Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHUUAN

A. Latar Belakang
Penggunaan obat tradisional sebagai alternatif pengobatan telah lama dilakukan jauh
sebelum ada pelayanan kesehatan formal dengan menggunakan obat-obatan moderen.
Namun, negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau yang didiami oleh berbagai suku
memungkinkan terjadinya perbedaan dalam pemanfaatan tanaman sebagai obat tradisional.
Hal ini disebabkan setiap suku memiliki pengalaman empiris dan kebudayaan yang khas
sesuai dengan daerahnya masing-masing. Kehidupan nenek moyang yang menyatu dengan
alam menumbuhkan kesadaran bahwa alam adalah penyedia obat bagi dirinya dan
masyarakat. Mulai dari sinilah berkembang pengertian obat tradisional. Menurut Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, obat tradisional merupakan produk yang terbuat dari bahan
alam yang jenis dan sifat kandungannya sangat beragam dan secara turun temurun telah
digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman (Depkes, 2007).
Obat-obatan adalah poin penting dalam dunia kesehatan. Seiring dengan banyaknya
manfaat dari obat-obatan tersebut ia akan terus menerus menyebabkan kerugian bagi
sejumlah orang yang menggunakannya. Selain efek yang diharapkan pada saat pemberian
obat kepada pasien, ada juga efek lain yang harus selalu diwaspadai dala penggunaannya
yang merupakan reaksi yang tidak dikehendaki (ROTD) atau dengan kata lain disebut
Adverse Drug Reaction (ADR) (Mariyono dan Suryana, 2008). Menurut World Health
Organization (WHO), Adverse Drug Reactions (ADR) adalah setiap efek berbahaya yang
tidak diinginkan dan terjadi secara tidak sengaja dari suatu obat, yang timbul pada
pemberian obat dengan dosis normal pada manusia untuk tujuan pencegahan, diagnosis atau
terapi, ataupun untuk modifikasi fungsi fisiologis (WHO, 1969).
Salah satu dari masalah akibat penggunaan obat adalah reaksi obat yang tidak
dikehendaki (adverse drug reactions). Peningkatan 3% sampai 12% jumlah pasien rawat inap
dan peningkatan 5% sampai 10% biaya perawatan di negara barat terjadi akibat dari ADR
obat (Christianie et al., 2007). Menurut April (2011), dari penelitian yang dilakukannya di
Puskesmas Ngemplak selama periode Februari-Mei 2011 diperoleh hasil 1,9% ADR menjadi
penyebab pasien dirawat inap, manifestasi klinik yang ditimbulkan dari ADR diantaranya
mual, muntah dan reaksi alergi.
Diabetes adalah masalah kesehatan masyarakat yang menjadi salah satu dari empat
penyakit tidak menular prioritas yang menjadi target tindak lanjut pemerintah. Jumlah kasus
dan prevalensi diabetes terus meningkat selama beberapa dekade terakhir. Berdasarkan data
WHO tahun 2016, diabetes menyebabkan 1,5 juta kematian pada tahun 2012. Gula darah
yang lebih tinggi dari batas maksimum mengakibatkan tambahan 2,2 juta kematian, dengan
meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan lainnya. Empat puluh tiga persen (43%)
dari 3,7 juta kematian ini terjadi sebelum usia 70 tahun (Khairani, 2019).
Menurut data dari Diabetes Atlas, tahun 2000 terdapat sekitar 151 juta penderita yang
jumlahnya meningkat menjadi 246 juta pada tahun 2007, kemudian bertambah menjadi 387
juta pada tahun 2014. Sama halnya di Indonesia, terjadi peningkatan tahun 2011 sampai 2014
seperti yang dilaporkan oleh organisasi Federasi Diabetes Internasional (International
Diabetes Federation atau IDF), Indonesia dari tahun 2011, 2012, 2013 dan 2014 menempati
urutan ke-9, ke-7, ke-7, dan ke-5 dari 10 negara terbanyak penderita diabetes mellitus di
dunia, yaitu sebesar 7,6 juta pada tahun 2012, meningkat menjadi 8,56 juta pada tahun 2013
dan pada tahun 2014 sebesar 9,1 juta jiwa. Pada tahun 2035, IDF memperkirakan penderita
diabetes mellitus di Indonesia menjadi 14,152 juta jiwa (Dwipayana, I. M. P., dan Wirawan,
2018).
Berdasarkan latar belakang diatas, tjuan penelitian ini adalah menganalisis kejadian
adverse drug reactions (ADRs) pada terapi DM tipe 2 untuk mengetahui probabilitis ADRs
yang terjadi disebabkan oleh obat, dan bukan karena factor lain. Daa ADRs yang didapat
dapat digunakan oleh farmasis dalam pharmaceutical care sebagai data untuk monitoring
pengobatan pasien DM sehingga dapat mencegah dan menimblkn terjadinya ADRs.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat disusun rumusan masalah :
1. Bagaimanakah kejadian ADRs pada pasien DM tipe 2 dan Outcome Klinis, melihat
Obat yang dicurigai, Klasifikasi ADRs dan Penyelesaian kasus ?
2. Bagaimanakah nilai perhitungan Naranjo Scale terhadap kejadian ADRs yang terjadi
pada pasien DM ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk melihat kejadian ADRs pada pasien DM tipe 2 dan Outcome Koinis, melihat
Obat yang dicurigai, Klasifikasi ADRs dan Penyelesaian kasus.
2. Untuk melihat nilai perhitungan Naranjo Scale terhadap kejadian ADRs yang terjadi
pda pasien DM.
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Untuk mengetahui bagaiman pengobatan DM tipe 2, serta golongan obat yang
digunakan, sehingga dapat melihat apakah ada ADRs yang ditimbulkan dari terapi
yang diberikan.
2. Manfaat Praktis
Untuk mengetahui bagaimana ADRs dari pengobatan DM tipe 2 yang kemudian
mampu menghitung nilai Naranjo scale sehingga mampu menggolongkannya.
Sehingga dalam obat terapi DM tipe 2 dapat diperhitungkan kembali.
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Kasus
Seorang pasien laki-laki atas nama Tn.KA (45th), pasien MRS dan terdiagnosa DM
tipe-2. Pasien sedang menggunakan obat antidiabetes konvensional menggunakan
monoterapi. Terapi yang diberikan kepada pasien yakni metformin 500 mg 2 kali sehari.
setelah pasien menerima terapi tersebut, Tn.KA mengeluhkan pusing, gemetar, diare dan
abdominal discomfort. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien menyatakan mengonsumsi
obat herbal yang mengandung Cinnamomum Burmanii dengan tujuan agar lebih efektif
menurunkan kadar DM pasien.
2.2 Kejadian ADRs dan outcome klinis yang terjadi
Pada kasus ini kejadian ADRs yang terjadi adalah mual, muntah, pusing, gemetaran,
diare dan paling banyak terjadi yakni abdominal discomfort. Nyeri Abdomen Akut mengacu
ke rasa nyeri di abdomen (perut) yang berkembang secara tiba-tiba. Sakit ini mungkin bisa
begitu parah sehingga orang tersebut harus dirawat di rumah sakit. Pada umumnya
gangguan klinis ini merupakan akibat usia dan kondisi fisik pasien.

2.3 Obat yang dicurigai atau menimbulkan ADRs


Pada kasus ini obat yang dicurigai atau menimbulkan ADRs adalah Cinnamomum
Burmanii Berdasarkan penelitian, menunjukkan bahwa kandungan kimia Cinnamomum
Burmanii ialah cinnamyl alcohol, cinnamaldehyde, dan coumarin. Kejadian dugaan efek
samping yang dialami oleh pasien setelah menggunakan Cinnamomum Burmanii berupa
abdominal discomfort dan diare. Menurut penelitian, menunjukkan bahwa cinnamomum
memberikan efek samping berupa ganguan GI berupa abdominal discomfort dan nausea.
Mekanisme persepsi nyeri dan ketidaknyamanan saluran pencernaan sangat kompleks.
Peregangan, peradangan, iskemia, pH, produk bakteri, mediator imun, neurotransmitter yang
berkaitan dengan nyeri visceral. Cinnamaldehyde (CAL) dimobilisasi oleh Ca2+ melepaskan
serotonin (5-HT) dari Enterochromaffin Cells (EC). Serotonin (5-HT) mengaktivasi vagal
ekstrinsik dan jaringan spinal afferent yang menghasilkan penundaan pengosongan lambung,
sekresi pankreas, kekenyangan, abdominal discomfort atau pain, serta mual dan muntah.
Aktivias biologi ellagitanin merupakan implikasi dari ikatan elagitanin dengan
protein, senyawa dengan berat molekul tinggi, senyawa sederhana, dan ion logam
membentuk kompleks senyawa yang dapat menyebabkan perubahan fisiologis dalam sel dan
jaringan makhluk hidup. Ellagitanin merupakan hidrosable tannin yang apabila diberikan
secara oral akan berpengaruh pada respon imun pada tingkat saluran cerna serta
mengekspresikan efek modulasi pada komposisi mikrobiota usus sehingga menyebabkan
diare.
2.4 Klasifikasi ADRs
Pada kasus ini ADRs yang terjadi pada obat Cinnamomum Burmanii termasuk dalam
ADRs A. dimana ADRs tipe A (Augmented) merupakan reaksi Adverse Drug Reaction tipe
A tergantung dengan dosis, terkait dengan aksi farmakologi obat, reaksi yang umum terjadi,
angka morbilitas yang tinggi dan angka kematian yang rendah. Pada kasus ini obat
Cinnamomum Burmanii yang ADRs yaitu pusing, gemetar, diare dan abdominal discomfort,
dimana terjadi karena pengaruh dari farmakologi obat Cinnamomum Burmanii serta
bergantung pada dosis obat tersebut sehingga digolongkan ADRs tipe A (Augmented).
Efek samping obat terkadang tidak dikenali dan dipahami oleh pasien pada
umumnya.
Adapun efek samping obat yang muncul meliputi pusing, gemetar, diare dan abdominal
discomfort. Untuk itu perlu manajemen yang baik dalam mengelola terapi obat antidiabetes
konvensional maupun kombinasi dengan obat herbal dengan mengenali gejala yang dialami
di luar keluhan penyakit pasien. Berdasarkan mekanisme terjadinya efek samping obat maka
dapat disarankan pasien untuk minum prebiotik dan probiotik (Ford et al., 2014).
2.5 Pemecahan masalah dari kasus
Penyelesaian untuk kasus ini dapat dilakukan dengan cara mengenali gejala yang
dialami pasien yang diluar dari keluhan penyakit pasien. Dalam penelitian Ulbricht et al.,
(2011) menyatakan bahwa cinnamomum memberikan efek samping berupa gangguan GI
berupa abdominal discomfort dan nausea. Jika pasien mengalami gejala efek samping maka
penggunaan cinnamomum dapat diberhentikan. Jika pasien ingin tetap menggunakan
cinnamomum maka perlu ditambahkan prebiotik dan probiotik sebagai pencegah efek
samping yang dialami pasien.
2.6 Perhitungan Naranjo Scale terhadap kejadian ADRs Kasus
Pada kasus ADRs pada pasien dihitung dengan menggunakan Naranjo scale untuk
menilai kasus ADRs yang terjadi. Berdasarkan laporan kasus yang terjadi menimbulkan
ADRs yang dinilai dengan Naranjo scale bernilai 4, yang berarti masuk kedalam kategori
possible, dimana obat cinnamomum mungkin menyebabkan ADRs. Berikut merupakan poin
scale dari alogaritma Naranjo :

4
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Adapun yang dapat disimpulkan :
1. Pada kasus ini obat yang dicurigai atau menimbulkan ADRs adalah
Cinnamomum Burmanii Berdasarkan penelitian, menunjukkan bahwa kandungan
kimia Cinnamomum Burmanii ialah cinnamyl alcohol, cinnamaldehyde, dan
coumarin. Kejadian dugaan efek samping yang dialami oleh pasien setelah
menggunakan Cinnamomum Burmanii berupa abdominal discomfort dan diare.
Menurut penelitian, menunjukkan bahwa cinnamomum memberikan efek samping
berupa ganguan GI berupa abdominal discomfort dan nausea. Mekanisme persepsi
nyeri dan ketidaknyamanan saluran pencernaan sangat kompleks.
2. Pada kasus ini ADRs yang terjadi pada obat Cinnamomum Burmanii termasuk dalam
ADRs A. dimana ADRs tipe A (Augmented) merupakan reaksi Adverse Drug
Reaction tipe A tergantung dengan dosis, terkait dengan aksi farmakologi obat,
reaksi yang umum terjadi, angka morbilitas yang tinggi dan angka kematian yang
rendah. Pada kasus ini obat Cinnamomum Burmanii yang ADRs yaitu pusing,
gemetar, diare dan abdominal discomfort, dimana terjadi karena pengaruh dari
farmakologi obat Cinnamomum Burmanii serta bergantung pada dosis obat tersebut
sehingga digolongkan ADRs tipe A (Augmented).
3. Penyelesaian untuk kasus ini dapat dilakukan dengan cara mengenali gejala yang
dialami pasien yang diluar dari keluhan penyakit pasien. Jika pasien mengalami
gejala efek samping maka penggunaan cinnamomum dapat diberhentikan. Jika
pasien ingin tetap menggunakan cinnamomum maka perlu ditambahkan prebiotik
dan probiotik sebagai pencegah efek samping yang dialami pasien.
4. Pada kasus ADRs pada pasien dihitung dengan menggunakan Naranjo scale untuk
menilai kasus ADRs yang terjadi. Berdasarkan laporan kasus yang terjadi
menimbulkan ADRs yang dinilai dengan Naranjo scale bernilai 4, yang berarti
masuk kedalam kategori possible, dimana obat cinnamomum mungkin menyebabkan
ADRs.
DAFTAR PUSTAKA

Ford, P., Chen P., J. Sun. 2014. Differentiation of the Four Major Species of Cinnamons (C.
burmannii, C. verum, C. cassia, and C. loureiroi) Using a Flow Injection Mass
Spectrometric (FIMS) Fingerprinting Method. J. Agric Food Chem.62(12).
Ulbricht C, Seamon E, Windsor RC, Armbruester N, Bryan JK, Costa D, et al. . 2011. An
evidence-based systematic review of cinnamon (Cinnamomum spp.) by the natural
standard research collaboration. J Diet Suppl8(4):378–454.

Anda mungkin juga menyukai