Stung Avan (Tajen) di Balt «Didnt a Budaya dan Huu (1 Gust! Ketut Gde Arana)
SABUNG AYAM (TAJEN) DI BALL
DIANTARA RANAH BUDAYA DAN HUKUM
1 Gusti Ketut Gde Arsana
Universitas Udayana
[Naskah diterima, 3 Maret 2011, diterima sctelah perbaikan 28 April 2011
disetu)ui untuk dicetak, 9 Juni 2011
ABSTRAK,
‘Sabung ayam (aie) di Bai telah lama menjadi persoalan hukum yang tampaknye
serus berlanju, sampai sekarang. Hal is terjadidisebabkan terutama oleh danya
Pengaburan bots-batasantara fungsinya sebegai tabu rah yang terkait dengan
‘tus keagamaan, dan ataupun adat, Pengaburan batas-batas fungsinya seperti
‘iw mengakibatkan seolah semua ketegori jens faen dapat digolonghan sebagai
‘abuh rah schingga diangeap legal menurut ajaran agama (sacred canpy).
Akibainya,seringkali menyebabkan para penegak hukum menjadi gamang dela
upaya untuk menerdbkan sabung ayam teruiama yang terselebung: relalai
Acpiatanritus Keagamaan, Tollsam ini akan menyaiikan pemilghan tafen di Bal,
dalam fungsinya sebagai bagian integral dari ritus Keegamaan (ranah budaya)
berdasarkan Ketentuan dalam sasica agama dan pengembangan fungsinya yang
‘dapat digolongkan sebegaibenfuk pelangearanpidana (rsnah hukurm) seperti yang
telah distur dalam KUHE.
Kata Kunci: Sambung ayam, agama, dan hukum
ABSTRACT
Cock fighting (Tajen) in Bali has been low problem since long time ago, and
continue until nove. It happened primarily dve 10 the Blurring of boundaries
Derween tts function as as tabwh rah related with religious rites, amd customs
Burring the function boundaries make Tajen can be classed as tabuh rah so
‘tis legal according 10 religion docirm (sacred canopy). At the result, the daw
enforcement to be giddy in bid to curb cocktighiing mainly coverted through the
activities of religious ites. This paper will present the sorting of Tafon in Bali in
its fection as an integral part of religious rites (the realm of culture) based on
‘provisions religious literature and the development ofits functions that can be
classified asa form of eriminal offenses (the reale of lax) ax was stpulated in
KUHP,
Keywords: Cockfighting religion, and low.
2Inara Budaya Volume Ke-rambelas
A. PENDAHULUAN
Trend perbincangan mengensi
“tojen sabangayem) di Bali sering
mengalami pasing surut.Walaupun
44; mata hukum sabung ayom itu dapat
dikatagonkan sebagai salah set bentuk
“judi, dan oleh karenanya, penegskan
hhukum terhadapnya tidaklah semestnya
menghadspi_problematkanya, Namin
demikian, realiasnya tidaklak selaln
demikian’ Hukum dalam perkara
Semacam itu, dengen demikian sering
menjadi gamang, Secara emik, “fon”
‘bagi sebagian orang di daerah Bali ini
rmasib ada yang merasa enggan apabila
dikategorikan sebagai "judi". Dart
perspektf ini, djen sepertinya memang
tidak seria mera disejjarkan dengan
ns jd yang lain. Unk mengokhan
pandangaanya itu, tajen dalam
ceksistersinya lalu diselubungkan dengan
analogi penattiri simbol yang secara
sistemik memandang babwaescns fen
tmemiiki bungan erat dengan prac
ritual keagamacn Hindu, di Bal Tae
adalah sintesa dori “Yabub rah Karena
dalam perarungan ayam itu akan selaia
teradi penumpahan darah, aps syam
‘yang bertarung itu juga dilengkapi dengan
S1ajé”, Selain itu, ayam jantan (ago)
emudian dihubungkan seeara simbolik
dengan logika dalam membayangken
wwatak dari Kekustan makbuk yang scars
kosmoiogi Hind di Bali disebut “bhuca
Kola”, yang dipersoniiksi meayerupai
‘sifat-sifat dari ayam jantan itu, Sedangkan
yang. lainnya, mengokohkan logika
{nterpretatfaya dengan mengaitkan ten
terse sebagai pengungkapan simbalik
yang meteleksisan tentang hakikat
hidap ini adalah beroposisi biner seperti
hidup mati, kalah/menang, baik/buruk,
dan seterusnya, yang semua itu memang
mm
Nomor 2/V10"/ 2011
terdapat dalam teosofi Hindu, terutama
dalam ajaran tentang “rwa bhineda"-nya
Analogi penafsiran simbolik yang
bersifat eksoterik semacam itu, dari
sudut pandangan Kelonpok tertentu tanpa
mengecualikanbahwasabungayam(tajen)
itu adalah bagian integral dari rangkaian
ritual keagamaan, Secara imajin-r mereke
membayangkan banwa prakiik ritual
seperti itu memiliki legalitas sacral atau
menjadi sacred canopy (dipinjam dari
{stilah: lim Amadudin, 2600: 6). Geertz
(1992: 219) berpandangan bahwa sabung
ayam (‘ajen) di Bali telah menjasi apa
‘yang ia sebut sebagai “entitas sosiologis".
aburig ayam menuratnya, bukan sea
‘mata merupakan tontonan_ perkclehian
antara dua ekor ayam di dalam panggung,
telapi lebils jauh memiliki ami yang
ssangat_mendalam, Dia menjadi arena
pergulatan status yang dianggapnya
dapat menentukan derajat atau martabat
seseorang/kelompok —(simbol —part-
excellent), yang dianggap penting dalam
kehidupan ‘masyarakat dan kebudayaan
Bali
Berdasarkan eksistensinya seperti
jiu penerapan pasal 303 KUHP yang
berintikan tentang “pemberantasan judi”
Khususnva sabung ayam (jen) di Bal
seringkali menjadi problematis Problema
seperti bukan sajadialami oleh para
penegak hukum sat ini, ota! juga oleh
pemerinah sek lama, Geertz. (1992:
207) meneatat bahwa peveriban sabung
ayam di Bali sudah berlangsung sejak
aval pemerintahan Republik Indonesia
pascakolonial dengan penerapan sangsi
hukum yang jauh lebip bert ka
dibandingkandengen sangsi bulum
seperti yang diatur di dalam pasal 303
KUHP tersebutSabung Ayam (Tajen dt Balt: Di Amara Buieya char Hukum (1 Gusti Kett Ge Arsura)
Untuk memperoleh wawasan yang
lebib objektif dan netral, artikel ecil
ini akan mencoba membahas secara
proforsional posisi sabung ayam (jen)
tersebut sebagai ronah budaya dan bukum
4 daerah ini
B. PEMBAHASAN
‘Scjumlah sumber pustaka yang
ada ketentuan mengenai apa yang disebut
dengan tabuh rah (pengorbanan dara)
memang ada beberapa di antaranya
Agama Tinka
276
[Nomor 2/ VIL / 2011
Ketika Geertz menyaksikan
orang-orang Bali begitu “menikma
bagaimana mereka memberikan
pethatiannya terhadap ayam-ayam
yagonya. Tiap ia mengunjungi desa
i Bali, io selalu menemukan para
leleki sedang duduk-duduk santai di
bangsal-bangsalsambil_ membawa
‘ayam-ayam Kesayangannya. Sambil
mengelus-elus, memijit-mi)it, meniup
mata ayamnya, ‘ dan sebsgainya:
Geertz membayangkau bahwa orang
Bali itu sudah demikian jatimnya
dengan ayam (Geertz, 1992 : 213).
Ayam dan orang Bali, dimata Geertz,
scolah-olah tidak bisa _dipisahkan
lagi; ayam (ayam jago) tidak seakan
menjadi ikonik penandaan yang
diangyap dapat meneutuken derajat
‘ataumartabat seseorang dimasyara)
‘Atau dengan kata lain, melalui ayain
‘martabat stu isa dipertaruhkan, dan
karenanya, sabungayamadalah sebuah
“entitas sosiologis” (Geertz, 1992
219). Karena pada hakikatnya juga,
pertaruhan (toh) dalam sabung ayam
memiliki arti untuk menampilkan sifat
kedermawanan dalam menyumbang
kepada desa/atau organisasi komunal
lainnya. Realitasnya, penyelenggaraan
sambung —ayam)—_seringkali
berkontribusi dan menjadi salah satu
sumber _pembiyaan _pembangunan
(1964 ; 184), Dalam legends itu diceri-
takan bebwa pemisaban kedua pulau it
(Bali dan Jawa) bermula dari adanya per-
bedasn pandangan religius dari seorang
‘koh Jawa dengan penguasa di Bali yang
dllukiskan sebagai penjudi sabung ayern
yang berafsu untuk menyerang pala
Jawa,
5 Dalam bahase Balinya hal itu sering
disebut "Magecet” dan scau “Ms-obong:
bong”berbagai amat
enting artinya dip ert
992 ; 220). Berdasarkan studi itu
inprastruktur, yan
Geertz dapat me bagaimana
i pentinanya am dalam
kehidujan ma Bali, Pajak
dari pu ung ayam ‘erkadang
bisa powi penghasilaa desa dav
umber luinays. Melalvi pungutan
pajek taruhan yang terutama diam
dari setiap partai /saet) sekitar 45%
dari toh ke tenga, Dapat dibay angkan
berapa jumlah vang yang. biso
terkumpulkan dalam sehari apabila
ayam yang diadu terdiridari pulub
pasang, Geertz juga membandingkan
dengan pendapatan arian dar
pekerjaan berburuh pada masa
yang hanya sekitar 3 ri
seharinya (Geertz, 1992
‘Ada hal yang juga amat pentir
selain fungsinya sebagai sumber dana
pembiayaan infrastruktur, taruhan
dalam sabung ayam merupakan arena
bagipertarunganmariaba:, kehormatan
dan atau status (Geertz, 228),
Geertz dengan mengutip Goffman,
1 Hukurn (I Gust Ketut Gde Arsana)
menganalogikan hal itu ibaratka
mandi darah status". Dia
adalah ungkapan representasi ikatan
komunal, yakni sebagai momen untuk
membela martabat (apakah keluarga
au komunitasnya). Permainan
pertrungan status semacam itu
biasenya nampak dalara periandingan:
dingan sepak bola, misalnya.
Dapat —dibayangkan —bagaimana
antosiasnya para pendukung (cporter)
dari masing-masing kesebelasan
njukkan pembelaanny'a terhada
tim yang dijagokannya (Pen)
Sedangkan Geertz (1992:216-
220) melukiskannya baa’
pertarungan tinju di atas ring
Sorak gemuruh para pendukungny
serta semangat para _pelatihnya,
dihubungkannya dengan hal itu dalam
suasana pertarungan ayam jago di
dalam arena yang biasanya di Bali
disebut “kalo
Keterlibatan
peristiwa
Bali yang dilukisk
mandi darah
diharfiabkan
doging” yang
untuk memahami_ bai
Bali membentwk dan
sekaligus
status” atan kal
menjadi “mendarah
selanjutnya
wataknya dan perangai
lewat sabung ayam
yean tepat melalui
melukiskan secara
ayam yang telah
masyarakatnya,
telah d
interpretasinya
Geertz
metaforis sabung
begit
dapat dipergunakan untuk memahami
bagaim pembentukan,
kepribadian bagi kalangan tertentu di
daerah ini, Dia telah menjadi b:
dati aspek yang be
yang dianut ole
melekat dalam tradisi di Bali
prosesJnana Budaya Volume Keenambelas
yang sering disebut “kecanduan”,
Kegandrungan” atau sebutan lainnya,
seperti “"memotoh” (b.b). Sebagai
suatukegemaran hobby’) oranayang
disebut “memoroh” (atau Rebotoh,”
untuk sabung ayam), memang sult
untuk —dipahami, _terlebib-lebih
apabila he! itu dipandeng dari sudut
orang lain yang tidak memiliki
Kegemaransemacam itu. Hal ini
adalah fenomenolouis sifatnya. Ketika
hal itu diperdebatkan, kedua belsh
pihak pasti memiliki argumentasinys
mmasingemasing. Di sinilah problem
yang dikadapi,-manakala praktik
Sabung ayans atau praktik judi lainnya
ingin dihapuskan
Argumen yang cukup beralasan
barangkali banyak yang
baka, sabung ayan
‘agen di Bali adalah hasil dari proses
rekonsteuksi yang dianggap scbagai
bagian inteweal dar ritual agama, Dan
leh katenanyo, - menghapuskannya
dibayangkan | sama dengan
melecehkan agama itu, Argumen
semacem ity hanyalah — imajiner
sifatnya dan kemudian dikembangkan
sebagai sebuah strategi kultural
Rerdasarkan strategi inilah keinginan
wuntuk menjaga Kelestarian budaya
rmenjadi"bias").”
Barangkali tidak perlu
mmenariknya terlalu jauh semisal ke
dalam tataran kita suci (seperti
Wedina) ; hanya dengan memeriksa
catatan-catatan dari para ablisaja
nampaknya cukup tersediaalasan
Ursin Tengkap tentang strateg kultura!
Semacar ity telah mendapat uraian leng-
ap dalam buku kanya C.A. Van Peursen
Sirategi Kebudavaan, 1988, Penerbit
Kanisvs
Nomor 2/V4N/ 2011
untuk menyatakan bahwa “tajen™ ite
tidak lain adalah hasil rekonstruksi
penafsiran manusia. Dr R. Goris,
misalaya, menyebut “fajen” di Bali
itu adalah hasil dari pengembangan
kegiatan ritus pada masa yang lampau
(pra Hindu) yang dinamakan “sabuhor
taluii”.* Dari studiya di Jawa, Go
mengemukakan—bahwa, —sabuhan
aluh adalah bagian dari suatu ritual
yang biasanya dilaksanakan dalam
mentahbiskan tapal batas wilayahe
wilayah kerajaan, terutama wilayah-
dari hasil
pertempuran, Di bagian lain dari ritual
tersebut juga ditemukan pula rival
serupa yang disebot “sabeh rah” dan
atau di Bali disebut “sahuh rah”
Elemen utama dalam ritual ini adalah
penyemblihan hewanfanggas seperti
kerbau, kambing. babi, dan ayam
Di sini yang dipentingkan terutama
adalah darah dari binatang-binatang
tersebut (Goris, t. : 33).
Kemudian, dalam perkembangan
selanjutnya, di Bali di samping ritual
imasih-dilakukan
seperti itu juga
fsabuhan talwh dan tabuh rahi
penyamblehan), juga ditkuti pula
dengan sabung ayam (tajen) yang.
disclenggarakan di luar jeroan pura,
yakni di arena di bagian halaman
epan pura yang disebut “kalangan
tajen” Berdasarkan hal itu, dengan
mudah rasanya untuk menyatakan
bukankah “sabuhan taiuh” dan
“tabuh —rak"/penyemblihan itu
adalah bagian pelengkap terpenting
alain ritual keagamaan Hindu, Lalu
lemen tara dalam sabukan tal ita
terdiri dari teor,Kelap, dan buah kemit)
yang cipertahkan secara simbolik me
iniui“pipis bolong” (wang kepeng).Sabi.ig Asam (Teen di Bat
kalau demikian halnya, bukankah
akan menjadi bias kal~u dilengkapi
(ditambah) lagi dengan tajen. Di
sinilah letak dari. problematiknya,
Ketika agama itu yang secara esorerik
‘neriliki fungsinya sebagai penun:un
‘moral (dharma), Ialu kemudian di
dalam praktiknys secara kroterik
dipergunakan untuk melegalitaskan
kepentingan-kepentingan berasaskan
nafsu libido yang bertentangan dengan
azas dati ajaran agama itu senditi
Apabila hal ity dibiarkan nerkembang
menurut Syamsul Arifin, (2005
3) mengindikasikan bahwa agama
semakin tidak dapat lagi menjalankan
fungsi —pokoknya functional
Imperative). Karena fungsi pokoknys
dikorbankan untuk kepentingan
Institusi sosial lainnya yang merviliki
fungsipokok yangjauh sangatherbeds.
Dalam keterjebakan seperti itu, agama
semakin tidak lagi menjadi apa yang
disebut sebagai institusionalizing
force yang kemudian secara sistematis
ddan sistemik diinterpretasikan dengan
akal Kecerdasan manusia (Veger,
dalam Syamsul Arifin, 2005 : 3)
Melibat perkembangannya seperti
itu, tajen yang seakan-akan mendapat
legitimasi agama atau meminjam
istilah lim Ammidudin, menjadi
Sacred Canopy (lim Ammidudin,
2000 : 6), selanjutnya oleh sebagion
masyarakat di Bali memandangnya
sebagai bagian dari tugas uci
Crgayah"),
Realitas menunjukkan misalnya
bagaimanamasyarakatdidess Kesimian
peinah memaknai tradisi keagamaan
(atkala-menjelang penyclenggaraan
upacara local yang cukup terkenal
yakni “Ngrebong”. Dalam upacara
Di Amara Buss dam Hulu (1 Gusti Ketut Gide Asana)
tu senantiasa ditemukan adanya
penyelenggaraan fajen yang dianggap
sebagai bagian integral dari upacara
tersebut. Berdasarksarekonstruksinya,
masyarakat —pernah —menganggap
bahwa penyelenggaraan fajen sebagai
rangkaian upacara Ngrebong telah
mentradisi dilakukan selama 3 sampai
6 hari sccara berturut-turut. Dalam
tupaya untuk mengokohken pandangan
itu pergelaran tajen tersebut sclalu
diawali dengan prosesi keagamaan
yakni dengan menghadirkan pratima:
pratima (semacam area) di tengsh-
tengah kalangan tajen. Lalu sesudah
ritual itu selesai dilaksanakan barulah
sabung ayam (tajen) itu mulai
digelar selama kurun waktu itu
Untuk metegitmasi kebenarannya,
penyclenygaraan tajen selama 3 atau
bahkan 6 hari kemudian diidentikan
melalui interpretasi berlandaskan
bilangan biner. Artinya, 3 atau 6
Giasoiasikan sama maknanya dengan
telung perahatan (telung saet) :dan
atau tiga pasang ayam adalah sama
dengan 3x2=6. Angka 3 ataupy
angke 6 inilab kemudian mempcraleh
pertandsan sacral yang mendasari
keyakinan yang sesungguhnya lebih
personal sifeinya (subyektif) yakni
uwtamnya bagi kalangan penggemar
(hebotoh).
Sabung Ayam (jen) di Ranah
Hokum
Pengertian judi dapat disimak
dalam pasel 303 KUHP yang berbuayi
sebagai bert:
= Dipidane dengan penjara_selama-
lamanya sepuluh tahun atau denda
Sebanyak-banyaknya dua puluh lima
{uta rupiah barang siapa dengan tidak
29Jnana Budaye Volume Keenambelas
berhak:
Kel Dengan sengaja mengadakan atau
‘memberi kesempatan berjudi sebagai
‘mata pencaharian slau dengan sengaja
turut campur dalam perusahaan main
judi
Kell Dengan sengaja mengadakan atau
‘memberi kesempatan berjudi wepada
‘mum atau dengan sengaja turut
‘campur dalam perusahsan_perjudian
ja biarpan diadakan atau tidak
ma-
lamanya enam tahun atau denda
setinggi-tingginya ima belas juta
rupiah (UU No. 7/197),
Sebelum adanyaundang-undang
penertiban perjudian tanggal 6 Mopember
1974 lang yang mempergunakan
kesempatan main judi yang diadskan
dengan melanggar pasal 303 dikenakan
pasal 542 KUHP. Tetapi sejak adanya
Undang-Undang Penertiban Perjudian
itu, maka orang yang mempervunakan
‘esempatan main judidianggepmelanguar
Fbukum dengan sangsi yang telah diatur di
dalam pasal 303 K
Foto 2. Ssbung Ayam Seat Upacara Agama
Memosisikan Sabung Ayam: Antara
Judi dan Tabuh Rah
‘Apakah sabung yam itu
tergolong judi ataukah fabuh ra. Untuk
‘memosisikan secara proforsional dapat
dijelaskan sebagai berikut
Sabung ayam dapat dilatakan judi
apobila ada unsur pidona
ppidana tersebut antara lain: (1) sabung
yam itu merupakan suatu permainan, 2)
dolam permainan iww ada harapan untuk
menang/ mengadu nasib yang sifatnya
‘untung-untungan, (3) tidak ada izin dari
yang berwenang, dan (4) ada taruhan
Selain itu sabung ayam dikatakan judi
apabila: (1) sabung ayam difaksanakan
lebih dari tiga saet (telung peraharan),
@) tidak dilengkapi dengan adu-aduan
emir, telur, kelapa da. tidak disestai
uupakata yednya, G3) Ada taruhan dengan
harapan untuk ~venang, dan (4) tidak ada
iain dari aparat berwenang.
Sabung wyam dikatakan tobuh ral
apabila: (1) scbung ayam_dilaksanakan
hanya tiga saet (lelung perahatan: tiga
bobak), (2) sabung ayam_dilengkapi
dengan adu-aduan kemiri, telur, dan
Kelapa, (3) disertalupakara yadnya,
untuk wpacara pad suatu tempat, dan (4)
tidak ada ‘oh dedamping dan atau tidak
bermotif judi serta soutuhnya merupakan
bagian dari perwujudan iktlas berkorban
untuk upacara,
Pokar hukum adat dari Universitas
Udayana Prof. De Nyoman Sirtha, M.
enyatakan buhwa seeara sosiol
plaksanaan jen di Bali ada tiga
1. Pertama, fen dalam ritual (tabi
rol) yang lazim diadakan berkaitan
dengan upacara agama, Tubvh berart
imencecerkan dan rah adalah dara
(abu rah adalah bagian integral dari
ritus pengorbanan dsrah). Dengan
demikian, tgien yang tergolong
{abu rah ini tidak tergolong sebagai
kegiatan pelangearan hukum pidana
2. Kedua, wen teramg yang seca
sengajadigelarolch lembagndesaadat
untuk menggalang dana. Berdasarkan
fhukum adat, ‘em teramg permah
dianggap tidak melanggar hukum
pidana Karena di setiap desa adat
smemiliki fig yang mengatur
fala cara fajen kategori_tersebut,
imeskipun tidak tertulis. Taj teramg
dlilakukan terbuka dengan melibatkan
pecalang, Bahkan didabului
281nana Budaya Volume Keenambelas
dengan upacara kepada Mews Tien
‘agar tidax tradi perselisihan selama
‘cara berlangsung. Tetapi sejak
berlakuny. ketentuan hukum yang
terkait dengan Kegiatan verjudian
yyakni pasal 303 KUHP, ketentuan
Tokal(awig dea) harus diperkuatoleh
adanya izin resmi yang dikelwaskan
epolisian daerah (Polda Bali), Hal
iw dimaksudkan untuk menghindasi
adanya berbagaipenyimpangan
fungsi serta berbagai penafsiran
(polisem) kegiatan tersebut.
3, Ketiga, egjen branangan yang tampa
didahului izin kepala desa adat dan
‘semata-mata berorientasi judi
Berdasarkan uraian di atas dapat
dirumuskan posisiaajon (sabung
yam) di Bali melalui mode! berikut
i bawah,
Rumusan Model
Sabung Ayam (1ajen): Di Rawal
Budaya dan Hukum
wn
—e
‘att
oS
a)
| in
enioes
Se \
dime! Me
sascion a
Berdasarkan realitas seperti itu,
bahwa ‘ajen pada hakikatnya secara
internal, mendapat legitimasi, baik
22
+ Nomor 2 Vill/2011
secara sosial, individual, maupun
kultural (agama). Dengan demi
‘eksistensinya menjadi mapan di dalam
Kebudayaan Bali. Dalam posisinya
seperti inilah sabung ayam (tajen) di
Bali menjadi sulit untuk ditertibkan
‘da peluang untuk
dimanipulasi sehingga mengaburkan
Iwatas antara yang tergolong bagian
dari ritual keagamaan dan ataukah
praktik perjudian, Belum lagi untuk
Kategori zajen terang yang seringkali
telah diatur dan dianggap legal di
alain uger-nger desa (awig) sehingga
berdasarkanstatusnya seperti itu
menyebabkan posisinya di ranah
hukum (KUHP) masih sering menjadi
dilematis
Problema hukum yang gamang
dalam upaya untuk" menertibkan
sabuag ayam di Bali sesungguhnys
suah berlangsung sejak dahulu
kala dan berlanjut pada masa awal
pemerintahan Rl. pascakolonia,
sompai sek: Pada masa itu,
pemerintah juga menyadari bahwa
praktik sabung yam — memiliki
implikasi tuas dalam kehidupan
rmasyarakat, seperti: kemiskinan dan
kerettiban sosial, Pemerintah Hindia
Belanda secara berkalajugamelakukan
penettiban sabuing ayam ke pelosok-
pelosok di Bali, yaitu dikenal dengan
istilah “penggrebekan™. Bagi mereka
yang tertangkap, biasanya diberikan
hukuman yang cukup keras seperti
hhukum cambuk sambil dipamerkan
i dopan umum, dijemur ditengah
sinar matahari terik, disamping juga
melalui hukum denda
Geertz sendiri menuturkan
pengalamannya, ketika suatu saat
sedangmelakukan —pengamatanSabung Ayam (Tajen) di Balt: Di Amear~ Buda dan Huu (1 Gut Ketut Gde Arsana)
sobservasi) di tempat sabung ayam,
dan sempat diintograsi oleh polisi
polisi yan” umumnva adalah orang
Jawa. fa meyakinkan polisi itu bahwa
dirinyy adalah hanya _bermaksud
untuk melakukan penelitian tentang
kebudayaan di Bali atas.ijin
Pemerintah, dan menyatakan bahwa
dirinya adalah Profesor Antropologi
(Geertz, 1992 : 207).
Sikap yang terlampau represif
‘yang diterapkan para polisi Belanda
itv dalam upayanya untuk menertibkan
tajen seringkaliberujung texjadinya
perlawanan di masyarakat. Adanye
dukungan yang bersifat sosiologis
semacam itu menyebabkanposisi
hukum menjadi gamang. Belum lagi
harus menghadapi berbagai_prakiik
persekongkolan —antara—okmum
Penegak hukum dengan peayelenggara
sabungan ayam seperti juga dilaporken
Geertz, Dalam laporannya, Geertz
melukiskan bahwa polisi-polisi itu
masih bisa disogok oleh para bebotoh,
sehingga menyebabkan mereka urung
melakukan penertiban tajen, Dengan
demikian, mereka dapat bersabung
ayam secara leluasa (Geertz, 1992
209).
Tatkala_kepemimpinan Kapolds
Bali yang dijabat oleh orang Bali sendiri
yakni Bupak Made Mangku Pastik,
‘wacanapenertiban sabung ayam di
ddaesah ini sempat menggema kembali,
Dalam kepemimpinanaya itu, Kapolda
Bal tidak mengecualikan pemberian izin
bagi kegiatan sabung ayam walaupun
fal iu dilaksanaken untuk kepentingan
engumpulan dana dari desa_adat
Pengecualian hanya dapat ditolerir
apabila kesiatan tersebut berfungsi secara
integral dengan ritus keagumaan seperti
‘yang terdapat dalam sastra agama, Tetapi
bbegitu digantikan olch pejabat yang
lainnya, wacana itu kembali meredup
Surat Kabar lokal (Bali Post) juga sering
memberitakan bahwa sabung yam
(iajen) i Bali bukan saja merupakan
wilayah sosio-budaya tetapi lebih jauh
telah menjadi komuditas politik teruiama
pada inasa-masa kampanye piikada wtuk.
‘memperolch simpati dan dukungan suara
Dengan demikian, keberadaan sajen
(sabung ayam) di daerah ini berdonansi
seeara kultural (sacred canopy), sosial
(cotitas sosiologis), dan juga polits,
D, PENUTUP
Sabung ayam (tajen) dapat
dliksteyorikan sebagai praktik judi apabila
sabung ayam dilaksanskas lebih dari tiga
set, tidak dilengkapi dengan adu-aduan
telur, kemiri, dan Kelapa. Tidak disertai
tupakara yadnya, ada taruian dengan
harapan untuk menang dan tidak ada
izin dari aparat berwenang. Mengenai
Jud tertera dalam pasal 303 KUHP dan
‘ipertegas dengan Undang-undang No 7
tahun 1974, Atau dengan perkataan lain
egttan yang termasuk judi dalamsabung
yam memenubi unsur-unsur pidana
sntara fain; (1) adanya permainan, (2)
tidak adanys izin dari yang berwenang,
(3) bersifat_untung-untungan, dan 4)
‘adanya taruban
Sabungan ayam dapat dikatakan
fabult rah apabila dilsksanakan hanya
tiga pasang ayam jago (lung sact!telung
arahavan) yang dilengkapi dengan adu-
acuzn kemiri, telur, dan kelapa, dan
upakara yadnya walaupun secarasimbolik
jga discrtai toh dedamping yang tidak
bermotif judi. Rangkaian kegiatan tajen
yang tergolong scbagai tabuh rah ini
Sepenulnya diperuntuken sebagai bagian
283