Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keluarga merupakan suatu wadah dan tempat bagi anak-anak dalam
tumbuh kembang mereka secara keseluruhan. Keluarga disebut sebagai sumber
pendidikan yang pertama dan utama bagi anak-anak dalam menentukan masa
depan suatu kehidupan keluarga, termasuk membentuk jiwa dan kepribadian anak.
Keluarga disebut sebagai penyokong dibalik baik buruknya pribadi dan jiwa anak,
terutama kedua orang tuanya. Termasuk dalam hal pembentukan kebiasaan yang
tertanam pada anak melalui latihan-latihan yang diajarkan oleh orang tua
(Framanta, 2020).
Keluarga juga memiliki peran penting dalam membentuk perilaku anak.
Orang tua memiliki kontribusi yang besar dalam memberikan cerminan diri yang
kemudian dilihat dan ditiru oleh anak-anaknya dalam keluarga mereka. Dengan
kata lain, kedua orang tua, baik ayah maupun ibu, memiliki kewajiban yang sama
besar dalam hal pengasuhan anak. Apabila pengasuhan anak tidak terpenuhi
dengan baik, masalah dan konflik dalam diri anak itu sendiri, antara anak dengan
orang tuanya maupun terhadap anak dengan lingkungannya akan bermunculan
(Rakhmawati, 2015).
Keluarga itu sendiri terbentuk dari sebuah perkawinan, yang dilindungi
oleh aturan hukum mengenai keberadaan hubungan tersebut di dalam masyarakat.
Seiring berjalannya waktu, lika-liku kehidupan dalam berkeluarga harus dihadapi
oleh keluarga tersebut walaupun setiap pasangan pasti mengharapkan pernikahan
mereka berjalan mulus, memiliki keluarga yang harmonis, bahagia, dan saling
mencintai kedepannya. Namun fakta berkata lain, banyak keluarga yang ternyata
tidak harmonis, merasa tertekan, dan tidak bahagia karena mengalami kekerasan
dalam rumah tangga. Kekerasan yang dialami oleh anggota keluarga tersebut
dapat berupa kekerasan fisik, psikologis, seksual, emosional, maupun
penelantaran keluarga (Ramadhan & Nurhamlin, 2018).
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, menyebutkan: (a) bahwa
setiap warga Negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk
kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, (b) bahwa segala bentuk kekerasan, terutama
kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan
kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus
dihapus, (c) bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan
adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat
agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan,
atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
Dilansir dari Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan
Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia, jumlah kasus kekerasan dalam
rumah tangga yang dilaporkan ke Lembaga Bantuan Hukum untuk Perempuan
Jakarta pada tahun 2002 sebanyak 86 kasus merupakan kekerasan fisik, 250 kasus
merupakan kekerasan psikologis, 135 kasus merupakan kekerasan ekonomi, tujuh
kasus merupakan kekerasan seksual, lima kasus pelanggaran janji, dan satu kasus
kekerasan terhadap anak. Ikrawati, Roslan dan Sarpin (2017) memaparkan bahwa
bentuk-bentuk dari tindakan kekerasan fisik pada anak diantaranya adalah
menendang, memukul, melempar kayu, dan menampar, yang mengakibatkan anak
merasa tertekan. Bentuk kekerasan emosi diantaranya adalah menelantarkan anak,
mengabaikan anak, serta melontarkan kata-kata yang dapat menyinggung
perasaan anak.
Menurut Krug (dalam Kurniasari, 2019), tipe kekerasan antara lain
kekerasan fisik yaitu sebuah tindakan orang tua atau orang yang bertanggung
jawab dan memiliki kekuasaan yang menimbulkan kerugian fisik pada anak
berbentuk memukul, mendorong, menjambak, dan melukai; kekerasan seksual
dimana anak terlibat dalam aktivitas hubungan seksual yang diluar pengertiannya,
persetujuannya, atau secara perkembangan tidak siap dan tidak dapat memberi
persetujuan yang dilakukan oleh orang dewasa atau orang yang bertanggung
jawab, atau orang yang dipercaya dan memiliki kekuasaan atas anak dimana
aktivitas yang dimaksudkan meliputi memegang, meraba alat vital,
mempertontonkan alat vital, memaksa atau mengancam untuk berbuat asusila
sampai pada pemerkosaan; kekerasan psikologis atau emosional adalah sebuah
bentuk dari kegagalan dalam memberikan sokongan terhadap tumbuh kembang
anak, kurangnya lingkungan yang mendukung, serta figur kelekatan, kekerasan
psikologis bentuknya antara lain mengancam, mengkambing hitamkan, menakut-
nakuti, mendiskriminasi, menyudutkan atau menyalahkan anak atas perlakuan
anak, mengejek, mengkritik yang berlebihan, memberi nama (labelling) yang
tidak menyenangkan, menghina serta mengancam; penelantaran atau neglect
merupakan bentuk kekerasan dimana orang tua atau orang yang bertanggung
jawab terhadap anak gagal menyediakan kebutuhan anak terkait kebutuhannya
seperti kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, nutrisi, dan kondisi kehidupan yang
aman.
Anak yang mengalami kekerasan fisik dalam keluarga menunjukkan
berbagai masalah yang berkaitan dengan perkembangan afektif dan sosio-
emosional mereka. Selain itu, anak yang mengalami kekerasan dalam keluarga
beresiko mengalami permasalahan dalam mengekspresikan diri, regulasi reaksi
emosional, dan beresiko gagal dalam memahami dan menerima emosi mereka
maupun orang lain (Wolfe & Jaffe, 1991). Kekerasan yang terjadi dalam rumah
tangga terkhususnya pada anak, memiliki dampak terhadap sikap dan emosi anak.
Dampak sikap yang muncul akibat kekerasan dalam rumah tangga seperti keras
kepala, menyendiri, sering membalas omongan terhadap orang tuanya dan sering
membantah bila dimintai tolong oleh orang tua. Anak juga akan mengalami
gugup, takut dan cemas sebagai dampak emosi dari kekerasan dalam rumah
tangga (Ali, 2016).
Dampak lain akibat kekerasan pada anak, anak-anak yang mengalami
kekerasan seksual, menjadi korban perundungan, serta menjadi korban kekerasan
fisik sangat erat kaitannya dengan self-harm (O’Connor, Rasmussen, Miles &
Hawton, 2009). Klonsky, Oltmanns dan Turkheimer (2003) menyebutkan dalam
studinya bahwa individu yang cemas melakukan self-harm dalam upaya untuk
mengurangi rasa cemas itu sendiri. Khalifah (2019) mengemukakan penyebab dari
perilaku self-harm terjadi karena ketiadaan keharmonisan dalam keluarga
termasuk kurangnya kasih sayang, perasaan marah dan kesal karena disakiti oleh
orang lain, suatu bentuk menahan diri untuk tidak menyakiti orang yang
menyakiti mereka sehingga alih-alih menyakiti orang lain mereka menyakiti diri
sendiri, serta korban perundungan. Individu yang melakukan tindakan menyakiti
diri mengakui perasaan nyaman yang ditimbulkan setelah mereka menyakiti diri
mereka sendiri.
Seorang informan berinisial A, berusia 21 tahun, berjenis kelamin
perempuan, melakukan tindakan menyakiti diri berupa menggigiti 10 kuku jari
tangannya dan mencabuti rambutnya. A memiliki kebiasaan menggigiti kukunya
sejak A masih berusia dua tahun, hal tersebut karena semasa kecilnya, A pernah
dibawa ke Madura yang merupakan kampung halaman ayah A dan mendapatkan
perilaku kekerasan fisik berupa pecutan oleh ayah kandung A, sehingga A yang
saat itu berusia sekitar dua tahun merasa ketakutan di sudut ruangan sambil
menggigiti kukunya. A kehilangan ibunya yang meninggal karena kanker
payudara pada tahun 2020. Ibu A merupakan tulang punggung keluarga sampai
akhir hayatnya, karena ayah A tidak menafkahi keluarganya. Perilaku A yang
mencabuti rambut dimulai pada saat A kelas tiga SMA, ketika ibu A divonis
menderita kanker payudara stadium tiga dan saat itu A sedang sibuk menjalani
tahun terakhir sebagai siswi di sebuah sekolah menengah atas. A mengakui bahwa
ketika rambut yang dicabuti sudah terlalu banyak dalam satu waktu, A akan
merasakan sakit, namun A masih terus mencabuti rambutnya terutama pada
waktu-waktu A tidak memiliki kegiatan.
Informan A sempat berhenti mencabuti rambutnya pada tahun 2019
selama dua bulan karena pada saat itu A menjadi salah satu anggota Badan
Eksekutif Mahasiswa yang sangat menyita waktu A sehingga ketika A sampai di
rumah, A langsung tertidur. Namun, ketika kegiatan A sudah lebih longgar,
perilaku mencabuti rambut kembali lagi. Saat melakukan wawancara awal
bersama A, A bercerita mengenai ibunya yang telah meninggal dengan suara
gemetar, dan beberapa kali menyeka air matanya. A merasa tertekan karena pihak
ayahnya tidak berusaha membantu A dan adik-adiknya dalam urusan keuangan. A
pernah mengalami kekerasan fisik berupa tamparan di pipi A serta ditonjok oleh
ayah kandung A. Selain itu, A juga mengalami kekerasa verbal dari ayah kandung
A.
Dari pemaparan di atas peneliti tertarik untuk meneliti gambaran self-harm
mencabut rambut dan menggigit kuku pada perempuan yang mengalami kekerasan
dalam rumah tangga oleh ayah kandung.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan fenomena yang telah dipaparkan, maka peneliti ingin
mengetahui bagaimana gambaran perilaku self-harm mencabut rambut dan menggigit
kuku pada perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga oleh ayah
kandung dengan merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku self-harm pada
perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga oleh ayah
kandung?
2. Bagaimana perilaku self-harm mencabut rambut dan menggigit kuku
berkembang pada perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah
tangga oleh ayah kandung?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku self-harm
pada perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga oleh
ayah kandung
2. Untuk mengetahui gambaran perkembangan perilaku self-harm pada
perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga oleh ayah
kandung
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi
yang bersifat empiris dan faktual sehingga dapat memperkaya ilmu
pengetahuan khususnya bidang psikologi klinis, terutama yang berkaitan
dengan perilaku self-harm mencabuti rambut dan menggigit kuku pada
perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga oleh ayah
kandung.
2. Manfaat Praktis
a. Memberi informasi kepada individu khususnya yang berjenis kelamin
perempuan mengenai gambaran perilaku self-harm mecabut rambut
dan menggigit kuku pada perempuan yang mengalami kekerasan
dalam rumah tangga oleh ayah kandung
b. Memberi informasi kepada keluarga, orang tua, maupun caregiver dari
anak perempuan yang pernah mengalami kekerasan dalam rumah
tangga terutama oleh ayah kandung
c. Memberi informasi mengenai penyebab yang mempengaruhi perilaku
self-harm mencabut rambut dan menggigit kuku pada anak perempuan
yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga oleh ayah kandung

Anda mungkin juga menyukai