Anda di halaman 1dari 20

BAB III

GAMBARAN UMUM TENTANG KONSEP BAI’ AS-SALAM

A. Pengertian Bai’ as-salam


Akad salam atau pesanan sangat erat kaitannya dengan akad jual beli karena akad
salam merupakan salah satu bentuk jual beli dengan ketentuan didalamnya, pada dasarnya
jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi baik itu dari segi hukum, segi obyek jual beli, dan
segi pelaku jual beli.1 Namun, kali ini yang akan dibahas adalah jual beli yang ditinjau dari
segi obyek (benda) dengan ketentuan jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian
yaitu jual beli salam (bai‟ as-salam).2
Bai‟ as-salam (‫ )بيع السلم‬secara bahasa disebut juga dengan as-salaf (‫ )السلف‬yang
bermaksud at-taqdīm (‫ )التقديم‬yang berarti pendahuluan atau mendahulukan, karena jual beli
yang harganya didahulukan kepada penjual, yang berarti pesanan atau jual beli dengan
melakukan pemesanan terlebih dahulu.3 Bai‟ as-salam secara istilah adalah menjual suatu
barang yang penyerahannya ditunda atau menjual suatu barang yang ciri-cirinya jelas dengan
pembayaran modal lebih awal, sedangkan barangnya diserahkan kemudian hari.4 Kemudian
para fuqaha‟ menyebutnya dengan barang-barang mendesak karena ia sejenis jual beli barang
yang tidak ada di tempat, sementara dua pokok yang melakukan transaksi jual beli
mendesak.5 Istilah salam adalah bahasa dari masyarakat Hijaz sedangkan salaf dikenal di
masyarakat Irak.6
Bai‟ as-salam adalah jual beli dengan cara memesan barang terlebih dahulu yang
disebutkan sifatnya atau ukurannya, sedangkan pembayarannya dilakukan dengan tunai. Atau
menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu barang yang ciri-
cirinya disebutkan dengan jelas dan pembayaran dilakukan terlebih dahulu, sedangkan barang
diserahkan dikemudian hari sesuai kesepakatan awal. Artinya bahwa yang diberlakukan
adalah prinsip bai‟ (jual beli) suatu barang tertentu antara pihak penjual dan pembeli sebesar

1
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat (Jakarta: Amzah, 2010), 241. Selanjutnya ditulis Muslich,
Fiqh.
2
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), 75. Selanjutnya ditulis
Suhendi, Fiqh.
3
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, terjemahan oleh Nor Hasanuddin (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006),
217. Selanjutnya ditulis sabiq, Fiqh.
4
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), 147. Selanjutnya ditulis
Haroen, Fiqh.
5
Sabiq, Fiqh, 218.
6
Tim Manajemen Perbankan Syari’ah 2012 B, Fiqh Muamalah dalam Konteks Ekonomi
Kontemporer (Depok: STEI Sebi, 2014), 78. Selanjunya ditulis Tim Manajemen, Fiqh.
harga pokok ditambah nilai keuntungan yang disepakati, di mana waktu penyerahan barang
dikemudian hari sementara penyerahan uang dibayarkan di muka secara tunai.7
Adapun contoh kasus bai‟ as-salam, yaitu ada seorang pembeli yang memesan
beberapa daun pintu ke pembuat atau produsen daun pintu, kemudian sang pemesan
menyebutkan kriteria atau sifat pintunya, baik dari segi model dan bahan kayu yang
digunakan dengan perjanjian waktu yang sudah ditentukan dan disepakati kedua belah pihak.
Dan seorang pemesan harus membayar lunas biaya pemesanan daun pintu tersebut dan daun
pintu harus selesai ditanggal yang ditentukan kedua belah pihak. Orang yang memesan atau
yang memiliki uang disebut muslam, orang yang memiliki barang disebut muslam „ilaih,
barang yang dipesan disebut muslam fīh, dan harganya disebut ra‟su māl as-salam.8
Kemudian cara pemesanan tidak diisyaratkan harus dengan lafal salam atau salaf, melainkan
cukup dengan lafal bai‟ atau jual beli. Akan tetapi boleh juga dengan lafal salam atau salaf. 9
Barang dalam akad salam seharusnya disebutkan segala sesuatu yang bisa
mempertinggi dan memperendah harga barang tersebut, misalnya benda tersebut berupa kaos
sepak bola (jersey) dengan menyebutkan jenisnya baik itu authentic,10 replika, dan
seterusnya. Bahkan bisa disebutkan jenis bahannya sekalipun. Pada intinya sebutkan semua
identitas barang yang dikenal oleh para ahli di bidang ini yang menyangkut kualitas barang
tersebut. Selanjutnya barang yang akan diserahkan hendaknya barang yang biasa didapatkan
di pasar dan harga hendaknya dipegang di tempat akad berlangsung.11
Bai‟ as-salam tidak hanya dikenal dengan jual beli pesanan secara biasa dengan
melibatkan pembeli (muslam) dan pemilik barang (muslam „ilaih) dengan ketentuan yang
berlaku, namun ada pula yang disebut salam paralel atau bertingkat.12 Salam paralel atau
salam bertingkat yaitu melaksanakan dua transaksi bai‟ as-salam antara penjual dengan
pembeli dan antara penjual dengan pemasok atau pihak ketiga lainnya secara simultan.13
Dengan kata lain penjual memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang pesanan
dengan cara salam, maka itulah yang disebut salam paralel.

7
Tim Manajemen, Fiqh, 79.
8
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan
syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 133. Selanjutnya ditulis Djamil, Penerapan Hukum.
9
Muslich, Fiqh, 205.
10
Authentic adalah tulen, sejati, boleh diakui sebagai sah. Namun authentic banyak diartikan sebagai
kata asli. Lihat Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2005), 46. Selanjutnya ditulis Echol, Kamus.
11
Suhendi, Fiqh, 76.
12
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah Produk-produk dan Aspek-aspek Hukumnya (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2014), 251. Selanjutnya ditulis Sjahdeini, Perbankan.
13
Djamil, Penerapan Hukum, 137.
Salam paralel diperkenankan dengan syarat akad kedua terpisah dan tidak
berkaitan dengan akad salam pertama.14 Salam paralel biasanya banyak digunakan dalam
dunia perbankan, di mana bank bisa bertindak dalam dua peran, yakni pada akad pertama
sebagai penjual (muslam ‟ilaih) dan pada akad kedua sebagai pembeli (muslam) dengan
melibatkan pihak ke tiga sebagai produsen, yang pada intinya pada akad ke dua ini bank
adalah pembeli dan produsen adalah penjual.15
Adapun Contoh dari salam paralel adalah bank menerima pesanan kendaraan
bermotor dari nasabah kemudian bank bersedia untuk memenuhi pesanan nasabah tersebut
dengan berakadkan salam. Namun, karena bank bukanlah produsen atau penjual kendaraan
bermotor maka bank harus menghubungi pihak ketiga sebagai penjual atau produsen
kendaraan bermotor untuk bekerja sama memenuhi pesanan nasabah bank tersebut. Sehingga
bank dan penjual atau produsen kendaraan bermotor melaksanakan akad salam berikutnya
namun tidak melibatkan nasabah bank. Dengan demikian terjadilah dua akad salam atau
salam bertingkat yang disebut salam paralel.
Berdasarkan pendapat di atas sudah cukup untuk memberikan perwakilan
penjelasan dari bai‟ as-salam. Di mana inti dari pendapat tersebut yaitu bai‟ as-salam
merupakan akad pesanan atau jual beli pesanan dengan pembayaran di depan atau terlebih
dahulu, dan barangnya diserahkan kemudian hari.16 Tetapi ciri-ciri barang tersebut haruslah
jelas penyifatannya serta jelas kuantitas, kualitas, dan waktu penyerahannya. 17 Bahkan bisa
juga ditarik kesimpulan dengan unsur-unsur yang harus ada dalam bai‟ as-salam yaitu jual
beli barang dilakukan dengan pesanan, spesifikasi barang yang dipesan jelas kriterianya,
pembayaran dilakukan pada saat akad secara penuh, dan barang diserahkan dikemudian hari.
B. Landasan Hukum Bai’ as-salam
Jual beli salam atau bai‟ as-salam diisyaratkan dalam Islam berdasarkan firman
Allah dan hadits Rasulullah.
1. Firman Allah QS. Al-Baqarah 2 : 282. 18

14
Sjahdeini, Perbankan. 254.
15
Sjahdeini, Perbankan. 252.
16
Muhammad Yazid Afandi, Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan
Syari‟ah (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), 159. Selanjutnya ditulis Afandi, Fiqh.
17
Karim Adwarman, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer (Jakarta: Gema Insani Press, 2001),
93. Selanjutnya ditulis Adwarman, Ekonomi.
18
Kementrian Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan Terjemahannya (Bandung: Sygma
Examedia Arkanleema, 2007), 48. Selanjutnya ditulis Kementrian, Al-Qur‟an.
            

              

                

             

             

              

              

             

                 

         


“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan, hendaklah seorang penulis
di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan, janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis,
dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakan (apa yang akan ditulis itu), dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun
dari utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah
(keadaannya), atau ia sendiri tidak mampu mengimlakan, maka hendaklah walinya
mengimlakan dengan jujur. Dan, persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di
antara kamu. Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka
seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil atau
pun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah
dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan)
keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai
yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu (jika) kamu tidak
menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan
saksi saling menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu
adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan, bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu;
dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Adapun tafsir berdasarkan ayat di atas, firman Allah Swt. “hai orang-orang
beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya.” Ini merupakan bimbingan dari Allah bagi hamba-
hamba-Nya yang beriman, jika mereka bermuamalah melalui aneka jenis muamalah yang
tidak tunai, maka hendaklah mereka mencatatnya agar catatan itu dapat menjaga batas
waktu muamalah itu, serta lebih meyakinkan kepada orang yang memberi kesaksian. Hal
ini diingatkan oleh Allah dengan firman-Nya, “yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah
dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan)
keraguanmu.” 19
Berkaitan dengan firman Allah, “Hai orang-orang beriman, apabila kamu
bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya,” Sufyan ats-Tsauri meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini
diturunkan berkaitan dengan masalah salam (mengutangkan) hingga waktu tertentu. Saya
bersaksi bahwa salam yang dijamin untuk diselesaikan pada tempo tertentu adalah
dihalalkan dan diizinkan oleh Allah. Kemudian dia membaca ayat, “Hai orang-orang
beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan.”
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan ditegaskan dalam shahihain, dari Ibnu Abbas, dia
berkata bahwa Nabi Saw. tiba di Madinah, sedang penduduknya mengutangkan buah
selama satu, dua, atau tiga tahun. Maka Rasulullah Saw. bersabda “Barang siapa yang
meminjamkan sesuatu, hendaklah dia melakukannya dengan takaran, timbangan, dan
jangka waktu yang pasti.” (HR. Bukhari dan Muslim).20
2. Hadits Nabi Saw.21

‫يح َع ْن َعْب ِد اللَّ ِو‬ ٍ ‫َخبَ َرنَا ابْ ُن أَِِب ََِن‬


ْ ‫يل بْ ُن عُلَيَّةَ أ‬
ِ ‫حدَّثَنَا عمرو بن زرارَة أَخب رنَا إِ ْْس‬
‫اع‬
ُ َ َ َ ْ َ َُ ُ ْ ُ ْ َ َ
‫ول اللَّ ِو‬ُ ‫ال قَ ِد َم َر ُس‬ َ َ‫اس َر ِض َي اللَّوُ َعْن ُه َما ق‬ ٍ َّ‫بْ ِن َكثِ ٍري َع ْن أَِِب الْ ِمْن َه ِال َع ْن ابْ ِن َعب‬
‫ال‬َ َ‫ْي أ َْو ق‬ ِ ْ ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو و َسلَّم الْم ِدينَةَ والنَّاس يُسلِ ُفو َن ِِف الثَّم ِر الْ َع َام والْ َع َام‬ َ
َ َ ْ ُ َ َ َ َ
‫ف ِِف َكْي ٍل َم ْعلُ ٍوم‬ ِ
ْ ‫ف ِِف َتٍَْر فَ ْليُ ْسل‬ َ َّ‫ال َم ْن َسل‬ َ ‫يل فَ َق‬ُ
ِ ‫ك إِ ْْس‬
‫اع‬ َ َّ ‫ش‬
َ ‫ة‬
ً ‫ث‬
َ ‫َل‬
َ ‫ث‬
َ ‫َو‬
ْ ‫أ‬ ِ ْ ‫َع َام‬
‫ْي‬
‫يح ِِبَ َذا ِِف َكْي ٍل َم ْعلُ ٍوم‬ ٍ ‫يل َع ْن ابْ ِن أَِِب ََِن‬ ِ ‫ووْزٍن معلُ ٍوم حدَّثَنَا ُُم َّم ٌد أَخب رنَا إِ ْْس‬
‫اع‬
ُ َ ََ ْ َ َ ْ َ ََ
(‫َوَوْزٍن َم ْعلُ ٍوم )رواه البخاري‬

19
Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1,
terjemahan oleh Syihabuddin (Jakarta: Gema Insani, 2000), 462. Selanjutnya ditulis Ar-Rifa’i, Kemudahan.
20
Ar-Rifa’i, Kemudahan, 463.
21
Imam Al- Bukhari, Shahih Bukhari, Jilid 2, terjemahan oleh Zainuddin Hamidy (Kuala Lumpur:
Klang Book Centre, 2005), 292. Selanjutnya ditulis Al-Bukhari, Shahih Bukhari.
“Telah menceritakan kepada kami 'Amru bin Zurarah telah mengabarkan kepada kami
Isma'il bin 'Ulayyah telah mengabarkan kepada kami Ibnu Abi Najih dari 'Abdullah bin
Katsir dari Abu Al Minhal dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma berkata: Ketika
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tiba di Madinah orang-orang mempraktekan jual
beli buah-buahan dengan sistim salaf, yaitu membayar dimuka dan diterima barangnya
setelah kurun waktu satu atau dua tahun kemudian atau katanya dua atau tiga tahun
kemudian. Isma'il ragu dalam hal ini. Maka Beliau bersabda: "Siapa yang
mempraktekkan salaf dalam jual beli buah-buahan hendaklah dilakukannya dengan
takaran dan timbangan yang diketahui (pasti) ". Telah menceritakan kepada kami
Muhammad telah mengabarkan kepada kami Isma'il dari Ibnu Abi Najih seperti redaksi
hadits ini: "dengan takaran dan timbangan yang diketahui (pasti).”(HR. Bukhari ).
Adapun tafsir hadits di atas yaitu Ibn Abbas meriwayatkan bahwa Nabi
Muhammad Saw. datang ke Madinah ketika penduduk memesan buah-buahan dalam
waktu satu atau dua tahun atau juga tiga tahun. Kemudian harus dilaksanakan dalam
ukuran tertentu, berat tertentu, dan waktu yang ditentukan.22 As-salam atau as-salaf boleh
dilakukan pada semua yang ditakar, ditimbang dan dihitung. Kebolehan pada barang yang
ditakar dan ditimbang dengan perumpamaan buah-buahan.23
Berdasarkan ketentuan dalam hadits ini, dalam praktik jual beli salam harus
ditentukan spesifikasi barang secara jelas, baik dari sisi kualitas, kuantitas, ataupun waktu
penyerahannya, sehingga nantinya tidak terdapat perselisihan.24 Kemudian akad salam sah
apabila memenuhi hal berikut, barang jelas sifatnya seperti warna dan ukurannya, jelas
jenisnya yaitu seperti nomor barang dan perinciannya kalau yang dipesan lebih dari satu,
bentuk akad harus jelas sperti berapa uang pertama dan kapan akan memenuhinya atau
menyerahkan uang sekaligus untuk barang yang telah ditentukan. 25 Kemudian jelas
waktunya yaitu penyerahan harus pasti, kapan pesanan itu jadi, dan harga harus jelas tidak
boleh ada kenaikkan, perbedaan, harus pasti, dan lebih baik ada catatan.26
Jual beli jika ditinjau dari obyeknya terbagi menjadi tiga macam, yaitu jual beli
dengan benda yang kelihatan, jual beli dengan sifat-sifatnya disebutkan dalam janji, dan
jual beli bendanya tidak ada. Bai‟ as-salam termasuk kepada jual beli dengan sifatnya
disebutkan dalam janji, yaitu jual beli tidak tunai atau meminjamkan barang yang
seimbang dengan harga tertentu. Maksudnya perjanjian yang penyerahan barangnya

22
Imam Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, Juz 2, terjemahan oleh
Mohammad Rifa’i (Semarang: Toha Putra, 2005), 194. Selanjutnya ditulis Taqiyuddin, Kifayatul.
23
Taqiyuddin, Kifayatul, 195.
24
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012), 294. Selanjutnya ditulis
Rasjid, Fiqh.
25
Rasjid, Fiqh, 295.
26
Taqiyuddin, Kifayatul, 196.
ditangguhkan hingga masa tertentu sebagai imbalan harga yang telah ditetapkan ketika
akad.27 Harga hendaknya ditentukan di tempat akad berlangsung.28
Seseorang menjual sesuatu yang jelas sifatnya dan dijamin tersedia pada
waktunya kelak dengan harga tunai diperbolehkan.29 Disyaratkan dalam bai‟ as-salam apa
yang disyaratkan dalam jual beli karena salam merupakan salah satu dari jual beli. Apa
yang disepakati harus dari hal-hal yang diperbolehkan, harus ada keridhoan, barang yang
dijadikan obyek salam harus berupa barang yang memang boleh dijual, harus ada
kemampuan membayar ketika tiba waktu pembayarannya, harga dan barang harus sama-
sama diketahui.30
Seseorang umumnya memerlukan benda yang ada pada orang lain atau
pemiliknya dan dapat dimiliki dengan mudah, tetapi pemiliknya kadang-kadang tidak mau
memberikannya. Adanya syariat jual beli menjadi jalan untuk mendapatkan keinginan
tersebut, tanpa berbuat salah.31 Jual beli menurut bahasa, artinya menukar kepemilikan
barang dengan barang atau saling menukar. Dengan demikian jual beli itu menukar barang
dengan barang atau barang dengan uang yang dilakukan dengan jalan melepaskan hak
milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan. 32 Begitu pun dengan
bai‟ as-salam yang merupakan jual beli karena termasuk kepada salah satu macam jual
beli yang ditinjau dari segi hubungan dengan obyeknya.
Bai‟ as-salam merupakan akad yang diperbolehkan meskipun obyeknya tidak
ada di majelis akad tetapi sifat obyeknya disebutkan, sebagai pengecualian dari
persyaratan jual beli yang berkaitan dengan obyeknya. Hukum jual beli salam atau bai‟
as-salam ini boleh, sebagai pengecualian dari persyaratan jual beli, di mana barang harus
ada pada waktu akad.

C. Mekanisme dan Keuntungan Bai’ as-salam


1. Mekanisme Bai’ as-salam
Bai‟ as-salam merupakan bentuk jual beli dengan pembayaran di muka dan
penyerahan barang dikemudian hari dengan harga, spesifikasi, jumlah, kualitas, tanggal

27
Taqiyuddin, Kifayatul, 197.
28
Rasjid, Fiqh, 296.
29
Teungku Muhammmad Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadits-hadits Hukum (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2011), 326. Selanjutnya ditulis Ash-Shiddieqy, Koleksi.
30
Mardani, Ayat-ayat dan Hadits Ekonomi syariah (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 130. Selanjutnya
ditulis Mardani, Ayat-ayat.
31
Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), 65.
Selanjutnya ditulis Sahrani, Fikih.
32
Sahrani, Fikih, 66.
dan tempat penyerahan yang jelas, serta disepakati sebelumnya dalam perjanjian. Barang
yang diperjualbelikan belum tersedia pada saat transaksi dan harus diproduksi terlebih
dahulu, seperti produk-produk pertanian dan produk barang yang dapat diperkirakan dan
diganti sesuai berat, ukuran, dan jumlahnya.33
Ulama mengharuskan pembayaran salam dilakukan di tempat kontrak. Hal
tersebut dimaksudkan agar pembayaran yang diberikan oleh pembeli (muslam) tidak
dijadikan sebagi utang penjual. Lebih khusus lagi pembayaran salam tidak bisa dalam
bentuk pembebasan utang yang harus dibayar dari penjual (muslam „ilaih).34 Karena hal
ini bertujuan untuk mencegah praktik riba dengan melalui mekanisme bai‟ as-salam.
Kemudian barang yang akan dikirim pun harus diketahui, baik itu dari jenis, kualitas, dan
jumlahnya.35 Dan barang harus bisa diidentifikasi dengan jelas untuk mengurangi
kesalahan akibat kurangnya pengetahuan tentang macambarang tersebut. Kemudian
hukum awal mengenai pembayaran adalah bahwa ia harus dalam bentuk uang tunai.
Risiko terhadap barang yang diperjualbelikan masih berada pada penjual sampai
waktu penyerahan barang. Pihak pembeli berhak untuk meneliti dan dapat menolak barang
yang akan diserahkan apabila tidak sesuai dengan spesifikasi awal yang disepakati. 36
Bai‟ as-salam memang pada kenyataannya ada dua jenis dalam transaksinya,
yaitu akad salam biasa yang hanya melibatkan penjual dan pembeli, kemudian akad salam
paralel (as-salam al-mawājī) yang melibatkan penjual, pembeli, dan pihak lain.37 Namun
untuk lebih jelas lagi bagaimana akad salam, baik akad salam biasa maupun salam paralel
berjalan dalam dunia bisnis, penulis memberikan gambaran mekanisme akad tersebut
berupa skema dan contohnya.
a. Berikut skema bai‟ as-salam.38

2. Negosiasi 1. Pesanan
dan akad dengan
salam negosiasi

Penjual 3. Bayar Pembeli


(muslam ‘ilaih) di muka (muslam)
33
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syari‟ah (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), 90. Selanjutnya ditulis
Ascarya, Akad.
34
Sahrani, Fikih, 71.
35
Sahrani, Fikih, 72.
36
Adwarman, Ekonomi, 95.
37
Afandi, Fiqh, 161.
38
Haroen, Fiqh, 149.
4. Produksi 5. Kirim
sesuai barang
pesanan (muslam fīh)

Adapun alur skema bai‟ as-salam di atas adalah sebagai berikut:


1. Konsumen atau muslam melakukan pesanan dengan spesifikasi barang yang diinginkan
baik dari bentuk, ukuran, bahan, dan sebagainya.
2. Konsumen atau muslam melakukan negosiasi disertai akad salam bersama penjual atau
muslam „ilaih untuk menemukan kata sepakat.
3. Konsumen atau muslam melakukan pembayaran pesanan di muka setelah menemukan
kata sepakat kedua belah pihak untuk bertransaksi salam.
4. Penjual atau muslam „ilaih melakukan produksi sesuai pesanan dari konsumen atau
muslam.
5. Penjual atau muslam „ilaih mengirimkan barang hasil produksi atau muslam fīh yang
dipesan kepada pembeli atau muslam sesuai tanggal yang disepakati di awal.39
Adapun contoh kasus dari bai‟ as-salam, yaitu sebagai berikut:
Seorang yang bernama Umar, ia hendak membeli satu set meja makan berserta
kursinya. Namun Umar sendiri menginginkan barang tersebut yang sesuai dengan
keinginannya baik dari segi ukiran, bahan kayunya, ukurannya serta warnanya. Setelah
Umar merancang barang yang dia inginkan akhirnya Umar datanglah ke sebuah toko
mebel ukiran Jepara, di sana ia bernegosiasi untuk melakukan pesanan barang yang
diinginkan. Dan ia pun menjelaskan secara rinci apa dan seperti apa yang ia akan pesan
pada toko mebel tersebut, sehingga ditemukanlah kata sepakat untuk melaksanakan akad
salam.
Pihak toko merincikan berapa nominal yang harus dikeluarkan Umar atas
pesanannya tersebut, dan yang harus dibayar oleh Umar sebesar Rp 8.000.000,- dengan
banyak barang satu meja dan empat kursi. Dan akhirnya Umar pun merogoh kocek dan
membayar langsung di tempat akad sebesar Rp 8.000.000,- secara tunai dengan waktu
pemesanan tanggal 1 Maret 2015 sampai selesai, dan barang dikirim pada tanggal 18
Maret 2015 sebagai penyerahan barang ke pemesan. Kemudian dikala itu juga yaitu pada

39
Haroen, Fiqh, 150.
tanggal pemesanan toko mebel tersebut sudah memulai pembuatan atau memproduksi
barang pesanan.
Tanggal 15 Maret 2015 barang sudah jadi dan siap untuk dikirim, namun barang
tetap harus dikirim pada tanggal 18 Maret 2015 sesuai perjanjian, yang akhirnya barang
ada di bawah pengawasan toko mebel Jepara tersebut selama tiga hari meskipun barang
sudah menjadi milik sang pemesan yaitu Umar. Dalam hal ini, toko mebel Jepara sudah
mendapatkan hak dan melaksanakan kewajibannya sebagai penjual atau muslam „ilaih
dengan mendapat bayaran tunai sebagai hak dan memproduksi pesanan sesuai perjanjian
sebagai kewajiban. Begitu pun Umar sebagai konsumen atau pemesan sudah
melaksanakan kewajiban dan haknya sebagai pembeli atau muslam, dengan membayar
tunai biaya pemesanan dan mendapat barang pesanan sesuai perjanjian keduanya.

b. Berikut skema salam paralel.40

3. Negosiasi dan
akad salam

Bank 4. Bayar
Pembeli
di muka
(muslam)
(muslam ‘ilaih/
muslam)

2. Bayar 6. Kirim
di muka barang
(muslam fīh)

1. Pesan
barang dan 5. Kirim
Penjual
negosiasi barang
(muslam ‘ilaih)
akad salam (muslam fīh)

Adapun alur skema salam paralel di atas adalah sebagai berikut:

40
Sjahdeini, Perbankan, 252-253.
1. Bank sebagai pembeli (muslam) melakukan pemesanan barang dengan spesifikasi
barang yang diinginkan, kemudian bernegosiasi akad salam dengan penjual (muslam
„ilaih) sebagai produsen.
2. Bank sebagai pembeli (muslam) melakukan pembayaran kepada penjual (muslam
„ilaih) sebagai produsen ketika kedua belah pihak sudah mencapai kata sepakat untuk
transaksi salam.
3. Pembeli (muslam) dalam hal ini adalah nasabah melakukan pemesanan sesuai
keinginan dengan spesifikasi barang yang dipesan, serta bernegosiasi dan berakad
salam dengan pihak bank sebagai penjual (muslam „ilaih).
4. Pembeli (muslam) dalam hal ini adalah nasabah melakukan pembayaran kepada bank
sebagai penjual (muslam „ilaih) setelah bersepakat melakuakan transaksi salam.
5. Penjual (muslam „ilaih) dalam hal ini adalah produsen yang ditunjuk oleh bank,
melakukan pengiriman barang (muslam fīh) yang dipesan nasabah atau pembeli
(muslam) ke bank sebagai pembeli (muslam).
6. Bank sebagai penjual (muslam „ilaih) mengirim barang (muslam fīh) ke nasabah
sebagai pembeli (muslam).
Adapun contoh dari salam paralel, yaitu sebagai berikut:
Seorang ibu rumah tangga yang membutuhkan satu buah gerobak alumunium
untuk berjualan ayam goreng di pasar tradisional. Namun ibu tersebut kebingungan karena
tidak adanya bengkel pembuatan gerobak dari alumunium yang terdekata dengan rumah
dan lokasi penjualannya nanti, karena si ibu merasa kerepotan kalau harus mencari
bengkel alumunium dengan jarak yang jauh. Dengan demikian ibu tersebut datang ke bank
syari’ah untuk mencari solusi yang tepat supaya bisa mendapat gerobak untuk berjualan
karena si ibu adalah salah satu nasabah bank syari’ah tersebut.
Pihak bank sendiri sudah mempunyai mitra bengkel alumunium yang siap
memproduksi gerobak sesuai pesanan, dengan demikian pihak bank dan produsen
bernegosiasi dan berakad salam untuk satu buah gerobak alumunium sesuai spesifikasi
dari ibu tersebut. Dan produsen mematok harga Rp 2.500.000,- untuk satu unit gerobak
kepada bank tersebut.
Ibu tersebut datang kembali ke bank untuk melakukan negosiasi dan berakad
salam. Terjadilah pula kesepakatan untuk pemesanan gerobak alumunium yang sesuai
spesifikasi yang diharapkan ibu tersebut dengan harga Rp 3.000.000,- untuk satu unit
gerobak alumunium dibayar tunai di tempat akad. Dan pihak bank dengan ibu tersebut
sepakat untuk memulai akad pemesanan pada tanggal 4 Maret 2015 sampai tanggal
pengiriman 23 Maret 2014. Begitu pun pihak bank kepada produsen yang menjanjikan
barang selesai dan dilakukan pengiriman kepada konsumen bank pada tanggal 23 Maret
2015. Dengan demikian, akad salam yang dilakukan dalam contoh tersebut adalah salam
bertingkat yang disebut salam paralel, yaitu terjadi dua kali akad salam di mana pemesan
gerobak berakad salam dengan bank syari’ah, dan bank syari’ah sendiri berakad salam
dengan mitranya yaitu bengkel alumunium.
Akad salam paralel memang biasa digunakan oleh bank untuk memenuhi
pesanan nasabah. Di mana akad salam paralel telah melaksanakan dua transaksi salam
antara bank dengan produsen dan antara bank dengan pembeli. Mekanisme salam paralel
ini berdasarkan pertimbangan bahwa yang dibeli bank dalam transaksi salam adalah
barang, dan bank tidak berniat untuk menjadikannya sebagai persediaan, maka
dilakukanlah transaksi salam ke dua kepada pembeli.41
Salam paralel juga bisa karena bank memfasilitasi seorang untuk memproduksi
sebuah hasil.42 Bank bertindak sebagai penyedia dana yang akan digunakan oleh nasabah
untuk memproduksi barang tertentu yang dipesan oleh pihak bank. Nasabah bertindak
sebagai penjual dengan kesanggupan menyediakan barang yang dipesan oleh bank.
Setelah barang pesanan sudah dipenuhi oleh penjual (nasabah), bank dapat menjual
kembali kepada pihak lain dengan harga yang ditetapkan oleh bank, dalam hal ini pihak
bank mendapat keuntungan dari selisih harga barang yang dipesan setelah bank menjual
kepada pihak lain.43
Contoh kasus dari akad salam peralel di atas yaitu, ada seorang petani
mengajukan dana untuk mengelola sawahnya kepada bank. Setelah diperhitungkan biaya
untuk mengelola sawahnya sebesar Rp 5.000.000,-. Setelah bank melakukan analisa, bank
menyetujuinya. Bank dalam pembiayaan ini menggunakan akad salam paralel, dengan
kesepakatan bahwa dari dana Rp 5.000.000,- yang akan dikeluarkan oleh bank akan
mendapatkan gabah kering 2 ton dari petani dengan perhitungan harga gabah kering
sebesar Rp 2.500,- per kilo. Penerimaan gabah kering tersebut dilakuakn dalam tempo 4
bulan yang akan datang. Ketika masa penerimaan tiba, pihak bank mencari pembeli gabah
tersebut. Bank bisa menjual gabah kering tersebut dengan harga yang ditetapkan oleh

41
Hakim, Fiqih, 236.
42
Hakim, Fiqih, 237.
43
Hakim, Fiqih, 238.
pihak bank. Dengan demikian, bank mendapat keuntungan dari margin penjualan kepada
pihak lain.44
Kontrak salam itu harus bebas satu sama lain. Keduanya tidak boleh terikat satu
sama lain sehingga hak dan kewajiban kontrak yang satu bergantung pada hak dan
kewajiban kontrak paralelnya.45 Misalnya ada sebuah kontrak salam paralel di mana
seseorang yang bernama Doni telah membeli 20 pasang sandal dari Alan Footwear dengan
akad salam yang akan diserahkan pada tanggal 5 Aplir. Doni dapat menjual 20 pasang
sandal tersebut kepada Salman dengan akad salam paralel dengan penyerahan pada
tanggal 5 april juga.
Penyerahan sandal kepada Salman tidak boleh bergantung pada penerimaan
barang dari Alan Footwear. Jika Alan Footwear tidak mengirim sandal pada tanggal 5
April, Doni tetap harus memenuhi untuk mengirim 20 pasang sandal ke Salman pada
tanggal 5 april. Doni dapat menempuh jalan apa saja atas kelalaian Alan Footwear, tetapi
Doni tetap tidak dapat menghindar dari kewajibannya untuk mengirim sandal kepada
Salman sesuai perjanjian. Demikian pula apabila Alan Footwear mengirim barang yang
rusak yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati, Doni tetap wajib
mengirim barang kepada Salman sesuai spesifikasi yang telah disepakati bersama.
Akad salam, baik salam biasa maupun salam paralel memiliki perbedaan, yaitu
jika akad salam biasa yang ada didalamnya hanya dua belah pihak yang terkait yaitu
pembeli atau muslam dan penjual atau muslam „ilaih.46 Sedangkan untuk akad salam
paralel melibatkan tiga pihak yaitu pembeli atau muslam yaitu nasabah, penjual atau
muslam „ilaih yaitu bank, dan pihak yang ditunjuk bank yaitu produsen pesanan sebagai
penjual atau muslam „ilaih untuk bank. Dan pihak produsen ini bisa diketahui oleh
nasabah atau pun tidak. Sehingga dalam salam paralel terjadi dua akad salam atau biasa
disebut salam bertingkat.
2. Keuntungan Bai’ as-salam
Diantara bukti kesempurnaan agama islam ialah membolehkannya jual beli
dengan cara salam.47 Bai‟ as-salam sendiri memiliki beberapa keuntungan, yaitu sebagai
berikut:
a. Keuntungan Bagi Pembeli (muslam)48

44
Afandi, Fiqh, 164-166.
45
Hakim, Fiqih, 234.
46
Ascarya, Akad, 95.
47
Ash-Shiddieqy, Koleksi, 327.
1) Jaminan Mendapatkan Barang
Jaminan untuk mendapatkan barang sesuai dengan yang ia butuhkan dan
pada waktu yang ia inginkan. Keuntungan seperti ini bisa terjadi dalam kasus
tertentu, seperti pada saat barang akan menjadi langka dan sulit didapat, tetapi saat
itu justru dibutuhkan orang. Maka pembeli yang sudah melakukan akad jual-beli
secara salam tentu tidak perlu repot mencari barang yang langka itu. Sebab dia
pada dasarnya sudah membeli dan sudah memiliki barang itu, karena transaksi
sudah selesai. Tinggal menunggu pengiriman saja. Contoh yang paling sederhana
adalah membeli tiket kereta api atau pesawat beberapa bulan sebelum musim
mudik. Tiket sudah dibayar penuh dan uangnya sudah lunas. Sedangkan barang
atau jasanya belum kita nikmati. Maka pada saat musim mudik tiba, ketika orang
kelimpungan mencari tiket, kita sudah mempunyai tiket.
2) Harga Cenderung Lebih Baik
Keuntungan kedua dengan menggunakan bai‟ as-salam ini adalah kita
tidak akan jadi korban permainan harga. Biasanya hukum pasar yang berlaku
adalah ketika barang langka, maka harga cenderung akan naik. Ketika demand49
tinggi sementara supply50 tidak bisa memenuhi, harga akan melambung. Harga
tiket akan naik beberapa kali lipat, baik resmi atau tidak resmi, di musim liburan.
Tetapi mereka yang sudah beli tiket jauh-jauh hari, tentu tidak perlu membayar
lebih. Tiket yang mereka punya harganya pasti jauh lebih murah.
b. Keuntungan bagi penjual (muslam „ilaih)51
1) Dapat Modal.
Pihak penjual bisa dapat uang segar tanpa harus segera menyerahkan
barang. Seolah-olah penjual mendapatkan modal gratisan untuk menjalankan
usahanya dengan cara-cara yang halal, sehingga ia dapat menjalankan dan
mengembangkan usahanya tanpa harus membayar bunga. Dengan demikian selama
belum jatuh tempo, penjual dapat menggunakan uang pembayaran tersebut untuk
menjalankan usahanya.
2) Punya Tempo.

48
Muhammad Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004), 114. Selanjutnya ditulis Hasan, Berbagai.
49
Demand adalah permintaan yang menyatakan sikap pembeli atau konsumen dengan membeli lebih
banyak pada tingkat harga yang lebih rendah. Lihat Aziz, Ekonomi, 108.
50
Supply adalah persediaan yang menyatakan siakap penjual dengan bersedia menjual barang lebih
banyak pada harga yang lebih tinggi. Lihat Aziz, Ekonomi, 107.
51
Hasan, Berbagai, 115.
Selain mendapat modal, pihak penjual juga memiliki keleluasaan dalam
memenuhi permintaan pembeli, karena biasanya tenggang waktu antara transaksi
dan penyerahan barang pesanan berjarak cukup lama.
Dengan demikian, bai‟ as-salam bermanfaat bagi penjual dan juga
pembeli. Akad salam ini dibolehkan dalam syariat Islam karena punya hikmah dan
manfaat yang besar, di mana kebutuhan manusia dalam bermuamalah seringkali
tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan atas akad ini. Kedua belah pihak, yaitu
penjual dan pembeli bisa sama-sama mendapatkan keuntungan dan manfaat dengan
menggunakan akad salam, baik akad salam biasa mau pun akad salam paralel
(salam bertingkat).
D. Rukun dan Syarat Bai’ as-salam
Bai‟ as-salam adalah pembelian barang yang diserahkan dikemudian hari,
sedangkan pembayaran dilakukan di muka.52 Sedangkan menurut kamus istilah ekonomi
islam bai‟ as-salam adalah jual beli barang dengan cara pemesanan dan pembayaran yang
dilakukan di muka dengan syarat-syarat tertentu.53 Bai‟ as-salam akan terbilang sah bila
rukun dan syarat yang ada didalamnya terpenuhi dengan baik, dan berikut rukun dan syarat
bai‟ as-salam.54
1. Rukun Bai’ as-salam.
a. Pembeli atau muslam, yaitu seseorang yang menggunakan barang dan jasa.
b. Penjual atau muslam „ilaih, yaitu seseorang yang menyediakan barang atau jasa
kepada pembeli.
c. Modal, yaitu segala hal yang dipakai sejak awal mula berdagang dan biasanya
berupa uang, jasa dan sebagainya.
d. Barang atau muslam fīh, yaitu sesuatu yang diperjualbelikan pada pasar komersil
atau tempat tertentu. Kemudian barang juga dapat diklasifikasikan seperti barang
jadi, barang setengah jadi atau mentah.
e. Ucapan atau shīghat,55 yaitu segala hal yang dibicarakan oleh pedagang dan pembeli
seperti halnya akad, harga, kualitas dan kuantitas.

52
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik (Jakarta : Gema Insani Prees,
2001), 108. Selanjutnya ditulis Antonio, Bank Syariah.
53
Ahmad Subagyo, Kamus Istilah Ekonomi Islam (Jakarta : PT Gramedia Jakarta, 2009), 362.
Selanjutnya ditulis Subagyo, Kamus Istilah.
54
Muslich, Fiqh, 245.
55
Shīghat adalah ungkapan atau yang mewakilinya yang bersumber dari transaktor untuk
menunjukkan keinginannya terhadap keberlangsungan transaksi dan sekaligus mengisyaratkan keridhaan
terhadap akad. Lihat Haroen, Fiqh. 99.
2. Syarat Bai’ as-salam.
Syarat-syarat bai‟ as-salam ini ada yang berkaitan dengan modal atau harga
(ra‟su al-māl), dan ada yang berkaitan dengan objek akad atau barang yang dipesan
(muslam fīh).
a. Modal atau harga (ra‟su al-māl)
1) Modal usaha dan alat pembayaran.56
Modal di sini adalah sejumlah uang yang dikeluarkan untuk membayar
barang yang dibutuhkan atau dipesan. Modal atau uang sebagai alat pembayaran
untuk pembelian atau pemesanan barang diisyaratkan harus diketahui secara jelas
jumlah dan bentuknya seperti jenis dan macamnya misalnya dinar, dirham, dollar,
dan lain-lain. Hukum awal mengenai pembayaran adalah bahwa ia harus dalam
bentuk uang tunai.
2) Penerimaan pembayaran.
Kebanyakan ulama mengharuskan pembayaran salam dilakukan pada saat
kontrak disepakati dan tunai di majelis akad sebelum para pihak meninggalkan
majelis. Apabila pembayaran dilakukan setelah barangnya selesai atau dibayar uang
panjarnya pada waktu akad, maka jual beli tersebut tidak masuk kepada bai‟ as-
salam melainkan jual beli biasa.
b. Obyek akad atau barang yang dipesan (muslam fīh).57
1) Harus jelas ciri-cirinya, jenisnya, dan macamnya, serta dapat diakui sebagai
utang.
2) Barang harus dapat diindentifikasi secara jelas, yaitu untuk mengurangi kesalahan
akibat kurangnya pengetahuan tentang macam barang tersebut misalnya beras
atau kain, tentang kualitasnya pula misalnya kualitas utama, kedua, atau ekspor,
dan tidak ketinggalan mengenai jumlahnya.
3) Penyerahan barang dikemudian hari, karena para ulama berpendapat tentang
waktu penyerahan barang pada bai‟ as-salam. Menurut ulama Hanafiyah,
Malikiyah, Hanabilah, penyerahan barang dikemudian hari sesuai waktu yang
disepakati. Menurut mereka jika barang diserahakan pada waktu akad maka
bukan termasuk jual beli salam. Namun berbeda dengan ulama Syafi’iyah yang
menyetakana bahwa dalam jual beli salam boleh saja barang diserahkan pada
waktu akad, karena atas kesepakatan bersama antara penjual dan pembeli.

56
Djamil, Penerapan Hukum, 134.
57
Djamil, Penerapan Hukum, 135- 136.
Alasannya, jika barang yang dibeli itu boleh diserahkan pada waktu yang akan
datang, maka penyerahannya pada waktu akad pun juga boleh sehingga
kemungkinan terjadinya penipuan lebih dapat dihindari.
4) Tempat penyerahan, Pihak-pihak yang berkontrak harus menunjuk tempat yang
disepakati di mana barang (muslam fīh) harus diserahkan. Jika kedua belah pihak
yang berkontrak tidak menentukan tempat pengiriman, maka barang harus
dikirim ke tempat yang menjadi kebiasaaan, misalnya gudang si pembeli
(muslam).
5) Akad salam bersifat mengikat, maksudnya akad harus sekaligus jadi tanpa ada
khiyār syarat58 (hak memilih secara syarat) baik bagi kedua belah pihak maupun
salah satu pihaknya. Apabila akad salam disertai dengan khiyar syarat maka akad
salam menjadi batal atau tidak sah.59
6) Penjualan barang (muslam fīh) sebelum diterima, yaitu Jumhur ulama melarang
penjualan ulang barang (muslam fīh) oleh penjual (muslam „ilaih) sebelum
diterima oleh pembeli (muslam). Para ulama sepakat bahwa penjual (muslam
„ilaih) tidak boleh mengambil keuntungan tanpa menunaikan kewajiban
menyerahkan barang (muslam fīh).
E. Perbedaan Bai’ as-salam dengan Bai’ al-istishnā’
Bentuk-bentuk akad jual beli yang telah dibahas para ulama dalam fiqih muamalah
terbilang sangat banyak. Namun, ada tiga jenis jual beli yang telah dikembangkan sebagai
sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan investasi.60 Terutama investasi yang ada
dalam perbankan syari’ah dengan akad jual belinya seperti murābahah,61 as-salam, dan al-
istishnā‟. Di sini yang akan dibahas hanyalah bai‟ as-salam dan bai‟ al-istishnā‟ dalam sisi
perbedaannya.
Bai‟ as-salam merupakan bentuk jual beli dengan pembayaran di muka dan
penyerahan barang dikemudian hari dengan harga, spesifikasi, jumlah, kualitas, tanggal dan
tempat penyerahan yang jelas, serta disepakati sebelumnya dalam perjanjian. Sedangkan bai‟
al-istishnā‟ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam

58
khiyār syarat adalah hak memilih yang terjadi selama periode tertentu dan disepakati oleh kedua
belah pihak yang terkait perjanjian, atau penjualan yang didalamnya disyaratkan sesuatu baik oleh penjual
maupun oleh pembeli. Seperti “saya jual rumah ini dengan harga Rp. 100.000.000,- dengan syarat khiyar selama
tiga hari. Lihat Suhendi, Fiqh, 83-84.
59
Muslich, Fiqh, 249.
60
Hasan, Berbagai, 143.
61
Murābahah adalah salah satu akad jual beli dengan ketentuan menjual barang dengan harganya
semula ditambah dengan keuntungan dengan syarat-syarat tertentu. Lihat Muslich, Fiqh, 207.
kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha
melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah
disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga
serta sistem pembayaran, apakah pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau
ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.62
Bai‟ al-istishnā‟ jika dilihat dari prinsipnya memang sama dengan bai‟ as-salam
yaitu sebagai dua akad jual beli pesanan. Tetapi hal yang membedakannya adalah mekanisme
pembayaran pesanan tersebut, jika bai‟ al-istishnā‟ dengan pembayaran di muka, di tengah,
maupun di akhir transaksi. Sedangkan bai‟ as-salam proses pembayaran dilakukan di muka
secara tunai. Dasar hukum bai‟ al-istishnā‟ secara tekstual memang tidak ada bahkan bai‟ al-
istishnā‟ ini tidak diperbolehkan, karena obyek akadnya tidak ada. Namun menurut Hanafiah,
akad ini dibolehkan karena sudah sejak lama al-istishnā‟ ini dilakukan oleh masyarakat tanpa
ada yang mengingkarinya. Sehingga hukum kebolehannya itu bisa digolongkan kepada
ijma.63 Jumhur ulama berpendapat bahwa transaksi istishnā‟ hukumnya boleh atas dasar
pertimbangan kemaslahatan umat yang membutuhkan karena hal seperti ini juga telah
memasyarakat di seluruh wilayah islam dari berbagai suku bangsa. 64 Dalam jual beli al-
istishnā‟ terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi, berikut rukun dan syarat tersebut:
1. Rukun Bai‟ al-istishnā‟.65
a. Mustashni‟ atau pembeli, yaitu pihak yang memebutuhkan dan memesan barang.
b. Shani‟ atau penjual, yaitu pihak yang memproduksi barang pesanan.
c. Shīghat (ījāb dan qabūl), yaitu segala sesuatu yang menunjukkan aspek suka sama
suka dari kedua belah pihak baik penjual maupun pembeli.
d. Mashnu‟ atau obyek, yaitu barang yang diproduksi sebagai objek transaksi.
2. Syarat Bai‟ al-istishnā‟.66
a. Bai‟ al-istishnā‟ mengikat setelah masing-masing pihak sepakat atas barang yang
dipesan.
b. Bai‟ al-istishnā‟ dapat dilakukan pada barang yang bisa dipesan.
c. Barang dalam bai‟ al-istishnā‟ identifikasi dan deskripsi barang yang dijual harus
sesuai permintaan pemesanan.

62
Muslich, Fiqh, 254.
63
Antonio, Bank Syariah, 109.
64
Djamil, Penerapan hukum, 143.
65
Mardani, Fiqh, 125-126.
66
Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani, Kompilasi Hukum Ekonomi Syari‟ah
(Jakarta: Kencana, 2009), 43. Selanjutnya ditulis Pusat Pengkajian, Kompilasi.
d. Pembayaran dalam bai‟ al-istishnā‟ dilakukan pada waktu dan tempat yang
disepakati.
e. Setelah bai‟ al-istishnā‟ mengikat, tidak satu pun boleh melakukan negosiasi
kembali terhadap isi akad yang sudah disepakati.
f. Jika obyek pesanan tidak sesuai spesifikasi maka pemesanan dapat melakukan hak
pilihan (khiyār) untuk melanjutkan atau membatalkan pesanan.
Menurut para fuqaha, bai‟ al-istishnā‟ merupakan suatu jenis khusus dari bai‟ as-
salam. Biasanya, jenis ini dipergunakan dalam bidang manufaktur. Dengan demikian,
ketentuan bai‟ al-istishnā‟ mengikuti ketentuan dan aturan akad bai‟ as-salam.67 Tujuan
istishnā‟ umumnya diterapkan pada pembiayaan untuk pembangunan proyek seperti
pembangunan proyek perumahan, komunikasi, listrik, gedung sekolah, pertambangan, dan
sarana jalan.68 Namun, dari semua itu pastinya ada perbedaan diantara keduanya baik itu bai‟
as-salam maupun bai‟ al-istishnā‟. Berikut ada beberapa poin perbedaan keduanya, yaitu:69
1. Bai‟ as-salam harus melakukan pembayaran di awal kontrak, sedangkan bai‟ al-
istishnā‟ bersifat angsuran atau di kemudian hari.
2. Kontrak bai‟ as-salam mengikat secara asli dan sulit untuk dibatalkan, sedangkan bai‟
al-istishnā‟ mengikat secara mengikuti, artinya adalah bahwa kontrak masih bisa
dibatalkan sebelum produsen melakukan pekerjaannya. Bai‟ as-salam mengikat semua
pihak sejak semula, sedangkan bai‟ al-istishnā‟ menjadi pengikat untuk melindungi
produsen agar tidak ditinggalkan begitu saja oleh konsumen secara tidak bertanggung
jawab.
3. Bai‟ al-istishnā‟ biasanya digunakan pada barang industri manufaktur, sementra bai‟
as-salam dapat dipengaruhi pada barang apapun. Artinya dalam akad salam jenis
barang banyak dijumpai di pasaran sedangkan dalam akad istishnā‟ bentuk dan
spesifikasinya tertentu, sesuai dengan keinginan pemesan, meskipun tidak selalu
demikian.
4. Dalam bai‟ as-salam waktu penyerahan barang itu tertentu, sedangkan dalam bai‟ al-
istishnā‟ tidak menjadi keharusan.
Bai‟ as-salam sebenarnya tidak berbeda jauh dengan bai‟ al-istishnā‟.
perbedaannya terletak pada pembayaran harga dan sifat akadnya. Pembayaran harga pada
bai‟ as-salam dilakukan pada saat akad dilakukan. Sifat dari bai‟ as-salam adalah mengikat

67
Antonio, Bank Syariah, 113.
68
Ismail, Perbankan Syariah (Jakarta: Kencana, 2011), 149-150. Selanjutnya ditulis Ismail,
Perbankan.
69
Tim Manajemen, Fiqh, 86.
secara asli yaitu mengikat semua pihak sejak awal, sedangkan sifat akad dari bai‟ al-istishnā‟
adalah mengikat secara ikutan yaitu mengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak
ditinggalkan begitu saja oleh konsumen secara tidak bertanggung jawab.70
Secara pengertian Bai‟ as-salam sendiri adalah menjual suatu barang yang
penyerahannya ditunda, pembayaran modal lebih awal. Kemudian rukun dan syarat jual beli
salam yaitu adanya pembeli dan penjual, barang transaksi, Sighat (ijab dan qabul), dan alat
tukar. Sedangkan bai‟ al-istishnā‟ adalah akad jual beli pesanan di mana bahan baku dan
biaya produksi menjadi tanggung jawab pihak produsen dengan sistem pembayaran bisa
dilakukan di muka, tengah atau akhir. Dalam kontrak ini, produsen menerima pesanan dari
pembeli, kemudian membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah di sepakati
dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem
pembayarannya.71
Rukun dan syarat bai‟ al-istishnā‟ mengikuti bai‟ as-salam. Hanya saja pada bai‟
al-istishnā‟ pembayaran tidak dilakukan secara kontan dan tidak adanya penentuan waktu
tertentu penyerahan barang, tetapi bergantung selesainya barang pada umumnya. 72 Menurut
fuqaha‟, bai‟ al-istishnā‟ merupakan suatu jenis khusus dari bai‟ as-salam. Biasanya jenis ini
di pergunakan di bidang manufaktur dan konstruksi.73
Oleh karena itu, ketentuan bai‟ al-istishnā‟, mengikuti ketentuan dan aturan bai‟
as-salam. Dan perbedaan bai‟ as-salam dan bai‟ al-istishnā‟ adalah cara penyelesaian
pembayaran. Bai‟ as-salam dilakukan diawal saat kontrak secara tunai sedangkan
pembayaran bai‟ al-istishnā‟ tidak secara kontan bisa dilakukan di awal, tengah maupun
akhir.

70
Djamil, Penerapan hukum, 136.
71
Tim Manajemen, Fiqh, 95.
72
Ascarya, Akad, 98.
73
Tim Manajemen, Fiqh, 96.

Anda mungkin juga menyukai