Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam menjalankan aktivitas kehidupan kita tidak terlepas dari suatu interaksi antara

satu orang dengan orang lainnya. Interaksi yang kita lakukan kadangkala mengalami

beberapa persinggungan, baik itu antara perorangan maupun komunitas. Persinggungan yang

tidak diselesaikan dengan baik akan menyebabkan konflik yang akan terus berakar dan

mengakibatkan ketidakharmonisan hubungan didalam masyarakat. Konflik inilah yang

didalam suatu peradilan biasa kita sebut dengan sengketa.

Sengketa yang terjadi tentunya harus diselesaikan oleh para pihak yang berselisih,

sengketa ini bisa diselesaikan dengan jalan perdamaian. Jika salah satu pihak tidak

menginginkan perdamaian maka penyelesaiannya dilakukan melalui pengadilan. Tujuan dari

suatu proses dimuka pengadilan adalah untuk mendapatkan penentuan bagaimanakah

hukumnya.

Putusan pengadilan adalah merupakan salah satu dari hukum acara formil yang akan

dijalani oleh para pihak yang terkait dalam perkara perdata. Eksekusi sebagai tindakan

hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu Negara,

merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Maka dari itu,

didalam makalah ini akan dijelaskan tentang eksekusi dan perdamaian.

B. Rumusan Masalah

1. Apa saja yang dijelaskan dalam eksekusi?

2. Apa saja yang dijelaskan dalam perdamaian?

C. Tujuan

1. Untuk menjelaskan tentang eksekusi dan perdamaian.

1
BAB II

PEMBAHASAN

1. EKSEKUSI

A. Pengertian Eksekusi

Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan pengertian eksekusi, diantaranya

sebagai berikut:

Eksekusi menurut M. Yahya H. Adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh

pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, merupakan aturan tata cara

lanjutan dari proses pemeriksaan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum

acara perdata.

Menurut Prof. R. Subekti adalah pelaksanaan suatu putusan yang sudah tidak dapat

diubah lagi, ditaati secara sukarela oleh pihak yang bersengketa.

Menurut R. Supomo adalah hukum yang mengatur cara dan syarat-syarat yang dipakai

oleh alat-alat negara guna membantu pihak yang berkepentingan untuk menjalankan putusan

hakim, apabila pihak yang kalah tidak bersedia memenuhi bunyinya putusan dalam waktu

yang ditentukan.

Eksekusi merupakan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap yang dijalankan secara paksa oleh karena pihak yang kalah dalam perkara tidak

mau mematuhi pelaksanaan acara putusan pengadilan. Dalam Pasal 195 HIR/ Pasal 207 RBG

dikatakan: “Hal menjalankan Putusan Pengadilan negeri dalam perkara yang pada tingkat

pertama diperiksa oleh Pengadilan Negeri adalah atas perintah dan tugas pimpinan ketua

Pengadilan Negeri yang pada tingkat pertama memeriksa perkara itu menurut cara yang

diatur dalam pasal-pasal HIR”. Selanjutnya dalam Pasal 196 HIR/Pasal 208 RBG dikatakan:

“Jika pihak yang dikalahkan tidak mau untuk memenuhi amar Putusan Pengadilan dengan

damai maka pihak yang menang dalam perkara menagajukan permohonan kepada Ketua

2
Pengadilan Negeri untuk menjalankan Putusan Pengadilan itu”. Kemudian Ketua Pengadilan

Negeri memanggil pihak yang kalah dalam hukum serta melakukan teguran agar pihak yang

kalah dalam perkara memenuhi amar putusan pengadilan dalam waktu paling lama 8 hari.

B. Sumber Hukum Eksekusi

Beberapa sumber hukum eksekusi, yaitu:

1. Undang-Undang Hukum Acara Perdata dan undang-undang lain yang berhubungan.

2. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

3. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Berikut penjelasannya:

1. Tentang Undang-Undang Hukum Acara Perdata

Didalam HIR diatur tentang eksekusi Putusan Pengadilan pada bagian kelima (Pasal

195-224 HIR), sedangkan dalam RBg diatur pada bagian keempat (Pasal 206-225).

Dalam Undang-Undang (darurat) No. 1 Tahun 1951 tidak terdapat perkecualian

terhadap berlakunya hukum acara perdata sehingga berlakulah penuh kedua undang-undang

mengenai acara perdata.

Dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman dikatakan pelaksanaan putusan Pengadilan dalam Perkara Perdata

dilaksanakan oleh Panitera dan Jurusita serta dipimpin oleh Ketua Pengadilan Negeri.

Selanjutnya dalam Pasal 60 Undang-Undang No. 20 Tahun 1986 tentang Peradilan

Umum dikatakan dalam Perkara Perdata, maka Panitera Pengadilan Negeri bertugas

melaksanakan Putusan Pengadilan. Bahwa Pasal 60 Undang-Undang No. 60 Tahun 1986

tetap berlaku oleh karena tidak dirubah oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.

3
2. Tentang Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Dalam Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia N0. 1 Tahun 1969

dikatakan Mahkamah Agung dapat meninjau atau membatalkan suatu Putusan Perdata atas

dasar alasan sebagai berikut:

a. Apabila putusan tersebut dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim.

b. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan

sebab-sebabnya.

c. Apabila dalam suatu putusan pengadilan terdapat ketentuan-ketentuan yang satu sama

lain bertentangan.

d. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan dari pihak lawan.

Dengan demikian, dalam praktik hukum masih ada upaya hukum untuk dapat

membatalkan suatu Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum bersifat

tetap, dan upaya hukum tersebut dikenal dengan derden verzet atau Permohonan Peninjauan

Kembali pada Putusan MA.

Peraturan MA No. 1 Tahun 1980 yang disempurnakan Pasal 5 dinyatakan bahwa

permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan

eksekusi.

3. Surat Edaran Mahkamah Agung

Dalam Surat Edaran MA No. 4 Tahun 1975 tentang gijzeling (penyanderaan)

sebagaimana diakui dalam Pasal 209 HIR/Pasal 242 RBg tidak dibenarkan lagi untuk

dilaksanakan dalam Hukum Acara Perdata di peradilan di Indonesia oleh karena bertentangan

dengan perikemanusiaan.

Dengan demikian, Hukum Acara Perdata di Indonesia tidak lagi mengenal adanya

penyanderaan apabila seseorang tidak mampu membayar utangnya.

4
C. Asas-asas Eksekusi

Asas-asas eksekusi terdiri atas:

1. Putusan yang dapat dijalankan adalah putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Maksudnya, pada putusan hakim itu telah terwujud hubungan hukum yang pasti antara

para pihak yang harus ditaati/dipenuhi oleh tergugat, dan sudah tidak ada lagi upaya hukum,

yakni: putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding; putusan

MA(kasasi/PK), Putusan verstek yang tidak diajukan verzet.

2. Pelaksanaan Putusan Lebih Dahulu

Menurut Pasal 180, ayat (1) HIR, eksekusi dapat dijalankan pengadilan terhadap

putusan pengadilan sekalipun putusan yang bersangkutan belum memperoleh kekuatan

hukum yang tetap. Pasal ini memberi hak kepada Penggugat untuk mengajukan permintaan

agar putusan dapat dijalankan eksekusinya lebih dahulu, sekalipun terhadap putusan itu pihak

tergugat mengajukan banding atau kasasi.

3. Pelaksanaan Putusan Provisi

Pasal 180 ayat (1) HIR juga mengenal putusan provisi, yaitu tuntutan lebih dahulu yang

bersifat sementara mendahului putusan pokok perkara. Apabila hakim mengabulkan gugatan

atau tuntutan provisi, maka putusan provisi tersebut dapat dilaksanakan (dieksekusi)

sekalipun perkara pokoknya belum diputus.

4. Akta Perdamaian

Pengecualian ini diatur dalam Pasal 130 HIR akta perdamaian yang dibuat di

persidangan oleh hakim. Eksekusi akta tersebut dapat dijalankan tak ubahnya seperti putusan

yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka sejak tanggal lahirnya akta perdamaian

telah melekat pulalah kekuatan eksekutorial pada dirinya walaupun ia tidak merupakan

putusan pengadilan yang memutus sengketa.

5
5. Eksekusi Terhadap Grosse Akta

Sesuai Pasal 224 HIR eksekusi yang dijalankan ialah memenuhi isi perjanjian yang

dibuat oleh para pihak. Pasal ini memperbolehkan eksekusi terhadap perjanjian, asal

perjanjian itu berbentuk grosse akta.

6. Putusan Tidak Dijalankan Secara Sukarela

Pada prinsipnya, dalam perkara perdata pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan oleh

pihak yang dikalahkan. Terkadang pihak yang kalah tidak mau menjalankan putusan secara

sukarela. Akan tetapi apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankan amar putusan secara

sukarela, maka diperlukan tindakan paksa yang disebut eksekusi, agar pihak yang kalah

dalam hal ini tergugat mau menjalankan isi putusan pengadilan.

D. Putusan yang Dapat Dieksekusi

Asas yang ketiga bahwa eksekusi hanya dapat dilaksanakan pada putusan yang bersifat

condemnatoir. Sebagaimana diketahui suatu keputusan hakim memiliki beberapa sifat, yakni:

a. Putusan condemnatoir, yaitu yang amar putusannya bebunyi “menghukum dan

seterusnya”;

b. Putusan declarator, yaitu yang amar putusannya menyatakan suatu keadaan sebagai

sesuatu keadaan yang sah menurut hukum, dan

c. Putusan yang konstitutif, yaitu yang amarnya menciptakan suatu keadaan yang baru.

Hanya putusan yang bersifat condemtoir saja yang bisa dijalankan eksekusi. Pada

asasnya, setiap putusan yang bersifat condemtoir, dengan sendirinya melekat kekuatan

hukum eksekutorial. Oleh karena itu pada putusan yang bersifat condemtoir, putusan tersebut

dapat dieksekusi apabila tergugat tidak mau menjalankan putusan secara sukarela.

6
E. Jenis-jenis Eksekusi dan Proses Eksekusi

Ada tiga jenis eksekusi yang dikenal oleh Hukum Acara Perdata, yakni:

1. Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang

Pelaksanaannya melalui penjualan lelang terhadap barang-barang milik pihak yang

kalah perkara, sampai mencukupi jumlah uang yang harus dibayar sebagaimana ditentukan

dalam putusan hakim tersebut, ditambah biaya-biaya pengeluaran untuk pelaksanaan eksekusi

tersebut.

2. Eksekusi Pelaksanaan Suatu Perbutan

Apabila seseorang dihukum melakukan suatu perbuatan tersebut dalam waktu yang

ditentukan, maka pihak yang dimenangkan dalam putusan itu dapat meminta kepada Ketua

Pengadilan Negeri agar perbuatan yang sedianya dilakukan/dilaksanakan oleh pihak yang

kalah perkara dinilai dengan sejumlah uang. Dengan kata lain, perkataan pelaksanaan

perbuatan itu dilakukan oleh sejumlah uang.

3. Eksekusi Riil

Eksekusi Riil adalah eksekusi yang menghukum kepada pihak yang kalah dalam

perkara untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, misalnya menyerahkan barang,

mengosongkan tanah atau bangunan, membongkar, menghentikan suatu perbuatan tertentu

dan lain-lain sejenis itu. Eksekusi ini dapat dilakukan secara langsung (dengan perbuatan

nyata) sesuai dengan amar putusan tanpa melalui proses pelelangan.

Pada dasarnya suatu eksekusi itu dimulai adanya permohona eksekusi dengan pemohon

eksekusi membayar biaya eksekusi kepada petugas urusan kepaniteraan perdata pada

Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Kemudian prosedural administrasi berikutnya akan

diregister pada buku permohonan eksekusi (KI-A.5), Buku Induk Keuangan Biaya Eksekusi

(KI-A.8), lalu diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri guna mendapatkan fiat eksekusi.

7
Setelah Ketua Pengadilan Negeri mempelajari permohonan itu dan yakin tidak

bertentangan dengan UU, maka Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan “penetapan” berisi

perintah agar Jurusita Pengadilan memanggil pihak lawan yang dikalahkan atau kedua belah

pihak berperkara untuk diberi teguran supaya pihak lawan yang dikalahkan melaksanakan

putusan hakim. Apabila pada waktu “aanmaning” itu para pihak hadir maka pada pihak lawan

yang dikalahkan diberi waktu 8 hari sejak tanggal teguran tersebut memenuhi isi putusan.

Setelah waktu tersebut terlampaui dan pihak termohon eksekusi belum memenuhi amar

putusan hakim, maka dengan ketetapan Ketua Pengadilan Negeri selanjutnya memerintahkan

Panitera/Jurusita dengan disertai 2 orang saksi yang dipandang mampu dan cakap untuk

melaksanakan sita eksekusi terhadap barang-barang/tanah milik termohon eksekusi dan

semua ini dibuat pula berita acaranya.

F. Tahap-tahap/Prosedur Permohonan Eksekusi Grosse Akta Hak Tanggungan

Eksekusi terhadap grosse akta merupakan eksekusi langsung, artinya eksekusi yang

tidak didahului dengan adanya putusan pengadilan, tetapi didasarkan atas adanya Grosse

Akta.

Pengertian grosse adalah salinan pertama dari akta autentik. Salinan pertama ini

diberikan oleh notaris kepada kreditur.

Kreditur sebagai pemegang jaminan, dimana surat jaminan itu harus memiliki titel

eksekutorial. Dokumen atau naskah itu bisa dalam bentuk putusan pengadilan, sertifikat hak

tanggungan, sertifikat fidusia, maupun akta pengakuan utang. Atas adanya titel eksekutorial

tersebut si pemegangnya (kreditur) dapat mengajukan eksekusi ke PA melalui prosedur

eksekusi dan debitur mengakui sejumlah uangnya dengan kreditur.

Sebelum mengajukan permohonan eksekusi Hak Tanggungan kepada Ketua Pengadilan

Negeri harus dipersiapkan surat permohonan eksekusi. Surat permohonan eksekusi ini

8
diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri sesuai dengan pilihan hukum yang tertera dalam

akta Hak Tanggungan dengan dilampiri dokumen-dokumen hukum yang diperlukan.

G. Aanmaning

Permohonan eksekusi merupakan dasar bagi Ketua Pengadilan Negeri untuk melakukan

peringatan atau aanmaning. Aanmaning merupakan tindakan dan upaya yang dilakukan

Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara berupa “teguran” kepada Tergugat (yang

kalah) agar ia menjalankan isi putusan secara sukarela dalam waktu yang ditentukan setelah

Ketua Pengadilan menerima permohonan eksekusi dari Penggugat. Ketua Pengadilan

memberikan jangka waktu kepada pihak yang kalah agar ia melaksanakan isi putusan

maksimal 8 hari terhitung sejak debitur dipanggil untuk menghadap guna diberikan

peringatan.

Peneguran tidak perlu dilakukan dalam sidang terbuka, karena tidak merupakan

pemeriksaan terhadap sengketa lagi dan persoalannya mengenai pelaksanaan putusan tentang

sengketa ini. Setiap teguran dilakukan dengan membuat berita acara, maksudnya agar

memenuhi syarat yuridis (sebagai alat bukti bahwa peneguran telah dilakukan). Pemanggilan

harus memenuhi syarat sah yang ditentukan oleh undang-undang yaitu minimal 3 hari kerja,

dan disampaikan kepada yang berhak atau kepala desa/lurah setempat apabila yang

bersangkutan tidak ada. Pemanggilan yang tidak berhasil dapat diulangi sampai dua kali atau

langsung dilanjutkan proses eksekusinya.

H. Sita Eksekusi

Sita Eksekusi adalah sita yang ditetapkan dan dilaksanakan setelah suatu perkara

mempunyai putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Ada dua macam sita

eksekusi, yaitu sita eksekusi langsung dan sita eksekusi tidak langsung. Sita eksekusi

langsung merupakan sita eksekusi yang langsung diletakkan atas barang bergerak dan barang

tidak bergerak milik debitur atau termohon eksekusi. Sita eksekusi tidak langsung adalah sita

9
eksekusi yang berasal dari sita jaminan yang telah dinyatakan sah dan berharga dan dalam

rangka eksekusi otomatis berubah menjadi sita eksekusi.

Pada sita eksekusi, penyitaan yang bertujuan menempatkan harta kekayaan tersebut

sebagai jaminan kepentingan pembayaran sejumlah uang kepada penggugat dilakukan pada

tahap proses perkara yang bersangkutan sudah mempunyai putusan yang telah memperoleh

kekuatan hukum yang tetap dan penyitaan dilakukan pada tahap proses eksekusi.

Berdasarkan Pasal 1131 KUHPer, disebutkan bahwa seluruh harta kekayaan seorang

debitur menjadi jaminan sepenuhnya untuk pelunasan pembayaran utangnya kepada pihak

kreditur. Akan tetapi dalam sita eksekusi harus dilakukan dengan memperhatikan hal-hal

sebagai berikut:

 Mendahulukan penyitaan barang bergerak

Menurut ketentuan ini, sita eksekusi pada prinsipnya tidak boleh langsung diletakkan

atas barang yang tidak bergerak. Sita eksekusi baru diperkenankan menjangkau barang

yang tidak bergerak, sepanjang harta bergerak tidak lagi mencukupi nilai jumlah yang

harus dilunasi.

 Jenis-jenis barang bergerak yang dapat disita eksekusi

Menurut Pasal 197 ayat (8) HIR maka sita eksekusi terhadap barang bergerak sama

dengan sita jaminan yaitu meliputi segala jenis barang berupa uang tunai, surat

berharga dan barang yang berada di tangan pihak ketiga.

 Yang dilarang disita eksekusi

Yang dilarang disita eksekusi terdiri atas dua jenis hewan dan perkakas. Larangan sita

eksekusi atas kedua jenis barang tersebut terbatas pada persyaratan tertentu, yakni

hewan dan perkakas yang bersangkutan benar-benar dipergunakan tergugat sebagai alat

menjalankan mata pencaharian.

10
I. Tata Cara Sita Eksekusi

Beberapa syarat formal yang harus dipenuhi untuk dapat dilakukan penyitaan, yaitu:

1. Sita eksekusi dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Ketua Pengadilan Negeri. Surat

perintah tersebut berupa surat penetapan sita eksekusi yang dikeluarkan Ketua

Pengadilan Negeri.

2. Surat perintah/penetapan sita eksekusi berisi perintah kepada panitera atau jurusita

untuk menyita sejumlah atau seluruh harta kekayaan termohon yang jumlahnya

disesuaikan dengan patokan dasar yang ditentukan Pasal 197 ayat (1) HIR.

3. Pelaksanaan penyitaan dibantu oleh dua orang saksi merupakan syarat formal sesuai

Pasal 197 ayat (6) HIR. Bila syarat ini tidak dipenuhi akibatnya sita eksekusi dianggap

tidak sah.

4. Sita eksekusi dilakukan di Tempat. Berdasarkan Pasal 197 ayat (5), (9) HIR tata cara

pelaksanaan sita eksekusi menetukan persyaratan tentang keharusan pelaksanaan sita

dilakukan di tempat terletaknya barang yang hendak disita.

5. Pembuatan Berita Acara Sita Eksekusi. Hal penting yang harus tercantum dalam Berita

Acara Sita Eksekusi, yaitu:

 Memuat nama, pekerjaan, dan tempat tinggal kedua orang saksi.

 Memerinci secara lengkap semua tindakan yang dilakukan.

 Ditandatangani pejabat pelaksana dan kedua orang saksi.

 Tidak diharuskan hukum ikutnya pihak tersita atau kepala desa menandatangani

berita acara.

11
 Pemberitahuan berita acara kepada pihak tersita, maksudnya untuk perlindungan

hukum.

6. Penjagaan Yuridis Barang yang Disita.

7. Ketidakhadiran Tersita Tidak Menghalangi Sita Eksekusi.

Tata cara yang ditentukan dalam Pasal 197 ayat (1) HIR terdiri dari dua instansi, yaitu:

1) mendaftarkan berita acara sita dikantor yang berwenang untuk itu dengan cara “menyalin”

berita acara sita dalam daftar yang ditentukan, 2) mencatat jam, hari, bulan, dan tahun

pengumuman penyitaan, 3) pejabat pelaksana sita eksekusi, memerintahkan kepala desa

mengumumkan penyitaan barang yang telah disita.

Setelah sita eksekusi diumumkan dengan cara mendaftarkan berita acara sita dikantor

yang berwenang barulah sita tersebut mempunyai kekuatan hukum mengikat terutama pada

pihak ketiga di samping sita eksekusi tersebut sudah sah secara formal serta kekuatan hukum

mengikatnya berlaku kepada semua pihak. Begitu suatu sita eksekusi dikatakan mempunyai

daya ikat, maka terhadap sita eksekusi tersebut tidak dapat tergoyahkan dan mempunyai

kekuatan eksekutorial.

J. Pelaksanaan Eksekusi dan Permasalahan Hukumnya.

1. Objek yang akan dieksekusi berada di luar wilayah yurisdiksi PA yang memutus

perkara.

2. Perlawanan terhadap eksekusi yang objeknya berada di wilayah yurisdiksi PA.

3. Eksekusi nafkah anak.

4. Eksekusi putusan hadhanah.

5. Ekekusi putusan yang berhubungan dengan harta.

2. PERDAMAIAN

A. Pengertian Perdamaian

12
Istilah perdamaian dalam kata bahasa Belanda disebut dading yang dalam bahasa

bakunya bermakna persetujuan damai. Dalam ketentuan Pasal 1851 ayat (1) KUHPer,

perdamaian didefinisikan sebagai berikut: “perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana

kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang,

mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu

perkara”.

Berdasarkan definisi dari Pasal 1851 ayat (1) KUHPer, dapatlah ditarik kesimpulan

bahwa perdamaian itu adalah suatu perjanjian atau persetujuan dimana para pihak yang

berselisih mengenai hak-hak mereka sepakat untuk menyelesaikan perselisihan mereka,

dengan adanya suatu kerelaan.

B. Kewajiban Hakim Mendamaikan Para Pihak

pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim

mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi.

Ketidakhadiran pihak turut tergugat tidak menghalangi pelaksanaan mediasi. Hakim,

melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak, mendorong para pihak untuk

berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi.

Kuasa hukum para pihak berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan

langsung atau aktif dalam proses mediasi. Hakim wajib menunda proses persidangan perkara

untuk memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi. Hakim wajib

menjelaskan prosedur mediasi dalam Perma ini kepada para pihak yang bersengketa.

Para pihak berhak memilih mediator diantara hakim bukan pemeriksa perkara pada

pengadilan yang bersangkutan, advokat atau akademisi hukum.

C. Batas Waktu Pemilihan Mediator

Setelah para pihak hadir pada hari sidang pertama, hakim mewajibkan para pihak pada

hari itu juga atau paling lama dua hari kerja berikutnya untuk berunding guna memilih

13
mediator termasuk biaya yang mungkin timbul akibat pilihan penggunaan mediator bukan

hakim. Para pihak segera menyampaikan mediator pilihan mereka kepada ketua majelis

hakim. Selanjutnya ketua majelis hakim segera memberitahu mediator terpilih untuk

melaksanakan tugas. Jika setelah jangka waktu maksimal sebagaimana dimaksud terpenuhi,

para pihak tidak dapat bersepakat memilih mediator yang dikehendaki, maka para pihak

wajib menyampaikan kegagalan mereka memilih mediator kepada ketua majelis hakim.

Para pihak wajib menempuh proses mediasi dengan iktikad baik. Salah satu pihak dapat

menyatakan mundur dari proses mediasi jika pihak lawan menempuh mediasi dengan iktikad

tidak baik.

D. Tahap-tahap Proses Mediasi

Adapun tahap-tahap mediasi adalah sebagai berikut:

1. Dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah para pihak menunjuk mediator yang

disepakati, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama

lain dan kepada mediator.

2. Dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah para pihak gagal memilih mediator,

masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada hakim mediator yang

ditunjuk.

3. Proses mediasi berlangsung paling lama 40 hari kerja sejak mediator dipilih oleh para

pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim.

4. Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat diperpanjang paling

lama 14 hari kerja sejak berakhir masa 40 hari.

5. Jangka waktu proses mediasi tidak termasuk jangka waktu pemeriksaan perkara.

6. Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dilakukan secara

jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi.

E. Keterlibatan Ahli

14
Atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat mengundang seorang

atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan yang

dapat membantu menyelesaikan perbedaan pendapat di antara para pihak.

Para pihak harus lebih dahulu mencapai kesepakatan tentang kekuatan mengikat atau

tidak mengikat dari penjelasan dan/atau penilaian seorang ahli. Semua biaya untuk

kepentingan seorang ahli atau lebih dalam proses mediasi ditanggung oleh para pihak

berdasarkan kesepakatan.

F. Kesepakatan

Jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian, para pihak dengan bantuan

mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh

para pihak dan mediator. Dan, jika dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa

hukum, para pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan atas kesepakatan yang

dicapai.

Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator memeriksa materi

kesepakatan perdamaian untuk menghindari ada kesepakatan yang bertentangan dengan

hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau memuat iktikad tidak baik.

Para pihak wajib menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang telah

ditentukan untuk memberitahukan kesepakatan perdamaian. Para pihak dapat mengajukan

kesepakatan perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian.

G. Peran Mediator

Dalam menjalankan perannya, seorang mediator mesti memiliki skill, skill yang

diperlukan oleh seorang mediator, yaitu:

1. Membangun kepercayaan.

2. Memahami perannya sebagai mediator.

3. Ramah dan percaya diri.

15
4. Mampu mendengarkan dan penuh perhatian pada proses dan mampu menangani

pertanyaan serta tantangan secara konstruktif.

5. Memberikan atensi dan selalu terbuka untuk menghadapi berbagai hal.

6. Mendengarkan secara “terbuka”.

Seorang mediator membuat kesimpulan yang akurat dan tepat dari informasi yang

diterima dan perasaan yang diekspresikan. Dalam tahapan mediasi seorang mediator mesti

memegang prinsip dan bersikap yang benar-benar menjaga netralitas sebagai seorang

penengah.

Ketika kesepakatan dapat dihasilkan, maka mediator memeriksa hasil kesepakatan

tersebut, menghindari agar hasil kesepakatan tidak bertentangan dengan hukum atau yang

tidak dapat dilaksanakan. Hasil kesepakatan tidak mesti dibuatkan dalam akata perdamaian

yang memiliki kekuatan eksekutorial, tergantung kesepakatan para pihak. Jika para pihak

tidak berkeinginan untuk membubuhkan perdamaian tersebut dalam akta perdamaian, maka

para pihak cukup mencabut perkara tersebut.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Eksekusi merupakan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap yang dijalankan secara paksa oleh karena pihak yang kalah dalam perkara tidak

mau mematuhi pelaksanaan acara putusan pengadilan.

Sumber hukum eksekusi, yaitu: Undang-Undang Hukum Acara Perdata dan undang-

undang lain yang berhubungan, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Surat

Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Perdamaian itu adalah suatu perjanjian atau persetujuan dimana para pihak yang

berselisih mengenai hak-hak mereka sepakat untuk menyelesaikan perselisihan mereka,

dengan adanya suatu kerelaan.

B. Saran

Diharapkan dalam pelaksanaannya membuat kedua belah pihak merasa tidak dirugikan

dan dengan adanya eksekusi ini bisa membuat para pihak melaksanakan isi dari akta

perdamaian. Dan sebagai pelaksana eksekusi Pengadilan dapat bertindak seperti apa yang

diperintahkan oleh Undang-Undang.

17
DAFTAR PUSTAKA

Asikin, Zainal. 2015. Hukum Acara Perdata di Indonesia. Jakarta: Prenadamedia Group.

Harahap,M. Yahya. 2010. Hukum Acara Perdata.Jakarta: Sinar Grafita.

18

Anda mungkin juga menyukai