Anda di halaman 1dari 15

1.

1 Latar belakang
Transit-oriented development (TOD) merupakan salah satu pendekatan yang diadopsi dalam
perencanaan kota untuk mengatasi masalah akibat urbanisasi yang cepat, seperti kemacetan.
Peningkatan jumlah penumpang angkutan umum dan pengurangan penggunaan kendaraan bermotor
pribadi dengan mengubah lingkungan binaan merupakan salah satu subjek penelitian dalam
perencanaan kota.
Indikator paling umum untuk mengukur potensi TOD suatu area adalah yang disebut "3D", dari
Lingkungan Buatan, yaitu kepadatan ( Density ), keragaman (Diversity), dan desain ( Design)
(Cervero & Kockelman, 1997)). Ini diikuti oleh dua lagi indikator aksesibilitas tujuan dan jarak ke
transit (Ewing & Cervero, 2001; Ewing et al., 2009). Menunjukkan bahwa daerah dengan kepadatan
tinggi dengan penggunaan lahan yang beragam, desain yang berorientasi pada pejalan kaki / sepeda,
dengan aksesibilitas tujuan yang tinggi dan jarak yang rendah untuk transit merupakan faktor
lingkungan binaan yang dapat mengurangi penggunaan mobil dan mendorong penggunaan angkutan
umum.
TOD juga mendorong orang untuk menggunakan mode tidak bermotor dalam perjalanan mereka
ke node transit. Pergeseran dari mengemudi ke bersepeda atau berjalan kaki dapat mengurangi
kemacetan lalu lintas, jalan, dan biaya fasilitas parkir serta dampak lingkungan dan meningkatkan
kesehatan masyarakat (Kementerian Perhubungan Pekerjaan Umum dan Pengelolaan Air &
Fietsberaad, 2009).
Desain jalan yang mendukung berjalan kaki dan bersepeda dianggap sebagai salah satu faktor
yang akan meningkatkan "TOD", istilah yang pertama kali dikembangkan oleh Evans dan Pratt
(2007, p.17) yang berarti "... perangkat potensial untuk mempertimbangkan sejauh mana proyek
tertentu secara intrinsik berorientasi pada transit ”. Desain ruang kota yang membuat suatu area
dapat dilalui dengan berjalan kaki dan dapat didaur ulang dengan demikian merupakan pengaruh
penting untuk desain dan perencanaan TOD.
Penelitian ini difokuskan pada kemampuan bersepeda di lingkungan TOD. Lowry dkk. (2012)
mendefinisikan kemampuan bersepeda sebagai "penilaian dari seluruh jaringan jalur sepeda dalam
hal kemampuan dan kenyamanan yang dirasakan dan kemudahan untuk mengakses tujuan penting".
Pada penelitian ini akan dirumuskan definisi bikeability baru berdasarkan tinjauan literatur terkait
bike ability di lingkungan TOD. Dorongan bersepeda harus didukung dengan infrastruktur yang
memadai. Desain infrastruktur harus membuat bersepeda tidak hanya aman, tetapi juga mudah dan
nyaman bagi semua orang (Marques et al., 2015).
Sebuah studi oleh Amir et al. (2016) menemukan hubungan yang signifikan antara indeks
aksesibilitas infrastruktur sepeda dan pilihan moda sepeda peningkatan 10% dalam indeks
aksesibilitas menghasilkan Tujuan investasi dalam infrastruktur bersepeda di sekitar node transit
adalah untuk mempromosikan sepeda sebagai moda feeder untuk transit. Ketika infrastruktur
bersepeda di sekitar node transit memadai, TOD-an kawasan tersebut cenderung meningkat karena
transit akan dapat diakses juga dengan sepeda. Pemerintah daerah serta investor harus diyakinkan
bahwa investasi mereka dalam infrastruktur TOD efisien dan efektif.
Kota Jayapura merupakan ibu kota Provinsi Papua yang sedang berkembang, karena itu mobilitas
masyarakat dalam aktifitas sehari-hari terus meningkat. Topografi wilayah kota Jayapura banyak
memiliki gunung, membuat kota ini terdiri dari lima wilayah kecamatan (Distrik), yaitu Jayapura
Utara, Jayapura Selatan, Abepura, Muara Tami dan Heram.
Konsentrasi aktifitas kota Jayapura terdapat diempat kecamatan (distrik) utama, yaitu Jayapura
Utara, Jayapura Selatan, Abepura dan Heram. Dimana ruas jalan raya utama yang menghubungkan
ketiga wilayah ini masih sangat terbatas. Sehingga berdasarkan klasifikasi status jalan, ruas jalan di
kota Jayapura dibedakan menjadi tiga tipe yaitu jalan nasional, jalan propinsi, dan jalan kota.
Hampir semua ruas jalan raya dikota Jayapura masuk kedalam klasifikasi ruas jalan kota. Jalan
tersebut kebanyakan didesain dua lajur dua arah lebar jalan mulai dari 3–12 m.
Keadaan ini sangat berpengaruh terhadap tingkat pelayanan yang ada, sehingga jika tidak
diimbangi dengan peningkatan prasarana transportasi yang memadai, maka dampak yang
diakibatkan adalah timbulnya masalah lalulintas seperti kemacetan, tundaan, kecelakaan, dan
permasalahan lingkungan. Seiring dengan pertumbuhan penduduk di kota Jayapura, dan juga
pertumbuhan pusat-pusat perekonomian masyarakat yang terus berkembang, nampaknya juga
berpengaruh terhadap kemacetan lalulintas. Salah satu contoh yang terjadi di wilayah kecamatan
(distric) abepura, yaitu ruas jalan raya abepura yang merupakan lokasi penelitian, Intensitas
kemacetan lalulintas pada ruas jalan tersebut cenderung terus meningkat.
Kemacetan dijalan raya tersebut diduga berhubungan erat dengan penggunaan lahan dan
perubahan tatagunalahan disepanjang ruas jalan raya tersebut, serta perkembangan wilayah
disekitarnya. Dalam konsep (land use transport) yang dimaknai sebagai hubungan timbale balik
tataguna lahan dan transportasi, dijelaskan bahwa antara keduanya terdapat keterkaitan satu dengan
yang lainnya. Penggunaan lahan dengan berbagai zona–zona peruntukan serta aktivitas didalam zona
maupun antar zona memerlukan transportasi.
Didalam konteks tersebut terjadinya interaksi akan menimbulkan pergerakan manusia, atau
pergerakan barang dalam bentuk pergerakan kendaraan sehingga menimbulkan bangkitan dan
tarikan (Tamin, 1997:90). Inilah salah satu alasan mengapa ada kebutuhan untuk lebih memahami
bagaimana mengukur kemampuan bersepeda di lingkungan TOD. Tingkat kemampuan bersepeda
yang tinggi akan meyakinkan pemerintah bahwa investasi infrastruktur mereka layak. Di sisi lain,
pemerintah daerah diharapkan dapat meningkatkan infrastruktur bersepeda di daerah yang kurang
dapat didaur ulang di sekitar node transit.

1.2 Rumusan Masalah


1. TOD pusat area dengan stasiun transit atau stasiun pemberhentian ( stasiun kereta, Stasiun
Metro, pemberhentian bus dan sebagainyan). Contohnya infrastruktur yang mendukung
kegiatan masyarakatnya seperti tempat tinggal, perkantoran, pusat perbelanjaan.
2. TOD Didesain untuk meciptakan ruang kota yang lebih yang lebih hidup yang berorientasi
pada para pejalan kaki dan pengguna transportasi publik. Bagaimana system TOD kota
kelompok anda, apakah telah menerapkan metode pengembangan kawasan urban yang
memaksimalkan jumlah ruang hunian, kawasan bisnis dan tempat hiburan dengan jarak yang
dekat dari akses transportasi umum.
3. Bagaimana TOD daerah case study anda metode urban planning yang mengintegrasi kan
pengunaan transportasi umum dengan kawasan urban yang padat.
4. Tujuan dari metode TOD adalah untuk meningkatkan penggunaan moda transportasiumum.
Bagaimana kondisi transpotasi umum untuk kota pilihan anda, adakah hal baru atau system
transportasi yg dapat di adopsi untuk kota Jayapura .
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menerapkan sistem TOD yang ada di negara belanda :
1. Untuk meninjau metode dalam literatur yang mengukur kemampuan bersepeda
2. Untuk merancang indeks kemampuan bersepeda yang sesuai dalam konteks TOD
3. Untuk mendemonstrasikan penerapan kemampuan bersepeda dalam studi kasus kota
jayapura
1.2 Manfaat
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep TOD di Kota Arnhem
Konsep Transit Oriented Development pertama kali diperkenalkan oleh Calthorpe (1993).
Dianggap sebagai pelopor konsep TOD, Calthorpe telah mendefinisikan TOD sebagai komunitas
serba guna dalam jarak 2000 kaki (sekitar 600 meter) dengan berjalan kaki dari halte transit dan area
komersial inti. TOD memadukan perumahan, ritel, kantor, ruang terbuka, dan penggunaan publik
dalam lingkungan yang dapat dilalui dengan berjalan kaki, sehingga memudahkan penghuni dan
karyawan untuk bepergian dengan angkutan umum, sepeda, berjalan kaki atau mobil (Calthorpe,
1993). Lingkungan yang dapat dilalui dengan berjalan kaki adalah konsep utama TOD.
Menurut Calthorpe, mendorong orang untuk berjalan kaki dapat mengurangi penggunaan mobil,
termasuk berjalan kaki ke dan dari titik transit. Pengembangan Berorientasi Transit Indikator untuk
mengukur PTK yang disebut 3D dikemukakan oleh Cervero dan Kockelman (1997) yaitu kepadatan,
keragaman dan desain dan diikuti oleh dua indikator lagi yaitu aksesibilitas tujuan dan jarak ke
transit (Ewing et al., 2009; Ewing & Cervero, 2001) menyelesaikan 5D dari lingkungan binaan
TOD. Massa jenis diukur sebagai variabel minat per unit luas. Variabel minat dapat berupa populasi,
pekerjaan, luas lantai bangunan, unit hunian, dll.
Perbedaan langkah-langkah tersebut berkaitan dengan jumlah penggunaan lahan yang berbeda di
suatu wilayah tertentu. Nilai yang rendah menunjukkan penggunaan lahan tunggal dan nilai yang
lebih tinggi menunjukkan penggunaan lahan yang lebih bervariasi. Aksesibilitas tujuan mengukur
kemudahan akses ke atraksi perjalanan. Jarak untuk transit diukur sebagai rata-rata rute jalan
terpendek dari tempat tinggal atau tempat kerja ke titik transit terdekat di suatu area.
Rancangan Variabel terkait dengan karakteristik jalan, penyediaan pejalan kaki dan bersepeda
serta desain lokasi yang menarik orang untuk berjalan kaki dan bersepeda. Desain jalan yang
mempromosikan berjalan kaki dan bersepeda adalah faktor yang meningkatkan TOD-ness dari node
transit. Aspek lingkungan (atau karakteristik) yang mendukung aktivitas berjalan kaki dan bersepeda
dianggap sebagai faktor yang meningkatkan penggunaan angkutan umum. Ruang publik untuk
berjalan kaki dan bersepeda perlu dirancang dengan baik agar menarik, mengundang dan terasa
aman untuk segala usia. Beberapa penelitian bertujuan untuk menilai kinerja suatu area TOD.
Evans & Pratt (2007) mengembangkan indeks TOD untuk mengukur “TOD-an” pembangunan
perkotaan di beberapa kota di AS. Demikian pula, Singh (2015) mengembangkan indeks TOD untuk
menilai TOD-an area di sekitar 21 stasiun kereta yang membentuk TOD di wilayah Arnhem-
Nijmegen, di Belanda. Tingkat TOD yang tinggi menyiratkan orientasi transit atau TOD-an yang
lebih tinggi. Oleh karena itu, menilai tingkat TOD suatu daerah sangat membantu dalam memahami
bagaimana suatu daerah berorientasi transit dan karena alasan apa.
Beberapa metode untuk mengukur kemampuan bersepeda telah dikembangkan di masa lalu
untuk mengukur kemampuan bersepeda berdasarkan atribut fasilitas bersepeda, menggabungkannya
menjadi skor. Istilah yang umum digunakan adalah indeks, tingkat layanan, peringkat dan skor.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur kemampuan bersepeda di suatu wilayah studi
berdasarkan indikator. Beberapa studi mengukur kemampuan bersepeda dari jalur bersepeda tertentu
(Botma, 1995; Davis, 1995; Dixon, 1996; Epperson, 1994; Jensen, 2007; Landis, 1994; Petritsch et
al., 2007; Sorton & Walsh, 1994; Manual Kapasitas Jalan Raya, 2011) sedangkan penelitian lain
difokuskan pada kondisi jalan atau kawasan dalam rangka membangun jalur sepeda baru (Emery &
Crump, 2003; Krenn, Oja, & Titze, 2015; Lowry.
Beberapa faktor akan mendorong pengendara sepeda sementara faktor lainnya menjadi hambatan
untuk bersepeda. Sebagai contoh adalah studi oleh Rybarczyk dan Gallagher (2014) yang meneliti
tentang berjalan kaki dan bersepeda di universitas komuter metropolitan. Mereka menunjukkan
bahwa rute sepeda yang lebih aman, pencahayaan yang lebih baik, dan pengendara sepeda yang
terlihat akan mendorong pengajar, staf, dan siswa untuk bersepeda. Selain itu, beberapa faktor yang
diidentifikasi sebagai hambatan bersepeda seperti cuaca buruk, berkurangnya keamanan sepeda,
kriminalitas, ketakutan akan keselamatan diri dan kurangnya jalur sepeda.
Pengembangan indeks di berbagai wilayah studi mempertimbangkan faktor-faktor yang penting
dan signifikan bagi wilayah tersebut. Mesa dan Barajas (2013) mengembangkan indeks kemampuan
bersepeda untuk Cali, sebuah kota di Kolombia, yang memperhitungkan empat faktor: infrastruktur,
kualitas lingkungan, topografi, dan keamanan. Metodologi untuk mengembangkan model tersebut
melibatkan regresi berbobot. Karena kurangnya infrastruktur bersepeda, faktor ini dianggap tidak
penting bagi pengendara sepeda. Selain itu, topografi dianggap sebagai faktor yang tidak penting
karena daerah ini memiliki lereng yang landai.
Krenn dkk. (2015) mengembangkan indeks kemampuan bersepeda untuk menilai keramahan
sepeda di lingkungan perkotaan dan memvisualisasikannya pada peta kemampuan bersepeda
berdasarkan data Sistem Informasi Geografis (SIG). Variabel yang termasuk dalam indeks
kemampuan bersepeda ini adalah infrastruktur bersepeda, keberadaan jalur sepeda yang terpisah,
jalan utama tanpa jalur sepeda paralel, kawasan hijau dan perairan serta topografi. Tiga komponen
lingkungan (infrastruktur bersepeda, jalur sepeda, dan kawasan hijau) berhubungan positif, dan dua
komponen (jalan utama, dan topografi) berhubungan negatif dengan rute yang digunakan.
Di Belanda, di mana kondisi alam dan infrastrukturnya kondusif, sepeda merupakan akses yang
berpotensi menarik untuk kereta api karena memungkinkan pelancong menghindari menunggu di
halte bus, metro atau kereta api (Rietveld, 2000). Menurut Bach (2006), lima aspek yang harus
dipertimbangkan untuk desain infrastruktur bersepeda: koherensi, keterusterangan, daya tarik,
keamanan, dan kenyamanan.
Studi Dill (2004) menunjukkan bahwa konektivitas sebagai tujuan umum dari jaringan
transportasi yang menghubungkan orang dan tujuan mereka. Keterhubungan jaringan bersepeda
dengan memperhatikan keterusterangan dan keterpaduan dapat dijadikan kriteria dalam indeks
bikeablity. Berdasarkan hasil penelitian, untuk mengukur konektivitas, indikator yang digunakan
adalah kepadatan simpang, kepadatan jalur bersepeda, dan arah rute bersepeda.
Berdasarkan studi tersebut, merangkum indikator yang digunakan untuk mengukur kemampuan
bersepeda. Dapat disimpulkan bahwa indikator yang paling umum adalah volume lalu lintas,
kecepatan lalu lintas, lebar lajur, perkerasan kualitas jalan, dan topografi. Oleh karena itu, kondisi
lalu lintas dan aspek infrastruktur dipandang sebagai kriteria terpenting untuk mengukur kemampuan
bersepeda. Selain itu, layanan sepeda-ke-transit (jalan setapak, jalur sepeda on-road, dan parkir
sepeda) akan memperbesar tangkapan area transit karena moda publik dapat dijangkau oleh orang-
orang yang berada di luar jarak berjalan kaki ke halte transit.
Antar moda juga dipandang sebagai cara untuk mengintegrasikan moda tidak bermotor dengan
angkutan umum. Agar integrasi ini berhasil, penyediaan jalur bersepeda di sepanjang jalan sangat
penting dan juga kualitas parkir sepeda yang baik (termasuk keamanan sepeda, perlindungan dari
cuaca, lokasi yang sesuai, kemudahan penggunaan dan biaya rendah atau tanpa biaya. biaya parkir
sepeda) (Salleh et al., 2014). Selain itu, beberapa program yang harus diusulkan seperti bike sharing
(persewaan sepeda) dan penyediaan hub sepeda, shower, ruang ganti, bengkel sepeda, dan kafe. Di
Belanda, semua kota besar dan menengah di Belanda dihubungkan oleh sistem kereta api nasional.
Bersepeda sejauh ini merupakan mode akses terpenting ke sistem ini . Studi oleh Kager, Bertolini,
dan Brömmelstroet (2016), yang mengeksplorasi karakteristik yang berbeda dari kombinasi sepeda-
kereta di Belanda, menyimpulkan bahwa bersepeda meningkatkan catchment area dari stasiun kereta
api secara signifikan.
Di Belanda, fasilitas parkir di sekitar stasiun sangat umum, memberikan ruang bagi pengendara
sepeda untuk menyimpan sepedanya sebelum melakukan perjalanan dengan bus atau kereta api.
Namun beberapa stasiun tidak mampu menyediakan kondisi fasilitas parkir yang layak, misalnya
karena sudah mencapai kapasitas penuhnya, seperti yang ditunjukkan Gambar 1. Oleh karena itu,
kriteria parkir juga harus disertakan untuk mengukur kemampuan bersepeda di sekitar area TOD.
Parkir di stasiun dipandang sebagai salah satu aspek penting antar moda. Studi Van der Spek dan
Scheltema (2015) menegaskan bahwa manajemen penyimpanan sepeda di stasiun kereta penting
untuk menggantikan perjalanan mobil dengan perjalanan bersepeda.

Gambar 1 : Parkir Sepeda di Stasiun kereta Utrect


Area TOD umumnya terletak dalam radius seperempat hingga satu setengah mil (400 hingga
800 m) dari halte transit, masing-masing sesuai dengan 5 menit atau 10 menit berjalan kaki.
Untuk penelitian ini, karena fokusnya adalah bersepeda ke stasiun kereta api, maka skala spasial
perlu diperluas. Dalam studi ini, tiga skala spasial dipilih untuk dianalisis, dengan radius 800,
1600 dan 2400 meter untuk menilai karakteristik lingkungan binaan di sekitar stasiun kereta api,
dan dengan interval yang sama antar skala
Gambar 2. Contoh area TOD (800 meter)
Dalam beberapa kasus, area TOD saling tumpang tindih karena jarak antar stasiun kereta
lebih kecil dari radius area TOD. Tumpang tindih ini tidak dianggap sebagai masalah
karena penilaian masih pada semua jalur sepeda di sekitar stasiun kereta. Sehingga
keberadaan stasiun lain di wilayah tersebut tidak diperhitungkan dalam perhitungan.
Konsekuensi dari perlakuan ini adalah beberapa jalur sepeda digunakan lebih dari satu kali
untuk penghitungan. Gambar 5 menunjukkan contoh area TOD yang tumpang tindih.

Gambar 3 contoh area TOD yang tumpang Tindih


Atribut data spasial yang diperoleh dari Dutch Cycling Union diterjemahkan dari bahasa
Belanda ke dalam bahasa Inggris. Setelah pembersihan data, hanya segmen yang sesuai
dengan jalur bersepeda yang dipertimbangkan untuk analisis, yaitu jalan yang tidak diizinkan
untuk bersepeda yang dikecualikan. Namun, atribut lalu lintas bermotor (seperti kecepatan
maksimum) juga terdapat pada atribut jaringan bersepeda. Atribut lain yang berguna dari
dataset ini terkait dengan gangguan lalu lintas, jenis jalan, kualitas permukaan jalan,
penerangan jalan, air, estetika, area dalam bangunan, area hijau, dan kemiringan maksimum
yang dijelaskan pada tabel 1 di Kota Arnhem.
Tabel 1. Contoh Kriteria dan indikator di Kota Arnhem
Kriteria Indikator Pengukuran Variabel Pengukuran Tingkat
Rasio jalur sepeda di jalan dengan
kecepatan maksimum 30 km / jam
1
Bermotor maksimal Rasio jalur sepeda dengan
Rasio jalur sepeda di jalan dengan
Kecepatan maksimum rendah 0.67
kecepatan maksimum 50 km / jam
kecepatan bermotor Rasio jalur sepeda di jalan dengan
0.33
kecepatan maksimum> 50 km / jam
Rasio jalur sepeda dengan sedikit
1
gangguan lalu lintas
Rasio jalur sepeda dengan
Rasio jalur sepeda dengan
Gangguan lalu lintas sedikit lalu lintas 0.67
gangguan lalu lintas yang wajar
gangguan Rasio jalur sepeda dengan banyak
0.33
gangguan lalu lintas
Persimpangan dengan Kepadatan persimpangan Kepadatan persimpangan dengan lalu lintas
-
kepadatan lampu lalu lintas dengan lampu lalu lintas cahaya
2. Konektivitas

Persimpangan tanpa Kepadatan persimpangan Kepadatan persimpangan tanpa


-
kepadatan lampu lalu lintas tanpa lampu lalu lintas lampu lalulintas
Kepadatan jalur sepeda Kepadatan jalur sepeda Kepadatan jalur sepeda -
Rute Bersepeda Rute Bersepeda
Pengarahan Rute Bersepeda -
Keterusterangan Keterusterangan

Rasio jalur sepeda soliter (penyangga


1
dengan jalan> 30 m)
urInfrastrukt3.

Rasio jalur sepeda di sepanjang jalan


0.80
(dengan pemisahan fisik)
Rasio jalur sepeda aktif Rasio jalan dengan jalur sepeda (strip
Jenis jalan 0.60
jalan ditandai)
Rasio jalan normal (dengan mobil, no
0.40
jalur sepeda)
Rasio jalan servis 0.20
Rasio jalan pejalan kaki 0.10
Rasio perkerasan jalan yang baik 1
Kualitas jalan Rasio jalan bagus
Rasio perkerasan jalan yang wajar 0.67
trotoar trotoar
Rasio perkerasan jalan yang buruk 0.33
Rasio jalur sepeda ringan yang baik Rasio 1
Kualitas jalan Rasio cahaya yang bagus
Petir jalur sepeda
jalur sepeda ringan yang terbatas Rasio 0.67
jalur sepeda yang tidak ringan 0.33
Rasio jalur sepeda dengan luas perairan 1
Jalur sepeda di sepanjang Rasio jalur sepeda
Rasio jalur sepeda tanpa air
area air
4. Lingkungan

di sepanjang area perairan 0,50


daerah

Rasio jalur sepeda dengan indah


1
daerah
Jalur sepeda di sepanjang area Rasio jalur sepeda di sepanjang area
Rasio jalur sepeda dengan netral
kecantikan keindahan 0.67
daerah
Rasio jalur sepeda dengan luas yang jelek 0.33
Rasio jalur sepeda dengan built-up
Jalur sepeda di sepanjang
daerah
1
Rasio jalur sepeda di sepanjang area
area terbangun
terbangun Rasio jalur sepeda tanpa built-
0,50
area atas
Rasio jalur sepeda di area terbangun
1
Jalur sepeda di sepanjang Rasio jalur sepeda dengan banyak area hijau
area hijau di sepanjang area hijau Rasio sepeda dengan sedikit warna hijau
0,50
daerah
<1% 1
Phy Topogra 5.

Rasio jalur sepeda 1-2%


Persentase kemiringan 0,75
dengan kemiringan rendah
jalur sepeda 2-4%, 0,50
persentase.
> 4% 0.25
Kriteria Indikator Pengukuran Variabel Pengukuran Tingkat
Dalam 1
Konstruksi
Luar ruangan 0,5
Gratis 1
Sewa parkir
Kualitas sepeda Dibayar 0,5
kondisi parkir Dijaga 1
Stasiun Metode pengamanan Loker sepeda 0,75
Lengah 0,5
24 jam 1
Jam buka
<24 jam 0,5
2.2 Permasalahan TOD di Kota Jayapura
1. Kondisi Topografi
Topografi daerah Kota Jayapura cukup bervariasi, mulai dari daratan, yang landai sampai
berbukit-bukit/gunung, dimana terdapat ±60% daerah tidak layak huni (non budidaya) karena
terdiri dari daerah perbukitan yang terjal dengan kemiringan diatas 40%, rawa-rawa berstatus
konservasi atau hutan lindung. Kota Jayapura berada pada ketinggian 1 – 700 M di atas
permukaan laut (dpl) dan hanya ± 40% lahan yang layak huni (budidaya) dan hamparan itu
sebagian besar di Distrik Muara Tami yang merupakan wilayah perbatasan dengan Negara
PNG.
Sehingga lokasi untuk bersepeda sebagai mode pengumpan ke lokasi transit
( stasiun/Terminal ) tidak mendukung karena di kota jayapura kondisi jalannya berbukit-
bukit/gunung
2. Kondisi Prasarana dan Sarana Transportasi
Adanya pertambahan populasi penduduk di kota Jayapura akan menyebabkan
kebutuhan transportasi semakin meningkat. Pada ruas jalan raya Sentani – Jayapura, banyak
kecelakaan yang terjadi diakibatkan karena factor kendaraan factor jalan dan factor manusia
atau para pengguna jalan.
Pada kota Jayapura tingkat terjadinya kecelakaan lalu lintas sangat tinggi hal ini
disebabkan oleh karena terjadinya jumlah peningkatan kendaraan yang sangat tinggi dan
tidak sesuai dengan peningkatan jumlah infrastruktur yang baik dan memadai. Ruas jalan
pada kota Jayapura khususnya pada ruas jalan raya Abepura merupakan salah satu ruas jalan
yang memiliki tingkat kepadatan yang sanga tinggi dan hal ini yang menyebabkan sering
terjadi kemacetan yang sangat padat pada jalan tersebut. Kemacetan pada jalan raya Abepura
sering disebabkan oleh karena ruas jalan raya Abepura merupakan jalan utama yang
menghubungkan antara kabupaten sentani dan kota Jayapura.
Kualitas jalan pada kota Jayapura pada dasarnya tidak bisa dikatakan buruk tetapi
tidak bisa juga dikatakan baik, hal ini disebabkan oleh karena pada ruas jalan pada kota
Jayapura hampir semua ruas jalan yang ada disepanjang kota Jayapura memiliki jalan yang
sudah diaspal dengan baik dan rapih akan tetapi yng menyebabkan seringnya terjadi
kemcetan dikarenakan ukuran ruas jalan yang memiliki ukuran yang relative kecil atau
sempit hal ini yang menyebabkan ruas jalan yang ada tidak dapat menampung jumlah
kendaraan yang sangat padat dan juga hal yang menyebabkan terjadinya kemacetan pada ruas
jalan pada kota Jayapura ialah adanya alih fungsi trotoar yang notabennya digunakan untuk
para pejalan kaki dialih fungsikan menjadi tempat berjualan hal ini juga yang memicu
terjadinya parkir liar pada ruas jalan tersebu dan mengakbatkan terjadinya kemacetan. Untuk
itu permasalahan utama jalan pada kota Jayapura ialah belum memadainya luas jalan pada
ruas jalan di kota Jayapura, dan akibat terjadinya alih fungsi trotoar yang dimana pada
hakikatnya trotoar digunakan untuk para pejalan kaki untuk berjalan kaki atau sebagai
pedestrian trtapi oleh beberapa oknum trotoar dijadikan sebagai tempat untuk menjajahkan
barang jualan mereka.
Dari permasalahan tersebut alangkah baiknya apabila ruas jalan pada kota Jayapura
diperlebar lagi untuk demi lalu lintas yang baik, akan tetapi hal yang menyebabkan belum
dilaksanakan pelebaran ini diduga karena pada pinggiran jalan tersebut sudah terdapat
bengunan ruko dan tempat jualan masyarakat sehingga apabila ingin melakukan pelebaran
jalan pada ruas jalan Abepura dan sekitrnya diperlukan pengkajuan ulang mengenai penataan
Kembali area peertokaan dan pemberlanjaan pada daerah tersebut hal ini menyebabkan perlu
dikaji dalam program pemerintah untuk mempertimbangkan pembangunan jalan layang atau
jembatan layng pada distrik abepura. Distrik Abepura merupakan salah atu distrik terpadat
yang ada pada kota Jayapura hal ini disebabkan karena distrik Abepura merupakan daerah
yang dapat diktakan sebagai pusat pembelanjaan, pertokoan, perputara ekonomi pada kota
Jayapura. Selain itu apabila distrik Abepura memiliki permasalahan penyemputan ruas jalan,
pada distrik Jayapura selatan memiliki jalan yang berliku dan menanjak sehingga pada ruas
jalan tersebut sering terjadi kecelakaan kendaraan. Untuk itu pemerintah menyiapkan
alternatif jalan lain yaitu jalan ringroad. Jalan yang memiliki medan berliku dan menanjak
tersebut merupakan jalan penghubung antara distrik Abepura dan distrik Jayapura selatan.
Akan tetapi pada ruas jalan tersebut kondisi struktur jalan pada jalan tersebut bisa dikatakan
kurang baik dikarenakan permukannya bergelombang atau tidak rata hal ini juga beresiko
bagi pengendara bermotor. Untuk itu pada ruas jalan tersebut alangkah baiknya tersbut
diperbaiki dengan cara mengaspal ulang ras jalan tersebut.
Untuk itu pemerintah alangkah lebih baiknya bisa mengkaji lagi program yang akan
mreka lakukan pada tahun berikutnya, pemerintah bisa mengkaji permasalahan mengenai
kondisi jalan dan arus lalu lintas yang ada, serta pemerintah juga bisa lebih memperhatikan
ketersediaan sarana dan prasarana penunjang lalu lintas seperti rambu – rambu lalu lintas,
pedestrian yang layak dan ,asih banyak lagi. Dengan begitu lalu lintas dan keadaan jalan kota
jayapura dapat menjadi baik dan berkualitas.

2.3 Penerapan TOD di Kota Jayapura


Konsep Transit Oriented Development (TOD) yang telah diterapkan pada negara
Belanda terutama pada wilayah kota Arnhem-Nijmegen yang memaksimalkan penggunaan
transportasi umum berupa transportasi kereta api dan juga penggunaan sepeda bagi
masyarakat sebagai transportasi peghubungan untuk berpergian ke tempat tujuan membuat
penerapan system TOD ini cukup baik untuk diterapkan dibeberapa kota-kota di dunia.
Rancangan karakteristik bagi pengguna jalan dan juga sepeda dapat mengurangi tingkat
kemacetan lalu lintas akibat tingginya penggunaan transportasi pribadi seperti sepeda motor
dan juga mobil. Ruang publik untuk berjalan kaki dan bersepeda perlu dirancang dengan baik
agar menarik, mengundang dan terasa aman untuk segala usia. Beberapa penelitian bertujuan
untuk menilai kinerja suatu area TOD.
Pada Kota Jayapura konsep TOD ini belum maksimal untuk diterapkan dikarenakan
belum maksimalnya pembangunan transportasi umum, Kota Jayapura masih menggunakan
transportasi umum seperti angkutan umum atau angkot yang tentu hal seperti ini akan tetap
menjadi salah satu faktor tingginya arus lalu lintas. Tidak adanya pemberhentian angkutan
umum atau halte pada titik-titik kawasan keramaian atau kawasan utama membuat banyaknya
angkutan umum memberhentikan kendaraannya atau menunggu penumpang dipinggir jalan
sehingga pengendara lain dapat terganggu dan dapat menimbulkan kecelakaan.
Namun jika melihat konsep TOD pada kota Arnhem-Nijmegen maka hal itu dapat
diterapkan terutama pada rancangan bagi pejalan kaki dan juga pesepeda, masyarakat di Kota
Jayapura belum mendapatkan kenyamanan dan juga keamanan saat berjalan kaki dan juga
menggunakan sepeda, trotoar yang dipergunakan untuk berjalan kaki dipergunakan oleh
pedagang kaki lima untuk berjualan sehingga tidak adanya ruang bagi pejalan kaki untuk
menikmati prasarana tersebut. Pengguna sepeda juga belum mendaparkan jalur pesepeda
sehingga masih masuk kedalam jalan utama tempat kendaraan lain melintas dan tentu hal itu
akan membahayakan pengguna sepeda.
Konsep tersebut dapat diterapkan pada daerah yang sering dilewati oleh masyarakat
seperti pada Distrik Jayapura Utara yang menjadi daerah CBD dengan adanya beberapa pusat
perdagangan, perkantoran dan juga perhotelan, kawasan Distrik Heram yang menjadi pusat
pendidikan dengan adanya Universitas Cenderawasih, dan juga kawasan Distrik Muara Tami
yang sebagai kawasan pembangunan baru wilayah Kota Jayapura.
Melihat kondisi topografi Distrik Jayapura Utara dan juga Distrik Heram yang landai
sampai berbukit membuat pembangunan transportasi umum seperti kereta api masih sulit
dilakukan karena kondisi tersebut perlu memerlukan biaya dan juga dapat merusak
lingkungan jika pembangunan tersebut tidak melihat kaidah-kaidah dan peraturan yang
membahas mengenai lingkungan seperti AMDAL. Namun untuk pembangunan transportasi
umum seperti Trim pada beberapa kelurahan yang memiliki topografi landai hal ini dapat
dilakukan, contohnya pada Kelurahan Gurabesi dan Kelurahan Entrop. Selanjutnya
pembangunan trotoar yang telah dilakukan sebenarnya telah baik dilakukan oleh pemerintah
namun masih adanya pedangang kaki lima yang berjualan diatas trotoar dapat menjadi
masalah, hal tersebut dapat diatasi dengan melakukan pembangunan pasar umum bagi
pedagang umum disekitar kawasan keramaian dan juga peraturan ketat yang mengatur
mengenai larangan berjualan diatas trotoar, pada kota-kota di luar negeri jarang sekali terlihat
pedangang yang berjualan diatas trotoar, hal itu dikarenakan daerah-daerah berjualan telah
ditentukan oleh pemerintah dan juga peraturan yang ketat sehingga pedagang tidak berani
untuk berjualan diatas trotoar.
Pembangunan jalur pesepeda juga dapat dilakukan agar pesepeda tidak memakai jalan
utama untuk melintas. Hal ini dapat dilakukan disekitar daerah ruang publik seperti taman
imbi, taman trikora, dan beberapa taman atau ruang publik di wilayah Kota Jayapura.
Pembangunan TOD yang dilakukan dikota Arnhem-Nijmegen sebenarnya akan lebih
maksimal jika dilakukan pada daerah Holtekamp hingga Distrik Muara Tami, dikarenakan
karakteristrik topologi daerahnya yang landai. Pembangunan stasiun kereta api dapat
dilakukan pada daerah setelah jembatan merah agar masyarakat yang ingin memasuki daerah
Distrik Muara Tami dapat menggunakan transportasi kereta api tersebut. Pembangunan
beberapa statsiun dan juga tempat sepeda dapat dilakukan agar daerah ini tidak meningkat
dalam aspek kemacetan. Arah pembangunan yang baru pada daerah ini membuat hal ini dapat
menjadi salah satu ide atau rancangan yang baik agar dalam segi pembangunan Transi
Oriented Development dapat baik pada daerah ini, tidak seperti daerah-daerah yang lain
masih bermasalah dengan kemacetan akibat banyaknya penggunaan kendaraan pribadi.
Pembangunan trotoar yang baik, dan juga penerangan jalan yang baik dapat membuat
mayarakat nyaman untuk berjalan kaki. Pemabgunan beberapa fasilitas parker yang baik juga
dapat dilakukan agar masyarakat dapat memarkirkan sepedanya. Hal ini juga membutuhkan
dukungan dari pihak keamanan agar lebih meningkatkan prosedur keamanan agar masyarakat
tidak khawatir jika berjalan kaki maupun memakirkan kendaraan sepeda mereka.
Jika hal tersebut dapat terlaksana maka Distrik Muara Tami dapat menjadi salah satu
daerah yang mempunyai sistem TOD yang baik dengan adanya transportasi umum dna juga
daerah pejalan kaki serta fasilitas parkir sepeda yang baik, sehingga masyarakat dapat
menggunakan fasilitas umum tersebut dengan maksimal dan nyaman dan tingkat kemacetan
menjadi turun akibat turunnya minat atau penggunaan kendaraan pribadi pada wilayah Kota
Jayapura.
BAB III
Kesimpulan
Kesimpulan
Kedekatan pusat kegiatan kota dengan titik transit berupa terminal atau stasiun
menunjukkan adanya potensi TOD pada suatu kawasan.Hasil identifikasi TOD pada
kawasan transportasi di Kota Jayapura menunjukkan adanya perbedaan antara kawasan
dikota Arnhem (Belanda). Berdasarkan tipologi TOD dikota jayapura maka kawasan
Terminal Mesran termasuk dalam tipe TOD pusat regional(Regional center) dimana TOD
berada di pusat ekonomi dan aktivitas kebudayaan primer, tersedia banyak pilihan moda
transportasi seperti angkutan Umum, memiliki nilai campuran yang tinggi serta kepadatan
yang tinggi. Sedangkan kawasan Terminal Entrop termasuk dalam tipe TOD pusat
urban(Urban center) karena kawasan ini memiliki pusat ekonomi dan aktivitas dengan
pilihan destinasi skala regional, memiliki guna lahan campuran juga kepadatan dan
intensitas kegiatan lebih rendah dari pusat regional serta merupakan daerah pusat
layanan komuter untuk wilayah yang lebih besar.Apabila ditinjau dari prasyarat
pemilihan lokasi transit berdasarkan tipe TOD maka sebagai TOD pusat regional,
kawasan Terminal Mesran belum dilayani moda transportasi bus antar kota antar
Kabupaten, sedangkan sebagai TOD pusat urban Terminal Entrrop, sudah dilayani
moda transportasi Angkutan umum dan Bus Antar Kota dan Antar Kabupaten.Berdasarkan
hasil analisis Kriteria TOD ditemukan bahwa kawasan Terminal Entrop memenuhi seluruh
kriteria dari indikator TOD(6 indikator).
Kawasan Stasiun Entrop berpotensi dalam hal guna lahan yang mixed use, kepadatan tinggi,
jaringan jalan sesuai dengan konsep TOD, tersedia jalur pejalan kaki, parkir yang
mencukupi dan mudah dijangkau, ragam jenis moda pergantian bervariatif, titik fasilitas
pergantian moda yang telah tersebar dalam jarak jangkau yang sebagian besar mampu
dijangkau pejalan kaki. Pada kawasan Stasiun Entrop, meskipun seluruh kriteria
variabel telah terpenuhi namun masih terdapat kekurangan yakni indikator ketersediaan
jalur pejalan kaki yang mayoritas sempit dan belum dapat berfungsi optimal karena
terganggu keberadaan sektor informal, selain itu pada indikator parkir terdapat
kekurangan yakni meskipun parkir telah cukup tersedia namun masih tersebar secara
sporadis(belum ada keteraturan)sehingga kondisi ini sedikit memicu gangguan lalu lintas.
Apabila ditarik benang merah kekurangan yang paling harus ditangani dari lokasi
berpotensi TOD tersebut adalah dalam hal konektivitas, jalur pejalan kaki yang masih
banyak mengalami gangguan, parkir umum yang sporadis dan moda transportasi yang
masih sedikit belum maksimal. Maka dari itu perlu adanya pengaturan, mengingat hal
tersebut merupakan salah satu komponen penting dalam sebuah TOD.Pada prinsipnya,
keragaman guna lahan, kepadatan kawasan dan konektivitas sama-sama merupakan
komponen yang penting dalam sebuah TOD sehingga perlu adanya penanganan dan
diatur sedemikian rupa agar tetap terkendali. Apabila konsep TOD dapat diterapkan maka
akan berdampak positif bagi KOTA JAYAPURA, selain penurunan penggunaan kendaraan
pribadi sehingga dapat menanggulangi masalah kemacetan juga pengembangan yang
diarahkan pada sekitar kawasan transit akan mampu meningkatkan nilai lahan di
kawasan tersebut.Guna lahan komersial dan permukiman yang berada pada pusat kawasan
akan mendorong integrasi terminal dan menghidupkan kawasan asalkan terminal
mampu dijangkau oleh pejalan kaki.
6.2 Saran dan Rekomendasi
Menghubungkan titik simpul transportasi dengan segala fungsi disekitarnya akan
mampu meningkatkan fungsi kawasan.Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan
yang telah dijelaskan sebelumnya, tentunya ditemukan tantangan terkait
keberlangsungan TOD. Tantangan terbesar pada keberlangsungan konsep TOD adalah
dalam hal implementasi konsep TOD pada lahan yang sudah terbangun. Berdasarkan
penjabaran kesimpulan dan tantanganyang akan dihadapi dalam menjadikan suatu kawasan
sebagai sebuah TOD maka dari itu diberikan saran-sarankepada beberapa pihak sebagai
berikut:
Pemerintah
Dalam menghadapi ketidakseimbangan antara infrastruktur kota, penggunaan lahan
dan pertumbuhan kendaraan maka perlu segera diatasi. Kondisi lingkungan disekitar
kawasan transportasi kini cenderung tumbuh tidak teratur dan sporadis maka dari itu
perlu adanya antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya degradasi lingkungan, kemacetan
dan urban sprawl maka konsep TOD semakin penting untuk dikaji dan diterapkan pada
sebuah kota.Mengingat dalam sebuah kawasan berbasis TOD, aspek transportasi publik,
pejalan kaki, guna lahandan kepadatan kawasan adalah halyang diutamakan, pemerintah
sebaiknya segera merealisasikan kebijakan dan konsisten terhadap kegiatan tersebut.Apabila
pemerintah akan menerapkan konsep TOD dalam sebuah kawasan akan lebih baik apabila
tidak menelan mentah-mentah atau tidak dengan menggunakan standar yang
diungkapkan oleh beberapa ahli mengenai TOD tanpa melakukan penyesuaian dengan
kondisi dari kawasan tersebut, teori yang ada mayoritas untuk kota-kota di negara
maju dan belum tentu dapat diterapkan mengingat Indonesia adalah negara berkembang
yang memiliki kondisi geografis, iklim, keadaan ekonomi, sosial serta budaya yang
berbeda dengan negara maju. Kekurangan-kekurangan yang masih ada pada lokasi
berpotensi TOD perlu untuk ditangani diantaranya dengan cara sebagai berikut:
a.Menyediakan kebijakan atau pedoman untuk kawasan yang berpotensi menjadi TOD
agar lebih terkontrol tentunya dengan standar ideal dalam pedoman yang telah disesuaikan
dengan kondisi kawasan tersebut
b.Pengaturan dan penataan guna lahanserta kepadatan
c.Konektivitas kawasan perlu ditingkatkan dengan cara:
Memanusiakan pejalan kaki dengan melakukan pengaturan dan penataan serta penertiban
gangguan pada jalur pejalan kaki;
Pengaturan parkir agar lebih tertata dan tidak menambah masalah kemacetan;
Optimalisasitransportasi publiktermasuk didalam pengaturan mengenai integrasi antar
moda transportasi publikserta penataan pangkalan atau pos pergantian antar
modatermasuk didalamnya paratransit.
d.Merencanakan integrasi antara terminal atau antar titik simpul transportasi di DIYHasil
penelitian ini juga diharapkan mampu menjadi pertimbangan untuk diadaptasi dalam
rencana tata ruang khususnya RTRW Kota Jayapura yang sensitif terhadap TOD.
Masyarakat
Masyarakat hendaknya terlibat dan prodalam perencanaan maupun penataan terkait
kawasan TOD dan melaksanakan kebijakan yang telah diberikan oleh pemerintah seperti
penggunaan transportasi umum secara bijak dan mengikuti aturan penataan kepadatan
kawasan.
Swasta
Peran sektor swasta dibutuhkan dalam melakukan pengembangan properti di sekitar
kawasan TOD sehingga diharapkan kawasan tersebut menjadi lebih mixed usesehingga
mampu menghidupkan dan menambah nilai lahan kawasan, tentunya dengan batas-batas
yang diperbolehkanatas dasar peraturan yang telah disepakatibersama (pemerintah, swasta
dan masyarakat).Selain itu peran swasta diperlukan untuk bekerja sama dengan
pemerintah dalam hal optimalisasi sarana dan prasarana penunjang fasilitas transit
(Terminal) serta fasilitas pergantian antar moda.

Anda mungkin juga menyukai