Anda di halaman 1dari 11

Nama : Bima Arya Fatah

NIM : 21090029

Kelas : 1B

Tugas Pendidikan Agama

1. Coba anda jelaskan arti Ijtihad dan apa saja syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai
seorang mujtahid?
2. Coba anda jelaskan arti Shalat, Dzikir dan Doa menurut bahasa dan istilah dan
berikan contoh lafadz dzikir dan doa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW!
3. Coba anda berikan contoh dalam kehidupan sehari cara berakhlak kepada Allah,
Rasulullah dan kedua orang tua!
4. Coba anda jelaskan pengertian amar ma’ruf, nahi munkar dan jihad!
5. Coba anda bedakan antara aliran mu’tazilah dan asy- ’ariyah dan bagaimana
pengaruhnya dalam dunia Islam sekarang ini!

Jawaban

1. Dikutip dari jurnal yang berjudul 'Ijtihad Sebagai Alat Pemecahan Masalah
Umat Islam', kata ijtihad berasal dari kata “al-jahd” atau “al-juhd”, yang memiliki arti
“al-masyoqot” (kesulitan atau kesusahan) dan “athoqot” (kesanggupan dan
kemampuan) atas dasar pada firman Allah Swt dalam QS. Yunus ayat 9 yang
artinya:” dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan)
selain kesanggupan”.

Pengertian ijtihad sendiri dapat dilihat dari dua sisi, yakni pengertian ijtihad
secara etimologi dan pengertian ijtihad secara terminologi.

Pengertian ijtihad secara etimologi memiliki pengertian: “pengerahan segala


kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit”. Sedangkan pengertian ijtihad
secara terminologi adalah penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang
terdekat pada kitabullah (syara) dan sunnah rasul atau yang lainnya untuk
memperoleh nash yang ma’qu; agar maksud dan tujuan umum dari hikmah syariah
yang terkenal dengan maslahat.

Kemudian Imam al-Amidi menjelaskan pengertian ijtihad yaitu mencurahkan


semua kemampuan untuk mencari hukum syara yang bersifat dhanni, sampai merasa
dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu.

Syarat Mujtahid

Mujtahid adalah orang yang mampu melakukan ijtihad melalui cara istinbath
(mengeluarkan hukum dari sumber hukum syariat) dan tatbiq (penerapan hukum).
Terdapat banyak perbedaan dalam menentukan syarat-syarat mujtahid. Adapun
syarat-syarat yang telah disepakati adalah:

a. Mengetahui Al-Quran
Al-Qur’an adalah sumber hukum Islam primer sebagai fondasi dasar hukum
Islam. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengetahui al-Qur’an secara
mendalam.
b. Mengetahui Asbab al-Nuzul
Syarat ini sama dengan seorang mujtahid yang seharusnya menguasai asbab al-
nuzul, yakni mengetahui setiap kondisi, situasi dan lokus hadis tersebut muncul.
c. Mengetahui Nasikh dan Mansukh
Mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh ini dimaksudkan agar seorang
mujtahid jangan sampai berpegang pada suatu hadis yang sudah jelas dihapus
hukumnya dan tidak boleh dipergunakan.
d. Mengetahui As-Sunnah
Yang dimaksudkan as-Sunnah adalah ucapan, perbuatan atau ketentuan yang
diriwayatkan dari Nabi SAW.
e. Mengetahui Ilmu Diroyah Hadis
Seorang mujtahid harus mengetahui pokok-pokok hadis dan ilmunya, mengenai
ilmu tentang para perawi hadis, syarat-syarat diterima atau sebab-sebab ditolaknya
suatu hadis, tingkatan kata dalam menetapkan adil dan cacatnya seorang perawi
hadis dan hal-hal yang tercakup dalam ilmu hadis. Kemudian mengaplikasikan
pengetahuan tadi dalam menggunakan hadis sebagai dasar hukum.
f. Mengetahui Bahasa Arab
Seorang mujtahid wajib mengetahui bahasa Arab dalam rangka agar
penguasaannya pada objek kajian lebih mendalam karena teks otoritatif Islam
menggunakan bahasa Arab.
g. Mengetahui Tempat-Tempat Ijma
Bagi seorang mujtahid, harus mengetahui hukum-hukum yang telah disepakati
oleh para ulama sehingga tidak terjerumus dalam memberikan fatwa yang
bertentangan dengan hasil ijma.
h. Mengetahui Ushul Fiqh
Ilmu ushul fiqh, yaitu suatu ilmu yang telah diciptakan oleh para fuqaha untuk
meletakkan kaidah-kaidah dan cara untuk mengambil istinbat hukum dari nash
dan mencocokkan cara pengambilan hukum yang tidak ada nashhukumnya.
i. Mengetahui Maksud dan Tujuan Syariah
Sesungguhnya syariat Islam diturunkan untuk melindungi dan memelihara
kepentingan manusia.
j. Bersifat Adil dan Takwa
Hal ini bertujuan agar produk hukum yang telah diformulasikan oleh mujtahid
benar-benar proporsional karena memiliki sifat adil, jauh dari kepentingan politik
dalam istinbat hukumnya.

2. Dzikir

Dzikir berasal dari kata dzakara, yadzukuru atau dzukr/dzikr yang memiiliki


arti perbuatan dengan lisan (menyebut, menuturkan, mengatakan) dan dengan hati
(mengingat dan menyebut). Kemudian ada yang berpendapat bahwa dzukr (bidlammi)
saja, yang dapat diartikan pekerjaan hati dan lisan, sedang dzkir (bilkasri) dapat
diartikan khusus pekerjaan lisan.
Secara istilah sendiri, pengertian dzikir tak terlalu jauh dari makna-makna
lughawi. Di dalam kamus modern seperti al-Munawir, alMunjid, dan sebagainya,
sudah pula menggunakan pengertian-pengertian istilah seperti adz-dzikr dengan arti
bertasbih, mengagungkan Allah swt. dan seterusnya.
Sholat

Pengertian sholat menurut bahasa dalam bahasa Indonesia adalah do’a.


Sedangkan pengertian sholat menurut istilah adalah suatu amal perbuatan yang
memiliki syrat dan rukun yang dimulai dan takbiratur ihram hingga salam.

Doa

Doa berasal dari bahasa Arab ‫دعاء‬GG‫ ال‬yang memiliki arti permintaan atau
permohonan. KH Ahmadi Isa dalam bukunya yang berjudul Doa-Doa Pilihan
menjelaskan pengertian doa menurut bahasa dan istilah.
Menurut bahasa doa adalah merupakan permintaan dan permohonan.
Sedangkan, menurut istilah doa adalah penyerahan diri kepada Allah SWT dalam
memohon keinginan dan meminta dihindarkan dari hal yang dibenci. Doa berarti
ibadah. Ia menjelaskan lebih lanjut bahwa berdoa menjadi ibadah utama. Berdoa
kepada Allah SWT membuat setiap makhluk dicintai-Nya.

Lafadz doa dan dzikir


a. Membaca Istighfar 3 X

" Astaghfirullah Hal'adzim, Aladzi Laailaha Illahuwal Khayyul Qoyyuumu Wa


Atuubu Ilaiih"
b. Doa memuji Allah Swt.
" Allahumma Angtassalam, Wamingkassalam, Wa Ilayka Ya'uudussalam
Fakhayyina Rabbanaa Bissalaam Wa-Adkhilnaljannata Darossalaam Tabarokta
Rabbanaa Wata'alayta Yaa Dzaljalaali Wal Ikraam"

Artinya: Ya Allah Engkau-lah as salam, dan keselamatan hanya dari-Mu, Maha


Suci Engkau wahai Dzat yang memiliki semua keagungan dan kemulian. (HR.
Muslim).
3. Akhlak kepada Allah Swt

a. Menaati segala perintah-Nya

Hal pertama yang harus dilakukan seorang muslim dalam beretika kepada Allah
SWT adalah dengan mentaati segala perintah-perintah–Nya. Allah SWT–lah
yang telah memberikan segala-galanya pada hambanya.

b. Beribadah kepada Allah

Melaksanakan perintah Allah untuk menyembah-Nya sesuai dengan perintah-


Nya. Seorang muslim beribadah membuktikan ketundukkan terhadap perintah
Allah.

c. Berzikir kepada Allah

Mengingat Allah dalam berbagai kondisi, baik diucapkan dengan mulut maupun
dalam hati.

d. Berdo’a kepada Allah

Memohon apa saja kepada Allah. Do’a merupakan inti ibadah, karena ia
merupakan pengakuan akan keterbatasan dan ketidakmampuan manusia,
sekaligus pengakuan akan kemahakuasaan Allah terhadap segala sesuatu.

e. Tawakal

Tawakal untuk Allah, yaitu berserah diri sepenuhnya kepada Allah dan
menunggu hasil kerja atau menunggu dari suatu keadaan. Tawakal bukan berarti
meninggalkan kerja dan usaha, dalam surat Al-Mulk ayat 15 dijelaskan, bahwa
manusia di syariatkan berjalan di muka bumi utuk mencari rizki dengan
berdagang, bertani dan lain sebagainya.

f. Tawaduk untuk Allah

Yaitu hati yang rendah di hadapan Allah. Mengakui bahwa kita adalah makhluk
yang hina di hadapan Allah Yang Maha Kuasa, oleh karena itu tidak layak jika
hidup dengan angkuh dan sombong, tidak mau memaafkan orang lain, dan
pamrih dalam melakukan ibadah untuk Allah.

g. Ridho terhadap ketentuan Allah SWT

Etika berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah SWT,
adalah ridho terhadap segala ketentuan yang telah Allah berikan pada dirinya.
Seperti ketika ia dilahirkan baik dari keluarga yang berada maupun keluarga
yang kurang mampu, bentuk fisik yang Allah SWT berikan padanya, atau hal-
hal lainnya. Karena pada hakekatnya, sikap seorang muslim senantiasa yakin
terhadap apaun yang Allah SWT berikan padanya. Baik yang berupa kebaikan,
atau berupa keburukan.

Akhlak kepada Rasul

Bentuk akhlak terhadap Rasul SAW, diantaranya:

a. Menghidupkan Sunnah

Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda yang menerangkan bahwa, kita
sebagai umat muslim diperintahkan untuk menghidupkan sunah-sunah yang
telah beliau wariskan. “Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah dari
sunnah-sunnahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan
mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya,
dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR Ibnu Majah)

b. Taat

“Hai orang-orang yg beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka
kembalikanlah hal itu kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama dan lebih
baik akibatnya.”

c. Selalu bershalawat

Membaca Selawat harus disertai dengan niat dan dengan sikap hormat kepada
Nabi Muhammad SAW. Orang yang membaca shalawat untuk Nabi hendaknya
disertai dengan niat dan didasari rasa cinta kepada beliau dengan tujuan untuk
memuliakan dan menghormati beliau.

Dalam penjelasan hadits (Akhbar Al-Hadits) disebutkan bahwa apabila


seseorang membaca shalawat tidak disertai dengan niat dan perasaan hormat
kepada Nabi SAW, maka timbangannya tidak lebih berat ketimbang selembar
sayap. Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya sahnya amal itu tergantung
niatnya”.

Ada tiga perkara yang timbangannya tidak lebih berat dari pada selembar sayap,
yaitu:

1. Shalat yang tidak disertai dengan tunduk dan khusyuk.


2. Dzikir dengan tidak sadar. Allah SWT tidak akan menerima amal
orang yang hatinya tidak sadar.
3. Membaca Shalawat untuk Nabi Muhammad SAW tidak disertai
dengan niat dan rasa hormat.

d. Mencintai Keluarga Nabi

Rasulullah SAW bersabda, “Wahai manusia sesungguhnya aku tinggalkan dua


perkara yang besar untuk kalian, yang pertama adalah Kitabullah (Al-Quran)
dan yang kedua adalah Ithrati (Keturunan) Ahlulbaitku. Barangsiapa yang
berpegang teguh kepada keduanya, maka tidak akan tersesat selamanya hingga
bertemu denganku di telaga al-Haudh.” (HR. Muslim dalam Kitabnya Sahih juz.
2, Tirmidzi, Ahmad, Thabrani dan dishahihkan oleh Nashiruddin Al-Albany
dalam kitabnya Silsilah Al-Hadits Al-Shahihah).

Akhlak kepada kedua Orang Tua

Berikut ini merupakan adab atau akhlak yang harus diterapkan oleh seorang anak
terhadap kedua orang tua menurut ajaran Islam.

1. Taat kepada kedua orang tua selama tidak mendurhakai Allah.

Hukum mentaati kedua orang tua adalah wajib bagi setiap muslim. Sedangkan
mendurhakai orang tua merupakan perbuatan yang diharamkan oleh Allah, kecuali
jika mereka menyuruh untuk menyekutukan Allah. Ada pun cara penolakan atas
perintah maksiat harus dilakukan dengan sikap yang baik dan tutur kata yang santun
agar orang tua tidak tersinggung atas ucapan kita.

2. Berbakti (birrul walidain) dan merendahkan diri di hadapan kedua orang tua.

Birrul walidain berarti berbuat kebajikan terhadap kedua orang tua. Lawan dari birrul
walidain yaitu ‘uququl walidain yang artinya mendurhakai kedua orang tua. Durhaka
kepada kedua orang tua merupakan dosa besar yang dibenci oleh Allah. Jadi, kita
diwajibkan untuk berbakti dan selalu tunduk kepada kedua orang tua karena rida
Allah terletak pada rida orang tua, dan murka Allah terletak pada murka orang tua.

3. Bersikap sopan, berbicara santun, dan tidak mencaci kepada kedua orang tua.

Sikap dan perilaku yang benar kepada kedua orang tua adalah dengan tidak berkata
dan tidak pula berlaku kasar, yaitu jangan sampai kita mengatakan kepada kedua
orang tua perkataan yang jelek meskipun kata yang paling ringan, yakni “ah!” yang
berarti desahan karena bosan atau dongkol. Begitu pula kita tidak boleh melakukan
perbuatan jelek kepada kedua orang tua, sekalipun perbuatan yang paling ringan
seperti mengibaskan tangan dan lain sebagainya.

4. Berdoa demi kebaikan dan kebahagiaan kedua orang tua.

Jasa besar kedua orang tua kepada anak tentunya tidak dapat diukur dengan materi.
Salah satu cara yang dapat dilakukan anak kepada kedua orang tua adalah balas budi
yakni berupa doa. Bahkan, salah satu cara berbakti kepada kedua orang tua yang telah
wafat yakni dengan mendoakannya.

4. Amar Ma’ruf Nahi Munkar adalah sebuah frasa dalam bahasa Arab yang berisi


perintah menegakkan yang benar dan melarang yang salah. Dalam ilmu fikih klasik,
perintah ini dianggap wajib bagi kaum Muslim. "Amar makruf nahi mungkar" telah
dilembagakan di beberapa negara, contohnya adalah di Arab Saudi yang
memiliki Komite Amar Makruf Nahi Mungkar (Haiʾat al-amr bi-l-maʿrūf wa-n-nahy
ʿani-l-munkar). Di kekhalifahan-kekhalifahan sebelumnya, orang yang ditugaskan
menjalankan perintah ini disebut muhtasib. Sementara itu, di Barat, orang-orang yang
mencoba melakukan amar makruf nahi mungkar disebut polisi syariah.

5. Al-Asy’ari adalah penganut aliran Mu’tazilah yang sering kali memercayai dan
mempersilahkannya dalam menghadapi lawan dalam perdebatan.
Namun, dalam suatu waktu Al-Asy’ari meninggalkan aliran mu’tazilah karna
dia merasa bahwa sudah tidak sepaham lagi dengan ajaran yang dianut oleh
mu’tazilah. Itulah yang melatar belakangi Al-Asy’ari mendirikan aliran baru yaitu
Asy’ariyah. Dimana ajarannya sesuai dengan pemahaman orang-orang berpegang
teguh pada al-Sunnah. Keluarnya Al–Asy’ari dari mu’tazilah karna ia juga melihat
bahwa aliran mu’tazilah tidak dapat diterima oleh mayoritas umat islam. Dengan,
demikian aliran ini telah berkembang bahkan adalah aliran terbesar pengikutnya
dalam islam.  

     Sebenarnya, Al–Asy’ari dalam alirannya tidak membawa ajaran kalam baru


melainkan, mengadopsi apa yang diwariskan oleh Mu’tazilah. Yang baru hanya
adalah metode dan corak argumennya saja yang berbeda. Al-Asy’ari hadir dengan
metode keseimbangan antara penggunaan dalil naqli dan dalil ‘aqli. Dimana metode
asy’ariyah berkebalikan dengan aliran mu’tazilah. Bahwasannya mu’tazilah
mengutamakan rasio dihadapan nash, maka asy’ariyah sebaliknya mengutamakan
nash dihadapan rasio. Yang maksudnya mu’tazilah berangkat dari dalil akal lalu
dipandang perlu mencari dalil naqlinya sebagai penguat. Dan Asy’ariyah berangkat
dari dalil naqli kemudian mencari dalil akal sebagai penguatnya.

    Aliran ini berpendapat bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun.
Tuhan tidak wajib memasukkan orang, baik ke surga maupun neraka. Semua itu
adalah kehendak mutlak tuhan, sebab tuhanlah yang berkuasa dan segalanya adalah
milik tuhan. Jika tuhan memasukkan seluruh manusia ke dalam surga bukan berarti
ia tidak adil. Sebaliknya jika ia memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka,
bukan berarti ia zalim.

   Aliran ini juga mengajarkan tentang hukum perbuatan manusia, seorang


muslim yang melakukan perbuatan dosa besar meninggal sebelum sempat bertaubat,
tetap dianggap mukmin, bukan kafir, tidak juga berada diantara mukmin dan kafir.
Lalu diakhirat ada beberapa kemungkinan. Allah memberikan hukuman kepadanya
dimasukkan ke dalam neraka sesuai dengan dosa besar yang ia lakukan selama
hidupnya dan kemudian ia memasukkanya ke adalam surga.  

     Ada beberapa tokoh yang telah berjasa mengembangkan dan menyebarluaskan


paham aliran kalam asy’ariyah pasca wafatnya al-Asy’ari. Tokoh-Toko besar yang
menyebarkan paham ini Diantaranya adalah: al-Baqillani, al-Juwaini, dan al-
Ghazali. Masing-masing mempunyai pemahaman dan ciri khas tersendiri dalam
penyampaian pahamnnya.

     Al-Baqillani, nama lengkapnya Muhammad ibn al-Thay-ayib ibn Muhammad


Abu bakr (w.403/1013). Beliau adalah tokoh penting pertama setelah pendiri aliran,
al-Asy’ari. Yang berbeda dari kebanyakan tokoh asy’ariyah lain yang bermazhab
fikih Syafi’iah maka beliau bermazhab fikih malikiah. Al-Baqillani juga pelopor
penerapan metode rasional dan filsafat di dalam aliran asy’ariyyah. Yang
kecenderunganya kepada akal sangat kuat sehingga dalam hal tertentu pun posisinya
seolah berada diantara al-Asy’ariyyah dan Mu’tazillah. Jika al-Asy’ari menjadikan
nash sebagai dasar, dan akal harus mengikuti nash. Berbeda dengan al-Baqillani
menjadikan akal sebagai pemandu, baginya juga akidah dan segala masalahnya
termasuk dalam wilayah akal.

Kejayaan Asy’ariyah yang terus berkembang setelah kemundurannya aliran


Mu’tazilah. Yang pada akhirnya aliran ini tersebar luas dan mendominasi dunia
islam. Karena, dari aspeknya sendiri disimpulkan bahwa aliran asy’ariyah
mengambil motede “jalan tengah” dimana mudah dan berpeluang untuk diterimanya
aliran ini di masyarakat luas dari berbagai kalangan mulai atas hingga bawah. Karna
dari sejarahnya jalan atau metode inilah yang dapat bertahan dan bisa bertahan lama
karna lebih mudah diterima masyarakat. Seperti halnya Al–Asy’ari sebagai pendiri
aliran Asy-ariyah menganut mazhab syafi’iah yang telah terbukti selalu bertahan
dari masa ke masa karna mangambil jalan tengah dari mazhab hanafi yang
mengutamakan sisi aqli, dan mazhab maliki yang mengutamakan sisi naqli. Bisa
disimpulkan bahwa aliran ini juga menganut mazhab fikih syafi’ah. Dimana
dikatakan bahwa aliran asy’ariyah juga dikenal sebagai Ahl al-Sunnah wa al-
jama’ah

Anda mungkin juga menyukai