Anda di halaman 1dari 105

SHUGYOSA

(Samurai Pengembara)

Buku Kesatu
oleh Salandra

Cover oleh Tony G.


Desain sampul oleh M. Soetrisno
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit Alam Budaya, Jakarta, 1994

Kutulis untuk Kissumi


CATATAN UNTUK PEMBACA

JEPANG di pertengahan abad keenam belas, sesudah


keshogunan Ashikaga runtuh, terjadilah pertarungan
dan perebutan kekuasaan di antara para jenderal dan
para daimyo. Oda Nobunaga, penguasa wilayah Owari,
mengerahkan ribuan samurai untuk menaklukkan
musuh-musuhnya. Termasuk melakukan pengejaran
terhadap putra Ashikaga yang berhasil diselamatkan
panglima perangnya—Saburo Mishima.
Nobunaga, shogun yang terkenal brutal, bodoh, dan
bengis ini hidup di tengah jerat nafsu serta ambisi ke-
kuasaan gundiknya—Naoko. Seks telah membuat No-
bunaga kehilangan pikiran waras, sehingga ia menjadi
brutal dan tidak berperadaban. Ia mulai menyerbu Im-
agawa, penguasa Suruga. Lalu Tokugawa Ieyasu, pen-
guasa Mikawa. Penaklukan terus berusaha dilakukan
untuk memperluas wilayahnya.
Dalam masa penuh pergolakan itulah, kisah ini ter-
jadi. Kisah tentang putra Ashikaga yang ingin kembali
berkuasa, seorang samurai yang siap menempuh jalan
pedang dengan kesetiaan sampai mati, ambisi kekua-
saan seorang shogun yang ingin memiliki kekuasaan
mutlak, gundik yang sanggup menggunakan gelora
seks untuk meraih kekuasaan, selir yang disingkirkan,
serta cinta seorang wanita yang tulus suci, dan keari-
fan pendeta yang tiada batas.
Novel Shugyosa penuh intrik, ambisi kekuasaan,
pertarungan, tipu muslihat, balas dendam, seks, cinta,
dan ajaran hidup tentang kesetiaan, cita-cita, serta ke-
arifan. Sebuah novel yang mengungkap sisi lain yang
tak ditulis Eiji Yoshikawa dalam novel Musashi atau-
pun Taiko, atau sisi lain yang tak ditulis James Clavell
dalam Shogun.
Novel yang lain daripada yang lain, dan mempesona
dari awal sampai akhir.

Barang siapa mengenal dirinya sendiri


dan mengenal musuhnya,
ia senantiasa menang dengan mudah.
Barang siapa mengenal langit dan bumi,
ia menang atas segalanya.

SOEN-TZU

Buku Kesatu
PEMBANTAIAN

SABURO MISHIMA menarik tali kekang kudanya. Ia


menatap pasukan musuh yang kian dekat. Lebih dari
tiga ratus samurai telah dikirim Nobunaga. Rupanya
lelaki ambisius itu mengerahkan seluruh pasukannya
untuk menggempur Ashikaga.
Angin bertiup kencang di Lembah Aga. Jejak-jejak
kaki prajurit mengakibatkan debu tipis beterbangan di
udara. Matahari persis di puncak kulminasi, sehingga
panasnya menyengat kulit. Tanah-tanah karang yang
menjadi dinding lembah tersebut, tampak memerah,
mirip batu terbakar. Namun cuaca yang menyakitkan
itu tidak mempengaruhi semangat prajurit Nobunaga.
Mereka terus melangkah dengan tegap, seakan keme-
nangan telah berada dalam genggamannya.
Saburo Mishima mengawasi gerakan musuh dari
persembunyiannya. Matanya yang setajam mata elang,
mengikuti gerak-gerik musuh dengan penuh kewaspa-
daan.
“Ini adalah pertempuran hidup dan mati,” teriak Mi-
shima pada tentaranya. “Shogun Ashikaga tidak meng-
inginkan kita kembali dengan kekalahan. Kita akan
sambut kedatangan musuh dengan keberanian atau
kematian!”
Semua prajurit menatap Saburo dengan diam. Se-
mua seakan penuh tekad menyerahkan jiwa raga me-
reka bagi pertarungan yang bakal terjadi.
Mishima memacu kudanya. Sekali lagi ia ingin me-
mastikan bahwa semuanya telah siap. Ini merupakan
pertempuran paling berat yang pernah ia hadapi.
Menurut berita, sejumlah daimyo (tuan tanah) telah
bergabung dengan Nobunaga. Bahkan Konishiwa Hi-
deaki, daimyo Kiyoto, telah berkhianat. Ia kini menjadi
sekutu musuh. Bila ini benar, keadaan memang ru-
nyam. Nobunaga dapat melakukan pengepungan dari
segala penjuru. Istana Kamakura sulit diselamatkan.
Saburo, seorang panglima perang Shogun Ashikaga.
Perawakannya kekar dengan raut muka berbentuk
oval. Ia seorang samurai keturunan Akamatsu yang
sangat tersohor di Jepang. Kini ia duduk di atas pelana
kudanya, lengkap dengan pakaian perang. Sebagaima-
na layaknya seorang panglima perang, ia mengenakan
kimono dari kain brokat bergambar matahari, dan baju
bersirip besi yang didesain sangat indah. Di pinggang-
nya terdapat naginata (sebuah pedang berbilah pan-
jang), dan pedang pendek yang gagangnya berlapis pe-
rak.
Takeshi memacu kudanya, mendekati Saburo Mi-
shima.
“Saburo, mereka sudah memasuki jarak perlawa-
nan.”
“Siapkan panah!”
“Mereka tinggal menunggu aba-aba.”
“Tunggu dulu, aku ingin memastikan dapat meng-
hancurkan mereka.”
“Kita harus melakukan dengan cepat, sebelum me-
reka sampai di celah bukit, sehingga dengan mudah
mereka menemukan tempat berlindung.”
“Sebentar lagi kita akan hancurkan mereka.”
“Kami semua menunggu perintahmu.”
Saburo Mishima tetap diam, menunggu. Ia berpe-
gang teguh pada ajaran Soen Tzu: Panglima perang
yang memenangkan pertempuran adalah dia yang
membuat banyak perencanaan sebelum peperangan
dimulai. Panglima perang yang kalah adalah dia yang
sedikit membuat perencanaan. Membuat rencana dan
strategi adalah kekuatan menuju ke kemenangan sejati.
Takeshi memutar balik kudanya. Ia memacu bina-
tang itu menuju tempat perlindungan pasukan panah.
Ada sekitar enam puluh pasukan panah di balik Lem-
bah Aga. Mereka telah siap dengan memasang anak
panah di busurnya.
Pasukan Saburo kini berada di atas bukit yang ter-
lindungi hutan azaela. Posisi ini sangat menguntung-
kan, karena dengan mudah mereka mengamati mu-
suhnya.
Pasukan Nobunaga sendiri, sekarang bergerak me-
masuki celah bukit. Mereka berada dalam posisi terje-
pit oleh lereng bukit dan hutan azaela. Bagi seorang
ahli perang, biasanya akan menghindari tempat-tem-
pat seperti ini, karena mereka seperti memasuki pe-
rangkap musuh. Namun Nobunaga tahu tentara Ashi-
kaga tinggal sedikit. Jumlah mereka tak mungkin da-
pat menghancurkan tentaranya. Karena itu tanpa pe-
rasaan takut, Nobunaga memerintahkan penyerbuan
ke Istana Kamakura. Kekuatan pasukannya tak akan
mudah ditaklukkan oleh medan perang yang tidak
menguntungkan.
Saburo Mishima kini duduk tegak di atas pelana.
Pandangannya lurus ke arah pasukan musuh yang
bergerak mendekat. Bendera-bendera warna merah
dan biru berkibaran tertiup angin. Gerakan mereka
mirip segerombolan binatang yang menderap ke depan.
Sinar mata mereka mirip mata serigala haus darah.
Tiba-tiba terlintas di pelupuk mata Mishima, wajah
istri dan anaknya—Itzumi dan Kojiro. Mereka kini ber-
ada di tengah keluarga istana, menanti kabar tentang
pertempuran ini. Bila pertempuran kali ini berhasil
dimenangkan, bukan mustahil Ashikaga akan meng-
angkatnya sebagai daimyo—bangsawan Jepang yang
sangat terhormat. Ia akan memiliki istana sendiri, pe-
ngawal sendiri, dan wilayah kekuasaan yang luas. Ju-
ga tanah pertanian yang akan memberinya kemakmu-
ran. Tetapi sebaliknya, bila kali ini ia kalah, per-
tempuran ini akan menjadi jalan baginya untuk mati.
Mati sebagai seorang pengawal Ashikaga tentu bukan
hal yang remeh, apalagi memalukan.
Hampir sepuluh tahun Saburo Mishima menjadi
pengawal istana. Ia hidup di tengah kebahagiaan ber-
sama anak dan isterinya. Itzumi, seorang wanita asal
Kiyoto, telah memberinya seorang anak laki-laki ber-
nama Kojiro. Selama ini ia hidup untuk tiga orang:
Ashikaga, Itzumi, dan Kojiro. Serbuan Nobunaga akan
menjadi ujian bagi Saburo Mishima dalam melindungi
orang-orang yang ia cintai.
Nyawaku kupertaruhkan untuk ketiganya.
“Sebaiknya sekarang kita menyerang,” tiba-tiba Ta-
keshi menyadarkan Saburo Mishima dari lamunan.
“Apabila mereka melewati celah itu, kita akan sulit
menekan pertahanannya.”
“Baiklah. Mari kita hancurkan mereka.”
“Saya akan menggerakkan pasukan dari belakang.”
“Terobos langsung ke jantung pertahanan mereka,”
kata Saburo mengingatkan. “Hanya satu cara yang
akan membuat kita memenangkan pertarungan ini.
Buat mereka terpisah-pisah.”
“Saya akan mencoba membuat mereka kocar-kacir.”
“Kita akan bersandar pada Soen Tzu untuk meng-
hancurkan musuh.”
Saburo mengenakan topi baja, ia mengikat talinya
di bawah dagu. Kemudian mencabut pedangnya. Ca-
haya matahari berpendar berkilauan di bilah pedang
Akamatsu itu.
Kini Saburo melihat pasukan Nobunaga memasuki
lembah.
“Apakah sudah ada berita dari Selatan?”
“Belum,” jawab Takeshi. “Seharusnya sudah ada
kurir yang kemari.”
“Aku khawatir Takeda mengalami kesulitan.”
“Kita tidak harus memikirkan mereka. Sekarang
yang harus kita pikirkan bagaimana caranya meng-
hancurkan musuh di depan kita.”
Saburo Mishima melirik Takeshi, ia merasa tersindir
dengan ucapan lelaki itu. Karena itu ia segera meng-
angkat pedang, lalu berteriak memberi komando.
“Seraaaang!”
Ratusan anak panah beterbangan menghujani pa-
sukan Nobunaga. Anak panah itu mirip hujan deras.
Jerit kematian segera terdengar. Tubuh-tubuh berge-
limpangan dengan erangan sekarat yang memilukan.
Sergapan tak terduga itu telah menimbulkan kepani-
kan pada musuh. Kesempatan ini tak ingin disia-sia-
kan oleh Mishima. Ia segera memerintahkan pasukan
berkuda yang berada di belakang untuk menyerang.
“Hancurkan mereka!”
Maka dengan teriakan penuh semangat membunuh,
ratusan pasukan berkuda merangsak maju. Pertempu-
ran dahsyat pun terjadi. Pedang-pedang berkelebat se-
iring dengan jeritan kematian yang mendirikan bulu
roma. Pasukan Nobunaga yang menang dalam jumlah,
segera membentuk benteng pertahanan dengan perisai
dan tombak. Namun tentara Ashikaga menyerbu bagai
air bah sehingga pertahanan itu berantakan.
Saburo Mishima membabat ke kanan ke kiri dari
punggung kudanya. Sabetan pedangnya membuat be-
berapa samurai langsung tersungkur dengan luka me-
nganga. Darah musuh muncrat ke tubuhnya, namun
lelaki itu tak mempedulikannya. Di dalam benaknya
menggelegak semangat peperangan yang mengerikan.
Pedang Akamatsu di tangannya berkelebat ke segala
penjuru, merenggut nyawa samurai di dekatnya.
Lima orang samurai menghadang Mishima, mereka
mengepung dengan tekad untuk membunuhnya. Meng-
hadapi kelima musuh itu, Mishima hanya beberapa de-
tik memikirkan bagaimana cara mengalahkan mu-
suhnya. Tanpa gentar sedikit pun, ia menyongsong sa-
lah seorang samurai itu. Sambil memiringkan badan,
ia menyabetkan pedang secara horisontal, tak ayal lagi,
kepala samurai di depannya terpenggal lepas dari ba-
dannya. Darah menyembur dari urat lehernya. Tubuh
itu ambruk ke tanah, berkelojotan, lalu mati.
Empat samurai yang lain segera memburu. Dengan
gesit Mishima menarik kekang kudanya, ia segera me-
laju ke arah musuhnya. Salah seorang samurai me-
nyabetkan pedang, dengan cekatan ditangkis, dan se-
belum musuhnya berbalik, Mishima telah memutar
kudanya kemudian mengayunkan pedang sekuat tena-
ga, terdengar suara menjerit ketika tubuh musuhnya
ambruk ke tanah.
Samurai yang ketiga menghadang dengan tombak,
Mishima berkelit ke kanan, di saat bersamaan ia me-
nikam samurai itu dengan kekuatan penuh. Terdengar
lengkingan menyayat ketika mata pedang Mishima
menembus leher musuhnya. Saat pedang dicabut, da-
rah menyembur keluar bagai anak sungai. Sedetik be-
rikutnya, tubuh samurai itu roboh ke tanah.
Saburo Mishima memutar kembali kudanya, kemu-
dian seperti angin taufan, ia menyerbu ke arah musuh-
musuhnya. Dengan tebasan yang sangat kuat, tombak
samurai yang menghadangnya patah dua. Samurai itu
langsung mencabut pedang, namun di saat bersamaan
Mishima telah menebas dari samping. Sabetan itu de-
mikian kuat, sehingga musuhnya tak dapat merasakan
pedang tersebut telah merobek perutnya. Ketika ia
mengerahkan tenaga untuk menyerbu, tiba-tiba usus-
nya terburai keluar, tubuhnya lemah, kemudian ia ru-
buh ke tanah.
Samurai kelima mengangkat kedua tangannya ting-
gi-tinggi sambil menggenggam gagang pedangnya, ke-
mudian dengan teriakan nyaring, ia menyerbu ke arah
Saburo Mishima. Ini adalah salah satu jurus aliran
‘Yagyu’ yang sangat berbahaya. Sabetan vertikal itu
sangat kuat, sehingga dapat mematahkan pedang mu-
suh, sekaligus membelah tubuh lawan. Itulah jurus
‘Pedang Menebas Angkasa’, salah satu jurus yang
membuat ‘Yagyu’ ditakuti di seluruh Jepang. Saburo
Mishima menyadari bahaya itu, namun dengan penuh
ketetapan hati, ia menyongsong lawan dengan tubuh
tegak. Tangan kanannya menggenggam pedang secara
horisontal. Keduanya bergerak seperti dua hembusan
angin yang saling berhadapan. Hanya dalam hitungan
detik, Mishima dengan cepat memiringkan tubuhnya,
sabetan pedang itu hanya beberapa inci dari wajahnya.
Di saat musuhnya masih limbung ke depan, Mishima
menebaskan pedang ke belakang, seketika terdengar
jeritan menyayat ketika samurai itu merasakan pung-
gungnya robek.
Saburo Mishima menarik kekang kuda, ia siap
menghadapi musuh berikutnya. Pertempuran di seki-
tarnya masih berlangsung dengan sengit. Suara geme-
rincing pedang diiringi jerit kematian terdengar di ma-
na-mana. Tanah kering di Lembah Aga kini berwarna
merah. Mayat-mayat bergelimpangan bagai setumpuk
bangkai binatang tak berharga. Entah sudah berapa
puluh samurai terkapar di tanah. Namun pertempuran
belum menunjukkan tanda-tanda berhenti. Kedua be-
lah pihak seakan ingin meyakinkan kemenangannya.
Baru saja Saburo Mishima menebas lawannya, ia
melihat Takeshi mendekatinya.
“Seorang kurir baru saja datang,” kata Takeshi
sambil menghentikan kudanya. Debu-debu bercampur
darah berkepul di kaki kudanya. “Sektor selatan telah
kalah. Kini Konishiwa Hideaki memimpin penyerbuan
ke istana.”
“Bagaimana kekuatan kita di sana?”
“Tidak akan mampu menahan serbuan Hideaki.”
“Siapa yang memimpin pertahanan?”
“Ishida Mitsunari.”
“Ishida?”
“Ya.”
“Dia adalah ipar Hideaki.”
Takeshi tidak sempat menjawab, ia harus memutar
kudanya sambil menyabetkan pedang ke arah samurai
yang menyerangnya. Samurai itu menjerit ketika pe-
dang Takeshi merobek lehernya.
Saburo Mishima berteriak pada Takeshi, “Kau pim-
pin pertahanan di sini. Aku akan kembali ke istana un-
tuk menyelamatkan mereka!”
“Baiklah. Segeralah kamu ke sana, nanti aku akan
menyusul.”
“Kau harus tahan musuh di sini,” ujar Saburo sam-
bil memutar kudanya. “Aku membutuhkan waktu un-
tuk menguasai keadaan di istana.”
“Jangan khawatir, aku akan pertaruhkan kepalaku
untuk pertempuran ini.”
“Kuharap kita masih bisa bertemu, Takeshi.”
“Aku pun berharap demikian. Sekarang pergilah.”
Saburo Mishima memutar kekang kuda, kemudian
menggebrak punggung binatang itu agar lari menuju
istana.
Ketika sampai di atas bukit, Saburo Mishima meng-
hentikan kudanya. Ia menoleh ke belakang, dilihatnya
debu pertempuran masih berkepul di sela gemerincing
suara pedang beradu dan jerit lengking kematian. Ke-
mudian ia menatap ke arah utara, tampak kepulan
asap di atas Istana Kamakura.
Musuh tampaknya sudah tak tertahankan. Mereka
telah berhasil menembus pertahanan Ishida. Atau justru
sebaliknya, dia yang memimpin penyerbuan itu? Kalau
Ishida berkhianat, aku bersumpah untuk memenggal ke-
palanya!
Saburo Mishima sekali lagi menoleh pada ratusan
tentaranya yang sedang menyabung nyawa, lalu de-
ngan pancaran mata berapi-api, ia memacu kuda me-
nuju istana. Ia harus tiba di sana secepatnya. Selain
Shogun Ashikaga, di sana ada anak dan isterinya.
***

PENYELAMATAN

SHOGUN ASHIKAGA bersimpuh di atas zabuton (kasur


tipis yang diletakkan di lantai). Kedua tangannya ber-
ada di paha.
Ashikaga, seorang laki-laki bertubuh gemuk, de-
ngan kepala bulat seperti jeruk. Rambutnya disisir ke
belakang, dikuncir persis di atas kepalanya. Kedua
matanya tajam menikam, pancaran kewibawaan dan
keteguhan hati. Cara bicaranya cepat, penuh tekanan-
tekanan intonasi, suatu gaya milik orang-orang yang
menggenggam kekuasaan.
Di belakang Ashikaga, kira-kira tiga meter di arah
samping kanan, tampak isterinya—Omiko, duduk
sambil memegangi pundak Natane Yoshioka, anak me-
reka.
Omiko, seorang wanita berumur tiga puluh tahun.
Wajahnya berbentuk lonjong, kurus, seperti umumnya
perempuan Jepang. Rambutnya digelung ke belakang,
dilengkapi sebuah tusuk konde emas. Omiko memakai
kimono furisode (kimono wanita berlengan panjang)
berwarna kuning. Seperti biasa, ia duduk membeku,
seakan tengah berjuang menyembunyikan perasaan-
nya.
Di samping Omiko, duduk Natane Yoshioka, seo-
rang anak laki-laki berumur sebelas tahun yang tam-
pak cerdas dan pemberani. Meskipun masih sangat
muda, namun dari sikapnya, tampak bahwa ia mewa-
risi darah seorang penguasa. Sinar matanya tajam,
memantulkan keteguhan hati yang memukau. Seperti
ayahnya, ia mengenakan hakama (pakaian tradisional
Jepang yang dipakai kaum laki-laki di atas kimono)
warna merah, lengkap dengan heko obi (ikat pinggang
laki-laki) bersulamkan emas. Sebagaimana keturunan
seorang samurai, meski masih sangat muda, Natane
Yoshioka telah diizinkan membawa daisho (pedang pan-
jang dan pedang pendek) simbol bahwa dirinya seorang
samurai.
Di belakang Omiko terlihat istri Saburo Mishima
dan anaknya. Itzumi, seorang wanita sederhana, de-
ngan dandanan rambut sederhana pula. Namun dari
pancaran sinar matanya, tampak kecantikan luar bi-
asa. Bukan saja kecantikan, namun juga pesona ke-
pribadian yang memukau. Meskipun ia hanya mema-
kai kimono sederhana, namun dari obi densu (ikat
pinggang sutera) yang dikenakan, siapa pun mengeta-
hui bahwa Itzumi istri seorang pembesar istana.
Kojiro, berumur sebelas tahun, sebaya dengan Na-
tane Yoshioka. Perawakannya lebih kecil, namun kebe-
ranian dan keteguhan hatinya dapat dirasakan hanya
dengan sekali memandang raut wajahnya. Ia menge-
nakan kimono sutera berwarna coklat. Berbeda dengan
Yoshioka, rambut Kojiro dikuncir tergerai ke belakang.
Ruangan hening. Pertemuan terasa mencekam.
Pandangan Shogun Ashikaga lurus ke depan, mena-
tap Ishida Mitsunari, seorang samurai kepercayaan-
nya, yang baru saja kembali dari medan perang.
“Jadi mereka telah menaklukkan Saburo?” Shogun
Ashikaga bertanya. Suaranya keras, berwibawa.
“Demikianlah berita yang saya terima. Tiga ratus
pasukan Saburo berhasil dipukul oleh musuh. Tak
seorang pun dibiarkan selamat. Mereka tidak saja me-
numpas kekuatan kita, tetapi juga mempermalukan
kehormatan kita. Saya dengar, kepala Saburo telah di-
penggal, dan ditancapkan di ujung tombak, dijadikan
lambang kemenangan mereka.”
Itzumi menoleh cepat, namun wanita itu bertahan
untuk tidak menangis.
“Apabila pasukan Saburo telah berhasil mereka
tumpas, tidak ada lagi kekuatan yang dapat memper-
tahankan istana ini,” kata Ashikaga bergetar. “Saburo
memimpin prajurit-prajurit terbaikku, kekalahannya
menyebabkan kita tidak memiliki lagi kesempatan un-
tuk menang.”
“Cepat atau lambat mereka akan sampai kemari.”
“Bagaimana dengan Takeshi?”
“Dia saat ini sudah dikepung hampir empat ratus
tentara Nobunaga. Rasanya sulit diharapkan Takeshi
dapat memenangkan pertarungan itu. Sebab kecuali
dua ratus samurai mengepungnya, Nobunaga memiliki
dua ratus senapan arquebuses bikinan Portugis yang
dapat membunuh tentara Takeshi. Sejak pertama,
saya telah mengatakan, Takeshi dan Saburo tidak pan-
tas menghadang pasukan Nobunaga. Mereka bukan
seorang panglima yang pandai mengatur taktik per-
tempuran.”
“Dia seorang panglima perang yang dapat diandal-
kan. Sudah sepuluh tahun ia membuktikan kemahi-
rannya.”
“Kenyataannya, dia kini tak berdaya menghadapi
musuh.”
Ashikaga terdiam sesaat. Sebenarnya ia tak menyu-
kai kata-kata Ishida Mitsunari, tetapi pada saat ini ha-
nya lelaki itu yang dapat dimintai pertimbangan. Sejak
dulu ia mengetahui terjadi persaingan antara Mitsuna-
ri dengan Mishima untuk mendekatinya, namun se-
mua masih dapat dimengerti. Beruntung selama ini ia
dapat bertindak bijaksana, sehingga kedua orang itu
tidak pernah terlibat pertikaian yang dapat merugikan-
nya.
“Bila Saburo telah tewas,” kata Ashikaga lirih, “tidak
seorang pun dapat menghalangi Nobunaga masuk ke
dalam istana.”
Samar-samar Shogun Ashikaga mendengar suara
gemerincing pedang serta jerit kematian di luar istana.
Menurut Ishida Mitsunari musuh telah mengepung is-
tana. Mereka terus menekan pertahanannya. Pertem-
puran tampaknya akan segera berakhir dengan keka-
lahannya. Tidak ada lagi yang dapat menyelamatkan-
nya. Pertikaian panjang dengan Nobunaga akan segera
mengakhiri kekuasaannya. Tetapi Ashikaga tak mau
kalah dan dipermalukan.
Nobunaga akan kubuat memenangkan pertempuran
ini dengan penyesalan. Sejak dulu ia menginginkan is-
tana ini, saatnya istana ini kuberikan, namun dalam
keadaan hancur dan terbakar.
Tiba-tiba seorang samurai menerobos masuk, laki-
laki itu terhuyung-huyung di depan pintu, lalu ambruk
ke lantai. Di punggungnya tertancap sebilah naginata
(pedang berbilah panjang) yang berlumur darah.
“Tuanku...,” rintihnya. Lalu mati.
Semua orang yang berada di ruangan itu terkesiap,
dari pakaiannya dapat diketahui samurai itu adalah
salah seorang pengawal Istana Dalam Kamakura. Ini
merupakan pertanda musuh telah berhasil menerobos
ke dalam.
Mitsunari segera membungkuk sehingga ia bicara
dengan penuh tekanan, “Tuanku harus segera meng-
ambil keputusan. Jangan membiarkan mereka menda-
patkan kemenangan mutlak.”
“Aku tahu apa yang harus kulakukan,” jawab Ashi-
kaga dengan suara bergetar. “Aku akan melakukan
seppuku.”
“Itulah keputusan seorang ksatria. Saya akan bang-
ga mati dengan mengenangkan kebesaran jiwa Tuan-
ku,” kata Ishida sambil membungkukkan badan hing-
ga kepalanya menyentuh lantai.
“Hanya kematian yang dapat melindungi kehorma-
tanku,” kata Ashikaga lagi. “Aku akan menjemputnya
dengan bangga.”
Semua orang membungkukkan badan hingga ke-
pala mereka menyentuh lantai. Suatu lambang peng-
hormatan bagi seorang ksatria. Seppuku (bunuh diri
dengan merobek perut) jelas merupakan keputusan
terbaik bagi Ashikaga. Ia tak akan memberi kesempa-
tan bagi musuh untuk memenggal kepalanya dan me-
mamerkan ke rakyat sebagai bagian kemenangan me-
reka.
Shogun Ashikaga menoleh pada isterinya.
“Isteriku,” katanya dengan suara berat, “aku telah
mengambil keputusan untuk melakukan seppuku. Aku
tak sanggup menanggungkan perasaan malu di hada-
pan Nobunaga. Keputusan ini kurasakan sangat berat,
karena itu aku tak ingin mempengaruhi dirimu....”
“Saya akan ikut melakukan seppuku,” tukas istri
Ashikaga sambil membungkukkan kepala. “Tidak ada
lagi yang kupertahankan. Karena itu saya mohon izin
untuk mengikuti langkah Tuanku.”
“Bagaimana dengan putramu?”
“Dia putramu. Biarkan dia juga melakukan seppu-
ku.”
Shogun Ashikaga menatap Natane Yoshioka. Anak
berumur sebelas tahun itu membungkukkan badan
dalam-dalam.
“Izinkan saya melakukan seppuku, Ayah.”
“Kau tidak boleh mati!” terdengar suara Ashikaga
menggeledek dalam ruangan itu. Kata-katanya menge-
jutkan semua orang yang berada di tempat itu. “Kau
adalah satu-satunya putraku. Kau yang akan memba-
laskan kekalahan ini. Kuperintahkan padamu untuk
menanggungkan malu orang tuamu, dan suatu saat,
menebusnya kembali dengan kemenangan.”
“Ayah, saya memilih melakukan seppuku,” kata Yo-
shioka dengan suara bergetar. “Maafkan saya dengan
keputusan ini. Bukan maksud saya menentang perin-
tah Ayah, tetapi saya merasa tak sanggup menang-
gungkan malu.”
“Kau harus sanggup,” potong Ashikaga tegas. “Ha-
rus ada salah satu keluargaku yang hidup. Kau masih
muda, masih banyak yang dapat kaulakukan. Kecuali
itu, Nobunaga tidak akan membuang-buang waktu un-
tuk mengejarmu.”
Sekali lagi Yoshioka membungkukkan badan. “Apa
yang dapat saya lakukan?”
“Mitsunari,” kata Ashikaga sambil menoleh pada
samurai kepercayaannya, “kuberikan perintah padamu
untuk menyelamatkan putraku. Bawa dia meninggal-
kan istana secepatnya, lindungilah dengan nyawamu.”
“Haik!” jawab Mitsunari sambil membungkukkan
badan.
“Tidak ada apa pun yang lebih berharga dibanding
putraku, karena itu kuminta engkau menjaga kesela-
matannya. Bila kau gagal, segeralah penggal kepalanya
agar Nobunaga tak sempat mempermalukan keluarga-
ku.”
“Baik!”
Sekonyong-konyong dari luar berlompatan sejumlah
samurai Nobunaga. Seluruh pakaian mereka berwarna
hitam, bahkan kepala dan wajahnya tertutup rapat,
hanya menyisakan lubang mata.
“Ninja!” desis Ashikaga sambil berdiri untuk meng-
hadapi setiap kemungkinan. Ia menoleh pada Mitsuna-
ri. “Rupanya Nobunaga menggunakan pembunuh-
pembunuh bayaran untuk melawanku. Mitsunari, ha-
dapi mereka!”
“Baik.”
Mitsunari segera mencabut pedang, kemudian mu-
lai menyerang ninja-ninja itu. Sabetan pedangnya mem-
buat seorang ninja terguling dengan leher menganga.
Darah muncrat mewarnai dinding istana.
“Lakukan seppuku, Tuanku,” kata Mitsunari pada
Ashikaga. “Biar saya yang menghadapi mereka.”
Shogun Ashikaga yang telah mencabut pedangnya,
segera menyarungkan kembali, kemudian ia bergegas
meninggalkan ruangan itu menuju ke dalam bilik ista-
na. Istri dan anaknya mengikuti dari belakang. Juga
Itzumi dan Kojiro.
Pertempuran sengit terjadi di ruangan istana. Ada
dua puluh ninja melakukan penyerbuan. Rupanya No-
bunaga tahu betapa sulit menembus pertahanan apa-
bila hanya mengandalkan tentaranya. Ia menggunakan
ninja untuk melakukan penyusupan. Bagi para pem-
bunuh bayaran itu, tidak ada medan yang tak dapat
ditembus. Benteng istana yang setinggi dua puluh me-
ter, dengan sangat mudah mereka daki, menggunakan
tali dan shuko (cakar pemanjat yang sekaligus ber-
fungsi sebagai senjata). Selain itu, serbuan mereka ti-
dak menimbulkan suara, karena para pembunuh terla-
tih itu dapat berlari seperti angin. Kaki-kaki mereka
seakan tak menyentuh tanah.
Mitsunari membabat ke kanan ke kiri, tebasannya
menimbulkan suara angin mendesis. Ia kini mengha-
dapi tiga orang ninja, mereka menyerbu dari tiga juru-
san, namun dengan ilmu pedang Yagyu, Mitsunari
berhasil menangkis secara bersamaan, lalu menya-
betkan pedang dengan ayunan melengkung. Suara te-
basan itu mendesis ketika salah seorang ninja itu men-
jerit dengan tubuh robek. Melihat kawannya ambruk,
salah seorang ninja melempar tombak, Mitsunari ber-
kelit ke kiri, mata tombak itu hanya setengah inci dari
dadanya. Tanpa membuang waktu Mitsunari berguling
mendekati ninja tersebut, dan dalam kecepatan yang
sukar dibayangkan, pedangnya telah menembus tubuh
musuhnya. Ninja ketiga segera mengayunkan rantai
berujung pisau ke arah Mitsunari, namun dengan si-
gap lelaki tersebut mengeluarkan pedang pendek di
pinggangnya untuk menangkis serangan itu. Rantai itu
membelit pedang tersebut, kemudian dengan kekuatan
penuh, Mitsunari menarik rantai tersebut. Ninja terse-
but mengubah taktik, ia mengikuti tarikan tersebut
sambil mencabut belati di pinggangnya untuk meni-
kam, tetapi pada saat tubuhnya melambung, Mitsunari
telah menyongsongnya ke depan sambil membabatkan
pedang panjangnya. Terdengar suara menjerit ketika
pedang itu merobek dada lawan.
Mitsunari segera berbalik, ia melangkah mundur,
membentengi jalan menuju bilik istana. Ada tiga ninja
yang mencoba menerobos pertahanannya, namun de-
ngan bengis Mitsunari membabat tubuh mereka satu
per satu.
Ketika ketiga ninja itu roboh, sejumlah samurai
mengepung Mitsunari. Laki-laki itu tiba-tiba mengi-
baskan pedangnya untuk membersihkan darah pada
pedang itu.
“Saya Ishida Mitsunari,” katanya lantang. “Kalian
jangan bodoh! Saya yang memimpin penyerbuan di si-
ni!”
***
Di pinggiran Kota Kamakura, Saburo Mishima terus
memacu kudanya. Pakaian kebesarannya yang berupa
bilah-bilah besi gemerincing ditiup angin. Tangan kiri-
nya dipakai mengendalikan kuda, sementara tangan
kanannya masih menggenggam pedang panjang. Ia
memacu kudanya dengan cepat. Dada lelaki itu berde-
bar-debar. Sejumlah bangunan di pinggir istana telah
terbakar. Asap mengepul dari balik benteng. Terbayang
di benak Saburo, penyerbuan di dalam istana.
Di beberapa tempat masih terjadi pertempuran. Pa-
sukan Nobunaga rupanya telah menerobos masuk ke
halaman istana. Mayat-mayat bergelimpangan di jalan,
sementara rintihan dan lengking jerit kematian terden-
gar di mana-mana.
Mudah-mudahan aku belum terlambat. Kalau benar
Mitsunari telah berkhianat, sukar mengharap keluarga
shogun dapat diselamatkan. Bangsat itu berada di da-
lam istana!
Seorang tentara musuh menghadang di jalan de-
ngan tombak, tanpa menghiraukan keselamatannya,
Mishima menyongsong serangan itu. Ketika jarak ting-
gal satu meter, ia mengayunkan pedang menyilang,
sehingga tombak itu patah menjadi dua. Dan sebelum
penyerang tersebut menyadari apa yang terjadi, Mi-
shima telah menebas lehernya.
Pintu gerbang Istana Kamakura telah terbuka, ratu-
san pasukan Nobunaga tengah mengamuk. Tetapi me-
reka memperoleh perlawanan sengit dari samurai ista-
na. Meskipun tampak kekuatan tidak seimbang, na-
mun para samurai istana tidak mau menyerah. De-
ngan semangat bushido (semangat ksatria pantang me-
nyerah) mereka melakukan perlawanan hidup dan mati.
Kepulan asap membubung tinggi, panah-panah api
bertebaran di mana-mana, mayat bergelimpangan, dan
pertempuran sengit masih terus berlangsung.
***
Shogun Ashikaga menatap Natane Yoshioka, laki-laki
itu mencoba tidak menangis. Ia tak ingin memperli-
hatkan kepedihannya di depan anaknya. Pelan-pelan
ia mengambil pedang miliknya, lalu mengulurkannya
pada Yoshioka.
“Yoshioka-san, kuberikan pedang ini padamu,” kata
Ashikaga dengan suara penuh tekanan. “Pedang Mu-
ramasa, lambang kekuasaan Ashikaga. Pertahankan
pedang ini dengan nyawamu.”
“Baik, Ayah!”
“Pedang Muramasa adalah pedang keramat keluar-
ga Ashikaga. Ini merupakan lambang kekuasaan di Is-
tana Kamakura. Selama pedang ini berada di tangan
kita, Nobunaga hanya menguasai bangunan-bangunan
istana ini, tetapi tidak jiwanya. Karena itu pertahankan
pedang ini apa pun yang terjadi.”
“Saya akan menjaganya dengan nyawa saya, Ayah.”
“Itzumi,” Ashikaga memanggil istri Saburo Mishima.
“Kau kuperintahkan melindungi putraku keluar istana.
Lindungi dia dengan jiwamu.”
Itzumi membungkukkan badan dalam-dalam, “Baik,
Yang Mulia!”
“Apabila kau dapat menyelamatkan putraku, aku
akan mengangkat anakmu Kojiro menjadi daimyo. Jan-
jiku akan kutulis sebagai sumpah keluarga Ashikaga.”
“Tanpa janji itu pun, saya akan melaksanakan apa
pun perintah Yang Mulia.”
Shogun Ashikaga tidak menanggapi ucapan perem-
puan itu, ia mengambil kertas kemudian menulis sum-
pahnya dengan huruf kanji. Ketika selesai menulis, ia
membubuhkan sidik jarinya di kertas itu.
“Yoshioka-san,” panggil Ashikaga. “Ini adalah sum-
pahku pada Itzumi. Bila engkau selamat dan berhasil
merebut kembali istana ini, sebagai putraku, kau ha-
rus menjalankan sumpah ini.”
“Baik, Ayah.”
“Bersumpahlah demi aku dan ibumu.”
“Saya bersumpah untuk melaksanakannya.”
“Sekarang kalian pergi, tinggalkan istana ini sece-
patnya. Biarkan aku dan isteriku menyongsong ajal di
sini.”
Natane Yoshioka membungkukkan badan. Pelan-
pelan ia beranjak untuk memeluk kedua orang tuanya.
Betapa pun mereka menahan kepedihan, namun per-
pisahan itu tak mampu membendung air mata. Omiko
mendekap Yoshioka dengan berurai air mata.
“Jaga dirimu baik-baik,” bisik Omiko bergetar.
“Baik, Ibu.”
Kemudian Yoshioka memeluk ayahnya. Ashikaga
mendekap anaknya sambil menghela napas panjang.
Mata lelaki itu berkaca-kaca.
“Selamatkan dirimu, juga Pedang Muramasa,” kata
Ashikaga dengan suara datar. “Pedang Muramasa ada-
lah kehormatanmu. Kau harus mempertahankannya
sampai mati.”
“Baik, Ayah.”
“Sekarang pergi secepatnya.”
Kemudian tanpa menoleh, Yoshioka melangkah per-
gi. Itzumi dan anaknya membuntuti dari belakang. Me-
reka memasuki lorong rahasia di belakang bilik itu.
Ashikaga memejamkan mata. Pelan-pelan ia mem-
buka pakaiannya. Isterinya dengan penuh penghaya-
tan melipat kembali pakaian suaminya. Dengan te-
nang, Ashikaga membiarkan isterinya membelitkan
kain putih di seputar perutnya. Mereka melakukan
rangkaian upacara seppuku dengan tenang, tanpa ter-
buru-buru, seakan semua memberikan rasa damai
yang abadi.
Sesudah kain putih membungkus perutnya, Ashi-
kaga mengambil sake kemudian minum seteguk.
Ketenangan itu tiba-tiba terganggu, ketika pintu bi-
lik tiba-tiba didobrak dari luar. Terdengar suara hiruk-
pikuk berselang-seling dengan suara gemerincing pe-
dang beradu.
Ashikaga memejamkan mata. Mencoba menyalur-
kan seluruh enerji di dalam tubuhnya menyatu di da-
lam perut. Ia menghela napas panjang. Ia merasakan
kehangatan menjalari jiwanya. Ketika semua sudah
menyatu dengan kedamaian di dalam dirinya, lelaki itu
mengulurkan tangan. Isterinya sambil membungkuk-
kan badan, memberikan pisau kepada suaminya.
Sambil menahan napas, Shogun Ashikaga meng-
hunjamkan pisau itu ke perutnya, lalu dengan mena-
hankan rasa sakit yang luar biasa, ia menggerakkan
ujung pisau itu ke atas, ke bawah, ke samping kanan,
dan ke samping kiri, membelah perutnya dengan pe-
nuh penghayatan. Darah menyembur, membasahi tu-
buhnya. Laki-laki itu tetap memejamkan mata, sampai
kekuatannya melemah, dan tubuhnya terguling ke lan-
tai. Ia sekarat. Lalu mati.
Omiko membungkukkan badan, memberikan peng-
hormatan terakhir pada suaminya. Sesudah itu ia
mengambil pisau yang masih tertancap di perut sua-
minya, kemudian menikam lehernya sendiri.
Bertepatan dengan hunjaman itu, pintu berhasil di-
dobrak dari luar. Ishida Mitsunari masuk ke dalam di-
ikuti sejumlah pengawalnya.
“Terlambat!” rutuknya geram. Ia melihat Omiko se-
karat meregang nyawa, namun lelaki tersebut tidak
peduli. “Kita harus segera mengejarnya,” kata Mitsuna-
ri sambil menerobos lorong rahasia di belakang bilik
itu. “Yoshioka membawa Pedang Muramasa.”
Ishida Mitsunari beserta pengawalnya bergegas me-
ngejar Yoshioka.
***
Satu menit sesudah Mitsunari meninggalkan bilik itu,
Saburo Mishima tiba di tempat itu. Laki-laki tersebut
terpana menyaksikan tubuh Ashikaga dan isterinya
yang terkapar tanpa nyawa.
Rupanya mereka telah memilih jalan kematian yang
suci. Nobunaga tak berhasil meraih seluruh kemena-
ngan dalam penaklukan ini.
Dengan khidmat Saburo Mishima membungkukkan
badan, memberikan penghormatan terakhir pada je-
nazah Ashikaga dan isterinya.
Di mana Natane Yoshioka? Dia tidak berada di sini,
berarti anak itu masih hidup. Selain itu, saya tak meli-
hat Pedang Muramasa di sini. Tidak bisa lain, hal itu
sebagai pertanda shogun telah mengusahakan pe-
nyelamatan terhadap putranya. Tetapi siapa yang me-
ngawal dia? Bagaimana pula dengan istri dan anakku?
Mishima melihat pintu di belakang bilik itu terbuka,
tanpa membuang waktu ia berlari menerobos lorong
itu.
***
PENGORBANAN

NATANE YOSHIOKA berjalan bergegas, setengah berla-


ri menyusuri lorong rahasia itu. Di belakangnya tam-
pak tujuh orang pengawal istana, Itzumi, dan Kojiro.
Lorong itu terasa pengap, dindingnya lembab ka-
rena berada di bawah tanah. Bahkan di beberapa tem-
pat tampak bocoran air mengalir deras. Rupanya din-
dingnya mulai rusak, sehingga aliran Sungai Muro di
sisi istana merembes ke bawah. Maklumlah, lorong itu
telah berusia hampir seratus tahun, karena dibangun
ketika Shogun Yoritomo berkuasa.
Meskipun sudah tua, namun hanya tempat perlin-
dungan itulah yang dapat menyelamatkan Natane Yoshi-
oka. Hanya beberapa pengawal istana yang mengetahui
adanya lorong tersebut. Selain Saburo Mishima, hanya
Ishida Mitsunari yang pernah memasuki lorong itu.
Karena merasa aman, Natane Yoshioka berhenti.
“Bagaimana kalau kita beristirahat dulu?”
“Terserah Yang Mulia Yoshioka,” jawab salah seo-
rang pengawalnya.
“Aku capek.”
Itzumi segera mendekati Yoshioka. “Sebaiknya kita
jangan berhenti, Yang Mulia. Sesudah menemukan je-
nazah Shogun Ashikaga, bukan mustahil mereka me-
nemukan pintu lorong ini. Mereka bisa saja berada di
belakang kita.”
“Berapa jauh kita akan keluar dari lorong ini?”
“Masih jauh.”
“Berapa kira-kira jauhnya?”
“Apa bedanya bagi Yang Mulia?”
“Saya ingin mengetahuinya.”
“Suami saya pernah menceritakan mengenai lorong
ini, jauhnya kira-kira tiga puluh mil....”
Yoshioka menukas karena terkejut. “Tiga puluh mil?”
“Benar.”
“Saya harus berjalan kaki sejauh tiga puluh mil?”
“Tidak ada pilihan lain. Ini satu-satunya jalan ke-
luar bila Yang Mulia ingin selamat.”
“Saya lebih suka melakukan seppuku.”
Samar-samar terdengar langkah kaki di belakang
mereka. Derap kaki bergegas mengejar mereka. Suara
itu bergema, kian lama kian keras.
Itzumi menoleh pada Natane Yoshioka, “Kita telah
membuang-buang waktu. Kalau tidak cepat mereka
pasti akan segera menyusul kita. Tak ada waktu lagi
untuk berdebat, kita harus segera pergi.”
Salah seorang pengawalnya berkata, “Biarkan saya
di sini, Yang Mulia. Saya akan berusaha menghambat
mereka.”
Natane menatap pengawal itu dengan penuh rasa
hormat, lalu bergegas ia meninggalkan tempat itu.
Sepuluh menit kemudian Ishida Mitsunari sampai
di tempat itu. Meskipun keadaan agak gelap dan ia se-
dang terburu-buru, namun lelaki itu tidak kehilangan
kewaspadaan. Ia melihat kilauan pedang terayun ke
arahnya, secara refleks ia berkelit ke kanan, kemudian
menebaskan pedang ke perut penyerangnya. Terdengar
jeritan melengking ketika pengawal Yoshioka merasa-
kan perutnya robek. Ketika tubuhnya rubuh di tanah,
Mitsunari kembali menikam punggung lelaki itu.
“Mereka tidak jauh dari kita,” kata Ishida Mitsunari
bengis. “Kejar mereka!”
***
Natane Yoshioka berhenti ketika mendengar lengkingan
kematian pengawalnya. Dadanya menjadi berdebar-
debar. Meskipun sudah terlatih sebagai seorang samu-
rai, namun di dalam hatinya muncul pula sedikit rasa
takut. Dengan bimbang ia menatap Itzumi, ingin men-
dapatkan pegangan moral.
“Mereka telah membunuhnya,” kata Yoshioka lirih.
“Jangan dihiraukan, Yang Mulia,” kata Itzumi pe-
nuh tekanan. “Kematian bisa terjadi di mana-mana.
Sekarang kita harus lari lebih cepat.”
“Kenapa kita harus lari?”
“Kita tak mungkin melawan mereka. Untuk kesela-
matan Yang Mulia, kita harus lari.”
Yoshioka membantah ketus, “Lari hanya untuk orang-
orang pengecut.”
“Kita lari karena menjalankan perintah Shogun Ashi-
kaga. Tidak seorang pun ingin disebut sebagai pe-
ngecut. Tetapi lari karena menjalankan perintah sho-
gun, sama mulianya dengan melakukan seppuku.”
Natane Yoshioka terdiam. Ia membenarkan ucapan
Itzumi. Karena itu ia berkata, “Kita akan lari, tetapi ha-
rus ada yang menghambat mereka.”
“Biarkan saya menghambat mereka,” jawab dua orang
pengawal secara bersamaan.
“Baiklah. Hati-hatilah kalian menghadapi mereka.”
“Nyawa kami taruhannya, Yang Mulia.”
Sesudah diam sejurus, Natane Yoshioka berbalik,
lalu kembali berlari. Baru lima menit ia meninggalkan
tempat itu, Mitsunari muncul. Pertarungan pun terja-
di. Dua pengawal itu dikepung enam orang pengawal
Mitsunari. Suara pedang beradu terdengar bergema di
dalam lorong itu, namun tidak berlangsung lama, kee-
nam samurai yang mengawal Mitsunari dengan mudah
merobohkan lawan mereka.
“Saya pastikan mereka tidak jauh dari sini,” kata
Mitsunari pada pengawalnya. “Dapatkan mereka sece-
patnya. Aku ingin menyambut kedatangan Shogun No-
bunaga lengkap dengan kepala Yoshioka dan Pedang
Muramasa!”
Kejar-kejaran itu terjadi dengan penuh ketegangan.
Sampai akhirnya Natane Yoshioka ambruk di tanah
karena kelelahan. Anak itu terengah-engah. Seluruh
tubuhnya berkeringat. Napasnya serasa mau putus.
Mereka kini sampai di sebuah ruangan yang cukup
luas, dengan sebuah patung Budha di tengahnya. Ini
tentu kuil di dalam lorong itu. Ada dua buah lubang
angin di langit-langit sehingga cahaya matahari masuk
ke dalam. Ruangan itu menjadi agak terang.
“Saya... tidak kuat lagi,” kata Yoshioka terengah-
engah sambil duduk di sebuah batu hitam.
Itzumi menukas, “Itu bukan ucapan seorang samu-
rai. Semangat bushido adalah pantang menyerah.”
“Aku akan menghadapi mereka.”
“Itu namanya bunuh diri.”
“Apa bedanya dengan seppuku?”
“Sangat berbeda. Seppuku dilakukan untuk menjaga
kehormatan ketika kita berada dalam ancaman. Tetapi
perlawanan yang akan Yang Mulia lakukan, tak lebih
bunuh diri secara konyol, karena kita tahu Yang Mulia
tak mungkin menang. Kecuali itu, saat ini Yang Mulia
menanggungkan kewajiban untuk menyelamatkan diri.
Kewajiban itu sama harganya dengan seppuku.”
Natane Yoshioka menghela napas panjang. Ia mena-
tap Kojiro, anak Itzumi yang juga berusia sebelas ta-
hun, sama dengannya. Anak itu sejak awal melakukan
pelarian, tidak pernah mengeluh. Wajahnya membeku,
menahankan rasa lelah yang sudah pasti menggerogoti
kekuatannya.
Ia seorang calon samurai sejati.
“Baiklah, mari kita berangkat....”
“Terlambat!” tiba-tiba terdengar suara Ishida Mitsu-
nari.
Laki-laki itu muncul diiringi pengawalnya. Mereka
langsung melakukan pengepungan. Natane berdiri
dengan terperanjat. Ia melangkah mundur, sementara
Itzumi maju untuk melindunginya.
“Ishida Mitsunari, apa yang engkau lakukan dengan
pengepungan ini?” Itzumi bertanya heran. “Bukankah
Shogun Ashikaga memerintahkan engkau melindungi
putranya?”
“Saya akan segera mengirimnya ke sorga,” kata Mit-
sunari dingin. “Setelah kedua orang tuanya, hanya
tinggal dia yang menjadi ancaman Shogun Nobunaga,
aku akan melengkapi kemenangannya dengan memper-
sembahkan kepala Yoshioka dan Pedang Muramasa.”
“Pengkhianat!” desis Itzumi geram, serta merta ia
mencabut pisau di pinggangnya. “Kau tak lebih samu-
rai bayaran. Tak punya kehormatan!”
“Kehormatanku adalah pangkat sebagai seorang
daimyo,” kata Mitsunari sambil tersenyum sinis. “No-
bunaga telah menjanjikan apabila aku berhasil mem-
bantunya merebut Istana Kamakura, dia akan meng-
angkatku sebagai daimyo di sini. Aku tidak sebodoh
suamimu yang seumur hidup bersedia menjadi budak
Ashikaga. Sebentar lagi aku akan menjadi seorang
daimyo yang kaya raya.”
“Dia lebih terhormat dibanding dirimu.”
“Apa artinya kehormatan dibanding kekuasaan yang
bakal kuperoleh?”
“Tak ada artinya karena engkau memang tidak pan-
tas menyandang kehormatan sebagai seorang samurai.
Kau tak lebih begundal busuk tanpa martabat!”
Seusai berkata begitu, Itzumi memerintahkan pe-
ngawalnya mulai menyerang. Pertempuran pun terjadi.
Kilatan-kilatan pedang menimbulkan suara berden-
ting. Bunga api berpijar setiap kali pedang mereka ber-
adu. Namun dalam beberapa menit sudah terlihat sia-
pa yang bakal memenangkan pertarungan itu. Penga-
wal Natane Yoshioka satu per satu rubuh dengan luka
menganga di tubuhnya.
Ketika semua pengawalnya telah binasa, Itzumi ber-
gerak mundur melindungi Natane Yoshioka dan anak-
nya.
“Kau harus membunuhku terlebih dulu sebelum
membunuh mereka,” kata Itzumi dengan api kemara-
han meluap-luap.
Ishida Mitsunari melangkah ke depan, mendesak
mereka ke dinding. Sambil tersenyum, laki-laki itu
berkata, “Apa susahnya membunuhmu?”
“Kalau begitu lakukanlah!”
“Aku akan menikmati kemenanganku. Sesudah mem-
bunuhmu, aku akan membunuh anakmu. Baru sesu-
dah itu aku akan memenggal kepala Yoshioka....”
Belum selesai Mitsunari bicara, tiba-tiba Itzumi me-
nyerang dengan pisau di tangannya. Laki-laki tersebut
hanya sedikit berkelit, lalu dengan bengis mengayun-
kan pedang merobek punggung wanita itu. Itzumi me-
rasakan kepedihan menyeruak ke dalam tubuhnya, ia
berbalik, dan ia melihat Mitsunari kembali mengayun-
kan pedang membelah tubuhnya.
Ketika tubuh Itzumi melayang sebelum ambruk ke
tanah, Saburo Mishima muncul dari lorong yang gelap.
Hanya sekilas ia melihat tubuh isterinya bermandikan
darah, karena saat itu para samurai di ruangan itu te-
lah menyerangnya.
“Kau benar-benar jahanam!” teriak Mishima marah.
“Kau telah mengkhianati Shogun Ashikaga.”
“Nobunaga akan mengangkatku sebagai daimyo Ka-
makura.”
“Kau tak akan pernah mendapatkan kehormatan
itu, kau terlalu rendah sebagai seorang samurai.”
“Bungkam mulutnya!”
Pengawal Mitsunari segera bergerak menebas, tetapi
kemarahan Mishima telah menjadikan kekuatannya
berlipat ganda. Ia menangkis, kemudian berputar sam-
bil menebas musuhnya. Seperti seekor banteng luka,
lelaki itu menyerang musuhnya dengan penuh kema-
rahan. Satu per satu musuhnya tumbang dengan luka
yang sangat dalam. Tidak lebih sepuluh menit, seluruh
pengawal Mitsunari telah berhasil dibinasakan.
“Permainan pedangmu masih bagus,” puji Mitsunari
sambil berputar, siap menghadapi serangan.
Saburo Mishima tidak menggubris pujian itu, ia kini
menyilangkan pedangnya di depan mata secara hori-
sontal, matanya yang tajam mengikuti setiap gerak ka-
ki musuhnya. Ia tahu siapa yang tengah ia hadapi.
Ishida Mitsunari adalah murid perguruan Yagyu yang
sangat disegani. Dahulu lelaki itu hanya seorang shu-
gyosa (samurai pengembara). Berkat permainan pe-
dangnya ia akhirnya bisa menjadi pengawal Shogun
Ashikaga. Tidak seorang pun meragukan kehebatan
permainan pedangnya.
Mitsunari menggenggam pedang dengan kedua ta-
ngannya ke samping kanan, pelan-pelan ia menggeser
kaki ke kiri. Kedua matanya menatap tajam pada mata
lawannya.
Jurus ‘Sabetan Pedang Pelangi’, kata Mishima da-
lam hati. Rupanya ia ingin menebas leherku dengan ju-
rus terhebat ‘Yagyu’.
Saburo segera mengubah posisi, ia menggenggam
pedang lurus di atas kepala. Ini adalah jurus ‘Pedang
Halilintar’. Bila Sabetan Pedang Pelangi menguta-
makan kecepatan, sebaliknya, jurus Pedang Halilintar
mempertaruhkan semua pada kekuatannya.
Mereka bergerak perlahan, menghitung setiap inci
gerakan lawan dengan teliti. Ketegangan kian memun-
cak. Natane Yoshioka dan Kojiro memperhatikan perta-
rungan itu dengan berdebar-debar.
Tiba-tiba dengan raungan panjang, Mitsunari me-
nyerbu lawan. Ia menebas leher Saburo, tetapi sebe-
lum pedang mengenai sasaran, pedang Saburo telah
menghantamnya, bunga api berpijar. Mitsunari berba-
lik sambil menebas perut lawan, kali ini Saburo mun-
dur dua langkah, kemudian melompat ke kanan sam-
bil mengirimkan tikaman. Sekali lagi terdengar suara
pedang beradu, kemudian mereka kembali memasang
kuda-kuda.
Kini Saburo Mishima yang menyerang, ia menikam
dada musuh dengan kedua tangannya, Mitsunari ber-
kelit sambil menebaskan pedang ke pinggang lawan.
Mishima mencabut pisau kecil di pinggang untuk me-
nangkis serangan itu. Lalu dengan kekuatan penuh ia
membabat kepala musuhnya. Dengan kecepatan se-
persepuluh detik Mitsunari menyadari serangan itu,
namun ia terlambat menghindar, sabetan pedang Mi-
shima mengenai wajahnya. Mata lelaki itu mengucur-
kan darah dengan luka memanjang hingga ke pipi.
Pandangan Mitsunari menjadi kabur. Kecuali hanya
mata sebelah kanan yang berfungsi, darah, dan rasa
pedih membuat lelaki itu sangat terganggu.
“Jahanam,” rutuk Mitsunari menggeram.
Dengan amarah meluap-luap lelaki itu kembali me-
nyerang. Ia menyabetkan pedang dengan penuh nafsu.
Serbuan itu membabi buta, sabetan pedangnya bagai
taufan yang memburu ke mana pun musuh menghin-
dar. Saburo Mishima menyadari ia tidak boleh lengah.
Sedetik saja ia lengah, maut akan menyergapnya.
Meski telah terluka, namun serangan Mitsunari tetap
berbahaya. Ingatannya melayang kembali ke pergu-
ruannya, saat itu ia menghadapi musuh yang sangat
bernafsu mengalahkannya.
“Nafsu hanya dapat dikalahkan oleh kesabaran,”
kata gurunya ketika itu. “Kau harus sabar menemukan
titik lemah lawan. Hanya dengan kesabaran, jalan ke-
menangan akan terbuka....”
Saburo Mishima menghindar, melompat ke belakang,
sementara Mitsunari terus memburunya. Lelaki terse-
but seakan ingin segera menyudahi pertarungan itu.
Saat Saburo berada di belakang tiang gua, Mitsunari
menebas sekuat tenaga, tiang bambu itu terpotong
menjadi dua. Karena kehilangan tiang penyangga, tanah
di atasnya berguguran ke bawah, Mitsunari menutup
mata, kesempatan yang hanya sepersekian detik itu tak
disia-siakan oleh Saburo, ia bergulingan sambil mene-
bas kaki musuhnya. Terdengar jeritan melengking keti-
ka Mitsunari roboh ke tanah. Kaki kirinya putus.
Ketika kesadaran Mitsunari mulai pulih, ia merasa-
kan ujung pedang Mishima menempel di lehernya.
“Kau kalah,” kata Saburo Mishima dengan bibir ge-
metar.
“Bunuhlah aku,” kata Mitsunari sambil merintih.
“Lengkapi kemenanganmu dengan kematianku.”
“Kau bukan seorang samurai. Aku tidak akan mem-
bunuhmu karena tidak ada harganya.”
“Jangan membuatku merasa terhina.”
“Kau memang hina,” tukas Mishima dingin. “Tidak
ada yang lebih hina dibanding seorang samurai yang
berkhianat. Kau lebih nista dibanding shugyosa. Aku
akan membiarkan dirimu tetap hidup agar kau me-
ngerti arti kehinaan dirimu.”
Saburo menarik pedangnya.
“Kenapa kau tidak membunuhnya?” tiba-tiba Na-
tane Yoshioka bertanya. “Dia seorang pengkhianat.”
Saburo membungkuk hormat. Kemudian menjawab,
“Dia telah kehilangan sebuah mata dan satu kakinya,
ia tak akan pernah lagi hidup sebagai seorang samu-
rai, lebih-lebih menjadi daimyo seperti keinginannya.
Dia akan menanggungkan penghinaan seumur hidup-
nya. Kematian hanya akan membuatnya senang, ka-
rena tak harus merasakan penderitaan.”
“Tetapi dia masih dapat melakukan seppuku.”
“Itu tidak akan dilakukannya, karena sebagai samu-
rai ia sudah tidak berhak melakukannya. Ia tahu, de-
ngan bunuh diri, jiwanya tidak akan diterima di sorga.”
“Bunuhlah aku, Saburo,” terdengar Mitsunari me-
rintih. “Jangan biarkan aku menanggungkan malu.”
“Engkau tidak akan mendapatkan kematianmu dari
tanganku.”
“Lakukanlah. Sebagai sahabat, kumohon kau mau
melakukannya, Saburo.”
“Kau sudah bukan sahabatku, Mitsunari. Musuh
pun kau musuh yang paling hina.”
“Saburo... penggallah kepalaku... kumohon....”
Saburo Mishima menatap dingin. Kemudian pelan-
pelan ia mendekati jenazah isterinya. Dengan perasaan
sedih ia mendekap wanita itu. Ia benamkan kepala iste-
rinya ke dalam pelukannya. Ia merasakan seluruh tu-
buhnya bergetaran. Napasnya memburu. Jiwanya bergo-
lak. Penuh berisi kepedihan, kemarahan, dan keharuan
sekaligus. Ia tak menyangka isterinya berani menebus
kesetiaannya kepada Ashikaga dengan nyawanya.
“Apa yang sekarang akan kita lakukan?” Yoshioka
tiba-tiba bertanya.
Saburo Mishima tersadar. Dia menoleh pada Yoshi-
oka dengan perasaan malu karena tak dapat menahan
perasaan. Ketika mengangkat muka, ia melihat tatapan
polos anak itu.
“Sebaiknya kita segera berangkat,” kata Mishima
kemudian. “Orang-orang Nobunaga masih terus me-
ngejar kita.”
***
TERKEPUNG DI BUKIT

ANGIN lembut bertiup dari Tenggara, membawa bau


tanah, air, dan bunga sakura. Saat itu telah memasuki
musim semi, namun udara dingin masih terasa mem-
bekukan pori-pori kulit. Salju tipis masih terlihat me-
nyapu ujung daun dan pepohonan, juga pada kuntum-
kuntum bunga sakura yang pucuk-pucuknya mulai
mekar.
Saburo Mishima menancapkan kayu di atas kubur
isterinya. Ia jongkok di depan makam itu sambil ber-
doa. Dada laki-laki itu penuh pergolakan; kepedihan,
kemarahan, kekecewaan, dan hasrat pembalasan den-
dam berbaur menjadi satu. Semua seakan lava gunung
yang siap meledak. Namun sebagai seorang samurai
sejati, ia diam. Meredam gelombang di dalam dirinya
hingga tak seorang pun mengetahuinya. Kecuali itu, ia
sendiri tak ingin memperlihatkan kepedihan pada Yo-
shioka dan Kojiro.
Selintas kenangan muncul, saat-saat ia pertama
kali memasuki Kamakura, setelah selama bertahun-
tahun menekuni ilmu pedang di Gunung Fuji. Pada
waktu itu Shogun Ashikaga tengah mencari pengawal
istana, karena wilayah Kamakura sering diserang para
ronin (kaum samurai liar). Hampir setiap hari terjadi
perampokan di wilayahnya. Lumbung padi dan rumah-
rumah di pinggir kota, setiap saat didatangi perampok
yang bertindak kejam. Kadang bukan hanya harta
yang dirampas, tetapi mereka juga memperkosa para
wanita.
Saburo bertugas di Desa Oji, sepuluh kilometer dari
Kamakura. Ia menjaga kampung itu bersama Ishida
Mitsunari. Suatu malam mereka mendengar jeritan da-
ri pinggiran desa, enam perampok telah menguras isi
rumah itu. Ketika meninggalkan rumah tersebut, me-
reka membawa serta anak perempuan pemilik rumah.
Saburo dan Mitsunari segera bertindak. Dalam sebuah
pertarungan, mereka berhasil membunuh keenam pe-
rampok itu.
Ketika para penjahat sudah tewas, Saburo melihat
seorang gadis kecil, kira-kira berusia enam belas ta-
hun, menatapnya dengan penuh kekaguman.
“Arigato gozaimasu,” gadis itu berterima kasih sam-
bil membungkukkan badan.
“Gozaimasuka,” balas Saburo dengan sikap yang
sama.
Itulah pertemuan pertama dengan Itzumi. Enam bu-
lan kemudian Saburo meminang gadis tersebut sebagai
isterinya. Sesungguhnya Ishida Mitsunari juga jatuh
hati pada Itzumi, namun lelaki tersebut berusaha tidak
memperlihatkan perasaannya.
Sebagai seorang istri, Itzumi sangat membahagia-
kan. Ia memberikan segala-galanya pada Saburo; kese-
tiaan, cinta, pelayanan seks, pengertian, dan seorang
anak laki-laki. Mereka menamakan anak itu Kojiro.
Anak itu tumbuh dengan cepat. Ia memiliki enerji yang
seakan tak pernah habis, dan otot-otot yang kuat.
“Dia kelak akan menjadi seorang samurai yang he-
bat,” kata Saburo pada isterinya.
Itzumi tersenyum. “Aku sudah dapat merasakannya
sejak ia ada dalam kandungan. Gerakan kaki dan ta-
ngannya terlampau kuat untuk seorang bayi.”
“Mungkin ia sudah belajar silat di dalam perutmu.”
“Mungkin,” jawab Itzumi sambil tersenyum. “Seperti
ayahnya.”
Saburo Mishima tersenyum, kemudian mendekap
isterinya dengan mesra. Ia mencium bibir wanita itu
dengan gemas. Mereka berpelukan, lalu bergulingan di
atas futon (kasur tipis yang digelar di lantai).
Itulah saat-saat bahagia yang tak terlupakan.
Ketika akhirnya Saburo Mishima diangkat sebagai
pengawal istana, isterinya menjadi teman istri Shogun
Ashikaga. Mereka bersahabat, karena keduanya memi-
liki anak yang sebaya. Natane Yoshioka sering berlatih
kendo (ilmu pedang) dengan Kojiro. Mereka mengisi
hari-hari kosong, dengan belajar ilmu pedang di se-
buah dojo (tempat berlatih bela diri) yang berada di
lingkungan istana. Saburo melatih mereka bagaimana
cara memegang pedang, dan menggunakannya untuk
menyerang atau menangkis. Pada saat-saat seperti itu,
Itzumi sering datang membawakan makanan untuk
mereka. Seusai berlatih kendo, biasanya mereka mi-
num sake dan menikmati dengaku (makanan khas Je-
pang yang dibuat dari tahu yang dipanggang kemudian
ditaburi taocho).
Perkembangan pelajaran kendo yang diberikan Sa-
buro, sangat dihargai oleh Shogun Ashikaga, karena
itu ia kemudian diangkat sebagai guru resmi Natane
Yoshioka. Sejak saat itu, Ashikaga menyuruh Natane
memanggil Saburo dengan sebutan sensei atau guru.
Pada mulanya Saburo agak keberatan, namun sebagai
seorang samurai, ia pantang membantah permintaan
shogun.
“Shogun Ashikaga telah memberikan pada kita se-
mua yang tidak terduga,” kata Itzumi suatu hari ketika
mereka berbaring di kamar hanya berdua. “Aku sendiri
tidak pernah membayangkan suatu saat akan tinggal
di dalam lingkungan istana.”
“Aku pun tidak pernah menduganya.”
“Karunia ini harus kita balas.”
“Dengan apa?”
“Kesetiaan.”
“Aku setia padanya.”
“Aku pun demikian.”
“Bagaimana denganku, apakah engkau tidak akan
setia padaku?”
Itzumi tersenyum, ia mengecup bibir suaminya de-
ngan mesra. “Jangan khawatir,” bisiknya lirih. “Aku
akan setia padamu melebihi kesetiaanku pada siapa
pun juga.”
“Juga dengan kesetiaanmu pada Shogun Ashikaga?”
“Kesetiaanku padamu berbeda dengan kesetiaanku
padanya,” kata Itzumi tanpa tekanan. “Tetapi sama he-
batnya.”
Tak pernah diduga, kesetiaan pada keluarga Ashi-
kaga, harus ditebus oleh Itzumi dengan nyawanya. Sa-
tu hal yang membuat kemarahan Saburo seperti tak
tertahankan, ternyata kematian isterinya justru di ta-
ngan Ishida Mitsunari!
“Berapa lama kita akan berada di sini, Sensei?” ti-
ba-tiba Natane Yoshioka bertanya pada Saburo.
“Kita harus menunggu sampai keadaan benar-benar
aman. Nobunaga saat ini pasti terus melakukan pen-
carian. Dia tidak akan berhenti sebelum berhasil me-
menggal kepala Anda.”
“Kita benar-benar seperti penjahat yang dikejar-kejar
pemburu.”
“Hidup Anda merupakan ancaman baginya. Karena
itu Nobunaga pasti bersedia membayar berapa pun un-
tuk memastikan kematian Anda.”
Natane Yoshioka terdiam. Pandangannya menyapu
panorama di sekitarnya. Dari tempat mereka berdiri,
tampak keindahan Kota Kamakura. Kecuali dua sungai
yang mengapit istana, terlihat desa-desa di sekitarnya.
Lalu jauh di belakang, tampak menjulang Gunung Fuji
dengan salju abadinya.
Kabut transparan yang menyelimuti bukit itu, tak
menutupi panorama indah bunga-bunga sakura yang
mulai bermekaran. Warna kuning dan merah menjadi-
kan titik pandang yang menawan.
Telah tiga hari mereka bersembunyi di bukit itu. Se-
tiap hari hanya makan buah-buahan dan membakar
ikan yang dapat mereka tangkap di sungai yang meng-
alir di bawah bukit tersebut. Biasanya Saburo menu-
runi bukit menjelang fajar, ia akan kembali sesaat se-
belum matahari terbit. Biasanya ia membawa beberapa
ikan yang berhasil ditangkap dengan tombaknya.
Dua kali ia hampir kepergok patroli pasukan Nobu-
naga, karena itu Saburo kemudian bersikap lebih hati-
hati. Bila tidak perlu sekali, ia tidak menuruni bukit.
Bagi Saburo, sesungguhnya bukan sesuatu yang sulit
untuk meninggalkan bukit itu, tetapi dua anak terse-
but merupakan persoalan tersendiri. Lebih-lebih Na-
tane Yoshioka yang masih mengenakan pakaian ista-
na. Anak itu dengan mudah menarik perhatian orang
yang melihatnya.
“Kita harus keluar dari sini,” kata Natane Yoshioka
tanpa berpaling pada Saburo. Ini sikap yang sangat
khas pada keturunan Ashikaga itu. Meskipun usianya
baru sebelas tahun, namun sikap dan perilakunya mem-
perlihatkan kharisma seorang shogun. Sikap tersebut
mengandung sedikit kesombongan, sekaligus pancaran
benih-benih kekuasaan. “Cepat atau lambat, pasukan
Nobunaga akan sampai di sini. Bila mereka berhasil
menemukan persembunyian kita, rasanya kita tak
mungkin memiliki kesempatan untuk meloloskan diri.
Bagaimana pun kita harus mencari jalan keluar, Sen-
sei.”
“Semua jalan telah dikepung. Bahkan Nobunaga me-
nempatkan tentaranya di setiap jarak dua ratus meter.
Ia benar-benar tak membiarkan kita keluar dari tempat
ini.”
“Bila dia mempersempit pengepungannya, kita pasti
tertangkap.”
“Itulah yang sekarang sedang saya pikirkan.”
“Tidak adakah penduduk di sekitar tempat ini yang
dapat menolong....”
“Sekarang bukan saatnya untuk mengharapkan
pertolongan orang lain,” tukas Saburo cepat. “Kita ti-
dak tahu apa-apa. Dalam keadaan seperti saat ini, se-
tiap orang dapat menjadi pengkhianat untuk kesela-
matan dirinya. Jangan mempercayai siapa pun.”
“Menurut Sensei, berapa lama kita dapat bertahan
di sini?”
“Tidak akan lama lagi.”
“Lalu ke mana kita akan pergi?”
“Itulah yang sedang saya pikirkan.”
“Bagaimana kalau kita ke Edo?”
“Ke Edo atau ke mana pun sama saja. Persoalannya
adalah bagaimana cara keluar dari kepungan tentara
Nobunaga. Mereka sekarang berada di mana-mana.
Sepertinya tidak ada tempat yang tidak dijaga.”
“Tidak mungkinkah di antara mereka ada yang ma-
sih setia pada ayahku?”
“Mungkin ada. Mungkin tidak. Kita tidak dapat me-
ngetahuinya.”
“Bagaimana cara terbaik untuk mengetahuinya?”
“Turun ke desa terdekat.”
“Itu gagasan bagus!”
“Tetapi cara itu mengandung risiko.”
“Apa risikonya?”
“Bila mereka berpihak pada Nobunaga, dalam wak-
tu singkat kita akan menghadapi bahaya besar. Me-
reka akan membongkar seluruh bukit ini untuk me-
nemukan Anda.”
“Itu lebih baik daripada kita berdiam diri di sini se-
perti orang terpenjara.”
Saburo Mishima membungkukkan badan. “Boleh-
kah saya mencegah Anda?”
“Sebaiknya tidak,” jawab Natane Yoshioka enteng.
“Saya ingin membuktikan seberapa besar kesetiaan
rakyat pada ayahku. Besok, menjelang fajar menying-
sing, saya akan turun ke desa terdekat. Kita akan tahu
seberapa besar sesungguhnya bahaya yang kita hada-
pi.”
“Apakah tidak berbahaya?”
“Saat ini tidak ada yang tidak berbahaya. Apa pun
risikonya, kita harus berani menghadapinya.”
“Pernahkah saya mengajarkan pada Anda, Yoshio-
ka-san, tentang ajaran Soen Tzu mengenai sebuah pe-
ngepungan?”
“Rasanya belum.”
“Maukah Anda mendengarkannya?”
“Coba katakan.”
“Soen Tzu adalah seorang panglima perang Cina
yang sangat terkenal. Pada lima ratus tahun sebelum
Masehi, ia telah menuangkan buah pikirannya menge-
nai strategi militer dalam buku yang diberi judul Seni
Berperang. Satu ajarannya mengatakan: Jika lawan
kuat di segala posisi, bersiap-siaplah untuk menghada-
pinya. Jika lawan lebih kuat, menghindarlah! Kita seka-
rang tahu, pasukan Nobunaga jauh lebih kuat diban-
ding kita bertiga, bukankah kita lebih baik menghinda-
rinya saja?”
“Kenapa kita harus berguru pada orang Cina?”
“Kita dapat belajar tentang kebijaksanaan hidup da-
ri siapa pun juga.”
***
NOBUNAGA

KOTA Kamakura seketika senyap. Udara diliputi kete-


gangan. Angin yang masih membawa bau anyir darah,
bertiup sepoi-sepoi. Debu dan sampah beterbangan di
jalan-jalan.
Orang-orang berdiri di tepi jalan, mereka berkumpul
untuk menyambut kedatangan Nobunaga. Dalam se-
buah prosesi arak-arakan yang panjang, disertai iring-
an suara genderang, Nobunaga memasuki Kamakura
dengan penuh kemenangan. Iring-iringan itu hampir
satu kilometer panjangnya, terdiri dari dua ribu pasu-
kan dari berbagai jenis tentara. Dimulai dengan bari-
san genderang yang ditabuh lelaki-lelaki bertelanjang
dada. Mereka mengenakan kain merah sebatas ping-
gang, dan ikat kepala warna putih. Suara genderang
itu ditabuh bertalu-talu, sebagai isyarat agar pendu-
duk membungkuk, memberikan hormat pada Shogun
Nobunaga. Menurut kepercayaan mereka, suara gende-
rang itu merupakan pengusir bala bagi mereka.
Di belakang penabuh genderang, tampak seratus
orang pasukan tombak yang membawa bendera warna
merah dengan gambar naga, lambang kebesaran No-
bunaga. Mereka melangkah tenang, namun waspada.
Rambut mereka tersimpan dalam topi warna merah,
sama dengan warna bendera.
Di belakang pasukan pembawa tombak itulah, Sho-
gun Nobunaga duduk di atas pelana seekor kuda war-
na hitam, melenggang memasuki istana Kamakura de-
ngan gagah. Seluruh tubuhnya dibalut pakaian perang,
kain brokat warna merah dengan hiasan gambar naga
dari benang emas. Dari bahu, siku, pergelangan ta-
ngan, lutut, dan betisnya dilindungi keping-keping besi
pelindung bagian tubuh dalam pertempuran. Ia me-
ngenakan sarung torso yang menutupi bagian dada
hingga perut, berupa sisik-sisik besi berwarna emas.
Lehernya ditutup kerah besi warna hitam, bahunya di-
lindungi cukin terbuat dari baja, sementara kepalanya
mengenakan pelindung terbuat dari bilah-bilah besi
yang penuh hiasan. Di pinggangnya terselip pedang
panjang dan pendek yang dilapisi emas. Tatapan ma-
tanya tajam. Kumisnya yang panjang dan jenggotnya
yang lebat mempertegas kewibawaan lelaki itu. Sinar
matanya menyapu ke setiap lorong kota, seakan ingin
mengatakan bahwa segalanya kini telah menjadi milik-
nya.
Nobunaga adalah seorang samurai sejati yang ber-
hasil menjadi penguasa di Jepang. Ia lahir di Kiyoto, di
sebuah dusun kecil tempat perguruan Yagyu didirikan.
Ayahnya seorang samurai, sementara ibunya seorang
petani yang mencari uang dengan membuat tatami.
Sejak kecil, ayahnya memang mengharapkan anaknya
menjadi samurai. Meskipun isterinya menentang kei-
nginan itu, namun ayah Nobunaga tak peduli. Hampir
setiap hari ia melatih anaknya bermain pedang. Kete-
kunan ini akhirnya membuahkan hasil. Pada usia
enam tahun, Nobunaga telah berhasil menguasai ilmu
pedang ayahnya.
Pada usia enam belas tahun, ayahnya memasukkan
anaknya ke perguruan Yagyu, sebuah perguruan silat
yang sangat termasyhur dengan permainan pedang-
nya. Di sini bakat Nobunaga berkembang pesat. Per-
mainan pedangnya tak terkalahkan oleh siapa pun.
Bahkan ia berhasil menaklukkan dua belas samurai
dalam sebuah pertarungan sengit. Disiplin yang dite-
rapkan ayahnya sejak kecil, telah membentuk sema-
ngat bushido dalam dirinya. Ia selalu pantang menye-
rah.
Tetapi kehebatan permainan pedang itu, tidak ber-
pengaruh apa-apa dalam kehidupannya. Ia tetap hidup
dalam kemiskinan. Para shogun dan daimyo (pengu-
asa-penguasa wilayah) sebagian besar hanya memper-
kaya diri sendiri. Mereka tidak memikirkan kehidupan
kaum samurai yang sesungguhnya menjadi benteng
pertahanan di wilayahnya. Hingga pada suatu hari,
Nobunaga menjumpai ayahnya terluka parah karena
melawan perampok. Daimyo Kawabata, tempat di mana
ayahnya mengabdi, justru mempersalahkan ayahnya
karena gagal mengusir perampok. Bahkan sehari se-
sudah ayah Nobunaga meninggal, Kawabata mengusir
keluarganya. Sejumlah samurai suruhan Kawabata,
membakar rumah Nobunaga.
Nobunaga marah. Sangat marah. Dengan pedang
milik ayahnya, Nobunaga melabrak Daimyo Kawabata.
Seorang diri ia menghadapi tiga puluh orang samurai.
Sebuah pertarungan antara hidup dan mati terjadi.
Dan Nobunaga keluar sebagai pemenang. Ia musnah-
kan seluruh keluarga Kawabata, lalu mengangkat diri
sebagai daimyo di wilayah itu.
Itulah titik tolak kemasyhuran Nobunaga. Dengan
memimpin para samurai yang berhasil ia kalahkan, sa-
tu per satu wilayah di sekitarnya ia taklukkan.
Kaisar Yoritomo, yang pada waktu itu berkuasa di
Jepang, merasa gentar menghadapi Nobunaga. Karena
itu ia segera mengirim utusan untuk mengangkat No-
bunaga sebagai shogun. Dengan mengangkatnya seba-
gai shogun, Kaisar berharap dapat menghentikan pere-
butan kekuasaan di wilayahnya. Ternyata ia keliru.
Nobunaga justru semakin bersemangat menaklukkan
daerah-daerah di sekitarnya.
“Aku memimpikan hanya ada seorang shogun di ba-
wah kaisar,” kata Nobunaga suatu hari. “Karena hanya
dengan penguasa tunggal, tahta dapat dipertahankan.
Kekuasaan yang terbagi-bagi, merupakan benih perla-
wanan yang berbahaya. Aku tidak menghendaki hal
seperti itu terjadi. Bila hanya ada Shogun Nobunaga di
Jepang, negeri ini pasti akan lebih menyenangkan. Ti-
dak ada pertikaian atau pertempuran atau perebutan
wilayah kekuasaan.”
Sikap itulah yang kini terpancar di sinar mata No-
bunaga ketika ia menuju istana Kamakura.
Di belakang Nobunaga, tampak tandu-tandu yang
dipikul sejumlah orang, berisi para geisha (wanita peng-
hibur) yang siap melayani Nobunaga. Meskipun me-
reka tersembunyi dalam tandu, namun semua orang
mengetahui, Nobunaga memiliki geisha-geisha yang
terkenal kecantikannya. Bahkan satu di antaranya,
menurut desas-desus, mempunyai kekuasaan melebihi
istri Nobunaga sendiri.
Naoko, salah seorang geisha berasal dari Fujiwara,
memiliki kecantikan luar biasa.
Di belakang geisha itu, berbaris lebih dari seribu
pasukan, yang terdiri dari samurai-samurai sejati. Se-
mua membawa dua pedang, sebagai pertanda bahwa
mereka adalah samurai yang mengabdi pada pengu-
asa. Meskipun pakaian mereka warna-warni, tak seo-
rang pun memakai warna merah, warna yang hanya
boleh dikenakan oleh Shogun Nobunaga. Rambut para
samurai diikat di atas kepala, dengan rambut di dahi
dicukur habis, hingga mempertegas garis keras pada
wajah mereka. Celana dan lengan baju mereka yang
besar, melambai-lambai tertiup angin seiring dengan
langkah mereka.
Penduduk Kamakura langsung membungkukkan
kepala pada saat Nobunaga lewat di depan mereka.
Suasananya terasa mencekam. Suasana itu semakin
menekan perasaan, karena di kanan kiri jalan, atas pe-
rintah Nobunaga, banyak berdiri tiang gantungan yang
dipakai menggantung para samurai yang telah mereka
kalahkan. Dalam jarak tiga kilometer dari gerbang is-
tana, ada hampir lima ratus tubuh samurai yang di-
gantung. Nobunaga tersenyum tipis menyaksikan ke-
kejamannya.
“Kekejaman ini akan membuat semua orang tak be-
rani melawanku,” kata Nobunaga pada Konishiwa—
panglima perang Ashikaga yang telah memihak pada-
nya. “Mereka akan mengetahui, aku tak segan melaku-
kan penumpasan sekejam-kejamnya untuk memperta-
hankan kekuasaanku.”
“Benar, Yang Mulia.”
“Kemenangan ini akan menjadi awal langkahku un-
tuk menguasai seluruh Jepang. Aku ingin para daimyo
di Hokaido, Kyiushu, Honshu, hingga Edo, memberi-
kan pengakuan atas kekuasaanku.”
“Perintah itu akan segera kami laksanakan.”
“Satu hal yang membuat kemenanganku kali ini ti-
dak lengkap, adalah lolosnya anak Ashikaga dan hi-
langnya Pedang Muramasa.”
“Saya pun menyesalkan hal itu.”
“Itu adalah kesalahan Ishida Mitsunari. Dia yang
harus bertanggung jawab atas hal itu.”
“Sebagai seorang samurai, dia telah gagal menja-
lankan kewajibannya. Yang Mulia dapat menghukum-
nya.”
“Apa hukuman yang harus kujatuhkan terhadap-
nya?”
“Perintahkan dia melakukan seppuku.”
Shogun Nobunaga menoleh pada Konishiwa, ia me-
nyadari seppuku merupakan hukuman yang setimpal
untuk menebus kegagalan Mitsunari. Tetapi cara itu
akan membuat lelaki tersebut tetap terhormat. Bagi
orang Jepang, kematian sebagai penebusan dosa ada-
lah kehormatan terbesar.
Di depan gerbang istana, Shogun Nobunaga mem-
beri isyarat agar seluruh pasukannya berhenti. Ia me-
lihat sebuah tiang besar telah ditancapkan di depan
pintu, di atasnya tergantung kepala Shogun Ashikaga
yang telah dipenggal. Kepala itu berwarna pucat dan
dikerumuni lalat yang beterbangan di sekitarnya.
“Sudah lama saya ingin memenggal kepalanya,” ka-
ta Nobunaga sambil tersenyum. “Tidak kusangka se-
mua bisa terjadi jauh lebih mudah dibanding yang ku-
perkirakan. Saya sangat menghargai bantuan Anda,
Konishiwa.”
“Terima kasih, Yang Mulia.”
“Kita akan merayakan kemenangan ini dengan pes-
ta tujuh hari tujuh malam, sekaligus sebagai perayaan
kepindahanku ke istana Kamakura. Aku ingin Anda
kumpulkan seluruh geisha di kota ini, juga panggil pe-
nari dari Fujiwara untuk memeriahkan pestaku. Ja-
ngan dilupakan pertunjukan sumo terbaik dari negeri
ini. Kukira semua prajurit perlu istirahat dan mempe-
roleh hiburan.”
“Baik, Yang Mulia.”
***
Saburo Mishima melompati parit yang melintang di
bawah pohon sakura, ia kemudian bergegas menuju
gubuk tempat persembunyian mereka.
Beberapa hari lalu, mereka menemukan sebuah gu-
buk kosong, bekas tempat membuat moxa, sejenis obat
yang dipakai untuk menghilangkan rasa sakit. Pembu-
atan moxa merupakan salah satu mata pencaharian
penduduk setempat. Biasanya pada musim semi, pen-
duduk mencari mugwort di sekitar Gunung Ibuki.
Mugwort yang telah diperoleh, kemudian mereka ke-
ringkan pada musim panas. Baru pada musim gugur
dan musim panas, penduduk membuatnya menjadi
moxa.
Karena sekarang musim semi, gubuk-gubuk yang
biasa dipakai membuat moxa banyak yang kosong, di-
tinggalkan para petani untuk mencari bahan obat-
obatan itu. Karena itu, ketika menemukan gubuk ter-
sebut, Saburo menganggap Tuhan berniat menyela-
matkan mereka. Bukan saja karena gubuk tersebut
dapat dipakai bersembunyi, tetapi sisa-sisa moxa yang
ada di tempat itu, dapat mereka pergunakan untuk
mengobati lukanya.
Di dalam gubuk itu, Natane Yoshioka sedang duduk
bersila sambil memegang pedangnya. Kojiro duduk di
sampingnya sambil menahan kantuk. Ketika mende-
ngar bunyi rumput ilalang terinjak kaki, kedua anak
itu saling berpandangan. Secara refleks Yoshioka men-
dorong bilah Pedang Muramasa dari sarungnya.
Mereka bernapas lega ketika melihat Saburo Mishi-
ma yang datang.
“Hari ini kita akan mengadakan pesta,” kata Saburo
sambil memperlihatkan seekor ayam di tangannya.
“Ayam ini kuperoleh dari rumah petani di bawah sa-
na.”
“Engkau mencurinya, Sensei?” Yoshioka bertanya.
“Ya. Saya terpaksa mencuri karena pemiliknya tidak
ada. Semua orang berangkat ke Kamakura untuk me-
nyambut kedatangan Nobunaga.”
“Mereka sekarang telah memasuki istana?”
“Tampaknya begitu. Saya sempat melihat iring-
iringan mereka dari jauh.”
“Berapa banyak pasukannya?”
“Saya tidak tahu pasti, tetapi saya kira tidak kurang
dari dua ribu orang. Melihat rombongan itu, tampak-
nya Nobunaga akan memindahkan pusat pemerinta-
han di Kamakura.”
“Dia merampas istana ayahku.”
“Itulah yang terjadi.”
“Dia telah membunuh kedua orang tuaku.”
“Dia juga membunuh ibuku,” Kojiro tiba-tiba berka-
ta. Ini mengejutkan Mishima. Selama ini, Kojiro jarang
mengungkapkan perasaannya. “Suatu saat saya akan
membalas.”
“Saya pun akan membalas,” sahut Yoshioka. “Me-
reka telah merampas semua milikku.”
“Kita semua akan membalas,” tukas Mishima de-
ngan suara mengandung kemarahan. “Tetapi tidak se-
karang. Kita harus mengumpulkan kekuatan terlebih
dulu sebelum melawan Nobunaga. Kekuatannya tidak
dapat kita anggap ringan. Dia memiliki samurai-sa-
murai terbaik di daerah ini.”
“Lalu apa yang harus kita lakukan?”
“Kita harus membangun kekuatan terlebih dulu.
Anda sendiri, harus mulai memperdalam ilmu pedang.
Suatu saat Anda akan memerlukannya.”
“Baiklah. Saya akan mempelajarinya. Kapan engkau
dapat mengajariku bermain pedang?”
“Kita mulai besok pagi.”
***
Nobunaga berendam di kolam air hangat Istana Kama-
kura. Ia membiarkan Naoko menyabuni seluruh tubuh-
nya. Air hangat itu meresap ke dalam pori-pori kulit-
nya, membuat tubuhnya segar. Inilah yang sangat ia
sukai dari Naoko, geisha tersebut mengetahui apa yang
paling disukai seorang laki-laki. Suatu kemanjaan sek-
sual yang penuh imajinasi.
Sambil membiarkan geisha itu membersihkan tu-
buhnya, Nobunaga memandangi tubuh polos wanita
itu. Tubuhnya benar-benar menggiurkan. Meskipun ke-
cil, seperti umumnya wanita Jepang, namun Naoko
memiliki tubuh yang sempurna. Kulitnya halus seperti
lilin, kuning langsat, payudaranya besar namun indah,
pinggulnya juga besar dan sangat menggairahkan.
Raut wajahnya yang oval, dilengkapi hidung bangir,
dan bibir sensual, menyebabkan kecantikannya tak
tertandingi. Lebih dari semua kecantikan fisik itu, Nao-
ko selalu memiliki gaya bercinta yang memabukkan.
Sebelum mereka bercinta, selalu diawali dengan
mandi bersama. Geisha itu dengan penuh kemesraan
membersihkan seluruh tubuh Nobunaga. Ia terus me-
nyabuni tubuh lelaki tersebut, seluruhnya. Dari ujung
kaki sampai leher Nobunaga. Semua itu merupakan
awal permainan cinta yang penuh sensasi
“Siapa yang disuruh memimpin perburuan anak
Ashikaga?” Naoko bertanya sambil terus membelai tu-
buh Nobunaga.
“Aku telah memerintahkan Konishiwa mengepung
seluruh wilayah Kamakura. Mereka tidak akan dapat
lari.”
“Tidak perlukah dibuat pengumuman tentang pe-
ngejaran itu?”
“Maksudmu?”
“Seperti sayembara dengan hadiah. Saya kira sema-
kin cepat kita berhasil memenggal kepala Yoshioka,
semakin baik. Jangan memberi kesempatan bagi me-
reka untuk memperoleh sekutu.”
“Bagaimana caranya?”
“Keluarkan dekrit untuk perburuan kepala mereka.”
Nobunaga diam. Ia menatap wajah Naoko dengan
penuh rasa kagum.
“Rupanya kau tidak hanya pintar bercinta,” kata
Nobunaga kemudian. “Tetapi juga bersiasat perang.”
“Bercinta dan berperang adalah sama saja,” jawab
Naoko manja. “Keduanya memerlukan seni dan kecer-
dasan.”
Nobunaga hanya dapat mendesis ketika Naoko mu-
lai membelai-belai pahanya.
“Kau selalu berhasil merangsangku, Naoko-san.”
“Kalau begitu saya ingin membuktikannya.”
“Tanpa membuktikan pun, kau sudah mengetahui-
nya.”
Naoko tersenyum, giginya yang putih bersih tampak
mempesona.
“Kemarilah, aku ingin menciummu,” kata Nobunaga
sambil mengulurkan tangan.
“Benarkah hanya ingin menciumku?”
“Aku tidak tahu.”
Dengan mesra Naoko mendekat, kemudian mereka
berciuman dengan mesra. Lalu penuh nafsu. Gairah di
dalam diri Nobunaga seakan tersulut api. Ia mendekap
kekasihnya dengan erat, lalu menciuminya bertubi-
tubi. Dimulai dari bibir, lalu turun ke leher, bahu, ke-
mudian turun lagi ke bawah.... Naoko memeluk erat le-
laki itu.
“Oh, nikmat sekali....”
Nobunaga menarik pinggul Naoko ke pangkuannya,
kemudian dengan hentakan lembut ia memeluk tubuh
wanita itu. Terdengar desis mereka. Air hangat di ko-
lam itu terus berasap, menciptakan sensasi kehanga-
tan yang luar biasa. Setiap kali mereka bergerak, ge-
lombang panas menyelimuti tubuh mereka.
Naoko bergerak dengan lembut, membuat perasaan
Nobunaga seakan melayang ke dunia lain.... Mereka
menyatu dalam irama yang menghempas-hempas,
menciptakan gelombang kehangatan yang nikmat dan
sensasional. Bagi Nobunaga sendiri, bercinta di kolam
air hangat terasa sangat menyenangkan, enerjinya se-
akan berlipat ganda, sehingga ia dapat bercinta dalam
waktu lama. Kehangatan yang berubah-ubah antara
rasa nikmat dan air panas, menyebabkan konsentra-
sinya tak hanya tercurah pada permainan cinta terse-
but.
Ketika mereka telah bercinta lebih dari setengah
jam, Naoko berkata, “Nikmati, Yang Mulia. Nikmati!”
Naoko kemudian bergerak lebih cepat. Lebih cepat.
Tidak lagi lembut, tetapi kini liar dan sesekali kasar.
Nobunaga memejamkan mata rapat-rapat, ia merasa-
kan seluruh tubuhnya bergetaran dengan hebat, dan
akhirnya laki-laki itu meraih tubuh Naoko dan men-
dekapnya dengan erat. Sangat erat. Ia merasakan selu-
ruh kelenjar dalam tubuhnya meledak dalam perasaan
sensasional yang sangat nikmat. Setengah jam kemu-
dian, Nobunaga membuka mata dengan rasa letih yang
menggerogoti tubuhnya. Ia melihat Naoko telah berpa-
kaian.
“Hei, engkau mau ke mana?”
“Menjumpai Konishiwa-san.”
“Untuk apa?”
“Memberitahukan dekrit Anda; siapa pun yang da-
pat memenggal kepala Yoshioka dan membawa Pedang
Muramasa kemari, mereka akan memperoleh hadiah
seribu real.”
Nobunaga terbelalak, “Seribu real?”
“Ya,” jawab Naoko mantap. “Apa artinya seribu real
dibanding istana Kamakura ini. Saya akan menyuruh
Konishiwa mengumumkannya.”

***
PENGUSIRAN

KAKI gempal dan berotot, terangkat tinggi dan sebentar


melayang-layang sebelum menghantam lantai dengan
suara berdebum. Tangan yang kekar berubah menjadi
tinju sebesar batu, menghunjam, dan membuat rua-
ngan seketika bergetar. Dua petarung yang hampir te-
lanjang, sama-sama siap melempar lawan keluar are-
na. Ketegangan benar-benar memenuhi udara.
Suasana sangat mencekam. Orang-orang di sekitar
arena bersorak-sorak kegirangan untuk kedua pegulat
di atas dohyo, ring sumo. Jeritan histeris dan teriakan
tertuju pada kedua pesumo itu. Semua memberikan
semangat bagi sumotori yang dijagoi.
“Takinada!” jerit seorang gadis jelita. “Rebut keme-
nanganmu untukku!”
“Aku sayang kamu!” pekik seorang gadis lain. “Lem-
par musuhmu ke luar arena!”
Takinada melangkah ke dalam dohyo sambil mena-
burkan segenggam garam (tatacara penyucian) ke uda-
ra. Para penonton pria yang setengah mabuk, dan se-
jumlah samurai, bersorak-sorak. Mereka benar-benar
menikmati pertarungan itu.
Kashima, dengan tubuh yang amat gemuk, mulai
melancarkan pukulan ke dada Takinada. Ia mengga-
saknya dengan dorongan tubuh, dan berusaha menja-
tuhkan lawannya. Dalam seketika, mereka terlibat do-
rong mendorong dengan seluruh kekuatan. Takinada
terdesak di pinggir lingkaran kapur putih, ia berusaha
bertahan sekuat tenaga. Napas Kashima mendengus,
mata lelaki itu melotot seperti seekor banteng yang
tengah marah.
“Kau akan kulempar keluar arena,” desis Kashima.
Hanya sedetik Kashima mengucapkan kata-kata itu,
tetapi itu sudah cukup menjadi peluang bagi Takinada
untuk mencengkeram tali pinggangnya, kemudian de-
ngan kekuatan penuh melemparkannya ke luar ring.
Kashima jatuh menggelimpang di luar dohyo.
Tepuk tangan terdengar gemuruh.
“Hidup Takinada! Hidup Takinada!” terdengar sorak
sorai membahana. Sejumlah samurai beranjak ke doh-
yo untuk mengangkat Takinada. Mereka menumpah-
kan kegembiraan sambil minum sake. Kaum wanita
mengelu-elukan sambil menari-nari.
Shogun Nobunaga yang menyaksikan pertarungan
itu dari tempat yang tinggi, turut bertepuk tangan. Su-
dah lama sejak terjadi pertikaian dengan Ashikaga, ia
tidak menyaksikan sumo. Karena itu malam ini ia tam-
pak mengumbar senyum ceria. Tiga orang geisha yang
melayaninya turut tersenyum menyaksikan kegembi-
raan Nobunaga. Sambil sesekali membelai tangan Nao-
ko, lelaki itu tertawa-tawa gembira.
Selain kendo, Nobunaga memang sangat menyukai
sumo. Olah raga gulat khas Jepang ini telah berusia
lebih dari dua ratus tahun, namun kian lama pertun-
jukannya justru kian memikat. Pada festival Koguryo,
berdatangan pesumo dari seluruh Jepang. Mereka
mengadu kekuatan untuk membuktikan siapa yang
terbaik di antara mereka. Dan kini, telah tiga tahun
Takinada membuktikan dirinya sebagai pesumo ter-
baik.
“Aku ingin didirikan sebuah tempat pertarungan
sumo secara tetap di Kamakura,” kata Nobunaga pada
Konishiwa yang duduk di sebelahnya. “Kita dapat men-
datangkan pesumo-pesumo dari Koguryo atau Kiyoto
untuk meramaikan pertunjukan ini.”
“Koguryo memang tempat kelahiran pesumo yang
hebat, Yang Mulia.”
“Itu sebabnya kuminta kau mencari pesumo dari
sana.”
“Baik. Saya akan melaksanakan perintah, Yang Mu-
lia.”
“Jangan lupa, cari pula penari-penari dari Izu agar
pertunjukan tambah meriah.”
“Saya rasa itu gagasan yang menarik.”
“Bagaimana menurut pendapatmu, Naoko-san?”
Naoko mengerling pada Nobunaga dengan manja.
“Sepanjang mereka memang penari, saya rasa tidak
apa-apa.”
“Apa maksudmu dengan mengatakan ‘memang pe-
nari’?”
“Siapa tahu Konishiwa justru membawa para geisha.”
Nobunaga tertawa terbahak-bahak, kemudian de-
ngan ujung jarinya ia menjentik dagu Naoko.
“Rupanya kau cemburu, Naoko-san.”
“Apakah saya tidak boleh cemburu?”
“Tentu boleh. Tetapi jangan sekali-kali kau perli-
hatkan di depan Konishiwa-san. Dia akan tahu kele-
mahanku... ha... ha... ha.”
Tiba-tiba seorang samurai datang. Laki-laki itu
membungkukkan badan hingga kepalanya menyentuh
lantai.
“Ishida Mitsunari telah menghadap,” kata samurai
itu tanpa mengangkat kepala. “Dia saat ini berada di
Istana Dalam ingin bertemu Yang Mulia.”
Nobunaga menoleh pada Konishiwa, kemudian ber-
kata dalam irama stakato yang cepat.
“Saya akan menemuinya. Suruh dia menunggu.”
“Haik!”
***
Di Istana Dalam, Ishida Mitsunari bersimpuh di atas
tatami. Laki-laki itu mengenakan pakaian serba putih,
lengkap dengan ikat kepala warna putih. Di depannya
tampak samurai yang diletakkan melintang. Di sisi pe-
dang itu, terdapat pedang pendek, dan satu cangkir
sake. Suatu tanda bahwa Mitsunari ingin melakukan
seppuku.
Nobunaga muncul dari belakang, diiringi Konishiwa,
dan sejumlah pengawalnya. Ketika lelaki tersebut mun-
cul, semua orang di dalam ruangan itu serentak mem-
bungkukkan badan hingga kepala mereka menyentuh
lantai.
“Ishida Mitsunari!”
“Haik, Yang Mulia.”
“Engkau telah gagal menjalankan kewajibanmu se-
hingga anak Ashikaga lolos dan Pedang Muramasa le-
nyap.”
“Benar, Yang Mulia.”
“Kau tidak pantas memperoleh penghormatan seba-
gai seorang samurai. Satu-satunya tebusan untuk ke-
gagalan adalah kematian. Tetapi kegagalanmu kali ini
jauh lebih buruk dari kegagalan apa pun juga. Lolos-
nya Yoshioka menjadi benih bahaya yang tak dapat di-
cegah. Karena itu aku akan menghukummu.”
Mitsunari membungkukkan badan penuh hormat,
“Saya minta diizinkan untuk melakukan seppuku.”
“Seppuku?”
“Benar, Yang Mulia. Rasanya saya tak sanggup me-
nanggungkan rasa malu. Telah menjadi kewajiban
saya sebagai seorang samurai untuk menebus kegaga-
lan ini dengan nyawa.”
“Seorang samurai pantang melakukan kegagalan,”
kata Nobunaga dalam nada tinggi. “Kau tidak pantas
menjadi samurai.”
“Yang Mulia!” Mitsunari mengangkat kepala. Ia sa-
ngat kaget mendengar pernyataan Nobunaga. Kata-
kata Nobunaga memberi isyarat bahwa ia tak diizinkan
melakukan seppuku. Ini berarti ia akan menanggung-
kan penghinaan seumur hidupnya. Bila dugaan ini be-
nar, berarti Nobunaga telah mencampakkan dirinya
dengan penuh kehinaan.
Nobunaga berkata, “Engkau tidak kuizinkan mela-
kukan seppuku. Kau harus menjalani hukuman karena
kegagalanmu. Hari ini juga, kau harus meninggalkan
Kamakura. Kau tidak kuizinkan memasuki wilayah ke-
kuasaanku sebelum kau berhasil membawa kepala Yo-
shioka dan menyerahkan Pedang Muramasa padaku.
Hanya itu penebusan yang dapat kau lakukan.”
“Saya memohon ampun, Yang Mulia,” kata Mitsuna-
ri sambil menahan isak tangis. Pengusiran terhadap-
nya benar-benar merupakan hukuman yang sangat
mengerikan. Lebih dari itu, dengan kaki yang hanya
tinggal sebelah, bagaimana mungkin ia akan menga-
lahkan Saburo Mishima? “Rasanya saya tidak sanggup
menanggungkan hukuman itu, izinkan saya melaku-
kan seppuku saat ini juga.”
“Tidak!” jawab Nobunaga tegas. Suaranya menggun-
tur hingga membuat semua orang yang ada di ruangan
itu terkesima. “Aku sudah mengatakan keputusanku.
Tak seorang pun kubiarkan mengubahnya. Hari ini,
kau akan diantar keluar dari Kamakura, sesudah itu
carilah orang-orang yang sudah kaubiarkan selamat
dari pengepungan. Hanya dengan membawa kepala
Yoshioka dan Pedang Muramasa, namamu akan kupu-
lihkan sebagai seorang samurai, dan janjiku akan ku-
penuhi untuk mengangkatmu sebagai seorang da-
imyo.”
Seusai berkata begitu, Nobunaga bangkit berdiri, la-
lu tanpa berpaling lelaki itu bergegas pergi. Semua
orang yang ada di ruangan itu membungkukkan badan
dengan penuh hormat.
***
Senja merah. Matahari mulai terbenam. Langit di atas
Kota Kamakura seperti hamparan darah. Sejauh mata
memandang, hanya warna merah yang tampak.
Sebuah gerobak yang ditarik seekor kuda tua keluar
dari gerbang istana. Kecuali seorang lelaki tua, enam
orang samurai berjalan di sisi kanan dan sisi kiri gero-
bak itu. Mereka mengenakan topi tikar berbentuk bu-
lat, tatapan mereka lurus ke depan. Selama perja-
lanan, tak seorang pun membuka percakapan. Semua
membisu seakan menyembunyikan suatu rahasia.
Di dalam gerobak itu, Ishida Mitsunari duduk sam-
bil menahan kepedihan. Ini merupakan penghinaan
tak terperikan. Pengusiran kali ini telah menghancur-
kan seluruh impiannya. Angan-angan menjadi daimyo,
kini menjadi berantakan. Kekalahannya melawan Sa-
buro telah menjadi malapetaka dahsyat dalam hidup-
nya. Semua ini memang kesalahannya, ia terlalu me-
remehkan Saburo. Dalam pertempuran di Bukit Huy,
ia terlanjur membayangkan Saburo pasti tewas, se-
hingga dengan mudah ia memenggal kepala Ashikaga,
menumpas seluruh keluarganya, dan merebut Pedang
Muramasa. Ternyata apa yang dikhayalkan tidak men-
jadi kenyataan. Ia tidak menduga sama sekali, Saburo
akan kembali ke istana untuk menyelamatkan Yo-
shioka.
Selama ini ia tahu, Saburo memang seorang samu-
rai yang hebat. Karena itu Ishida Mitsunari mencoba
bersiasat dengan mengirimnya ke medan pertempuran,
tak terbayangkan sedikit pun kalau akhirnya lelaki ter-
sebut mengetahui siasatnya. Dan celakanya, dalam
pertarungan di lorong rahasia itu, Mishima berhasil
mengalahkannya.
Sebenarnya persoalan akan selesai apabila Saburo
membunuhnya. Ternyata tidak, lelaki yang telah ber-
hasil memotong kakinya itu, membiarkan Mitsunari te-
tap hidup. Saburo tahu, dengan cara itu, Mitsunari ju-
stru akan mengalami penghinaan paling keji bagi se-
orang samurai.
Dia sengaja tidak membunuhku, karena ingin melihat
aku mengalami penghinaan ini. Bangsat!
Kesedihan tiba-tiba mendidihkan darah dalam tu-
buh Mitsunari. Berbagai perasaan berkecamuk dalam
dirinya. Rasa terhina, menyesal, kecewa, marah, dan
api kebencian membangkitkan daya hidup lelaki itu. Ia
menyadari, satu-satunya cara untuk membersihkan
namanya, hanya dengan membunuh Saburo, memeng-
gal kepala Yoshioka, dan merebut kembali Pedang Mu-
ramasa. Hanya dengan cara itu ia dapat menghapus
penghinaan ini.
Bisa saja ia sekarang melakukan bunuh diri, tetapi
namanya akan tetap tercemar selamanya. Ia tak ingin
hal itu terjadi. Karenanya, pilihan satu-satunya adalah
mencari Saburo untuk melaksanakan pembalasan
dendam, sekaligus pembersihan namanya.
Ishida Mitsunari mengangkat kepala, matanya me-
mancarkan hawa pembunuhan yang mengerikan. Ke-
dua gerahamnya saling beradu, dan tubuhnya bergetar
hebat. Api dendam telah menguasai setiap pori-pori
tubuhnya. Ketika matanya menatap pada kakinya yang
terpenggal, seluruh hawa kemarahan dalam dirinya tak
terbendung lagi.
“Turunkan aku di sini!” teriaknya lantang.
Keenam samurai yang mengawalnya tak bereaksi.
Menimpali pun tidak. Mereka seakan tidak mendengar
teriakan itu.
“Hei, turunkan aku di sini!” sekali lagi Mitsunari
berteriak. “Aku akan mencari Saburo!”
Salah seorang samurai menoleh, ketika matanya
bertatapan dengan Ishida, ia segera membuang muka.
Sikap samurai itu jelas merupakan penghinaan bagi
Ishida. Belum pernah selama ini ia diperlakukan se-
perti itu. Kemarahannya benar-benar sampai ubun-
ubun. Karena itu ia berteriak sekali lagi, “Hentikan ge-
robak ini. Biar aku turun di sini!”
Tidak seorang pun menggubris teriakannya. Ishida
Mitsunari meraih pedangnya kemudian menebas tali-
tali pengikat gerobak itu, seketika gerobak itu terbuka.
Pada saat keenam samurai masih terperanjat menyak-
sikan tindakannya, Mitsunari telah berguling, menja-
tuhkan diri dari dalam gerobak. Ia langsung memasang
kuda-kuda dengan bersimpuh untuk menghadapi se-
gala kemungkinan.
Keenam samurai yang mengawal gerobak itu lang-
sung mengepungnya.
“Kalian sebaiknya tinggalkan aku di sini,” kata Ishi-
da dengan suara bergetar karena marah. “Katakan pa-
da Shogun Nobunaga, saya telah meninggalkan wila-
yahnya. Saya akan memburu Saburo untuk merebut
Pedang Muramasa!”
Reaksi keenam samurai itu adalah menyerang seca-
ra bersamaan. Bagi mereka tak ada pilihan lain. Kega-
galan mengawal Ishida hingga keluar wilayah Kamaku-
ra, sama dengan hukuman mati. Mereka tak ingin
mengalami kegagalan itu.
Dua orang samurai bergerak serentak, mereka me-
nebaskan pedang secara vertikal, Ishida menangkis
dengan gerakan jurus ‘Mengoyak Rembulan’. Terde-
ngar gemerincing pedang beradu, dan sebelum kedua
samurai itu hilang rasa kagetnya, Ishida telah menebas
dengan ayunan pedang berputar seperti baling-baling.
Kedua tubuh samurai itu ambruk dengan darah me-
ngucur dari luka mereka.
Begitu temannya ambruk, dua orang lagi menye-
rang, Ishida segera berbalik, dan berguling menyong-
song serangan itu sambil membabatkan pedangnya.
Sabetan itu demikian kuat, sehingga kedua lengan pe-
nyerangnya langsung terpenggal. Terdengar jeritan me-
lengking samurai itu, sebelum akhirnya ia rubuh ke
tanah setelah Ishida menikamnya dari belakang.
Samurai berikutnya menyerang serentak dari tiga
jurusan, namun dengan gesit Ishida berguling ke ka-
nan sembari menebas ke bawah. Saat ia berguling, ke-
tiga samurai itu serempak mengayunkan pedang ke
arah kepala. Ishida berhasil menangkis, kemudian
mengirim sabetan ke perut lawannya. Ketiga samurai
tersebut meloncat ke belakang. Mereka kemudian
kembali bersiaga untuk menyerang.
Ketiga samurai itu mengangkat pedang tinggi-tinggi
di atas kepala, rupanya mereka akan menyerang de-
ngan jurus ‘Pedang Membelah Awan’. Ishida segera
menarik pedangnya rapat di bahu, matanya menatap
tajam gerak-gerik ketiga musuhnya.
“Pergunakan jurus ‘Membelah Awan’,” kata Ishida
menggeram. “Kalian akan merasakan kehebatan jurus
pedang ‘Menepis Halilintar’.”
Secara serempak ketiga samurai itu menyerbu, te-
riakan mereka sesungguhnya sangat menggetarkan.
Namun Ishida telah siap, ia tetap diam, membiarkan
lawan mendekatinya, satu detik sebelum ayunan pe-
dang musuh menyentuh tubuhnya, Mitsunari bergul-
ing ke depan sambil menebaskan pedang ke perut la-
wannya. Ketiga samurai itu menjerit sambil mendekap
luka menganga di perutnya. Mereka ambruk ke tanah.
Mati.
Laki-laki tua penarik gerobak gemetaran menyaksi-
kan pembantaian di depannya. Seluruh tubuhnya se-
rasa membeku. Tatapannya nanar. Rasa takut yang
luar biasa, membuat lelaki tersebut tak mampu meng-
gerakkan badannya. Kebekuan itu mencair ketika Ishi-
da membabatkan pedang ke wajahnya. Ia merasakan
darah mengucur deras dari batok kepala hingga dada-
nya. Seluruh tubuhnya dirasakan lumpuh, kemudian
melayang ambruk ke tanah. Lalu semuanya gelap guli-
ta.
Ishida Mitsunari memutar pedangnya, kemudian
memasukkan pedang tersebut ke dalam sarungnya.
“Kalian sudah kuperingatkan,” kata Mitsunari di-
ngin. “Bila pedangku sudah tercabut dari sarungnya,
aku pantang memasukkan kembali tanpa membunuh
musuhku.”
Mitsunari mengambil topi pandan milik musuhnya.
Sesudah mengenakan di kepalanya, ia berjalan terta-
tih-tatih meninggalkan tempat itu.
Saatnya aku memburu Yoshioka dan Saburo Mi-
shima!
***

JALAN PEDANG

MUSIM semi menampilkan pemandangan yang sangat


indah. Bunga-bunga sakura bermekaran, sementara
daun-daunnya menampilkan pesona keindahan yang
menawan. Kabut transparan yang menyelimuti lereng
bukit, tempat persembunyian Saburo dan Yoshioka,
tampak seperti kelambu tipis.
Gubuk itu berada di lereng bukit, diapit dua buah
sungai yang berair jernih. Bagi Saburo, letak gubuk itu
sangat menguntungkan. Kedua sungai tersebut dapat
dianggap sebagai parit pertahanan yang baik. Selain
itu, sungai tersebut memberikan ikan untuk mereka
makan. Pada sore hari, bila tidak sedang latihan, Sa-
buro tak jarang mengajak Yoshioka dan Kojiro mencari
ikan. Kedua anak itu dengan wajah ceria membuka ba-
tu-batu di sungai tersebut untuk menangkap ikan.
Hampir sebulan mereka bersembunyi, belum per-
nah sekali pun mereka bertemu dengan orang lain.
Gubuk itu seakan ditinggalkan oleh pemiliknya.
Di senja hari yang cerah itu, tampak Kojiro dan Yo-
shioka tengah berlatih kendo. Saburo telah membua-
tkan mereka pedang kayu dari pohon ek. Dengan pe-
nuh semangat, kedua anak sebaya itu memutar-mu-
tarkan pedang, kemudian sesekali menebas sambil
berteriak nyaring. Saburo memperhatikan setiap gerak
kedua anak itu dengan seksama, dan ia menyadari ke-
duanya adalah calon samurai berbakat.
Yoshioka yang kini memiliki tubuh kecil, memiliki
otot lentur, dan gerakan yang luwes. Ia memiliki kelin-
cahan luar biasa. Permainan pedangnya sangat berba-
haya. Berbeda dengan Yoshioka, Kojiro memiliki tubuh
tegap dan otot yang kuat. Meskipun tidak begitu lin-
cah, ia mempunyai kekuatan yang sangat mengagum-
kan. Sabetan pedangnya, kelak bisa sangat berbahaya.
Satu hal yang menggembirakan Saburo, kedua anak
itu mau menjalankan latihan secara keras dan tanpa
banyak bertanya. Secara diam-diam semangat bushido
mengaliri darah Yoshioka maupun Kojiro.
“Kalian harus memulai dari ryo-kuruma, sabetan pe-
dang Sepasang Roda,” kata Saburo memberikan pene-
gasan pada Yoshioka dan Kojiro. “Sabetan ini menjadi
dasar setiap serangan. Tanpa penguasaan yang baik
atas jurus ‘Sepasang Roda’, kalian akan gagal mengua-
sai jurus lainnya.
“Saya tidak akan gagal, Sensei,” sahut Yoshioka te-
gas.
“Saya juga tidak akan gagal,” sambung Kojiro.
“Jurus ‘Sepasang Roda’ merupakan tebasan melin-
tang di arah pinggul musuh,” kata Saburo menje-
laskan. “Ini merupakan ujian pertama permainan pe-
dang setiap samurai.”
Yoshioka dan Kojiro segera melaksanakan perintah
Saburo. Mereka menebas dengan gesit. Berulang-ulang
kedua anak itu menebas, sampai akhirnya Saburo meng-
hentikannya.
“Dalam permainan pedang, sabetan harus tepat, ti-
dak boleh bergeser seinci pun,” kata Saburo memberi
penjelasan. “Setiap inci perbedaan, akan mengubah ju-
rus yang dilakukan. Ada enam belas tebasan yang ha-
rus dikuasai oleh setiap samurai.”
“Ajarkan pada kami, Sensei,” kata Yoshioka berse-
mangat.
“Benar. Biarkan kami mempelajarinya.”
“Ryo-kuruma, tebasan pedang pada pinggul. Tai-tai,
sabetan pedang pada garis bahu. Sabetan ini hanya
memiliki selisih satu inci dari batas leher, karena itu
tak seorang samurai pun boleh meleset melakukan te-
basannya.”
Yoshioka berkata, “Kedengarannya rumit sekali.”
“Di istana tidak ada pelajaran seperti itu,” Kojiro
menimpali.
“Ini adalah pelajaran seorang samurai untuk me-
nempuh Jalan Pedang. Permainan kendo tidak dibu-
tuhkan lagi saat ini. Setiap saat kita dapat menghadapi
musuh. Mereka memiliki ilmu silat yang dapat mem-
bunuh kita, bukan permainan pura-pura di dalam do-
jo. Karena itu, kita pun akan menghadapi dengan ju-
rus pedang yang mematikan. Kita berada dalam kea-
daan tanpa pilihan, hidup atau mati.”
Pada malam harinya, Saburo menjelaskan ilmu pe-
dang dengan menggambar tubuh manusia. Dia mene-
rangkan empat tebasan pedang seorang samurai.
Sesudah ryo-kuruma dan tai-tai, Saburo menje-
laskan karigane, ilmu ‘Pedang Angsa Liar’. Sabetan pe-
dang persis di atas dada secara horisontal. Kemudian
chiwari, ilmu ‘Pedang Membelah Dada’, sabetan ini
hanya satu inchi di bawah karigane. Namun karena
chiwari melewati tulang dada, tebasan ini lebih sulit di-
lakukan dibanding karigane. Kecuali itu, sasarannya
pun lebih luas.
“Empat tebasan pedang itu harus dikuasai secara
baik oleh seorang samurai,” kata Saburo. “Kalian ha-
rus melatihnya tanpa salah. Bila kalian masih salah
melakukannya, kalian tak mungkin mempelajari ilmu
pedang berikutnya.”
Esoknya Yoshioka dan Kojiro mulai melatih keem-
pat ilmu pedang itu. Mereka melakukannya dengan
penuh semangat. Bahkan hingga siang hari, mereka
terus menjalani latihan tanpa merasa lelah. Dengan te-
liti Saburo mengawasi latihan itu. Setiap kali ada yang
melakukan kekeliruan, dengan penuh kesabaran lelaki
itu membetulkannya.
Hampir empat hari Yoshioka dan Kojiro mempelajari
keempat ilmu pedang itu. Pada hari berikutnya, Sabu-
ro mengajak mereka kembali menghadapi gambar tu-
buh manusia.
“Ini adalah o-kesa, ilmu ‘Pedang Jubah Pendeta’,”
kata Saburo menjelaskan.
“Jubah pendeta?” Yoshioka bertanya heran.
“Ya.”
“Kenapa disebut demikian?”
“Sabetan pedang ini dilakukan miring dari leher ke
arah bawah ketiak, persis garis pembuka jubah pende-
ta.”
“Oh.”
“Sabetan ini sangat mematikan, karena itu kalian
harus bersikap hati-hati bila menghadapi musuh yang
mengangkat pedangnya ke samping. Tebasannya sulit
dihindari, dan sangat mematikan.”
O-kesa terbukti sebuah jurus pedang yang tidak se-
derhana. Berulang kali Yoshioka dan Kojiro mencoba
melakukannya, namun selalu keliru. Kadang terlalu
rendah, sehingga mengenai bahu. Kadang terlalu ting-
gi, hingga mengenai leher. Namun dengan ketekunan
luar biasa, akhirnya mereka berhasil menguasai ilmu
pedang itu. Saburo merasa puas.
“Saya merasa bangga dengan kemampuan kalian
menguasai ilmu pedang yang kuberikan,” kata Saburo.
“Namun ilmu pedang saja tidak cukup untuk melawan
musuh. Di dalam semangat bushido, kalian harus me-
ningkatkan keberanian.”
Yoshioka berkata, “Kami memiliki keberanian itu.”
“Saya tidak takut pada siapa pun,” lanjut Kojiro
bangga.
“Justru keberanian yang kalian miliki saat ini me-
rupakan kelemahan yang harus dihindari.”
“Maksudnya?”
“Keberanian berbeda dengan sikap tak punya rasa
takut. Keberanian adalah sikap yang bersumber pada
keyakinan, bahwa kalian akan memenangkan suatu
pertarungan. Seorang samurai harus yakin akan me-
nang, ia harus berani menumpas rasa takut di dalam
jiwanya, untuk menghadapi kematian. Keyakinan bah-
wa kematiannya merupakan wujud kewajiban seorang
samurai adalah inti keberanian.”
Yoshioka dan Kojiro mengerutkan dahi, dengan ke-
terbatasan pikirannya, mereka mencoba memahami
ucapan Saburo.
“Kalian harus berani menyongsong kematian,” lan-
jut Saburo datar. “Hanya dengan sikap itulah kalian
dapat memiliki keberanian untuk bertarung. Kebera-
nian untuk mati adalah dasar memerangi rasa takut.”
“Kenapa seorang samurai tidak boleh takut?”
“Karena ketakutan akan membuat jiwa gemetar,
dan melenyapkan keyakinannya untuk menang.”
“Bagaimana kalau perasaan itu tak dapat dihilang-
kan?”
“Hindarilah pertarungan itu. Hanya dengan meng-
hindar kalian dapat memupuk kembali keberanian
yang hilang.”
“Tetapi bukankah seorang samurai dilarang bersi-
kap pengecut?”
“Menghindar bukanlah sikap pengecut. Menghindar
merupakan bagian dari siasat pertarungan. Di saat
badai menghempasmu, apakah engkau harus terus
berlayar?”
“Tidak.”
“Itulah hakikat penghindaran. Jangan menentang
badai. Biarkan ia reda, dan kalian dapat kembali ber-
layar. Keberhasilan pelayaran adalah inti kemenangan.”
Kojiro berkata, “Kedengarannya sangat rumit.”
“Itu bagian dari ilmu pedang yang harus kalian pe-
lajari.”
“Sepertinya itu bukan ilmu pedang....”
“Ilmu pedang bukan hanya bagaimana cara meng-
gunakan pedang, tetapi bagaimana cara memenangkan
suatu pertarungan.”
Pada malam hari, sambil berbaring di atas jerami,
Saburo Mishima memberikan pengetahuan lain ten-
tang taktik dan kehidupan. Seperti biasa, Saburo se-
nang menceritakan tentang Soen Tzu:
Tulisan Soen Tzu mengenai “Seni Berperang” me-
narik perhatian Raja Ho Lu, dari negara Wu. Ketika
Soen Tzu menghadap raja tersebut, Raja Ho Lu berka-
ta, “Saya telah membaca dengan penuh perhatian bu-
ku Anda yang terdiri dari tiga belas bab itu. Dapatkah
saya menguji teori Anda?”
Soen Tzu menjawab, “Silakan, Yang Mulia.”
Ho Lu bertanya lagi, “Untuk mengujinya, dapatkah
digunakan wanita?”
“Dapat.”
Kemudian dipanggillah 180 orang dayang-dayang
istana dan dibagi dalam dua kelompok. Masing-masing
kelompok dipimpin oleh seorang selir kesayangan raja.
Soen Tzu minta agar perempuan-perempuan itu di-
lengkapi tombak dan perisai. Setelah itu berkatalah
Soen Tzu kepada perempuan-perempuan tersebut.
“Saya kira kalian telah mengetahui perbedaan an-
tara depan dan belakang, tangan kiri dan tangan ka-
nan.”
Para wanita itu menjawab serentak, “Ya.”
“Jika saya katakan ‘Pandangan ke depan’, kalian
harus menghadap lurus ke depan. Jika saya katakan
‘Menghadap ke kiri’ kalian harus berputar menghadap
ke kiri. Demikian pula jika saya berkata ‘Balik kanan’
atau ‘Balik kiri’ kalian harus melakukannya. Apakah
kalian mengerti?”
Para wanita itu menjawab, “Mengerti!”
Latihan pun dimulai. Dengan diiringi bunyi gende-
rang, Soen Tzu mulai memberikan aba-aba, “Balik ka-
nan!”
Wanita-wanita itu justru meledak tertawa.
Soen Tzu berkata, “Jika ucapan tidak jelas, bila pe-
rintah yang dikeluarkan tidak dipahami, panglimanya
yang salah. Mengerti?”
“Mengerti!”
Latihan pun dimulai lagi. Kali ini perintahnya, “Ha-
dap kiri!”
Sekali lagi wanita-wanita itu tertawa.
Soen Tzu berkata, “Jika kata-kata yang diucapkan
tidak jelas, bila perintah yang diberikan tidak dipaha-
mi, panglimanya yang salah. Tetapi jika perintah yang
dikeluarkan jelas dan tidak dipatuhi, maka itu meru-
pakan kesalahan perwiranya. Oleh karena itu perwi-
ranya harus dihukum dan pancunglah pimpinan pa-
sukannya.”
Soen Tzu segera memberikan perintah lagi, namun
kedua pasukan wanita itu masih juga tertawa. Tanpa
kebimbangan sedikit pun, Soen Tzu segera memerin-
tahkan algojo memancung kepala kedua pimpinan ke-
lompok itu.
Raja Ho Lu yang menyaksikan dari tribun dan meli-
hat kedua dayang kesayangannya dijatuhi hukuman
pancung, segera mengirim pesan, “Kami sangat puas
dengan kemampuan jenderal mengendalikan pasukan.
Jika Anda menghukum mati kedua wanita itu, maka
kami akan kehilangan selera makan dan minum. Kami
minta agar keduanya tidak perlu dipancung.”
Soen Tzu menjawab, “Sekali saya memperoleh pe-
nugasan dari raja untuk menjadi panglima pasukan,
maka ada perintah tertentu yang tak dapat kami lak-
sanakan sesuai dengan kedudukan saya.”
Maka kedua wanita itu pun dipenggal kepalanya
dan kedudukannya sebagai pemimpin pasukan diganti
dengan perempuan lain.
Sesudah hukuman mati dijalankan, genderang di-
tabuh. Gadis-gadis itu pun berlatih dengan sungguh-
sungguh. Cara berbaris mereka benar seperti yang di-
perintahkan, tanpa ketawa sedikit pun.
Melihat kenyataan itu, Raja Ho Lu sangat terkesan,
akhirnya ia mengangkat Soen Tzu menjadi panglima
besar tentaranya. Di tangan jenderal itulah Kerajaan
Wu mengalami kejayaan. Ke arah barat, mereka me-
naklukkan Kerajaan Ch’u dengan menduduki Ying, ibu
kota kerajaan tersebut. Ke utara ia mengalahkan Nega-
ra Ch’i dan Chin. Kemenangan-kemenangan itu mem-
peroleh sambutan serta kekaguman bangsawan-
bangsawan Cina lainnya. Kerajaan Wu semasa pasu-
kannya dipimpin Soen Tzu menjadi salah satu kera-
jaan terbesar di seluruh daratan Cina.
Yoshioka dan Kojiro mendengarkan cerita itu de-
ngan penuh minat.
“Apakah kalian tahu kenapa Soen Tzu memperoleh
kemasyhuran?” tanya Saburo pada kedua anak itu.
“Karena dia seorang ahli strategi perang,” jawab Yo-
shioka.
“Bukan itu maksud saya.”
Kojiro, sambil menahan kantuk, menjawab, “Karena
dia ahli pedang.”
“Bukan.”
“Karena apa, Sensei?”
“Karena dia adalah orang yang berani melaksana-
kan keyakinannya.”
***

PENGEJARAN

SHOGUN Nobunaga sedang menciumi Naoko, salah se-


orang geisha kesayangannya. Wanita itu tergial sambil
mendesah manja. Wajahnya yang berbentuk oval de-
ngan garis mata yang mencuat ke atas, mempertegas
garis kecantikannya. Rambutnya yang hitam lebat dis-
anggul tinggi di atas kepalanya. Gerak-geriknya yang
gemulai menampilkan sensualitas yang menggiurkan.
Payudaranya besar di atas pinggang yang kecil dan
pinggul yang besar memang sangat menggairahkan.
Naoko termasuk geisha dari Fujiwara yang sangat dis-
ayangi oleh Nobunaga. Bahkan menurut desas-desus,
wanita itu berperan dalam pengambilan-pengambilan
keputusan politik Nobunaga. Termasuk di antaranya,
penaklukan Shogun Ashikaga.
Menurut kabar angin, kecuali ambisi Nobunaga
menjadi satu-satunya shogun di Jepang, penaklukan
itu didorong oleh permintaan Naoko yang ingin tinggal
di Istana Kamakura. Menurut sejumlah sumber, sebe-
lum menjadi kekasih Nobunaga, Naoko pernah menja-
lin cinta dengan Shogun Ashikaga. Mereka bertemu di
Fujiwara, kota kecil di pinggir Kamakura yang dijadi-
kan pusat pelacuran. Mereka memadu cinta hampir
setiap minggu. Selain memiliki kecantikan luar biasa,
Naoko, seorang geisha yang memiliki daya pikat ter-
sendiri. Ia pandai menari dan memainkan shamizen
(alat musik yang baru saja ditemukan di Edo).
Pada malam bulan purnama, Shogun Ashikaga da-
tang ke Fujiwara. Ia berbaring polos di kolam mem-
biarkan seluruh tubuhnya dimandikan oleh kekasih-
nya. Sesudah itu, ia akan duduk menikmati sake sam-
bil mendengarkan permainan shamizen geisha kesa-
yangannya. Barulah setelah larut malam, mereka
menghabiskan waktu dengan bercinta.
Di atas ranjang, Naoko adalah seorang pecinta yang
hebat. Ia memberikan pelayanan terhadap Ashikaga
dengan sepenuh hati. Mempraktekkan berbagai posisi,
semata-mata untuk memuaskan kekasihnya. Buku
seks Jepang Kuno, Kagemusha, yang selalu dipraktek-
kan Naoko, menjadikan Ashikaga tergila-gila pada wa-
nita itu. Sampai suatu hari shogun tersebut berjanji
untuk mengawininya.
Naoko tersenyum penuh rasa bahagia. Jantungnya
berdetak lebih kencang. Ia benar-benar merasa men-
dapatkan karunia.
“Benarkah Yang Mulia akan membawa saya ke ista-
na?” Naoko bertanya dengan manja.
“Kau akan tinggal di Istana Kamakura bersamaku,”
kata Ashikaga sambil menciumi tubuh Naoko. “Aku tak
ingin berpisah denganmu.”
“Bagaimana dengan istri Anda, Yang Mulia?”
“Dia akan tetap menjadi isteriku. Tetapi engkau
menjadi istri kesayanganku.”
“Kalau benar ucapan itu, saya akan bersikap setia
dan mengabdikan seluruh hidup saya hanya untuk
Anda.”
“Aku bersumpah.”
Sumpah itu terbukti tidak dilaksanakan. Hubungan
cinta itu terputus ketika istri Ashikaga melahirkan Na-
tane Yoshioka. Kelahiran Natane membuat shogun me-
lupakan janji-janjinya. Bahkan ia kemudian melupa-
kan Naoko karena terlampau bahagia mendapatkan
seorang anak laki-laki. Natane menghapus segala mim-
pi serta impiannya terhadap Naoko.
Sejak kelahiran anaknya, Ashikaga tidak pernah la-
gi menemui Naoko.
Peristiwa itu menumbuhkan sebatang dendam da-
lam jiwa Naoko. Diam-diam ia merintis jalan untuk
membalas dendam. Maka ketika suatu hari Shogun
Nobunaga bertemu dengannya, Naoko bersumpah un-
tuk melampiaskan dendam dengan menggunakan ke-
kejaman lelaki tersebut. Ia beruntung. Nobunaga, sa-
ma dengan Ashikaga, seorang laki-laki tua yang haus
seks dan kekuasaan. Penyerahan diri Naoko pada lela-
ki tersebut membuatnya lupa daratan. Di saat mereka
bercumbu, dan Naoko mempraktekkan ilmu seks Ka-
gemusha, Nobunaga langsung tergila-gila padanya. Le-
bih-lebih setelah shogun itu mendengarkan permainan
shamizen serta tarian yang dibawakannya, tak ada lagi
yang dapat menghalangi kegilaan Nobunaga.
Setiap kali sehabis bercinta, Nobunaga berkata pa-
da geisha itu.
“Mintalah sesuatu, aku ingin memberikan apa pun
untukmu sebagai imbalan pelayananmu.”
Naoko selalu menjawab, “Saya tidak meminta imba-
lan apa pun untuk pelayanan itu. Saya seorang geisha,
akan saya lakukan apa pun yang Anda minta.”
Jawaban itu membuat Nobunaga semakin tergila-
gila. Pada pertemuan berikutnya, seusai mereka ber-
cinta sepanjang malam, Nobunaga kembali bertanya,
“Tidakkah kau ingin sesuatu dariku?”
“Tidak, Yang Mulia.”
“Aku dapat memberikan apa pun yang kau minta.
Kau berhak meminta imbalan, karena aku merasa
puas dengan pelayananmu.”
“Tidak ada imbalan yang sepadan dengan kasih
sayang Anda. Karena itu tak pantas saya meminta se-
suatu sebagai imbalan pelayanan yang Anda terima.”
“Benarkah?”
“Dengan setulusnya.”
Nobunaga semakin tergila-gila. Ia lebih sering datang
ke Fujiwara, khusus untuk menjumpai geisha kesaya-
ngannya. Mereka bercinta seperti dua ekor ular naga,
saling membelit, melampiaskan gairah penuh gelora.
Sebagaimana orang Jepang yang memiliki cita rasa
tinggi, Nobunaga menulis haiku (puisi pendek) untuk
Naoko:
Dengan munculnya bunga sakura
Musim semi jadi pesona Fujiwara
Tanah kering menjadi subur berbunga azaela
Sungai diairi selendang pelangi
Aku disergap kerinduan seorang geisha
Naoko Yoritomo namanya
Naoko membalas puisi itu dengan menari di depan
Nobunaga, suatu tarian gemulai yang sangat indah.
Dengan penuh muslihat, Naoko melepas pakaiannya
satu per satu. Semua dilakukan menurut irama sha-
mizen. Tubuhnya yang mulus, dengan kulit putih ber-
sih, membuat Nobunaga kian terpesona. Laki-laki itu
berkali-kali menghela napas panjang, sebelum akhir-
nya tak kuat menahan rangsangan seksual dalam di-
rinya. Ia menarik Naoko ke dalam dekapannya.
Dengan liar, Nobunaga menciumi seluruh tubuh
wanita itu. Tidak seinci pun dibiarkan tak tersentuh
bibirnya. Naoko sendiri membalas sentuhan serta ci-
uman Nobunaga dengan cara-cara yang penuh imaji-
nasi. Dengan penuh kemesraan ia menciumi seluruh
permukaan tubuh lelaki gemuk itu.
“Kau sangat pintar, Naoko-san.”
“Nikmati saja, Yang Mulia. Saya akan membuat
Yang Mulia bahagia.”
“Naoko-san, aku tidak kuat lagi,” desis Nobunaga
gemetar.
“Saya senang bermain-main,” jawab Naoko tenang.
Kemudian ia mulai bermain-main lagi. Nobunaga me-
rasakan seluruh tubuhnya bergetar hebat. Dan akhir-
nya ia terkulai lemas sambil mendekap kepala Naoko
erat-erat.
“Oh, luar biasa, Naoko-san.”
Nobunaga memejamkan matanya. Dengan letih ia
berbaring sambil memeluk kekasihnya.
Setengah jam kemudian, Nobunaga bertanya, “Se-
karang mintalah sesuatu padaku, aku bersumpah un-
tuk mengabulkannya. Sudah begitu banyak yang kau
berikan padaku, sementara belum ada yang kuberikan
padamu. Maka saat ini, mintalah sesuatu....”
“Benarkah Anda akan mengabulkan apa pun per-
mintaan saya?”
“Ini sumpahku. Katakan permintaanmu.”
“Istana Kamakura.”
Nobunaga terperanjat, “Apa maksudmu?”
“Aku ingin tinggal di istana itu sebagai wanita yang
Anda cintai.”
Kini semua sudah terlaksana. Sumpah Nobunaga
benar-benar dilaksanakan. Dendam Naoko pun telah
terbalas. Bagi Naoko, sesungguhnya pelampiasan den-
dam terhadap Ashikaga, jauh lebih memuaskan diban-
dingkan apa saja. Namun, api dendam dalam dirinya
belum seluruhnya padam, lolosnya Natane Yoshioka
membuat pembalasan itu tidak sempurna. Karena itu
ia akan terus menghasut Nobunaga untuk menun-
taskan pembalasan dendamnya.
Di luar dinding kamar, tiba-tiba terdengar derap kaki
mendekat. Shogun Nobunaga mendorong tubuh telan-
jang Naoko, kemudian meraih pedang di sisi ranjang.
“Siapa di situ?” teriaknya lantang.
Orang-orang di luar dinding kamar terdengar ber-
simpuh.
“Saya Konishiwa, Yang Mulia.”
“Konishiwa-san, ada apa?”
“Saya ingin melaporkan peristiwa yang baru saja
terjadi di pinggir kota.”
“Peristiwa apa?” nada suara Nobunaga terdengar ti-
dak sabar.
“Ishida Mitsunari melakukan pembelotan. Dia telah
melawan perintah Anda.”
Nobunaga terdengar mendengus. Ia merasa lega.
Tadinya ia menduga ada pemberontakan yang berba-
haya.
“Kalau begitu gantung mayatnya di pinggir jalan
agar semua orang tahu risiko melawanku.”
“Ishida Mitsunari telah membunuh ketujuh samurai
yang mengawalnya, Yang Mulia. Dia kemudian meng-
hilang entah ke mana.”
Nobunaga bertanya menggeram, “Enam orang sa-
murai yang kau andalkan tewas di tangan seorang la-
ki-laki yang tidak punya kaki?”
“Benar, Yang Mulia.”
“Bodoh! Kalian samurai-samurai bodoh! Kerahkan
seratus samurai, kejar laki-laki itu. Tangkap dia hidup
atau mati!”
Konishiwa membungkukkan badan. “Bagaimana de-
ngan Saburo? Bagaimana dengan Yoshioka? Bagaima-
na dengan Pedang Muramasa?”
Nobunaga meledak karena marah, “Kerahkan seribu
samurai untuk mengejar mereka! Geledah semua ru-
mah di Kamakura, cari sampai ketemu, penggal kepala
mereka untukku!”
“Baik, Yang Mulia. Saya akan segera jalankan perin-
tah Anda.”
Konishiwa mundur, bangkit berdiri, kemudian ber-
gegas meninggalkan tempat itu. Dua puluh samurai di
belakangnya segera mengikutinya.
Udara malam yang dingin tidak membuat Konishiwa
membeku. Sesungguhnya ia tidak menyukai perintah
itu, betapa pun Ishida Mitsunari adalah kakak iparnya.
Namun sebagai seorang samurai, ia terikat tradisi ke-
setiaan pada shogun. Karena itu apa pun risikonya, ia
harus mengejar Ishida dan memenggal kepalanya.
Tidak ada pilihan lain untukku.
Nobunaga duduk di tepi ranjang dengan tubuh ge-
metar. Jantungnya serasa berdetak kencang. Ia tak
menduga Ishida akan melawannya. Perlawanan itu be-
rarti perongrongan terhadap kewibawaannya. Keku-
asaannya!
Belum usai satu persoalan, kini telah muncul satu
persoalan baru. Apa pun alasannya, pembelotan Ishida
Mitsunari tetap menjadi benih yang berbahaya. Kalau
sekarang dengan kaki terpenggal, lelaki itu dapat
membunuh enam samurai pilihan, tak dapat disangkal
kelak ia dapat membunuh lebih banyak lagi. Ia bisa le-
bih berbahaya dibanding Saburo.
Naoko tahu bagaimana gejolak hati Nobunaga. Ka-
rena itu dengan lembut ia memeluk lelaki itu dari be-
lakang. Buah dadanya menempel lekat ke punggung
Nobunaga. Kedua tangan geisha tersebut mulai mem-
belai-belai dadanya. Ia mulai merangsangnya.
Nobunaga memegang jemari Naoko, menarik wajah
wanita itu, kemudian mencium bibirnya dengan penuh
nafsu. Hisapan itu demikian kuat hingga membuat Na-
oko hampir tercekik.
Sesaat ketika Nobunaga menghentikan ciumannya,
lelaki itu bertanya, “Perlukah kita terus mengejar Yo-
shioka?”
Naoko kaget mendengar pertanyaan itu. “Kenapa
Anda bertanya begitu?”
“Bukankah dia hanya seorang anak yang belum da-
pat berbuat apa-apa?”
“Dia bukan seorang anak yang tidak dapat berbuat
apa-apa,” tukas Naoko dengan nada penuh kebencian.
“Dia adalah benih yang berbahaya. Bila tidak dibunuh
saat ini, kelak dia dapat menjadi samurai yang meng-
ancam kekuasaan Anda. Selain itu, jangan Anda re-
mehkan, Yoshioka kini bersama Saburo Mishima.”
“Dapatkah dia melawan seribu tentaraku seorang
diri?”
“Kita tidak dapat menduganya. Tetapi sejarah sering
membuktikan, banyak kekuasaan hancur karena ke-
kuatan yang tidak terduga.”
***
Pagi hari. Udara dingin membekukan pori-pori kulit.
Angin menemperas masuk lewat celah-celah gubuk.
Natane Yoshioka, Kojiro, dan Saburo masih tidur nye-
nyak. Tiba-tiba pintu dibuka dengan keras dari luar.
Saburo langsung mencabut pedang. Cahaya matahari
yang menerobos masuk membuatnya matanya silau.
Sepintas ia melihat sesosok gadis kecil menatapnya,
kemudian gadis itu berlari ketakutan.
Hanya sejenak Saburo menoleh pada Yoshioka, lalu
segera melompat mengejar gadis itu.
“Tunggu! jangan lari!” teriak Saburo mencoba meng-
hentikan gadis itu.
Tetapi kata-katanya tak didengarkan, gadis itu te-
rus berlari ke arah sungai. Tanpa pikir panjang, Sabu-
ro berlari lebih kencang untuk mengejar gadis itu. Be-
tapa pun kehadiran gadis tersebut dapat membahaya-
kan jiwa mereka.
Hampir seratus meter gadis itu lari, akhirnya Sabu-
ro berhasil menangkap pergelangan tangannya. Saat
disentakkan, gadis tersebut akan berteriak, dengan si-
gap Saburo membekap mulutnya.
“Jangan berteriak,” desis Saburo sambil terengah-
engah. “Kami bukan orang jahat.”
Gadis itu sangat ketakutan. Matanya melotot, wa-
jahnya jadi pucat. Ia mencoba meronta, tetapi Saburo
mendekapnya dengan kuat. Apa pun alasannya, Sabu-
ro tidak ingin lengah. Ia harus dapat meyakinkan bah-
wa gadis itu tidak akan membuka rahasia.
Ketika gadis itu masih meronta-ronta, Natane dan
Kojiro sampai di tempat itu.
“Hei, kenapa Sensei menyakitinya?” tanya Yoshioka
tak menyetujui perbuatan Saburo.
“Saya sebenarnya tidak ingin menyakitinya, tetapi
saya mempunyai alasan untuk membuatnya tidak ber-
teriak.”
“Dia masih kecil. Dia pasti sangat ketakutan.”
Saburo berkata pada gadis kecil itu, “Saya akan me-
lepasmu, tetapi kau harus berjanji tidak akan berte-
riak.”
Gadis itu menatap Yoshioka dan Kojiro, anak-anak
yang sebaya dengannya itu menatapnya tanpa ekspre-
si.
“Ayahku akan melepasmu,” kata Kojiro sambil men-
dekati gadis itu. “Tetapi engkau jangan menjerit atau
berteriak. Teriakanmu dapat membahayakan kami.
Percayalah, kami bukan orang jahat.”
Yoshioka turut bicara, “Kalau engkau berjanji tidak
menjerit, kami akan membebaskan dirimu. Aku bah-
kan akan memberimu hadiah.”
Gadis itu menatap bimbang pada Yoshioka. Lalu de-
ngan ragu-ragu ia mencoba menganggukkan kepala.
“Jangan menjerit,” bisik Saburo lembut. “Karena ka-
lau engkau menjerit, kami terpaksa menyakitimu.”
Gadis itu menganggukkan kepala.
“Lepaskan dia, Sensei,” kata Yoshioka pada Saburo.
“Kita telah membuatnya sangat ketakutan.”
Pelan-pelan Saburo melepaskan gadis itu.
“Siapa namamu?” Yoshioka mencoba bertanya.
“Miyagi.”
“Saya Natane. Natane Yoshioka.”
Gadis itu menatap Kojiro.
“Saya Kojiro,” kata Kojiro tanpa tekanan. Kemudian
dia menunjuk Saburo. “Dia ayahku. Saburo Mishima.”
“Kenapa kalian tidur di gubukku?” gadis itu mulai
berani bertanya.
Yoshioka dan Kojiro menatap Saburo. Mereka tidak
tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu.
“Kami kemalaman,” jawab Saburo datar. “Karena itu
kami terpaksa bermalam di gubukmu.”
“Apakah kalian tidak memiliki tempat tinggal?”
“Ya, kami memang pengembara.”
“Kenapa kalian membawa pedang? Apakah kalian
samurai?”
“Kami shugyosa, samurai pengembara,” jawab Sa-
buro sekenanya. “Kami biasa bermalam di mana saja.
Kebetulan malam ini kami berada di sini.”
Miyagi menatap Saburo, matanya nanar, seakan in-
gin mempercayai ucapan lelaki di depannya.
“Apakah engkau tinggal di sekitar tempat ini?” Sa-
buro kembali bertanya. Ia harus tahu pasti siapa-siapa
yang tinggal bersama gadis itu.
“Ya,” jawab Miyagi datar. “Saya tinggal bersama ayah
dan ibu. Rumah kami tak jauh dari sini, di lembah.”
“Apakah ini gubuk orang tuamu?”
“Benar. Ayah dan ibu baru saja kembali dari hutan
mencari mugwort, kami biasa membuat moxa di sini.”
Pantas selama ini mereka tak pernah kelihatan.
“Di mana orang tuamu sekarang?”
“Di rumah. Mereka lelah setelah seharian melaku-
kan perjalanan. Kini mereka sedang tidur. Apakah ka-
lian ingin bertemu dengan mereka?”
“Katakan pada orang tuamu, kami ingin bertemu.
Kami ingin minta maaf telah menggunakan gubukmu
tanpa izin.”
“Baiklah, saya akan memanggil mereka.”
Miyagi berlari menuju ke rumahnya. Rambut gadis
itu berkibar diterpa angin.
Saburo diam. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Kini
mereka berada dalam situasi yang kurang mengun-
tungkan. Saat ini sebenarnya lebih baik tidak berhu-
bungan dengan orang lain, karena dengan begitu, se-
mua rahasia tersimpan baik. Saburo yakin, pertemuan
ini akan berbuntut panjang.
Natane Yoshioka dan Kojiro sekarang duduk di atas
rumput. Masih berembun. Mereka tak peduli. Kedua
anak itu sama-sama diliputi ketegangan. Hampir dua
bulan mereka tak bertemu orang lain. Sekarang me-
reka bertemu, justru dalam suasana yang tidak menye-
nangkan.
Hampir lima belas menit mereka menunggu, sampai
akhirnya terdengar ranting kering terinjak kaki. Sabu-
ro Mishima segera mendorong pedangnya keluar, sua-
tu tindakan berjaga-jaga. Ia tidak mau mati konyol.
Beberapa menit kemudian muncul dua orang laki-
laki, seorang perempuan, dan Miyagi. Kedua laki-laki
itu masing-masing membawa tombak. Tetapi melihat
cara menggenggam senjata itu, Saburo yakin mereka
hanya petani biasa. Karena itu ia merasa lega.
Kedua laki-laki itu berjalan mendekat. Ketika jarak
mereka hanya tinggal lima meter, salah seorang di an-
tara mereka bertanya, “Siapa kalian?”
Saburo mendekati Natane Yoshioka, dengan cara itu
ia ingin menguji apakah para petani itu berada di pi-
hak mana. Dugaan Saburo menjadi kenyataan, ketika
kedua lelaki itu melihat pakaian Yoshioka, mereka ter-
lihat terperanjat, saling pandang, kemudian tanpa di-
perintah, serentak bersujud di tanah.
“Yang Mulia Natane Yoshioka!
***

KUIL MURO

KUIL Muro terletak di lereng Gunung Muro, sebuah kuil


yang didirikan pada zaman Heian. Dahulu kuil ini di-
pergunakan Puak Taira untuk berlatih meditasi dan
Seni Perang. Hal itu berlangsung sesudah perlawatan
Puak Taira ke Cina. Mereka mendapatkan buku Seni
Perang buah karya Soen-Tzu. Tak mengherankan bila
di kuil ini terdapat banyak kata-kata bijaksana pening-
galan jenderal Cina itu.
Soen-Tzu menulis:
“Inilah yang penting diketahui tentang medan perang
Ada yang dapat menerobos.
Ada yang membatasi
Ada bagian yang terpencil.
Ada yang memungkinkan gerak laju.
Ada jarak yang harus diperhitungkan.”
Ishida Mitsunari termangu, mencoba merenungkan
kata-kata itu. Di bagian dinding lain, ada tulisan Soen-
Tzu.
Barang siapa mengenal seni perang, tak akan seram-
pangan ia dalam gerakannya. Ia kaya akan gagasan,
dan membatasi nafsu. Namun demikian, barang siapa
mengenal dirinya sendiri dan mengenal musuhnya, ia
senantiasa menang dengan mudah. Barang siapa me-
ngenal langit dan bumi, ia senantiasa menang atas se-
galanya.
Ishida mencoba menerka-nerka, apa yang dimak-
sudkan oleh Soen-Tzu.
Namun kenyataannya, Seni Perang Soen-tzu tidak
berhasil menyelamatkan Kuil Muro. Ketika terjadi per-
tempuran antara Puak Taira dan Minamoto, tentara Mi-
namoto berhasil menghancurkan musuhnya. Dengan
cerdik ia kemudian menghancurkan Kuil Muro untuk
mencegah musuhnya mempergunakan kuil ini untuk
kembali membangun kekuatan. Shogun Minamoto
mengeluarkan larangan bagi siapa pun untuk datang
ke Kuil Muro. Bagi yang melanggar larangan ini, Sho-
gun menjatuhi hukuman mati.
Itu sebabnya kuil ini tak terjamah oleh manusia.
Bangunan utamanya telah runtuh, patung-patung-
nya berserakan. Kesunyian di tengah kuil itu menum-
buhkan suasana angker yang mencekam. Tidak seo-
rang pun pernah mendatangi tempat itu. Kecuali se-
jumlah kera dan babi hutan, hanya burung dan kele-
lawar yang menghuni tempat tersebut.
Kesunyian itu sangat cocok untuk tempat persem-
bunyian. Ishida Mitsunari pernah sampai di kuil Muro,
ketika menemani Shogun Ashikaga berburu babi hu-
tan. Pada waktu itu ia hanya lewat. Tapi kini, ketika
membutuhkan persembunyian, tiba-tiba Ishida teringat
kuil tersebut. Tak seorang pun akan menduga ia ber-
ada di tempat itu.
Sehabis membunuh ketujuh orang yang mengawal-
nya, Ishida Mitsunari telah bertekad melakukan pem-
balasan dendam. Ia bersumpah untuk membunuh Sa-
buro Mishima, untuk membersihkan namanya. Karena
itu, untuk melaksanakannya, ia perlu menyempurna-
kan ilmu pedangnya. Tempat terbaik untuk itu adalah
Kuil Muro.
Enam hari enam malam Ishida berjalan kaki, me-
nembus hutan dan mendaki bukit. Akhirnya ia sampai
di tempat yang ia tuju. Ketika menatap reruntuhan
Kuil Muro, Ishida tersenyum lebar. Ia merasa menda-
patkan tempat yang sangat baik untuk berlatih. Selain
sejumlah babi hutan, di sekitar tempat itu banyak ter-
dapat pohon buah-buahan.
Aku tidak akan kelaparan di sini. Kurasa tidak ada
tempat yang lebih baik dibanding kuil ini.
Mulailah Ishida menjalani pengasingan. Pada ma-
lam hari ia melakukan meditasi. Sesekali dengan nyala
api buah kenari, ia membuat lukisan di lantai dengan
arang. Ia mencoba menggambarkan gerakan silat yang
telah ia pelajari. Di siang hari, tanpa mengenal lelah,
Ishida menyempurnakan ilmu pedangnya. Ia melatih
gerakan-gerakan tangannya, sambil membayangkan
ilmu pedang Saburo Mishima. Masih terbayang di pe-
lupuk matanya, bagaimana lelaki itu memenggal kaki-
nya. Senyum kemenangan Saburo setiap hari melintas
di dalam tidurnya.
Aku harus mengalahkannya. Hanya dengan mem-
bunuh Saburo dendamku terlampiaskan.
Dendam kesumat itu sering muncul dalam tidur-
nya. Berganti-ganti dengan ekspresi kemarahan Sho-
gun Nobunaga. Masih terbayang jelas di matanya, ba-
gaimana shogun itu mengusir dan mencacinya. Peng-
usiran itu benar-benar merupakan penistaan terhadap
dirinya. Bila mengenang hal itu, tumbuh dendam baru
di dalam dirinya. Ia menyadari, musuhnya bukan ha-
nya Saburo, tetapi juga shogun Nobunaga.
Betapa menyenangkan bila aku dapat membunuh
mereka berdua. Kedua orang itu telah menghancurkan
hidupku. Mereka harus menerima balasan yang setim-
pal.
Satu-satunya hambatan yang merisaukan Ishida
adalah kaki kirinya yang terpenggal. Cacat itu mengu-
rangi kelincahan gerakannya. Tebasan pedang yang
kuat, membutuhkan perimbangan gerakan pada kaki.
Ilmu pedang membutuhkan kegesitan sekaligus kelin-
cahan. Kenyataan itu lama-kelamaan menumbuhkan
perasaan frustrasi pada dirinya. Namun sebaliknya,
rasa frustrasi tersebut, semakin mempertebal dendam-
nya terhadap Saburo. Dendam itu membangkitkan se-
mangat hidupnya.
“Aku harus mengatasinya,” kata Ishida meyakinkan
dirinya. “Apa pun yang terjadi, kakiku tidak akan ter-
pulihkan. Tapi aku harus menemukan jalan untuk me-
lampiaskan dendam.”
Pada hari ketiga puluh tujuh, Ishida Mitsunari te-
ngah menggambarkan gerakan kaki pada ayunan pe-
dang ‘Dewa Membelah Lautan’, tiba-tiba kesadarannya
muncul, ia tak mungkin melakukan ayunan itu dengan
sempurna apabila kedua kakinya tidak menapak ta-
nah. Dengan arang, ia mencoret-coret bagian gambar
kaki yang cacat. Tiba-tiba coretan itu memberikan in-
spirasi baru!
“Aku dapat melengkapi kakiku dengan kayu!” seru-
nya dalam hati. “Bila panjang kayu itu sama dengan
kakiku, tak ada bedanya aku memiliki kaki atau kayu!”
Esoknya Ishida membuat sambungan kaki dari ka-
yu ek. Pada sore hari, ia telah dapat berdiri tegak. Kaki
itu terbukti sangat membantu gerakannya. Bahkan in-
spirasinya bertambah, ia ingin melapisi ujung kakinya
dengan mata lembing, sehingga kaki tersebut dapat di-
pergunakan sebagai senjata.
“Aku memerlukan bantuan seseorang.”
Paginya, dengan menyamar, Ishida Mitsunari turun
ke desa terdekat. Ia menjumpai seorang pandai besi.
“Buatkan saya kaki lembing untuk melapisi kaki
kayu ini,” katanya menerangkan.
“Kenapa tidak menggunakan bahan dari karet saja?”
“Saya ingin dibuat dari baja terbaik sehingga tidak
mudah rusak. Kecuali itu, buatkan pula lapisan run-
cing di penyangga tubuhku.”
“Empat puluh real.”
“Tiga puluh.”
“Saya lebih baik membuat pedang bila tidak dibayar
empat puluh.”
“Baiklah. Saya akan membayarnya jika sudah sele-
sai.”
“Tiga hari lagi Tuan dapat kemari.”
“Terima kasih.”
Ketika akan kembali ke Kuil Muro, Ishida melihat
orang-orang berkerumun di depan sebatang pohon
kering. Ia mendekat, ingin melihat ada peristiwa apa
sehingga menarik perhatian begitu banyak orang.
Dahinya seketika berkerut ketika melihat apa yang
membuat orang-orang berkerumun. Tak lain, plakat
Shogun Nobunaga tentang sayembara perburuan Sa-
buro dan dirinya dengan hadiah seribu real. Ketika
Ishida mendekat, beberapa orang pergi dari tempat itu
sambil menatapnya penuh selidik. Satu hal yang me-
nyelamatkan Ishida, ia kini membiarkan rambutnya te-
rurai panjang. Juga kumis serta jenggotnya. Penyama-
ran itu terbukti berhasil. Meskipun pada plakat itu
terdapat gambar dirinya, namun tak seorang pun me-
ngenalinya.
Bangsat! Rupanya Nobunaga memberi harga seribu
real untuk kepalaku. Akan kubuat kepalanya tak ber-
harga.
“Aku akan mencarinya ke Edo,” kata seorang samu-
rai yang berdiri di dekat Ishida pada temannya. “Ishida
seorang laki-laki kaya. Dia tidak akan tahan hidup di
hutan atau desa-desa. Satu-satunya kota yang mung-
kin ia tuju hanya Edo. Di sana keluarganya berada.”
“Apakah kau yakin dia menuju Edo?” temannya ber-
tanya.
“Ya. Di Edo ia memiliki sejumlah teman. Kau sendiri
akan ke mana?”
“Aku akan menuju Izu. Siapa tahu dia bersembunyi
di sana.”
“Baiklah kalau begitu kita berpisah, mudah-mudah-
an kita dapat menemukan mereka.”
Kedua samurai itu saling berjabat tangan, kemu-
dian berjalan meninggalkan tempat itu. Ishida mena-
tap mereka sambil menghela napas panjang.
Kelak aku akan membunuh mereka.
Tiga hari kemudian, Ishida menemui pandai besi.
“Sudah saya selesaikan semua,” kata pandai besi
itu sambil memperlihatkan pesanan Ishida. “Sekarang
berikan dulu uangnya, baru saya berikan pesanan ini.”
Secepat kilat Ishida mencabut pedang lalu menebas
tubuh pandai besi itu. Laki-laki tersebut tidak pernah
menduga akan mendapat serangan seperti itu. Ia tetap
berdiri membeku ketika merasakan cairan hangat ber-
warna merah membanjiri tubuhnya. Sabetan pedang
itu demikian hebat sehingga pandai besi itu tak dapat
merasakan apa-apa. Saat kesadarannya pulih, tubuh-
nya telah merosot, lalu terjungkal di tanah. Saat itu is-
tri pandai besi tersebut muncul dari rumahnya. Ketika
melihat tubuh suaminya terbaring berlumur darah, ia
menjerit histeris. Tetapi sebelum jeritan itu didengar
orang lain, Ishida telah menebas tubuh wanita itu dari
belakang.
“Maafkan saya,” kata Ishida Mitsunari sambil me-
masukkan pedangnya. “Saya terpaksa membunuh ka-
lian agar tidak ada yang tahu mengenai diriku.”
Dengan tertatih-tatih, Ishida kemudian meninggal-
kan tempat itu.
Di kuil, Ishida tersenyum lebar, bangga terhadap di-
rinya. Ia kini memiliki tiga senjata yang sangat mema-
tikan. Pedang panjang di tangan kanan, penyangga
kaki yang dapat berfungsi sebagai tombak, dan kaki
yang tajam mematikan.
Hujan deras mengguyur Kuil Muro, namun Ishida
tidak peduli. Kegembiraan telah mengalahkan keleti-
hannya. Ia terus berlatih, mencoba menggunakan se-
gala kemungkinan dengan kaki kirinya. Tak seorang
pun menduga, cacat itu akhirnya justru menjadi keku-
atan yang tak terduga. Rasa frustasinya seketika le-
nyap, pikirannya kini dipenuhi luapan kegembiraan
tak terkatakan. Ia gembira karena akan dapat melaku-
kan pembalasan dendam pada Saburo, dan Nobunaga!
“Aku bersumpah, akan memasuki jalan iblis untuk
membalas dendam. Akan kutumpas semua musuhku
hingga anak cucunya. Mereka akan menyadari kesala-
hannya, akan kubuat mereka meratap meminta kema-
tiannya!”
***
PENGKHIANATAN

BUKIT tempat persembunyian Saburo tampak lebih hi-


tam dibanding pernis yang paling hitam, sementara
gunung di kejauhan terlihat pucat seperti mika. Musim
semi masih menebarkan bau harum dan hangat. Bam-
bu kuning dan tumbuhan wistaria menjerat kabut
transparan.
Pondok bambu di lereng bukit itu terasa hangat. Te-
rutama bagi Yoshioka dan Kojiro. Kedua anak itu me-
rasa terlepas dari kesunyian. Keluarga Miyagi meneri-
ma mereka dengan penuh hormat. Mereka menanak
nasi kemudian mencarikan sayur-mayur untuk lauk.
Lelaki itu menangkap ikan dari kolam, lalu menghi-
dangkan sebagai ikan bakar yang lezat.
Natane Yoshioka dan Kojiro makan dengan lahap.
Selama ini mereka hanya makan buah-buahan dan
ikan segar, karena itu suguhan keluarga Miyagi mem-
buat mereka merasakan kenikmatan yang berlipat
ganda. Hanya Saburo yang mencoba menekan rasa la-
par dalam dirinya. Sebagai seorang samurai, ia tetap
bersikap waspada. Betapa pun, mereka belum tahu ba-
nyak tentang keluarga Miyagi, termasuk kesetiaannya
pada Shogun Ashikaga.
Dari keluarga itu pula, mereka mengetahui Shogun
Nobunaga telah mengeluarkan perintah pengejaran
terhadap mereka, dan Ishida Mitsunari. Pembelotan
Ishida menyebabkan Nobunaga murka, dan dia telah
memerintahkan seratus orang samurai mengejar lelaki
berkaki satu itu. Nobunaga telah menyebar plakat-
plakat di seluruh wilayah kekuasaannya berisi sayem-
bara menangkap Ishida dan Yoshioka.
“Shogun menyediakan hadiah seribu real untuk ke-
pala Yang Mulia,” kata Miyazawa pada Saburo. “Bah-
kan bagi orang yang dapat memberitahukan tempat
persembunyian Anda, shogun tetap akan memberikan
hadiah itu.”
“Kalau begitu kepalaku cukup berharga,” seloroh
Yoshioka sambil tersenyum.
“Saya mendengar perburuan itu dilakukan sebenar-
nya karena hasutan geisha simpanan shogun Nobuna-
ga.”
“Siapa?”
“Kalau tidak salah namanya Naoko Yoritomo. Seo-
rang geisha dari Fujiwara yang memiliki dendam pada
Yang Mulia Ashikaga.”
Yoshioka terpaksa menanggungkan dosa ayahnya.
Ia menjadi buronan karena dendam seorang geisha.
Pada saat mereka menyantap hidangan, seluruh ke-
luarga Miyagi duduk di atas tatami, lima meter dari
meja makan. Mereka menatap ketiga tamunya dengan
tatapan nanar. Tak pernah mereka bayangkan sebe-
lumnya, suatu saat bakal menjamu putra shogun Ashi-
kaga di rumahnya.
“Siapakah yang menanak nasi ini?” Natane Yoshi-
oka bertanya.
“Miyagi,” jawab lelaki itu bimbang. “Mohon dimaaf-
kan bila ternyata kurang enak.”
“Justru saya ingin mengatakan nasi ini sangat enak.
Rasanya belum pernah saya makan nasi seenak ini.”
“Terima kasih, Yang Mulia.”
“Apakah beras ini hasil panen sendiri?”
“Benar, Yang Mulia. Kami memiliki beberapa petak
sawah yang cukup subur.”
“Sayur ini?”
“Demikian pula dengan sayur-sayuran itu. Kami
menanamnya sendiri di ladang.”
“Ikan ini?”
“Kami memiliki kolam di belakang rumah. Bila Yang
Mulia menghendaki, kami dapat menangkap lagi.”
“Apakah engkau ingin tambah ikannya?” Yoshioka
bertanya pada Kojiro.
“Tidak. Saya sudah kekenyangan. Rasanya tak ada
tempat lagi di perutku.”
“Bagaimana kalau kita bawa pulang?”
“Ke mana?”
Yoshioka terdiam. Ia bingung menjawabnya. Sesu-
dah pertemuan dengan keluarga Miyagi, rasanya me-
reka tidak bebas lagi menggunakan gubuk di atas bu-
kit sebagai tempat persembunyian. Yoshioka kemudian
menoleh pada Saburo. Tetapi lelaki itu tak mem-
pedulikannya.
“Apabila Yang Mulia berkenan, saya persilakan
menginap di sini. Kami masih memiliki dua buah ka-
mar yang kosong.”
“Terima kasih, saya rasa....”
“Tidak perlu,” potong Saburo cepat. “Apabila Anda
mengizinkan, kami akan berterima kasih sekali bila di-
biarkan menggunakan gubuk itu untuk sementara
waktu.”
“Saya merasa tidak pantas bila membiarkan Yang
Mulia tidur di gubuk itu.”
“Jangan terlalu dipikirkan. Buktinya kami telah
tinggal di sana lewat satu bulan.”
Ayah Miyagi membungkukkan badan hingga kepa-
lanya menyentuh lantai. “Kalau begitu, saya tak dapat
menghalanginya.”
Ayah Miyagi bernama Miyazawa, seorang pandai be-
si. Sudah hampir dua puluh tahun lelaki itu membuat
pedang untuk kaum samurai. Ia bekerja dibantu oleh
adiknya, Takezo, seorang lelaki bertubuh tegap dengan
sinar mata mengandung keculasan. Saat pertama ber-
temu di atas bukit, naluri Saburo mengatakan harus
bersikap hati-hati pada Takezo. Laki-laki tersebut tidak
dapat dipercaya. Sikap pendiamnya sangat mencuriga-
kan. Karena itulah, Saburo terus bersikap waspada.
Beberapa kali Saburo melihat Takezo menatap Pedang
Muramasa di tangannya. Sebagai seorang pandai besi,
Takezo pasti tahu nilai Pedang Muramasa, karena itu
tatapan lelaki tersebut (bagi Saburo) mengandung ma-
rabahaya.
Di depan rumah Miyazawa, terdapat tempat pembu-
atan pedang. Saburo membiarkan Yoshioka dan Kojiro
melihat bagaimana cara membuat naginata. Sebagai
calon samurai kedua anak itu memang harus me-
ngetahui rahasia di balik pedang mereka. Kedua anak
itu terheran-heran menyaksikan proses pembuatan
naginata. Pedang itu ternyata tidak dibuat dari baja
yang kemudian ditempa tipis, tetapi sekumpulan bilah-
bilah baja dari berbagai tingkat ukuran yang kemudian
ditempa menjadi satu.
“Dahulu kami memang membuat pedang dari baja
tebal yang ditempa,” kata Miyazawa menjelaskan. “Te-
tapi cara itu hanya dapat menghasilkan pedang kuali-
tas nomor dua. Meskipun ketajamannya tak perlu dira-
gukan, namun pedang jenis itu mudah patah. Pernah
pula kami coba mempergunakan baja lunak, tidak
mudah patah, namun jenis itu kehilangan ketajaman-
nya. Baru sesudah bertahun-tahun kami mencoba,
akhirnya menemukan cara pembuatan pedang seperti
yang sekarang kami lakukan.”
Lapisan-lapisan baja dengan pelbagai tingkat keras
lunaknya ditempa bersama supaya bersatu menjadi li-
patan-lipatan logam. Lipatan itu kemudian dipa-
naskan, dilipat lagi, lalu ditempa lagi tipis-tipis. Sesu-
dah diulang kira-kira dua belas kali, baja itu menjadi
ribuan lapisan logam keras dan lunak yang masing-
masing hanya setebal kertas. Bila salah satu sisinya
diasah menjadi sisi yang tajam, baja yang keras me-
nyembul, oleh karenanya pedang itu tak mudah tum-
pul. Sedang akibat adanya baja lunak, kelenturan pe-
dang tersebut sangat luar biasa. Ia tidak mudah patah
dan memiliki ketajaman seperti pisau cukur.
“Bolehkah saya mencobanya?” Yoshioka bertanya
pada Miyazawa ketika lelaki itu menyelesaikan sebuah
naginata.
“Silakan, Yang Mulia.”
Yoshioka mengambil pedang itu, menimang-ni-
mangnya dengan riang. Belum pernah ia memegang
pedang sungguhan. Selama ini Saburo hanya membe-
rikan pedang kayu padanya. Pedang itulah yang mere-
ka gunakan untuk berlatih. Tapi kini, ketika ta-
ngannya menggenggam pedang sungguhan, tiba-tiba
daya hidupnya deras mengalir dalam dirinya.
Yoshioka bertanya lagi, “Dapatkah saya mencoba
ketajamannya?”
“Di belakang rumah, terdapat sebatang pohon yang
biasa kami gunakan untuk menguji pedang buatan
kami. Bila Yang Mulia berkenan, silakan mencobanya
di sana.”
“Di mana?”
Mereka berjalan memutari rumah itu. Di belakang
rumah tersebut memang terdapat beberapa batang po-
hon penuh luka. Natane Yoshioka mendekati sebatang
pohon yang cukup besar, kemudian ia menggenggam
gagang pedang itu selama beberapa saat, lalu dengan
menjerit, ia menebas pohon itu dengan ayunan melin-
tang. Seketika pohon itu terpotong menjadi dua.
“Benar-benar luar biasa,” puji Yoshioka pada Miya-
zawa. “Bolehkah aku memilikinya?”
“Silakan bila Yang Mulia menghendakinya.”
“Bolehkah saya memilikinya, Sensei?” Yoshioka ber-
tanya pada Saburo.
“Sesungguhnya belum saatnya,” jawab Saburo.
“Kenapa?”
“Setiap pedang memiliki garis takdirnya sendiri. Se-
tiap samurai harus mengenal pedangnya seperti ia me-
ngenal dirinya sendiri. Karena itu saat ini lupakan le-
bih dulu keinginan itu, bila nanti sudah saatnya, akan
saya carikan pedang yang sesuai dengan jiwamu.”
“Berapa lama saya harus menunggu?”
“Tergantung berapa lama kematangan jiwamu.”
Yoshioka menyerahkan kembali pedang itu pada
Miyazawa.
“Saya sesungguhnya ingin memiliki pedang itu, na-
mun karena Sensei berpandangan demikian, saya kem-
balikan pedang ini.”
Miyazawa kemudian memperlihatkan cara menguji
ketajaman pedangnya. Ia mengambil sebuah ember
kayu yang cukup besar di halaman rumahnya, meng-
isinya dengan air, kemudian meletakkan pedang bua-
tannya tegak lurus di tengah ember itu.
“Untuk apa?” Yoshioka bertanya.
“Yang Mulia dapat melihat seberapa tajam pedang
buatan kami.”
Takezo diminta mengambil daun pohon sakura, lalu
menebarkan di dalam ember itu. Pada awalnya, baik
Yoshioka maupun Kojiro tidak mengetahui maksud
Miyazawa. Namun semenit berikutnya, mereka me-
mandang pedang tersebut dengan perasaan takjub. Be-
tapa tidak, angin yang berhembus menggerakkan daun
sakura menyentuh sisi tajam pedang itu, daun-daun
tersebut terbelah menjadi dua.
Natane Yoshioka berseru takjub, “Wow, luar biasa!”
“Benar-benar setajam pisau cukur,” sahut Kojiro pula.
“Apa jadinya bagi tubuh samurai yang tertebas pe-
dang ini?”
“Dia akan terbelah dua, Yang Mulia,” kata Takezo
bangga.
“Sangat mengerikan!”
Saburo hanya membisu. Ia membiarkan kedua anak
itu mengagumi pedang Miyazawa.
“Apakah aku tetap belum boleh memilikinya?” Yo-
shioka bertanya pada Saburo.
“Sekarang belum saatnya.”
“Bukankah seorang samurai lebih baik memiliki pe-
dang sejak dini?”
“Tidak harus demikian. Pedang, seperti juga senjata
lain, sesungguhnya bermakna ganda. Dapat menjadi
suatu alat bela diri atau sebaliknya menjadi alat keja-
hatan. Karena itu seorang samurai harus memahami
lebih dulu filosofi kehidupannya sebelum dia memba-
wa pedang di pinggangnya.”
“Apakah saya belum mengerti filosofi itu?”
“Masih dibutuhkan waktu untuk menyempurnakan-
nya.”
“Saya merasa sudah tidak sabar untuk segera me-
milikinya.”
“Ingatlah, kesabaran adalah titik awal dari setiap
kemenangan. Bukankah Soen Tzu mengatakan begi-
tu?”
Yoshioka mendengus.
“Percayalah, Yoshioka-san, akan tiba saatnya bagi-
mu memiliki sebuah pedang yang baik.”
Natane Yoshioka agak kesal, namun ia tidak ingin
memaksakan kehendaknya. Sesudah dua bulan hidup
bersama Saburo dan Kojiro, dalam dirinya tumbuh
penghargaan yang tinggi terhadap samurai itu. Meski-
pun kadang bersikap kasar, namun Yoshioka tahu hati
lelaki tersebut baik. Lebih dari itu ia selalu bersikap
tulus terhadapnya. Karena itu Yoshioka mencoba
menghargainya.
Pada sore hari, menjelang matahari terbenam, Sa-
buro mengajak Yoshioka dan Kojiro naik ke atas. Dia
merasa lebih aman tinggal di gubuk kosong itu. Miya-
zawa dan isterinya mencoba mencegah, namun Saburo
tetap pada pendiriannya.
“Biarkan mereka belajar hidup sebagai shugyosa,”
kata Saburo pada Miyazawa. “Karena itulah garis hidup
mereka.
***
Malam harinya, ketika tinggal berdua, Takezo berkata
pada Miyazawa.
“Bagaimana kalau kita bunuh mereka?”
“Kau gila! Samurai itu telah mengalahkan Ishida Mi-
tsunari, kita bukan tandingannya.”
“Lalu?”
“Bertarung dengannya sama dengan membiarkan
diri mati konyol.”
“Apa sebaiknya kulaporkan pada Shogun Nobuna-
ga? Kalau mereka berhasil disergap, kita akan mempe-
roleh hadiah besar. Seribu real akan membuat kita
kaya raya.”
“Bagaimana kalau pasukan Nobunaga gagal me-
nyergap mereka?”
“Itu bukan urusan kita.”
“Samurai itu pasti akan kembali untuk memenggal
kepala kita.”
Takezo terdiam. Ia menggaruk-garuk kepalanya
yang tidak gatal. Kata-kata Miyazawa benar, kalau
sampai ketiga orang itu lolos dari penyergapan, bukan
mustahil mereka akan kembali untuk membalas den-
dam. Tetapi hadiah seribu real terus mengganggunya.
“Mereka sekarang berada di atas bukit,” akhirnya
Takezo berkata penuh tekanan. “Jika tentara Nobuna-
ga mengepung dari tiga penjuru, mereka tak mungkin
lolos. Di belakang mereka hanya ada jurang. Kukira
pengepungan itu pasti berhasil.”
“Bagaimana kalau gagal?”
“Tidak akan gagal.”
“Belum tentu. Buktinya selama ini hampir seribu
samurai mengejar mereka, tetapi tak seorang pun ber-
hasil menemukan tempat persembunyiannya.”
“Justru itulah, kita harus melaporkannya. Kalau ti-
dak, kita dapat disalahkan oleh Shogun Nobunaga. Ka-
lau kita dituduh menyembunyikan ketiga orang itu,
matilah kita.”
“Kita tidak menyembunyikannya.”
“Tetapi gubuk itu milik kita. Kita tak mungkin me-
nolak tuduhan mereka.”
Ganti Miyazawa yang terdiam. Ia menyadari kebena-
ran kata-kata adiknya. Tiba-tiba ia merasa bimbang.
Bila ia tidak melaporkan, seluruh keluarganya dapat
ditumpas oleh Nobunaga jika ketahuan Saburo ber-
sembunyi di rumahnya. Tetapi bila pengepungan itu
gagal, ia yakin Saburo akan datang untuk memenggal
kepalanya. Keduanya adalah dilema. Sulit memilih sa-
lah satu tanpa menghadapi risiko.
Ketika melihat kakaknya gelisah, Takezo segera ber-
kata, “Serahkan semua padaku. Biar aku yang berang-
kat ke Kamakura. Aku akan mencoba meyakinkan
Shogun, agar mengirimkan pasukan sebanyak-banyak-
nya. Penyergapan itu, bagaimana pun, tak boleh gag-
al.”
“Kau berani menanggungkan risikonya?”
“Kenapa tidak? Hidup ini memang penuh risiko, ke-
napa aku harus takut menghadapinya?”
“Aku takut....”
“Kenapa mesti takut, kita berada di wilayah Kama-
kura, demikian banyak samurai di sekeliling kita. Me-
reka semua mencari Saburo. Hanya dengan secuil in-
formasi, mereka pasti akan membantu kita. Kecuali
itu, seribu real bukan jumlah sedikit. Kita dapat mem-
beli rumah di Kamakura, atau pindah ke Edo. Di sana
kita dapat hidup aman.”
“Saburo Mishima bukan samurai sembarangan. Dia
dulu seorang panglima perang....”
“Apa artinya seorang panglima perang dibanding se-
ribu samurai bersenjata. Tidak ada kemungkinan dia
dapat menang.”
“Kau yakin?”
“Yakin seyakin-yakinnya.”
“Terserah kalau begitu. Kapan kau akan berang-
kat?”
“Malam ini juga. Semakin cepat aku sampai di Ka-
makura, kurasa akan semakin baik. Besok aku akan
kembali dengan pasukan Nobunaga.”
***

PENGEPUNGAN

SABURO MISHIMA tersentak bangun. Tiba-tiba naluri-


nya yang tajam mengisyaratkan adanya bahaya. Seba-
gai samurai ia sangat terlatih. Indra keenamnya selalu
memberi firasat bila sesuatu akan terjadi. Dan bia-
sanya, firasat itu selalu terjadi.
Sejak pertemuannya dengan Miyagi, naluri Saburo
mengatakan akan adanya bahaya. Keluarga pandai be-
si itu tidak dapat dipercaya, terutama Takezo. Sorot
mata lelaki tersebut mengisyaratkan kelicikan.
Saburo melihat Natane Yoshioka dan Kojiro masih
lelap. Dengan hati-hati ia berdiri sembari mengambil
pedangnya. Ia melangkah pelan-pelan. Lewat celah
dinding gubuk itu, Saburo mengintai keluar. Tidak ada
siapa-siapa. Di luar tetap sepi. Malam masih gelap.
Keadaan di luar hanya diterangi cahaya rembulan. Sa-
buro mencoba mempertajam pendengarannya. Dalam
suasana gelap, ia terbiasa mengandalkan telinganya.
Saburo meletakkan pedangnya, kemudian mem-
bungkuk, menempelkan telinganya di tanah. Dadanya
seketika berdebar-debar. Detak jantungnya serasa
berhenti berdenyut. Ia mendengar derap kaki ratusan
jumlahnya. Tanpa berpikir panjang lagi ia memba-
ngunkan Yoshioka dan Kojiro.
“Bangun. Kalian harus bangun!” Saburo berbisik
sambil menggoyang tubuh keduanya.
“Ada apa?” Natane Yoshioka bertanya sambil me-
ngerjap-ngerjapkan mata.
“Saya masih mengantuk,” sambung Kojiro karena
tidurnya merasa terganggu.
“Seseorang mengkhianati kita,” kata Saburo berbi-
sik. “Mereka sekarang mengepung kita.”
“Siapa?”
“Tentara Nobunaga.”
Yoshioka kaget, “Nobunaga?”
“Ya. Mereka sekarang sedang bergerak kemari. Ada
kira-kira tiga ratus prajurit sedang mendaki bukit ini.”
“Tiga ratus? Bagaimana Sensei tahu?”
“Dari langkah mereka yang terdengar.”
Kojiro bertanya, “Siapa yang mengkhianati kita?”
“Satu di antara dua pandai besi itu.”
“Pasti Takezo,” kata Kojiro geram. “Saya tidak me-
nyukainya sejak pertama kali bertemu.”
“Soal siapa yang mengkhianati kita, tak usah dibi-
carakan sekarang,” kata Saburo. “Sekarang yang pen-
ting kita mencari jalan keluar untuk lolos dari kepu-
ngan mereka.”
“Bagaimana caranya?”
“Saya akan menuruni bukit untuk mengetahui se-
berapa besar kekuatan mereka. Kalian tunggu di sini.
Nanti setelah tahu jumlah musuh, kita baru bisa me-
mastikan harus berbuat apa.”
“Baiklah, kami akan menunggu.”
Saburo Mishima pelan-pelan berdiri. Ia berbalik, la-
lu bergegas pergi. Natane Yoshioka berpaling pada Ko-
jiro, keduanya tampak tegang.
“Akan kupenggal kepala Takezo kalau kita dapat lo-
los dari pengepungan ini,” kata Yoshioka penuh keben-
cian.
“Sejak awal aku sudah tidak menyukainya,” sahut
Kojiro geram. “Benar-benar kurang ajar!”
“Akan kubunuh seluruh keluarganya kalau terbukti
mereka berkhianat.”
“Kenapa seluruh keluarganya?”
“Mereka harus menanggungkan semua akibat
pengkhianatannya.”
“Bagaimana kalau hanya Takezo yang mengkhianati
kita?”
“Aku tidak peduli. Akan kupenggal kepala mereka
sebagai contoh bagi orang yang mengkhianati Ashika-
ga.”
“Juga Miyagi?”
Yoshioka seketika berpaling pada Kojiro. “Kenapa
dengan Miyagi?”
“Dia tak mungkin mengkhianati kita.”
“Bagaimana kau tahu?”
“Dia gadis yang baik.”
“Kau jatuh cinta padanya?”
Kojiro gelagepan untuk menjawab.
“Kau pasti sedang jatuh cinta,” kata Yoshioka meng-
goda.
Kojiro memerah wajahnya. Ia lalu bergegas mengin-
tip keadaan di luar lewat lubang pada dinding. Yoshi-
oka tersenyum mengerti.
Saburo berlari menuruni bukit. Ia mencari tempat
yang dapat untuk melihat hutan di bawahnya. Seketi-
ka hatinya terkesiap, pada jarak kira-kira tujuh ratus
meter di bawahnya, ia melihat ratusan tentara Nobu-
naga tengah mendaki bukit itu. Puluhan orang di anta-
ranya membawa obor, sehingga tempat di sekitarnya
terang benderang. Api obor itu bergerak-gerak tertiup
angin, mirip lidah ular naga. Setiap pembawa obor, di
punggungnya terdapat bendera warna merah, lambang
keshogunan Nobunaga.
Derap kaki tentara itu terasa menggetarkan tanah
di sekitarnya. Mereka mendaki bukit dalam formasi
yang sangat rapat, sehingga mustahil Saburo dapat
bersembunyi.
“Gila!” desis Saburo marah. “Rupanya Nobunaga ti-
dak ingin memberi kesempatan padaku.”
Seorang laki-laki yang memimpin penyergapan itu
berteriak-teriak memberi aba-aba. Pakaiannya yang
berlapis besi berkilauan tertimpa sinar rembulan.
Saburo tak ingin membuang waktu, ia segera berlari
ke arah utara, mencari jalan untuk lolos. Harapannya
sia-sia. Di lereng bukit sebelah utara, tampak ratusan
tentara panah tengah merayap mendaki bukit. Obor
yang dibawa untuk menerangi jalan menjadikan lereng
bukit itu seperti hutan terbakar.
“Sial!” Saburo mengumpat.
Menurut perkiraannya, ada sekitar dua ratus tenta-
ra panah memenuhi lereng bukit itu. Mereka terus
bergerak seperti semut api. Meskipun formasi mereka
tidak serapat tentara yang mendaki lereng bukit dari
arah Barat, tetapi seperti biasa, pasukan panah ini
bergerak berlapis-lapis. Rasanya sangat mustahil da-
pat menembus pertahanan mereka.
Saburo menyesal, kenapa membiarkan dirinya ter-
perangkap seperti saat ini. Coba seandainya ia mengi-
kuti nalurinya yang memberi isyarat bahaya ketika me-
lihat sinar mata Takezo, mereka tak akan terperangkap
dalam bahaya.
Seperti seekor harimau dikepung pemburu, Saburo
menggeram, menyesali kebodohannya. Ia kemudian
berlari ke arah Selatan, mencoba mencari kemungki-
nan untuk meloloskan diri. Kenyataannya justru lebih
buruk. Di sebelah selatan, ratusan samurai bergerak
mendaki bukit dengan pedang terhunus. Meskipun
jumlah mereka tidak sebanyak tentara panah, tetapi
Saburo tahu kaum samurai itu jauh lebih berbahaya
dibanding yang lain. Mereka adalah pendekar-pen-
dekar pedang Yagyu yang menjadi kekuatan utama
tentara Nobunaga.
Saburo mendesis. Dadanya tambah berdebar-debar.
Ia kemudian berlari kembali ke gubuk. Natane Yoshi-
oka dan Kojiro sudah menunggunya dengan harap-
harap cemas.
“Bagaimana keadaannya?” Yoshioka bertanya tak
sabar.
“Sangat buruk,” jawab Saburo. “Mereka telah me-
ngepung bukit ini. Barisan mereka sangat rapat, se-
hingga mustahil kita dapat menerobos kepungan me-
reka. Sepertinya tidak ada peluang untuk meloloskan
diri.”
Kojiro berkata, “Kalau begitu kita lawan mereka....”
“Ada hampir empat ratus tentara di sana,” kata Sa-
buro sambil menunjuk hutan di bawahnya. “Kita ha-
nya bertiga, rasanya tak mungkin melawan mereka.”
“Lantas?”
“Kita harus tetap mencari jalan keluar.”
“Bagaimana caranya?”
Saburo diam. Otaknya berpikir keras. Satu-satunya
jalan hanya berlari ke arah Timur. Meskipun ia tahu
akan berhadapan dengan jurang menganga, tetapi itu
merupakan satu-satunya pilihan. Dalam hati Saburo
berpikir, sambil mundur ia akan mencari jalan keluar.
Sesungguhnya keadaan tidak akan serumit saat ini
bila saja ia sendirian. Tetapi kini ada dua anak yang
harus ia lindungi. Satu di antaranya putra shogun
yang harus ia bela meski nyawa taruhannya.
“Kita lari ke Timur,” katanya pada Yoshioka dan Ko-
jiro.
Yoshioka meragukan keputusan Saburo, “Di bela-
kang kita hanya ada jurang.”
“Barangkali itu satu-satunya jalan keluar.”
“Saya lebih baik mati karena melawan mereka di-
banding harus lari sebagai seorang pengecut.”
“Kita menghadapi lawan yang tak seimbang, lari me-
rupakan salah satu siasat untuk memenangkan per-
tempuran. Saya memang belum tahu apakah dengan
lari kita dapat selamat, tetapi paling tidak, itulah jalan
satu-satunya yang dapat kita tempuh. Kalian masih
ingat ajaran Soen Tzu?”
Kojiro berkata, “Bila kita tidak mungkin menang, ki-
ta harus menghindari pertarungan.”
“Benar. Itu satu-satunya jalan.”
Natane Yoshioka menatap tajam mata Saburo. Mes-
kipun sebenarnya ia tidak menyetujui jalan pikiran-
nya, namun ia tak ingin melawan kemauan lelaki itu.
Saburo berpaling pada Kojiro, kemudian muncul se-
buah gagasan yang samar-samar, namun memberi ce-
lah untuk kemungkinan menyelamatkan Yoshioka.
Apa pun risikonya, ia harus menempuh jalan samurai,
jalan pengorbanan untuk keselamatan Natane Yoshi-
oka. Apa pun wujud pengorbanan itu.
“Kojiro,” suaranya mantap, meski sedikit bergetar.
“Saatnya engkau tunjukkan kesediaanmu berkorban
bagi Yoshioka-san. Maukah engkau mempertaruhkan
nyawamu untuk Yoshioka-san?”
“Apa yang harus saya lakukan?”
“Nyawamu.”
“Bagaimana caranya?”
Saburo menoleh pada Natane Yoshioka, “Yoshioka-
san, saya minta engkau melepas pakaian kebesaran-
mu, dan biarkan Kojiro memakainya.”
“Kenapa?”
“Saat ini, tentara Nobunaga sedang mengejar diri-
mu. Tetapi sesungguhnya, mereka tidak mengetahui
wajahmu secara pasti. Karena itu biarkan Kojiro me-
ngenakan pakaianmu. Bila sesuatu yang buruk terjadi,
mereka akan memenggal kepala Kojiro, bukan dirimu.”
“Tetapi....”
“Saat ini kita tidak perlu berdebat,” potong Saburo
tegas. Suaranya tegas dan bergetar. “Ada empat ratus
tentara Nobunaga mengejar kita, sebaiknya kita tak
perlu saling berbantah.” Saburo kemudian berpaling
pada anaknya. “Kojiro, sadarilah bahwa engkau seo-
rang samurai sejati. Pertaruhkan nyawamu untuk ke-
selamatan Yoshioka-san. Apabila engkau tertangkap,
mengakulah bahwa dirimu adalah Natane Yoshioka.
Mereka akan memenggal kepalamu. Tetapi jangan gen-
tar, jiwamu akan masuk ke dalam sorga.”
Kojiro menatap ayahnya, “Saya siap melakukan-
nya.”
Tanpa banyak bicara, Saburo melepas pakaian Na-
tane Yoshioka, kemudian mengenakan pada anaknya.
Sebaliknya Yoshioka mengenakan pakaian Kojiro.
Ketika sudah selesai, Saburo memberikan Pedang
Muramasa pada anaknya.
“Bawa pedang ini sebagai bukti bahwa engkau ada-
lah Natane Yoshioka. Jangan lepaskan pedang ini,
meskipun tebusannya adalah nyawamu.”
“Saya berjanji tidak akan melepaskannya.”
Saburo berpaling pada Yoshioka, “Mulai hari ini,
engkau harus mengaku sebagai Kojiro, apa pun yang
terjadi.”
“Saya berjanji.”
Saburo merangkul kedua anak itu, lalu berkata
dengan suara bergetar, “Sekarang kita siap menghada-
pi mereka.”
Derap kaki tentara Nobunaga semakin dekat. Ter-
dengar gemerisik pepohonan yang diinjak kaki. Juga
suara desah napas mengandung hawa nafsu membu-
nuh. Kepungan itu semakin rapat. Tak memberi celah
sedikit pun bagi ketiga orang itu untuk meloloskan di-
ri. Matahari mulai merambat ke kaki langit. Cahayanya
merayap di perbukitan itu. Mereka seperti sekumpulan
pemburu yang tengah mengepung binatang buruan.
Barisan terus menerus dirapatkan, tidak membiarkan
satu celah pun yang memberi kemungkinan lolos bina-
tang buruan mereka.
Suasana terasa semakin menekan. Ketegangan ada
di mana-mana. Suasana pagi yang lembut, perlahan-
lahan berubah menjadi padang perburuan yang sangat
mencekam.
Tentara Nobunaga terus mendaki bukit. Anak pa-
nah mulai dipasang di tali busurnya. Tombak-tombak
disiagakan. Sementara para samurai mencabut pe-
dang. Bilah-bilah pedang itu berkilat berkilauan ter-
timpa cahaya matahari. Sinar mata mereka seakan
membeku, membangkitkan nuansa pembunuhan yang
mengerikan.

(Bersambung ke buku kedua.)

Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel

Anda mungkin juga menyukai