Anda di halaman 1dari 38

PENGGUNAAN

KORTIKOSTEROID PADA
PROSEDUR ANESTESIA

Ni Putu Wardani

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH
i
DENPASAR
2014

ii
DAFTAR ISI

Hal

BAB 1 PENDAHULUAN ……………………...………………………................... 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA …………………………….……………………... 3

2.1 Kortikosteroid ..……………………………………………………………. 3

2.1.1 Fisiologi Kortikosteroid ………………............................................... 3

2.1.2 Struktur Kimia ……………………………………………………….. 6

2.1.3 Farmakokinetik ……………………………………………………... 7

2.1.4 Farmakodinamik …………………………………………….............. 9

2.1.5 Kortikosteroid Sintesis ………………………………......................... 12

2.1.6 Efek Samping Kortikosteroid ………………………………………... 17

2.1.7 Toksisitas ……………………………………………………………. 18

2.1.8 Kontra Indikasi……………………………………………………….. 19

2.1.9 Interaksi Kosrtikosteroid dan Obat Lain …………………………….. 19

2.2 Penggunaan Klinis DalamAnestesi ………………………………………... 20

2.2.1 Analgesia ……………………………….............................................. 20

2.2.2 Terapi Alergi ………………………………………………………... 23

2.2.3 Asma Bronkial ………………………………………………………. 24

2.2.4 PONV ………………………………………………………………... 25

2.2.5 Peningkatan Tekanan Intrakranial dan Edema Serebri ……………… 26

2.2.6 Pneumonitis Aspirasi ………………………………………………... 27

2.2.7 Komplikasi Pasca Intubasi …………………………………………... 27

2.2.8 Low Back Pain akibat Lumbar Disc Disease …………………………… 28

2.2.9 Immunosupresan …………………………………………………….. 28

2.2.10 Penanganan Sepsis …………………………………………………. 29


2.2.11 Respiratory Distress Syndrome ………………………………………… 29

2.2.12 Trauma Medula Spinalis …………………………………………… 30

BAB 3 SIMPULAN ………………………………………………………………… 31

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………. 33


BAB I
PENDAHULUAN

Kortikosteroid dipakai secara luas untuk terapi berbagai macam penyakit, walaupun
mekanisme kerjanya masih belum jelas. Di bidang Anestesi dan Terapi Intensif,
kortikosteroid juga cukup sering dijumpai dan digunakan. Namun, pemakaian kortikosteroid
dalam dosis besar atau dalam waktu yang cukup lama dapat menimbulkan beberapa efek
samping yang tidak diinginkan.1

Pada tindakan anestesi, pemberian kortikosteroid sering dilakukan, terutama apabila


pasien pernah mendapatkan terapi kortikosteroid sebelumnya. Deksametason, Prednison,
Metilprednisolon, ataupun Triamsinolon dan Betametason adalah sediaan kortikosteroid yang
tidaklah asing bagi seorang dokter anestesi. 1, 2

Kortikosteroid telah lama dipergunakan untuk penanganan penyakit rematik dan


penyakit sistemik dan juga sering digunakan pada pasien kanker oleh karena efek anti-
inflamasi, analgesik, antiemetik dan anti anoreksia yang dimiliki. Oleh karena efeknya yang
multiple, kortikosteroid cocok dipergunakan untuk penanganan nyeri pascaoperasi meskipun
sampai saat ini penggunaannya untuk indikasi nyeri hanya bersifat sporadik. Namun,
kortikosteroid secara signifikan dapat menurunkan konsumsi opioid dan memiliki efek
menurunkan efek samping dari pemberian opioid. Selain menghasilkan efek opioid-sparing,
kortikosteroid juga secara signifikan menurunkan kejadian ileus dan mual muntah pasca
operasi. 2, 3

Seiring dengan banyaknya penelitian, kortikosteroid mulai mendapat tempat tersendiri


dalam tatalaksana anestesi dan terapi intensif. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena
kortikosteroid cukup mudah untuk didapat dan juga harganya tidak mahal. Semisal pada
tatalaksana PONV (Post Operative Nausea-Vomiting), kortikosteroid menjadi salah satu obat
pilihan bila dibandingkan dengan obat lain seperti droperidol yang sudah mulai ditinggalkan
mengingat efek samping pada jantung yang kerap ditemui dan sering digunakan bersama
golongan HT3 (Ondansentron, Granisentron). 2, 3, 4

Addison (1849) pertama kali mempelajari fisiologi kelenjar adrenal dengan melihat
gejala klinis dari pasien dan menyimpulkan pentingnya fungsi adrenal.. Korteks dari kelenjar
1
tesebut tampaknya lebih berperan daripada bagian medula, yang mengeluarkan hormon
glukokortikoid dan mineralokortikoid yang efeknya sangat berbeda. Glukokortikoid lebih ke
arah regulasi dari metabolisme karbohidrat, sedangkan mineralokortikoid lebih ke arah
regulasi dari cairan dan elektrolit.4, 5, 6

Cushing (1932) menemukan gejala hiperkotisisme akibat hipersekresi kortikosteroid


atau penggunaan kortikosteroid berlebihan, di mana kumpulan gejala tesebut kemudian lebih
dikenal sebagai sindrom Cushing. Baik kortikosteroid yang alami ataupun sintetik digunakan
untuk diagnosis ataupun tatalaksana dari kelainan fungsi adrenal dan lebih jauh lagi untuk
terapi dari berbagai macam reaksi inflamasi ataupun kelainan imunologis.4, 5, 6

Pada tinjauan pustaka ini akan diuraikan secara singkat fisiologi, farmakokinetik dan
farmakodinamik kortikosteroid. Juga akan dibicarakan mengenai struktur kimia, sediaan,
indikasi maupun kontraindikasi dari kortikosteroid. Tidak dikesampingkan pula sedikit
pembicaraan mengenai penanganan anestesi pada pasien yang mendapat kortikosteroid
sebelumnya, dan juga mengenai penghambat kortikosteroid.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kortikosteroid

2.1.1 Fisiologi Kortikosteroid

Kortikosteroid merupakan hormon yang dihasilkan korteks adrenal zona fasikulata,


atas pengaruh dari ACTH yang disekresikan oleh kelenjar hifofise anterior dengan
mekanisme feed back. Korteks adrenal mengubah asetat menjadi kholesterol, yang kemudian
dengan bantuan berbagai ensim diubah lebih lanjut menjadi kortikosteroid dengan 21 atom
karbon dan androgen lemah dengan 19 atom karbon. 1, 2, 3
Kortikosteroid dari korteks adrenal mempengaruhi fungsi fisiologis termasuk
metabolisme karbohidrat, protein dan lemak, keseimbangan elektrolit dan air dan fungsi
normal sistem kardiovaskuler, sistem saraf, ginjal dan oto skeletal. 2, 3

Hipotalamus

Hipotalamus merupakan bagian dari otak yang berbentuk kerucut yang berperan
penting dalam fisiologi tubuh. Secara anatomis terletak di bawah talamus, persis diatas
batang otak. Organ ini menghasilkan beberapa neurohormon berupa Hypothalamus Releasing
Hormone, seperti TRH (Thyroid Releasing Hormone) dan CRH (Corticothropyne Releasing
Hormone). Hormon CRH ini nanti akan dialirkan melalui plexus hipofiseal ke kelenjar
hipofisis. Di Hipofisis CRH akan berikatan dengan reseptor CRH dan nantinya akan
mengaktifkan adenilil siklase dan meningkatkan level siklus AMP. Proses ini akan
meningkatkan biosintesis dan sekresi dari ACTH. 4, 5

Hipofisis

Merupakan suatu kelenjar endokrin kecil, yang terletak di rongga tulang di batas dari
otak yang memiliki dua buah lobus,anterior dan posterior, yang berbeda secara anatomis dan
fungsi. Secara embriologis, hipofisis anterior berasal dari epitel glanduler rongga mulut.
Bagian ini dihubungkan secara vaskuler dengan hipotalamus. Kelanjar hipofisis anterior ini
menghasilkan ACTH (AdrenoCorticoThropyne Hormone) yaag berperan dalam pembentukan
glkokortikoid oleh kelenjar adrenal. 4, 6

Kelenjar adrenal

Tubuh memiliki dua buah kelenjar adrenal yang sebenarnya terdiri dari dua organ
endokrin dimana yang satu mengelilingi yang lain. Bagian pertama, medula adrenal,
mensekresi katekolamin. Bagian kedua, korteks adrenal, menyusun 80% bagian kelenjar
tersebut dan terdiri dari 3 lapisan, zona glomerulosa, fasikulata dan retikularis. , ACTH lebih
berpengaruh terhadap zona zona fasikulata, dan akan menghasilkan kortisol dan
kortikosteron. 7

Poros hipotalamus-hipofisis-adrenal

Fluktuasi dari eksresi hormon glukokortikoid ditentukan oleh fluktuasi dari ACTH
dari kortikotropin dari kelenjar hipofisis anterior. Pengaturan pelepasan hormon ACTH ini
juga diatur oleh hormon peptida yang dihasilkan oleh hypothalamus yaitu CRH
(Corticotrophyne Releasing Hormone). Ketiga organ ini disebut sebagai poros hypothalamus-
hipofisis-adrenal, suatu sistem yang terintegrasi untuk mempertahankan kadar glukokortikoid
dalam darah. Ada 3 karakter dari regulasi ini yaitu irama sirkardian, mekanisme umpan balik
negatif dan peningkatan steroidogenesis sebagai respon dari stress, irama diurnal diatur oleh
pusat saraf sebagai respon dari siklus tidur dan bangun yang menyebabkan kadar ACTH
tinggi pada pagi hari sehingga kadar dari glokokortikoid itu mencapai level tinggi pada jam
8 pagi. Mekanisme umpan balik negatif menjaga agar kadar glukokortikoid tetap pada level
yang normal. Pada stimulus stres, kedua karakter di atas dapat ditekan oleh stimulus tersebut,
sehingga akan meningkatkan konsentrasi hormon kortikosteroid di darah.1, 4

Pada orang dewasa normal, dengan tidak adanya faktor stress, 10-20 mg kortisol
dihasilkan tiap hari sebagaimana diatur oleh irama sirkardian yang diatur oleh ACTH yang
mencapai puncak pada pagi hari. Mekanisme umpan balik negatif dari ACTH melalui
mekanisme direk dan indirek pada serabut saraf CRH dengan cara menurunkan kadar mRNA
CRH dan pelepasan dan efek langsung pada cortikotropin. Efek pelepasan CRG diatur oleh
reseptor kortikosteroid di hipokampus, yang merupakan peran penting dari mekanisme
umpan balik negaid. Pada kandungan kortisol yang rendah, reseptor mineralokortikoid
(tipe I) yang mempunyai afinitas yang lebih tinggi terhadap glukokortikoid akan diikat.
Semakin tinggi kadar glukokortikoid di darah, maka glukokortkioid akan juga diikat.
Mekanisme ini yang menyebabkan terjadinya mekanisme umpan balik negatif.1, 2, 4

Gambar 1. Irama Sirkardian Glukokortikoid (warna Hitam) 1

Gambar 2. Sintesis Steroid 1


2.1.2 Struktur Kimia

Semua kortikosteroid mempunyai struktur primer yang hampir sama yang dinamakan
struktur steroid. Perubahan dari struktur molekul terutama ada cincin aromatik akan
menyebabkan terganggunya absorpsi, ikatan terhadarp protein, laju metabolisme dan efek
instrinsik dari obat pada reseptor.1, 4

Semua kortikosteroid mempunyai struktur 21 karbon atom yang terdiri dari 4 macam
cincin aromatik yaitu cincin A,B,C dan D. Pada tubuh manusia glukokortikoid utama adalah
cortisol (hidrokortison) sehingga secara umum struktur kimia dari glukokortikoid mempunyai
struktur yang menyerupai kortison yang berbeda mekanisme kerja berdasarkan perbedaan
struktur kimia. Perbedaan dari struktur kimia akan memberikan perubahan dan potensisasi
sebagai akibat dari afinitas dan aktifitas intrinsik pada reseptor kortikosteroid, perbedaan saat
absorpsi, ikatan pada proteinm laju metabolik transformasi, laju eksresi dan juga
permeabilitas terhadap membran.1, 4

Cincin A merupakan cincin yang diperlukan untuk aktivitas adrenokortikosteroid


yang spesifik pada ikatan rangkap C4-5 dan gugus keton pada atom C3 baik glukokortikoid
dan mineralokortikoid. Gugus 11β-hydroxyl pada cincin C merupakan kekhususan pada
aktifitas glukokortikoid namun tidak pada mineralokortikoid. Gugus hidroksilase pada atom
C ke 21 pada cincin D yang terdapat pada kortikosteroid alami dan banyak pada sintetiknya
merupakan kekhususan pada aktifitas mineralokortikoid namun tidak pada glukokortikoid.
Ikatan rangkap pada C1-2 dipunyai prednisolon atau prednisolon yang akan memperbesar
rasio potensi regulasi karbohidrat dengan kemungkinan terjadinya retensi natrium karena
secara selektif memperbesar potensi yang pertama. Cincin B merupakan cincin yang penting
pada kortisol karena memiliki efek antiinflamasi yang besar, pengeluaran nitrogen yang besar
dan juga retensi natrium. Cincin C mempunyai atom C pada C11 yang diperlukan untuk efek
antiinflamasi dan regulasi karbohidrat dan ini terlihat bila kortisol dibandingkan dengan
11-deoksikortisol. Sedang cincin D mempunyai metilasi dan hodroksilasi pada atom C16
yang menyebabkan penurunan retensi natrium yang nyata namun sedikit dipengaruhi efek
metabolisme dan antiinflamasi. Substitusi pada cincin ini terdapat pada kortikosteroid yang
efeknya kuat seperti parametasion, triamsinolon, bethametason dan deksamethason. Semua
kortikosteroid yang digunakan sebagai obat antiinflamasi mempunyai substitusi gugus
hidroksi pada C17.1, 2, 3, 4
Gambar 3. Struktur Kimia Cortisol 3

2.1.3 Farmakokinetik

Absorpsi dari glukokortikoid seperti hidrokortison dan analog sintetisnya cukup


efektif bila diberikan per oral, karena kortikosteroid diabsorpsi dengan baik secara oral. Obat
ini juga dapat diberikan dengan cara intravena, intramuskular, subkutan, dan jalur topikal.
Pada keadaan yang memerlukan konsentrasi tinggi di dalam darah, glukokortikoid dapat
diberikan secara intravena. Secara intramuskular hidrokortison juga dapat diberikan untuk
memberikan efek yang lebih lama. Dan pada beberapa kasus juga dapat diberikan secara
lokal seperti dari area sinovial, konjungtiva, kulit dan juga jalan nafas. Namun hal ini harus
diperhatikan cara pemberiannya, seperti diberikan penutup pada area lokal, pemberian jangka
panjang, luas area pemberian.4, 6

Beberapa analog sintetik dari kortikosteroid seperti kortison dan prednisone,


membutuhkan aktivasi dari hepar dan mungkin tidak efektif pada gangguan hepar.
Metabolismenya menjadi komponen tidak aktif terjadi di berbagai jaringan terutama di hepar.
Konsekwensinya, metabolismenya ditingkatkan oleh obat-obatan yang memicu enzym di
hepar. Hasil dari metabolismenya diekskresikan oleh ginjal.4, 6

Kortisol akan diikat protein di dalam darah lebih dari 90% dan hanya bagian dari
kortikosteroid yang tidak terikat yang dapat memasuki sel untuk menghasilkan efek yang
diinginkan. Ada dua plasma protein yang berguna sebagai pengkikat kortikosteroid yaitu
corticosteroid-binding globulin (CBG) dan albumin. CBG adalah alfa-globulin yang
dihasikan oleh hepar yang mempunyai afinitas tinggi dengan kortikosteroid namun kapasitas
ikat totalnya hanya sedikit, sedangkan albumin mempunyai ikatan yang lemah namun
kapasitasnya relatif lebih besar. Pada kadar kortikosteroid yang normal atau rendah,
mayoritas akan diikat oleh protein tersebut, namun pada konsentrasi yang lebih tinggi
kapasitas akan melebihi ambang batas sehingga banyak kortikosteroid yang tidak akan diikat
dan berbentuk pada steroid yang bebas. Kortikosteroid akan berkompetisi satu sama lain di
situs pengikatan pada CBG. CBG mempunyai daya afinitas yang lebih tinggi dengan kortisol
dan sintetisnya dibanding dengan mineralokortikoid.2, 3, 4, 6

Waktu paruh plasma dari berbagai jenis steroid tidak menentukan durasi kerja dari
kortikosteroid. Hidrokortison, prednisone dan prednisolon harus diberikan lebih sering
dibandingkan dengan deksametason. Waktu paruh dari kortisol pada sirkulasi yang normal
adalah sekitar 60-90 menit, yang akan meningkat apabila hydrokortison diberikan dalam
dosis besar ataupun pada stress, hypothyroidism ataupun penyakit hepar. Hanya 1% kortisol
yang akan diekskresi ke urin dalam keadaan tidak termetabolisme, sekitar 20% akan
dikonversi di ginjal dan organ lain menjadi 11-hydroxysteroid.2, 4

Kortikosteroid secara molekular akan berinteraksi pada organ target dengan berikatan
dengan reseptor spesifik. Setelah memasuki sel, steroid akan berikatan dengan reseptor
glukokortikoid, sehingga akan menginduksi translokasi reseptor tersebut dan mengaktifkan
transkrispsi dari gen target.4, 6

Biotransformasi steroid terjadi di dalam dan di luar hati. Metabolitnya merupakan


senyawa inaktif atau berpotensi rendah. Semua kortikosteroid yang aktif mempunyai ikatan
rangkap pada atom C4,5 dan gugus keton pada atom C3. Reduksi ikatan rangkat C4,5 terjadi di
dalam hati dan di dalam jaringan ekstra hapatik serta hidroksil hanya terjadi di dalam hati.
Sebagian besar hasil reduksi gugus keton pada atom C3 melalui gugus hidroksilnya secara
ensimatik bergabung dengan asam sulfat atau glukoronat membentuk ester yang mudah larut
dan kemudian di ekskresi. Reaksi ini terutama terjadi di hepar dan sebagian kecil terjadi di
ginjal.2, 3, 4

Setelah penyuntikan steroid radioaktif intravena, dalam waktu 72 jam sebagian besar
akan diekskresi di urin, sedangkan dan feses dan empedu hampir tidak ada. Diperkirakan
paling sedikit 70% kortisol yang di ekskresikan dimetabolisme di hepar. Masa paruh
eliminasi kortisol sekitar 1,5 jam.2, 3, 4
2.1.4 Farmakodinamik

Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintetis protein. Hormon


memasuki sel jaringan yang responnya melalui membran plasma secara difusi pasif kemudian
bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel jaringandan membentuk
kompleks reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konfirmasi, lalu bergerak
menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan
sintesis protein spesifik.3, 4, 7

Meskipun kortikosteroid mempunyai berbagai macam aktifitas biologik, umumnya potensi


preparat alamiah maupun sintetik ditentukan oleh besarnya efek retensi natrium dan
penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya anti inflamasinya. Efek stabilisasi membran
mempengaruhi pergeseran cairan dan menurunkan pergerakan cairan dan sel dari ruang
vaskuler, di mana kortikosteroid juga mempengaruhi permeabilitas dinding vaskuler. Enzim
lisosomal juga dicegah untuk dilepaskan. Hasil akhirnya adalah perubahan retensi cairan pada
daerah dengan kerusakan jaringan.2, 3, 6

Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang transkripsi dan
sintetis protein spesifik pada jaringan lain, misalnya sel limfoid dan fibroblas, hormon ini
bersifat katabolik. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa hormon steroid merangsang sintetis
protein yang sifatnya menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid, hal inilah yang
mungkin menimbulkan efek kataboliknya.2, 4

Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu
glukokortikoid dan mineralokortikoid. Glukokortikoid efek utamanya pada penyimpanan
glikogen hepar dan efek anti inflamasinya nyata, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan
air dan elektrolit kecil. Prototip untuk golongan ini yaitu kortisol. Golongan
mineralokortikoid efek utamanya terhadap keseimbangan air dan elektrolit, sedangkan
pengaruhnya pada penyimpangan glikogen hepar sangat kecil. Prototip golongan ini ialah
desoksikortikosteron.2, 3

Kortisol, yang merupakan kortikosteroid alami dan juga kortikosteroid sintetis, akan
menurunkan jumlah produksi dari limfosit dalam tubuh yang akan menurunkan respon imun
dari limfosit pada peradangan sebagai efek antiinflamasi. Glukokortikoid akan mencegah
inflamasi sebagai respon dari adanya peristiwa infeksi, peradangan akibat keadaan yang
mekanis, kimiawi serta stimulus imunologis. Walau glukokortikoid sebagai agen
antiinflamasi tidak memperbaiki penyebab penyakit, namun dengan supresi dari inflamasi
membuat kortikosteroid banyak digunakan kalangan medis. Efek anti-inflamasi berasal dari
beberapa faktor yang berbeda termasuk penghambatan fosfolipase, perubahan pada limfosit,
penghambatan ekspresi sitokin dan stabilisasi membrane seluler. Mekanisme antiinflamasi
glukokortikoid salah satunya adalah menghambat produksi dari sel–sel yang merupakan
respon dari inflamasi. Sebagai akibatnya akan menurunkan pelepasan zat vasoaktif dan faktor
kemoatraktif, menghilangkan sekresi dari lipolitik, enzim proteolitik, menurunkan
ekstravasasi leukosit dari daerah trauma, dan juga menurunkan terjadinya fibrosis.
Faktor lain yang akan diinhibisi adalah interferon gamma, faktor stimulasi koloni granulosit
dan monosit, interleukin (IL-1, IL-2, IL-3, IL-6) dan TNF- α (tumor necrosis factor α). 2, 4, 7

Konversi fosfolipase menjadi asam arakidonat sangat penting dalam pembentukan


mediator inflamasi seperti L TB-4, L TC-4, l TD-4 dan L TE-4 dan berbagai prostaglandin.
Langkah awal ini difasilitasi oleh kerja enzim fosfolipase A2. Kortikosteroid menghambat
kerja fosfolipase dan kemudian mencegah pembentukan asam arakidonat dan kemudian
mediator inflamasi, dengan demikian kortikosteroid menghambat produksi baik itu
prostaglandin dan leukotrien di jaringan perifer dan susunan saraf pusat. Yang lebih penting,
penghambatan dari siklooksigenase (COX) primernya pada isoform COX-2, yang
menjadikan glukokortikoid sebagai penghambat COX-2 selektif.2, 4, 7

Kortikosteroid juga mengubah fungsi limfosit. Obat-obat ini tampaknya mengubah


mekanisme kemotaktik dan kemo atraktan yang ditemukan pada respon inflamasi setelah
cedera jaringan. Suatu hambatan yang jelas dari sel darah putih pada sistem limfatik secara
tidak langsung membatasi kemampuan sel darah putih untuk bermigrasi ke jaringan yang
rusak. Fungsi limfositik dan ketersediaannya berkurang pada suatu titik dimana penurunan
70% dari limfosit dalam sirkulasi dapat diamati pada dosis tipikal dari obat ini. Efek
kortikosteroid pada limfosit berbeda antara manusia dengan binatang coba seperti tikus.
Setelah pemberian suatu dosis dari kortikosteroid, peningkatan sementara dari jumlah sel
darah putih dapat diamati. Pada kondisi di mana infeksi dibuktikan tidak ada, peningkatan ini
mungkin disebabkan oleh demarginasi neutrosit dari endotelium dan suatu peningkatan
jumlah pelepasan sel dari sumsum tulang. 2, 4, 6, 7
Interleukin 1 (IL-1) dan tumor necrosis faktor (TNF) merupakan komponen integral
dari respon imun yang dimediasi sel terhadap trauma. Ekspresi dari sitokin ini dapat dihambat
oleh kortikosteroid secara efektif. IL-1 berasal dari makrofag, monosit dan berbagai sel
parenkim dan memicu produksi endothelial yang berbahan dasar protein. Hasilnya yaitu
pembentukan thrombus dan pada akhirnya aktivasi inflamasi dan sel imun. IL-1 juga
mempengaruhi protein prokoagulan, faktor adesif dan metabolisme asam arakidonat di dalam
sel endothelial. TNF menstimulasi produksi berbagai mekanisme kemotaksis yang berasal
dari neutrofil dan protein granulositik.2, 4

Efek metabolik dari glukokortikoid adalah metabolisme lemak, karbohidrat dan


protein. Glukokortikoid akan menstimulasi glukoneogenesis pada puasa dan diabetes,
meningkatkan penyerapan asam amino pada hepar dan ginjal dan meningkatkan enzim yang
diperlukan untuk glukoneogenesis, meningkatkan terjadinya lypolisis. Efek katabolik dari
glukokortikoid adalah mengurangi masa lemak dan juga menyebabkan osteoporosis, efek ini
dapat terlihat pada sindrom cushing ataupun penggunaan glukokortikoid jangka panjang.
Efek lain yang juga penting adalah pada sistem saraf pusat, insufisiensi dari adrenal akan
menyebabkan ritme alfa dari EEF akan melambat. Peningkatan jumlah akan menyebabkan
ambang dari pencetus kejang akan semakin rendah dan menyebabkan gangguan perilaku
pada manusia. Selain itu dosis besar dari glukokortikoid akan menstimulasi produksi dari
asam lambung sehingga akan menyebabkan terjadinya ulkus peptikum. Pada fetus kurang
dari 32 minggu glukokortikoid akan menstimulasi produksi dari surfaktan yang diperlukan
untuk mempertahankan tegangan permukaan dari alveoli di paru.2, 3, 4

Glukokortikoid, dengan afinitasnya pada air yang cukup besar, diabsorpsi dengan
cepat menghasilkan onset kerja yang cepat, namun juga dengan cepat dimetabolisme yang
menghasilkan durasi kerja yang pendek. Jika komponen larut air dirubah, maka durasi kerja
obat juga berubah. Glukokortikoid dimetabolisme di hepar dan di ginjal.3, 4

Kegunaan dari kortikosteroid sintetis terutama adalah untuk gangguan fungsi adrenal,
seperti contoh penyakit insufisiensi adrenal yaitu Addison’s disease yang mempunyai gejala
seperti hiperpigmentasi, kelelahan, penurunan berat badan. Serta penyakit Cushing.
karenakan hyperplasia adrenal sekunder, steroid diberikan sebelum operasi.4, 7
2.1.5 Kortikosteroid Sintetis

Prednisolon

Prednisolon merupakan derivat sintetik dari dari kortisol yang lebih kuat kira-kira 5 kali.
yang tersedia secara oral ataupun parenteral yang mempunyai ikatan rangkap pada C1-2
sehingga rasio potensi retensi lebih tinggi. Efek antiinflamasi 5 mg prednisolon hampir sama
dengan 20 mg kortisol. Obat ini cocok digunakan utuk terapi penggantu pada insufisiensi
adrenokortikal. Efek retensi natriun dan retensi urin minimal pada dosis normal.2, 3

Prednison

Prednison merupakan derivat sintetis dari kortisol yang tersedia dalan bentuk preparasi oral
ataupun parenteral. Merupakan obat prekursor dari prednisolon, dan mempunyai efek yang
sama dan penggunaan klinis yang hampir sama dengan prednisolon. Menginduksi retensi
natrium dan air serta hilangnya kalium ke dalam urin.2, 3

Metilprednisolon

Merupakan derivat methyl dari prednisolon. Efek antiinflamasi 4 mg metilprednisolon sama


dengan 20 mg kortisol. Sediaan asetat yang diberikan intraartikuler akan mempunyai efek
yang lebih panjang. Tersedia dalam sediaan oral bentuk basa ataupun injeksi dalam bentuk
sodium suksinat.2, 3

Betametason

Derivat prednisolon yang sudah difluorinasi. Efek antiinflamasi 0,75 mg betametason setara
dengan 20 mg kortisol. Betametason mempunyai efek mineralokortikoid yang rendah dari
kortisol dan tidak dianjurkan untuk terapi pengganti dari insufisiensi adrenokortikal.
Betametason dilaporkan dapat digunakan untuk penanganan nyeri pasca operasi pada pasien
yang menjalani prosedur pembedahan anorektal yang mendapatkan anestesi umum, tanpa
meningkatkan resiko terjadinya komplikasi luka.2, 3, 4
Deksametason

Isomer dari Betametason, tersedia dalam sediaan oral ataupun parenteral. Efek 0,75 mg
Deksametason setara dengan efek 20 mg kortisol. Deksametason sangat mudah untuk
dijumpai dan merupakan pilihan utama untuk berbagai macam terapi terutama pada edema
serebral dan anti alergi. Tersedia dalam sediaan tablet, inhalasi serta injeksi. Deksametason
juga digunakan untuk penatalaksanaan post-operative nausea and vomiting. 2, 3, 4, 5, 6

Triamsinolon

Derivat fluorinasi dari prednisolon, efek antiinflamasi 4mg Triamsinolon sama dengan efek
20 mg kortisol. Tersedia dalam sediaan oral dan parenteral. Obat ini sering digunakan untuk
injeksi epidural dan pengobatan penyakit cakram lumbar. 2, 3

Hidrokortison Prednisolon

Betametason Triamsinolon

Gambar 4. Struktur Beberapa Kortikosteroid

Obat-obat kortikosteroid secara individual menunjukkan berbagai potensi anti


inflamasi, retensi garam, waktu paruh dan durasi kerja. Obat-obatan ini antara lain:
hidrokortison, kortison, prednisone, prednisolon, metilprednisolon, triamsinolon, betametason
dan deksametason. Pemilihan jenis obat biasanya didasarkan pada pengalaman praktisi,
ketersediaan obat dan prosedur yang dilakukan.

Tabel 1. Perbandingan Obat Golongan Glukokortikoid


Potensi Komponen Waktu paruh Durasi kerja Dosis oral
Obat
Antiinflamasi * retensi garam plasma (menit) ** ekuivalen (mg)
Hidrokortison 1 2+ 90 S 20
(kortisol)
Kortison 0,8 2+ 30 S 25
Prednisone 4-5 1+ 60 I 5
Prednisolon 4-5 1+ 200 I 5
Metilprednisolon 5 0 180 I 4
Triamsinolon 5 0 300 I 4
Betametason 25-35 0 100-300 L 0,6
Deksametason 25-30 0 100-300 L 0,75
*relative terhadap hidrokortison; ** S= short, I= intermediate, L=long

Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan atas masa
kerjanya sesuai dengan aktifitas biologiknya :

Tabel 2. Sediaan Kortkosteroid Berdasarkan Masa Paruh Biologiknya

KERJA SINGKAT KERJA SEDANG KERJA LAMA


( < 12 jam) (12-36 jam) ( > 48 jam)

Hidrokortison Prednison Parametason

Kortison Prednisolon Betametason

Metilprednisolon Deksametason

Triamsinolon
Tabel 3. Perbandingan Potensi Beberapa Sediaan Kortikosteroid 3

Penyimpanan Efek
Kortikostreroid Retensi Natrium
Glikogen Hepar Anti-
inflamasi

NATURAL STEROID :

Kortisol 1 1 1
Kortison 0,8 0.8 0.8
Kortikosteron 15 0.35 0.3
11-Desoksikortikosteron 100 0 0
Aldosteron 3000 0,3 7

SYNTHETIC STEROID

Prednisolon 1 4 4
Triamsinolon 0 5 5
Parametason 0 10 10
Betametason 0 25 25
Deksametason 0 25 25
Tabel 4. Beberapa Preparat Kortikosteroid & Analog Sintetiknya 3

Nama generik Bentuk oral Parenteral Topikal Topikal pada


mata
Desoksikortikosteron asetat - 5 mg/ml (minyak) - -

Hidrokortison 5 – 20 mg 25-50 mg/ml 0,1-2% (krem, 0-2% (suspensi,


(suspensi) salep, losio) salep)
Asetat - 25 mg/ 5 ml 0,1-1% (krem, 1-5% (suspensi,
(suspensi) salep, losio) salep)
Sipionat 2 mg/ml - - -
(suspensi)
Butirat - - 0,1% (krem, -
losio)
Kortison asetat 5-25 mg 25, 50 mg/ml - -
(suspensi)
Pradnison 1-10 mg - - -
Pradnisolon 1, 2,5 : 5 mg - - -
Metilprednisolon 2. 4. 16 mg - - -
Asetat - 20, 40, 80 mg/ml 0,25.1% -
(suspensi)
Na suksinat - 40-1000 mg bubuk - -

Deksametason 0.2.6.0 mg - 0,01-0,1% 0,1%


0.5 mg/ml
(eliksir)
Asetat - 2-16 mg/ml - -
(suspensi)
Na-fostat - 4-24 mg/ml 0,1% 0,05; 0,1%
Parametason asetat 1.2 mg - - -
Flusinolon asetaonid - - 0,01-0-2% -
Flumetason pivalat - - 0,025% (krem) -
Betamatasaon 0.6 mg - - -
Dipropionat - - 0,05; 0,1% -
Na fosfat dan asetat - 6mg/ml (suspensi) - -
Valarat - - 0,01 : 0,1% -
2.1.6 Efek Samping Kortikosteroid

Berbagai efek samping dapat ditimbulkan pada penggunaan kortikosteroid. Pemberian


kortikosteroid tanpa peringatan dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang bisa bersifat
sementara ataupun permanen yang terjadi pada level lokal maupun sistemik. Namun,
meskipun obat ini digunakan dengan rekomendasi protokol, efek samping ini sering terjadi.
Hal ini benar tergantung dari jalur pemberian, kondisi medis pasien ataupun pengalaman dari
dokter sendiri. Kortikosteroid dosis tinggi atau penggunaan kronis dari kortikosteroid lebih
sering menyebabkan efek samping dibandingkan dengan injeksi dosis tunggal.1, 2, 3

Efek samping lokal dari kortikosteroid biasanya terjadi lokal di daerah kulit, jaringan
lunak, atau daerah periartikuler di daerah injeksi. Perubahan pigmentasi kulit dapat dilihat
pada beberapa kasus bila dilihat secara dekat, terutama pada pasien berkulit gelap. Atropi
pada jaringan subkutan dan periartikuler terjadi bila dilakukan pemberian injeksi berulang.
Hal ini terutama terjadi setelah pemberian injeksi berulang pada daerah epikondiler medial
dan lateral, setelah blok saraf oksipital, dan daerah spinal dimana injeksi berulang dari
kortikosteroid diberikan. Efek ini dapat diminimalisir atau dihilangkan dengan secara hati-
hati membilas jarum dengan cairan salin atau anestetik sebelum memasukkan jarum ke dalam
kulit. Adanya rupture tendon, erosi tendon, kerusakan tulang rawan, arthritis oleh karena
penumpukan kristal dan kalsifikasi perikapsuler juga dilaporkan pada beberapa literatur.1, 3, 7

Reaksi sistemik dari kortikosteroid terjadi pada berbagai sistem organ. Masalah yang
paling sering dilaporkan antara lain gangguan cairan dan elektrolit, demineralisasi tulang,
penyakit gastrointestinal dan gangguan metabolisme glukosa. Pada kondisi sehat, masalah
cairan dan elektrolit sering kali tidak terjadi atau hanya terjadi pembengkakan sementara pada
ekstrimitas atau wajah. Peringatan hati-hati harus dilakukan jika memberikan obat ini pada
pasien dengan penyakit jantung yang berhubungan dengan resiko gagal jantung kongestif.
Pemberian kortikosteroid secara kronis dapat menyebabkan demineralisasi tulang yang
menyebabkan osteoporosis dengan akibat terjadinya fraktur di daerah tulang belakang,
pergelangan tangan maupun di pinggul. Fraktur jenis ini biasanya terlihat pada pasien yang
menggunakan steroid oral seperti prednisone untuk kondisi medis kronis termasuk penyakit
respirasi, penyakit rematik, dan penyakit kulit. Gangguan gastrointestinal, seperti mual,
muntah, diare, gangguan pencernaan, colitis ulseratif dengan ancaman perforasi dan abses
juga pernah dilaporkan. Pasien dengan diabetes atau pasien dengan gangguan metabolisme
glukosa yang diberikan kortikosteroid akan mengalami peningkatan serum glukosa. Pasien
ini harus diberitahu mengenai masalah yang akan dihadapi dan harus dimonitor ketat
mengenai perubahan kadar glukosa untuk menyesuaikan dosis obat hipoglikemik yang akan
diberikan. 1, 4, 6, 7

Reaksi alergi juga pernah dilaporkan pada pemberian kortikosteroid. Reaksi alergi
mungkin bermanifestasi sebagai lesi kulit seperti kemerahan atau erupsi. Namun harus
dibedakan rekasi alergi disebabkan oleh kortikotseroid atau tambahan pada campuran
kortikosteroid.1, 3

Salah satu komplikasi yang lebih serius dari penggunaan kortikosteroid yaitu
insufisiensi adrenal. Kondisi ini disebabkan oleh penekanan pada aksis hipotalamik-pituitari-
adrenal. Jika aksis ini mengalami penekanan, kemampuan individu untuk berespon terhadap
situasi stress seperti infeksi atau pembedahan akan membahayakan. Hal ini biasanya terjadi
pada penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dalam jangka waktu lama. Efek samping lain
yang cukup serius dari penggunaan kortikosteroid yaitu gangguan penyembuhan luka yang
disebabkan oleh penghambatan sintesa kolagen dan fungsi fibroblastik. 2, 3, 7

2.1.7 Toksisitas

Ada dua kategori untuk toksisitas dari kortikosteroid. Pertama,adalah hasil dari penghentian
terapi dan yang kedua adalah pemberian yang terus menerus dengan dosis suprafisiollogis.
Keduanya mengancam nyawa dan memerlukan penatalaksanaan yang lebih hati – hati.

Penghentian terapi kortikosteroid akan memberikan hasil yang menyulitkan,


kapankah waktu yang tepat untuk menghentikan dan efek sampingnya. Hal ini memerlukan
kepetusan yang tepat. Bila dihentikan secara tiba-tiba dapat menyebabkan flare-up dari
penyakit yang sedang dilakukan terapi, hal lain yang juga memberatkan adalah terjadinya
insufisiensi adrenal yang dikarenakan selama terapi oleh kortikosteroid poros dari HPA telah
ditekan. Dikatakan bahwa penekanan dari HPA ini bisa berlangsung dari beberapa minggu
sampai satu tahun pada beberapa individu. Untuk menghindari terjadinya hal ini perlu
ditetapkan pada pasien yang menerima terapi kortikosteroid suprafisiologis selama lebih dari
2 minggu sangat memungkinkanterjadinya penekanan dari poros HPA ini. Gejala yang sering
timbul adalah myalgia, demam, athralgia, malaise yang sering disalahartikan dengan gejala
dari penyakit yang diterapi.

Yang juga harus diperhatikanadalah pemberian dari dosis suprafisiologis dari


kortikosteroid. Yang sering terjadipada terapi jangka panjang dengan dosis suprafisiologis
adalah terjadinya abnormalitas dari cairan dan elektrolit, hipertensi, hiperglikemia,
imunosupresi yang menyebabkan pasien lebih rentan terhadap infeksi, osteoporosis, miopati,
gangguan perilaku, penghentian pertumbuhan, katarak, serta redistribusi dari lemak. 4

2.1.8 Kontraindikasi

Sebenarnya hingga saat ini tidak ada kontraindikasi absolute untuk penggunaan
kortikosteroid. Kortikosteroid digunakan lebih hati-hati pada pasien dengan gangguan
jantung, pasien dengan riwayat ulkus peptikum, pasien diabetes dan dengan riwayat
hipertensi. Pertimbangan khusus pada pemberian kortikosteroid juga dilakukan pada pasien
dengan infeksi kronis seperti tuberkulosis yang dapat menyebabkan penyebaran tuberkulosis
secara sistemik.

2.1.9 Interaksi Kortikosteroid dan Obat lain

Sejumlah interaksi obat dilaporkan tentang interaksi kortikosteroid dengan obat lain
yang sifatnya potensiasi atau menurunkan klirens dan waktu paruh obat. Obat anti inflamasi
non steroid, kontrasepsi oral maupun pemberian estrogen eksogen akan meingkatkan potensi
kortikosteroid. Antibiotik makrolid seperti eritromicin dan asitromicin akan meningkatkan
potensi metilprednisolon dengan menurunkan klirensnya. Sebaliknya, rifampin, fenobarbital,
karbamazepin dan fenitoin akan meningkatkan klirens obat dan menurunkan efek anti
inflamasi dari kortikosteroid. Antikoagulan oral dan teofilin memiliki efek yang bervariasi.
2.2 Penggunaan Klinis Dalam Anestesi

2.2.1 Analgesia

Penggunaan kortikosteroid dalam penatalaksaan nyeri sangatlah luas. Rasa sakit pasca
operasi disebabkan reaksi berantai inflamasi sebagai bagian dari jalur siklooksigenase dan
lipooksigenasi. Kortikosteroid dapat mengurangi atau menghilangkan fokal nyeri dengan
komponen antiinflamasinya. Obat ini biasanya diberikan dengan cara oral atau injeksi.
Penggunaan kortikosteroid oral diikuti oleh berbagai kontroversi dalam penanganan nyeri.
Obat ini jelas menurunkan nyeri dan menghasilkan fungsi yang lebih tinggi jika dipakai
secara bijaksana pada pasien dengan kondisi nyeri kronis seperti arthritis rheumatoid,
penyakit jaringan lunak ataupun penyakit kulit. Namun, jika digunakan untuk sindrom nyeri
kronis pada sendi yang terlokalisir, saraf atau diskus, perbaikan fungsi jarang terjadi dan obat
alternatif lain kadang menjadi pilihan.2, 4

Penggunaan kortikosteroid injeksi lebih sering dilakukan terutama untuk kondisi nyeri
muskuloskeletal atau nyeri neurologis perifer. Injeksi kortikosteroid ini termasuk ke dalam
ruang intra-artikuler, trigger point, ligament, region peritendon, region perineural, dan ruang
epidural.2, 4

Pemberian Betametason 12 mg IM 30 menit sebelum induksi pada pasien rawat jalan


dan hemoroid akan menurunkan rasa sakit paska operasi. Mofavegh dkk 2007 melaporkan
bahwa pemberian Deksametason 0,5 mg/KgBB intravena akan mengurangi rasa sakit, mual
muntah pasca operasi akibat injeksi meperidine. 4, 5, 12

Injeksi steroid pada Epidural dan intratekal dilaporkan dapat menyembuhkan rasa
sakit pada daerah sciatica ataupun backpain yang gagal diterapi dengan obat maupun
prosedur operasi oleh Winnie P Allon dkk. Dasar dari prosedur yang dilakukan di pain klinik
adalah efek dari antiinflamasi dari steroid yang akan menurunkan reaksi inflamasi yang
biasanya merupakan patofisiologi dari rasa sakit tersebut. Prosedur ini terus dikembangkan
karena relatif tidak memiliki banyak komplikasi dibandingkan dengan prosedur operasi.12, 13

Sakit punggung paska prosedur epidural anesthesia merupakan komplikasi yang


sering terjadi terutama pada usaha insersi kateter epidural yang berulang kali. Pasien akan
merasa sangat tidak nyaman dan mungkin akan menyebabkan trauma untuk dilakukan
prosedur epidural kembali. Pemberian steroid epidural akan mengurangi rasa sakit di
punggung pasca prosedur. Nilai VAS yang diperiksa menunjukkan penurunan yang
signifikan setelah pemberian steroid epidural. 12, 14

Injeksi steroid di ruang epidural merupakan standar pada penatalaksanaan non


operatif pada berbagai kelainan spinal di servikal, torakal dan lumbosakral. Injeksi dilakukan
baik dengan pendekatan midline, paramedian maupaun transforaminal. Pada daerah
lumbosakral, pendekatan kaudal atau trans-sakral juga dapat digunakan. Injeksi epidural
digunakan pada keadaan nyeri spinal yang paling berat seperti berbagai gangguan diskus:
herniasi, bulging, degenerasi, pergeseran diskus internal dan juga kelainan stenosis dan
radikulopati. Rute pemberian disesuaikan dengan gejala yang ditunjukkan pasien dan
diagnose diferensial lainnya. Prosedur ini juga dapat dipakai untuk membantu dalam
melakukan diagnosis nyeri diskus atau serat saraf. Obat anestesi ditambahkan pada
kortikosteroid dan diinjeksi bersamaan dengan cairan kontras dengan tuntunan fluoroskopi.
Kondisi pra-injeksi kemudian dibandingkan dengan kondisi pasca-injeksi.5, 12, 14

Kortikosteroid juga telah lama digunakan pada penatalaksanaan nyeri apendikular dan
nyeri sendi aksial. Obat ini juga telah lama digunakan pada pasien dengan penyakit sendi
degenerative, arthritis rheumatoid, kerusakan kartilago yang terlokalisir dan nyeri sendi
nonspesifik. Dengan menggunakan konfirmasi fluoroskopi dan kontras , sendi sakro-iliak dan
sendi spinal zygo-apofiseal (facet) juga dapat di injeksi. Berbagai campuran obat anestesi dan
kortikosteroid dapat diberikan. Biasanya, pada sendi yang kecil seperti sendi facet diberikan
volume 1-2 cc dengan rasio kortikosteroid dan anestesi local 1:1. Sendi ukuran sedang seperti
elbow atau pergelangan tangan membutuhkan 2-4 cc larutan, sendi besar seperti lutut,
pinggul dan sakro-iliak membutuhkan 4-8 cc larutan kortikosteroid dan anestesi lokal dengan
perbandingan kortikosteroid sebanyak 2 cc dan sisanya anestesi lokal.5,11,12, 14

Injeksi jaringan lunak dilakukan dengan injeksi ke otot (trigger point), ligament atau
peritendon. Seperti injeksi pada tempat lain,kortikosteroid dicampur dengan anestesi dan
diberikan dengan jumlah kecil pada otot, ligament atau sekitar struktur tendon.12

Injeksi perineural atau blok saraf biasanya dilakukan untuk nyeri neurogenik. Injeksi
ini mengunakan komposisi yang primernya berupa anestesi lokal, tetapi terkadang
kortikosteroid ditambahkan pada komposisi ini. Prosedur ini biasanya dipakai untuk menilai
daerah nyeri.11, 12, 14
Efek analgesik dari glukokortikoi xd pertama kali ditunjukkan oleh betametason pada
pasien yang menjalani ekstraksi gigi molar ketiga. Selama hampir 10 tahun, efek analgesik
dari betametason, deksametason dan metilprednisolon ditunjukkan pada berbagai prosedur
pembedahan. Selain memiliki efek analgesik, kortikosteroid juga memiliki efek antiemetik,
antiinflamasi, antipriretik dan antialergik yang juga memberi keuntungan pada periode
pascaoperasi terutama bila kita akan menggunakan opioid sebagai analgetik utama dalam
pengangan nyeri pasca operasi. 11, 12, 13
Romundstad dkk (2006) melakukan penelitian untuk menilai efek dari pemberian
Metilprednisolon 125 mg dibandingkan dengan Parecoxib 40 mg dan plasebo pada
pembedahan pembesaran payudara. Pada penelitian tersebut didapatkan dosis tunggal
Metilprednisolon 125 mg dan Parecoxib menurunkan intensitas nyeri baik nyeri saat istirahat
maupun nyeri pergerakan pada jam 1 sampai jam ke 6 pasca pembedahan dibandingkan
plasebo. Mual muntah pasca operasi lebih rendah setelah pemberian Metilprednisolon dan
tidak pada Parecoxib. Kelelahan juga lebih rendah pada pemberian Metilprednisolon dosis
tunggal dan tidak pada Parecoxib dibandingkan dengan plasebo.16
Kisli dkk (2005) juga membandingkan efek analgesik dari pemberian betametason
dan potassium diklofenak pada penatalaksanaan nyeri hemoroidektomi pasca operasi. Pada
penelitian ini didapatkan jumlah narkotik yang dibutuhkan pada hari pertama, kedua dan
ketiga pasca operasi secara signifikan lebih rendah pada grup betametason dibandingkan
dengan grup potassium diklofenak.17
Pada penelitian yang dilakukan oleh Kjetil dkk (2007), seratus pasien yang menjalani
pembedahan rawat jalan pada payudara, diberikan deksametason 16 mg yang ditambahkan
pada obat antiinflamasi nonsteroid (Rofecoxib) kemudian dibandingkan dengan plasebo.
Didapatkan hasil, deksametason 16 mg memberikan analgesia pasca operasi yang lebih
panjang selama 24 sampai 72 jam jika ditambahkan pada regimen multimodal termasuk obat
anti inflamasi nonsteroid.18
Kardash dkk (2008), melakukan penelitian pemberian Deksametason 40 mg
dibandingkan dengan plasebo pada pasien yang menjalani operasi total hip arthroplasty
dengan anesthesia spinal untuk menilai nyeri baik itu nyeri istirahat maupun nyeri gerak
pasca operasi. Deksametason 40 mg diberikan secara intravena sebelum dilakukan operasi.
Pasca operasi analgetik dikelola dengan PCA morfin, Ibuprofen 400 mg peroral dan
Asetaminofen 650 mg peroral setiap 6 jam selama 48 jam. Nyeri saat istirahat, efek samping
dan total konsumsi morfin dinilai setiap 4 jam selama 48 jam. Sedangkan nyeri pergerakan
dinilai pada 24 jam. Kadar C-reactive protein juga dinilai pada 48 jam. Pada penelitian ini
didapatkan nyeri pergerakan sangat diturunkan pada grup Deksametason. Namun tidak ada
perbedaan efek yang signifikan pada nyeri istirahat maupun total konsumsi morfin pada
setiap waktu. Kadar C-reactive protein sangatlah diturunkan pada grup deksametason.19

Jokela dkk (2009) meneliti dosis analgesik yang efektif dari Deksametason setelah
laparoskopi histerektomi. Pada penelitian tersebut, 129 wanita yang menjalani laparoskopi
histerektomi dibagi menjadi 4 grup untuk mendapatkan baik itu plasebo, Deksametason 5 mg,
Deksametason 10 mg dan Deksametason 15 mg secara intravena sebelum induksi anesthesia.
Skala visual analog untuk nyeri dan efek samping serta jumlah analgesik dinilai selama
3 hari setelah pembedahan. Total dosis oksikodon (0-24 jam setelah pembedahan) lebih kecil
pada grup deksametason 15 mg dibandingkan dengan grup plasebo. Dosis oksikodon pada 0-
2 jam lebih sedikit pada grup Deksametason 10 mg dan 15 mg dibandingkan dengan plasebo.
Namun, pada jam 2- 24 jam dosis oksikodon hampir sama pada grup plasebo, Deksametason
5 mg, Deksametason 10 mg, dan Deksametason 15 mg. Skor VAS untuk nyeri diam, nyeri
gerak atau saat batuk tidak ada perbedaan pada semua grup.20

2.2.2 Terapi Alergi

Efek antiinflamasi dari kortikosteroid seperti menginhibisi produksi sitokin inflamasi ,


mengurangi reaksi inflamasi, edema seluler, dan penambahan jumlah situs yang terkena
reaksi. Pemberian kortikosteroid sangat efektif namun untuk penggunaan jangka panjang
tidak dianjurkan mengingat komplikasi yang tidak diinginkan.4, 8

David Hepner dkk, melaporkan bahwa reaksi inflamasi yang mungkin timbul akibat
penggunaan obat obat anestesi maupun alat anestesi sering terjadi, pelumpuh otot golongan
benzylquinolinium dan alat anestesi dari latex merupakan salah satunyaReaksi inflamasi
sampai terjadinya anafilaksis shock sangat mungkin memperberat kerja organ-organ tubuh
saat operasi. Gejala yang mungkin timbul adalah gangguan kardiovaskular 73,6%, gangguan
pada kulit seperti urtikaria 69,6% dan bronkospasme 44,2%. Saat operasi berlangsung, bila
muncul gejala reaksi anafilaktik yang harus dilakukan adalah memberhentikan penggunaan
obat ataupun alat dari latex yang dicurigai menimbulkan reaksi alergi. Pada pemberian
medikasi pada reaksi anafilatktik, kortikosteroid bukanlah pilihan pertama, namun karena
mudah didapat efek samping relatif lebih aman banyak anestesiolog yang memakainya.
Kortikosteroid yang sering digunakan dalam reaksi anafilaksis adalah Kortison 1-5 mg/kgBB,
dexmaetason 0,2-0,5mg/kgBB serta metilprendisolon 0,5-1mg/kgBB setiap 6 jam.2, 3, 4

Tabel 5. Kegunaan dari kortikosteroid 1

2.2.3 Asma Bronkial

Asma adalah reaksi inflamasi dari paru-paru, sehingga efek antiinflamasi


kortikosteroid sangat berguna dan merupakan obat pilihan utama dalam mengendalikan
gejala asma dan mencegah eksaserbasi asma. Sediaan yang sering digunakan adalah secara
inhalasi dan injeksi. Keuntungan dari penggunaan sediaan secara inhalasi adalah langsung
menuju tempat terjadinya reaksi inflamasi namun kerugiannya pada jangka panjang adalah
menurunkan imunitas terutama di jalur pernafasan sehingga sering timbul penyakit lain
seperti Tuberkulosis yang sering dilaporkan terjadinya TB milier pada penggunaan steroid
inhalasi jangka panjang.2,3, 4

Pada penggunaan preoperatif, untuk mencegah terjadinya asma selama operasi sering
digunakan untuk pasien. Dosis yang sering digunakan adalah 1-2mg/kg kortisol dan
dexamethason 0,1-0,5 mg/kgBB. Pemberian 1-2 jam sebelum induksi sangat dianjurkan
karena efek dari steroid tidak akan tercapai dalam beberapa jam. Steroid juga akan
meningkatkan dan memperlama kerja dari agonis beta adrenergik. Pada pasien dengan
hiperaktifitas dari bronkus, terapi dengan kombinasi steroid (40 mg perhari untuk 5 hari) dan
salbutamol (0,2 mg secara inhalasi sampai 5 hari) akan meminimalkan bronkokonstriksi yang
dipicu oleh intubasi (Silvanis dkk 2004).2, 3, 4

2.2.4 Post Operative Nausea-Vomiting (PONV)

Tindakan operasi dan anestesi sering menyebabkan terjadinya rasa mual dan muntah,
baik tindakan anestesi umum ataupun regional. Mekanisme terjadinya PONV beragam, rasa
nyeri, penggunaan opioid, zat anestesi inhalasi, teknik hipotensi, jenis kelamin serta usia
merupakan salah satu faktor resiko terjadinya rasa mual dan muntah. . Pemberian intratekal
opioid pada pasien dengan anestesi regional juga tidak begitu mengurangi resiko ini.Kejadian
PONV sangat merugikan karena membuat pasien tidak nyaman, menyebabkan perawatan di
rumahsakit yang tidak terencana serta dapat menimbulkan komplikasi seperti komplikasi
pneumonia aspirasi. Selain pengunaan antiemetik seperti H2 antagonis (ranitidine dam
simetidin) dan juga serotonin antagonis seperti ondansentron dan granisentron,
kortikosteroid sudah mendapat tempat tersendiri sebagai pilihan terapi terutama untuk
profilaksis dari PONV. 2, 4, 5, 9, 10, 11

Jhi-Jou Wang dkk 1999 melaporkan bahwa penggunaan dari dexamethason 8 mg


menurunkan angka kejadian PONV pada pasien dengan teknik anestesi epidural dengan
morfin epidural. Pada tahun 2003 Szilvia Szarvas dkk meneliti penggunaan ondansentron
8mg kombinasi dengan dexamethason juga menurunkan angka kejadian PONV pada pasien
dengan morfin intratekal pada pasien yang menjalani operasi orthopedi. Efek antiemetik ini
mungkin disebabkan dengan menurunkan inflamasi akibat operasi dengan cara inhibisi
sintesis prostaglandin (Wang dkk 2000). Teori lain menyebutkan bahwa steroid akan
meningkatkan pelepasan endorphin sehingga berakibat pada meningkatnya mood pada
pasien. Ali movafegh dkk mendapatkan bahwa pemberian dexametason 0,1mg/kgBB
sebelum melakukan anestesi intratekal dengan 15 mg bupivacaine hyperbaric serta
meperidine 15 mg pada pasien hernioraphy menurunkan resiko terjadinya PONV setelah
operasi. 9, 10

Untuk anestesi umum tahun 2000, Jhi Jou Wang juga meneliti pemberian
dexametason dengan dosis 1,25mg, 2,5 mg, 5 mg pada pasien yang menjalani tiroidektomi,
dan menarik kesimpulan bahwa pemberian dexamethasone 1,25 mg tidaklah efektif untuk
mengurangi insidens terjadinya PONV sedangkan pemberian dexamethasone 5mg merupakan
dosis efektif pada pasien thyroidektomi untuk mengurangi insidens terjadinya PONV. Marie
T Aouad dkk tahun 2001 mendapatkan pemberian dexamethasone 0,5mg/kg pada pasien
yang menjalani prosedur tonsiloadenoiktomi mengurangi insidens terjadinya PONV. 9, 10, 11

Bahkan penelitian Jhi Jou Khan dkk (2001) membandingkan bahwa pemberian dosis kecil
Dexametason 5mg dibandingkan dengan Topisentron, suatu serotonin antagonis meberikan
hasil yang tidak jauh berbeda pada pasien yang menjalani laparoskopik kolesistektomi.12

2.2.5 Peningkatan Tekanan Intrakranial dan Edema Serebri

Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) adalah tekanan di dalam rongga tengkorak


relatif terhadap tekanan atsmosfer, di mana merupakan suatu daya dinamik yang berfluktuasi
secara ritmis sering dengan irama jantung dan pernafasan. Tekanan ini dapat diukur dari
intraventrikuler, intra parenkim, subdural ataupun epidural, serta dipengaruhi banyak faktor.
Pada keadaan fisiologis TIK dipertahankan konstan pada angka 10-15mmhg. Sumbatan
saluran likuor, adanya massa (hematom,neoplasma atau abses) adanya obstruksi pada sinus
vena besar, edema otak yang difus dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Peningkatan
tekanan intrakranial biasanya tidak akan menampilkan gejala klinis, penurunan kesadaran
bukanlah suatu gejala yang khas. Peningkatan TIK biasanya akan dicirikan denghan keluhan
nyeri kepala, muntah, dan papil edema, gejala lain adalah hipertensi arterial dan bradikardia
yang meruakan perangsangan dari vagus. beberapa literatur menganjurkan pemberian
dexamethason 4-20 mg IV setiap 6 jam untuk mengatasi edema vasogenik akibat tumor yang
dapat menyebabkan peningkatan TIK. Pada kasus anak dengan kecurigaan neoplasma
intrakranial dan kecurigaan peningkatan tekanan intrakranial dan edema serebral, pemberian
dexamethasone 0,5mg/kgBB biasanya diberikan sebelum pasien diinduksi. Namun pada
kasus perdarahan intrakranial, menurut Henry Tellez dkk pemberian dexametason 4 mg
setiap 6 jam selama 72 jam untuk menurunkan tekanan TIK tidak memberikan perbaikan
kualitas hidup dan tidak memberikan hasil yang menggembirakan. 4, 21, 22

2.2.6 Pneumonitis Aspirasi

Kegunaan dari kortikosteroid dalam terapi pneumonitis masih kontroversial, ada bukti
pada penelitian pada hewan bahwa pemberian kortikosteroid pada pasien yang teraspirasi
cairan lambung dapat menurunkan kerusakan paru-paru akibat pneumonitis (Dudley dan
Marshall 1974) Namun sampai saat ini, sangat tidak biasa untuk memberikan kortikosteroid
pada pasien dengan pneumonitis aspirasi.2

2.2.7 Komplikasi Pasca Intubasi

Intubasi pada anestesi umum sering menyebabkan trauma pada laring, yang
menyebabkan pasien akan merasakan sakit tenggorokan, batuk dan terasa kering. Percobaan
intubasi yang berulang dengan manipulasi laring yang berlebihan dapat menyebabkan edema
laring. Pemberian Dexamethasone 0,1-0,2 mg/kgbb IV merupakan terapi pada edema laring
pasca intubasi. Namun pemberian kortikosteroid pada pasien ini tidak memberikan hasil
maksimal. Bller dkk ( 1970) mendapatkan bahwa bila pasien anak terdapat indikasi untuk
sulit intubasi, pemberian dexamethasone 0,4mg/kgBB sebelum dilakukan intubasi akan
menurunkan insidens terjadinya edema jalan nafas setelah intubasi. Ayoub Chakib dkk
meneliti bahwa pemberian betametason topikal pada balon ETT mengurangi rasa sakit
tenggorokan, batuk sehingga meningkatkan kenyamanan pasien pasca intubasi. Richards
Hughes dkk ( 1997) mendapatkan bahwa pemerian Deksametason 10 mg pada pasien dengan
edema laring pasca operasi carotid endareterctomy tidaklah memberikan hasil yang
memuaskan. 2, 16
2.2.8 Low Back Pain akibat Lumbar Disc Disease

Pemberian steroid epidural pada pasien dengan penyakit ini merupakan alternatif lain
dari tindakan pembedahan (Haddox 1992). Namun masih belum ada konsensus yang
menetapkan kegunaan dari injeksi kortikosteroid pada pasien dengan herniasi dari cakram
lumbal. Metode pemberian epidural juga masih beragam, antara lain pemberian secara
Caudal, intralaminar dan transforaminal. Secara farmakodinamik, pemberian Kortikosteroid
akan menurunkan reaksi inflamasi dan edema pada akar saraf yang terjadi akibat dekompresi.
Regimen yang sering diberikan adalah 25-50 mg triamcinolone ataupun 40-80 mg
methylprednisolone dalam cairan yang mengandung lidokain pada celah interspinalis.
Ackerman William E dkk mengatakan bahwa pemberian triamcinolon 40 mg secara
transforaminal memberikan hasil yang lebih baik dari pemberian secara kaudal ataupun
intralaminar. Robert Cluff dkk mengatakan bahwa sampai saat ini masih belum didapatkan
konsensus mengenai injeksi epidural dari kortikosteroid untuk penanganan low back pain
secara universal, semuanya masih berdasarkan masing-masing pusat pendidikan.2, 23, 24, 25

2.2.9 Immunosupresan

Pada kondisi tertentu kortikosteroid diperlukan untuk menekan reaksi imun yang tidak
diinginkan. Sebagia contoh pada transplantasi organ, dosis tinggi steroid diperlukan saat
operasi untuk menghasilkan keadaan immunosupresi dan menurunkan resiko terjadinya
reaksi penolakan pada organ yang baru. Azathioprine adalah antimetabolit yang digunakan
untuk menekan sistem imun pada organ transplan. Namun efek sampingnya adalah demam,
kemerahan dan reaksi idiosinkratik seperti edema jalan nafas dan reaksi kardiovaskuler.2, 9

Pada penyakit myastenia Gravis juga steroid mempunyai tempat sendiri. Seperti
Methylprednisolon dan azathiopirine. Obat ini biasanya digunakan pada pasien yang tidak
respon terhadap terapi lain ataupun terapi operasi. Selain itu setelah dilakukan timektomi
yang merupakan terapi definitif penyakit ini, obat ini juga sangat efektif. Mekanismenya
masih belum diketahui secara pasti namun beberapa kepustakaan menyebutkan mungkin juga
disebabkan ole
2.2.10 Penanganan Sepsis

Dasar terjadinya sepsis adalah terjadinya reaksi inflamasi pada seluruh tubuh. Reaksi
ini ditimbulkan akibat terjadinya pelepasan dari mediator inflamasi yang mencetuskan proses
inflamasi dan gangguan koagulasi dan menghambat trombolisis. Yang selanjutnya akan
menyebabkan terjadinya vasodilatasi secara global sehingga menyebabkan hipotensi.
Hipotensi ini akan melatarbelakangi terjadinya hipoperfusi pada organ sehingga terjadi
kerusakan berbagai macam organ.2, 26, 27, 28

Kortikosteroid melalui efek antiinflamasinya mempunyai tempat untuk terapi pasien sepsis,
yang akan menekan respon imunitas tubuh. Pemberian kortikosteroid dengan dosis 50 mg
hidrokortison scara bolus setiap 6 jam atau 100 mg per 8 jam akan memberikan hasil yang
cukup memuaskan. Namun pemberian secara drip 10 mg/jam akan menyebabkan terjadinya
lonjakan gula darah. Waktu yang tepat untuk pemberian steroid sampai saat ini belum ada
ketentuan seragam. Nguyen dan kawan-kawan memberikan steroid setelah pasien sepsis
mendapat terapi vasopresor.Pemberian kortikosteroid Intravena 200-300 mg/hari yang dibagi
dalam 3-4 dosis selama 7 hari merupakan salah satu tahap dalam kampanye sepsis oleh
Phillip Dellinger dkk dalam Surviving Sepsis Campaign. Briegel dkk di Jerman mendapatkan
bahwa pemberian dosis pada stress dengan awal 100 mg hidrokortison dilanjutkan dengan
pemberian infus konstan 0,18mg/kg/jam tidak memberikan angka bertahan hidup yang
memuaskan pada pasien dengan sepsis shock Beberapa dari pusat pendidikan menganjurkan
bahwa pemberian dosis fisiologis dari steroid memberikan hasil yang cukup memuaskan
dalam penanganan ARDS dan sepsis.26, 29, 30, 31

2.2.11 Respiratory Distress Syndrome

Pada neonatus prematur dengan usia gestasi kurang dari 32 minggu, pembentukan
surfaktan yang berguna untuk mempertahankan tegangan permukaan belum sempurna.
Sehingga pada pasien neonatus prematur resiko terjadinya respiratory distress syndrome
akibat banyaknya alveol yang kolaps. Pemberian steroid dalam 24 jam sebelum partus akan
menurunkan insidens dan berat terjadinya respiratory distress Syndrome pada bayi dengan
usia gestasi 24-36 minggu. Kortikosteroid yang biasanya diberikan adalah Betametason yang
diberikan intravena kepada ibu dengan kemungkinan partus preterm pada usia kehamilan di
bawah 32 minggu. Deksametason diberikan untuk memperbaiki paru-paru dari
bronchopulmonary dysplasia.2, 4

2.2.12 Trauma Medula Spinalis

Pada pasien dengan cedera medula spinalis beberapa literatur meyarankan untuk dilakukan
pemberian kortikosteroid dosis tinggi seperti metilprednisolon ataupun dexametason. Pada
penelitian NASCIS II mengatakan pemberian metilprednisolon dosis 5,4mg/kg/jam selama
24 jam pertama akan meminimalisis efek lanjutan dari trauma medula spinalis. Pada
penelitian ini juga mengatakan pemberian steroid dosis tinggi dianjurkan dilakukan sedini
mungkin. Saat ini pemberian steroid dosis tinggi pada pasien trauma medulla spinalis
merupakan suatu rutinitas yang dilakukan. Namun tetap harus memperhatikan efek samping
yang timbul pada pasien, seperti terjadinya ulkus peptikum, gejola dari gula darah dan
meningkatnya resiko infeksi.4
BAB III
SIMPULAN

Aplikasi klinis dari kortikosteroid sangat luas, termasuk di bidang anestesia. Untuk
meningkatkan kenyamanan pasien pasca operasi seperti menurunkan insidensi nyeri dan rasa
mual muntah yang merupakan komplikasi dari tindakan pembiusan. Kerusakan jaringan dan
sel selama pembedahan menyebabkan aktivasi enzim yang bertanggung jawab pada sintesa
prostaglandin dan aktivator nyeri lain yang poten baik itu di tempat trauma maupun melalui
aliran darah dan mediasi neurogenik dari sistem saraf pusat. Kortikosteroid merupakan
penghambat baik itu fosfolipase A2 dan dengan demikian juga menghambat produksi
prostaglandin dan leukotrien baik itu di jaringan perifer maupun di sistem saraf pusat.
Penghambatan pada enzim siklooksigenase utamanya COX-2, memperlihatkan
glukokortikoid merupakan penghambat COX-2 selektif. Beberapa penelitian membuktikan
bahwa kortikosteroid memiliki opioid sparing effect.

Kortikosteroid juga memiliki kemampuan dalam menurunkan kejadian mual muntah


pasca operasi. Mual muntah setelah operasi merupakan morbiditas yang ingin dihindari
sebagai dokter anestesi yang dapat menyebabkan perawatan yang tidak diinginkan pada
pasien one-day-care, untuk itu profilaksis dengan Dexamethasone dapat diberikan sebelum
dilakukan tindakan pembiusan. Intubasi yang merupakan tindakan yang sering dilakukan
pada anestesi umum juga ternyata menyebabkan komplikasi seperti edema laring ataupun
nyeri di tenggorokan, untuk itu dapat diberikan steroid topikal seperti Bethametasone dan
juga dapat diberikan steroid injeksi seperti Dexamethasone 0,5mg/kbBB setelah tindakan
dilakukan. Semua efek yang diberikan oleh kortikosteroid menjadikan kortikosteroid layak
untuk diberikan pasca operasi untuk menangani nyeri pasca operasi dan menjadi bagian dari
multimodal analgesia.

Selain itu, steroid masih mendapat tempat untuk penanganan sepsis di ruang terapi
intensif (ICU) ataupun penanganan infeksi nosokomial di rumah sakit. Namun tidak semudah
itu menggunakannya, terutama di ICU oleh karena penggunaan steroid jangka panjang di
ICU dapat menyebabkan terjadinya efek samping seperti efek metabolik dalam hal ini
hiperglikemia yang dapat memperberat keadaan pasien dan juga efek retensi natrium.
Ketersediaan kortikosteroid yang mudah didapat dan juga cukup ekonomis dari segi
harga merupakan salah satu faktor pendukung untuk aplikasi klinis secara luas. Prednison dan
Dexamethasone cukup banyak tersedia di rumah sakit daerah sekalipun, sehingga meskipun
ditempatkan di daerah perifer pun sebagai dokter anestesi tidak akan susah untuk mencari
sediaan kortikosteroid. Meski tetap tidak bisa dikesampingkan bahwa untuk penggunaan
jangka panjang kortikosteroid dapat menimbulkan efek samping yang merugikan sehingga
justru akan menimbulkan beban biaya terapi yang lebih besar.
DAFTAR ISI

1. Coursin D B, Wood K E. Corticosteroid supplementation for adrenal


insufficiency. JAMA. 2002;287(2):236–240.
2. A. Crown and S. Lightman. Why is the management of glucocorticoid deficiency still
controversial: a review of the literature. Clinical Endocrinology. 2005:63(5):483–92.
3. Solem J H, Lund I. Prophylaxis with corticosteroids in surgical patients receiving
cortisone or other steroid therapy. Acta Anaesthesiol Scand. 1962;6:99–105.
4. Kehlet H, Binder C. Adrenocortical function and clinical course during and after
surgery in unsupplemented glucocorticoid-treated patients. Br J
Anaesth. 1973;45(10):1043–48.
5. Udelsman R, Ramp J, Gallucci W T. et al. Adaptation during surgical stress. A
reevaluation of the role of glucocorticoids. J Clin Invest. 1986;77(4):1377–81.
6. de Lange D W, Kars M. Perioperative glucocorticosteroid supplementation is not
supported by evidence. Eur J Intern Med. 2008;19(6):461–7.
7. Fraser C G, Preuss F S, Bigford W D. Adrenal atrophy and irreversible shock
associated with cortisone therapy. J Am Med Assoc. 1952;149(17):1542–3.
8. Kehlet H. Copenhagen, Denmark: FADL Forlag ; 1976. Clinical course and
hypothalamic-pituitary-adrenocortical function in glucocorticoid-treated surgical
patients.
9. B. M. Arafah, K. E. Nekl, R. S. Gold et al. Immediate recovery of pituitary function
after transsphenoidal resection of pituitary macroadenomas,” Journal of Clinical
Endocrinology and Metabolism. 1994:79(2):348–54.
10. Brown C J, Buie W D. Perioperative stress dose steroids: do they make a difference? J
Am Coll Surg. 2001;193(6):678–86.
11. Thomason J M, Girdler N M, Kendall-Taylor P, Wastell H, Weddel A, Seymour R A.
An investigation into the need for supplementary steroids in organ transplant patients
undergoing gingival surgery. A double-blind, split-mouth, cross-over study. J Clin
Periodontol. 1999;26(9):577–82.
12. Lloyd E L. A rational regimen for perioperative steroid supplements and a clinical
assessment of the requirement. Ann R Coll Surg Engl. 1981;63(1):54–7.
13. Symreng T, Karlberg B E, Kågedal B, Schildt B. Physiological cortisol substitution of
long-term steroid-treated patients undergoing major surgery. Br J
Anaesth. 1981;53(9):949–54.
14. S. A. Jabbour, Steroids and the surgical patient. Medical Clinics of North America.
2001:85(5):1311-17.
15. Knudsen L, Christiansen L A, Lorentzen J E. Hypotension during and after operation
in glucocorticoid-treated patients. Br J Anaesth. 1981;53(3):295–301.
16. R. Udelsman, J. A. Norton, and S. E. Jelenich, Responses of the hypothalamic-
pituitary-adrenal and renin-angiotensin axes and the sympathetic system during
controlled surgical and anesthetic stress. Journal of Clinical Endocrinology and
Metabolism. 1987:64(5):986–94.
17. Glowniak J V, Loriaux D L. A double-blind study of perioperative steroid
requirements in secondary adrenal insufficiency. Surgery. 1997;121(2):123–9.
18. Mathis A S, Shah N K, Mulgaonkar S. Stress dose steroids in renal transplant patients
undergoing lymphocele surgery. Transplant Proc. 2004;36(10):3042–5.
19. Shapiro R, Carroll P B, Tzakis A G, Cemaj S, Lopatin W B, Nakazato P. Adrenal
reserve in renal transplant recipients with cyclosporine, azathioprine, and prednisone
immunosuppression. Transplantation. 1990; Salem M, Tainsh R E Jr, Bromberg J,
Loriaux D L, Chernow B. Perioperative glucocorticoid coverage. A reassessment 42
years after emergence of a problem. Ann Surg. 1994;219(4):416–25.
20. 49(5):1011–3.
21. I. E. Widmer, J. J. Puder, C. König et al. Cortisol response in relation to the severity
of stress and illness. Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism.2005:90(8):
4579–86.
22. Lal G, Clark O H. New York, NY: McGraw Hill; 2010. Thyroid, Parathyroid, and
Adrenal; pp. 1343–1407.
23. Friedman R J, Schiff C F, Bromberg J S. Use of supplemental steroids in patients
having orthopaedic operations. J Bone Joint Surg Am. 1995;77(12):1801–6.
24. Marik P E, Varon J. Requirement of perioperative stress doses of corticosteroids: a
systematic review of the literature. Arch Surg. 2008;143(12):1222–6.
25. R. A. Donald, E. G. Perry, G. A. Wittert et al. The plasma ACTH, AVP, CRH and
catecholamine responses to conventional and laparoscopic cholecystectomy. Clinical
Endocrinology. 1993:38(6):609-15.
26. Friedman R J, Baliga P, Bromberg J S, et al . Stress steroids are not required for
patients receiving a renal allograft and undergoing operation. J Am Coll
Surg. 1995;180(5):532–536.
27. Zaghiyan K, Melmed G, Murrell Z, Fleshner P. Safety and feasibility of using low-
dose perioperative intravenous steroids in inflammatory bowel disease patients
undergoing major colorectal surgery: a pilot study. Surgery. 2012;152(2):158–63.
28. Jasani M K, Freeman P A, Boyle J A. et al. Studies in the rise in plasma 11-
hydroxycorticosteroids (11-OCHS) in corticosteroid-treated patients with rheumatoid
arthritis during surgery: correlations with the functional integrity of the hypothalomo-
pituitary-adrenal axis. Q J Med. 1968;37:407–21.
29. Zaghiyan K, Melmed G, Murrell Z, Fleshner P. Are high-dose perioperative steroids
necessary in patients undergoing colorectal surgery treated with steroid therapy within
the past 12 months? Am Surg. 2011;77(10):1295–9.
30. Lewis L, Robinson R F, Yee J, Hacker L A, Eisen G. Fatal adrenal cortical
insufficiency precipitated by surgery during prolonged continuous cortisone
treatment. Ann Intern Med. 1953;39(1):116–26.
31. B. M. Arafah. Review: hypothalamic pituitary adrenal function during critical illness:
limitations of current assessment methods. Journal of Clinical Endocrinology and
Metabolism. 2006:91(10):3725–45
32. Yong S L, Marik P, Esposito M. et al. Supplemental perioperative steroids for
surgical patients with adrenal insufficiency. Cochrane Database Syst Rev. 2009:4.
33. L. Wise, H. W. Margraf, and W. F. Ballinger. A new concept on the pre- and
postoperative regulation of cortisol secretion. Surgery.1972:72(2):290–9.

Anda mungkin juga menyukai