Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Frozen Shoulder

1. Definisi Frozen Shoulder

Frozen shoulder merupakan suatu istilah yang merupakan wadah untuk

semua gangguan pada sendi bahu yang menimbulkan nyeri dan pembatasan

lingkup gerak sendi baik secara aktif mapun pasif yang disebabkan adanya

perlengketan kapsul sendi, yang sebenarnya lebih tepat untuk menggolongkannya

di dalam kelompok periarthritis (Sidharta, 1984).

Frozen shoulder merupakan penyakit dengan adanya nyeri atau kekakuan

bahu yang biasanya berlangsung selama 18 bulan. Proses ini sering berawal dari

perubahan-perubahan peradangan secara kronis kemudian menyebar meliputi otot

seluruh rotator cuff dan persendian sekitar yang mendasari (Appley, 2010).

2. Anatomi Fungsional Sendi Bahu

Shoulder joint merupakan sendi yang komplek pada tubuh manusia

dibentuk oleh tulang-tulang yaitu : scapula (shoulder blade), clavicula (collar

bone), humerus (upper arm bone), dan sternum. Daerah persendian bahu

mencakup empat sendi, yaitu sternoclavicular joint, glenohumeral joint,

acromioclavicular joint, scapulothoraca jointl. Empat sendi tersebut bekerjasama

secara secara sinkron. Pada sendi glenohumeral sangat luas lingkup geraknya.

5
6

Karena caput humeri tidak masuk ke dalam mangkok fossa glenoidalis yang

dangkal (Sidharta, 1984).

Sendi glenohumeral dibentuk oleh caput humeri yang bulat dan cavitas

glenoidalis scapula yang dangkal dan berbentuk buah per. Permukaan sendi

terdiri dari rawan hyaline, dan cavitas glenoidalis diperdalam oleh adanya labrum

glenoidale. Sendi glenohumeral merupakan sendi synovial, termasuk klasifikasi

sendi “ball and socket”. Sendi ini diperkuat oleh ligament glenoidalis, ligament

humeral tranversum, ligament coracohumeral dan ligament coracoacromiale,

serta kapsul sendi melekat pada cavitas glenoidalis dan collum anatomicum

humeri (Snell, 1997).

Gambar 2.1

Struktur bagian dalam sendi bahu dilihat dari depan (Putz, R & R. Pabst, 2002).
7

Adapun gerakan osteokinematika yang terjadi pada sendi glenohumeral

adalah sebagai berikut :

a. Gerakan abduksi shoulder

Gerakan ini dilakukan oleh otot deltoideus bagian tengah dan m.

Supraspinatus seperti yang ditunjukan pada gambar 2.2. Sesuai International

Standard Orthopaedic Measurement (ISOM) sendi bahu pada orang normal dapat

digerakkan abduksi sampai 180º (Russe, 1975).

b. Gerakan adduksi shoulder

Penggerak utama dari gerakan ini adalah m. pectoralis mayor dan laterale

seperti yang ditunjukan pada gambar 2.2. Sesuai standar ISOM sendi bahu pada

orang normal dapat digerakkan adduksi 45º (Russe, 1975).

c. Gerakan eksorotasi shoulder

Gerakan ini dilakukan oleh penggerak utama m. infraspinatus dan m. teres

minor seperti yang ditunjukan pada gambar 2.2. Sesuai standar ISOM sendi bahu

pada orang normal dapat digerakkan eksorotasi 60° pada posisi lengan disamping

tubuh dan 90° pada posisi lengan abduksi 90° (Russe, 1975).

d. Gerakan endorotasi shoulder

Penggerak utama adalah m. sub scapularis dan kemudian juga m. latisimus

dorsi dan m. teres mayor seperti yang ditunjukan pada ambar 2.2. Sesuai standar
8

ISOM sendi bahu pada orang normal dapat digerakkan endorotasi 90° pada posisi

lengan disamping tubuh dan 90° pada posisi lengan abduksi 90° (Russe, 1975).

e. Gerakan ekstensi shoulder

Otot penggerak pada gerakan ini adalah m. latisimus dorsi dan m. teres

mayor, sedangkan pada gerakan hiperekstensi m. teres mayor tidak berfungsi lagi,

hanya sampai 90º dan digantikan fungsinya oleh m. deltoideus posterior seperti

yang ditunjukan pada gambar 2.2. Sesuai standar ISOM sendi bahu pada orang

normal dapat digerakkan ekstensi sampai 45º (Russe, 1975)

f. Gerakan fleksi shoulder

Penggerak utamanya adalah m. deltoideus bagian anterior dan m.

supraspinatus dari 0º - 90º, sedangkan untuk 90º - 180º dibantu oleh m. pectoralis

mayor, m. coraco brachialis, dan m. biceps brachii seperti yang ditunjukan pada

gambar 2.2. Sesuai standar ISOM sendi bahu pada orang normal dapat digerakkan

fleksi 180º (Russe, 1975).

g. Gerakan sirkumduksi shoulder

Gerak ini merupakan suatu gerak kombinasi dari gerakan abduksi, adduksi,

eksorotasi, endorotasi, ekstensi dan fleksi shouder.


9

Gambar 2.2

Otot penggerak sendi bahu (Putz, R & R. Pabst, 2002).

Ada dua tipe dasar gerakan tulang atau osteokinematika adalah rotasi atau

gerakan berputar pada suatu aksis dan translasi merupakan gerakan menurut garis

lurus kemudian kedua gerakan tersebut akan menghasilkan gerakan tertentu dalam

sendi atau permukaan sendi yang disebut gerakan artrokinematika. Rotasi tulang

atau gerakan fisiologis akan menghasilkan gerakan roll-gliding di dalam sendi dan

translasi tulang menghasilkan gerakan gliding, traction ataupun compression

dalam sendi yang termasuk dalam joint play movement (Mudatsir, 2002).
10

Join play movement adalah istilah yang digunakan pada Manipulative

therapy untuk menggambarkan apa yang terjadi didalam sendi ketika dilakukan

gerakan translasi, geraka-gerakan tersebut dilakukan secara pasif oleh terapis

pada saat pemeriksaan maupun terapi. Ada 3 macam joint play movement : a.

Traction, b. Compression, c. Gliding.

a. Traction

Apabila translasi tulang arahnya tegak lurus dan menjauhi bidang terapi,

serta terjadi peregangan permukaan sendi disebut traksi, apabila tidak sampai

menimbulkan peregangan permukaan sendi disebut distraksi.

b. Compression

Apabila arah gerakan translasi tegak lurus terhadap dan kearah bidang

terapi, dan kedua permukaan sendi saling mendekat/ menekan disebut kompresi.

Apabila timbul nyeri akibat kompresi sendi, hal ini mengindikasikan adanya lesi

sendi.

c. Gliding

Apabila gerakan yang terjadi paralel sejajar dengan bidang terapi (bukan

sejajar dengan permukaan sendi), dan menimbulkan geseran/ luncuran antara

kedua permukaan sendi disebut gliding (Mudatsir, 2002).

Penting juga bagi fisioterapi untuk dapat melakukan pemeriksaan end feel.

End feel merupakan gerakan yang dilakukan mulai dari titik tempat tahanan

pertama dirasakan (first stop) sampai dengan tahanan terakir (final stop) dalam
11

lingkup gerak sendi tersebut. End feel pada hakekatnya adalah kualitas tahanan

pada akhir gerakan. End feel juga tergantung dengan karakteristik anatomi

persendian dan arah gerakan yang dilakukan.

Suatu end feel dikatakan patologis tempatnya berubah atau kualitasnya

berubah sehingga tidak sesuai dengan karakteristik end feel pada sendi tersebut

seperti final stop terasa lebih cepat atau lebih lambat dari normal atau kualitas

tahanannya tidak sesuai dengan karakteristik dari sendi tersebut. Sesuai dengan

karakteristik anatomi persendian glenohumeral yang mempunyai kapsul sendi

didalamnya dan diperkuat ligamentum maka sendi glenohumeral termasuk end

feel fisiologis atau normal yang berupa end feel kapsuler atau kapsuloligamenter

seperti pada saat terjadi gerakan rotasi bahu, karena pada gerakan tersebut terjadi

regangan kapsul sendi atau ligamentum. Adapun end feel fisiologis lainnya antara

lain end feel lunak dan end feel keras (Mudatsir, 2002).

3. Etiologi

Frozen shoulder dapat disebabkan oleh trauma, imobilisasi lama, imunologi,

serta hubungannya dengan penyakit lainnya, misal hemiparese, ischemic heart

disease, TB paru, bronchritis kronis dan diabetes mellitus dan diduga penyakit ini

merupakan respon autoimun terhadap rusaknya jaringan lokal (Appley, 2010).

Adapun beberapa teori yang dikemukakan American Academy of

Orthopedic Surgeon (2000) mengenai frozen shoulder, teori tersebut adalah :

a. Teori hormonal
12

Pada umumnya frozen shoulder terjadi 60% pada wanita bersamaan dengan

datangnya menopause.

b. Teori genetik

Beberapa studi mempunyai komponen genetik dari frozen shoulder,

contohnya ada beberapa kasus dimana kembar identik pasti menderita pada saat

yang sama.

c. Teori auto immuno.

Diduga penyakit ini merupakan respon auto immuno terhadap hasil-hasil

rusaknya jaringan lokal.

d. Teori postur.

Banyak studi yang belum diyakini bahwa berdiri lama dan berpostur tegap

menyebabkan pemendekan pada salah satu ligamen bahu.

4. Patologi

Frozen shoulder merupakan kelanjutan dari lesi rotator cuff, karena terjadi

peradangan atau degenerasi yang meluas ke sekitar dan ke dalam kapsul sendi dan

mengakibatkan terjadinya reaksi fibrous. Adanya reaksi fibrous dapat diperburuk

akibat terlalu lama membiarkan lengan dalam posisi impingement yang terlalu

lama (Appley, 2010).


13

Menurut Kisner (2007) frozen shoulder dibagi dalam 3 tahapan, yaitu :

a. Pain (Freezing) : ditandai dengan adanya nyeri hebat bahkan saat

istirahat, gerak sendi bahu menjadi terbatas selama 2-3 minggu dan masa akut ini

berakhir ampai 10- 36 minggu.

b. Stiffness (Frozen) : ditandai dengan rasa nyeri saat bergerak, kekakuan

atau perlengketan yang nyata dan keterbatasan gerak dari glenohumeral yang di

ikuti oleh keterbatasan gerak scapula. Fase ini berakhir 4-12 bulan.

c. Recovery (Thawing) : pada fase ini tidak ditemukan adanya rasa nyeri

dan tidak ada synovitis tetapi terdapat keterbatasan gerak karena perlengketan

yang nyata. Fase ini berakhir 2-24 bulan atau lebih.

5. Tanda dan gejala klinis

Tanda dan gejala klinis yang sering timbul pada penderita frozen shoulder

adalah sebagai berikut :

a. Nyeri

Pasien berumur 40-60 tahun, dapat memiliki riwayat trauma, sering kali

ringan, diikuti sakit pada bahu dan lengan. Nyeri berangsur-angsur bertambah

berat dan pasien sering tidak bisa tidur pada sisi yang terkena, setelah beberapa

bulan nyeri mulai berkurang, tetapi sementara itu kekakuan semakin menjadi,

berlanjut terus selama 6-12 bulan setelah nyeri menghilang. Secara berangsur-

angsur pasien dapat bergerak kembali, tetapi tidak lagi normal (Appley, 2010).

Nyeri dirasakan pada daerah otot deltoideus. Bila terjadi pada malam hari

sering sampai mengganggu tidur. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya


14

kesukaran penderita dalam mengangkat lengannya (abduksi), sehingga penderita

akan melakukan gerakan kompensasi dengan mengangkat bahu saat gerakan

mengangkat lengan yang sakit yaitu saat fleksi dan abduksi sendi bahu di atas 90º

atau disebut dengan shrugging mechanism. Juga dapat dijumpai adanya atropi otot

gelang bahu (dalam berbagai tingkatan). Sedangkan pemeriksaan neurologik

biasanya dalam batas normal (Kuntono, 2004).

b. Keterbatasan Lingkup Gerak Sendi

Frozen shoulder ditandai dengan adanya keterbatasan lingkup gerak sendi

glenohumeral yang nyata, baik gerakan aktif maupun pasif. Sifat nyeri dan

keterbatasan gerak sendi bahu dapat menunjukkan pola yang spesifik, yaitu pola

kapsuler. Pola kapsuler sendi bahu yaitu gerak eksorotasi paling nyeri dan terbatas

kemudian diikuti gerak abduksi dan endorotasi, atau dengan kata lain gerak

eksorotasi lebih nyeri dan terbatas dibandingkan dengan gerak endorotasi

(Kuntono, 2004).

Gambar 2.3

Pola kapsuler (Kuntono, 2004).


15

c. Penurunan kekuatan otot dan atropi otot

Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya kesukaran penderita dalam

mengangkat lengannya (abduksi) karena adanya penurunan kekuatan otot,

sehingga penderita akan melakukan gerakan kompensasi dengan shrugging

mechanism. Juga dapat dijumpai adanya atropi otot gelang bahu (dalam berbagai

tingkatan) (Kuntono, 2004). Biasanya tidak ada yang terlihat pada saat dilakukan

inspeksi hanya ditemukan sedikit pengecilan otot (Appley, 2010).

6. Komplikasi

Pada kondisi frozen shoulder yang berat dan tidak dapat mendapatkan

penanganan yang tepat dalam jangka waktu yang lama, maka akan timbul

problematik yang lebih berat antara lain : (1) Kekakuan sendi bahu, (2)

Kecenderungan terjadinya penurunan kekuatan otot-otot bahu, (3) Potensial

terjadinya deformitas pada sendi bahu, (4) Atropi otot-otot sekitar sendi bahu, (5)

Adanya gangguan aktivitas fungsional.

7. Diagnosis Banding

a. Tendinitis supraspinatus

Tendon otot supraspinatus sebelum berinsersio pada tuberkulum mayus

humeri, akan melewati terowongan pada daerah bahu yang dibentuk oleh kaput

humeri sebagai alasnya, serta acromion dan ligamen korako acromialis sebagai

penutup bagian atasnya. Disini tendon tersebut akan saling bertumpang tindih

dengan tendon dari kaput longus biceps. Adanya gesekan berulang-ulang serta
16

dalam jangka waktu yang lama oleh tendon biceps ini akan mengakibatkan

kerusakan pada tendo otot supraspinatus dan berlanjut sebagai tendinitis

supraspinatus. Pada pemeriksaan gerak dijumpai adanya painfull arc

supraspinatus 0-60 derajat keterbatasan gerak sendi bahu terutama abduksi dan

eksorotasi, nyeri tekan pada sekitar tendon otot supraspinatus, tes Appley stratch

dan tes Mosley positif (Kuntono, 2004).

b. Tendinitis bisipitalis

Tendinitis bisipitalis biasanya merupakan reaksi terhadap adanya trauma

akibat jatuh atau dipukul pada bahu, dengan lengan dalam posisi adduksi serta

lengan bawah dalam posisi supinasi atau dapat juga terjadi pada orang-orang yang

bekerja keras pada posisi di atas secara berulang kali. Pemeriksaan fisik pada

penderita tendinitis bisipitalis didapatkan adanya: adduksi sendi bahu terbatas,

nyeri tekan pada tendo otot biceps, tes Yergason disamping timbul nyeri juga

didapati penonjolan disamping medial tuberkulum minus humeri, berarti tendo

otot biceps tergelincir dan berada diluar sulkus bicipitalis sehingga terjadi

penipisan tuberkulum (Kuntono, 2004).

c. Bursitis subakromialis

Bursitis subakromialis merupakan peradangan dari bursa sub akromialis,

keluhan pertamanya adalah tidak dapat mengangkat lengan ke samping (abduksi

aktif), tetapi sebelumnya sudah merasakan pegal-pegal di bahu. Lokasi nyeri yang

dirasakan adalah pada lengan atas atau tepatnya pada insersio otot deltoideus di

tuberositas deltoidea humeri. Nyeri ini merupakan nyeri rujukan dari bursitis
17

subacromialis yang khas, ini dibuktikan dengan tidak adanya nyeri tekan pada

tuberkulum humeri. Pada pemeriksaan fisik dijumpai adanya painfull arc sub

acromialis 70º-120º, tes fleksi siku melawan tahanan pada posisi fleksi 90º

menjadikan rasa nyeri (Kuntono, 2004).

d. Ruptur rotator cuff

Otot rotator cuff dapat robek akibat kecelakaan, penderita langsung

merasakan nyeri di daerah persendian bahu dan atasnya. Hal ini umum terjadi

pada anak atau orang dewasa muda. Tetapi pada orang jompo, mereka tidak

merasakan nyeri, melainkan datang dengan keluhan bahwa lengannya lemas tidak

bisa berabduksi (Sidharta, 1984). Pada orang tua, ruptur dapat terjadi karena

trauma yang ringan saja, disebabkan oleh adanya degenerasi pada rotator cuff.

Pada pemeriksaan fisik penderita dapat melakukan abduksi sampai 90º, namun

bila meneruskan abduksi tersebut tidak dapat dan lengan jatuh atau dengan

dilakukan tes lengan jatuh (drop arm test). Gerakan pasif tidak terdapat nyeri atau

pembatasan lingkup gerakan (Kuntono, 2004).


18

B. Problematik Fisioterapi

Adapun berbagai macam gangguan yang timbul dari frozen shoulder adalah

sebagai berikut :

1. Impairment

Pada kasus frozen shoulder permasalahan yang ditimbulkan antara lain

adanya spasme otot penggerak bahu, adanya nyeri pada bahu dan keterbatasan

lingkup gerak sendi.

2. Functional limitation

Masalah-masalah yang sering ditemui pada kondisi-kondisi frozen shoulder

adalah keterbatasan gerak dan nyeri, oleh karena itu dalam keseharian sering

ditemukan keluhan-keluhan seperti tidak mampu untuk menggosok punggung saat

mandi, menyisir rambut, kesulitan dalam berpakaian, mengambil dompet dari

saku belakang kesulitan memakai pakaian dalam bagi wanita dan gerakan-gerakan

lain yang melibatkan sendi bahu (Apley, 2010).

3. Participation restriction

Seseorang yang mengalami frozen shoulder akan menemukan hambatan

untuk melakukan aktifitas sosial masyarakat karena keadaannya, hal ini

menyebabkan seseorang tersebut tidak percaya diri dan merasa kurang berguna

dalam masyarakat, tetapi pada umumnya frozen shoulder jarang menimbulkan

disability atau kecacatan.


19

C. Teknologi Intervensi

1. MWD (Micro Wave Diathermy)

Micro wave diathermy merupakan suatu pengobatan dengan menggunakan

stressor berupa energi elektromagnetik yang dihasilkan oleh arus listrik bolak-

balik dengan frekuensi 2450 MHz dan panjang gelombang 12,25 centimeter.

(Sujatno,dkk 2002).

Efek fisiologis dan terapeutik dari micro wave diathermy (MWD) antara lain

(1) meningkatkan metabolisme sel-sel lokal ± 13% setiap kenaikan suhu 1 0C, (2)

mengurangi nyeri, (3) mempercepat penyembuhan luka secara fisiologis, (4)

menormalisasikan tonus lewat efek sedatif dan (5) meningkatkan elastisitas

jaringan yang mempunyai kedalaman 3cm sehingga dapat mengurangi proses

kontraktur jaringan (Michlovitz, 1990).

Adapun kontra indikasi dalam pemberian MWD diantaranya sebagai berikut

1) logam pada tubuh, 2) gangguan peredaran darah/ pembuluh darah, 3) nilon dan

bahan lain yang tidak menyerap keringat, 4) jaringan dan organ yang mempunyai

banyak cairan seperti mata atau luka yang basah, 5) gangguan sensibilitas, 6)

kehamilan, 7) menstruasi.

2. Terapi Manipulasi

Terapi manipulasi merupakan suatu gerakan pasif dengan kecepatan tinggi,

amplitudo kecil dan pasien tidak bisa mencegah gerakan yang terjadi, terapi

manipulasi ini dapat menghancurkan phatological limitation pada sendi yang

mengalami keterbatasan (Kisner, 2007).


20

Sebelum melakukan mobilisasi sendi bahu maka harus dipahami tentang

pengertian permukaan sendi concave dan convex sebagai dasar arthrokinematik.

Pada sendi bahu, caput humeri berpermukaan convex sementara cavitas

glenoidalis berbentuk concave. Gliding akan berlawanan dengan arah gerak

tulang (osteokinematik). Sedang sendi yang berpermukaan concave arah gliding

(sliding) searah dengan tulang yang bergerak. Untuk traksi sendi bahu arahnya

adalah ke lateral, ventral cranial atau tegak lurus untuk permukaan sendi pada

posisi loose packed position. Pelaksanaan traksi bisa kesegala arah menurut

daerah keterbatasan (Mudatsir, 2002).

Gerakan translasi (traksi dan gliding) dibagi menjadi tiga gradasi. Gradasi

gerakan ini ditentukan berdasarkan tingkat kekendoran (slack) sendi yang

dirasakan fisioterapis saat melakukan gerakan pasif (Mudatsir, 2002).

Tingkat gradasi yang di maksud sebagai berikut :

a. Grade I Traksi merupakan gerakan dengan amplitudo sangat kecil

sehingga tidak sampai terasa adanya geseran permukaan sendi. Kekuatan gaya

tarik yang diberikan sebatas cukup untuk menetralisir gaya kompresi yang bekerja

pada sendi. Kombinasi antara tegangan otot, gaya kohevisitas kedua permukaan

sendi dan tekanan atmosfer menghasilkan gaya kompresi pada sendi.

b. Grade II Traksi dan Gliding dilakukan sampai terjadi slack taken up

jaringan di sekitar persendian menjadi meregang.

c. Grade III Traksi dan Gliding dilakukan sampai diperoleh slack taken up

kemudian diberi gaya lebih besar lagi sehingga jaringan di sekitar persendian

manjadi semakin teregang.


21

LINGKUP GERAK SENDI

Grade I Grade II Grade III

Kendor/Slack Tegang/Slack taken up Teregang/Stretch

Pada titik ini terjadi


ketegangan maksimum
sehingga mulai terjadi
regangan

Gambar 2.4

Gradasi gerakan untuk traksi dan gliding (Mudatsir, 2002).

3. Terapi Latihan

Terapi latihan merupakan salah satu modalitas fisioterapi yang digunakan

untuk memperbaiki dan mengembangkan kemampuan musculoskeletal menjadi

lbih baik (Kisner, 2007). Prinsip dasar dalam melakukan terapi latihan adalah

dilakukan dengan tehnik yang benar, teratur, berulang-ulang dan

berkesinambungan. Latihan ini dilakukan sebatas toleransi nyeri dengan

penambahan intensitas latihan secara bertahap.

a. Codman pendular exercise

Latihan ini merupakan teknik imobilisasi yang menggunakan gaya gravitasi

dengan menggerakan humerus dari fossa glenoidalis. Latihan ini dapat membantu

mengurangi nyeri dengan traksi ringan dan gerak isolasi dan memberikan gerak

awal dari struktur sendi dan cairan synovial. Ketika pasien menahan tarikan,
22

beban bertambah pada tangan atau pergelangan tangan untuk menyebabkan

pengalihan pada kekuatan sendi. Untuk melakukan tarikan pada sendi

glenohumeral dengan menstabilkan scapula terhadap thorak secara manual

(Kisner, 2007).

b. Finger ladder exercise / wall climbing exercise

Tujuan latihan dengan finger ladder exercise untuk membantu

meningkatkan lingkup gerak sendi serta membantu meningkatkan fleksibilitas

pada shoulder. Dengan jari-jari tangan seolah-olah memanjat di dinding sampai

batas toleransi pasien (Kisner, 2007).

Anda mungkin juga menyukai