Anda di halaman 1dari 51

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fraktur adalah retak atau patah yang utuh. Kebanyakan disebabkan oleh trauma di
mana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang, baik berupa trauma langsung dan tidak
langsung (Sjamsuhidayat, 2013). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan atau
tulang rawan yang disebabkan oleh rudapaksa (trauma atau tenaga fisik). Untuk memperbaiki
posisi fragmen tulang pada fraktur terbuka yang tidak dapat direposisi tapi sulit
dipertahankan dan untuk memberikan hasil yang lebih baik maka perlu dilakukan tindakan
operasi ORIF (Open Rreduktion with Internal Fixation) (Doenges,2013).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.
Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya.
Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak,
dan bahkan kontraksi otot eksterm. Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya juga akan
terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan lunak dan pendarahan ke otot serta sendi. Organ
tubuh dapat mengalami cedera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen
tulang (Suzanne C.Smeltzer,2013). Tulang adalah jaringan yang paling keras diantara
jaringan ikat lainnya yang terdiri atas hamper 50% air dan bagian padat, selebihnya terdiri
dari bahan mineral terauma calcium kurang lebih 67% dan bahan seluler 33%.
Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat pada tahun 2011-2012 terdapat 5,6 juta
orang meninggal dunia dan 1,3 juta orang menderita fraktur akibat kecelakan lalu lintas.
Fraktur merupakan suatu kondisi di mana terjadi diintegritas tulang. Penyebab terbanyak
fraktur adalah kecelakan, baik itu kecelakan kerja, kecelakan lalu lintas dan sebagainya.
Tetapi fraktur juga bisa terjadi akibat factor lain seperti proses degenerative dan patologi
(Depkes RI, 2005). Menurut Depkes RI 2011, dari sekian banyak kasus fraktur di Indonsia,
fraktur pada ekstremitas bawah akibat kecelakaan memiliki prevalensi yang paling tinggi
diantara fraktur lainnya yaitu sekitar 46,2 %. Dari 45.987 orang dengan kasus fraktur
ekstremitas bawah akibat kecelakaan, 19.629 orang mengalami fraktur pada tulang femur,
14.027 orang mengalami fraktur cruris, 3.775 orang mengalami fraktur tibia, 970 orang
mengalami fraktur pada tulang-tulang kecil di kaki dan 336 orang mengalami fraktur fibula.
Walaupun peran fibula dalam pergerakan ekstremitas bawah sangat sedikit, tetapi terjadinya
fraktur pada fibula tetap saja dapat menimbulkan adanya gangguan aktifitas fungsional
tungkai dan kaki.
Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 juga menyebutkan bahwa kejadian
kecelakaan lalu lintas di daerah Jawa Tengah sebanyak 6,2% mengalami fraktur. Menurut
Desiartama & Aryana (2017), di Indonesia kasus fraktur femur merupakan yang paling sering
yaitu sebesar 39% diikuti fraktur humerus (15%), fraktur tibia dan fibula (11%), di mana
penyebab terbesar fraktur femur adalah kecelakaan lalu lintas yang biasanya disebabkan oleh
kecelakaan mobil, motor atau kendaraan rekreasi (62,6%) dan jatuh (37,3%) dan mayoritas
adalah pria (63,8%). Puncak distribusi usia pada fraktur femur adalah pada usia dewasa (15-
34 tahun) dan orang tua (di atas 70 tahun).
Menurut data dari bagian rekam medik di RSUP Dr. M. Djamil Padang, fraktur
maksilofasial berjumlah 213 kasus dimana pada tahun 2014 sebanyak 114 kasus, tahun 2015
sebanyak 78 kasus, dan tahun 2016 sebanyak 21 kasus. Pada penelitian sebelumnya di
Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, terdapat sebanyak 354 orang pasien yang mengalami
fraktur maksilofasial dari tahun 2009-2011. Selama ini penelitian tentang karakteristik fraktur
maksilofasial di RSUP Dr. M. Djamil Padang belum pernah dilakukan, karena itu penulis
merasa perlu untuk meneliti karakteristik fraktur maksilofasial tahun 2014 hingga tahun
2016.
Polisi Resor Kota Bukittinggi, Sumatera Barat mencatat sebanyak sembilan kasus
kecelakaan selama Operasi Ketupat 2014 dari kasus tersebut, tiga orang meninggal dunia satu
luka berat dan 13 orang lainnya luka ringan. Korban kecelakaan tersebut berkisaran berumur
16 sampai 30 tahun. Ada lebih dari 150 klarifikasi fraktur menurut para ahli fraktur dibagi
menjadi dua, fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur dibagi menjadi 3 grade
(Smeltzer,2015). Berdasarkan klasifikasi ditinjau menurut sudut patah, terdiri atas 3 macam
fraktur yaitu fraktur trasfersal adalah fraktur yang patahnya tegak lurus, fraktur oblik adalah
fraktur yang membentuk sudut terhadap tulang dan fraktur spiral adalah fraktur yang meluas
mengelilingi tulang (Price, 2015).
Berdasarkan masalah tersebut, saya tertarik untuk memberikan informasi yang
komprehensif tentang “ Laporan dan Asuhan Keperawatan Dengan Diagnosa Medis
“Penyakit Fraktur Tibia Terbuka”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka rumusan masalahnya adalah
“Bagaimana Pemberian Asuhan Keperawatan Dengan Pasien “Fraktur Tibia Terbuka”.
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum ini adalah untuk mendapatkan gambaran dan pengalaman langsung
tentang bagaimana menerapkan Asuhan Keperawatan Dengan Diagnosa Medis Fraktur Tibia
Terbuka
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mahasiswa mampu menjelaskan konsep dasar Fraktur Tibia Terbuka?
1.3.2.2 Mahasiswa mampu menjelaskan Manajemen Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Fraktur Tibia Terbuka?
1.3.2.3 Mahasiswa mampu melakukan pengkajian keperawatan pada Fraktur Tibia Terbuka ?
1.3.2.4 Mahasiswa mampu menentukan diagnosa keperawatan pada Pasien Fraktur Tibia
Terbuka?
1.3.2.5 Mahasiswa mampu menentukan dan menyusun intervensi keperawatan pada Pasien
Fraktur Tibia Terbuka?
1.3.2.6 Mahasiswa mampu melaksanakan implementasi keperawatan pada Pasien Fraktur
Tibia Terbuka?
1.3.2.7 Mahasiswa mampu melakukan evaluasi keperawatan pada Pasien Fraktur Tibia
Terbuka?
1.3.2.8 Mahasiswa mampu menyusun dokumentasi keperawatan pada Pasien Fraktur Tibia
Terbuka?
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Manfaat Untuk Mahasiswa
Mengedukasi pembaca agar lebih memahami dan menjadi bahan referensi bagi perawat
dalam memberikan pendidikan pentingnya pengetahuan tentang asuhan keperawatan yang
komprehensif pada pasien dengan Fraktur Tibia Terbuka
1.4.2 Untuk Klien Dan Keluarga
Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan informasi atau wawasan bagi pasien
dan Keluarga pada pasien Fraktur Tibia Terbuka.
1.4.3 Untuk Institusi (Pendidikan dan Rumah Sakit)
Laporan kasus ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan evaluasi pelaksanaan
asuhan keperawatan pada pasien Fraktur Tibia Terbuka.
1.4.4 Untuk IPTEK
Hasil dari laporan kasus ini diharapkan dapat bermanfaat bagii ilmu pengetahuan dan
teknologi khususnya dalam bidang kesehatan terutama untuk fisioterapi
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Penyakit
2.1.1 Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditetukan sesuai jenis dan luasnya,

fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya.

Fraktur dapat disebabkan pukulan langsung, gerakan puntir mendadak, gaya remuk dan

bahkan kontraksi otot eksterm (Bruner & Sudarth, 2014).

Fraktur biasanya disebabkan oleh trauma dan tenaga fisik. Kekuatan, sudut tenaga,

keadaan tulang dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang

terjadi tersebut lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi jika seluruh tulang patah

sedangkan fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang (Syalvia A. Price,

2014).

Fraktur yang terjadi pada tulang tibia dan fibula sering disebut fraktur cruris. Fraktur

cruris merupakan suatu istilah untuk patah tulang tibia dan fibula yang biasanya terjadi pada

bagian proksimal (kondilus), diafisis atau persendian pergelangan kaki. Pada beberapa rumah

sakit, kejadian fraktur cruris biasanya terbanyak kedua setelah fraktur femur. (Muttaqin,

2013).

Fraktur cruris terbuka adalah terputusnya hubungan tulang tibia dan fibula disertai

dengan kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf, pembuluh darah) sehingga

memungkinkan terjadinya hubungan antara fragmen tulang yang patah dengan udara luar

yang disebabkan oleh cidera dari tulang langsung yang mengenai kaki (Muttaqin, 2013)

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa fraktur adalah terputusnya

kontinuitas tulang baik karena trauma, tekanan maupun kelainan patologis. Fraktur adalah

patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik.

2.1.2 Anatomi Fisiologi


2.1.2.1 Anatomi Tulang

Komponen utama sistem muskoluskeletal adalah jaringan ikat. Sistem ini terdiri dari
tulang, sendi, otot, rangka, tendon, ligamen, bursa, dan jaringan khusus yang menghubungkan
struktur-struktur ini. Kerangka tulang merupakan kerangka yang kuat menyangga struktur
tubuh. Sementara itu,otot yang melekat pada kerangka tulang memungkinkan tubuh untuk
bergerak (Muttaqin, 2013).

Gambar 2.1

Gambar 2.1.2.1
Anatomi Tulang (Syaifuddin, 2011).

Tulang terbentuk dari jaringan-jaringan mesenkim. Pada pembentukan tulang, zat-zat


anorganik seperti kalsium, fosfor, dan CO2 sangat diperlukan., selain zat-zat protein dan
lemak. Sementara itu, pertumbuhan tulang dipengaruhi oleh vitamin D dan hormon-hormon,
seperti hormon tiroid dan pituitari. Sinar ultraviolet juga memiliki pengaruh dalam proses
biokimia pertumbuhan tulang (Zairin, 2013).
Komponen utama dari jaringan tulang adalah mineral dan jaringan organik (kolagen
serta proteoglikan). Kalisum dan dosfat membentuk suatu kristal garam (hidroksiapatit),
kemudian tertimbun pada matriks kolagen dan proteoglikan. Matriks tulang disebut sebagai
suatu osteoid. Sekitar 70% dari osteoid adalah kolagen tipe I yang mempunyai kekakuan dan
kekerasan tinggi pada tulang. Materi organik lain yang juga menyusun tulang adalah
proteoglikan (Muttaqin, 2013).
Tulang diselimuti di bagian luarnya oleh periosteum, periosteum mengandung saraf,
pembuluh darah dan limfatik. Endosteum adalah membran vaskuler tipis yang menutupi
rongga sumsum tulang panjang dan rongga dalam tulang kanselus. Sumsum tulang
merupakan jaringan vaskuler dalam rongga. Sumsum (batang) tulang panjang dan tulang
pipih, tulang kanselus menerima asupan darah yang sangat banyak melalui pembuluh
metafisis dan epifisis (Muttaqin, 2013).

Tubuh manusia tersusun atas tulang-tulang dengan berbagai bentuk dan jenisnya yang
membentuk satu rangkaian menjadi rangka. Fungsi umum rangka/tulang adalah (Tarwoto &
Wartonah, 2011)

1. Memberi bentuk pada tubuh. Seseorang terlihat tinggi atau pendek karena penyusun
rangkanya.
2. Melindungi organ atau jaringan vital yang ada didalamnya.
3. Menyangga berat badan. Tulang-tulang aksial yang membentuk poros tubuh berfungsi
menyanggah berat badan misalnya tulang leher, tulang vertebra dan tulang pelvis.
4. Tempat melekatnya otot yaitu otot-otot lurik atau otot rangka.
5. Membantu pergerakan. Adanya persendian dan kerjasama dengan otot serta sistem
saraf memungkinkan tulang dapat bergerak.
6. Tempat menyimpan energi, yaitu simpanan lemak yang ada pada sumsum kering.

Gambar 2.1.2.1
Klasifikasi bentuk tulang (Muttaqin,2008).

Secara garis besar, tulang dibagi menjadi enam: a. Tulang panjang (long bone) Terdiri
dari batang tebal panjang yang disebut diafisis dan dua ujung yang disebut efisis. Di sebelah
proksimal dari efisis terdapat metafisis. Di antara epifisis dan metafisis terdapat daerah
tulang rawan yang tumbuh, yang disebut lempeng efisis atau lempeng pertumbuhan. Tulang
panjang tumbuh karena akumulasi tulang rawan di lempeng efisis. Tulang rawan digantikan
oleh sel-sel tulang yang dihasilkan oleh osteoblas, dan tulang yang memanjang. Batang
dibentuk oleh jaringan tulang yang padat. Efisis dibentuk oleh jaringan tulang yang padat.
Efisis dibentuk dari spongi bone (cancellous atau trabecular). Pada akhir tahun remaja
tulang rawan habis, lempeng efisis berfusi, dan tulang berhenti tumbuh. Hormon
pertumbuhan, estrogen, dan testosteron merangsang pertumbuhan tulang panjang. Estrogen,
bersama dengan testosteron, merangsang fusi lempeng epifisis. Batang suatu tulang panjang
memiliki rongga yang disebut kanalis medularis. Kanalis medularis berisi sumsum tulang
(Abdul Wahid, 2013). Contoh tulang panang adalah femur, tibia, fibula, ulna dan humerus
(Muttaqin, 2008).

1. Tulang pendek (short bone)

Bentuknya tidak teratur dan inti dari cansellous (spongy) dengan suatu lapisan luar
dari tulang yang padat (Abdul Wahid,2013). Contohnya: tulang-tulang karpal
(Muttaqin, 2013).

2. Tulang pipih (flat bone)

Misalnya tulang pariental, iga, skapula, dan pelvis (Muttaqin, 2013).

3. Tulang yang tidak beraturan (irreguler bone) sama seperti dengan tulang pendek,
misalnya tulang vertebra (Muttaqin, 2013).
4. Tulang Sesamoid, merupakan tulang kecil yang terletak disekitar tulang yang
berdekatan dengan persendian dan didukung oleh tendon dan jaringan faisal, misalnya
patella (kap lutut) (Abdul Wahid, 2013). Misalnya tulang patela (Muttaqin ,2013).
5. Tulang sutura (sutural bone) Ada di atap tengkorak (Muttaqin, 2013).
Secara fisiologis tungkai bawah terdiri atas kaki dan pergelangan kaki yang berfungsi
sebagai suatu unit yang terpadu serta bersama-sama memberikan dukungan stabil,
propriosepsi, keseimbangan, dan mobilitas. Untuk mempertahankan fungsi tersebut, maka
diperlukan kondisi tulang dan jaringan lunak (otot, lemak, tendon jaringan saraf, dan
pembuluh darah) yang optimal. Tibia atau tulang kering merupakan kerangka utama dari
tungkai bawah dan terletak medial dari fibula atau tulang betis. Pada kondisi klinik perawat
sering menemukan adanya gangguan pada tungai bawah akibat trauma, tumor, infeksi, in dan
kelainan kongenital, serta setelah mendapat intervensi medik (Muttaqin, 2010).
Tulang tungkai bawah terdiri dari tulang pipa yaitu tulang tibia (Os Tibia) dan fibula (Os
Fibula) .Tibia adalah tulang pipa dengan sebuah batang dan dua ujung. Ujung atas
memperlihatkan adanya kondil medial dan lateral. Kondilkondil ini merupakan bagian yang
paling atas dan paling pinggir dari tulang. Permukaan superiornya memperlihatkan dua
dataran permukaan persendian untuk femur dalam formasi sendi lutu. Permukaan-permukaan
tersebut halus dan diatas permukaannya yang terdapat tulang rawan semilunar (setengah
bulan) yang membuat permukaan persendian lebih dalam untuk penerimaan kondil femur
(Wibowo Daniel, 2013).

Bagian-bagian tulang Tibia (Tulang kering) (Pearce Evelyn C, 2013):

a. Epiphysis Proximalis (Ujung atas)

Bagian ini melebar secara transversal dan memiliki permukaan sendi superior pada tiap
condylus, yaitu condylus lateral. Ditengah-tengahnya terdapat suatu peninggian yang
disebut eminenta intercondyloidea.

b. Diaphysis (Corpus)

Pada penampang melintang merupakan segitiga dengan puncaknya menghadap ke muka,


sehingga corpus mempunyai tiga sisi yaitu margo anterior (disebelah muka), margo
medialis (di sebelah medial), dan crista interossea (di sebelah lateral) yang membatasi
facies lateralis, facies posterior dan facies medialis. Facies medialis langsung terdapat
dibawah kulit dan margo anterior disebelah proximal.

c. Epiphysis diatalis (ujung bawah)


Ke arah medial bagian ini kuat menonjol dan disebut maleolus medialis (mata kaki).
Epiphysis distalis mempunyai tiga dataran sendi yang horizontal (facies articularis
inferior) dan di sebelah lateral terdapat cekungan sendi (incisura fibularis).

Gambar 2.3

Tulang Tibia Fibula (Wibowo Daniel,2013).


Tulang Fibula adalah tulang betis yang berada disebelah lateral tungkai bawah. Ujung
atas berbentuk kepala dan bersendi dengan bagian belakang sebelah luar dari tibia tapi tidak
ikut dalam formasi lutut. Ujung bawah memanjang menjadi maleolus lateralis. Seperti tibia,
arteri yang memperdarahinya adalah arteri tibialis posterior. Dan otot-otot yang terdapat pada
daerah betis adalah msukulus gastroknemius dan muskulus soleus pada sisi posterior serta
muskulus peroneus dan tibialis anterior pada sisi anterior. Nervus peroneus dan tibialis juga
mempersarafi daerah sekitar tulang fibula ini (Pearce Evelyn C, 2013).

Pada fibula bagian ujung bawah disebut malleolus lateralis. Disebelah bawah kira-kira
0,5cm disebelah bawah medialits, juga letaknya lebih posterior. Sisi-sisinya yang mendatar
mempunyai permukaan anterior dan posterior yang sempit dan permukaan-permukaan
medialis dan lateralis yang lebih lebar. Permukaan anterior menjadi tempat lekat dari
ligamentum talofibularis anterior. Permukaan lateralis terletak subkutan dan berbentuk
sebagai penonjolan lubang. Pinggir lateral alur tadi merupakan tempat lekat retina kulum.
Permukaan sendi yang berbentuk segitiga pada permukaan medialis bersendi dengan ostalus,
persendian ini merupakan sebagian dari sendi pergelangan kaki. Fosa malleolaris terletak
disebelah belakang permukaan sendi, mempunyai banyak foramina vaskularis dibagian
atasnya. Pinggir inferior malleolus mempunyai aspek yang menjorok kebawah. Disebelah
anterior dari aspek terdapat sebuah insissura yang merupakan tempat lekat dari ligamentum
kalkaneofibularis (Pearce Evelyn C, 2013).

2.1.1.2 Fisiologi Tulang


Fisiologi tulang adalah sebagai berikut :
1. Mendukung jaringan tubuh dan memberikan bentuk tubuh.
2. Melindungi organ tubuh (misalnya jatung, otak, dan paru-paru).
3. Memberikan pergerakan (otot yang berhubungan dengan kontraksi dan
pergerakan).
4. Membentuk sel-sel darah merah didalam sumsum tulang belakang (hema
topoiesis)
5. Menyimpan garam mineral, misalnya kalsium, fosfor. (Abdul Wahid, 2013).
Sedangkan menurut Muttaqin, 2008 Fungsi Utama Tulang adalah :

1. Membentuk rangka tubuh


2. Sebagai pengumpil dan tempat melekat otot
3. Sebagai bagan dari dalam tubuh untuk melindungi dan mempertahankan alat-alat
dalam (seperti otak, sumsum tulang belakang, jantung, dan paru-paru)
4. Sebagai tempat mengatur dan defosit kalsium, fosfat, magnesium, dan garam
5. Ruang di tengah tulang tertentu sebagai organ yang mempunyai fungsi tambahan
lain, yaitu sebagai jaringan hemopoietik untuk memproduksi sel darah merah, sel
darah putih dan trombosit.
2.1.3 Etiologi
Menurut Sugeng (2012), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu :

2.1.3.1 Cedera traumatik


Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh:
1. Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah secara
spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit
di atasnya.
2. Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan,
misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur klavikula.
3. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot kuat.
2.1.3.2 Fraktur Patologik

Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor
dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan berikut:

1. Tumor tulang (jinak atau ganas): pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali dan
prgresif
2. Infeksi seperti osteomielitis: dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat
timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
3. Rakhitis: suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D yang
mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh defisiensi diet,
tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh
karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
4. Secara spontan: disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada
penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.
Menurut Kholid Rosyidi (2013), etiologi fraktur adalah :
1. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.
Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau
miring.
2. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah
dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.

2.1.4 Klasifikasi

Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis, dibagi
menjadi beberapa kelompok (Abdul wahid, 2013) :
2.1.4.1 Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan)
1) Fraktur Tertutup (Closed)
Bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga
fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
2) Fraktur Terbuka (Open/Compound)
Bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar
karena adanya perlukaan kulit.
2.1.4.2 Berdasarkan komplit atau ketidak komplitan fraktur
1) Fraktur Komplit
Bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang
seperti terlihat pada foto.
2) Fraktur Inkomplit
Bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:
a) Hair Line Fracture
Salah satu jenis fraktur tidak lengkap pada tulang. Hal ini disebabkan oleh “stres
yang tidak biasa atau berulang-ulang” dan juga karena berat badan terus menerus
pada pergelangan kaki atau kaki. Hal ini berbeda dengan jenis patah tulang yang
lain, yang biasanya ditandai dengan tanda yang jelas. Hal ini dapat digambarkan
dengan garis sangat kecil atau retak pada tulang, ini biasanya terjadi di tibia,
metatarsal (tulang kaki), dan walau tidak umum kadang bisa terjadi pada tulang
femur. Hairline fracture/stress fracture umum terjadi pada cedera olahraga, dan
kebanyakan kasus berhubungan dengan olahraga.
b) Buckle atau Torus Fracture
Bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa
dibawahnya.
c) Green Stick Fracture
Mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang
panjang.
3) Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma
a) Fraktur Transversal
Fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma
angulasi atau langsung.
b) Fraktur Oblik
Fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan
merupakann akibat trauma angulasi juga.
c) Fraktur Spiral
Fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi.
d) Fraktur Kompresi
Fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah
permukaan lain.
e) Fraktur Avulsi
Fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya
pada tulang.
4) Berdasarkan jumlah garis patah
a) Fraktur Komunitif
Fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.

b) Fraktur Segmental
Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.

c) Fraktur Multiple
Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama.
5) Berdasarkan pergeseran fragmen tulang
a) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser)
Garis patah lengkap tetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih
utuh.

b) Fraktur Displaced (bergeser)


Terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas :

1. Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan


overlapping).
2. Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
3. Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).

6) Fraktur Patologis
Fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
7) Fraktur Kelelahan

Fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.

Klasifikasi Fraktur Tertutup Berdasarkan Keadaan Jaringan Lunak di Sekitar Trauma


(Asikin & Nasir, 2016) :

1) Tingkat 0 : Fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1 : Fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
3) Tingkat 2 : Fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan
pembengkakan.
4) Tingkat 3 : Cedera berat dengan keruskan jaringan lunak yang nyata dan ancaman
sindroma kompartemen.
2.1.5 Patofisiologi (Pathway atau WOC)
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk
menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang diserap tulang,
maka terjadilah trauma pada tulang kon yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya
tinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum pembuluh darah serta saraf dalam konteks,
marrow dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah berdekatan medula tulang (Abdul wahid, 2013).
Fraktur kruris dapat terjadi akibat daya puntar atau puntir yang menyebabkan fraktur
spiral pada kedua tulang kaki dalam tingkat yang berbeda; daya angulasi menimbulkan
fraktur melintang atau oblik pendek, biasanya pada tingkat yang sama (Muttaqin, 2011).
Kondisi klinis fraktur kruris tertutup menimbulkan berbagai masalah keperawatan
kepada klien, meliputi respons nyeri hebat akibat rusaknya jaringan lunak dan kompresi saraf,
risiko tinggi cedera jaringan akibat kerusakan vaskular dengan pembengkakan lokal yang
menyebabkan sindrom kompartemen yang sering terjadi pada proksimal tibia, dan hambatan
mobilitas fisik sekunder akibat kerusakan fragmen tulang. Pada beberapa keadaan, perawat
sering melakukan asuhan keperawatan klien fraktur kruris tertutup. Fraktur kruris tertutup
menyebabkan terjadinya mau-union, non-union, dan delayed union (Muttaqin, 2011).
Jaringan segera kebagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis
terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi dan leukosit, dan
infiltrasi sel darah putih. Inilah yang merupakan dasar dan proses penyembuhan tulang
nantinya (Abdul wahid, 2013).
Intervensi medis dengan penatalaksanaan pemasangan fiksasi interna menimbulkan
masalah risiko tinggi infeksi pasca-bedah, nyeri akibat trauma jaringan lunak, dampak
psikologis ansietas sekunder akibat rencana bedah dan prognosis penyakit serta pemenuhan
informasi(Muttaqin,2011).
WOC Fraktur Tibia Terbuka

Patologis (penurunan densitas tulang Trauma pada ekstremitas bagian


Stress/ tekanan tulang
karena tumor, osteoporosis bawah

Kekuatan daya trauma lebih besar dari pada


kemampuan daya menghindari tulang tibia

Fraktur tibia

Fraktur tibia terbuka

B1 B2 B3 B4 B5 B6

Penekanan pada
Vena/ arteri Fraktur Vena /arteri Penurunan Luka terbuka Perubahan letak
Luka terbuka bagian yang
terputus terputus metabolisme fragmen/
menonjol
v deformitas
Kerusakan bagian-
Kuman
Perdarahan bagian yang lunak Rasa mual dan
Aliran darah meningkat perdarahan masuk ke Sirkulasi perifer
Risiko perdarahan muntah Kelemahan/kehila
dalam luka menurun
ngan fungsi gerak
Terputusnya
Suplai O2 oleh
Tekanan pembuluh kontinuitas jaringan Kehilangan volume Tidak nafsu
darah menurun Fiksasi eksternal
cairan iskemia
darah meningkat makan
Risiko
Jaringan syaraf infeksi Traksi/gips
Kebutuhan O2 rusak/fungsi Risiko
menurun Produksi cairan ekstra Deficit Nutrisi Nekrosis jaringan
menurun ketidakseimbangan
sel meningkat cairan Gerak terbatas

Dyspnea, Ansietas Implus nyeri dibawa Konservatif


Edema ke otak imobilitas

Gangguan
Pola Napas Tidak Gangguan
Otak menterjemahkan Integritas
Efektif Perfusi Perifer mobilitas fisik
implus nyeri kulit/jarinagn
Tidak Efektif

Nyeri Akut
2.1.6 Manifestasi Klinis (Tanda dan Gejala)

Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan

ekstremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna (Smeltzer, 2013). Gejala

umum fraktur menurut Reeves (2011) adalah rasa sakit, pembengkakan, dan kelainan bentuk.

Menurut Asikin & Nasir (2016) tanda dan gejala fraktur:

2.1.6.1 Deformitas

2.1.6.2 Bengkak/edema

2.1.6.3 Ekimosis (Memar)

2.1.6.4 Spasme otot

2.1.6.5 Nyeri

2.1.6.6 Kurang/hilang sensasi

2.1.6.7 Krepitasi

2.1.6.8 Pergerakan abnormal

Menurut Lukman & Ningsih (2012) tanda dan gejala fraktur adalah sebagai berikut:

1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di imobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang
untuk meminimalkan gerakan antarfragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian yang tak dapat digunakan dan cenderung bergerak
secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti normalnya.
Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat
maupun teraba) ekstremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan ekstremitas
normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya otot.
3. Pada fraktur tulang panjang , terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah temoat fraktur. Fragmen sering saling
melingkupi satu sama lain sampai 2,5-5 cm (1-2 inchi).
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus
yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji krepitus dapat
mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa jam atau
hari setelah cedera.
2.1.7 Komplikasi
Menurut Abdul Wahid (2013) Komplikasi Fraktur dibagi menjadi:
2.1.7.1 Komplikasi Awal
2.1.7.1.1 Kerusakan Vaskular
Pecahnya arteri karena trauma ditandai dengan nadi tidak teraba, CRT menurun,
sianosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan ekstremitas teraba dingin yang disebabkan
oleh tindakan emergencysplinting, perubahan posisi bagian yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.

2.1.7.1.2 Sindrom Kompartemen

Sindrom kompartemen merupakan komplikasi serius yang terjadi karena otot, tulang,
saraf, dan pembuluh darah terjebak dalam jaringan parut. Kondisi ini disebabkan oleh edema
atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu, juga disebabkan
oleh adanya tekananan dari luar, misalnya bidai dan pembebatan yang terlalu kuat. Tanda
khas untuk sindrom kompartemen adalah 5P, yaitu: pain (nyeri lokal), paralysis (kelumpuhan
tungkai), pallor (pucat bagian distal), parestesia (tidak ada sensasi) dan pulsesessness (tidak
ada denyut nadi, perubahan nadi, perfusi yang tidak baik, dan CRT >3 detik pada bagian
distal kaki).
2.1.7.1.3 Fat Embolism Syndrome (FES)
FES merupakan komplikasi serius yang sering kali terjadi pada kasus fraktur tulang
panjang. FES terjadi karena sel lemak yang dihasilkan sumsum tulang kuning masuk ke
aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan
gangguan pernafasan, takikardia, hipertensi, takipnea, dan demam.
2.1.7.1.4 Infeksi

Sistem pertahanan tubuh akan rusak jika terdapat trauma pada jaringan. Pada trauma
ortopedik, infeksi dimulai pada kulit (superfisial) dan pada lapisan kulit bagian dalam.
Kondisi ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka. Selain itu, juga dapat disebabkan oleh
penggunaan bahan lain dalam pembedahan, misalnya pin dan plat.
2.1.7.1.5 Avaskular Nekrosis (AVN)

AVN terjadi karena terganggunya aliran darah ke tulang yang dapat menyebabkan
nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s ischemia.

2.1.7.1.6 Syok
Syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler
yang dapat menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
2.1.7.2 Komplikasi dalam Waktu Lama
2.1.7.2.1 Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu
yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Hal ini disebabkan oleh penurunan suplai darah
ke tulang, kerusakan jaringan lunak yang berat, atau perioteum yang robek.
2.1.7.2.2 Non-Union
Non-Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan, jika tidak dilakukan intervensi.
Non-Union ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang
membentuk celah antarfraktur atau pseudoartrosis.
2.1.7.2.3 Mal-Union
Mal-Union merupakan penggabungan fragmen tulang dalam posisi yang tidak
memuaskan (angulasi, rotasi, atau pemendekan). Pada Mal-Union dilakukan pembedahan dan
remobilisasi yang baik.
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang
2.1.8.1 Pemeriksaan Khusus
2.1.8.1.1 Sinar X
Sinar X diperlukan untuk pengkajian paripurna struktur yang sedang diperiksa. Sinar
X korteks tulang dapat menunjukkan adanya pelebaran, penyempitan, dan tanda iregularitas.
2.1.8.1.2 CT Scan (Computed Tomografi Scan)
CT Scan digunakan untuk mengidentifikasi lokasi dan panjangnya patah tulang
didaerah yang sulit dievaluasi, seperti asetabulum. Pemeriksaan dilakukan bisa dengan atau
tanpa kontras dan berlangsung sekitar satu jam.

2.1.8.1.3 MRI (Magnetic Resonance Imaging)


MRI adalah teknik pencitraan khusus, non invasif yang menggunakan medan magnet,
gelombang radio, dan komputer untuk memperlihatkan abnormalitas, misal tumor atau
penyempitan jaringan lunak.
2.1.8.1.4 Angiografi
Angiografi adalah pemeriksaan sistem arteri. Pemeriksaan ini sangat baik untuk
mengkaji perfusi arteri dan bisa digunakan untuk indikasi tindakan amputasi yang akan
dilaksanakan. Perawatan setelah dilakukan prosedur yaitu, klien dibiarkan berbaring selama
12-24 jam untuk mencegah perdarahan pada tempat penusukan arteri.

2.1.8.1.5 Mielografi
Suatu pemeriksaan dengan menyuntikkan bahan kontras kedalam rongga subarakhnoid
spinal lumbal, dilakukan untuk melihat adanya herniasi diskus, stenosis spinal (penyempitan
kanalis spinalis) atau adanya tumor.

2.1.8.1.6 Artroskopi
Merupakan prosedur endoskopi yang memungkinkan pandangan langsung kedalam
sendi. Pemeriksaan ini dilakukan dikamar operasi, dan memerlukan anastesi lokal atau umum
sebelumnya.

2.1.8.1.7 Skintigrafi Tulang (Pemindai Tulang)


Menggambarkan derajat sejauh mana matriks tulang “mengambil” isotop radioaktif khusus
tulang yang diinjeksikan kedalam sistem tersebut. Pemindai dilakukan empat sampai enam
jam setelah isotop diinjeksikan.
2.1.8.1.8 Termografi
Mengukur derajat pancaran panas dari permukaan kulit. Kondisi inflmasi seperti artitis
dan infeksi, neoplasma harus dievaluasi.
2.1.8.1.9 Elektromiografi
Memberi informasi mengenai potensial listrik otot dan saraf yang menyarafi.
Tujuannya adalah menentukan abnormalitas fungsi unit motor end. (Lukman & Ningsih,
2012).
2.1.8.1.2 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap meliputi kadar hemoglobin dan hitung sel darah putih.
Pemeriksaan darah dan urine dapat memberikan informasi penyakit Paget, infeksi, serta
acuan pemberian tetapi antikoagulan. Pemeriksaan kimia darah memberikan data mengenai
berbagai macam kondisi muskuloskeletal. Kadar kalsium serum berubah pada osteomalasia,
fungsi paratiroidm penyakit Paget, tumor tulang metastatis, dan pada imobilisasi lama
(Lukman & Ningsih, 2012).
2.1.9 Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan kedaruratan menurut Asikin & Nasir (2016) :
1. Segera setelah cedera, klien berada dalam keadaan bingung, tidak menyadari adanya
fraktur, dan berusaha berjalan dengan tungkai yang patah. Oleh karena itu, jika
dicurigai adanya fraktur, maka penting untuk segera imobilisasi bagian tubuh
sebelum klien dipindahkan.
2. Jika klien yang mengalami cedera harus dipindahkan dari kendaraan sebelum dapat
dilakukan pembidaian, maka ekstremitas harus disangga pada bagian atas dan bagian
bawah tempat terjadinya fraktur untuk mencegah gerakan rotasi maupun angulasi.
3. Gerakan fragmen patah tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan lunak,
dan perdarahan lebih lanjut.
4. Nyeri sehubungan dengan fraktur merupakan hal yang sangat berat dan dapat
dikurangi dengan menghindari gerakan fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur.
Pembidaian yang memadai sangat penting untuk mencegah kerusakan jaringan lunak
dan fragmen tulang.
5. Area yang cedera di imobilisasi dengan memasang bidai sementara dengan bantalan
yang memadai, yang kemudian di bebat dengan kencang.
6. Imobilisasi tulang panjang ekstremitas bawah juga dapat dilakukan dengan
membebat kedua tungkai bersama, dengan ekstremitas yang sehat bertindak sebagai
bidai bagi ekstremitas yang cedera. Pada cedera lengan dapat dibebatkan ke dada,
atau lengan bawah yang cedera yang digantung pada sling.
7. Peredaran darah pada bagian distal dari cedera harus dikaji untuk menentukan
kecukupan perfusi jaringan perifer.
8. Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengan pembalut bersih (steril) untuk mencegah
kontaminasi jaringan yang lebih dalam. Tidak boleh melakukan reduksi fraktur,
bahkan jika terdapat fragmen tulang yang keluar melalui luka.
9. Pada bagian gawat darurat, klien dievaluasi dengan lengkap dan pakaian dilepas
dengan lembut. Pertama, dilakukan pada bagian tubuh yang sehat. Setelah itu,
dilanjutkan ke bagian sisi yang cedera. Pakaian klien harus dipotong pada sisi yang
cedera. Pada bagian ekstremitas, sebisa mungkin tidak boleh digerakkan untuk
mencegah kerusakan lebih lanjut.
Menurut buku Arif Muttaqin (2016) Ada 2 penatalaksanaan medis, yaitu:
1. Penatalaksaan Konservatif
2. Proteksi adalag proteksi fraktur terutama untuk mencegah trauma lebih lanjut dengan
cara memberikan sling (mitela) pada anggota gerak atas atau tongkat pada anggota
gerak. Imobilisasi dengan bidai ekstren. Imobilisasi pada fraktur dengan bidai
ekstrena hanya memberikan imobilisasi. Biasanya menggunakan gips atau dengan
macam-macam bidai dari plastik atau metal.
3. Reduksi tertutup dengan menggunakan manipulasi dan imobilisasi eksterna yang
menggunakan gips. Reduksi tertutup yang diartikan manipulasi dilakukan dengan
pembiusan umum dan lokal. Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan counter
traksi. Tindakan ini mempunyai tujuan utama, yaitu beberapa reduksi yang bertahap
dan imbolisasi.
4. Penatalaksanaan Pembedahan
5. Penatalaksaan ini sangat penting diketahui oleh perawat, jika ada keputusan bahwa
pasien diindikasikan untuk menjalani pembedahan, perawat mulai berperan dalam
asuhan keperawatan tersebut.
6. Reduksi tertutup dengan fiksasi eksternal atau fiksasi perkutan dengan K-Wire.
Reduksi terbuka dan fiksasi internal dan eksternal tulang yaitu Open Reduction and
Internal Fixation (ORIF) atau Reduksi Terbuka dengan Fiksasi Internal.
7. ORIF akan mengimobilisasi fraktur dengan melakukan pembedahan untuk
memasukan paku, sekrup atau pen kedalam tempat fraktur untuk memfiksasi bagian-
bagian tulang pada fraktur secara bersamaan. Fiksasi internal sering digunakan untuk
merawat fraktur pada tulang pinggul yang sering terjadi pada orangtua.
8. Open Reduction and Eksternal Fixation (OREF) atau Reduksi Terbuka dengan
Fiksasi Eksternal. Tindakan ini merupakan pilihan bagi sebagian besar fraktur. Fiksasi
eskternal dapat menggunakan konselosascrew atau dengan metilmetakrilat (akrilik
gigi) atau fiksasi eksterna dengan jenis-jenis lain seperti gips.
Menurut Brunner & Suddarth (2015) penatalaksaan komplikasi pada pasien fraktur adalah:

1. Terapi syok terdiri dari menstabilkan fraktur untuk mencegah hemoragi lebih lanjut,
mengembalikan volume dan sirkulasi darah, meredakan nyeri pasien, memberikan
imobilisasi yang tepat, dan melindungi pasien dari cedera lebih lanjut dan dari
komplikasi lain.
2. Pencegahan dan penatalaksanaan embolisme lemak mencakup mengimobilisasi
fraktur dengan cepat, menopang tulang yang mengalami fraktur ketika berpindah dan
memperbaiki posisi secara tepat, dan mempertahankan keseimbang cairan dan
eletrolit.
3. Sindrom kompartemen ditangani dengan mengendalikan pembengkakan dengan
meninggikan ekstremitas setinggi jantung atau dengan melepaskan alat restriktif
(balutan dan gips). Fasiotomi (dekompresi bedah dengan eksisi fasia) mungkin
diperlukan untuk meredaka fasia otot yang mengalami kontriksi.
4. Fraktur yang tidak menyatu (non-union) (kegagalan ujung tulang fraktur untuk
menyatu) diterapi dengan fiksasi internal, tandur tulang (osteogenesis, osteokonduksi,
osteoinduksi), stimulasi tulang elektrik, atau kombinasi dari semua ini.
5. Penatalaksanaan reaksi terhadap alat fiksasi internal mencakup perlindungan dari
refraktur akibat osteoporosis, perubahan struktur tulang, dan trauma.
6. Penatalaksanaan CRPS mencakup upaya meninggikan ekstremitas; pereda nyeri,
latihan rentang pergerakan; dan membantu pasien mengatasi nyeri kronis, atrofi otot
akibat tidak digunakan (disuse atrophy) dan osteoporosis. Hindari memeriksa tekanan
darah atau melakukan punki vena di ekstremitas yang terganggu.
7. Komplikasi lain diterapi sesuai indikasi.
Penatalaksanaan fraktur terbuka (Brunner & Suddarth, 2015):
1. Sasaran penatalaksanaan adalah untuk mencegah infeksi luka, jaringan lunak, dan
tulang serta untuk meningkatkan pemulihan tulang dan jaringan lunak. Pada kasus
fraktur terbuka, terdapat risiko osteomielitis, tetanus, dan gas ganggren.
2. Berikan antibiotik IV dengan segera saat pasien tiba di rumah sakit bersama dengan
tetanus toksoid jika diperlukan.
3. Lakukan irigasi luka dan debridemen.

4. Tinggikan ekstremitas untuk meminimalkan edema.

5. Kaji status neurovaskular dengan sering.


6. Ukur suhu tubuh pasien dalam interval teratur, dan pantau tanda-tanda infeksi.
Menurut buku Brunner & Suddarth (2015), Penatalaksanaan fraktur pada tempat spesifik
adalah: a. Tibia dan Fibula

1. Fraktur Tibia dan Fibula (fraktur paling sering terjadi dibawah lutut) cenderung
terjadi akibat pukulan langsung, jatuh dengan posisi tungkai fleksi, atau akibat
gerakan memuntir yang keras.
2. Ajarkan tentang langkah perawatan long leg walking cast atau patella-tendon-
bearing cast.
3. Ajarkan dan bantu pasien untuk menopang sebagian berat badannya, biasanya dalam
7 sampai 10 hari.
4. Ajarkan pasien mengenai perawatan gips atau short leg brace (dalam 3 sampai 4
minggu), yang memungkinkan gerakan lutut.
5. Ajarkan pasien tentang perawatan traksi skeletal, jika dapat diterapkan. Dorong
pasien untuk melakukan latihan pinggul, kaki, dan lutut dalam batasan alat
imobilisasi.
6. Instruksikan pasien untuk mulai menopang berat badannya ketika sudah
diprogramkan (biasanya sekitar 4 sampai 8 minggu).
7. Instruksikan pasien untuk meninggikan esktremitas guna mengontrol edema.
8. Lakukan evaluasi neurovaskular kontinu.
2.2 Manajemen Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian Keperawatan
2.2.1.1 Identitas Pasien
Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pekerjaan, pendidikan,
status perkawinan, alamat, tanggal MRS, dan diagnosa medis.
2.2.1.2 Riwayat Kesehatan/Perawatan
1) Keluhan Utama
Gejala yang sering muncul menyebabkan penderita datang ke tempat pelayanan
kesehatan adalah nyeri pada lesi yang timbul dan gatal-gatal pada daerah yang terkena
pada fase-fase awal baik pada herpes zoster maupun simpleks.
2) Riwayat Penyakit Sekarang
Penderita merasakan nyeri yang hebat, terutama pada area kulit yang mengalami
peradangan berat dan vesikulasi yang hebat, selain itu juga terdapat lesi/vesikel
perkelompok dan penderita juga mengalami demam.
3) Riwayat Penyakit Sebelumnya
Diderita kembali oleh pasien yang pernah mengalami penyakit herpes zoster maupun
simpleks atau memiliki riwayat penyakit seperti ini.
4) Riwayat Penyakit Keluarga
Tanyakan kepada penderita ada atau tidak anggota keluarga atau teman dekat yang
terinfeksi virus ini.
2.2.1.3 Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum
Pada pemeriksaan keadaan umum, kesadaran klien biasanya baik atau compos mentis
(CM) dan umumnya penderita datang dengan keadaan sakit dan gelisah atau cemas
akibat adanya kerusakan integritas kulit yang dialami.
2) B1 (Breathing)
Dapat ditemukan peningkatan frekuensi nafas atau masih dalam batas normal.
3) B2 (Bleeding)
Tekanan darah biasanya mengalami peningkatan atau dalam batas normal tidak ada
bunyi jantung tambahan dan tidak ada kelainan katup.
4) B3 (Brain)
Kaji adanya hilang gerakan atau sensasi, spasme otot, terlihat kelemahan/kehilangan
fungsi. Pergerakan mata atau kejelasan penglihatan, dilatasi pupil. Agitasi b
erhubungan denan nyeri atau ansietas.
5) B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine dengan intake cairan klien. Perubahan pola kemih
seperti inkontinesia urin, disuria, distensi kandung kemih, warna dan bau urin, dan
kebersihan.
6) B5 (Bowel)
Kaji adanya konstipasi, konsisten feses, frekuensi eliminasi, auskultasi bising usus,
anoreksia, adanya anoreksia abdomen, dan nyeri tekan abdomen.
7) B6 (Bone)
Aktivitas klien biasanya mengalami perubahan. Kaji adannya berat tiba-tiba mungkin
teralokasi pada area jaringan dapat berkurang pada imobilisasi, kontraktur atrofi
otot ,laserasi kulit dan perubahan warna.

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


2.2.2.1 Nyeri akut berhubungan dengan pergeseran posisi tulang (kode D.0077 hal. 172)
2.2.2.2 Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan pemasangan fiksasi interna (kode
D.0054 hal. 124)
2.2.2.3 Risiko infeksi berhubungan dengan insisi pembedahan dan pemasangan fiksasi
interna (kode D.0142 hal. 304)
2.2.3 Intervensi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria Hasil) Intervensi
Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan Manajemen Nyeri (kode I.08238 hal. 201)
dengan pergeseran posisi tindakan keperawatan Observasi
tulang (kode D.0077 hal. selama 1x7 jam masalah 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
172) nyeri akut dapat teratasi 2. Identifikasi skala nyeri
Kriteria Hasil : 3. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
1. Melaporkan nyeri Terapeutik
terkontrol 5 1. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
2. Kemampuan Edukasi
mengenali onset 1. Jelaskan strategi meredakan nyeri
nyeri 5 2. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
3. Kemampuan 3. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
mengenali Kolaborasi
penyebab nyeri 5 1. Kolaborasi pemberian analgetik
4. Kemampuan
menggunakan
teknik
nonfarmakologi 5
Gangguan mobilitas fisik Setelah dilakukan Dukungan Mobilisasi (kode I.05173 hal. 30)
berhubungan dengan tindakan keperawatan Observasi
pemasangan fiksasi selama 1x7 jam masalah 1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
interna (kode D.0054 gangguan mobilitas fisik 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
hal. 124) dapat teratasi 3. Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi
Kriteria Hasil : Terapeutik
1. Kemampuan 1. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu
mobilitas pasien 2. Fasilitasi melakukan pergerakan
meningkat 3. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan pergerakan
2. Pasien menjadi Edukasi
tidak takut untuk 1. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
bergerak 2. Anjurkan melakukan mobilisasi dini
3. Pasien mampu 3. Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan
beraktivitas
secara bertahap
4. Pasien mampu
menggunakan alat
bantu gerak
5. Pertahankan tirah
baring dan
melatih tangan
serta ekstremitas
sakit dengan
lembut
6. Atur posisi
elevasi tungkai
7. Latih dan bantu
ROM
Risiko infeksi Setelah dilakukan Pencegahan Infeksi (kode. I.14539 hal. 278)
berhubungan dengan tindakan keperawatan Observasi
insisi pembedahan dan selama 1x7 jam masalah 1. Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
pemasangan fiksasi risiko infeksi dapat Terapeutik
interna (kode D.0142 teratasi 1. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan
hal. 304) Kriteria Hasil : pasien
1. Kemerahan 2. Pertahankan teknik aseptik pada pasien beresiko tinggi
membaik 5 Edukasi
2. Nyeri membaik 5 1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
3. Bengkak 2. Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi
membaik 5 3. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
4. Anjurkan meningkatkan asupan cairan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian imunisasi
Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
perawatuntuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatus
kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan (Potter & Perry,
2011).

2.2.5 Evaluasi Keperawatan


Menurut Craven dan Hirnle (2011) evaluasi didefenisikan sebagai keputusan
dariefektifitas asuhan keperawatan antara dasar tujuan keperawatan klien yang telah
ditetapkandengan respon prilaku klien yang tampil.
Tujuan evaluasi antara lain :
1) Untuk menentukan perkembangan kesehatan klien. 
2) Untuk menilai efektifitas, efisiensi, dan produktifitas dari tindakan keperawatan yang
telah diberikan.
3) Untuk menilai pelaksanaan asuhan keperawatan.
4) Mendapatkan umpan balik
5) Sebagai tanggung jawab dan tanggunggugat dalam pelaksanaan pelayanan
keperawatan.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
Berdasarkan pengkajian yang dilakukan pada hari Senin, 10 Desember 2020 pukul 12.00
WIB didapatkan data sebagai berikut :
3.1.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. W
Umur : 45 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku/Bangsa : Dayak/Indonesia
Agama : Kristen
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : SMA
Status Perkawinan : Kawin
Alamat : Jl. Raden Saleh No. 17
Tgl MRS : 2 Desember 2020/pukul 09.00 WIB
Diagnosa Medis : Open Fraktur Tibia

3.1.2 Riwayat Kesehatan/Perawatan


3.1.2.1 Keluhan Utama
Pasien mengatakan mengeluh “nyeri pada tungkai kaki kanannya”, nyeri bertambah
saat digerakkan, nyeri seperti tertusuk-tusuk pada tungkai kaki kanannya, skala nyeri
6, nyeri dirasakan terus menerus dengan durasi 5-10 menit.
3.1.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pada hari Kamis, 10 Desember 2020 pasien mengatakan mengeluh nyeri pada tungkai
kaki kanannya setelah mengalami kecelakaan sepeda motor, sehingga membuat tulang
tibia pada kaki kanannya patah dan mengakibatkan tulangnya keluar merobek kulit.
Pasien merasa khawatir dengan keadaannya. Maka pada hari itu juga Senin, 10
Desember 2020, pasien datang ke rumah sakit dengan diantar oleh keluarganya pada
pukul 09.00 WIB, maka dilakukan pengkajian dengan didapatkan hasil pasien
mengatakan mengeluh nyeri pada tungkai kaki kanannya, nyeri bertambah saat
digerakkan, nyeri seperti tertusuk-tusuk pada tungkai kaki kanannya, skala nyeri 6,
nyeri dirasakan terus menerus dengan durasi 5-10 menit, tampak panjang luka ± 9 cm,
lebar luka ± 11 cm dan kedalaman luka ± 5 cm. Dengan TTV : TD : 120/90 mmHg, N
: 84x/menit, RR : 20x/menit, S : 37,5°C. Terapi yang diberikan yaitu terpasang infus
RL 0,9 % 20 tpm (IV), injeksi cefotaxime 2 x 1 gram (IV), injeksi ketorolac 3 x 1 mg
(IV), injeksi actrapid 3 x 1 gram (IV), amoxicillin 500 mg 3 x/hari (Oral),
paracetamol 50 mg/6 jam (Oral). Pasien pun disarankan oleh dokter untuk dirawat
inap.
3.1.2.3 Riwayat Penyakit Sebelumnya (riwayat penyakit dan riwayat operasi)
Pasien mengatakan tidak memiliki riwayat penyakit sebelumnya seperti asma,
jantung, dan hipertensi.
3.1.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan dalam keluarganya tidak mempunyai riwayat penyakit keturunan
seperti DM, hipertensi, jantung, dan penyakit menular seperti TBC, HIV/AIDS,
hepatitis.

Genogram Keluarga

Keterangan :
: Hubungan keluarga
: Tinggal serumah
: Laki-laki
: Perempuan
: Klien

3.1.3 Pemeriksaan Fisik


3.1.3.1 Keadaan Umum
Pasien tampak kesakitan, pasien tampak gelisah dan lemah, kesadaran pasien compos
mentis, pasien tampak berbaring dengan posisi terlentang ditempat tidur, terpasang
infus RL 0,9 % 20 tpm (IV) ditangan sebelah kiri, pasien tampak tidak mengenakan
baju dan hanya menggunakan selimut.
3.1.3.2 Status Mental
Tingkat kesadaran pasien adalah compos mentis, ekspresi wajah pasien tampak
kesakitan, bentuk badan pasien yaitu sedang (mesomorph), pasien berbaring dengan
posisi terlentang, pasien sangat jelas berkomunikasi atau mudah dimengerti. Fungsi
kognitif pasien terhadap orientasi waktu, orang dan tempat yaitu pasien baik, pasien
dapat mengetahui saat pengkajian pada siang hari serta mengenali keluarga dan
perawat yang bertugas dan pasien mengetahui bahwa ia sedang dirawat di rumah
sakit. Insight pasien juga baik dan untuk mekanisme pertahanan diri pasien adaptif.
Keluhan lainnya : Tidak ada
3.1.3.3 Tanda-tanda Vital
Pada TTV didapatkan hasil : TD : 130/90 mmHg, N : 80x/menit, RR : 24x/menit dan
S : 36,7℃.
3.1.3.4 Pernapasan (Breathing)
Bentuk dada klien teraba simetris, klien tidak memiliki kebiasaan merokok, klien
tidak mengalami batuk, tidak ada sputum, tidak sianosis, terdapat nyeri, pasien tidak
tampak sesak, type pernapasanan klien tampak menggunakan dada, irama pernapasan
teratur dan suara nafas klien vesikuler, tidak ada suara nafas tambahan.
Keluhan lainnya : Tidak ada
Masalah Keperawatan :
3.1.3.5 Cardiovasculer (Bleeding)
Pada sistem kardiovaskuler (bleeding) tidak didapatkan masalah. Untuk CRT atau
capillary refill time pada pasien didapatkan hasilnya kurang dari 2 detik. Ictus cordis
pasien tidak terlihat, suara jantung pasien pun terdengar normal (S1 dan S2 tunggal)
dengan bunyi lub-dub. Nadi teraba kuat dan teratur, akral hangat.
Keluhan lainnya : Tidak ada
Masalah Keperawatan : Tidak ada
3.1.3.6 Persyarafan (Brain)
Pada sistem persyarafan (brain) nilai GCS pasien untuk E adalah 4 dengan hasil klien
dapat membuka mata secara spontan untuk V adalah 5 dengan hasil orientasi baik, M
klien bernilai 6 dengan hasil dapat mengikuti perintah dan dengan data tersebut
didapatkan total nilai GSC adalah 15 (compos mentis). Pupil klien isokor dengan
refleks cahaya untuk kanan dan kiri adalah positif. Penilaian fungsi saraf kranial:
syaraf kranial I (olvaktoris): pada pemeriksaan ini menggunakan minyak kayu putih,
klien mampu mengenali bau minyak kayu putih tersebut. Syaraf kranial II (optikus):
klien mampu melihat orang-orang disekitarnya dengan baik. Syaraf kranial III
(okulomotorius): klien mampu membuka mata dan menutup mata. Syaraf kranial IV
(trochlear): klien mampu menggerakan bola mata dengan baik. Syaraf kranial V
(trigemimus): klien dapat mengunyah dengan baik. Syaraf kranial VI (abdusen): klien
dapat menggerakan bola matanya kesamping, kanan, dan kiri. Syaraf kranial VII
(fasialis): klien mampu mengerutkan dahi dan mengangkat alis secara simetris. Syaraf
kranial VIII (vestibulokokhlearis): klien mampu mendengarkan kata-kata yang
dibicarakan dengan jelas. Syaraf kranial IX (glosofaringeus): klien mampu
membedakan rasa pahit, manis, asam, dan asin. Syaraf kranial X (vagus): reflek
menelan baik. Syaraf kranial XI (assesrious): klien mampu menggerakan lehernya
dengan baik, klien mampu menoleh kekiri dan kekanan. Syaraf kranial XII
(hipoglosus): klien mampu menggerakan lidahnya dengan baik. Pada uji koordinasi
ekstremitas atas jari ke jari positif, jari ke hidung positif, ekstremitas bawah tumit ke
jempul kaki negatif, dan uji kestabilan tubuh negatif.
Keluhan lainnya : Pasien mengeluh nyeri pada kaki kanannya, Nyeri bertambah saat
digerakkan, Seperti tertusuk-tusuk , Pada tungkai kaki kanannya, lama nyeri 5-10
menit secara terus menerus
Masalah Keperawatan : Nyeri Akut
3.1.3.7 Eliminasi Uri (Bladder)
Pada sistem eliminasi uri (bladder) didapatkan masalah. Pasien memproduksi urin 250
ml 3-4 x 24 jam (normal), dengan warna kuning, bau khas amonia, pasien tidak
mengalami masalah atau lancar, tidak ada menetes, tidak ada onkotinen, tidak ada
oliguria, tidak ada nyeri, tidak ada retensi, tidak ada poliguri, tidak ada panas, tidak
ada hematuria, tidak terpasang kateter dan tidak pernah melakukan cytostomi.
Keluhan lainnya : Tidak ada
Masalah Keperawatan : Tidak ada
3.1.3.8 Eliminasi Alvi (Bowel)
Pada sistem eliminasi alvi (bowel) didapatkan hasil bibir pasien tampak lembab dan
tidak ada lesi, gigi pasien tampak lengkap dan putih bersih, pada gusi tidak
didapatkan adanya peradangan dan perdarahan, lidah merah muda, tidak ada
perdarahan di mukosa, pada tonsil tidak terjadi peradangan, rektum tidak ada kelainan
dan pasien juga tidak menderita haemoroid. Saat pengkajian pasien mengatakan sudah
ada BAB 1 kali dengan konsistensi lunak, warna kuning dan bau khas, serta saat BAB
pun tidak ada keluhan.
Keluhan lainnya : Tidak ada
Masalah Keperawatan : Tidak ada
3.1.3.9 Tulang – Otot – Integumen (Bone)
Pada sistem tulang-otot-integumen (bone) pasien mampu untuk menggerakkan
sendinya secara terbatas, tidak terdapat parese, paralise, hemiparese, krepitasi,
flasiditas, dan spastisitas. Tampak bengkak disertai gatal pada area luka, tampak
kemerahan dan meradang disekitar luka. Ukuran otot simetris, uji kekuatan otot
ekstremitas atas 5/5 dan ekstremitas bawah 2/5. Deformitas pada kaki kanan,
peradangan diarea fraktur, dan dibagian tungkai kaki kanan terdapat perlukaan dan
patah tulang. Pasien memiliki tulang belakang yang normal.
Keluhan lainnya : Tidak ada
Masalah Keperawatan : Gangguan Mobilitas Fisik
Risiko Infeksi
3.1.3.10 Kulit-kulit Rambut
Pasien tidak memiliki riwayat alergi baik pada obat, makanan, dan kosmetik. Suhu
kulit pasien hangat, warna kulitnya normal, turgor kulit baik. Pada kulit pasien tidak
terdapat jaringan parut, macula, pustula, nodula, vesikula, papula dan ulkus. Tekstur
rambutnya lurus dan pendek, berwarna hitam dan terdistribusi secara merata dan
bentuk kuku pasien juga simetris.
Masalah Keperawatan : Tidak ada
3.1.3.11 Sistem Penginderaan
Sistem penginderaan meliputi mata, telinga dan hidung, hasil pemeriksaannya adalah
fungsi penglihatan pasien normal, bola mata bergerak normal, visus mata kanan dan
kiri tidak dikaji, sklera berwarna putih atau normal dan kornea tampak bening.
Telinga pasien tidak mengalami gangguan. Bentuk hidung pasien pun tampak
simetris, tidak terdapat adanya lesi, patensi, obstruksi, nyeri tekan sinus, dan
transluminasi. Septum nasal juga tidak mengalami deviasi, dan tidak terdapat polip
pada hidung.
Masalah Keperawatan : Tidak ada
3.1.3.12 Leher dan Kelenjar Limfe
Pada pemeriksaan daerah leher dan kelenjar limfe, tidak ditemukan adanya massa,
tidak ada jaringan parut, kelenjar limfe dan tiroid tidak teraba, dan mobilitas leher
pasien bergerak secara bebas.
Masalah Keperawatan : Tidak ada
3.1.3.13 Sistem Reproduksi
Pada sistem reproduksi tidak dikaji.
Keluhan lainnya : Tidak ada
Masalah Keperawatan : Tidak ada
3.1.4 Pola Fungsi Kesehatan
3.1.4.1 Persepsi Terhadap Kesehatan dan Penyakit
Pasien mengatakan menerima keadaannya sekarang, pasien ingin lekas sembuh dan
dapat kembali bekerja.
3.1.4.2 Nutrisida Metabolisme
Pasien tidak ada program diet biasa maupun khusus, pasien tidak merasa mual, tidak
ada muntah, tidak mengalami kesukaran menelan dan tidak ada merasa haus.
TB : 163 cm
BB sekarang : 54 kg
BB sebelum sakit : 60 kg
IMT = BB
(TB)²
= 54
(163)²
= 20,3 ( normal)
Keluhan lainnya : Tidak ada
Pola Makan Sehari-hari Sesudah Sakit Sebelum Sakit
Frekuensi/hari 3 kali 3 kali
Porsi 1/2 porsi 1 porsi
Nafsu makan Menurun Baik
Jenis Makanan Bubur saring Nasi, sayur, daging,
buah
Jenis Minuman Air putih Air putih, kopi
Jumlah minuman/cc/24 800 cc 1200 cc
jam
Kebiasaan makan Pagi, siang, malam Pagi, siang, malam
Keluhan/masalah - -
Masalah Keperawatan :
3.1.4.3 Pola Istirahat dan Tidur
Pasien mengatakan bahwa ia tidur selama 7-8 jam/hari.
Masalah Keperawatan : Tidak ada
3.1.4.4 Kognitif
Pasien mengatakan tidak mengetahui penyakit yang dideritanya sekarang, dan
berharap bisa cepat sembuh.
Masalah Keperawatan : Defisit Pengetahuan
3.1.4.5 Konsep Diri (gambaran diri, ideal diri, identitas diri, harga diri, peran)
Gambaran diri pasien dapat menerima keadaanya sekarang, ideal diri pasien ingin
cepat sembuh, identitas diri pasien seorang laki-laki berumur 40 tahun, harga diri
pasien merasa bahwa dirinya masih berguna dan tidak malu dengan keadaannya,
pasien berperan sebagai kepala keluarga.
Masalah Keperawatan : Tidak ada
3.1.4.6 Aktivitas Sehari-hari
Pasien mengatakan sebelum sakit aktivitas sehari-hari pasien bekerja sebagai buruh
bangunan, dan sesudah sakit pasien hanya berbaring di tempat tidur saja dan dalam
pemenuhan ADL dibantu oleh keluarga.
Masalah Keperawatan : Tidak ada
3.1.4.7 Koping –Toleransi Terhadap Stress
Jika ada masalah pasien selalu bercerita pada istri dan anak-anaknya.
Masalah Keperawatan : Tidak ada
3.1.4.8 Nilai-Pola Keyakinan
Pasien dan keluarga menganut nilai dan pola keyakinan agama kristen, didalam
tindakan yang dilakukan di rumah sakit yang bersifat medis tidak ada yang
bertentangan dengan keyakinan keluarga dan pasien.
Masalah Keperawatan : Tidak ada

3.1.5 Sosial - Spiritual


3.1.5.1 Kemampuan berkomunikasi
Pasien dapat berkomunikasi dengan baik dengan keluarga, orang lain.
3.1.5.2 Bahasa sehari-hari
Di dalam kehidupannya sehari-hari pasien menggunakan bahasa Dayak/Indonesia,
pasien berbicara normal.
3.1.5.3 Hubungan dengan keluarga
Hubungan pasien dengan keluarga baik dan harmonis.
3.1.5.4 Hubungan dengan teman/petugas kesehatan/orang lain
Pasien dapat menjalin hubungan baik dengan sesama klien dirungan dan orang lain,
klien kooperatif.
3.1.5.5 Orang berarti/terdekat
Pasien mengatakan orang yang berarti/terdekat dalam kehidupannya adalah istri dan
anak-anaknya.
3.1.5.6 Kebiasaan menggunakan waktu luang
Ketika pasien sehat pasien menggunakan waktu luang untuk bekerja, beristirahat,
berkumpul dengan keluarga, ketika dirumah sakit pasien menggunakan waktu luang
untuk beristirahat.
3.1.5.7 Kegiatan beribadah
Selama sakit klien hanya bisa berdoa ditempat tidur.

3.1.6 Data Penunjang (Radiologis, Laboratorium, Penunjang Lainnya)


3.1.6.1 Pemeriksaan Radiologi Tanggal 10 Desember 2020

Gambar 3. Fraktur pada tulang tibia kanan

3.1.6.2 Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 10 Desember 2020


No Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

1 LED 6 Mm 0-10

2 Hemoglobin 14,9 gr/dl 13-16

3 Leukosit 17.300 /mm³ 5.000-10.000


4 Trombosit 266.00 /mm³ 200.000-500.000

5 HCT 0 Vol % 40-48

6 Masa perdarahan 44 Menit 1-3

2 Menit 2-6

7 Masa pembekuan 4 % 1-3

1 % 0-3

8 WBC 14.500 10ˆ3/ul 4.000-10.500

9 BASO% 0,4 % 0,4 0-1

10 MONO% 10,6 % 2-8

11 LYMPH% 42,8 % 20-40


3.1.7 Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis yang didapatkan pasien selama berada di rumah sakit yaitu :
No Nama Obat Dosis/Rute Indikasi Kontraindikasi
1 Infus RL 0,9 % 20 tpm Untuk mengganti cairan tubuh. Hipersensitif.
(IV)
2 Injeksi Cefotaxime 2 x 1 gram Untuk penatalaksanaan infeksi Pada pasien dengan riwayat alergi,
(IV) saluran pernapasan bawah, infeksi dan harus berhati-hati digunakan
genitourinari, infeksi ginekologi, pada pasien dengan abnormalitas
bakteremia atau sepsis, gonorrhea, darah atau riwayat hipersensitivitas
infeksi kulit, infeksi intra abdomen, terhadap penicillin.
infeksi pada tulang atau sendi, dan
infeksi pada sistem saraf pusat.
3 Injeksi Ketorolac 3 x 1 mg Untuk penatalaksanaan jangka Hipersensitivitas terhadap
(IV) pendek terhadap nyeri akut, sedang ketorolac, pasien dengan riwayat
sampai berat setelah prosedur bedah. asma, dan gangguan ginjal sedang
hingga berat.
4 Injeksi Cefriaxson 2 x 1 gram Untuk mengatasi berbagai infeksi Pada penderita alergi dan
(IV) bakteri yang terjadi pada tubuh hipoglikemia.
5 Amoxicillin 500 mg Pada keadaan otitis media akut, Pada pasien dengan gangguan
3 x/hari infeksi saluran pernapasan, infeksi ginjal dan pasien dengan riwayat
(Oral) saluran kemih, infeksi helicobacter hipersensitivitas terhadap obat ini.
pylori, dan abses dental.
6 Paracetamol 50 mg/6 Untuk meredakan gejala demam dan Pasien dengan riwayat
jam nyeri pada berbagai penyakit seperti hipersensitivitas dan penyakit hepar
(Oral) demam dengue, tifoid, dan infeksi aktif derajat berat.
saluran kemih.
Palangka Raya, 10 Desember 2020
Mahasiswa,

Melatia Paska
2018.C.10a.0977
ANALISA DATA

N DATA SUBYEKTIF DAN KEMUNGKINAN MASALAH


O DATA OBYEKTIF PENYEBAB
1 DS : fraktur Nyeri akut
- Pasien mengatakan nyeri pada
kaki kanannya, Nyeri
bertambah saat digerakkan, kerusakan bagian-
Seperti tertusuk-tusuk bagian yang lunak
Pada tungkai kaki kanannya,
lama nyeri 5-10 menit secara
terputusnya
terus menerus
kontinuitas jaringan
DO :
- Terdapat luka post OREF hari
ke- 3 jaringan syaraf
- Luka tertutup perban elastis rusak/fungsi menurun
- Terdapat luka dengan ukuran
panjang ±11 cm dan
kedalaman ±5 cm implus nyeri dibawa
- Pasien tampak menahan sakit ke otak
- Ekspresi wajah pasien tampak
meringis
- Skala nyeri 6 otak menterjemahkan
- TTV : implus nyeri
TD : 120/90 mmHg
N : 84x/menit Nyeri akut
RR : 20x/menit
S : 36°C
2 DS : Penekanan pada Gangguan
- Pasien mengatakan nyeri pada bagian yang menonjol integritas
bagian tungkai kanan yang kulit/jaringan
sudah di operasi.
DO : Sirkulasi perifer
- Pada bagian tungkai kaki menurun
kanan pasien ada bekas
operasi dan jahitan di bagian Iskemia
kakin kanan pasien
- tampak luka pasien dengan Nekrosis jaringan
ukuran panjang ±11 cm dan
kedalaman ±5 cm
- tampak luka pasien berdarah
dan lembab
- tampak terpasang perban
elastis
- tampak luka pasien
kemerahan
- TTV :
TD : 120/90 mmHg
N : 84x/menit
RR : 20x/menit
S : 36°C
3 DS : luka terbuka Risiko Infeksi
- Pasien mengatakan terasa
panas pada bagian tungkai
kaki kanannya kuman masuk ke
DO : dalam luka
- Tampak kemerahan dan
meradang disekitar luka
Risiko infeksi
- Tampak tungkai kaki pasien
bengkak
- Pasien tampak merasakan
nyeri dan meringis saat
lukanya dibersihkan
- tampak terpasang perban
elastis
- Hasil pemeriksaan lab :
- LED : 6 Mm
- Hemoglobin : 14,9 gr/dl
- Leukosit : 17.300 /mm³
- Trombosit : 266.00 /mm³
- WBC : 14.500 10ˆ3/ul
- MONO% : 10,6 %
- LYMPH% : 42,8%
- TTV :
TD : 120/90 mmHg
N : 84x/menit
RR : 20x/menit
S : 36°C

4 DS : Perubahan letak Gangguan


- Pasien mengatakan susah fragmen/deformitas mobilitas fisik
untuk bergerak karena timbul
nyeri pada kaki kanannya
DO : Kelemahan/kehilangan
- Uji kekuatan otot : fungsi gerak
- Ekstremitas atas 5/5
- Ekstremitas bawah 2/5
fiksasi eksternal
- Tampak sendi pasien kaku
- Tampak gerakan pasien tidak
terkoordinasi
- Tampak gerakan pasien traksi/gips
terbatas
- Tampak fisik pasien lemah
- Pasien tampak dibantu oleh
keluarga dan perawat dalam gerak terbatas
aktivitasnya
- Hasil pemeriksaan rontgen :
imobilitas
Gangguan mobilitas
fisik

Perubahan status
DS : kesehatan
- Pasien dan keluarga Defisit
mengatakan tidak tau tentang pengetahuan
5
perawatan setelah operasi
DO : Kurangnya informasi
- Saat ditanyakan apa yang
pasien dan keluarga ketahui
tentang perawatan paska
operasi, pasien dan keluarga
menjawab luka operasi dapat
cepat sembuh bila diberikan
obat yang baik dan luka tidak
kena basah
- Pasien post op OREF Tibia
Hari ke-3
- Pasien dan keluarga tampak
bingung
- Pasien dan keluarga bertanya
tentang penyakitnya
Prioritas Masalah

1) Nyeri akut berhubungan dengan pergeseran posisi tulang ditandai dengan pasien
mengeluh nyeri pada kaki kanannya, nyeri bertambah saat digerakkan, seperti
tertusuk-tusuk pada tungkai kaki kanannya, lama nyeri 5-10 menit secara terus
menerus , terdapat luka post oref hari ke-2, luka tertutup perban elastis , terdapat
luka dengan ukuran panjang ±11 cm dan kedalaman ±5 cm, pasien tampak menahan
sakit, ekspresi wajah pasien tampak meringis, skala nyeri 6, Pemeriksaan TTV : Td :
120/90 mmhg, N: 84x/menit, RR : 20x/menit, S : 37,5°C.
2) Gangguan integritas kulit/ jaringan berhubungan dengan kelembapan ditandai
dengan pasien mengatakan nyeri pada bagian tungkai kanan yang sudah di operasi,
pada bagian tungkai kaki kanan pasien ada bekas operasi dan jahitan di bagian kakin
kanan pasien, tampak luka pasien dengan ukuran panjang ±11 cm dan kedalaman ±5
cm, tampak luka pasien berdarah dan lembab, tampak luka pasien kemerahan
Pemeriksaan TTV : TD : 120/90 mmHg, N : 84x/menit, RR : 20x/menit, S : 36°C
3) Risiko infeksi berhubungan dengan insisi pembedahan dan pemasangan fiksasi
interna ditandai pasien mengeluh terasa panas pada bagian tungkai kaki kanannya,
tampak terdapat pus pada luka, tampak kemerahan dan meradang disekitar luka,
tampak tungkai kaki pasien bengkak, pasien tampak merasakan nyeri dan meringis
saat lukanya dibersihkan, Hasil pemeriksaan lab : LED : 6 Mm, Hemoglobin : 14,9
gr/dl, Leukosit : 17.300 /mm³, Trombosit : 266.00 /mm³, WBC : 14.500 10ˆ3/ul,
MONO% : 10,6 %, LYMPH% : 42,8% Pemeriksaan TTV : TD : 120/90 mmHg, N :
84x/menit, RR : 20x/menit, S : 37,5°C.
4) Defisit nutrisi berhubungan dengan faktor psikologis ditandai dengan pasien
mengatakan nafsu makan menurun. BB sebelum sakit 60 kg, BB setelah sakit 54 kg,
tampak pasien hanya makan ½ porsi, Pemeriksaan TTV : TD : 120/90 mmHg, N :
84x/menit, RR : 20x/menit, S : 37,5°C.
5) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan Kerusakan integritas struktur tulang
ditandai pasien mengeluh susah untuk bergerak karena timbul nyeri pada kaki
kanannya uji kekuatan otot : ekstremitas atas 5/5, ekstremitas bawah 2/5, tampak
sendi pasien kaku, tampak gerakan pasien tidak terkoordinasi, tampak gerakan
pasien terbatas, tampak fisik pasien lemah, pasien tampak dibantu oleh keluarga dan
perawat dalam aktivitasnya Pemeriksaan TTV : TD : 120/90 mmHg, N : 84x/menit,
RR : 20x/menit, S : 37,5°C.
6) Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi ditandai dengan
pasien dan keluarga mengatakan tidak tau perawatan setelah operasi, keluarga
mengatakan belum ada dijelaskan bagaimana cara perawatan pada pasien setelah
operasi, saat ditanyakan apa yang pasien dan keluarga ketahuii tentang perawatan
paska operasi, pasien dan keluarga menjawab luka operasi dapat cepat sembuh bila
diberikan obat yang baik dan luka tidak kena basah, Pasien post op OREF fraktur
femur Hari ke-2, Pasien dan keluarga tampak bingung, pasien dan keluarga bertanya
tentang penyakitnya.
3.4 Intervensi Keperawatan
Nama Pasien : Tn. W
Ruang Rawat : Sistem Muskoloskeletal
Diagnosa Tujuan (Kriteria Hasil) Intervensi Rasional
Keperawatan
Nyeri akut Setelah dilakukan 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, 1. Mengetahui lokasi, karakteristik,
berhubungan dengan tindakan keperawatan durasi, frekuensi, kualitas, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
pergeseran posisi selama 1x7 jam masalah intensitas nyeri nyeri
tulang ditandai nyeri akut dapat teratasi 2. identifikasi skala nyeri 2. Mengetahui rentang skala nyeri yang di
dengan pasien Kriteria Hasil : 3. Kontrol lingkungan yang alami
mengatakan nyeri 1. keluhan nyeri memperberat rasa nyeri (suhu 3. Mengetahui lingkungan yang
bertambah saat menurun. (5) ruangan atau kebisingan) memperberat rasa nyeri
digerakkan 2. Meringis menurun. (5) 4. Jelaskan strategi meredakan 4. Memberikan informasi tentang strategi
3. Sikap protektif nyeri meredakan nyeri
menurun. (5) 5. Ajarkan teknik relaksasi napas 5. Teknik relaksasi napas dalam untuk
4. Gelisah menurun. (5) dalam mengurangi rasa nyeri
6. Kolaborasi pemberian analgetik 6. Bekerjasama dalam pemberian
Injeksi Ketorolac 3 x 1 mg analgetik paracetamol 50 mg/6 jam
(IV) (Oral)
7. Monitor TTV 7. Memeriksa TTV

Gangguan integritas Setelah dilakukan 1. Monitor karakteristik luka 1. Mengetahui status luka pada pasien
kulit/jaringan tindakan keperawatan 2. Menilai kerentangan individu terhadap
berhubungan dengan selama 1x7 jam gangguan 2. Monitor tanda-tanda infeksi infeksi
kelembapan yang integritas kulit menurun 3. Lepaskan balutan dan plester 3. Mencegah terjadinya kerusakan pada
ditandai dengan Kriteria Hasil : secara perlahan jaringan akibat infeksi
pasien tampak nyeri, 1. Perfusi jaringan 4. Bersihkan dengan cairan NaCl 4. Membersihkan luka agar tidak
perdarahan dan meningkat. (5) atau pembersih nontoksik, terinfeksi bakteri.
kemerahan. 2. kerusakan jaringan sesuai kebutuhan 5. Mencegah resiko infeksi pada luka dan
menurun. (5) 5. Pasang balutan sesuai jenis luka mencegah masuk nya bakteri ke luka
3. kerusakan lapisan kulit 6. Pertahankan teknik steril saat 6. Dapat mengurangi kontaminasi bakteri
menurun. (5) melakukan perawatan luka dari luar
4. nyeri menurun. (5) 7. Ajarkan prosedur perawatan 7. Agar mengetahui cara merawat luka
5. pedarahan menurun. luka secara mandiri 8. Mencegah infeksi bakteri dari luar
(5) 8. Kolaborasi pemberian antibiotic
6. Kemerahan menurun.
(5)

Risiko infeksi Setelah dilakukan 1. Monitor tanda gejala infeksi 1. Menilai kerentangan individu terhadap
berhubungan dengan tindakan keperawatan lokal dan sistemik infeksi
insisi pembedahan selama 1x7 jam masalah 2. Observasi tanda-tanda vital 2. Mengetahui perkembangan lebih lanjut
dan pemasangan risiko infeksi dapat 3. Berikan perawatan kulit pada 3. Mencegah terjadinya infeksi silang dari
fiksasi interna teratasi daerah edema lingkungan luka ke dalam luka
ditandai dengan Kriteria Hasil : 4. Cuci tangan sebelum dan 4. Mencegah terjadinya invasi kuman dan
pasien mengatakan 1. Kemerahan menurun. sesudah kontak dengan pasien kontaminasi
pus pada luka (5) dan lingkungan pasien 5. Sesuatu yang kotor merupakan media
2. Nyeri menurun. (5) 5. Pertahankan tehnik aseptik pada yang baik bagi kuman
3. Bengkak menurun. (5) pasien berisiko tinggi 6. Untuk mengetahui kondisi luka atau
4. kadar sel darah putih. 6. ajarkan cara memeriksa kondisi operasi
(5) luka atau luka operasi Peningkatan leukosit dan LED merupakan
7. Kolaborasi dengan tim medis indikasi terjadinya infeksi
dalam penentuan antibiotik dan
pemeriksan leukosit dan LED
Gangguan mobilitas Setelah dilakukan 1. Observasi tanda-tanda vital 1. Mengetahui keadaan umum pasien
fisik berhubungan tindakan keperawatan 2. Berikan posisi yang nyaman 2. Mencegah iritasi dan komplikasi
dengan pemasangan selama 1x7 jam masalah 3. Kaji kemampuan pasien untuk 3. Mengetahui peningkatan aktivitas
fiksasi interna gangguan mobilitas fisik mobilisasi pasien dalam melakukan aktivitas
ditandai dengan dapat teratasi 4. Tingkatkan aktivitas sesuai 4. Mempertahankan tonus otot
pasien mengatakan Kriteria Hasil : batas toleransi 5. Meningkatkan sirkulasi dan mencegah
keterbatasan dalam 1. Pergerakan 5. Ajarkan dan dukung pasien kontraktur
gerakan fisik ekstremitas dalam latihan ROM 6. Sebagai suatu sumber untuk
meningkat. (5) 6. Kolaborasi dalam hal ahli terapi mengembangkan perencanaan dan
2. kekuatan otot fisik mempertahankan, meningkatkan
meningkat. (5) mobilitas pasien
3. Rentang gerak (ROM)
meningkat. (5)
4. nyeri menurun. (5)
5. gerakan terbatas
menurun. (5)
Defisit pengetahuan Setelah dilakukan 1. Identifikasi kesiapan dan 1. Untuk mengetahui kesiapan dan
berhubungan dengan tindakan keperawatan kemampuan menerima kemampuan menerima informasi
kurang terpapar selama 1x7 jam informasi 2. Sebagai media untuk melakukan
informasi ditandai diharapkan pasien dan 2. Sediakan materi dan media edukasi pada pasien dan keluarga
dengan pasien dan keluarga mengutarakan pendidikan kesehatan 3. untuk meningkatkan pemahaman
keluarga mengatakan pemahaman tentang 3. Berikan kesempatan untuk pasien dan keluarga
tidak tau perawatan perawatan paska OREF bertanya 4. untuk mengetahui risiko yang dapat
setelah operasi dengan kriteria hasil : 4. Jelaskan faktor risiko yang mempengaruhi kesehatan
1. Perilaku sesuai dapat mempengaruhi kesehatan 5. untuk meningkatkan pengetahuan
anjuran meningkat. (5) 5. Ajarkan strategi yang dapat pasien dan keluarga
2. Kemampuan digunakan untuk meningkatkan
menjelaskan pengetahuan pasien dan
pengetahuan suatu keluarga
topik meningkat. (5)
3. Pertanyaan tentang
masalah yang di
hadapi menurun. (5)

Anda mungkin juga menyukai