maka kita akan dapat meminimalisir

terjadinya penyakit dan akan lebih memahami mengenai pengendalian terhadap

penyakit yang terjadi juga mengenai upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk

menghindari terjadinya penyakit atau dengan kata lain merupakan strategi untuk

memaksimalkan pertumbuhan dan produksi tanaman yang dibudidayakan

(Sopialena, 2017).
Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui bagian-bagian morfologi bakteri dan penyakit dan fungsinya

masing-masing serta dapat mengetahui gejala serangan yang ditimbulkan

serangga

Kegunaan Praktikum

1. Sebagai salah satu syarat masuk praktikum Dasar Perlindungan Tanaman.


2. Sebagai salah satu syarat untuk dapat mengikuti praktikal test praktikum
Dasar Perlindungan Tanaman.
3. Sebagai sumber informasi bagi yang membutuhkan.
3
BAB II
ISI

2.1 Phytophtora palmivora (Buah busuk kakao)

Klasifikasi

Penyakit busuk buah pada tanaman kakao disebabkan oleh Phytophthora

palmivora, cendawan ini tergolong dalam : Klasifikasi phytophthora palmivora

Kingdom : Stramenophiles Kelas : Oomycetes Ordo : Peronosporales Famili :

Pythiaceae Genus : Phytophthora Spesies : Phytophtora palmivora Butler

(Cahyati, 2018).

Biologi

P. palmivora memiliki ciri-ciri koloni bulat, berdiameter 79,19 mm,

berwarna putih, sporangium berbentuk ovoid (oval) dengan papila (pp) di

ujungnya dan pedisel (pd) di pangkalnya, serta klamidospora (kl) berbentuk bulat

dengan dinding tebal, selain itu terdapat oogonium (og) berbentuk bulat dengan

dilengkapi anteridium (an) pada pangkalnya. Ciri – ciri P. palmivora secara

makroskopis memiliki warna koloni putih bersih seperti kapas, bentuk dan arah

pertumbuhannya berlapis tipis, berbingkul – bingkul, tumbuh radial dan

membentuk struktur bunga krisan. Sedangkan ciri – ciri P. palmivora secara

mikroskopis terdiri dari bentuk hifa tidak bersepta, bentuk sporangium ovoid

seperti buah pir, klamidospora berbentuk globulosa, berdinding tebal dengan 2

lapisan (Irawati, 2019).


Gambar 1.1 Phytophtora palmivora

Penyebaran

P. palmivora merupakan patogen utama yang menyebabkan produksi kakao

menurun hingga mencapai 73.4%. Perkembangan, penyebaran, dan infeksi

patogen ini sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu, kelembapan

udara, dan intensitas cahaya. Penyakit busuk buah terutama terjadi pada musim

hujan, karena pada musim hujan kelembaban akan menjadi tinggi, selain itu

percikan air hujan akan mempermudah penyebaran P. palmivora dari tanah ke

jaringan aerial tanaman. Epidemi penyakit busuk buah juga dipengaruhi oleh

faktor lain seperti keberadaan populasi semut Iridomirmex cordatus yang

membantu penyebaran inokulum P. palmivora pada jaringan tanaman. P.

palmivora dapat menyerang pangkal batang, batang, ranting, daun, dan buah

kakao. Namun demikian, serangan yang paling merugikan pada buah,

menyebabkan buah menjadi busuk (Wartono dana Taufiq, 2021).

Gejala Serangan
6

Phytophthora adalah penyebab penyakit penting pada kakao, antara lain

penyakit busuk buah, kanker batang, hawar daun, hawar bibit, dan layu tunas air.

Busuk buah merupakan penyakit paling dominan karena menyebabkan kerugian

yang besar. Gejala serangan yang ditimbulkan oleh jamur ini berupa adanya
5
bercak hitam kecoklatan yang dimulai dari pangkal buah kemudian menyebar

hampir menutupi seluruh permukaan buah dan timbul lapisan dengan warna putih

bertepung. Perkembangan bercak cukup cepat, sehingga dalam waktu beberapa

hari seluruh permukaan dan isi buah menjadi busuk (Cikita,dkk., 2016).

Gambar 1.2 Busuk pada Kakao

Cara pengendalian
7

Usaha pengendalian patogen tanaman telah banyak dilakukan, baik dengan

penggunaan tanaman tahan maupun pestisida kimia, tetapi tanaman tahan

terhadap patogen tanaman jarang tersedia sedangkan pestisida kimiajika

digunakan dengan tidak bijaksana akan banyak menimbulkan masalah, baik

terhadap lingkungan, produk tanaman maupun kesehatan manusia. Agensia

pengendali hayati (APH) merupakan salah satu pilihan pengendalian patogen

tanaman yang menjanjikan karena murah, mudah didapat dan aman terhadap

lingkungan. Eksplorasi APH telah banyak dilakukan dan pada umumnya


ditemukan dari mikroba kelompok jamur. Salah satu mikroba yang dimanfaatkan

sebagai APH adalah cendawan Trichoderma spp. Sifat antagonistik dari

Trichoderma spp. Mampu menekan penyakit yang disebabkan oleh cendawan

Phytophtora (Nawfetrias,dkk., 2016).

2.2 Collectrotichum sp (Antraknosa pada tanaman cabai)

Klasifikasi

Jamur Colletotrichum spp. merupakan jamur parasit fakultatif dari Ordo

Melanconiales dengan ciri-ciri konidia (spora) tersusun dalam aservulus (struktur

aseksual pada jamur parasit). Jamur dari Genus Colletotrichum termasuk dalam

Class Deuteromycetes yang merupakan fase anamorfik (bentuk aseksual), dan

pada saat jamur tersebut dalam fase telemorfik (bentuk seksual) masuk dalam

Class Ascomycetes yang dikenal dengan jamur dalam Genus Glomerella (Sudirga,

2016).

Biologi

Colletotrichum umumnya mempunyai konidium hialin, bersel satu,

berukuran 9-24 x 3-6 µm, tidak bersekat, jorong memanjang, terbentuk pada

ujung konidiofor yang sederhana. Diantara konidiofor biasanya terdapat rambut –

rambut (seta) yang kaku dan berwarna coklat tua. Ordo dari kelas Deutromyces ini

mempunyai konidiofor yang pendek dan beregresi (berkumpul) pada permukaan

yang tipis dari parenkhimoid dan stroma (satu aservulus). Konidia dibentuk dalam

aservulus. Diatas medium agar kentang dekstrosa, miselium tumbuh sangat

lambat, mula – mula berwarna kelabu, kelak berwarna lebih gelap (Azhari, 2018).
Gambar 1.3 Collectrotichum sp

Penyebaran

Patogen Colletotrichum sp. berkembang pesat pada saat lingkungan lembab

dan basah, terutama pada saat musim hujan. Selain itu Patogen Colletotrichum sp.

juga dapat menginfeksi pada saat musim kemarau, hal ini terjadi apabila kondisi

lingkungan mendukung pertumbuhan dan perkembangan patogen. Patogen

Colletotrichum sp. tumbuh baik pada suhu 25-28 ˚C, sedangkan apabila kuang

dari 25 ˚C dan di atas 28 ˚C maka spora tidak dapat berkecambah. Patogen

Colletotrichum sp. dapat tumbuh dan berkembang pada ranting-ranting pohon

yang sakit, daun-daun, maupun di dalam tanah. Patogen Colletotrichum sp. akan

membentuk konidium pada cuaca lembab kemudian spora akan keluar dari

aservulus seperti massa lendir berwana merah jambu yang kemudian akan

disebarkan melalui serangga maupun percikan air hujan sehingga dapat menyebar

dengan cepat ke bagian tanaman yang belum terinfeksi dan menyebabkan

tanaman menjadi sakit (Ilma, 2019).

8
Gejala Serangan

Gejala penyakit antraknosa oleh jamur Colletotrichum spp pada buah cabai

yaitu berupa bercak cokelat kehitaman, kemudian meluas menjadi busuk lunak

dan terdapat titik-titik hitam di bagian tengah bercak (Aziziy,dkk., 2020).

Gambar 1.4 Antraknosa pada cabai

Cara Pengendalian

Infeksi Colletotrichum spp. penyebab penyakit antraknosa menjadi salah

satu masalah terbesar dalam pengelolaan pascapanen cabai merah. Bahan nabati

yang berpotensi digunakan untuk menekan perkembangan penyakit antraknosa

cabai merah pada pascapanen ialah daun sirih. Daun sirih (Piper betle) merupakan

Famili Piperaceae yang memiliki kandungan anticendawan berupa minyak atsiri

(isocugenol, limonene, dan kariefilena). Senyawa-senyawa tersebut bisa

didapatkan dari proses ekstraksi daun sirih (Trisnawati,dkk., 2019).

9
Ralstonia solanacearum (Penyakit layu pada tanaman cabai)

Klasifikasi

Kingdom: Prokaryotae Divisi: Gracilicutes Subdivisi: Proteobacteria Famili:

Pseudomonadaceae Genus: Ralstonia Spesies: R. Solanacearum (Fauzya, 2018).

Biologi

R. solanacearum adalah organisme aerobik obligat; strain patogen memiliki

suhu minimum, optimal dan maksimum masing-masing 10°C, 35°C dan 41°C.

R. solanacearum berbentuk batang dan tidak membentuk spora, gram negatif,

berukuran sekitar 0,5-0,7 μm x 1,5-2,0 μm dengan flagel polar tunggal. Bakteri

bersifat aerobik dan koloninya pada media padat berukuran kecil, bulat tidak

beraturan, berwarna putih pada cahaya yang dipantulkan dan berwarna cokelat

pada cahaya yang ditransmisikan (Setiawan, 2019).

Gambar 1.5 Ralstonia solanacearum

Penyebaran
11

R. solanacearum menyebar melalui air tanah, benih yang terinfeksi atau

terkontaminasi, luka yang terbentuk pada saat pemindahan tanaman, melalui

alatalat pertanian yang terkontaminasi, dengan bantuan nematoda penghuni akar

10
dalam penetrasinya serta lubang alami atau stomata. Patogen menginfeksi pada

bagian akar, bergerak secara sistemik melalui xylem, berpindah menuju ruang

antar sel dari parenkim di dalam korteks dan jaringan gabus, kemudian merusak

dinding sel dengan menghasilkan polimer sakarida yang dapat menyumbat

jaringan hingga menyebabkan tanaman menjadi layu. Tanaman tomat yang

terinfeksi patogen ini menyebabkan daun menjadi terkulai ke bawah (layu) dan

sistem pembuluh menjadi coklat, batang tanaman akan terus tumbuh tinggi dan

kurus, terbentuk lebih banyak akar adventif di permukaan batang sampai pada

ruas tempat terbentuknya bunga pertama (Zuhdi, 2020).

Gejala Serangan

Layu bakteri merupakan salah satu penyakit yang sangat merusak pada

tanaman cabai. Penyakit tersebut sering mengakibatkan kehilangan hasil karena

tanaman cabai yang banyak mati sampai 90% sehingga petani cabai sangat

dirugikan. Penyakit layu bakteri menyerang sistem perakaran tanaman cabai.

Gejala kelayuan tanaman cabai terjadi mendadak dan akhirnya menyebabkan

kematian tanaman dalam beberapa hari kemudian. Gejala yang dapat diamati

secara visual pada tanaman cabai adalah kelayuan tanaman, mulai dari bagian

pucuk, kemudian menjalar keseluruh bagian tanaman. Daun menguning dan

akhirnya mengering serta rontok (Palupi,dkk., 2016).


Gambar 1.6 Layu pada cabai

Cara Pengendalian

Pengendalian penyakit tanaman terutama ditekankan melalui pengelolaan

penyakit terpadu, dengan menerapkan beberapa komponen teknologi

pengendalian yang efektif dan dapat diintegrasikan dengan teknis budidaya

tanaman. Mengingat R. solanacearum merupakan patogen yang terdiri atas

beragam strain dan biovar, serta pengendaliannya sejauh ini belum dilakukan

secara serius oleh petani maka beberapa komponen pengendalian seperti

penggunaan varietas tahan, pemilihan lahan bebas penyakit (non infeksi),

pergiliran tanaman dengan jenis bukan inang, penggunaan benih sehat,

pengendalian hayati, pestisida nabati potensial sebagai bakterisida, dan

pengendalian kimiawi dengan antibiotik memiliki potensi cukup baik untuk

diterapkan di lapangan (Dzullia, 2017).

Burkholderia glumae (Penyakit busuk bulir padi)

Klasifikasi
13

Taksonomi bakteri B. glumae berkembang dan berubah seiring dengan

kemajuan teknologi. Pada tahun 1992 bakteri ini diklasifikasi ulang ke dalam

12
genus baru yaitu Burkholderia berdasarkan data taksonomi polyphasic. Kemudian

pada tahun 1994 nomenklatur P. glumae direvisi menjadi B. glumae. Bakteri ini

termasuk dalam kingdom Prokaryota, divisi Gracilicutes, kelas Proteobacteria,

famili Pseudomonadaceae, genus Burkholderia (Wahidah, 2018).

Biologi

Morfologi B. glumae yaitu struktur sel yang berbentuk batang agak melengkung

dengan ukuran 0,5-0,7 × 1,5-2,5 μm dan memiliki flagella polar multitrichous.

Bakteri dapat tumbuh optimal pada suhu berkisar antara 30-35oC (Isnaeni dan

Masnilah, 2020).

Gambar 1.7 Burkholderia glumae

Penyebaran

Bakteri B. glumae akan menginfeksi tanaman melalui stomata menuju ke ruang

interseluler untuk berkolonisasi, kemudian mengalami invasi di bagian lemma dan

palea. Fase yang paling rentan terserang penyakit ini yaitu ketika malai mulai

keluar diikuti suhu malam yang hangat dan sering turun hujan. Bakteri ini lebih

menyukai kondisi malam yang hangat dengan kelembaban yang tinggi. Suhu
optimal untuk pertumbuhan B. glumae yaitu 30-35°C dengan kisaran 11- 40°C

dan pada suhu 70°C merupakan titik kematian termal (Rofiqoh, 2019).

Gejala Serangan

Gejala penyakit busuk bulir padi yaitu gejala awal berupa titik atau garis cokelat

pada bulir. Gejala lanjut berupa malai tegak karena biji tidak terisi penuh, ranting

malai tegak berwarna hijau dengan tulang cabang berwarna hijau. Gejala khas

pada bulir ditandai dengan terbentuknya garis sehingga tampak adanya gradasi

warna pada lemma dan palea (discoloration). Infeksi yang parah dapat

mengakibatkan pelunakan pada beras, kemandulan spikelet, dan kehampaan bulir

padi sehingga mengakibatkan perubahan bobot benih (Widarti,dkk., 2020).

Gambar 1.8 Penyakit busuk bulir padi

Cara Pengendalian
15

Upaya pengendalian B.glumae yang dapat dilakukan dengan menghindari awal

musim saat kondisi suhu tinggi, penggunaan varietas tahan dan penggunaan agens

hayati. agens hayati berupa Plant Growth Promoting Bacteria (PGPB) dalam

menghambat B.glumae. PGPB merupakan bakteri yang dapat berasosiasi dengan

tanaman yang berasal dari sekitar perakaran (rizosfer), permukaan daun (filosfir)

14
ataupun dari bagian tanaman (endofit). PGPB memiliki peran yang sama dengan

Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) yaitu sebagai promotor

pertumbuhan, agens antagonis dan meningkatkan ketahanan tanaman

(Agustin,dkk., 2021).
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Bakteri adalah sekelompok mahluk hidup yang berukuran mikroskopis,

yang biasa pula disebut jasad renik. Bakteri patogen pada tumbuhan merupakan

agen penyebab penyakit yang penting setelah jamur. Lebih dari 8.000 spesies

jamur yang dikenal dapat menyebabkan penyakit pada tumbuhan dan banyak

tumbuhan yang rentan terhadap beberapa jenis jamur patogen. Tanaman yang

sakit sebenarnya adalah hasil interaksi antara faktor-faktor pendukungnya yaitu

tanaman inang, lingkungan dan patogen, yang dikenal dengan segitiga penyakit.

Sedangkan gangguan fisiologis pada umumnya disebabkan oleh kekurangan hara

baik mikro maupun makro serta keracunan yang mampu menghambat

pertumbuhan tanaman. Penyakit pada tanaman terjadi karena adanya interaksi

antara tiga factor utama yaitu factor tumbuhan atau inang, faktor organisme

pengganggu tumbuhan atau pest dan tentu saja lingkungan sekitar tanaman dan

pest yang mempengaruhi langsung terhadap perkembangaqn tumbuhan maupun

pest sehingga terjadinya penyakit yang selanjutnya disebut dengan segitiga

penyakit. Faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit pada tanaman serta

memahami mengenai segitiga penyakit, sebenarnya juga merupakan segitiga

pertumbuhan tanaman.
Saran

Pada pengendalian bakteri maupun penyakit lebih baik menggunakan agens hayati

daripada bahan kimia, selain hemat biaya, agens hayati juga ramah terhadap

lingkungan
DAFTAR PUSTAKA
17

Agustin. D. A. A’yun. E. Q. Marsya. T. I dan Kusuma. R. R 2021. Potensi Plant

Growth Promoting Bacteria (PGPB) sebagai Pemacu Ketahanan Tanaman Padi

terhadap Hawar Malai Padi. Plantropica. Vol. 6. No. 2. Hal: 96-105.

Azhari. F 2018. Keragaman Biologi Colletotrichum spp. Penyebab Penyakit

Hawar Daun pada Tanaman Kelapa Sawit (Elais guineensis Jacq.) di Sumatera

Utara Bagian Timur. Skripsi. Universitas Sumatera Utara.

Aziziy. M. Tobing. O dan Mulyaningsih 2020. Studi Serangan Antraknosa Pada

Pertumbuhan Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Setelah Aplikasi Larutan

Daun Mimba Dan Mol Bonggol Pisang. Jurnal Agronida. Vol. 6. No. 1. Hal:

23-32.

Cahyati. I 2018. Efektivitas Trichoderma harzianum dan Pleurotus ostreatus

dalam Dekomposisi Limbah Kakao (Theobroma cacao L.) dan Menekan

Perkembangan Phytophtora palmivora Butt. Skripsi. Universitas Hasanuddin.

Cikita. D. Khotimah. S dan Linda. R 2016. Uji Antagonis Trichoderma spp.

Terhadap Phytophthora palmivora Butl. Penyebab Penyakit Busuk Buah

Kakao (Theobroma cacao L.). Protobiont. Vol. 5. No. 3. Hal: 59-65.

Defitri. Y 2014. Identifikasi Jamur Patogen Penyebab Penyakit Tnaman Karet

(Hevea brasiliensis) di Sukajaya Kecamatan Bayung Lincir Kabupaten Musi


Banyuasin Sumatera Selatan. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi. Vol

14. No. 4. Hal: 98-102.

Dzullia. R 2017. Efektivitas Bakterisida Ekstrak Daun Kamboja (Pulmeria

acuminata W.T. Ait) Terhadap Ralstonia solanacearum Penyebab Penyakit

Layu pada Tanaman Cabai. Skripsi. Universitas Pasundan.

Fauzya. D. N 2018. Potensi Flagela Bakteri Ralstonia solanacearum Sebagai

Pemicu Ketahanan Tembakau (Nicotiana tabacum) Terinduksi. Skripsi.

Universitas Jember.

Hakim. L 2015. Bakteri Patogen Tumbuhan. Syah Kuala University Press. Banda

Aceh.

Ilma. H. N. A 2019. Pengendalian Penyakit Antraknosa (Colletotrichum sp.) pada

Tanaman Okra (Abelmoschus esculentus L.) dengan Trichoderma sp. Skripsi.

Universitas Jember.

Irawati. F 2019. Eksplorasi, Identifikasi, dan Ujia Antagonis Trichoderma sp.

Hasil Eksplorasi Daerah Malang, Kediri dan Jombang Terhadap Phytophthora

palmivora. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Malang.

Isnaeni. S. J dan Masnilah. R 2020. Identifikasi Penyebab Penyakit Busuk Bulir

Bakteri pada Tanaman Padi (Oryza sativa) dan Pengendaliannya Menggunakan

Isolat Bacillus spp. Secara In Vito. Proteksi Tanaman Tropis. Vol. 1. No. 1.

Hal: 14-20.
Nathasia. N. D 2015. Desain Sistem Pakar Identifikasi Penyakit Tanaman

Hortikultura untuk Mempermudah Penanggulangan Hama. Teknologi

Informasi. Vol. 2. No. 2. Hal: 168-181.

Nawfetria. W. Nurhangga. E dan Sutardjo 2016. Pemanfaatan Biofungisida

Berbahan Aktif Trichoderma spp. untuk Pengendalian Penyakit Busuk Buah


19
Kakao. Bioteknologi & Biosains Indonesia. Vol. 3. No. 1. Hal: 28-35. ISSN:

2442-2606.

Palupi. H. Yulianah. I dan Respatijarti 2016. Uji Ketahanan 14 Galur Cabai Besar

(Capsicum annuum L.) Terhadap Penyakit Antraknosa (Colletotrichum spp)

dan Layu Bakteri (Ralstonia solanecearum). Jurnal Produksi Tanaman. Vol. 3.

No. 8. Hal: 640-648.

Pinaria. A. G dan Assa. B. H 2017. Jamur Patogen Tanaman Terbawa Tanah.

Media Nusa Creative. Malang.

Rofiqoh. N. F 2019. Kajian Intensitas Penyakit Busuk Bulir Bakteri

(Burkholderia glumae) dan Teknik Pengendalian pada Pertanaman Padi di

Kecamatan Mayang Kabupaten Jember. Skripsi. Universitas Jember.

Setiawan. A. W 2019. Epidemiologi Penyakit Layu Bakteri dan Perkembangan

Kompleks Spesies Ralstonia solanacearum. Galung Tropika. Vol. 8. No. 3.

Hal: 243-270. ISSN: 2407-6279.

Sopialena 2017. Segitiga Penyakit Tanaman. Mulawarman University Press.

Samarinda.
Sudirga. S. K 2016. Isolasi dan Identifikasi Jamur Colletotrichum spp. Isolat PCS

Penyebab Penyakit Antraknosa pada Buah Cabai Besar. Jurnal Metamorfosa.

Vol. 3. No. 1. Hal: 23-30.

Trisnawati. D. Nugroho. L. P. E dan Tondok. E. F 2019. Pengaruh Ekstrak Daun

Sirih dan Metode Ekstraksinya Dalam Menghambat Penyakit Antraknosa pada


20
Cabai Pascapanen. Jurnal Fitopatologi. Vol. 15. No. 6. Hal: 213-227. ISSN:

0215-7950.

Wahidah. N 2018. Respon Ketahanan Beberapa Varietas Padi (Oryza sativa L.)

Terhadap Bakteri (Burkholderia glumae Penyebab Penyakit Hawar Malai di

Rumah Kassa. Skripsi. Universitas Sumatera Utara.

Wartono dan Taufiq. E 2021. Patogen Penyakit Busuk Buah Kakao: Karakter dan

Patogenisitas Phitophthora palmivora Isolat Asal Pakuwon, Sukabumi.

Tanaman Industri dan Penyegar. Vol. 8. No. 1. Hal: 49-58.

Widarti. A. Giyanti dan Mutaqin. K. H 2020. Insidensi Penyakit Busuk Bulir Padi,

Identifikasi, dan Keragaman Bakteri Burkholderia glumae pada Beberapa

Varietas Padi di Jawa Barat. Fitopatologi. Vol. 16. No. 1. Hal: 9-20.

Zuhdi. D. M 2020. Pengaruh Kombinasi Pupuk Kandang Ayam dan Agens Hayati

untuk mengendalikan Penyakit Layu Bakteri Kentang (Ralstonia

solanacearum) di Rumah Kaca. Skripsi. Universitas Sumatera Utara.

Anda mungkin juga menyukai