1 Latar belakang
Transit-oriented development (TOD) merupakan salah satu pendekatan yang diadopsi dalam
perencanaan kota untuk mengatasi masalah akibat urbanisasi yang cepat, seperti kemacetan.
Peningkatan jumlah penumpang angkutan umum dan pengurangan penggunaan kendaraan bermotor
pribadi dengan mengubah lingkungan binaan merupakan salah satu subjek penelitian dalam
perencanaan kota.
Indikator paling umum untuk mengukur potensi TOD suatu area adalah yang disebut "3D", dari
Lingkungan Buatan, yaitu kepadatan ( Density ), keragaman (Diversity), dan desain ( Design)
(Cervero & Kockelman, 1997)). Ini diikuti oleh dua lagi indikator aksesibilitas tujuan dan jarak ke
transit (Ewing & Cervero, 2001; Ewing et al., 2009). Menunjukkan bahwa daerah dengan kepadatan
tinggi dengan penggunaan lahan yang beragam, desain yang berorientasi pada pejalan kaki / sepeda,
dengan aksesibilitas tujuan yang tinggi dan jarak yang rendah untuk transit merupakan faktor
lingkungan binaan yang dapat mengurangi penggunaan mobil dan mendorong penggunaan angkutan
umum.
TOD juga mendorong orang untuk menggunakan mode tidak bermotor dalam perjalanan mereka
ke node transit. Pergeseran dari mengemudi ke bersepeda atau berjalan kaki dapat mengurangi
kemacetan lalu lintas, jalan, dan biaya fasilitas parkir serta dampak lingkungan dan meningkatkan
kesehatan masyarakat (Kementerian Perhubungan Pekerjaan Umum dan Pengelolaan Air &
Fietsberaad, 2009).
Desain jalan yang mendukung berjalan kaki dan bersepeda dianggap sebagai salah satu faktor
yang akan meningkatkan "TOD", istilah yang pertama kali dikembangkan oleh Evans dan Pratt
(2007, p.17) yang berarti "... perangkat potensial untuk mempertimbangkan sejauh mana proyek
tertentu secara intrinsik berorientasi pada transit ”. Desain ruang kota yang membuat suatu area
dapat dilalui dengan berjalan kaki dan dapat didaur ulang dengan demikian merupakan pengaruh
penting untuk desain dan perencanaan TOD.
Penelitian ini difokuskan pada kemampuan bersepeda di lingkungan TOD. Lowry dkk. (2012)
mendefinisikan kemampuan bersepeda sebagai "penilaian dari seluruh jaringan jalur sepeda dalam
hal kemampuan dan kenyamanan yang dirasakan dan kemudahan untuk mengakses tujuan penting".
Pada penelitian ini akan dirumuskan definisi bikeability baru berdasarkan tinjauan literatur terkait
bike ability di lingkungan TOD. Dorongan bersepeda harus didukung dengan infrastruktur yang
memadai. Desain infrastruktur harus membuat bersepeda tidak hanya aman, tetapi juga mudah dan
nyaman bagi semua orang (Marques et al., 2015).
Sebuah studi oleh Amir et al. (2016) menemukan hubungan yang signifikan antara indeks
aksesibilitas infrastruktur sepeda dan pilihan moda sepeda peningkatan 10% dalam indeks
aksesibilitas menghasilkan Tujuan investasi dalam infrastruktur bersepeda di sekitar node transit
adalah untuk mempromosikan sepeda sebagai moda feeder untuk transit. Ketika infrastruktur
bersepeda di sekitar node transit memadai, TOD-an kawasan tersebut cenderung meningkat karena
transit akan dapat diakses juga dengan sepeda. Pemerintah daerah serta investor harus diyakinkan
bahwa investasi mereka dalam infrastruktur TOD efisien dan efektif.
Kota Jayapura merupakan ibu kota Provinsi Papua yang sedang berkembang, karena itu mobilitas
masyarakat dalam aktifitas sehari-hari terus meningkat. Topografi wilayah kota Jayapura banyak
memiliki gunung, membuat kota ini terdiri dari lima wilayah kecamatan (Distrik), yaitu Jayapura
Utara, Jayapura Selatan, Abepura, Muara Tami dan Heram.
Konsentrasi aktifitas kota Jayapura terdapat diempat kecamatan (distrik) utama, yaitu Jayapura
Utara, Jayapura Selatan, Abepura dan Heram. Dimana ruas jalan raya utama yang menghubungkan
ketiga wilayah ini masih sangat terbatas. Sehingga berdasarkan klasifikasi status jalan, ruas jalan di
kota Jayapura dibedakan menjadi tiga tipe yaitu jalan nasional, jalan propinsi, dan jalan kota.
Hampir semua ruas jalan raya dikota Jayapura masuk kedalam klasifikasi ruas jalan kota. Jalan
tersebut kebanyakan didesain dua lajur dua arah lebar jalan mulai dari 3–12 m.
Keadaan ini sangat berpengaruh terhadap tingkat pelayanan yang ada, sehingga jika tidak
diimbangi dengan peningkatan prasarana transportasi yang memadai, maka dampak yang
diakibatkan adalah timbulnya masalah lalulintas seperti kemacetan, tundaan, kecelakaan, dan
permasalahan lingkungan. Seiring dengan pertumbuhan penduduk di kota Jayapura, dan juga
pertumbuhan pusat-pusat perekonomian masyarakat yang terus berkembang, nampaknya juga
berpengaruh terhadap kemacetan lalulintas. Salah satu contoh yang terjadi di wilayah kecamatan
(distric) abepura, yaitu ruas jalan raya abepura yang merupakan lokasi penelitian, Intensitas
kemacetan lalulintas pada ruas jalan tersebut cenderung terus meningkat.
Kemacetan dijalan raya tersebut diduga berhubungan erat dengan penggunaan lahan dan
perubahan tatagunalahan disepanjang ruas jalan raya tersebut, serta perkembangan wilayah
disekitarnya. Dalam konsep (land use transport) yang dimaknai sebagai hubungan timbale balik
tataguna lahan dan transportasi, dijelaskan bahwa antara keduanya terdapat keterkaitan satu dengan
yang lainnya. Penggunaan lahan dengan berbagai zona–zona peruntukan serta aktivitas didalam zona
maupun antar zona memerlukan transportasi.
Didalam konteks tersebut terjadinya interaksi akan menimbulkan pergerakan manusia, atau
pergerakan barang dalam bentuk pergerakan kendaraan sehingga menimbulkan bangkitan dan
tarikan (Tamin, 1997:90). Inilah salah satu alasan mengapa ada kebutuhan untuk lebih memahami
bagaimana mengukur kemampuan bersepeda di lingkungan TOD. Tingkat kemampuan bersepeda
yang tinggi akan meyakinkan pemerintah bahwa investasi infrastruktur mereka layak. Di sisi lain,
pemerintah daerah diharapkan dapat meningkatkan infrastruktur bersepeda di daerah yang kurang
dapat didaur ulang di sekitar node transit.