Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Rinitis secara umum didefinisikan sebagai dua atau lebih gejala dari:

sumbatan hidung, hidung berair (rhinorrhea), bersin atau gangguan penghiduan

selama lebih dari 1 jam dalam sehari. Ada beberapa jenis dari Rinitis, umumnya

dibagi menjadi 3 kategori utama: 1) Rinitis infektius 2) Rinitis alergi 3) Rinitis

non-alergi. (Martinez, L.,2009).

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi

pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan

alergen spesifik tersebut (Soepardi, 2007). Definisi menurut WHO ARIA (allergic

rhinitis and its impact on asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan

gejala bersin-bersin, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar

alergen yang diperantarai oleh Ig E.

Sedangkan menurut Kimihiro Okubo (2011) dari Jepang rinitis alergi adalah

penyakit alergi tipe I dari mukosa nasal,dengan gejala bersin paroksismal

berulang, ingus berair, dan sumbatan hidung. Rinitis alergi sering dikenal sebagai

alergi hidung, hipersensitivitas hidung, dan pollinosis.

2.2 EPIDEMIOLOGI

Menurut Sheikh (2014), Rhinitis Alergi lebih sering terjadi pada laki-laki

pada usia anak-anak daripada perempuan usia anak-anak. Sedangkan pada

dewasa, prevalensi setara antara laki-laki dan perempuan. Sheikh juga

menyebutkan Rhinitis Alergi umumnya diderita oleh anak-anak, remaja, dan

3
4

dewasa muda, tetapi RA juga dapat terjadi pada semua golongan usia. Prevalensi

RA pada anak-anak adalah 40%. Sedangkan dari data Wong et al (2013)

menyatakan bahwa prevalensi anak berusia 13-14 tahun lebih tinggi dari anak

berusia 6-7 tahun. Namun, sebanyak 80% kasus RA berkembang pada usia 20

tahun dan berkurang seiring dengan pertambahan usia.

Kota Medan adalah ibukota Provinsi Sumatera Utara dan merupakan kota

terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Walaupun Rhinitis

Alergi bukan merupakan penyakit yang mengancam hidup (kecuali terjadi

bersamaan dengan eksaserbasi asma yang berat ataupun anafilaksis), Rhinitis

Alergi dapat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya secara signifikan. Selain

itu, apabila Rhinitis Alergi terjadi pada usia dewasa muda tentunya juga akan

mempengaruhi tingkat produktivitas penderitanya.

2.3 ANATOMI DAN FISIOLOGI

2.3.1 Hidung

Secara umum, hidung dapat dibagi atas dua bagian, yaitu bagian luar

(eksternal) dan bagian dalam (internal). Di bagian luarnya, hidung dibentuk oleh

tulang, kulit dan otot. Osteokartilago hidung dibungkus oleh beberapa otot yang

berfungsi dalam pergerakan hidung meski minimal. Kulit yang melapisi tulang

hidung dan tulang rawan hidung merupakan kulit yang tipis dan mudah untuk

digerakkan serta mengandun banyak kelenjar sebasea. Sedangkan dibagian

dalamnya terdiri atas dua kavum berbentuk seperti terowongan yang dibatasi

oleh septum nasi (Roezin A, 2007).


5

Gambar 1. (kiri) Struktur dinding lateral hidung. (kanan) Anatomi septum nasi

Setiap kavum nasi terhubung dengan nostril dibagian depan dan choana

dibagian belakang. Didalam cavum nasi anterior inferior terdapat vestibulum yang

berisi kelenjar sebasea dan rambut hidung dan dibagian lateralnya terdapat tiga

susun turbin konka yang disebut konka nasalis superior, media dan inferior

(Dhigra P, 2010).

Vaskularisasi hidung berasal dari arteri karotis baik eksterna maupun

interna. Persarafan hidung terdiri atas fungsi sensorik dan autonom. Cabang

sensorik nya terbagi tiga yaitu, nervus ethmoidalis anterior, cabang ganglion

sphenopalatina dan cabang saraf infraorbitalis, sedangkan fungsi autonomnya

yang berasal dari serat saraf parasimpatis yang berasal dari nervus petrosus

superfisial terbesar ( Dhigra P, 2010).

Secara umum fungsi hidung terdiri atas fungsi respirasi, indera penciuman

sebab didalamnya terdapat nervus olfaktorius dan bulbus olfaktori, konka dan

vaskular didalamnya melembabkan udara inspirasi, cilia dan rambut hidung yang

terdapat pada anteroinferior cavum nasi melindungi saluran pernapasan atas,

memperbaiki kualitas resonansi suara yang dikeluarkan, serta fungsi refleks nasal

(Dhigra P, 2010).
6

2.4 ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

Samar Ghazal dkk. (2007) dalam penelitiannya di Negara Pakistan

menyatakan bahwa faktor resiko yang berhubungan dengan rinitis alergi adalah

sebagai berikut:

1. Jenis kelamin perempuan (51,1%) lebih beresiko daripada pria

(44,8%).

2. Sering olahraga (51,4%) lebih beresiko daripada yang tidak

berolahraga 9 secara rutin (41,8%).

3. perokok pasif (55,4%) lebih beresiko daripada perokok aktif

(17,6%).

Sedangkan merokok pada saat hamil dan pada masa anak-anak menambah

resiko rinitis alergi pada subjek atopi sehingga rinitis alergi akan menetap

sepanjang hidupnya. (Matheson dkk., 2011).

2.5 PATOFISIOLOGI

Mekanisme terjadinya rinitis alergi berkaitan erat dengan reaksi

hipersensitivitas tipe I. Reaksi hipersensitivitas tipe I disebut juga reaksi cepat

atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi, timbul segera sesudah tubuh terpajan

dengan alergen. Istilah alergi yang pertama kali digunakan Von Pirquet pada

tahun 1906 diartikan sebagai “reaksi penjamu yang berubah” bila terpajan dengan

bahan yang sama untuk kedua kalinya. Urutan kejadian reakti tipe I adalah

sebagai berikut:

1. Fase sensitisasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE

sampai diikatnya oleh reseptor spesifik (FcƐ-R) pada permukaan sel mast

dan basofil.
7

2. Fase aktivasi yaitu waktu yang terjadi akibat pajanan ulang dengan

antigen yang spesifik, sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang

menimbulkan reaksi.

3. Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis)

sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast sebagai aktivitas

farmakologik.

Gambar 2. Reaksi Tipe I. Antigen memasang sel B untuk membentuk IgE diikat
oleh sel mast/basofil melalui reseptor Fc. Apabila tubuh terpajan ulang dengan
antigen yang sama, maka antigen tersebut akan diikat oleh IgE yang sudah ada
pada permukaan sel mast/basofil. Akibat ikatan antigen-IgE. Sel mast/basofil
mengalami degranulasi dan melepas mediator yang preformed antara lain
histamin yang menimbulkan gejala hipersensitivitas tipe I. (Sumber: Imunologi
dasar, Karnen garna Baratawijaya ,2002).

Rinitis alergi berkaitan dengan inflamasi pada mukosa saluran pernafasan

bagian atas (yakni mukosanasalis, tuba eustachius, dan sinus) dan mata. Pada

kasus yag berat, pasien juga memiliki gejala sistemik. Interaksi kompleks antara

alergen yang terinhalasi atau iritan, imunoglobulin E (IgE), dan mediator

inflamasi adalah penyebab dari inflamasi. Individu yang rentan pada rinitis alergi

akan menghasilkan IgE spesifik sebagai respon terhadap protein tertentu. IgE

menyebabkan sel mast untuk melepaskan berbagai mediator, seperti: histamin,

triptase, kimase, kinin, leukotrien, prostaglandin, dan heparin. Mediator inflamasi

yang dilepaskan sel mast menyebabkan vasodilatasi segera, kongesi nasal, bersin

dan gatal. Mediator - mediator inflamasi tersebut juga menyebabkan pengerahan


8

sel inflamasi lainnya (yakni makrofag, eosinofil, neutrofil, dan limfosit), yang

menyebabkan respon lambat yang dapat terjadi dalam beberapa jam atau hari dan

adakalanya menyebabkan gejala sistemik (seperti malaise dan kelelahan) (E.T.

Bope dan R. D. Kellerman,2013).

2.6 KLASIFIKASI

Klasifikasi rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat

berlangsungnya,yaitu:

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia

tidak dikenal alergi musiman, hanya ada di negara 4 musim. Alergen

penyebabnya spesifik, yaitu tepung sari (pollen) dan spora jamur.

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini

timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa variasi musim, dan dapat

terjadi sepanjang tahun. Penyebab paling sering ialah alergen inhalan

dan alergen ingestan. Penyebab tersering pada orang dewasa adalah

alergen inhalan.(Soepardi, E.A.,2007).

Pada saat ini yang sering digunakan adalah klasifikasi ARIA berdasarkan

waktu terjadinya rinitis alergi dapat dibedakan menjadi dua yaitu, rinitis alergi

berselang (intermittent allergic rhinitis) dan rinitis alergi menetap (persistent

allergic rhinitis). Rhinitis alergi berselang terjadi 4 hari per minggu dan >4

minggu. ARIA juga mengklasifikasikan rinitis alergi berdasarkan tingkat

keparahan yaitu sebagai berikut: rinitis alergi ringan (mild allergic rhinitis) dan

rinitis alergi sedang-berat (moderate-severe allergic rhinitis). Pada rinitis alergi

ringan, penderita dapat tidur dengan nyenyak, tidak terdapat gangguan aktivitas

seharihari maupun pekerjaan ataupun sekolah, serta tidak memiliki gejala yang
9

mengganggu. Sedangkan pada rinitis alergi sedang-berat penderita harus memiliki

salah satu atau lebih gejala sebagai berikut: tidur yang terganggu, gangguan

aktivitas sehari-hari, gangguan pekerjaan ataupun sekolah, serta memiliki gejala

yang mengganggu.

2.7 DIAGNOSIS

Rinitis alergi perlu dibedakan dari jenis rinitis yang lain. Anamnesis dan

pemeriksaan fisik yang cermat pada umumnya sudah cukup untuk menegakkan

diagnosis awal dan memulai terapi. (P.G.Konthen dkk.,2008) .

A. Anamnesis

Gejala utama meliputi: hidung tersumbat, keluar seperti sekret hidung

yang encer, bersin – bersin, rasa gatal di hidung, langit – langit, sekitar mata dan

telinga. Beberapa penderita mengeluhkan mata merah dan lakrimasi. Gejala nasal

dan okuler menjadi petunjuk untuk membedakan rinitis alergi dan rinitis kronis

lainnya. Gejala tambahan (sekunder) yang didapatkan pada penderita tertentu

meliputi penjalaran inflamasi pada tuba eustachii, telinga tengah, dan sinus

paranasalis; mengakibatkan rasa penuh di telinga, gangguan pendengaran, serta

nyeri kepala.Postnasal drip dapat menyebabkan nyeri tenggorokan dan batuk

kronis. (P.G.Konthen dkk.,2008).

Menurut kriteria evaluasi anamnesis ARIA, diagnosis rinitis alergi dapat

ditegakkan apabila terdapat gejala utama sebagai hidung berair dengan ingus

encer. Gejala utama tersebut dapat bersamaan dengan satu atau lebih gejala

sebagai berikut: bersin, sumbatan hidung, gatal pada hidung, atau konjungtivitis

(mata merah dan gatal). Apabila seseorang memenuhi kriteria diatas diperlukan
10

pemeriksaan diagnostik lebih lanjut untuk mendapatkan diagnosa pasti Rinitis

Alergi. (ARIA, 2008).

B. Pemeriksaan Fisik

Pada inspeksi terdapat garis gelap periorbital (allergic shinners) akibat

pooling darah vena kronis. Anak – anak sering kali menggosok – gosok

hidungnya dengan telunjuk karena gatal (allergic salute). Konjungtiva tampak

kemerahan dengan encer atau gelatinous. Rhinoscopy anterior menunjukkan

concha nasalis inferior dan medius pucat dan membengkak disertai eksudat encer.

(P.G.Konthen dkk.,2008).

C. Pemeriksaan Penunjang

Bila diagnosis masih diragukan maka pemeriksaan laboratorium

diharapkan dapat membantu.

 Tes tusuk kulit Pemeriksaan ini lebih sensitif dan memungkinkan

pemeriksaan dengan alergen lebih bervariasi.

 IgE spesifik (RAST) Hanya dianjurkan pada penderita dengan

dermatitis yang luas atau dermatografisme.

 Pemeriksaan darah tepi Pada hitung jenis lekosit dan hitung jenis

eosinofil terjadi peningkatan eosinofil darah tepi. Pemeriksaan ini

tidak dapat digunakan untuk menyaring karena rinitis alergi dapat

terjadi tanpa peningkatan eosinofil, sebaliknya didapatkan pada

rinitis nin alergi (NARES). (P.G.Konthen dkk.,2008).

2.8 PENATALAKSANAAN

Pada guideline ARIA dicantumkan beberapa tujuan penatalaksanaan dari

rinitis alergi adalah sebagai berikut:


11

 Tidur yang tidak terganggu.

 Kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, termasuk

pekerjaan dan kehadiran sekolah, tanpa keterbatasan atau gangguan,

dan kemampuan untuk sepenuhnya berpartisipasi dalam olahraga dan

aktivitas kesenangan.

 Tidak ada gejala yang menganggu.

 Tidak atau efek samping minimal dari pengobatan rinitis alergi

Penatalaksanaan rinitis alergi terdiri atas 3 kategori utama dari pengobatan,

yaitu:

1. Pengandalian lingkungan dan penghindaran allergen.

Pengendalian Lingkungan dan Penghindaran Alergen Pengendalian

lingkungan dan penghindaran alergen meliputi penghindaran terhadap

alergen yang diketahui (substansi spesifik yang dapat merangsang

hipersensitivitas yang dimediasi IgE pada pasien) serta penghindaran

terhadap alergen non spesifik, misalnya iritan ataupun perangsang.

(Sheikh,2013).

2. Penatalaksanaan secara farmakologi.

Penderita dengan gejala Rinitis Alergi berselang (intermitten) dapat

diobati secara adekuat dengan antihistamin oral, dekongestan, atau

keduanya bersamaan. Penggunaan rutin dari steroid sediaan semprot

tidak dianjurkan untuk penderita dengan gejala Rinitis Alergi kronis.

Penggunaan sehari-hari dari antihistamin, dekongestan, atau keduanya

dapat dipertimbangkan daripada atau sebagai tambahan dari steroid


12

nasal. Antihistamin generasi kedua (yaitu golongan nonsedatif)

biasanya lebih dianjurkan untuk menghindari efek sedatif dan efek

samping lainnya. Antihistamin tetes mata (untuk gejala pada mata),

intihistamin intranasal sediaan semprot, intranasal cromolyn (mast cell

stabilizer), dan 13 kortikosteroid oral jangka pendek (terbatas hanya

untuk episode berat dan akut) mungkin juga dapat digunakan sebagai

obat simtomatik. (Sheikh,2013).

3. Imunoterapi

Imunoterapi mengandung resiko karena reaksi alergi sistemik berat

dapat terjadi. Oleh karena itu, harus dipertimbangkan resiko dan

keuntungan dari imunoterapi dibandingkan resiko dan keuntungan

dari pengobatan lainnya. Terdapat beberapa jenis imunoterapi,

misalnya Sublingual Immunotherapy (SLIT) dan Subcutaneous

Immunotherapy (SCIT) Indikasi imunoterapi lebih dianjurkan pada

penyakit berat, respon yang kurang terhadap pilihan pengobatan

lainnya, dan adanya faktor pemberat ataupun komplikasi. Imunoterapi

biasanya dikombinasikan dengan pengobatan farmakoterapi dan

pengendalian lingkungan. Terdapat juga kontraindikasi dari

imunoterapi. Imunoterapi hanya boleh dilakukan oleh individu yang

telah terlatih, yang dapat melaksanakan tindakan pencegahan yang

tepat, dan seseorang yang berpelengkapan untuk menanggulangi

kejadian yang tidak diinginkan. (Sheikh,2013).

2.9 KOMPLIKASI
13

Terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada penederita rinitis alergi

bila tidak dilakukan penatalaksanaan secara benar, misalnya: progresi menjadi

eksaserbasi asthma, gangguan pertumbuhan fasial, hyposmia, protrusi gigi seri,

malocclusion, nasal polyps, efusi telinga tengah (gangguan pendengaran),

sinusitis, dan gangguan tidur. (D.A.D.Guzman et al., 2013).

Anda mungkin juga menyukai