Anda di halaman 1dari 6

~ BENCANA, YANG TAK BERDOSA PUN IKUT TERKENA ~

 
Apakah Tuhan tak mampu menciptakan kehidupan yang tanpa penderitaan? Yaitu: tanpa
hal-hal negative, tanpa musibah, tanpa bencana, tanpa kemiskinan, tanpa penyakit, tanpa
kejahatan, tanpa kelaparan dan kehausan, tanpa korupsi dan kekerasan, tanpa keserakahan, tanpa
iri, dengki, dan berbagai keculasan..? Ooh, tentu saja mampu. Lha, kalau tidak mampu, buat apa
kita bertuhan kepada ‘sesuatu’ yang tidak mampu seperti itu? Cari Tuhan yang mampu
sajalah... ;)
Tetapi kalaupun Tuhan lantas membuat semua variable kehidupan ini menjadi positive,
tanpa ada negative, apakah hidup kita akan menjadi lebih menyenangkan? Hmm, jangan-jangan
kita salah duga. Apakah Anda pernah membayangkan betapa ‘tidak nikmatnya’ makan, ketika
kita sedang kenyang. Dan betapa ‘tidak nikmatnya’ minum, ketika sedang tidak haus? Dengan
kata lain, lapar dan haus itu sangat penting, karena dengan adanya lapar & haus itu kita menjadi
bisa merasakan nikmatnya makan dan minum. Kalau tidak percaya cobalah sendiri: makanlah
ketika sedang kenyang, dan minumlah ketika tidak haus. Rasanya ‘hambar’ atau bahkan menjadi
'eneg' karenanya. Sebaliknya, betapa nikmatnya makan ketika kita sedang kelaparan dan
kehausan. So, rasa lapar dan haus itu sengaja diciptakan Tuhan untuk kenikmatan manusia.
Pernah jugakah Anda membayangkan, betapa nikmatnya beristirahat setelah kecapekan?
Woow, tidur menjadi lelap, dan terasa nikmat luar biasa. Sebaliknya, betapa pusing dan sakitnya
kepala, tidur yang ‘dipaksa-paksakan dikarenakan badan memang tidak sedang kelelahan. Jadi,
betapa bijaksananya Allah yang telah menciptakan variabel ‘kelelahan’ itu. Karena dengannya,
DIA sedang memberikan karunia berupa ‘referensi’ tentang nikmatnya tidur.
Pernahkah juga Anda membayangkan betapa nikmatnya perasaan dan jiwa kita, sesaat
setelah lepas dari masalah berat? Dan betapa hambarnya hidup orang-orang yang tidak pernah
punya masalah? Yang tidak punya ‘tantangan’ untuk ditaklukkan. Yang tidak punya ‘problem’
untuk diselesaikan. Yang tidak punya ‘harapan-harapan’ indah di masa depan, karena semua
sudah tercukupi sekarang. Hhhh, betapa hambarnya. Sebuah kehidupan yang tanpa gairah..!
Justru hidup ini menjadi demikian indah karena ada penderitaan, sehingga kita punya
harapan untuk memupus penderitaan itu. Baik pada diri sendiri maupun pada orang lain. Hidup
ini juga menjadi indah karena ada kejahatan, sehingga kita bergairah untuk menebar kebaikan.
Hidup ini pun menjadi indah, karena ada kemiskinan, sehingga kita bisa merasakan sejahteranya
menjadi orang kaya, dan bersemangat untuk memberantas kemiskinan agar mereka juga
merasakan bahagia seperti kita
Betapa beratnya tertimpa bencana. Harta, benda, nyawa, dan segala yang kita cintai bisa
hilang seketika. Ujiankah atau siksa? Itulah pertanyaan yang sering berkecamuk dalam hati dan
pikiran kita. Tapi, barangsiapa bisa mengambil hikmah dari bencana, mereka bakal bangkit
menjadi umat yang kuat dalam menyusuri drama kehidupan untuk menuju kepada ridha-Nya.
  Banyak yang salah kaprah dan ’agak ceroboh’ dalam melihat sebuah bencana. Ada yang
langsung memvonis sebagai azab Allah. Ada pula yang ’menyelamatkan diri’ dengan
mengatakan ini sekedar ujian, padahal dia sebenarnya ikut menjadi penyebab bencana .
Ketidakjelasan dalam menyimpulkan sebuah musibah atau bencana akan membuat kita tidak bisa
mengambil hikmah yang ada di dalamnya.
  Jika kita mau mengambil sudut pandang holistik, Insya Allah kita bisa melihat sebuah
bencana secara lebih proporsional. Bahwa ada 2 jenis bencana yang bisa melanda manusia. Yang
pertama adalah, bencana yang bersifat alamiah. Dan yang kedua, adalah bencana yang
disebabkan oleh kesalahan manusia dalam mengelola alam.
  Bencana yang bersifat alamiah, adalah bencana yang memang sudah menjadi bawaan
alam. Bahwa alam semesta ini memang sedang menuju pada kerusakan yang semakin hari
semakin parah. Ibarat manusia, usianya sudah semakin tua. Otot-ototnya semakin kaku,
persendiannya bertambah lemah, otaknya mulai pikun, dan organ-organ di dalam tubuhnya mulai
mengalami mal fungsi. Maka, bermunculanlah penyakit degenerative alias penyakit tua, yang
tidak bisa tidak bakal mengenainya.
  Alam pun mengalami hal yang serupa. Bumi kita ini sudah sangat tua. Diperkirakan
sudah berumur sekitar 5 miliar tahun. Sudah mulai ’batuk-batuk’, dan ’otot-otot’ maupun
’persendiannya’ mulai lemah. Jadi, jangan heran semakin hari semakin banyak bencana dimana-
mana. Mulai dari angin badai, gempa bumi, gunung meletus, tsunami, berbagai anomali iklim,
dan lain sebagainya. Memang sudah bawaan alam.
  Bukan hanya bencana alam, melainkan juga musibah yang lain seperti kecelakaan
transportasi, kekacauan sosial-ekonomi-politik, munculnya berbagai kejahatan, dan lain
sebagainya. Inilah yang di dalam Fisika disebut sebagai peningkatan Entropi alam. Yakni,
bertambahnya kekacauan seiring dengan bertambahnya usia alam semesta.
Rasulullah pun sudah memprediksi sejak awal, bahwa semakin mendekati hari akhir, tingkat
kekacauan dan kejahatan akan semakin besar. Di segala bidang. Sehingga, kata Rasulullah,
berpegang pada petunjuk agama akan menjadi sedemikian beratnya. Bagaikan memegang bara
api. Digenggam terasa panas, dilepas kehilangan pegangan. Tapi sungguh, siapa yang tetap
istiqomah berpegang tali Allah akan selamat dunia dan akhirat.
       
        
... barangsiapa tidak mengikuti Thaghut (selain Allah) dan beriman hanya kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. QS. Al Baqarah (2): 256
         
      
Dan barangsiapa berserah diri kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebajikan, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah
kesudahan segala urusan. QS. Luqman (31): 22
Jadi, kita harus sudah bersiap diri bahwa ke masa depan tingkat kekacauan akan semakin besar.
Tapi, tidak usah gelisah dan khawatir, karena selama kita tetap berpegang teguh kepada petunjuk
Allah, Insya Allah akan selamat. Istilah ayat di atas adalah: hanya beriman kepada Allah,
berserah diri, dan berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya. Segala urusan berada di tangan-Nya,
dan terjadi sesuai kehendak-Nya.
  Jenis bencana yang kedua, adalah bencana yang ’semata-mata’ disebabkan oleh manusia.
Misalnya, banjir bandang, tanah longsor, kebakaran hutan, kekacauan musim disebabkan oleh
global warming, berbagai kekacauan dan kecelakaan, dan semacamnya. Di satu sisi, dipengaruhi
oleh entropi alam semesta yang meningkat sehingga ada ’dorongan’ munculnya kekacauan, disisi
lain dalam waktu bersamaan, manusia menambah ’dorongan’ itu dengan perbuatannya.
  Meskipun, kondisi alam semakin tua, sebenarnya jika manusia banyak berbuat kebajikan
dan tidak serakah dalam menjalani hidupnya, jenis bencana yang kedua ini bisa diminimalisir.
Kebakaran hutan, banjir, tanah longsor, global warming, dan semacamnya itu mestinya tidak
harus terjadi separah ini.
  Beberapa penyebab yang memicu bencana-bencana ’buatan’ ini adalah perusakan hutan
yang demikian parah, penggunaan bahan-bahan gas yang merusak lapisan ozon, emisi panas dari
industri dan transportasi yang berlebihan, dan sebagainya. Sehingga, mengganggu keseimbangan
alam. Selain itu, eksploitasi bahan-bahan tambang dari dalam perut Bumi yang demikian brutal
dalam dua abad terakhir, juga memperparah ketidak-seimbangan planet ini.
  Ibarat ban mobil, putaran bumi butuh keseimbangan. Jika ban mobil sudah tidak
seimbang, maka putarannya akan menyebabkan mobil bergetar. Dan kemudian, harus dilakukan
balancing terhadap bannya, dengan menambahkan lempeng-lempeng timah di velg mobil itu.
Dengan demikian, ban akan berputar seimbang kembali.
  Bayangkan, jika itu terjadi pada bumi yang sedang berputar kencang dengan kecepatan
rotasi sekitar 1600 km per jam. Tentu akan terjadi ketidak seimbangan di dalamnya. Memang
tidak seterasa pada bodi mobil, karena ukuran bumi sangat besar dibandingkan dengan kita
sebagai penghuni. Tetapi akan muncul getaran pada bagian dalam bumi, yang bisa menyebabkan
gerakan-gerakan lempeng bumi dan magma lebih aktif dari sebelumnya.
  Bumi berusaha mengembalikan keseimbangan dirinya, karena alam memang memiliki
mekanisme keseimbangan dinamis. Dan yang paling cepat bereaksi adalah bagian-bagian yang
cair, lembek, atau mengambang. Mereka akan bergerak menuju ke tempat-tempat tertentu untuk
membangun keseimbangan.
  Maka, proses mencari keseimbangan kembali itu akan menyebabkan magma dalam perut
bumi, lempeng tektonik, dan perilaku air menjadi lebih aktif. Sehingga memicu munculnya
gempa tektonik lebih sering dari sebelumnya, gunung-gunung lebih ’bergairah’ untuk
menghasilkan magma dan kemudian meletus, kemungkinan terjadi tsunami meningkat, serta
banjir dimana-mana akibat kacaunya pergerakan air dan hujan. Ini akan terus terjadi sampai
munculnya keseimbangan baru.
         
     
Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan oleh perbuatan tangan manusia,
supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka
kembali (ke jalan yang benar). QS. Ruum (30): 41
Jadi, meskipun berbagai bencana itu disebabkan oleh alam yang sedang mengalami kenaikan
entropi, manusia juga memiliki saham atas terjadinya semua bencana ini. Disadari maupun tanpa
disadari. Yang demikian ini, baru akan kelihatan jika kita mau melihat penyebabnya secara
holistik.
  Kebanyakan kita, terjebak pada penglihatan parsial atau sebagian-sebagian. Sehingga,
kita seringkali mengambinghitamkan alam belaka. Dan menghilangkan faktor manusia.
Khususnya, kejadian-kejadian di abad-abad terakhir. Namun, para ahli dan pemimpin dunia kini
sudah melihat korelasi yang demikian erat antara kerusakan planet Bumi dengan kesalahan
menejemen yang dilakukan oleh manusia. Karena itu, lantas muncul berbagai upaya untuk
menyelamatkan Bumi. Sayangnya, kepentingan politik dan keserakahan ekonomi seringkali
masih mengalahkan semua upaya itu.
  Lantas, bagaimanakah menyikapi bencana? Apakah ini ujian ataukan Azab Allah?
Menurut saya keduanya terjadi pada setiap ada bencana. Bergantung dari sisi mana kita
melihatnya dengan penuh kejujuran. Jika kita memang bersalah dalam bencana itu, tentu kita
harus melihatnya sebagai azab alias balasan atas perbuatan kita. Supaya kita segera menyadari
bahwa ada yang salah dengan perbuatan kita.
  Persis seperti peringatan ayat di atas. ’’Kami rasakan kepada mereka sebagian akibat
dari perbuatan mereka, agar mereka segera kembali...” Begitulah kata Allah. Sebab, kalau tidak
segera kita sadari, sungguh bencana berikutnya akan lebih besar lagi. Dan akan memakan korban
lebih banyak dari yang sudah terjadi.
  Dan celakanya, dampaknya bukan hanya mengena kepada pelaku kerusakan, melainkan
akan menimpa juga kepada orang-orang yang tidak bersalah. Persis seperti yang diceritakan
Allah dalam ayat berikut ini.
          
   
Dan peliharalah dirimu dari azab yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di
antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. QS. Al Anfaal (8): 25
Karena itu, kita diperintahkan Allah untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar, mengajak pada
kebaikan dan mencegah kejahatan. Itulah penyebabnya. Supaya jangan sampai terjadi kejahatan
yang dampaknya akan menimpa kita semua, meskipun kita tidak ikut-ikut berbuat.
  Jika ada orang yang merusak hutan, cegahlah. Karena jika tidak, maka efek banjir dan
tanah longsornya bukan hanya menimpa orang yang merusah hutan. Melainkan semua orang
yang berada di dekatnya. Semakin rusak, semakin besar akibatnya. Dan bersifat kolektif, bukan
hanya orang per orang.
  Ini mirip dengan penumpang perahu yang sedang berlayar di lautan. Kalau ada seorang
penumpang yang mau membocori perahu, cegahlah. Sebab kalau tidak dicegah, dan perahunya
tenggelam, yang tenggelam bukan hanya si pembocor perahu. Melainkan seluruh penumpang.
Nah, kita hidup di sebuah planet yang sama. Jika Bumi ini mengalami kerusakan, maka orang
yang tidak berdosa pun akan ikut terkena bencana.
  Ketika semua itu menimpa kita, bolehlah itu bisa disebut sebagai ujian. Karena, kita tidak
ikut berbuat kok ikut menerima akibatnya...!  Maka, siksa atau ujian itu bukan dilihat dari
bencananya. Melainkan dari sisi kita. Apakah Anda masuk dalam klasifikasi pelaku kerusakan
sehingga menimbulkan bencana, ataukah hanya sebagai korban saja. Keduanya tentu berbeda di
mata Allah.
  Jika ada seseorang yang sedang mencuri saat terjadi Tsunami, dan kemudian ia mati di
dalamnya, tentu saja dia mati dalam keadaan berdosa. Sebaliknya, jika ada orang yang mati di
dalamnya saat dia sedang berbuat kebajikan, tentu dia mati dalam keadaan khusnul khatimah.
Tidak seperti sebagian pendapat yang kita dengar, bahwa orang yang mati dalam sebuah bencana
adalah mati dalam keadaan syahid... :(
          
              

Dan segala musibah yang menimpa kalian (secara kolektif), adalah disebabkan oleh perbuatan
tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan itu).
Dan kalian tidak akan dapat melepaskan diri di muka bumi, dan kalian tidak akan memperoleh
seorang pelindung pun dan tidak pula seorang penolong kecuali (memohon perlindungan
kepada) Allah. QS. Asy Syuura (42): 30-31
  Dan lebih penting dari semua itu, Allah sedang mengajarkan kesabaran kepada kita
dengan adanya bencana. Jangankan kita yang manusia biasa, para Nabi dan Rasul pun diuji
dengan bencana. Tetapi mereka tetap teguh dan istiqomah di jalan Allah. Pantang menyerah,
terus berbuat kebajikan sampai ajal datang menjemput. Sungguh Allah menyukai orang-orang
yang sabar, dan selalu berbuat kebajikan dalam kondisi apa pun yang sedang ia terima...
          
           
Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut
(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di
jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak menyerah. Allah menyukai orang-orang yang sabar.
QS. Ali Imran (3): 146
Bukan seperti orang yang dikritik Allah dalam ayat berikut ini. Yaitu, mereka yang berbangga
hati dan lupa diri ketika diberi kenikmatan. Serta, berputus asa ketika diberi cobaan. Bukan.
Sungguh, Allah bakal memberikan balasan terbaiknya hanya kepada orang-orang yang istiqomah
dalam kebajikan dan kesabaran...
         
         
          
      
Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu
Kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak (tahu) berterima kasih. Dan
jika Kami rasakan kepadanya kebahagiaan sesudah bencana yang menimpanya, niscaya dia
akan berkata: "Telah hilang bencana-bencana itu daripadaku"; sungguh dia menjadi sangat
gembira lagi berbangga diri kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan selalu
mengerjakan amal-amal kebajikan; mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar.
QS. Huud (11): 9-11

Anda mungkin juga menyukai